Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Telaah Pustaka


2.1.1 Tinjauan tentang Perdarahan Post Partum
2.1.1.1 Definisi
Perdarahan post partum adalah perdarahan yang terjadi setelah bayi lahir
dimana perdarahan tersebut adalah perdarahan yang lebih dari normal yang mana
telah menyebabkan perubahan tanda vital (sistolik < 90 mmHg, nasi > 100x/menit,
kadar Hb < 8 gr/dl, muka terlihat pucat.9 Perdarahan post partum adalah keluarnya
darah dari jalan lahir setelah bayi lahir normal dimana kehilangan 500 cc atau lebih
(Depkes RI, 2010). Dalam buku panduan kesehatan keluarga disebutkan batasan
perdarahan paska persalinan adalah setiap perdarahan yang abnormal atau
perdarahan atau patologik, yang terjadi selama dua hingga 4 jam pertama setelah
anak lahir.10

2.1.1.2 Klasifikasi Perdarahan Post Partum


Perdarahan post partum terbagi menjadi dua yaitu:
1. Perdarahan Pasca Persalinan Dini (Early Postpartum Haemorrhage, atau
Perdarahan Postpartum Primer, atau Perdarahan Pasca Persalinan Segera).
Perdarahan pasca persalinan primer terjadi dalam 24 jam pertama, perdarahan
patologis dan abnormal.11
2. Perdarahan masa nifas (Post Partum Haemorrhage atau Perdarahan Persalinan
Sekunder atau Perdarahan Pasca Persalinan Lambat, atau Late Post Partum
Haemorrhage). Perdarahan pascapersalinan sekunder terjadi setelah 24 jam
pertama.12

9
. Wijaksastro, H. 2012. Buku Acuan Nasional Pelayanan Maternal dan Neonatal. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Sarwono. Hlm: 34
10
. Resmawan, 2010. Perdarahan Pasca Persalinan 1. Available at. http/dadyblogspirit.com.
11
Chalik, 2012. Hemoragi Utama Obstetri dan Ginekologi. Jakarta : Widya Medika
12
Friedman, E. 2012. Seri Skema Diagnosis dan Penatalaksanaan Obstetri. Jakarta : Bina
Rupa Aksara: 182
5
6

2.1.1.3 Faktor-faktor Penyebab Perdarahan Post Partum


1. Atonia Uteri
a. Atonia uteri (relaksasi otot uterus) adalah uteri tidak berkontraksi dalam 15
detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir).
b. Atonia uteri adalah kegagalan serabut-serabut otot myometrium uterus
untuk berkontraksi dan memendek.
c. Atonia Uteri adalah suatu kondisi dimana Myometrium tidak dapat
berkontraksi dan bila ini terjadi maka darah yang keluar dari bekas tempat
melekatnya plasenta menjadi tidak terkendali.13
Beberapa faktor Predisposisi yang terkait dengan perdarahan pasca persalinan
yang disebabkan oleh Atonia Uteri, diantaranya adalah:
1. Uterus membesar lebih dari normal selama kehamilan, diantaranya:
a. Jumlah air ketuban yang berlebihan (Polihidramnion)
b. Kehamilan gemelli
c. Janin besar (makrosomia)
2. Kala satu atau kala 2 memanjan
3. Persalinan cepat (partus presipitatus)
4. Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan oksitosin
5. Infeksi intrapartum
6. Multiparitas tinggi
7. Magnesium sulfat yang digunakan untuk mengendalikan kejang pada
preeklamsia atau eklamsia.
8. Umur yang terlalu tua atau terlalu muda (<20 tahun dan >35 tahun).
2. Retensio Plasenta
Retensio plasenta (placental retention) merupakan plasenta yang belum lahir
dalam setengah jam setelah janin lahir. Adanya retensio plasenta member
kontribusi terhadap kejadian perdarahan post partum sebesar 16% - 17%.14

13
Mochtar, R. 2010. Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi Jilid 1. Jakarta
:Buku Kedokteran EGC. Hlm: 152
14
Mochtar, R. 2010. Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi Jilid 1. Jakarta
:Buku Kedokteran EGC. Hlm: 142
7

Klasifikasi Retensio Plasenta


a. Plasenta adhesive, plasenta belum terlepas dari dinding Rahim atau melekat
pada desidua endometrium lebih dalam.
b. Plasenta inkreta, dimana vilikorialis tumbuh lebih dalam dan menembus
desidua sampai ke miometrium.
c. Plasenta akreta, menembus lebih dalam miometrium tetapi tidak menembus
serosa.
d. Plasenta perkreta, yang menembus sampai serosa atau peritoneum dinding
rahim.
e. Plasenta inkarserata, plasenta yang sudah terlepas tetapi belum keluar dan
terletak di bagian bawah rahim (Maryunani, 2009).15
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan plasenta:
1) Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomaly dari uterus atau serviks kelemahan
dan tidak efektifnya kontraksi uterus, kontraksi yang tetanik dari uterus; serta
pembentukan lingkaran bandle.
2) Kelainan dari plasenta, misalnya plasenta letak rendah atau plasenta previa;
dan adanya plasenta akreta.
3) Kesalahan manajemen kata tiga persalinan, seperti manipulasi dari uterus yang
tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan kontraksi
yang tidak ritmik, pemberian uterotonik yang tidak tepat waktunya yang juga
dapat menyebabkan serviks kontraksi dan menahan plasenta serta pemberian
anestesi terutama yang melemahkan uterus.16
Retensio sebagian atau seluruh plasenta dalam rahim akan mengganggu kontraksi
dan retraksi, menyebabkan sinus-sinus tetap terbuka, dan menimbulkan
perdarahan post partum. Begitu bagian plasenta terlepas dari dinding unterus,
perdarahan terjadi di daerah tersebut. Bagian plasenta yang masih melekat

