Buku Model Penguatan - Final

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 96

MODEL PENGUATAN

RANTAI KOMODITAS
INDUSTRI SAPI MADURA

FUAD HASAN
ANDRIE KISROH SUNYIGONO
AMINAH HAPPY M. A.

Penerbit:
Sanksi Pelanggaran
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta
Pasal 72
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1)
dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling
singkat 1 (satu) bulam dan/atau denda paling sedikit Rp.1.000.000,00
(satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,
atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasill pelanggaran
Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

MODEL PENGUATAN RANTAI KOMODITAS


INDUSTRI SAPI MADURA
Oleh:
Fuad Hasan, Andrie Kisroh Sunyigono, Aminah Happy M. A.

Cetakan Pertama, November 2014

Hak cipta dilindungi undang undang

Dilarang memperbanyak isi buku ini, baik sebagian


maupun seluruhnya, dalam bentuk apa pun
tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Diterbitkan oleh UTM PRESS


Jl. Raya Telang, PO Box 2 Kamal, Bangkalan-Madura
Telp. (031) 3011146, Fax. (031) 3011506

vi
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmad, taufiq serta hidayah-Nya sehingga pada
kesempatan yang berbahagia ini penulis dapat menyelesaikan tulisan yang
sangat sederhana ini untuk digunakan sebagai acuan dalam Membangun
suatu model pemberdayaan masyarakat peternak khususnya peternak kecil.
Tulisan ini merupakan ringkasan dari hasil Penelitian Hibah
Bersaing-DIKTI tahun 2013 dan 2014 yang diperkaya dengan kajian pustaka
dari berbagai sumber yang relevan. Salah satu keunggulan dari buku ini
adalah adanya pembahasan secara mikro kondisi peternak kecil Sapi
Madura hasil dari studi di lapangan sehingga diharapkan dapat memberikan
gambaran yang nyata dan komprehensif terkait kondisi industri Sapi
Madura.
Akhirnya semoga kontribusi pemikiran yang sederhana ini dapat
memberikan sedikit tambahan ilmu pengetahuan dan wawasan bagi para
peneliti topic terkait, mahasiswa, pelaku bisnis pada industri sapi potong
serta pemerintah dalam memahami kondisi industri sapi potong khususnya
sapi Madura.

November, 2014
Penulis

3
vi
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iii


DAFTAR ISI v
1. GAMBARAN UMUM INDUSTRI SAPI POTONG 1
Kondisi Eksisting Industri Sapi Nasional 1
Usaha Ternak Sapi Potong 3
2. KERANGKA TEORITIS PENGUATAN RANTAI
KOMODITAS 7
Pembangunan Partisipatif dan Pemberdayaan Masyarakat 7
Pengembangan Kemitraan dengan Masyarakat 12
Analisis Rantai Komoditas 17
Tata Niaga Sapi 18
Analisis Nilai Tambah 20
Alur Pikir Riset Penguatan Rantai Komoditas 21
3. PROFIL INDUSTRI SAPI MADURA 29
Populasi Sapi Madura 29
Konsumsi Daging Jawa Timur 30
Kondisi Usaha Ternak Sapi Potong di Wilayah Bangkalan 32
4. ANALISIS KINERJA INDUSTRI SAPI MADURA 39
Analisis Rasio Konsentrasi pada Pasar Input, Intermendiate dan
Output 39
Analisis Indeks Gini dan Kurva Lorenz pada Peternak Sapi
Madura 40
Hambatan Masuk dan Keluar pada Pasar Input, Intermediet dan
Output 44
5. ANALISIS USAHA TERNAK DAN NILAI TAMBAH SAPI
MADURA 47
Karakteristik Responden 47
Analisis Usaha Sapi Potong 55
Nilai Tambah Industri Sapi Potong 62
6. MODEL PENGUATAN RANTAI KOMODITAS INDUSTRI
SAPI MADURA 67
Konsep Model Penguatan 67
Aktor yang terlibat dalam Model Penguatan Rantai Komoditas
Industri Sapi Madura serta Peran Masing-Masing 69

v
Tahapan Implementasi Model Penguatan Rantai Komoditas
Industri Sapi Madura 72
7. KONSEP POLA KEMITRAAN MASYARAKAT PETERNAK
SAPI MADURA 79
DAFTAR PUSTAKA 85

vi
v
1. GAMBARAN UMUM INDUSTRI
SAPI POTONG
Kondisi Eksisting Industri Sapi Nasional
Pertumbuhan populasi sapi potong masih sangat rendah
sekitar 1.44% per tahun (Subagyo, 2009). Sedangkan tingkat
permintaan terhadap sapi potong meningkat cukup signifikan sekitar
11% per tahun. Sehingga jumlah impor sapi potong dan daging
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Direktorat Jenderal
Peternakan (2010) mencatat bahwa pada tahun 2010 volume impor
sapi potong adalah 120,000 ton dengan nilai impor sebesar 5 trilliun
rupiah.

Peningkatan aktifitas impor juga berarti semakin tingginya


tingkat ketergantungan negara kita terhadap negara lain. Apabila
terjadi permasalahan dengan negara-negara tersebut maka akan
mengganggu stabilitas supply sapi potong dan daging. Seperti yang
terjadi pada tahun 2011, Australia melakukan embargo ekspor sapi
potong dengan alasan Indonesia melakukan aktifitas pemotongan
yang tidak sesuai dengan standar pemotongan. Karena tingginya
tingkat ketergantungan maka Indonesia harus memenuhi permintaan
Australia. Hal ini menggambarkan bahwa kedaulatan pangan kita
terancam.

Kebijakan impor sapi potong juga berdampak pada pengurasan


devisa negara mencapai trilliunan rupiah. Dalam jangka panjang total
kebutuhan impor sapi potong akan semakin tinggi dan tentu saja nilai
impor sapi potong akan meningkat drastis. Padahal dana trilliunan
rupiah tersebut dapat dipergunakan untuk mengembangkan industri
sapi potong dalam negeri. Impor sapi potong juga mendistorsi pasar
lokal yang menyebabkan peternak terutama peternak kecil tidak
vi
memperoleh insentif ekonomi yang cukup. Harga sapi potong lokal
menurun dan petani menhadapi kesulitan dalam menjual produknya
(Anonymous, 2011a). Bahkan Rahmanto (2004) dalam hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa ditingkat peternak dan pedagang
sapi potong terjadi penurunan permintaan sapi potong dan daging di
Jawa Barat dan DKI.

