Anda di halaman 1dari 10

UJIAN TENGAH SEMESTER

MKP. EKO TEKNOLOGI


PERIODE SEMESTER GENAP TH 2022/2023
KAJIAN EKOLOGI

DISUSUN OLEH :
ONGKY ZWEILY CAPRI NICHITA
20.A1.0048
FAKULTAS ARSITEKTUR DAN DESAIN
PROGRAM STUDI ARSITEKTUR
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG
Ekologi adalah cabang ilmu biologi yang mempelajari interaksi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup lain dan

juga dengan lingkungan sekitarnya. Dalam ilmu lingkungan, ekologi dijadikan sebagai ilmu dasar untuk memahami interaksi

di dalam lingkungan. Komponen yang terlibat dalam interaksi ini dapat dibagi menjadi komponen biotik (hidup)

dan abiotik (tak hidup).Ekologi dalam arsitektur merupakan sebuah konsep yang memadukan ilmu lingkungan dan ilmu

arsitektur.

Arsitektur ekologi berorientasi pada model pembangunan yang memperhatikan keseimbangan lingkungan alam dan

lingkungan buatan yang harmonis antara lingkungan, manusia dan bangunan.Tujuan arsitektur ekologi adalah membangun

dan menciptakan menciptakan sebuah bangunan atau lingkungan binaan yang menggunakan energi, air dan sumber daya

lain seefisien mungkin, melindungi kesehatan penghuni dan meningkatkan produktivitas pengguna serta mengurangi limbah,

polusi dan degradasi lingkungan.

Heinz Frick menekankan bahwa eko-arsitektur adalah konsep yang;

• Holistis, berhubungan dengan sistem keseluruhan, sebagai suatu kesatuan yang lebih penting daripada sekedar kumpulan
bagian.

• Memanfaatkan pengalaman manusia (tradisi dalam pembangunan) dan pengalaman lingkungan alam terhadap manusia.

• Pembangunan sebagai proses dan bukan sebagai kenyataan tertentu yang statis

• Kerja sama antara manusia dengan alam sekitarnya demi keselamatan kedua belah pihak.
Arsitektur Nusantara adalah arsitektur pernaungan. Sebagai arsitektur pernaungan, Arsitektur Nusantara memiliki ciri-

khas pada struktur landasan, struktur badan dan struktur atap. Pada Arsitekur Nusantara ditemukan ciri-khas struktur

landasan, struktur badan, dan struktur atap terpisah dengan selungkupnya. Selungkup hanyalah tirai non-struktural yang

dapat ditempatkan dan diganti dengan mudah.

Arsitektur Nusantara terletak di daerah khatulistiwa yang kaya akan sinar matahari dan mempunyai 2 (dua) musim

yang berbeda dengan belahan bumi yang lain. Arsitektur Nusantara adalah arsitektur yang tumbuh dan berkembang di daerah

tropis lembab tersebar di Kepulauan Nusantara (sekitar 17000 pulau), terletak di daerah cincin api (Ring of Fire) dunia,

mempunyai kekayaan hutan basah yang mampu menyumbangkan oksigen bagi dunia secara signifikan dan sejarah

menyatakan bahwa Nusantara ditengarai telah dihuni oleh peradaban manusia sejak 70.000 tahun yang silam.

Josef Prijotomo (2012) menyatakan bahwa Arsitektur Nusantara hendaklah dilihat, dipelajari, dan dipahami sebagai

arsitektur yang berbeda dengan arsitektur di Eropa. Josef Prijotomo menyampaikan perbedaan arsitektur Nusantara dari

arsitektur Eropa, khususnya untuk arsitektur Eropa hingga masa Neo-Klasik.

1. Arsitektur Nusantara dua musim, sedang arsitektur Eropa itu arsitektur 4 musim.

2. Arsitektur Nusantara melibatkan lautan dan daratan sedang arsitektur Eropa hanya melibatkan daratan saja.
3. Arsitektur Nusantara tidak mematikan karya anak bangsanya sedang arsitektur Eropa mematikan arsitektur anak

benua.

4. Arsitektur Nusantara menggunakan bahan bangunan yang organik sedang arsitektur Eropa adalah arsitektur

batu/anorganik.

5. Arsitektur Nusantara adalah arsitektur pernaungan dan arsitektur Eropa adalah arsitektur Perlindungan.

6. Arsitektur Nusantara bersolek di (tampang) luar dan arsitektur Eropa bersolek di (tampang) dalam.

7. Arsitektur Nusantara berkonstruksi tanggap gempa sedang arsitektur Eropa berkonstruksi tanpa gempa.

8. Arsitektur mengonsepkan pelestarian dengan ketergantian sedang arsitektur Eropa mengonsepkannya sebagai

menjaga dan merawat.

9. Arsitektur Nusantara menjadikan perapian utamanya untuk mengawetkan bahan bangunan organiknya, sedang

arsitektur Eropa untuk menghangatkan ruangan dan menjadikannya galih (core) dari huniannya.

