Anda di halaman 1dari 13

BAB 1

PENDAHULUAN

A. SEJARAH SINGKAT PEMUNGUTAN PAJAK

Sejarah pemungutan pajak mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan negara baik dibidang kenegaraan maupun dibidang social dan
ekonomi.

Pada mulanya pajak belum merupakan suatu pungutan, tetapi hanya merupakan pemberian
sukarela oleh rakyat kepada raja dalam memelihara kepentingan negara, seperti menjaga
keamanan negara terhadap serangan musuh dari luar, membuat jalan untuk umum, membiayai
pegawai kerajaan dan sebagainya. Bagi penduduk yang tidak melakukan penyetoran dalam
bentuk natura maka ia diwajibkan melakukan pekerjaan-pekerjaan untuk kepentingan umum
untuk beberapa hari lamanya dalam satu tahun. Orang-orang yang memiliki status sosial yang
tinggi termasuk orang-orang yang kaya, dapat membebaskan diri dari kewajiban melakukan
pekerjaan untuk kepentingan umum tadi, dengan cara membayar uang ganti rugi. Besarnya
pembayaran ganti rugi ini ditetapkan sesuai dengan jumlah uang yang diperlukan untuk
membayar orang lain yang menggantikan melakukan pekerjaan itu, yang seharusnya dilakukan
sendiri oleh orang kaya yang memiliki status social yang tinggi dan orang kaya tadi.

Kerajaan-kerajaan di Jawa abad XIX, juga melakukan hal semacam ini. Tenaga dari
rakyat ditarik

Konon salah satu penyebab timbulnya pemberontakan Diponegoro adalah beban pajak
yang tinggi diperlakukan oleh Raja-raja di Jawa Tengah. Sultan ke-2 Yogyakarta terkenal
sebagai raja yang banyak mengumpulkan harta. Pos-pos beacukai (toll gatest) berdiri dimana-
mana dan disewakan pada orang China dan Eropa yang seenaknya memungut pajak atas barang-
barang yang keluar masuk. Pos-pos bea cukai ini akan menjadi sasaran pertama dalam
pemberontakan Diponegoro yang kemudian meletus.

Pangeran Diponegoro memang memperhatikan nasib rakyatnya. Beberapa kali Pangeran


Diponegoro memprotes diangkatnya para pengumpul pajak dan mengusulkan pada raja untuk
mengurangi beban pajak atas rakyat. Pada akhirnya pemberontakan Diponegoro meletus pada
tahun 1825 dan berlangsung sampai tahun 1830. Dalam hubungan dengan negara, pajak inilah
yang oleh para petani dirasakan sebaga ancaman langsung terhadap kehidupan orang cukup.
Dalam salah satu pemberontakan dikatakan wong cilik sampai tidak dapat memakai celana
karena pajak-pajak yang tinggi.

Baru setelah terbentuknya negara-negara nasional dan tercapainya pemisahan antara


rumah tangga negara dan rumah tangga pribadi raja pada akhir abad pertengahan, pajak
mendapat tempat yang lebih mantap di antara pendapatan negara. Dengan bertambah luasnya
tugas-tugas negara utamanya untuk mempertahankan hukum, ketertiban dan pertahanan, maka
negara harus lainnya. Lagi pula akibat timbulnya peperangan antarnega maka dengan sendirinya
negara memerlukan biaya yang cukup besar. Sehubungan dengan itu maka pemberian yang
sifatnya sukarela ini berubah menjadi pemberian yang ditetapkan secara sepihak oleh negara dan
dapat dipaksakan.

permanen, seperti Perancis pada tahun 1944 dan Rusia pada tahun 1626. Sebaliknya di Inggris
tidak tampak hubungan yang jelas antara pungutan pajak dengan organisasi ketentaraan. Hampir
dapat dikatakan bahwa pemungutan pajak mulai berkembang di darataan Eropa, ini dapat
dimengerti karena negara-negara di Eropa sudah maju baik tingkat pendidikannya maupun
tingkat ekonominya.1