Namun demikian, sapi potong mempunyai kontribusi yang


paling besar terhadap perekonomian Indonesia dibandingkan dengan
ternak ruminansia lainnya. Ternak ini terdiri dari 80% dari total
populasi ruminansia di Indonesia (Yusdja et.al, 2006). Badan Pusat
Statistik menyatakan bahwa pada tahun 2011 jumlah populasi sapi
potong adalah 14.4 ekor yang terkonsentrasi di Jawa Timur dan Jawa
Tengah dengan total produksi sebesar 394,000 ton pada tahun 2009
(Direktorat Jenderal Peternakan, 2010). Disamping itu banyak
spesies sapi lokal yang berpotensi untuk dikembangkan karena
mempunyai beberapa kelebihan yang bersifat spesifik lokasi. Spesies
lokal mempunyai beberapa keunggulan yaitu kualitas daging yang
lebih baik dan rendah lemak, tingkat adaptasi yang tinggi dan tidak
membutuhkan perawatan yang terlalu rumit (Sunyigono, 2012).

Pengembangan budidaya sapi lokal seperti sapi Madura dan


sapi Bali ditingkat peternak kecil yang jumlahnya mencapai 80% dari
total peternak sapi potong diyakini mampu untuk mengatasi gap
antara permintaan dan penawaran sapi potong nasional. Peternak di
Jawa Timur yakin bahwa pengembangan sapi lokal dapat mendukung
upaya mencapai swasembada daging.

Namun hasil penelitian Mayrowani (2006) menyatakan bahwa


karakteristik peternak sapi potong sebagian besar mempunyai skala
usaha yang kecil, permodalan terbatas, teknologi sederhana dan
keterbatasan akses terhadap informasi pasar seperti harga, jumlah

v
permintaan dan penawaran. Mereka juga mempunyai kemampuan
manajerial dan entrepreneurial yang terbatas.

Distribusi pendapatan peternak di Jawa Timur pada 2011


hanya menerima keuntungan yang sangat kecil yaitu 700,000 rupiah
per ekor bahkan penyedia input bakalan mengalami kerugian 600,000
rupiah per tahun. Sedangkan di lain pihak, pejagal/penjual daging
memperoleh keuntungan yang besar berkisar antara 300,000 –
3,600,000 rupiah per ekor (Sunyigono, 2012).

Permasalahan ini juga dihadapi oleh peternak sapi Madura di


Bangkalan yang menghadapi beberapa kendala diantaranya adalah
rendahnya produktifitas karena keterbatasan asupan pada ternak,
rendahnya pertambahan berat badan harian, permasalahan pada
distribusi dan infrastruktur pasar serta terjadinya asymetric information
yang mengakibatkan bargaining position peternak sangat rendah dan
tidak adanya kelompok peternak atau koperasi yang mampu
mewadahi dan mengkoordinasi semua aktifitas peternak (Hasan dkk,
2013).

Usaha Ternak Sapi Potong


Kutsiyah, dkk. (2003) melaksanakan penelitian tentang studi
komparatif antara Sapi Madura dan persilangannya. Hal ini dilakukan
untuk mengetahui potensi dan kendala persilangan sapi di kawasan
Pulau Madura. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pamekasan
dengan metode survey. Hasil riset menunjukkan bahwa pada sapi
Madura nilai service per perception (S/C) adalah 1.464 dan calving
rate (CR) sebesar 58.8% sedangkan untuk induk yang disilangkan
dengan Limousin, kedua nilai tersebut adalah berturut-turut sebagai
berikut 1.896 dan 52.6%. Sedangkan perbandingan rataan bobot lahir
adalah 19.78 ± 1.224 kg dan 27.60 ± 1.298 kg dan untuk bobot sapih

vi
adalah 119.53 ± 9.772 kg dan 171.47 ± 31.055 kg. Dari hasil tersebut
dapat disimpulkan bahwa performance reproduksi sapi Madura lebih
baik daripada persilangannya, sebaliknya penampilan produksi anak
sapi persilangan lebih tinggi daripada sapi Madura. Hal ini berarti
bahwa pertumbuhan sapi Madura cenderung lebih rendah, kondisi ini
bias diatasi dengan pemberian pakan yang cukup dari sisi kualitas
dan kuantitas.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yusran dkk (1992)


menunjukkan bahwa selama pertengahan hingga akhir musim
kemarau (Agustus – Oktober 1991), sapi Madura induk menyusui
memperoleh suplai pakan lebih rendah daripada standar kebutuhan.
Dalam kurun waktu tersebut (selama 100 hari) berat badan
mengalami penurunan sebesar 1.1 ± 0.9.

Penelitian tentang produktifitas sapi Madura telah dilakukan di


Kabupaten Bangkalan. Penelitian ini dilakukan pada masim kemarau
dan hujan untuk mengetahui perbedaan produktifitas pada kedua
musim tersebut. Adapun variable yang diamati adalah a) sifat-sifat
reproduksi seperti umur pubertas, siklus birahi, lama birahi, jumlah
kawin per kebuntingan dan lama bunting dan b) sifat-sifat produksi
seperti berat lahir, berat sapih, dan ukuran-ukran tubuh. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa sifat reproduksi dan sifat produksi
pada musim kemarau berbeda nyata dibandingkan pada musim
hujan. (Karnaen dan Arifin, 2007).

Hasan dkk (2013) menemukan bahwa peternak sapi Madura di


Bangkalan menghadapi beberapa kendala diantaranya adalah
rendahnya tingkat produktifitas sapi Madura karena keterbatasan
sumber pakan, pertambahan berat badan harian masih rendah,
distribusi dan infrastruktur pasar masih terbatas, informasi yang
diterima oleh masing-masingaktor tidak berimbang sehingga posisi

v
tawar beberapa aktor (yaitu penyedia bakalan dan peternak) menjadi
rendah dan yang terakhir adalah belum adanya koperasi dan atau
kelompok peternak yang efektif.