15
Maryunani, A. 2009. Ilmu Kesehatan anak dalam Persalinan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Hm: 104
16
Friedman, E. 2012. Seri Skema Diagnosis dan Penatalaksanaan Obstetri. Jakarta : Bina
Rupa Aksara. Hlm: 203
8

melintangi retraksi miometrium daan perdarahan berlangsung terus, sampai sisa


organ tersebut terlepas serta dikeluarkan (Winjaksatro, 2012).17
3. Plasenta Restan
Adanya sisa plasenta yang sudah terlepas tapi belum keluar akan menyebabkan
perdarahan yang banyak. Plasenta restan member kontribusi terjadinya perdarahan
post partum sebesar 23% sampai 29%. Sebabnya bias karena atonia uteri, karena
adanya lingkaran kontriksi pada bagian bawah rahim akibat kesalahan
penanganan kala III, yang akan menghalangi plasenta keluar.
4. Laserasi jalan lahir
Robekan jalan lahir adalah trauma yang diakibatkan oleh kelahiran bayi yang
terjadi pada serviks, vagina, atau perineum. 18 Pada umumnya robekan jalan lahir
terjadi pada persalinan dengan trauma. Robekan jalan lahir biasanya akibat
episiotomi, robekan spontan perineum, trauma forseps atau vakum ekstraksi, atau
karena versi ekstrasi. Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka
episiotomi, robekan perineum spontan derajat ringan sampai ruptur perineum
totalis (sfingter ani terputus), robekan pada dinding vagina, forniks uteri, serviks,
daerah sekitar klitoris dan uretra dan bahkan yang terberat ruptur uteri. Perdarahan
yang terjadi saat kontraksi uterus baik, biasanya karena ada laserasi ataupun sisa
plasenta.
Faktor risiko terjadinya laserasi jalan lahir adalah sebagai berukut:
a. Faktor Maternal
1) Partus presipitatus yang tidak dikendalikan dan tidak ditolong (sebab paling
sering)
2) Pasien tidak mampu berhenti mengejan
3) Partus diselesaikan secara tergesa-gesa dengan dorongan fundus yang
berlebihan
4) Edema dan kerapuhan pada perineum
5) Varikositas vulva yang melemahkan jaringan perineum

17
Wijaksastro, H. 2012. Buku Acuan Nasional Pelayanan Maternal dan Neonatal. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Sarwono.Hlm: 64
18
Maryunani, A. 2009. Ilmu Kesehatan anak dalam Persalinan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Hlm: 76
9

6) Arcus pubis dengan pintu bawah panggul yang sempit pula sehingga
menekan kepala bayi ke arah posterior
7) Perluasan episiotomi
b. Faktor janin
1) Bayi yang besar
2) Posisi kepala yangg abnormal-misalnya presentasi muka dan
occipitoposterior
3) Kelahiran bokong
4) Ekstraksi forcep yang sukar
5) Distosia bahu
6) Anomali kongenital, seperti hydrocephalus Selain itu, faktor-faktor lain
yang menyebabkan kehilangan darah secara berlebihan, bila terjadi laserasi
yaitu:
a) Interval yang lama antara dilakukan episiotomy dan kelahiran anak.
b) Perbaikan episiotomi setelah bayi dilahirkan tanpa semestinya yaitu
ditunggu terlalu lama.
c) Pembuluh darah yang putus pada ujung episiotomi tidak berhasil dijahit.
d) Pemeriksaan inspeksi tidak dilakukan pada serviks dan vagina bagian
atas.
e) Kemungkinan terdapatnya beberapa tempat cidera tidak terpikirkan
f) Ketergantungan pada obat-obat oksitoksik serta disertai penundaan
terlalu lama mengeksploitasi uterus.19
Derajat Robekan Jalan Lahir:
1) Derajat I : Robekan yang hanya terjadi pada mukosa vagina, vulva bagian
depan, kulit perineum.
2) Derajat II : Robekan terjadi pada mukosa vagina, vulva bagian depan, kulit
perineum dan otot perineum
3) Derajat III : Robekan terjadi pada mukosa vagina, vulva bagian depan, kulit
perineum, otot-otot perineum dan sfingterani eksterna.