Mula-mula pada bidang pemungutan pajak ini terdapat banyak penyalahgunaan dan
beban pajak yang tidak dibagisecara merata. Salah satu penyalahgunaan dalam bidang ini ialah
pemberian hak istimewa berkenaan dengan pemungutan pajak atau malahan pemberian
pembebanan pajak kepada orang-orang atau kelompok –kelompok tertentu dengan dalihbahwa
orang-orang tertentu telah berjasa kepada negara atau raja. Di Perancis sebelum timbulnya
revolusi, kelas-kelas yang memiliki hak-hak istimewa, seperti para pemuka Agama dan para
penguasa dibebaskan dari pembayaran pajak dengan alasan tersebut. Sedangkan rakyat jelata
pada waktu itu dikenakan berbagai macam pungutan yang sangat memberatkan. Keadaan inilah
yang merupakan salah satu sebab timbulnya Revolusi Perancis yang memakan banyak korban.
Sementara itu timbullah semboyan semasa revolusi yang diteriakkan oleh rakyat Perancis yang
berbunyi: “bahwa pemngutan pajak harus diselenggarakan secara umum dan merata”.2

B. UNDANG-UNDANG PAJAK NASIONAL.

Sebagian besar undang-undang (i.c. ordinasi) Pajak yang berlaku sebelum berlakunya
Undang-Undang Pajak Nasional adalah berasal dari Undang-undang ini banyak mengalami
perubahan dan tambahan yang disusun dalan bahasa Indonesia, mengingat Undang-Undang
Dasar 1945 yang berbunyi: segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku,
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.

Pemerintah menyadari bahwa Undang-Undang Pajak peninggalan pemerintah Hindia


Belanda ini terlalu menitikberatkan pada hukum barat dan sedikit, kalau tidak dapat dikatakan
sama sekali tidak memuat ketentuan-ketentuan hukumadat yang berlaku. Hal ini sangat
bertentangan dengan kepribadian kita dan perlu mendapatkan perhatian sepenuhnya.

Kemudian pada tahun 1950 pemerintah membentuk “panitia perubahan system pajak.”
Sejak itu tidak kurang dari 5 kali panitiaitu dibentuk, dibubarkandan diganti pula, Panitia itu
terdiri dari anggota-anggota parlemen dan pejabat dari Departemen Keuangan dan dibantu oleh

1
Dr.C.Goedart,Hoofdljinem van de leeerderOpenbare Financien,Terj.Ratmoko,Sh,Jembtan,Jakarta 1973,hal 82.
2
R.Santoso Brotodihardjo,SH,Pengantar Ilmu Hukum Pajak,PT,Eresco,Jakarta,Bandung 1981,cet.ix hal.23.
beberapa tenaga ahli. Hasil kerja dari panitia itu tidak pernah diumumkan sampai keluarnya
Undang-undang Pajak

Memang harus diakui bahwa menyusun suatu sistem pajak adalah sungguh tidak mudah.
Sebab suatu system pajak, dalam arti susunan jenis-jenis pajak yang berlaku didalam suatu
negara selalu tumbuh karena perkembangan sejarah. Bahkan sukar ditentukan suatu asas yang
menjiwainya. Merombak sampai keakar-akarnya suatu susunan pajak dan menggantinya dengan
yang baru tanpa menimbulkan suatu akibat di bidang ekonomi keuangan, amat sulit
dilaksanakan.

Undang-Undang Pajak Nasional sekarang berlaku, bukanlah termasuk perubahan dalam


arti asas-asasnya, tetapi hanya merupakan penyempurnaan pajak yang ada dan disesuaikan
dengan keadaan baru yang sesuai dengan perkembangan masyarakat khususnya masyarakat
wajib pajak. Undang-Undang Pajak Nasional kelihatannya mengintrodusir prisip-prinsip dari
undang-undang lama. Boleh dikatakan bahwa tidak ada suatu negara yang menghapuskan
sekaligus macam pajaknya dan menggantinya dengan yang baru. Hal ini dapat dimengerti karena
alat-alat perpajakan (terutama para pegawainya, admistrasinya) telah melembaga dalam system
pajak yang ada, sehingga sukar dalam jangka waktu yang relatif pendek membiasakan dirinya
dengan ketentuan yang semuanya serba baru.3

Lahirnya Undang_undang Pajak Nasional merupakan salah satu factor yang mendukung
keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan sampai sekarang, sehingga kelahirannya memiliki
arti sejarah bagi bangsa dan negara.

