Anda di halaman 1dari 8

FILSAFAT HUKUM

Referensi : Theo Hujibers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius,


Yogyakarta.

1. Filsafat Hukum Pada Zaman Yunani Kuno

Plato (42 7-347 SM), dalam buku Politeia, dalam dunia fenomena terdapat


negara-negara yang real dan kurang sempurna, sedangkan dalam dunia eidos
terdapat negara yang ideal. Yaitu suatu negara yang teratur secara adil. Sedangkan
dalam buku Nomoi (undang-undang).

Pandangan dalam pembentukan undang-undang. Kitab undang-undang


didahului suatu perembukan tentang motif dan tujuan mentaati undang-undang.
Dapat disimpulkan bahwa ajaran plato tentang negara dan hukum mengandung
unsur-unsur yang baik bagi perkembangan suatu negara yang adil dan merdeka.

Aristoteles (348-322 SM) yang menulis buku Politika juga memberikan


tawaran baru pada pengertiannya tentang hukum. Menurut Aristoteles, manusia
merupakan "makhluk polis" (zoon politicon), dimana manusia harus ikut dalam
kegiatan politik dan taat pada hukum polis. Kemudian Aristoteles membagi
hukum menjadi 2 (dua). Pertama adalah hukum alam yaitu suatu hukum yang
berlaku selalu dan dimana-mana karena hubungannya dengan aturan alam. Yang
kedua adalah hukum positif, yaitu hukum yang dibuat oleh manusia yakni dalam
undang-undang. Dimana undang-undang tersebut belaku setelah ditetapkan oleh
instasi yang berwibawa. Aristoteles yang pertama kalinya membedakan antara
hukum alam dan hukum positif yang mana bertujuan paa keadilan.

2. Filsafat Hukum Pada Zaman Romawi

Pada permulaan Kerajaan Romawi (abad 8 SM), peraturan Romawi hanya


untuk kota Roma (753 SM). Aliran filsafat yang mempengaruhi orang romawi
pada hukum adalah aliran stoa. Ide dasar aliran stoa, semua yang ada merupakan
kesatuan yang teratur (kosmos), dan prinsip kesatuan yakni jiwa dunia (logos).

Sehingga hidup bersama manusia mempunyai hubungan dengan logos yakni


melalui hukum universal (lex universalis), hukum abadi (lex aeterna) dan hukum
alam (lex naturalis).
Menurut cicero, negara merupakan perkumpulan orang banyak yang
dipersatukan melalui aturan hukum berdasarkan kepentingan bersama.

Salah satu hal yang penting adalah ius gentium yakni timbulnya hukum
bangsa-bangsa. Hukum bangsa-bangsa tidak lain dari pada hukum alam yang
sudah menjadi hukum positif pada segala bangsa. Pengaruh dari ius gentium itu
masuk codex iustinianus pada abad VI. Melalui jalaan ini hukum romawi kuno
menjadi sumber utama dari hukum perdata modern.

3. Filsafat Hukum Pada Zaman Pencerahan (Reisinence)


1. SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKUM

2. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Yunani Kuno (600 SM – 400 SM)

Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Pertengahan (400 – 1500)

Perkembangan sejarah filsafat hukum pada zaman pertengahan dimulai sejak


runtuhnya kekuasaan kekaisaran Romawi pada abad ke-5 SM (masa gelap/the
dark ages) yang ditandai dengan kejayaan agama Kristen di Eropa (masa
scholastic), dan mulai berkembangnya agama Islam. Sebelum ada zaman
pertengahan terdapat suatu fase yang disebut dengan Masa Gelap, terjadi pada
saat Kekaisaran Romawi runtuh dihancurkan oleh suku-suku Germania, sehingga
tidak ada satupun peninggalan peradaban bangsa Romawi yang tersisa, sehingga
masa ini dikenal sebagai masa gelap.

Pada abad pertengahan, pengaruh teologi gereja katolik sangat berpengaruh.


Hal ini disebabkan oleh lahirnya gagasan unity dari Tuhan yang melibatkan satu
gereja dan satu kepercayaan dan tentunya berpengaruh terhadap reputasi
perkembangan filsafat menjadi tidak mengutungkan sehingga segala sesuatu yang
bertentangan pendapat dengan gereja dianggap sebagai dosa dan harus
dimusnahkan

Tokoh-tokoh filsafat hukum yang hidup di zaman ini, antara lain Augustinus
(354-430) dan Thomas Aquino/Thomas Aquinas (1225-1275). Dalam
perkembangannya, pemikiran para filsuf di zaman pertengahan tidak terlepas dari
pengaruh filsuf pada zaman Yunani, misalnya saja Augustinus mendapat
pengaruh dari Plato tentang hubungan antara ide-ide abadi dengan benda-benda
duniawi. Tentu saja pemikiran Augustinus bersumber dari Tuhan atau Budi Allah
yang diketemukan dalam jiwa manusia.