Sunyigono (2012) menyatakan bahwa core processes pada


rantai komoditas sapi potong untuk peternak kecil dan besar adalah
penyedia input, penggemukan, pemasaran dan pemotongan dengan
berbagai actor yang terlibat. Namun, rantai komoditas peternak besar
lebih pendek dan simpel dari pada peternak kecil.

Stuktur pasar dari penyedia bakalan adalah monopolistic


competition pada rantai peternak kecil dan weak oligopoly pada rantai
peternak besar. Pada pasar peternak kecil menunjukkan industri yang
monopolictic competition dan strong oligopoly pada rantai peternak
besar. Pada pasar pedagang, strukturnya adalah stronghly
oligopolistic pada rantai peternak kecil dan besar. Sedangkan pada
prosesor, struktur pasarnya adalah strong and weak oligopoly pada
peternak kecil dan besar secara berurutan.

Tingkat keuntungan dan ratio efisiensi dari actor pada rantai


peternak kecil adalah lebih rendah dari pada peternak besar. Efisiensi
pemasaran pada masing-masing channel di rantai komoditas untuk
peternak kecil lebih tinggi dibandingkan peternak besar. Dari aspek
pembentukan value-added, peternak besar memberikan kontribusi
yang lebih besar dibandingkan peternak kecil baik secara absolut
maupun persentase. Pendapatan kotor adalah komponen terbesar
dalam value-added pada kedua rantai komoditas diikuti oleh
upah/gaji, tariff dan pajak dan bunga.

Peluang dalam industri sapi potong di lokasi penelitian adalah


besarnya potensi permintaan, ketersediaan pakan hijauan dan
tingginya kualitas spesies sapi potong lokal. Sedangkan hambatannya

vi
adalah kekurangan pakan, efek negatif dari kebijakan impor terhadap
harga sapi potong, penyakit ternak dan keterbatasan infrastruktur
pasar khususnya timbangan sapi. Keterbatas modal juga merupakan
permasalahan yang cukup serius.

v
vi
2. KERANGKA TEORITIS PENGUATAN
RANTAI KOMODITAS

Pembangunan Partisipatif dan Pemberdayaan


Masyarakat
Pelaksanaan pembangunan yang ada selama ini didominasi
oleh pemerintah. Peran serta pelaku lainnya belum terlihat secara
nyata dalam program-program pembangunan yang dilaksanakan
pemerintah. Pada kenyataannnya peran dunia swasta dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah semakin hari semakin
meningkat kontribusinya bagi Produk Domenstik Regional Bruto
(PDRB). Kondisi ini semestinya memerlukan penanganan yang serius
dari daerah agar lebih mampu dalam mengefektifkan dan
meningkatkan peran swasta dalam pembangunan.

Salah satu cara untuk meningkatkan peran nyata swasta/dunia


usaha adalah melalui pembentukan kemitraan pemerintah-swasta-
masyarakat dalam rangka mendukung pengembangan ekonomi lokal.
Kemitraan tersebut ditujukan untuk menjamin sinergitas aktivitas yang
dilakukan oleh kalangan bisnisman dalam kaitannya dengan program
dan kegiatan pembangunan daerah. Adapun perwujudan dari jalinan
kemitraan usaha tersebut dialkukan dengan pola kemitraan yang
spesifik disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya dan keunikan lokal
(Depdagri, 2000; Ditjennak, 2000c)

Peran serta masyarakat dalam pembangunan selama ini masih


belum nampak secara nyata. Masyarakat masih terposisikan sebagai
obyek pembangunan dengan akses keterlibatan yang masih rendah,
baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun dalam memonitor
dan mengevaluasi program pembangunan. Hal ini menyebabkan

v
kurang optimalnya hasil pembangunan, karena tanggung jawab
pembangunan tidak terdistribusi secara merata. Disamping itu konsep
pembangunan yang berjalan selama ini lebih cenderung pada
pendekatan top down dan penyeragaman tanpa melihat potensi dan
masalah yang ada di setiap lokasi/wilayah.

Konsep pembangunan partisipatif adalah konsep


pembangunan yang lebih mengedepankan pada kemandirian
masyarakat dalam memecahkan masalah-masalah yang menjadi
urusannya. Hal ini terkait dengan konsep good governance yang di
dalamnya terkandung muatan mengenai batasan dan peran yang
semestinya dilakukan secara seimbang antara pemerintah, swasta
dan masyarakat dalam penyelenggaraan urusan/masalah publik.
Dengan begitu masyarakat dapat pula menjadi penentu/subyek dalam
perencanaan, pelaksasnaan serta monitoring dan evaluasi
pemvbangunan daerah (Pusat Antar Studi UGM, 1991; Depdagri,
2000)

Pembangunan yang melibatkan partisipasi masyarakat


adalah pembangunan yang berdasarkan pada kondisi, masalah dan
potensi lokal yang berbasiskan permintaan publik. Hal ini akan
mengefektifkan penggunaan sumber daya yang dimiliki dan
mencerminkan masalah masyarakat local (DitjenNak, 2000a)

Kartasasmita (1996) dalam Papilaya (2001) mengemukakan


bahwa memberdayakan masyarakat adalah kegiatan untuk
meningkatkan taraf hidup dan derajat kehidupan lapisan masyarakat
yang hidup dibawah garis kemiskinan. Tujuannya adalah agar mereka
mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan
keterbelakangan. Dengan demikian memberdayakan masyarakat
adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Keberdayaan
masyarakat adalah unsur dasar yang memungkinkan suatu

vi
masyarakat untuk bertahan, dan mengembangkan diri untuk
mencapai kemajuan. Sumodiningrat (1996) mengemukakan bahwa
keberdayaan masyarakat yang tinggi adalah masyarakat yang
sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental, terdidik dan kuat,
dan memiliki nilai-nilai intrinsik, seperti: kekeluargaan,
kegotongroyongan, dan kebhinekaan. Pemberdayaan adalah
upaya untuk membangun daya dan kemampuan dengan mendorong,
memotivasi, dan menumbuhkan pengetahuan dan kesadaran akan
adanya potensi yang dimilikinya serta berusaha untuk
mengembangkan potensi tersebut. Pemberdayaan merupakan suatu
proses yang mengajak kita berpikir tentang bagaimana cara
memperoleh sesuatu dan mengapa hal itu bisa terjadi. Pemberdayaan
mengajak berpikir tentang tenaga, bantuan, pencapaian dan
keberhasilan.