Undang-undang Pajak Nasional ini terdiri :

1, Undang-Undang No.6 Tahun 1983 yang telah diubah untuk kedua kalinya, dan terakhir
dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.

2, Undang-Undang No.7 Tahun 1983 yang telah diubah untuk ketiga kalinya, dan terakhir
dengan Undang-Undang No.17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan (PPh).

3 Undang-Undang No.8 Tahun 1984 yang telah diubah untuk kedua kalinya, dan terakhir
dengan Undang-Undang No.18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertumbuhan Nilai Barang dan
Jasa dan Penjualan atas Barang Mewah (PPN).

Dalam konsiderans pertimbangan dari Undang-Undang Pajak Nasional ini dapat


disimpulkan

bahwa ada 3 tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah lewat undang-undang ini, sebagai
berikut:

3
Prof.Dr.Rochmat Soemitro,SH,Masalah Administrasi dalam Hukum Pajak Indonesia,PT,Eresco,Jakarta,hal.208.
a. Meningkatkan sumber penerimaan negara dalam rangka pembiayaan pembangunan yang
dewasa ini kian meningkat, dimana sumber penerimaan negara yang paling utama adalah
diharapkan dari pajak-pajak.
b. Menggerakkan dan meningkatkan partisipasi semua lapisan wajib pajak, yang besar
peranannya dalam peningkatan penerimaan negara. Dengan menggerakan partisipasi
terhadap semua lapisan wajib pajak, maka pemerintah dapat menjaring wajib pajak
sehingga dalam pemungutan pajak masih ada wajib pajak yang tidak atau belum
berpatisipasi, yang mana wajib pajak tersebut seharusnya dikenakan pajak berdasarkan
Undang-Undang Pajak.
c. Penyederhanaan struktur Pajak yang berlaku agar mudah pelaksanaanya, dan
penerapannya akan menjadi lebih adil dan merata.

Tujuan dari penyederhanaan ini adalah untuk mempermudah masyarakat


mempelajarinya,

Memahami, dan mematuhinya, penyederhanaan ini meliputi pengelompokkan bebrapa jenis


pajak menjadi satu jenis saja, penyederhanaan tarif pajak dan cara pemenuhan wajib pajak.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Pajak Nasional ini terdapat 8 (delapan) jenis Undang-
undang Pajak yang berlaku yakni:

1. ordonansi pajak perseroan 1925 stb. Tahun 1925 Nomor 319 sebagaimana telah diubah
beberpa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1970;

2. Ordonansi pajak pendapatan 1944 stb. Tahun 1944 Nomor 17 sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1970;

3. Undang –Undang Nomor 8 Tahun 1967 tentang perubahan dan Penyempurnaan tata cara
pemungutan pajak pendapatan 1944, pajak kekayaan 1932 dan pajak perseroan 1925;

4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1970 Tentang Pajak atas bunga Deviden dan Royality
1970;

5 Pasal 15 ke 4 dan ke 5 dan pasal 16 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang


Penanaman Modal Asing, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1970 Tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967;

6. Pasal 9, pasal 12 ke 4dan ke 5, pasal 13 dan pasal 14 Undang-Undang Nomor 6 Tahun


1968 Tentang Penanaman Modal Dalan Negri;

7. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1953 (L.N.85/1953) tentang pemungutan Pajak


Penjualan;
8. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1968 Tentang Peninjauan perubahan Undang-Undang
Pajak Penjualan Tahun 1951.4

Kedelapan Undang-Undang tersebut, dengan berlakunya undang-Undang Pajak Nasional,


dinyatakan dicabut, dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak
Penghasilan dan Undang-Undang Pertambahan Nilai Nomor 8 Tahun 1984 Tentang Pajak
Barang dan jasa (PPN1984).