19
Hacker, N.F. 2010. Esensial Obtetri dan Ginekologi. Edisi 2. Jakarta: Hipocrates Hlm: 92
10

4) Derajat IV yaitu Robekan yang terjadi pada seluruh perineum dan sfingterani
yang meluas sampai ke mukosa rectum.20
5. Kelainan Bekuan darah
Afibrinogemi atau hipofibrinogemi dapat terjadi setelah abrupsio/solusio plasenta,
retensio plsenta, janin mati yang lama di dalam rahim dan pada emboli cairan
ketuban. Kelainan factor bekuan darah memberi kontribusi terhadap terjadinya
perdarahan post partum sebesar 0,5-0,8%. Salah satu teori etiologic
memperkirakan bahwa bahan tromboplastik yang timbul dari degenerasi dan
otolisis desidua serta plasenta dapat memasuki sirkulasi maternal dan
menimbulkan koagulasi intravaskuler serta penurunan vibrinogen yang beredar.
Kegagalan tersebut yaitu pada kegagalan mekanisme pembekuan, menyebabkan
perdarahan yang tidak dapat dihentikan dengan biasanya dipakai untuk
mengendalikan perdarahan. Kelainan bekuan darah periportal adalah factor yang
beresiko tinggi pada perdarahan pada masa nifas, tetapi untungnya jarang terjadi.
Pasien dengan masalah pembekuan dapat menimbulkan perdarahan masa nifas
karena ketidakmampuannya untuk membentuk bekuan darah yang stabil di tempat
perlekatan plasenta.21

2.1.1.4 Faktor Predisposisi Perdarahan Post Partum


Perdarahan paska persalinan merupakan penyebab kehilangan darah serius
yang paling sering dijumpai di bagian obstetrik. Pada sebagian besar kasus,
perdarahan paska persalinan dapat diramalkan sebelum persalinan terjadi. Hal ini
disebabkan karena banyak factor yang mempunyai arti penting, baik sendiri maupun
gabungan, sebagai faktor risiko terjadinya perdarahan paska persalinan. Disamping
itu faktor risiko tersebut merupakan determinan langsung maupun tidak langsung
terhadap kejadian perdarahan paska persalinan.22 Berdasarkan determinan
perdarahan paska persalinan tersebut dapat di golongkan mejadi dua faktor, yaitu :
faktor ibu dan factor penolong persalinan

20
Maryunani, A. 2009. Ilmu Kesehatan anak dalam Persalinan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Hlm: 76
21
Hacker, N.F. 2010. Esensial Obtetri dan Ginekologi. Edisi 2. Jakarta: Hipocrates. Hlm:
112
22
Hacker, N.F. 2010. Esensial Obtetri dan Ginekologi. Edisi 2. Jakarta: Hipocrates
11

1. Faktor Ibu
a. Paritas
Paritas adalah jumlah melahirkan yang dialami oleh seorang ibu, tanpa
membedakan lahir hidup atau lahir mati.23 Paritas adalah keadaan pada wanita yang
telah melahirkan janin yang beratnya 500 gram atau lebih, mati atau hidup dan
apabila berat badan tidak diketahui maka dipakai batas umur kehamilan 22 minggu
terhitung dari hari pertama haid terakhir yang normal. 24
Pembagian paritas terdiri dari :
1) Primirapa, yaitu seorang wanita yang baru pertama kali melahirkan dimana janin
mencapai usia kehamilan 28 minggu atau lebih.25 Primipara dalah wanita yang
telah melahirkan anak yang variable untuk pertama kalinya. 26
2) Multipara adalah seorang wanita yang telah mengalami hamil dengan usia
kehamilan minimal 28 minggu dan telah melahirkan buah kehamilannya 2 kali
atau lebih.27
3) Grandemultipara adalah seorang wanita yang telah mengalami hamil dengan usia
kehamilan minimal 28 minggu dan telah melahirkan buah kehamilannya lebih dari
4 kali.
Pada multipara akan terjadi kemunduran dan cacat pada endometrium
yang mengakibatkan terjadinya fibrosis pada bekas implantasi plasenta pada
persalinan sebelumnya, sehingga vaskularisasi menjadi berkurang. Untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi janin, plasenta akan mengadakan perluasan implantasi dan vili
khorialis akan menembus dinding uterus lebih dalam lagi sehingga akan terjadi
plasenta adhesive sampai prekreta.28
Pada setiap kehamilan dan persalinan akan terjadi perubahan serabut otot
menjadi jaringan ikat pada uterus. Hal ini dapat menurunkan kemampuan uterus

23
Wijaksastro, H. 2012. Buku Acuan Nasional Pelayanan Maternal dan Neonatal. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Sarwono. Hlm: 117
24
UNPAD, 2009. Obstetri Patologi. Bandung : Bagian Obstetri dan Ginekologi PK
UNPAD.
25
Pusdiknakes, 2013. Konsep Asuhan Kebidanan. Jakarta : Pusdiknakes.
26
Wijaksastro, H. 2012. Buku Acuan Nasional Pelayanan Maternal dan Neonatal. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Sarwono. Hlm: 117
27
Op Cit Hlm; 162
28
Cahyono, I.E. Perbandingan Multipara dan Grandemultipara terhadap Kejadian
Perdarahan Post Partum. Semarang: UNDIP.
12