Sedangkan Thomas Aquinas sebagai seorang rohaniwan Katolik telah


meletakkan perbedaan secara tegas antara hukum-hukum yang berasal dari wahyu
Tuhan (Lex Aeterna), hukum yang dijangkau akal budi manusia (Lex Divina),
hukum yang berdasarkan akal budi manusia (Lex Naturalis), dan hukum
positif (Lex Positivis). Pandangan Thomas Aquinas mengenai Negara dapat
ditemui dalam tulisannya “De Regimine Principum”, dimana tampak pengaruh
Aristoteles dimana manusia itu menurut kodratnya adalah makhluk
kemansyarakatan. Oleh karena itu, mereka harus hidup bersama orang lain dalam
masyarakat. Menurut Thomas Aquinas, monarchi adalah bentuk pemerintahan
yang terbaik sebab dapat memelihara perdamaian yang sebaik-baiknya oleh
kesatuan pikiran dari pemerintahannya. Akan tetapi kalau pemerintah tidak adil,
maka ini adalah bentuk pemerintahan yang seburuk-buruknya.

Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Modern (1500-1800)

Pada zaman ini ditandai oleh pemberontakan terhadap dominasi gereja, para
filsuf telah meletakkan dasar bagi hukum yang mandiri, yang terlepas sama sekali
dari hukum abadi yang berasal dari Tuhan. Tokoh-tokoh yang berperan sangat
penting pada abad pertengahan ini, antara lain: William Occam (1290-1350),
Rene Descartes (1596-1650), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-
1704), George Berkeley (1685-1753), David Hume (1711-1776), Francis Bacon
(1561-1626), Samuel Pufendorf (1632-1694), Thomasius (1655-1728), Wolf
(1679-1754), Montesquieu (1689-1755), J.J. Rousseau (1712-1778), dan
Immanuel Kant (1724-1804). Zaman modern ini juga disebut Renaissance yang
artinya lahir kembali yaitu dilahirkan kembali sebagai manusia yang bebas untuk
berfikir dan berkesenian. Terlepasnya alam pikiran manusia dari ikatan-ikatan
keagamaan menandai lahirnya zaman ini.Tentu saja zaman Renaissance
membawa dampak perubahan yang tajam dalam segi kehidupan manusia,
perkembangan teknologi yang sangat pesat, berdirinya negara-negara baru,
ditemukannya dunia-dunia baru, lahirnya segala macam ilmu baru, dan
sebagainya.

Demikian juga terhadap dunia pemikiran hukum, rasio manusia tidak lagi
dapat dilihat sebagai penjelmaan dari rasio Tuhan, sehingga rasio manusia sama
sekali terlepas dari ketertiban ketuhanan. Rasio manusia ini dipandang sebagai
satu-satunya sumber hukum. Pandangan ini jelas dikumandangkan oleh para
penganut hukum alam yang rasionalistis dan para penganut faham positivisme
hukum.
Awal tonggak penting perubahan pada masa modern ini adalah munculnya
teori baru yang dikenal dengan Revolusi Copernicus (1473-1543) dengan berani
menantang pandangan geosentris bahwa tata surya berpusat pada bumi dan
memperkenalkan teori baru yaitu helosentris bahwa matahari sebagai psat tata
surya.

Kemudian dilanjutkan oleh Rene Descartes (1596-1650) alias Cartesius


dikenal juga sebagai Bapak Filsafat Modern yang mempelopori aliran
Rasionalisme dimana menegaskan bahwa ada tiga hal pokok yang bersifat kodrati
pada diri manusia yaitu realitas pikiran, realitas materi dan realitas Tuhan.
Realitas pikiran dianggap sebagai realitas manusia yang menyebabkan manusia
memiki keistemewaan. Realitas materi menjadi penyempurna realitas berfikir
yang manusia miliki, tanpa realitas materi maka realitas pikiran tak berarti apa-
apa. Realitas Tuhan dimaknai sebagai realitas yang sesungguhnya tanpa
ketergantungan realitas pikiran yang materi. Beliau berpendapat agar ilmu
( termasuk filsafat ) dapat dipahami secara baik, mutlak diperlukan suatu metode
yang baik dimana metode ini dicapai melalui cara berpikir yang sungguh-sungguh
dengan meragukan segala-galanya sehingga pada akhirnya akan diperoleh suatu
pengertian yang terang dan jelas. Descartes juga memperkealkan metode berfikir
deduktif logis yang umumnya diterapkan untuk ilmu-ilmu alam.

Thomas Hobbes merupakan salah satu filsafat dengan aliran hukum alam
dimana mempunyai prinsip pokok yaitu hak alami utk menjaga diri. Asal mula
terbentuknya negara adalah kontrak sosial untuk hidup bersama sehingga
pentingnya kekuasaan negara yg besar harus diberikan kepada penguasa yg
absolut. Dan oleh karena negara dan hukum diwujudkan manusia, maka
kebenarannya tergantung dari manusia.