Konsep utama pemberdayaan adalah suatu ide akan


kekuatan/kemungkinan pemberdayaan tergantung dua hal. Pertama,
pemberdayaan memerlukan adanya kekuatan yang dapat berubah.
Apabila kekuatan tidak dapat berubah dan melekat pada masyarakat
maka pemberdayaan tidak akan berarti apa-apa. Kedua, Konsep
pemberdayaan tergantung pada ide bahwa kekuatan dapat
berkembang. (Czuba, 1999).

Pemberdayaan merupakan suatu konsep yang terdiri atas


berbagai disiplin yaitu: pengembangan masyarakat, psikologi,
pendidikan, ekonomi, studi social, organisasi dan lain sebagainya
(Lincoln, 2002).

Hope et. all (1995) menyatakan bahwa maksud


pemberdayakan masyarakat adalah upaya meningkatkan potensi,
kemampuan, kesadaran dan kemandirian masyarakat dalam rangka

v
mengembangkan dan meningkatkan taraf hidupnya. Dalam proses
tersebut masyarakat melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

a. Menggali dan menganalisis kondisi, permasalahan, potensi serta


peluang dan tantangan
b. Merancang rencana aksi dan kegiatan kelompok dengan
memprhatikan hasil kajian partisipatif
c. Mengimplementasikan rencana aksi individu/kelompok
d. Melaksanakan pemantauan atas proses kegiatan dan hasil/output
secara berkesinambungan dan intensif atau dikenal juga dengan
istilah monitoring dan evaluasi secara partisipatif.

Tahap-tahap yang disebutkan di atas dapat dilaksanakan


secara bersama-sama dan lebih merupakan proses yang bersifat
terus menerus dan diarahkan menuju kea rah yang lebih baik.
Kegiatan pemberdayaan masyarakat tidak dilakukan terhadap
individu-individu namun dilakukan secara berkelompok. Anggota-
angota kelompok saling berbagi pengetahuan, pengalaman serta
mereka saling bekerjasama satu dengan yang lainnya.

Dalam upaya mengembangkan kelompok terdapat kegiatan-


kegiatan khusus yang disesuaikan dengan kondisi dan potensi lokal
yang dilaksanakan secara bersama dengan kegiatan umum lainnya.
Selanjutnya Pretty (1995) upaya pemberdayaan masyarakat untuk
meningkatkan kemandirian masyarakat diarahkan melalui
peningkatan taraf hidup, dengan demikian arah pendampingannya
ditujukan untuk melatih dan membina masyarakat agar mampu
mengelola kegiatannya sendiri.

Untuk memudahkan proses pemberdayaan masyarakat,


digunakan beberapa metode, teknik dan alat visual untuk mendukung
dan mempermudah interaksi dan diskusi antara anggota kelompok

vi
serta meningkatkan efektifitas proses pemberdayaan masyarakat.
Penggunaan teknik dan alat tersebut bertujuan agar proses
penggalian identifikasi, penyusunan rencana kelompok, pelaksanaan
kegiatan serta aktifitas monitoring dan evaluasi dapat dilakukan
secara efektif dan sistematis. Teknik dan alat tersebut yang
didefinisikan sebagai Participatory Rural Appraisal atau kajian desa
secara patisipatif.

Chamber (2001) lebih lanjut mengemukakan bahwa kegiatan


monitoring dan evaluasi program adalah tahapan yang dilakukan
pada setiap aktifitas sehingga merupakan kegiatan yang sangat
penting dan mempunyai tujuan untuk melakukan proses perbaikan
yang terus menerus (continuous improvement) agar tujuan yang telah
ditetapkan dapat tercapai. Adapun aspek-aspek yang di laksanakan
monitoring dan evaluasi adalah proses dari tiap kegiatan, tingkat
pencapaian yang diraih serta identifikasi dampak yang dihasilkan
pada proses pemberdayaan.

Disamping hal-hal tersebut diatas, dalam kegiatan


pemberdayaan masyarakat peran tim pemberdayaan masyarakat
sangat penting dalam bertindak sebagai sebagai pendamping atau
hanya sebagai fasilitator kegiatan.Selanjutnya peran tim
pemberdayaan tersebut secara gradual harus semakin dikurangi dan
pada akhirnya hilang sama sekali serta digantikan oleh kader lokal
pemberdayaan masyarakat.

Pengurangan peran tim pemberdayaan masyarakat bukan


langsung terjadi namun suatu proses evolusi yang terjadi secara
perlahan. Sehingga proses pemberdayaan masyarakat adalah suatu
tahapan pembelajaran yang berkesinambungan dan terus-menerus.
Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah tumbuhnya kemandirian

v
masyarakat dalam rangka peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan
masyarakat.

Pengembangan Kemitraan dengan Masyarakat


Kebijakan yang mewarnai pengembangan kemitraan selama ini
adalah implementasi kebijakan yang dirumuskan dengan dominasi
pihak tertentu dan pendekatan yang bersifat top-down. Oleh karena
itu, prosesnya cenderung datang dari atas (pusat) secara seragam
dan umum dengan harapan rumusan kebijakan itu dapat
diimplementasikan ke bawah (daerah) dengan berbagai modifikasi.
Proses yang dikenal sebagai kebijakan linier dalam dua tahapan
terpisah: pertama, formulasi kebijakan; dan kedua, implementasi
kebijakan. Sebagaimana diketahui model kebijakan ini mengandung
dua asumsi dasar, yaitu: (1) pemerintah secara murni memang
memaksimumkan mencapai kesejahteraan sosial; dan (2) aparat
pemerintah sepenuhnya netral, obyektif, dan kompeten dalam
menjalankan perannya. Namun masalahnya pengalaman
menunjukkan, bahwa kedua asumsi ini dapat menjadi kelemahan
utama model kebijakan linear ini, disamping kelemahan-kelemahan
lainnya. Dengan demikian, sangat naif, apabila terusmenerus
menyandarkan pada pembentukan kebijakan pengembangan
kemitraan dengan model tersebut. (Sumardjo, 2001).