berkontraksi sehingga sulit melakukan penekanan pada pembuluh-pembuluh darah


yang terbuka setelah lepasnya plasenta, hal ini dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan post partum.29
Ibu dengan paritas tinggi, terutama grandemultipara (melahirkan >4 kali),
seringkali disebut sebagai faktor risiko yang penting pada kejadian perdarahan
postpartum. Perdarahan postpartum pada grandemultipara terjadi akibat otot rahim
sudah kurang mampu berkontraksi dengan baik karena bila terlalu sering melahirkan,
otot rahim akan semakin lemah.30
b. Jarak Persalinan
Jarak persalinan yang kurang dari 2 tahun mengakibatkan kelemahan dan
kelelahan otot rahim, sehingga cenderung akan terjadi perdarahan postpartum. Bila
jarak kelahiran dengan anak sebelumya kurang dari 2 tahun, kondisi rahim dan
kesehatn ibu belum pulih dengan baik, sehingga cenderung mengalami partus lama,
atau perdarahan postpartum. Disamping itu persalinan yang berturut-turut dalam
jarak waktu singkat mengakibatkan uterus menjadi fibrotik, sehingga mengurangi
daya kontraksi dan retraksi uterus. Kondisi seperti ini berakibat terjadinya
perdarahan pospartum.31
c. Riwayat persalinan sebelumnya
Riwayat buruk pada persalinan sebelumnya, seperti persalinan dengan
tindakan, partus lama, retensio plasenta, bekas seksio sesarea, perdarahan dan
sebagainya mempengaruhi kejadian perdarahan postpartum.32 Sebagai contoh bila
ibu pada persalinan sebelumnya telah mengalami perdarahan postpartum,
kemungkinan besar hal yang serupa akan dialaminya kembali bila melahirkan.33

29
Mochtar, R. 2010. Sinopsis Obstetri :Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi Jilid 1. Jakarta
:Buku Kedokteran EGC.
30
Gurning, F. 2004. Gambaran Kasus Perdarahan Post Partum di RSU Dr. Pirngadi Medan
tahun 2000-2003. Skripsi
31
Manuaba, 2010. Anemia dalam Kehamilan. Jakarta : EGC. Hlm: 123
32
Arifin, 2013. Gambaran Pengetahuan Kasus Kegawatdaruratan Obstetri di RSU Tanjung
Para Kabupaten Langkat dan di RSU Kisaran Kabupaten Asahan. Medan
33
Depkes RI, 2010. Perdarahan Post Partum Materi untuk pengajar. Jakarta : Pusdiknas
dan Dirjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat.
13

d. Partus lama
Partus lama adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam untuk
primigravida dan atau lebih dari 18 jam untuk multigravida. Akibat dari partus lama,
apabila tidak segera ditangani, akan terjadi dehidrasi, asfiksia bayi, ruptura uteri,
infeksi dan kematian ibu akibat perdarahan. Mekanisme terjadinya perdarahan pada
partus lama adalah oleh karena kelemahan dan kelelahan otot rahim.34
e. Usia Kehamilan
Umur Kehamilan adalah masa sejak sejak hari pertama haid terakhir
sampai bayi dilahirkan, dihitung dalam minggu. 35 Ibu melahirkan dengan usia
kehamilan < 37 minggu disebut persalinan preterm. Pada ibu yang mengalami
persalinan preterm ini dapat merupakan faktor risiko untuk terjadinya retensio
plasenta. Retensio plasenta merupakan faktor risiko dan penyebab langsung
terjadinya perdarahan postpartum.36
f. Status gizi
Asupan gizi pada ibu hamil merupakan suatu hal yang sangat penting. Hal
ini disebabkan karena pada ibu hamil, disamping makan untuk dirinya sendiri, juga
untuk janin yang dikandungnya. Ibu dengan status gizi buruk mempunyai risiko
untuk mengalami perdarahan postpartum dan infeksi pada masa nifas.37
g. Anemia kehamilan
Bila ibu menderita Anemia berat selama kehamilan, maka ia akan sering
mengalami sesak nafas, edema, gagal jantung kongestif, anoksia otak, sehingga
sering mengakibatkan kematian ibu.38
Pada saat persalinan dapat terjadi gangguan his, kala pertama dapat
berlangsung lama sehingga terjadi partus lama. Kondisi seperti ini dapat diikuti oleh
retensio plasenta dan perdarahan postpartum karena atonia uteri. Disamping itu ibu
hamil dengan Anemia yang diperparah dengan perdarahan pada saat persalinan, maka
keadaan ini akan memudahkan terjadinya infeksi masa nifas.39