John Locke banyak mencetuskan filosofi mengenai Negara hukum yaitu suatu
Negara bisa dikatakan menjadi negara hukum jika prinsip-prinsip dari hukum
privat dan hukum publik diwujudkan untuk mengatasi kesewenang-wenangan.
John Locke juga membagi fungsi ketatanegaraan menjadi tiga bagian yaitu
legislative, eksekutif, federative. John Locke mempunyai prinsip pokok dimana
Negara dibentuk untuk menjamin hak-hak orang dan Negara tidak mempunyai
kemampuan untuk mencabut hak alam manusia.

Aliran empirisme dipelopori oleh David Hume (1711-1776) dimana


menekankan pada sifat empiris atau dengan kata lain harus berdasarkan
pengalaman dan memiliki bukti terhadap suatu hal. Oleh karena itu Ia lebih
mencermati dua persoalan pokok yaitu substasi dan kausalitas.

Pada zaman modern juga berkembang aliran kritisme yang dipelopori oleh
Immanuel Kant (1724-1804) dimana menurut Immanuel Kant bahwa pendekatan
empiris maupun rasionalisme memiliki kelebihan dan kekurangan. Dalam hal ini,
ia berpendapat bahwa pada saat tertentu pengetahuan diperoleh melalui indera
manusia, akan tetapi pada sisi lain kondisi-kondisi batiniah manusia mengenai
proses-proses yang tunduk pada kausalitas yang tak terbantahkan sehingga dapat
dikatakan bahwa titik berat filsafat zaman modern adalah pada manusia itu sendiri
(mikro-kosmos), bukan pada kosmos seperti zaman kuno atau Tuhan seperti pada
Abad Pertengahan.

Montesquieu, antara hukum alam dan situasi konkrit bangsa erat


hubungannya. Hukum alam berlaku untuk manusia sebagai manusia dimana
perealisasian dalam bentuk hukum dan negara tergantung dari situasi, histories,
psikis, cultural suatu bangsa sehingga Undang-Undang yang dilahiran berbeda-
beda. Montesquieu berpendapat bahwa bentuk Negara yag ideal ada tiga bentuk
pemerintahan Negara yaitu monarchi, republik, despotism. Seperti John Locke, ia
membagi fungsi ketatanegaraan menjadi tiga bagian yang dikenal dengan istilah
Trias politica yang terdiri dari legislative, eksekutif, yudikatif .

Rousseau berpendapat bahwa kontrak social dapat terbentuk apabila


kebebasan asli dapat dipertahankan jika setiap orang dan harta bendanya
menyerahkan diri pada masyarakat. Sesudah kontrak, manusia bebas lagi, sebab
apa yg telah diserahkan tadi akan dikembalikan kepada orang-orang utk
perkembangan masing-masing. Dengan kontrak sosial manusia mendapat
pengesahan dari hak-haknya sebagai manusia, baik secara moral, yuridis.

Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Sekarang (setelah 1800)


Yang dimaksud dengan zaman sekarang dimulai pada abad ke-19.Filsafat
hukum yang berkembang di zaman modern berbeda dengan filsafat hukum yang
berkembang pada zaman modern.Jika pada zaman modern berkembang
rasionalisme, maka pada zaman sekarang rasionalisme yang berkembang
dilengkapi dengan empirisme, seperti Hobbes. Namun, aliran ini berkembang
pesat pada abad ke-19, sehingga faktor sejarah juga mendapat perhatian dari para
pemikir hukum pada waktu itu, seperti Hegel (1770-1831), Karl Marx (1818-
1883), juga von Savigny sebagai pelopor mazhab sejarah.

Hegel merupakan tokoh utama dalam idealisme Jerman, ia merupakan penerus


rasionalisme yang dikembangkan oleh Immanuel Kant. Menurut Hegel, rasio
tidak hanya rasio individual melainkan juga rasio Keilahian. Teorinya
disebut Dialektika, yang popularitasnya mengalahkah ahli pikir di zamannya,
seperti J.F. Fichte (1762-1814) dan F.W.J. Schelling (1775-1854).

Menurut teori dialektika Hagel, setiap fase dalam perkembangan dunia


merupakan rentetan dari fase berikutnya, artinya setiap pengertian mengandung
lawan dari pengertian itu sendiri. Perkembangan dari yang ada kepada yang tidak
ada atau sebaliknya mengandung katagori yang ketiga, yaitu akan menjadi.
Tritunggal tersebut terdiri dari these-antithese-synthese, yang pada akhirnya dari
setiap synthese merupakan titik tolak dari tritunggal yang baru.Selain Hegel,
masih ada beberapa ahli pikir lain, seperti Karl Marx dan Engels yang menyatakan
bahwa hukum dipandang sebagai pernyataan hidup dalam masyarakat. Di
samping Marx dan Engels, juga von Savigny yang menyatakan bahwa hukum
tidak dibuat tetapi tumbuh bersama-sama dengan perkembangan masyarakat.
Pandangan Savigny ini telah memasukkan faktor sejarah ke dalam pemikiran
hukum yang selanjutnya melahirkan pandangan relatif terhadap hukum sehingga
pandangan dari Savigny melahirkan Mazhab Sejarah.

Anda mungkin juga menyukai