Dalam menelusuri keperluan menemukan strategi kebijakan


mengenai saling hubung antara upaya pengembangan kawasan
dengan kerjasama dan kemitraan yang mendorong pengembangan
ekonomi di daerah pada masa ini, tidaklah bijak menerapkan asas
model pembentukan kebijakan linear. Lebih lagi, kini telah
diterapkannya kebijakan desentralisasi pembangunan. Oleh
karenanya, sebelum membahas pola-pola kemitraan yang berkaitan

vi
dengan pengembangan usaha kecil/gurem akan diungkap beragam
asas dan prinsip dalam hal tersebut lebih dulu. Pembahasannya
diambil dari sebuah pengalaman mikro membangkitkan masyarakat
dalam pengembangan usaha-usaha produktif. Hal ini diungkapkan
dengan maksud agar asas dan prinsip kemitraan pengembangan
usaha kecil/gurem dikembangkan berdasarkan pengalaman tempatan
yang memang mengakar dalam masyarakat.

Apabila melakukan proses perumusan strategi pembangunan


terpusat, maka pada taraf tertentu akan ada pengabaian atas
keunggulan komparatif dan kompetitif suatu daerah. Padahal hal
seperti ini pada masa mendatang menjadi kurang tepat. Berdasarkan
pemahaman ini ingin disampaikan mengenai proses pengembangan
kemitraan yang berbasis pada potensi suatu daerah (lokal) dengan
perancangannya berawal di aras komunitas. Hal yang pertama
dilakukan dalam hal ini adalah mengajak masyarakat bersama-sama
melakukan pencerahan, dan tidak mulai dengan menawarkan
melakukan kemitraan. Kegiatan yang dilakukan adalah mengajak
tokoh-tokoh masyarakat menilai akan produktivitas yang selama ini
dikembangkan. Usul yang kemudian disepakati adalah melakukan
kunjungan ke luar wilayah mereka untuk melihat berbagai kesuksesan
dan kegagalan. Proses ini selanjutnya bergulir dengan musyawarah
mencari terobosan dalam mengembangkan usaha produktif dalam
skala keluarga dan kelompok (contoh disini usaha ternak domba yang
melibatkan tiga sampai lima kepala keluarga). Kegiatan yang disebut
masyarakat sebagai aksi bersama.

Dalam mendorong aksi bersama ini, dimulai dengan mengajak


masyarakat mengingat kembali kekuatan mereka dalam berorganisasi
membentuk kegiatan sosial, yang dalam hal ini melakukan sunatan
massal. Keberhasilan melakukan kegiatan sosial ini memperkuat

v
kembali masyarakat untuk berhimpun melakukan usaha. Selanjutnya
hal tersebut seperti menjadi media pembelajaran masyarakat,
terutama dalam kaitan mengubah kemahiran dari mengorganisasikan
kegiatan sosial menjadi kegiatan yang bernilai ekonomi (kolopaking,
2001).

Dalam waktu dua musim, masyarakat mulai membuat prosedur


pembagian hasil yang adil dari usaha yang dikembangkannya.
Proses kegiatan di komunitas ini berlanjut menjadi sebuah “siklus
program”, dan bahkan mulai menyebar ke beberapa komunitas lain
dengan beragam jenis usaha produktif (kerajinan, simpan-pinjam,
berusahatani pepaya hingga beternak ayam). Keberhasilan ini
membuat masyarakat mempunyai kebanggaan sendiri, sehingga
mereka mulai berani menjelaskan dan berbagi pengalaman dengan
kata-kata sendiri mengenai langkah-langkah yang sepatutnya diambil
untuk berhasil kepada berbagai pihak.

Keberhasilan masyarakat mempertahankan usaha produktifnya


dalam satuan komunitas mulai dilirik oleh pemerintahan desa. Usaha-
usaha produktif ini kemudian diorganisasikan oleh pemerintahan
desa, dan melalui berbagai kesempatan mulai proses pembelajaran
itu diungkap dalam lokakarya-lokakarya di aras kecamatan hingga
kabupaten. Hal yang menarik, kepala desa dan beberapa tokoh muda
dalam kasus ini mampu menjadi “jembatan” mengkaitkan berbagai
usaha produktif di aras keluarga/kelompok dengan pihak lain di aras
lebih tinggi. Ini menjadi cikal-bakal dikembangkannya kemitraan.

Melanjutkan Usaha Kecil/Gurem dari Komunitas ke


Organisasi Desa. Usaha produktif berbasis komunitas ini selanjutnya
bersambungan dengan kepentingan sebuah perusahaan
multinasional dalam melakukan kegiatan pengembangan masyarakat
(community development). Dalam mengkaitkan usaha ini dicoba

vi
menghubungkan keperluan perusahaan dengan usaha masyarakat.
Hal yang sejalan dalam hal ini, misal memanfaatkan usaha kerajinan
masyarakat untuk mengisi keperluan cinderamata yang diperlukan
perusahaan. Tetapi, masyarakat belajar tidak bergantung kepada
perusahaan ini. Mereka kemudian secara bermartabat berbagi
kepentingan, yang pada gilirannya sikap ini menjadi dasar melakukan
kemitraan dengan berbagai pihak yang mempunyai kesamaan
kepentingan. Pemerintah desa kemudian mencoba
mengorganisasikan berbagai unit usaha masyarakat dalam satu
wadah Badan Usaha Milik Desa (BUMDES). Masyarakat kemudian
mulai belajar menerima kerjasama dengan berbagai pihak dengan
koordinasi BUMDES ini.

Hafsah (1994) mendefinisikan kemitraan sebagai


kerjasama/networking antara dua atau lebih pelaku usaha yang
berinteraksi dalam suatu kegiatan produktif dan menguntungkan.
Kebijakan pemerintah telah mendukung pencapaian konsep tersebut
dengan dicanangkannya “Gerakan Kemitraan Nasional” Presiden
Suharto. Melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 dukungan
terhadap pengembangan konsep kemitraan telah ditetapkan. Menurut
peraturan tersebut diharapkan terjadinya kemitraan antara usaha kecil
dengan usaha menengah dan besar. Selanjutnya diharapkan adanya
pembinaan dan pendampingan yang berkelanjutan dari usaha
menengah dan besar kepada usaha kecil.