34
Of Cit. Hlm: 135
35
Of Cit. Hlm: 64
36
Manuaba, 2010. Anemia dalam Kehamilan. Jakarta : EGC. Hlm: 105
37
Lodermik, D.I. 2009. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Edisi 4. Jakarta: EGC. Hlm: 75
38
Of Cit. Hlm: 32
39
Komalasari, 2005. Buku ajar Keperawatan Maternitas. Edisi 4 Jakarta : EGC. Hlm: 23
14

h. Umur ibu
Umur ibu saat melahirkan mempunyai pengaruh terhadap timbulnya
perdarahan postpartum. Ibu dengan umur di bawah 20 tahun, rahim dan panggul
sering kali belum tumbuh mencapai ukuran dewasa. Sebagai akibatnya pada umur
tersebut bila melahirkan, bisa mengalami persalinan lama, sehingga berisiko
terjadinya perdarahan postpartum. Bila umur di atas 35 tahun, kondisi kesehatan ibu
sudah menurun, sehingga hamil pada umur tersebut mempunyai kemungkinan lebih
besar untuk terjadi persalinan lama dan perdarahan postpartum.40
i. Antenatal Care
Apabila pemeriksaan kehamilan dilakukan dengan cara yang teratur, dan
dilakukan oleh tenaga yang profesional, maka kelalaian selama kehamilan dapat
terdeteksi, sehingga komplikasi yang timbul saat persalinan seperti perdarahan
postpartum dapat diperkirakan.41
2. Faktor Penolong Persalinan
Diantara prioritas yang disusun pada Konsultasi Teknis Keselamatan Ibu
di Sri Lanka tahun 1997 dan Simposium International tentang Keselamatan Ibu di
Washington DC tahun 1998, adalah memastikan adanya petugas terlatih pada setiap
kelahiran dan meningkatkan akses pelayanan kesehatan ibu yang bermutu. Pada
pedoman Managing Complication in Pregnacy and Childbirth, menekankan untuk
melembagakan secara resmi jenis-jenis ketrampilan yang dibutuhkan dari para dokter
dan bidan di rumah sakit rujukan (Maulany, 2007).
Di negara-negara berkembang hanya separuh dari jumlah ibu hamil
melahirkan dengan bantuan bidan, dan hanya 40 % melahirkan di rumah sakit atau
puskesmas. Di Indonesia penolong persalinan dapat digolongkan menjadi penolong
medis (bidan, dokter) dan non medis (dukun). Bidan menurut Kepmenkes RI N0. 900
Tahun 2002 adalah seorang wanita yang telah mengikuti program Pendidikan bidan
dan lulus ujian sesuai dengan persyaratan yang berlaku, sedangkan praktik bidan
adalah serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh bidan kepada

40
Rochjati, P. 2007. Pemantauan Kematian Ibu dan Kematian Bayi Baru Lahir Melalu
Sistem Rujukan Terencana di Kabupaten Nganjuk, Probolinggo Jawa Timur. Buletin
Penelitian Kesehatan Badan Pelatihan dan Penelitian.
41
Of cit. Hlm: 45
15

pasien (individu, keluarga dan masyarakat) sesuai dengan kewenangan dan


kemampuannya.42
Kewenangan Bidan dalam menjalankan praktiknya sebagaimana tercantum
dalam Kepmenkes RI No. 900 Tahun 2002 BAB V Pasal 14 adalah sebagai berikut:
a) Pelayanan kebidanan
b) Pelayanan keluarga berencana
c) Pelayanan kesehatan masyarakat
Pelayanan kebidanan kepada ibu meliputi (Pasal 16 ayat (1)):
1) Penyuluhan dan konseling
2) Pemeriksaan fisik
3) Pelayanan Antenatal pada kehamilan normal
4) Pertolongan pada kehamilan abnormal yang mencakup ibu hamil dengan
abortus iminens, hiperemesis gravidarum tingkat I, preeklamsi ringan dan
Anemia ringan
5) Pertolongan persalinan normal
6) Pertolongan persalinan abnormal yang mencakup letak sungsang, partus macet
kepala di dasar panggul, ketuban pecah dini (KPD) tanpa infeksi, perdarahan
post partum, laserasi jalan lahir, distosia karena inersia uteri primer, post term
dan pre term
7) Pelayanan ibu nifas normal
8) Pelayanan ibu nifas abnormal yang mencakup retensio plasenta dan infeksi
ringan
9) Pelayanan dan pengobatan pada kelainan ginekologi yang meliputi keputihan,
perdarahan tidak teratur dan penundaan haid
Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dalam pasal 18
KEPMENKES berwenang untuk:
1) Memberikan imunisasi
2) Memberikan suntikan pada penyulit kehamilan, persalinandan nifas
3) Mengeluarkan plasenta secara manual
4) Bimbingan senam hamil

42
Kemenkes RI, 2014. Profil Kesehatan Indonesia.Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
16

5) Pengelupasan sisa jaringan konsepsi


6) Episiotomi
7) Penjahitan luka episiotomi dan luka jalan lahir sampai tingkat II
8) Amniotomi pada pembukaan serviks lebih dari 4 cm
9) Pemberian infus
10) Pemberian suntikan intramuskuler uterotonika, antibiotika dan secativa
11) Kompresia bimanual
12) Versi ekstraksi gemelli pada kelahiran bayi kedua dan seterusnya
13) Vacum ekstraksi dengan kepala bayi di dasar panggul
14) Pengendalian Anemia
15) Meningkatkan pemeliharaan dan penggunaan air susu ibu
16) Resusitasi pada bayi baru lahir dengan asfiksia
17) Penanganan hipotermi
18) Pemberian minum dengan sonde/pipet
19) Pemberian obat-obat terbatas melalui lembaran permintaan obat
20) Pemberian surat keterangan kelahiran dan kematian (Kemenkes, 2014).