10. Arsitektur Nusantara mengonsepkan kesementaraan sedang arsitektur Eropa mengonsepkan keabadian.

11. Arsitektur Nusantara adalah arsitektur “kami/kita” sedang arsitektur Eropa adalah arsitektur “aku”
Struktur dimengerti sebagai sarana untuk menyalurkan beban dan akibat penggunaan dan atau kehadiran bangunan

ke dalam tanah. dalam memahami suatu struktur ada 3 (tiga) faktor yang harus diperhatikan yaitu :

1. unsur-unsur pokok yang saling bekerja sama

2. tata letak antar unsur-unsur tersebut

3. bagaimana unsur-unsur tersebut dikonstruksikan sehingga secara keseluruhan bekerjasama melayani fungsi

aktifitas di dalamnya.

Pada arsitektur tradisional di Nusantara banyak dijumpai rumah-rumah panggung yang berdiri di atas struktur tiang-

tiang kayu sebagai landasan, bagian di atasnya terdapat lantai bangunan yang dinaungi oleh atap dan biasanya dengan

kemiringan yang curam. Ditemui pada landasan bangunan tiang-tiang dengan berbagai posisi (ada yang diletakkan tegak

tetapi juga ditemui tiang-tiang kayu yang direbahkan dan dijumpai pula adanya tiang kayu yang dirikan menyilang).

Jenis kayu bervariasi tergantung ketersediaan jenis kayu yang terdapat di sekitarnya. Tinggi dan dimensi kayu serta

jarak antar tiang pun ditemui berbagai macam. beberapa contoh rumah adat yang mempunyai tiang tinggi antara lain :

1. Rumah Lamin di Kalimantan

2. Rumah Limas di Palembang


3. rumah Bumbungan Limo di Sumatra Barat

4. rumah Tongkonan di Toraja

Tiang-tiang ini dipersatukan dengan balok kayu datar dengan konstruksi fleksibel dengan konstruksi ikat dan atau balok

kayu mendatar bertugas sebagai pendukung rusuk penahan papan lantai. Sedang rumah tradisional Sunda, Bali, Bugis adalah

contoh rumah dengan tiang-tiang pendek, di mana tidak ditemui bracing. sistem struktur pasak rumah tradisional Nias Utara

dan Nias Selatan menanggapi gaya lateralnya secara khas yaitu dengan memilih bahan dari gelondong kayu sebagai tiang

tegak dan tiang bracing miring dengan perletakan yang rapat. Sedang di rumah Batak Simalungun landasan tidak ditemui

adanya bracing, tetapi demensi gelondong kayu sangat besar. Berbeda lagi dengan rumah Tongkonan di Toraja yang

memecahkan masalah beban dan gaya lateral dengan menggunakan balok kayu mendatar.

Mekanisme distribusi beban terutama gaya. lateral akibat gempa (yang relatif lebih besar dari tempat lain) dan

kesadaran akan karakter bahan bangunan ditanggapi dengan perencanaan struktur di mana gaya reaksi yang dialami satu

bagian struktur (goyangan pada tiang/balok utama) menjadi gaya aksi bagi bagian struktur lainnya melalui gaya reaksi balok-

balok bracing pada arah sejajar dan secara kesatuan saling bergoyang sebagai aksi dan reaksi. Dengan demikian momen torsi

yang terjadi pada tiangtiang tegak dikunci oleh balok mendatar yang mengikuti alur dan menusuk tiang-tiang landasan.Pada
rumah adat di Bolon Adat Simalungun dan Lobo di Ngata Toro Sulawesi tengah ditemui pemecahan struktur di daerah rawan

gempa ini dengan menggunakan gelondong kayu yang diletakkan mendatar sebagai landasan bangunan.

Hal ini memperlihatkan teknologi dalam menanggapi gaya lateral diselesaikan dengan memperluas permukaan yang

menerima gaya lateral dan memperberat kekakuan bahan bangunan (reaksi internal bahan bangunan). pada contoh bangunan

arsitektur tradisional yang telah disebutkan diatas, maka semua landasan yang berupa tiang tegak atau balok mendatar di

daerah tersebut diletakkan di atas umpak batu. Hal ini juga memperlihatkan bahwa distribusi beban yang disalurkan oleh tiang

tegak maupun mendatar adalah gaya aksial saja. Sistem Base Isolation adalah pemecahan yang brilian dan mencengangkan

bagaimana kesadaran akan perilaku gaya yang terjadi akibat bentuk bangunan dan pemilihan bahan bangunan dari kayu yang

tidak tahan terhadap torsi diselesaikan dengan konstruksi goyang yang fleksibel dan perletakkan yang bersifat roll.