Konsep kemitraan didasarkan didasarkan kepercayaan bahwa


anggota suatu institusi secara bersama-sama mempunyai
kepentingan manajemen untuk memajukan institusi tersebut, dengan
apa yang dikerjakannya. Setiap anggota mempunyai hak yang sama
dalam proses pengambilan keputusan tentang apa yang sebaiknya
dilakukan untuk masa depan. Hal ini tidak berarti bahwa keinginan

v
atau perhatiannya harus selalu sama, terkadang malah kepentingan
tersebut saling tumpang tindih. Maka hal tersebut dapat dilaksanakan
secara bersama-sama untuk memperoleh hasil yang diharapkan
(Anonymous, 2003)

Kemitraan usaha dilakukan untuk memperkuat kelembagaan


terutama dalam hal akses terhadap permodalan, kelancaran input
usaha, akses terhadap informasi baik teknologi maupun pasar,
kemampuan diversifikasi produk, pemasaran dlsbnya (Biro
Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri, 2000)

Upaya-upaya membangun kemitraan usaha dilandasi atas


Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 940/Kpts/OT.210/10/97
tentang Pedoman Kemitraan Pertanian. Dengan keputusan tersebut,
maka pembinaan kemitraan usaha pertanian dapat dilaksanakan
dengan konsep yang jelas dan mempunyai legitimasi yang kuat dalam
upaya menginisiasi, memelopori, mengembangkan dan meningkatkan
kemampuan usaha kecil menjadi kelompok mitra yang mandiri.
Adapun kondisi yang diharapkan adalah adanya peningkatan
pendapatan, usaha yang dilaksanakan dapat berkesinambungan,
adanya peningkatan kompetensi sumberdaya manusia, peningkatan
insentif ekonomi dan peningkatan skala usaha. Pelaku kemitraan
usaha pertanian adalah petani, kelompok tani ternak, gabungan
kelompok & koperasi. Pola kemitraan usaha dapat berupa (Pusat
Penyuluhan Pertanian, 1997): Pola Inti-Plasma, Pola Sub Kontrak,
Pola Dagang Umum, Pola Keagenan, Pola KOA (Kerjasama
Operasional Agribisnis).

Kemitraan usaha hendaknya dilakukan secara sukarela, saling


membantu, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Untuk
memberikan kepastian dan kesinambungan usaha, maka hendaknya

vi
dibuat suatu Nota Kesepahaman kerjasama kemitraan antara pihak-
pihak yang terlibat.

Analisis Rantai Komoditas


Jackson dkk (2006) melakukan studi analisis rantai komoditas
industri pangan untuk mengetahui penggunaan analisis ini pada
konteks akademis dan tataran politis. Mereka menemukan di Inggris
bahwa mobilisasi konsep rantai komoditas berpengaruh pada
kebijakan pangan dan usahatani khususnya pada hubungan sosial
baik aspek teknis, ekonomi, sosial dan lingkungan. Jadi implementasi
rantai komoditas akan berimplikasi pada semua aspek kehidupan.

Analisis rantai komoditas adalah beberapa tahapan aktifitas


yang menunjukkan aliran barang dan jasa serta aktor yang terlibat
mulai dari proses produksi, pengolahan sampai dengan ke konsumen
akhir. Alat ini juga dapat digunakan untuk menunjukkan aktor yang
mendpatkan manfaat dari kelimpahan sumberdaya alam, bagaimana
mereka mendapatkan manfaat dan bagaimana strategi yang
memungkinkan untuk merubah pola dan besarnya distribusi manfaat
tersebut (Ribot, 1998).

Haruna and Murtala (2005) melaksanakan penelitian dengan


menggunakan commodity chain analysis pada pemasaran sapi
potong di Nigeria. Hasilnya menunjukkan bahwa rantai komoditas
untuk pemasaran sapi potong di Nigeria dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu variasi proses produksi, pemasaran dan distribusi.
Performa dari rantai komoditas merupakan bentuk penghargaan atas
usaha yang dilakukan oleh pelaku bisnis sapi potong. Dalam riset ini
juga diidentifikasi kontribusi peternak besar dan kecil dalam rantai
komoditas serta permasalahan yang dihadapi. Diyakini bahwa
apabila dilakukan sedikit modifikasi terhadap sistem dan adanya

v
dukungan dari semua stakeholder akan meningkatkan efisiensi dan
menghasilkan laba bersih dalam meningkatkan kesejahteraan
peternak.

Selanjutnya, Rammohan dan Sundaresan (2003) menekankan


pentingnya pemetaan yang menjelaskan hubungan sosial pada
proses produksi dan pergerakan dari komoditas tersebut dengan
penekanan pada implikasi sosial yang terjadi. Oleh karena itu, perlu
kiranya untuk memasukkan aspek sosial pada konsep rantai
komoditas. Salah satu hasil utamanya adalah faktanya bahwa upaya
peningkatan yang dilakukan masyarakat tidak hanya terbatas pada
faktor ekonomi saja. Peningkatan tidak hanya bisa dicapai melalui
upaya peningkatan produktifitas dan keterampilan. Namun juga harus
memperhatikan aspek sosial untuk meningkatkan kesejahteraan dan
lingkungan kerja yang lebih baik.

Tata Niaga Sapi


Faisal (2010) melakukan penelitian tentang tata niaga sapi
potong. Ditemukan bahwa terdapat 6 saluran pemasaran pada tata
niaga sapi potong. Saluran nomor 3 (PT. KGU – Pedagang Pemotong
– Kosumen) adalah saluran yang paling efisien dan saluran nomor 2
(PT. KGU – Pedagang Pengumpul - Pedagang Pemotong –
Pedagang Pengecer - Kosumen) adalah saluran yang paling tidak
efisien. Hal ini menunjukkan bahwa saluran dengan rantai terpendek
lebih efisien dibandingkan dengan saluran yang lebih panjang.