2.1.2 Kontraksi Persalinan


2.1.2.1 Definisi Persalinan
Persalinan terjadi pada ibu hamil dengan usia kehamilannya sudah cukup
bulan yaitu rentang 37 sampai dengan 42 minggu yang mana hal tersebut merupakan
suatu proses fisiologis adanya kontraksi uterus yang menyebabkan terjadinya
penipisan dan perubahan serviks (membuka dan menutupnya serviks) secara
progresif sehingga bayi akan keluar melalui jalan lahir.43

2.1.2.2 Tahapan Persalinan


Dalam proses persalinan pervagina terdapat empat tahapan. Tahapan
dalam proses persalinan, yaitu:
1. Kala I
Kala I tahap persalinan atau disebut juga sebagai tahap dilatasi ini berlangsung
sejak adanya kontraksi uterus secara progresif dan diakhiri dengan membukanya

43
. Reeder, dkk. 2011. Keperawatan Maternitas Kesehatan Wanta, Bayi Dan Keluarga. Edisi
8. Jakarta: EGC. Hlm. 53
17

serviks secara lengkap (10 cm). Pembukaan serviks pada ibu yang pernah
melahirkan lebih cepat dibandingkan dengan ibu yang baru pertama kali
melahirkan. Kala I dibagi menjadi 3 fase, yaitu:
a. Fase Laten
Fase laten merupakan awal dari kala I. Fase laten dimulai dengan adanya
kontraksi uterus dan akan berlangsung selama beberapa jam sehingga
mencapai perubahan pada serviks yaitu dengan terjadinya pelunakan,
penipisan, dan serviks akan tampak sedikit membuka sekitar 3-4 cm.
b. Fase Aktif
Pada fase ini terjadi peningkatan intensitas dan lama kontraksi uterus yang
mana kontraksi lebih sering terjadi setiap 3-5 menit. Fase ini berakhir pada saat
serviks sudah mengalami pembukaan sekitar 7 cm. Menurut Wagiyo &
Putrono (2016), fase aktif ini terbagi dalam 3 fase, yaitu pertama fase
akselerasi, fase ini terjadi dalam waktu 2 jam yang mana pembukaan serviks
dari 3 cm menjadi 4 cm. Kemudian yang kedua fase dilatasi maksimal, disebut
fase dilatasi maksimal karena fase ini merupakan fase pembukaan serviks
tercepat yaitu dalam waktu 2 jam, pembukaan serviks yang awalnya 4 cm ini
menjadi 9 cm. Fase ketiga dari fase aktif ini ada fase deselerasi merupakan fase
perlambatan, karena dalam fase ini serviks mengalami pembukaan yang lambat
yaitu dalam waktu 2 jam pembukaan serviks yang awalnya membuka 9 cm
menjadi lengkap (10 cm).
c. Fase Transisi
Fase ini biasanya kontraksi uterus semakin lebih teratur dan sering terjadi yaitu
kurang lebih setiap 2 sampai dengan 3 menit sekali. Kondisi ini menandakan
bahwa pembukaan serviks sudah lengkap.44

2. Kala II
Kala II merupakan tahap dimana pembukaan serviks sudah lengkap hingga
keluarnya bayi melalui jalan lahir. Estimasi waktu kala II rata-rata 50 menit untuk

44
. Oktarina, M. 2016. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Persalinan dan Bayi Baru Lahir.
Yogyakarta : Deepublish. Hlm: 32
18

ibu yang baru pertama kali melahirkan dan sekitar 20 menit untuk ibu yang
pernah melahirkan sebelumnya (multipara).45
Kontraksi uterus akan lebih sering terjadi pada kala II dengan interval kurang
lebih 2 hingga 3 kali per 10 menit atau setiap 2 sampai 3 menit sekali. Pembukaan
lengkap (10 cm) biasanya ditandai dan diikuti oleh adanya semburan cairan dari
vagina yang sering disebut dengan pecah ketuban. Dengan pecahnya ketuban ini
menyebabkan adanya tekanan kepala bayi pada serviks semakin kuat sehingga
dengan kondisi ini ibu tidak dapat menahan keinginannya untuk meneran. Adanya
kontraksi dan kekuatan ibu meneran ini akan mendorong kepala hingga
membukakan jalan lahir, secara berurutan lahir dahi, muka dan dagu melewati
perineum.46
Setelah kepala lahir, bayi secara langsung akan melakukan putaran paksi luar
yaitu kepala dan punggung bayi akan melakukan penyesuaian. Apabila awalnya
ubun-ubun kecil kepala bayi mengarah ke kanan panggul ibu, maka kepala bayi
akan berputar ke arah kanan. Setelah kepala melakukan perputaran, bahu depan
bayi akan lahir di bawah simfisis pubis kemudian disusul dengan lahirnya bahu
belakang melalui perineum, dibantu dengan menarik tubuh bayi ke atas. dengan
begitu bayi akan segera keluar setelah bahu berhasil dilahirkan.