C. PRINSIP-PRINSIP DALAM SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK MENURUT


UNDANG-UNDANG PAJAK NASIONAL.

Undang-Undang Pajak Nasional Memiliki Prinsip-prinsip tersendiri seperti yang tertuang


dalam penjelasan dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan.

Prinsip-prinsip itu adalah:

Pertama: bahwa pemungutan pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Nasional merupakan


perwujudan dan Pengabdian dan peran serta wajib pajak untu secara langsung
melaksanakan kewajiban perpajakan yang sangat diperlukan untuk pembiayaan negara
dan pembangunan ;

Kedua : Tanggung jawab pelaksanaan pajak berada pada anggota wajib pajak sendiri.
Pemerintah hanya memberikan pembinaan, penelitian dan pelaksanaan kewajiban
perpajakan tersebut. Oleh karena itu, Undang-Undang ini sebagai suatu undang-undang
dibidang Perpajakan yang dilandasi falsafah Pancasila dan UUD 1945 jelas berbeda
dengan Undang-Undang Pajak yang lama. Perbedaan tersebut akan nyata terlihat dalam
system dan mekanisme serta cara pandang terhadap wajib pajak, dimana dalam Undang-
Undang Pajak yang Baru wajib pajak tidak dianggap sebagai objek, tetapi merupakan
subjek yang harus dibina Dan diarahkan agar mau dan sadar memenuhi kewajiban
kenegaraan. Di segi lain tuntutan Masyarakat terhadap adanya”aparatur perpajakan yang
makin mampu dan bersih “ dituangkan dalam berbagai ketentuan yang bersifat
pengawasan Undang-Undang Perpajakan ini;

Ketiga; Wajib pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang
Berutang, sehingga dengan cara ini kejujuran dari wajib pajak sangat diperlukan dalam
rangka pemungutan pajak. Berdasarkan ketiga prinsip diatas, maka wajib pajak
diwajibkan menghitung, membayar serta melaporkan pajak sendiri jumlah pajak yang
seharusnya yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, sehingga penetuan penerapan besarnya pajak yang terutang berada pada
wajib pajak sendiri. Selain itu wajib pajak diwajibkan pula melaporkan secara teratur

4
Dewan Perwakilan Rakyat RI,UU no 6 tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
jumlah pajak yang terutang dan yang telah dibayar sebagaimana ditentukan oleh
peraturan perpajakan.

Dengan system ini diharapkan pelaksanaan administrasi perpajakan yang berbelit-belit dan
birokratis dapat dihilangkan. Selain itu jaminan dan kepastian hukum mengenai hak dan
kewajiban perpajakan bagi wajib pajak lebih diperhatikan, dengan demikian dapat merangsang
peningkatan kesadaran dan tanggung jawab perpajakan dimasyarakat. Tugas administrasi
perpajakan tidak lagi seperti yang terjadi pada waktu yang lampau., dimana administrasi
perpajakanmeletakkan kegiatannya pada tugas merampungkan /menetapkansemua surat
pemberitahuan guna menentukan jumlah pajak yang seharusnya dibayar. Tetapi menurut
Undang Undang Perpajakan yang baru, administrasi perpajakan hanya berperan aktif dalam
melaksanakan pengendalian administrasi pemungutan pajak yang meliputi tugas-tugas
pembinaan, penelitian, pengawasan dan penerapan sanksi administrasi. Pembinaan masyarakat
wajib pajak dapat dilakukan melalui berbagai usaha/upaya, antara lain pemberian penyuluhan
pengetahuan perpajakan baik melalui media masa maupun penerangan langsung kepada
masyarakat.
BAB 2

SUMBER-SUMBER PENERIMAAN NEGARA

Sumber-sumber penerimaan negara dapat dikelompokan menjadi penerimaan dari beberapa


sector, sebagai berikut :

1. Pajak
2. Kekayaan alam
3. Bea dan Cukai
4. Retribusi
5. Iuran
6. Sumbangan
7. Laba dari badan usaha milik negara
8. Sumber-sumber lain.