Tawaf and Suryadi (2008) menyatakan bahwa setelah krisis


ekonomi, mekanisme pasar sapi potong mengalami perubahan
demikian juga dengan dukungan sumberdaya regional dan kebijakan
pemerintah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai Efective
Protection Coeffcient untuk peternak kecil adalah 1.16 dan peternak

vi
besar 1.02. Hal ini berarti pemerintah telah memberikan insentif
kepada peternak kecil sebesar 16% dalam bentuk kebijakan
perlindungan impor dan penurunan bunga bank sedangkan peternak
besar hanya menerima 2%. Dari nilai Nominal protection coefficient
output menunjukkan bahwa nilai untuk peternak kecil adalah 1.16 dan
peternak besar 1.01. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah
memberikan subsidi output sebesar 16% untuk peternak kecil dan 1%
untuk peternak besar.

Kariyasa (2003) melakukan kajian penawaran dan permintaan


daging sapi di Indonesia sebelum dan sesudah krisis ekonomi dengan
menggunakan econometric model (three stage least square). Hasil
analisis menunjukkan bahwa variabel yang mempengaruhi produksi
sapi lokal adalah harga daging sapi, bunga, populasi dari indukan,
harga dari indukan dan harga pakan ternak. Sedangkan variabel yang
mempengaruhi permintaan daging sapi adalah harga daging dan
pendapatan per kapita. Hal riset juga menunjukkan bahwa produksi
dan pemintaan daging sapi mengalami penurunan sebesar 1.3 dan
0.5 kali dibandingkan sebelum krisis ekonomi.

Analisis “Dinamika Pemasaran dan Prospek Pengembangan


Ternak Sapi di Indonesia” spesifik untuk melihat karakteristik pasar
ternak dan daging sapi di Indonesia, daya saing produk daging sapi di
Indonesia, dan prospek pengembangannya. Adapun ciri pasar ternak
dan daging sapi di Indonesia adalah (1) produksi daging sapi lokal
belum mampu memenuhi permintaan dalam negeri, sehingga harus
diimpor dengan jumlah yang semakin besar, hal ini menyebabkan
ketergantungan Indonesia terhadap negara lain (2) Ketidakadilan
distribusi margin pemasaran ternak dan daging sapi diantara pelaku
jika dikaitkan dengan distribusi biaya pemasaran, (3) keberadaan
broker sapi/blantik sangat diperlukan oleh sebagian besar peternak.

v
Mereka membantu menyediakan jasa penjualan ternak dan
memberikan informasi harga jual terkini dan informasi keberadaan
ternak, (4) berat badan/live weigh merupakan pertimbangan utama
bagi sebagian besar peternak dalam menentukan kapan ternaknya
dijual, (4) cara menentukan harga jual ternak antara lokasi cukup
beragam, ada dengan sistem taksiran, timbangan berat hidup maupun
timbangan karkas, namun yang terbanyak adalah dengan
menggunakan taksiran dan (5) sistem pembayaran yang berlaku pada
umumnya adalah dibayar kemudian tanpa uang muka, hanya sedikit
dibayar tunai (Kariyasa dan Kasryno, 2004).

Analisis Nilai Tambah


Riset yang dilakukan oleh Anh Tru (2008) menghitung value
chain leci menggunakan analisis nilai tambah. Hasilnya menunjukkan
bahwa prosesor memberikan kontribusi nilai tambah sebesar 21.16
juta Vietnam Dong/ ton. Nilai ini diperoleh dari transformasi produk
segar ke buah kering. Nilai tambah dari prosesor pada tata niaga leci
ini adalah yang tertinggi dibandingkan aktor-aktor lainnya yaitu empat
kali lebih banyak dibandingkan pedagang ritel, sembilan kali dari
pedagang besar dan delapan kali dari pedagang pengumpul.

Pada analisis rantai komoditas jagung, Katwal, dkk (2002)


menemukan bahwa pendapatan petani yang menggunakan varietas
unggul adalah 20% lebih tinggi dari varietas tradisional. Sebaliknya,
biaya produksi jagung pada petani yang menggunakan varietas
tradisional justru lebih tinggi 123% dibandingkan yang varietas
unggul. Hal ini membuktikan bahwa penerimaan dari varietas unggul
adalah tiga kali lipat dari pada varietas tradisional. Penerimaan dari
keluarga petani yang menggunakan varietas unggul juga lebih besar
83%.

vi
Selanjutnya dikemukakan bahwa persentase nilai tambah dari
varietas unggul adalah 89% sedangkan untuk varietas tradisional
adalah 79%. Sedangkan kontribusi pendapatan dari usahatani jagung
adalah 76% untuk varietas unggul dan 63% untuk varietas
tradisional. Hal ini mengidikasikan bahwa pada petani varietas
tradisional banyak menggunakan uangnya untuk membayar tenaga
kerja luar keluarga.

Analisis keuangan menunjukkan bahwa nilai tambah dan


pendapatan kotor dari petani jagung untuk varietas unggul dan
tradisional adalah negatif. Hal ini disebabkan karena 80% produksinya
digunakan untuk memenuhi konsumsi sendiri dan 11% sisanya
digunakan untuk diberikan kepada tetangga dan sebagai pakan terna.

Penelitian yang dilakukan oleh Ghimiray, dkk (2007) dengan


menggunakan analisis rantai komoditas menunjukkan bahwa total
nilai tambah dari rantai komoditas padi adalah 1.302 juta Nu atau
sekitar 29 Juta dolar. Adapun distribusinya adalah 92% diterima oleh
petani sebagai pendapatan dan upah tenaga kerja, 7% diterima oleh
usaha penggilingan padi dan pedagang di perkotaan dan 1% diterima
oleh ekspoter beras. Meskipun 1% yang diterima oleh eksporter tapi
nilainya cukup besar karena diterima oleh satu perusahaan saja.
Aktifitas impor beras dan penjualan di pasar lokal memberikan
pemasukan bagi negara. Dari penelitian ini juga direkomendasikan
untuk memberikan perhatian yang lebih serius terhadap kontribusi
ekonomi dari rantai komoditas ini pada kelompok miskin.