3. Kala III
Kala III merupakan tahap pengeluaran plasenta yang dimulai sejak lahirnya bayi
hingga lahirnya plasenta lengkap. Estimasi waktu yang dibutuhkan untuk
melahirkan plasenta lengkap sekitar 15-20 menit untuk nulipara maupun
multipara. Pada kala III dibagi menjadi dua fase yaitu fase pelepasan plasenta dan
fase pengeluaran plasenta. Menurut Schultz, bagian tengah plasenta akan lepas
lebih dulu sehingga akan terjadi bekuan retroplasenta. Dengan begitu, perdarahan
tidak akan terjadi sebelum plasenta benar-benar lahir. Nantinya plasenta akan
keluar melalui serviks setelah plasenta benar-benar lepas.47

45
. Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Bina Pustaka Sarwono. Hlm: 62
46
. Oktarina, M. 2016. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Persalinan dan Bayi Baru Lahir.
Yogyakarta : Deepublish. Hlm: 42
47
. Op Cit
19

4. Kala IV
Dikatakan memasuki kala IV yaitu ketika plasenta sudah lahir lengkap sampai
dengan 2 jam setelahnya. Seringnya terjadi atonia uteri, terdapat luka pada jalan
lahir, atau adanya sisa plasenta yang masih tertinggal ini biasanya mengakibatkan
terjadinya perdarahan pada ibu setelah melahirkan sehingga membutuhkan
perhatian para penolong persalinan. Maka dari itu, adanya perdarahan dana
keadaan umum ibu setelah melahirkan harus selalu dipantau oleh penolong
persalinan (tenaga medis yang berwenang).48

2.1.2.3 Kontraksi Uterus (His)


Kontraksi uterus merupakan gelombang kontraksi berirama otot polos
dinding uterus yang berawal dari daerah fundus uteri. Otot-otot polos tersebut akan
bekerja dengan baik dan sempurna pada saat terjadi kontraksi uterus. Hal ini terjadi
karena otot polos memiliki sifat kontraksi simetris, fundus dominan, dan relaksasi.
Otot-otot tersebut akan menguncup pada saat terjadi kontraksi uterus sehingga otot
akan menebal dan memendek.
Kontraksi uterusbersifat terjadi secara tidak sadar, terjadi berselang, akan
menimbulkan rasa sakit, terkoordinasi, dan terkadang dipengaruhi oleh fisik, kimia,
serta psikis. Frekuensi his juga mempengaruhi lama waktu kala II. Semakin tinggi
frekuensi his, maka waktu yang ditempuh pada kala II akan semakin berkurang, dan
juga sebaliknya.49

2.1.2.4 Pencegahan dan Penanganan Perdarahan Post Partum


Cara yang terbaik untuk mencegah terjadinya perdarahan post partum
adalah memimpin kala II dan kala III persalinan secara legartis. Apabila persalinan
diawasi oleh seorang dokter spesialis obstetric dan ginekologi ada yang
menganjurkan untuk memberikan suntikan ergometrin secara IV setelah anak lahir,
dengan tujuan untuk mengurangi jumlah perdarahan yang terjadi.
Penanganan umum pada perdarahan post partum:

48
. Wagiyo., Prutomo. 2016. Asuhan Keperawatan Antenatal, Intranatal, dan Bayi Baru Lahir
Fisiologis dan Patologis. Yogyakarta : ANDI. Hlm: 72
49
. Sumarni, N, dkk. 2012. Pengaruh Varietas, Status K-Tanah, Dan Dosis Pupuk Kalium
Terhadap Pertumbuhan, Hasil Umbi, Dan Serapan Hara K Tanaman Bawang Merah. Jurnal
Hortikultura. Vol: 22. No: 3. Hal: 2 – 8.
20

1. Ketahui dengan pasti kondisi pasien sejak awal (saat masuk)


2. Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih dan aman (termasuk
upaya pencegahan perdarahan pasca persalinan)
3. Lakukan observasi melekat pada dua jam pertama pasca persalinan (di ruang
persalinan) dan lanjutkan pemantauan terjadwal hingga 4 jam berikutnya (di
ruang rawat gabung).
4. Selalu siapkan keperluan tindakan gawat darurat
5. Segera lakukan penilaian klinik dan upaya pertolongan apabila dihadapkan
dengan masalah dan komplikasi
6. Atasi syok
7. Pastikan kontraksi berlangsung baik (keluarkan bekuan darah, lakukan pijatan
uterus, berikan uterotonika 10 IU IM dilanjutkan infuse 20 IU dalam 500 cc
NS/RL dengan 40 tetesan permenit.
8. Pastikan plasenta telah lahir dan lengkap, eksplorasi kemungkinan robekan
jalan lahir.
9. Bila perdarhan terus berlangsung, lakukan uji bekuan darah.
10. Pasang kateter tetap dan lakukan pemantauan input-output cairan
11. Cari penyebab perdarahan dan lakukan penanganan speifik.50

50
Elisabeth, S.W. 2015. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal. Yogyakarta :
Pustakabarupress.Hlm: 43
21