Pembiayaaan pembangunan memerlukan uang yang cukup banyak sebagai syarat mutlak
agar pembangunan dapat berhasil. Darimana uang tersebut diperoleh ? Uang yang
digunakan untuk itu didapat dari berbagai sumber penerimaan negara. Pada umumnya
negara mempunyai sumber-sumber penghasilan yang terdiri dari :

1. Bumi,air dan kekayaan alam


2. Pajak-pajak, Bea dan Cukai
3. Penerimaan Negara, Bukan Pajak (non-tax)
4. Hasil Perusahaan Negara; dan
5. Sumber-sumber lain, seperti : pencetakan uang dan pinjaman .

A. BUMI, AIR DAN KEKAYAAN ALAM

Pasal 33 UUD 1945 menentukan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya.
Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 1 Ayat 2 menegaskan bahwa seluruh bumi, dan ruang
angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam Wilayah Republik
Indonesia sebagai

Bumi, air dan ruang angkasa milik Bangsa Indonesia merupakan kekayaan nasional.
Yang termasuk dalam pengertianmenguasai adalah: mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya, menentukan dan mengatur yang
dapat dipunyai atas bagian dari bumi, air dan ruang angkasa, menentukan dan mengatur
hubungan hukum antara orang-orang (subjek hukum) dan pembuatan-pembuatan hukum yang
mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

Negara hanya menguasai bumi, air, dan ruang angkasa dengan demikian dapat dimengerti
bahwa negara tidak dapat menjual tanah kepada swasta, sebagaimana yang terjadi pada jaman
pemerintahan Hindia Belanda dimana tanah dijual oleh pemerintahkepada pihak partikelir
(swasta), sehingga banyak diketemukan tanah partikelir. Baru sesudah berlakunya Undang-
Undang Pokok Agraria 1960 tanah-tanah partikelir ini dihapuskan.

B. PAJAK-PAJAK,BEA DAN CUKAI, RETIBUSI.

Pajak-pajak, Bea dan Cukai merupakan peralihan kekayaan dari sector swasta kesektor
pemerintah, yang diharuskan oleh undang-undang dan dapat dipaksakan, dengan tidak mendapat
jasa timbal (tegenprestatie) yang langsung dapat ditunjuk, untuk membiyai pengeluaran-
pengeluaran negara. Pajak adalah sumber terpenting dari segi penerimaan negara. Pajak adalah
sumber terpenting dari segi penerimaan negara. Hal ini dapat kita lihat didalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
memperlihatkan bahwa sumber penerimaan terdiri dari berbagai jenis pajak, bea masuk, bea
keluar dan cukai. Penerimaan pajak dari tahun ketahun makin

Untuk meningkatkan penerimaan negara dari sector pajak

a. Perluasan wajib pajak; dalam arti menjaring wajib pajak sebanyak mungkin.
b. Penyempurnaan tarif pajak dan
c. Penyempurnaan administrasi pajak.
Dari usaha-usaha tersebut diatas tampaknya sudah tercakup dalam Undang-Undang Pajak
Nasional yang sekarang sudah diberlakukan.
Disamping pajak, bea dan cukai termasuk sumber penerimaan negara yang vital, Bea
dibagi dalam bea masuk dan bea keluar.
Bea Masuk adalah bea yang dipungut dari jumlah harga barang yang dimasukkan
kedaerah pabean dengan maksud untuk dipakai, dan dikenakan bea menurut tarif tertentu, yang
penyelenggaraanya diatur dan ditetapkan dengan Undang-Undang dan Keputusan Menteri
Keuangan.5
Bea keluar, ialah bea yang dipungut dari jumlah harga barang –barang yang tertentu yang
dikirim keluar daerah Indonesia, dan dihitung berdasarkan tarif tertentu, hal mana diatur dan
ditetapkan dalam undang-undang.
Daerah Pabean adalah daerah yang ditentukan batas-batasnya oleh pemerintah dan batas-
batas ini digunakan sebagai garis untuk memungut bea-bea.Seluruh kepulauan Indonesia kecuali
kepulauan Sabang termasuk daerah pabean Indonesia.Bea keluar ini sekarang ditinjau kembali
oleh pemerintah ,dan bea keluar untuk beberapa jenis barang sudah ada yang dihapuskan melalui
kebijaksanaan dari menteri keuangan.
Cukai ialah pungutan yang dikenakan atas barang-barang tertentu yang berdasarkan
tariff yang sudah ditetapkan untuk masing-masing jenis barang tertentu.Cukai tidak dikenakan
atas semua barang .Barang-barang yang dikenakan cukai antara lain tembakau,gula,bensin,dan
minuman keras.