Arsitektur Nusantara menurut Josef Prijotomo (2012) adalah Arsitektur Pernaungan di mana konsep perencanaan di

Arsitektur Nusantara terdiri dari “alas/lantai bangunan” yang mewadahi kegiatan bernaung dan “Atap’ yang menaungi kegiatan

di atas alas tersebut.Pada tata cara pembangunan rumah adat Wae Rebo, tiang-tiang tegak landasan didirikan dengan

menanamnya sampai 1 (satu) meter ke dalam tanah. Sebelum ditanam, tiang-tiang dibalut dengan tali ijuk sepanjang bagian

tiang kayu yang dibenamkan dalam tanah. Kemudian tiang-2 ini dipersatukan dengan balokbalok kayu mendatar yang
berfungsi sebagai rusuk papan lantai. Di atas alas lantai ini didirikan2 (dua) tiang utama yang menjadi penopang rusuk rangka

atap.

setelah itu papan kayu sebagai penutup rangka badan bangunan.Prosedur pembangunan juga sama persis dilakukan

Ketika akan membangun rumah Jawa, rumah Nias , rumah Tongkonan , rumah Limas , rumah Batak. Dari sisi teknik

membangun, proses pembangunan menunjukkan bahwa landasan adalah bagian bangunan yang didirikan lebih dahulu,

kemudian kerangka lantai dipasang dan kemudian diatasnya didirikan tiang-tiang penyangga struktur atap. Sehingga yang

terjadi lebih dahulu adalah kerangka utama bangunan, barulah dipasangkan penutup atap dan penutup badan bangunan.

Bagian atap bangunan merupakan struktur tersendiri yang didirikan diatas lantai/alas bangunan (tiang penahan atap

tidak menerus dari tanah). Tidak menggunakan kuda-kuda sebagai penahan beban atap. Contoh tiang tunjuk langit di Bolon

Adat berdiri di atas struktur lantai. Bentuk bangunan mengikuti tinggi rendahnya tiang-tiang pemegang bagian atas lempeng

penutup atap. Momen torsi yang terjadi pada masing-masing kerangka atap di kunci/diikat oleh balok-balok mendatar

mengelilingi ruang seturut alur.Sehingga masing-masing balok merupakan gaya reaksi terhadap beban yang disalurkan dari

bagian struktur lainnya secara fleksibel tetapi tetap dalam kestabilan bangunan.

Pada rumah Limas dari Palembang; rumah Dalem dari Jawa Tengah bila diperlukan, lempengan penutup badan

bangunan ini bisa dilepas. Dengan demikian ruang menjadi lebih luas terbuka. Dapat kita temui bahwa penutup badan
bangunan (gebyok) di Dalem Jawa Tengah dapat dilepas, hal ini juga ditemui di rumah Limas Palembang. Hanya yang lebih

menarik pada rumah Limas Palembang ditemui bahwa penutup badan bangunan ini (di sisi depan yang berbatasan dengan

teras) berfungsi juga sebagai daun pintu yang hanya bisa di buka ke atas, Seluruh penutup badan di sisi ini dikaitkan pada

balok/gording, sehingga tidak perlu dipindahkan dan dapat menjadi plafond sekaligus.

Dinding pada tongkonan Toraja (oma Sebua) dibentuk oleh papan-papan kayu yang diletakkan melintang dan diisi oleh

lidah papan kayu Aru atau kayu Kelapi yang dipenuhi ukiran di sisi luar. Lidah papan pengisi yang berukuran sama (25x40

cm) yang diatur secara alur. Bila terjadi kerusakan di satu lidah akan mudah diganti. Demikian pula yang ditemui pada uma

Sebua, Nias Selatan, dinding sisi depan (towa) terdiri kerangka dari bilah-bilah papan (Ina Lago dan Ono Lago) yang berdiri

vertikal. Lempeng dinding sisi depan Uma ini terdiri dari 2 bagian.

Dinding bagian atas menumpang balok kayu Lago-lago. Dinding bagian bawah menumpu pada balok skholi. Pemakaian

bilah papan yang diletakkan tanpa sambungan yang rumit, memudahkan dalam mengganti, mencopot karena alasan

kerusakan. Pada Siwaluh Jabu Batak Karo, penutup badan bangunan diletakkan miring. Penutup ini juga terdiri dari bilah-bilah

papan yang diukir di bagian luar. Bilah-bilah ini di jepit oleh balok kayu mendatar dan yang didirikan terlepas dari tiang-tiang

tegak penahan struktur atap.


Struktur atap disalurkan melalui tiang tiang tegak di badan bangunan dan kemudian oleh struktur landasan/dasar

bangunan beban mati dan beban dinamis lainnya diteruskan ke dalam tanah melalui tiang-tiang landasan. Kestabilan badan

bangunan diperoleh dari bagaimana balok-balok kayu pengikat/pengunci bergerak menanggapi aksi torsi tiang tegaknya

secara kesatuan.

Dengan memahami bahwa bagian demi bagian struktur atap dan landasan yang saling bergerak sebagai sebuah gaya

aksi-reaksi hal ini juga menunjukkan bahwa sistem struktur bangunan tradisional dari Arsitektur Nusantara di atas

menggunakan sistem struktur rangka batang yang berperilaku sebagai rangka ruang terutama pada daerah dengan tingkat

kegempaan tinggi.

Akibat sistem rangka batang ini, keberadaan penutup badan bangunan hanyalah sebagai selungkup bangunan yang

berfungsi hanya sebagai tirai atau bagian bangunan yang non struktural, sehingga sangat layak bila ia bersifat fleksibel bagi

penggunaan fungsi dan pengembangan ruangan yang lain serta memudahkan untuk diperbaiki tanpa merusak bagian yang

lain.

Anda mungkin juga menyukai