2.1.2.5 Penatalaksanaan Perdarahan Post Partum


1. Penatalaksaan Perdarahan Post Partum Karena Atonia Uteri

2. Penatalaksaan Perdarahan Post Partum Karena Retensio Plasenta


a. Jika plasenta terlihat dalam vagina, mintalah ibu untuk mengedan. Jika
pemeriksa dapat merasakan plasenta dalam vagina, keluarkan plasenta
tersebut.
b. Pastikan kantung kemih kosong. Jika diperlukan, lakukan kateterisasi
kantung kemih.
c. Jika plasenta belum keluar, berikan oksitosin 10 IU secara I.M. jika belum
dilakukan padapenanganan aktif kala.
d. Jika plasenta belum dilahirkan setelah 30 menit pemberian oksitosin dan
uterus terasaberkontraksi, lakukan penarikan tali pusat terkendali.
22

e. Jika traksi tali pusat terkendali belum berhasil, cobalah untuk melakukan
pengeluaranplasenta secara manual.
f. Jika perdarahan terus berlangsung, lakukan uji pembekuan darah sederhana.
g. Jika terdapat tanda-tanda infeksi, berikan antibiotika.
3. Penatalaksaan Perdarahan Post Partum Karena Inversio Uteri
a. Memanggil bantuan anastesi dan memasang infus untuk cairan/darah
pengganti danpemberian obat.
b. Beberapa memberikan tokolitik untuk melemaskan uterus yang berbalik
sebelumdilakukan reposisi manual yaitu mendorong endometrium ke atas
masuk ke dalam vagina danterus melewati serviks sampai tangan masuk ke
dalam uterus pada posisi normalnya. Hal itudapat dilakukan sewaktu
plasenta sudah terlepas atau tidak.
c. Di dalam uterus plasenta dilepaskan secara manual dan bila berhasil
dikeluarkan darirahim dan sambil memberikan uteronika lewat infus atau
i.m. tangan tetap dipertahankanagar konfigurasi uterus kembali normal.
d. Pemberian antiobiotika dan tranfusi darah sesuai dengan keperluannya.
e. Intervensi bedah dilakukan bila jepitan serviks yg keras menyebabkan
manuver di atastidak bisa dikerjakan, maka dilakukan laparotomi untuk
reposisi dan kalau terpaksa dilakukanhisterektomi bila uterus sudah
mengalami infeksi dan nekrosis.
4. Penatalaksaan Perdarahan Post Partum Karena Laserasi Jalan Lahir
Robekan perineum yang melebihi tingkat satu harus dijahit. Hal ini dapat
dilakukan sebelum plasenta lahir, tetapi apabila ada kemungkinan plasenta
harus dilakukan secara manual, tetapi lebih baik tindakan itu ditunda sampai
plasenta lahir. Pasien dianjurkan untuk berbaring dalam posisi litotomi
dilakukan pembersihan luka dengan cairan antiseptic dan luas robekan
ditentukan dengan seksama.
Pada robekan perineum tingkat dua, setelah di beri anestesi local otot-otot
diafragma urogenetalis dihubungkan di garis tengah dengan jahitan dan
kemudian luka pada vagina dan kulit perineum ditutup dengan
mengikutsertakan jaringan- jaringan di bawahnya.
23

Menjahit robekan tingkat tiga harus dilakukan dengan teliti, mula-mula dinding
depan rectum yang robek dijahit, kemudian vasia prarektal ditutup dan
muskulus sfingter ani eksternus yang robek dijahit. Selanjutnya dilakukan
penutupan robekan perineum tingkat dua.

2.2 Kerangka Teori


Perdarahan post partum atau perdarahan pasca persalinan adalah salah satu
penyebab kematian ibu melahirkan. Perdarahan pasca persalinan atau perdarahan
post partum adalah perdarahan melebihi 500 ml yang terjadi setelah bayi lahir. 51
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perdarahan postpartum
meliputi faktor ibuparitas, jarak persalinan, riwayat persalinan sebelumnya, partus
lama, usia kehamilan, status gizi anemia kehamilan, umur ibu, antenatal care dan
faktor penolong persalinan meliputi pelayanan kebidanan, pelayanan keluarga
berencana dan pelayanan kesehatan masyarakat (Manuaba, 2010).52

Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian

Perdarahan
Post Partum

Penyebab Penolong Persalinan

1. Ibuparitas, 1. Pelayanan Kebidanan


2. Jarak Persalinan, 2. Pelayanan Keluarga
3. Riwayat Persalinan Berencana dan
Sebelumnya, 3. Pelayanan Kesehatan
4. Partus Lama, Masyarakat
5. Usia Kehamilan,
6. Status Gizi Anemia
Kehamilan,
7. Umur Ibu,
8. Antenatal Care
51
Ambarawati, 2012. Asuhan Kebidanan Nifas. Jogjakarta : Mita Cendika Press. Hlm: 32
52
Manuaba, 2010. Anemia dalam Kehamilan. Jakarta : EGC. Hlm: 103
24

2.3 Kerangka Konsep


Gambar 2.1 Kerangka Konsep

Kontraksi Perdarahan
Persalinan Post Partum

Keterangan :
Variabel Terikat : Perdarahan Post Partum
Variabel Bebas : Kontraksi Persalinan

Anda mungkin juga menyukai