5
Drs.B.Usman dan J.Subroto,Pajak-pajak Indonesia.Cet.II Yayasan bina pajak,Jakarta 1980,hal 3.
RETRIBUSI adalah pungutan yang dilakukan oleh negara sehubungan dengan penggunaan jasa
yang disediakan oleh negara.Disini nyata bahwa para pembayar mendapat jasa langsung dari
negara.Orang-orang yang tidak menggunakan jasa yang telah disediakan ,tidak diwajibkan
membayar retribusi.

Unsur yang melekat pada retribusi adalah :

1. Pungutan retribusi harus berdasrkan Undang-undang


2. Sifat pungutannya dapat dipaksakan.
3. Pemungutannya dilakukan oleh negara.
4. Digunakan untuk pengeluaran bagi masyarakat umum
5. Kontrapretasi(imbalan) langsung dapat dirasakan.

C.PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK (NON-TAX)

Penjelasan pasal 23 ayat 2UUD 1945 antara lain menegaskan bahwa segala tindakan
yang menempatkan beban kepada rakyat seperti pajak dan lainlain ,harus ditetapkan dengan
Undang-Undang ,yaitu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat,oleh karena
itu ,penerimaan negara diluar penerimaan perpajakan ,yang menetapkan beban kepada
rakyat ,juga harus didasarkan pada Undang-Undang.

Ketentuan perUndang-Undangan sebagai landasan penyelenggaraan dan pengelolaan


Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku selama ini meliputi berbagai ragam dan
tingkatan peraturan sehingga belum sepenuhnya mencerminkan kepastian hukum .Banyak dan
beragamnya bentuk peraturan juga mengakibatkan rumitnya dalam pengelolaan Penerimaan
Negara Bukan Pajak ,Oleh karena itu sudah saatnya untuk membentuk UU tentang Penerimaan
Negara Bukan Pajak ,Undang-Undang yang dimaksud adalah Undang-Undang no 20 th 1997.

Dalam Undang-Undang ini terdapat 7 jenis PNBP sebagaimana yang diatur dalam pasal 2
UU no 20 th 1997 yaitu :

1. Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan Dana Pemerintah yang terdiri dari :
a. Penerimaan jasa dan giro
b. Penerimaan sisa anggaran pembangunan dan sisa anggaran rutin.
2. Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam yang terdiri dari :
a.Royalti dibidang Perikanan,
b. Royalti dibidang Kehutanan,
c. Royalti dibidang Pertambangan kecuali MIGAS karena sudah diatur oleh Undang-
Undang Pajak Penghasilan.

Yang dimaksud dengan Royalti adalah pembayaran yang diterima negara sehubungan
dengan pemberian izin atau fasilitas tertentu dari negara kepada pihak lain untuk memanfaatkan
atau mengolah kekayaan negara.Misalnya Royalti dibidang kehutanan .
3. Penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan ,yang terdiri
dari:
a. Bagian laba pemerintah.
b. Hasil penjualan saham pemerintah.
c. Deviden

Yang dimaksud dengan deviden adalah pembayaran berupa keuntungan yang diterima
oleh negara atau orang/badan tertentu sehubungan dengan keikutsertaan mereka selaku
pemegang saham dalam suatu perusahaan .

4. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah yang terdiri dari:
a. Pelayanan Pendidikan.
b. Pelayanan kesehatan
c. Pemberian hak paten ,hak cipta,hak merk.
d. Pemberian visa dan paspor,termasuk paspor haji.
5. Penerimaan berdasrkan putusan pengadilan, yang terdiri dari:
a. Lelang barang
b. Denda
c. Hasil rampasan yang diperoleh dari hail kejahatan.
6. Penerimaan berupa hibah
7. Penerimaan lainnya yang diatur oleh UNdang-Undang tersendiri.

Ketujuh jenis penerimaan diatas merupakan objek PNBP yang merupakan penerimaan dari
departemen dan lembaga negarayang bersifat insendetil dan pada umumnya belum diatur dalam
Undang atau peraturan Daerah (PERDA).

Sistem pemungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ditetapkan oleh instansi
Pemerintah dan Dihitung sendiri oleh wajib pajak (wajib bayar). Yang ditetapkan oleh
pemerintah adalah jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang menjadi terutangsebelum wajib
bayar menerima manfaat atas kegiatan pemerintah, seperti; Pemberian Hak Paten dan Pelayanan
Pendidikan, maka penentuan jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak ditetapkan oleh
pemerintah . Sedangkan yang dihitung sendiri oleh wajib bayar, dalam hal ini Penerimaan
Negara Bukan Pajak menjadi terutang setelah menerima manfaat, seperti pemanfaatan sumber
daya alam.

D. HASIL PERUSAHAAN NEGARA

Negara sebagai badan hukum publik dapat juga ikut dalam lapangan perekonomian
seperti halnya orang partikeli. Laba yang diperoleh perusahaan negara adalah pendapatan negara
yang dimaksukkan dalam anggaran pendapatan negara. Yang tergolong dalam perusahaan negara
adalah semua perusahaan, yang modalnya merupakan kekayaan negara Republik Indonesia
dengan tidak melihat bentuknya. Pada masa lampau terdapat banyak sekali perusahaan yang
mempunyai aneka ragam bentuk.
Melalui Undang-Undang Nomor 19 Prp. Tahun 1960, pemerintah telah mengadakan
penyeragaman bentuk perusahaan negara tersebut, meskipun hasilnya belum begitu
menggembirakan karena masih didapati bermacam bentuk perusahaan negara. Kemudian dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 untuk bentuk perusahaan diatur lebih lanjut dan
digolongkan dalam PERSERO, PERUM, DAN PERJAN.

Ketiga bentuk perusahaan negara tersebut, adalah perusahaan negara yang berstatus IBW
(Indonesiche Bedrijvenwet stb,1927 Nomor 419). Untuk dapat berstatus IBW maka perusahaan
itu perlu ditunjuk dengan undang-undang atau ordonansi, umpamanya;

a. Perusahaan Garam dan Soga;

b. Percetakan Negara;

c. Jawatan Penggadaian;

d. Jawatan Kereta api;

e. Pos dan Telekomunikasi.

ICW (Indonesiche Comptabiliteits Wet Stb 1923 Nomor 448) berlaku juga terhadap
perusahaan IBW, sepanjang IBW tidak memberikan ketentuan lain. Perusahaan IBW ini dikuasai
oleh Departemen Keuangan serta semua anggaran belanja perusahaan IBW pun dimasukkan
dalan Rencana Anggaran Belanja Negara, yang harus disetujui DPR. Walaupun secara teknik
anggaran – anggaran belanja perusahaan IBW termasuk dalam anggaran Departemen Keuangan,
namun perusahaan tersebut praktis berada dalam wewnang dan kekuasaan masing-masing
departemen yang bersangkutan.

Meskipun anggaran perusahaan IBW masuk dalam Anggaran Belanja Negara Republik
Indonesia, namun dalam soal keuangan memiliki kebebasan karena mengeluarkan uang tidak
melalui mandat atau otorisasi, seperti untuk gaji pegawai dan lain-lain.

Mengenai perusahaan yang berstatus ICW, maka seluruh keuntungan perusahaan yang
tunduk pada ICW harus disetor kekas negara sedang segala pengeluaran harus melalui mandat
atau otorisasi. Pada prnsipnya tata usaha perusahaan tersebut tidak dilakukan secara komersil,
tetapi perushaan itu diusahakan sebagai jawatan atau badan pemerintahan biasa. Sebagai contoh
perusahaan ICW adalah:

a. Percetakan Departemen Keuangan;

b. Perusahaan Beton Aspal;

c. Perusahaan Pelabuhan Kecil dan lain-lain.


Selain itu ada Perusahaan Negara yang berada dalam lapangan hukum perdata yaitu yang
terbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang saham-saham seluruhnya di tangan pemerintah atau
departemen yang bersangkutan. IBW maupun ICW tidak berlaku terhadapnya dan kehidupan
perusahaan tersebut diatur oleh anggaran dasar masing-masing.

E. SUMBER-SUMBER LAIN

Yang termasuk dalam sumber-sumber lain ialah pencetakan uang (deficit spending).
Sumber terakhir ini oleh beberapa negara sering dilakukan. Pemerintah Indonesia pernah
melaksanakannya dalam rangka memenuhi kebutuhan akan investasi negara untuk membiayai
pembangunan yang tercemin dalam Anggaran Belanja Pembangunan. Secara teoretis sebenarnya
dapat saja dilakukan oleh pemerintah kapan saja. Tetapi cara ini tidaklahpopuler karena
membawa akibat yang sangat mendalam dibidang ekonomi. Oleh karena itu, deficit tersebut
ditutup melalui pinjaman atau kredit luar negri yang berasal dari kelompok negara donor, yang
dalam Anggaran Belanja Negara penerimaan daripinjaman tersebut merupakan penerimaan
pembangunan yangsebenarnya juga merupakan uang muka pajak yang kelak dikemudian hari
menjadi beban bagi generasi mendatang.

Sumber-sumber lainnya dari penerimaan negara adalah pinjaman negara, baik yang
berasal dari dalam negri maupun yang berasal dari luar negri. Pinjaman dari dalam negridapat
dibedakan dalam dua bagian. Yakni Jangka Pendek dan Jangka Panjang. Pinjaman Jangka
Pendek dengan cara pemberian pembukaan uang muka oleh Bank Indonesia kepada pemerintah
sebelum penerimaan negara masuk kas negara. Pemberian uang muka ini untuk mencegah
kevakuman dalam rangka pemerintah melakukan pengeluaran-pengeluaran. Pinjaman atau
pemberian uang muka ini dijamin dengan kertas perbendaharaan negara, dan pinjaman ini akan
dilunasi setelah ada penerimaan negara, seperti pajak dan penerimaan negara bukan pajak sudah
masuk dalam kas negara, sedangkan untuk pinjaman dalam negri yang berjangka panjang
dilaksanakan dengan cara menerbitkan uang kertas berharga (obligasi ) berjangka waktu.
Penjualan obligasi berjangka ini ditujukan kepada seluruh masyarakat dan hasil penjualannya
digunakan untuk membiayai pembangunan.

Mengenai pinjaman luar negri, umumnya berjangka panjang. Sifat pinjaman luar negri
hanya merupakan factor pelengkap dan tidak mempunyai komitmen dengan masalah politik dan
idiologi.

Pinjaman luar negri terdiri dari 2 macam:

Bantuan program yaitu bantuan keuangan yang diterima dari luar negri berupa devisa kredit.
Devia kredit ini kemudian dirupiahkan kedalam kas negara sehingga kas negara bertambah yang
akan digunakan untuk membiayai pembangunan.

Bantuan proyek yaitu bantuan kredit yang diterima pemerintah dari bantuan donor berupa
peralatan dan mesin-mesin untuk membangun proyek tertentu, seperti; proyek tenaga listrik,
jembatan, jalanan, pelabuhan, telekomunikasi, dan irigasi. Sebagian dari bantuan proyek ini
diberikan dalam bentuk jasa konsultan dan tenaga teknisi yang membantu merencanakan
pembangunan proyek.

Anda mungkin juga menyukai