Alur Pikir Riset Penguatan Rantai Komoditas


Pemerintah menerapkan beberapa program seperti inseminasi
buatan, pemberian kredit modal, pengawasan penyakit ternak dan
teknologi pengolahan pakan dalam upaya untuk meningkatkan

v
produksi sapi potong dan mencapai target swasembada daging
nasional, Tapi usaha tersebut belum membuahkan hasil terbukti
dengan tidak tercapai target swasebada daging. Hasil beberapa
penelitian menunjukkan bahwa terdapat permasalahan dari aspek
produksi dan pemasaran yang dihadapi oleh petani.

Identifikasi potensi dan permasalahan industri sapi Madura


ditinjau dari aspek rantai komoditas penting untuk dilakukan karena
sapi Madura adalah salah satu spesies sapi lokal yang mempunyai
kekhasan dan beberapa potensi seperti kualitas daging, tingkat
adaptasi yang tinggi dan sebagainya. Pengembangan jenis sapi ini
akan memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi pertumbuhan
populasi sapi potong karena jumlah sapi Madura adalah sekitar 20%
dari total sapi yang ada di Jawa Timur yang mencapai 4 juta ekor.
Sedangkan jawa timur sendiri adalah sentra produksi sapi potong
dengan kontribusi sebesar ± 31%.

Hasil penelitian Hasan dkk (2013) menunjukkan bahwa usaha


ternak sapi Madura mempunyai permasalahan baik pada kajian
struktur, perilaku dan kinerja. Pada stuktur pasar, industri sapi Madura
dihadapkan pada kondisi yang sangat lemah. Mereka mempunyai
skala usaha yang terbatas hanya kisaran 2 – 4 ekor dengan kapasitas
turn over lebih dari 2 tahun. Peternak kecil ini juga dihadapkan pada
bargaining position yang rendah. Hal ini berdampak pada perilaku
pasar aktor ini yang sebagian besar tidak mempunyai pengetahuan
yang cukup menentukan harga jual sapinya. Akhirnya dapat diduga
bahwa peternak sulit mendapatkan keuntungan yang cukup bahkan
jika diperhitungan semua pengeluaran maka peternak kecil akan
selalu merugi. Sehingga perlu dikaji strategi peningkatan insentif
ekonomi bagi peternak kecil.

vi
Dari aspek pemasaran, analisis rantai komoditas dan daya
saing yang diikuti oleh analisis nilai tambah akan memberikan
informasi tentang potensi dan permasalahan dari masing-masing
aktor sehingga akan dapat diketahui peta permasalahan dalam
industri sapi Madura dan solusi alternatif yang bisa dilakukan untuk
meningkatkan insentif ekonomi bagi peternak kecil. Diketahui pula,
besar dan distribusi nilai tambah pada masing-masing aktor yang
terlibat pada rantai komoditas Sapi Madura.

v
TAHUN I TAHUN II

Actor Network Fungsional


- Aliran Value Added
RANTAI KOMODITAS - Aktifitas - Fungsi
- Nilai
- Peran - Kontribusi
- Hubungan
- Struktur Strategi
Peningkatan
Prosesor/
dan
Daging
Sapi RPH Pemerataan
Value Added
Market Market Market Data Base Industri
Structure Conduct Performance Sapi Madura

Sapi Pedagang
- Jumlah pembeli - Praktek jual beli - Tingkat Masterplan
dan penjual - Penentuan harga keuntungan
- informasi - Efisiensi Pengembangan
- hambatan masuk - Efisiensi Uji Coba Model Industri Sapi
Model Penguatan
dan keluar pemasaran Penguatan
Rantai Komoditas
Rantai
Madura yang
Sapi Madura
Sapi Peternak Komoditas Integratif

Rekomendasi
Bakalan, Kebijakan
Pakan dan Penyedia Review Kebijakan
Sapi Madura Pengembangan
input Input Analisis
Sapi Madura
lainnya Kebijakan

Kebijakan Pemerintah Peluang dan Hambatan


Peternak Peternak - Inseminasi buatan
- Permintaan
Besar (80% Kecil (80% - kredit
- Ketersediaan pakan
dari total dari total - Pengawasan penyakit
- Spesies lokal
peternak) peternak) - Proses pembuatan pakan
- Lainnya
- Lainnya

Gambar 1. Alur Penelitian

vi
Dalam riset penguatan rantai komoditas industri sapi Madura,
karakteristik peternak yang masuk kategori dalam riset adalah
peternak kecil dengan kepemilikan 1- 5 ekor. Peternak juga harus
aktif artinya mereka aktif melakukan transaksi pembelian dan
penjualan sapi Madura dalam satu tahun terakhir.

Pengumpulan data dimulai dari peternak sebagai aktor utama.


Adapun alas an mengapa melalui peternak adalah karena aktor ini
melakukan aktifitas yang masuk dalam kategori bisnis utama dalam
rantai komoditas sapi Madura. Tahap selanjutnya adalah sebagai
berikut: 1) pelancakan aktor hulu seperti penyedia input dan 2)
pelacakan produk melalui pedagang dan prosesor. Untuk penyedia
input, pedagang dan prosesor dipergunakan metode snowball
sampling. Secara sistematis metode dan output yang diharapkan dari
setiap tahapan riset penguatan industri Sapi Madura dapat dilihat
pada Gambar 1.

Metode analisis deskriptif digunakan mengetahui profil dan


status dari industri sapi Madura. Beberapa data yang dikumpulkan
adalah jumlah sapi, permintaan sapi, penawaram, sarana produksi,
perkembangan harga, data usaha ternak dan lain-lain. Selanjutnya
data-data tersebut akan disajikan dalam bentuk grafik, diagram, tabel,
ratio, persentase, rata-rata dan standar deviasi. Sedangkan kebijakan
pemerintah dan program yang terkait dengan sapi Madura akan
dikumpulkan dari beberapa sumber (pustaka primer) dan dianalisis
dengan melibatkan instansi terkait melalui forum focus group
discussion.

Selanjutnya untuk mengetahui kondisi rantai-rantai pada


industri sapi Madura dipergunakan analisis rantai komoditas. Terdapat

v
beberapa tahapan kegiatan yang akan dilakukan untuk
menggambarkan rantai komoditas sapi Madura.

Tahap pertama adalah mengidentifikasi dan memetakan core


processes dari rantai komoditas sapi Madura. Hal ini diidentifikasi dari
hulu sampai ke hilir (Bourgeois and Herrera, 2000). Selanjutnya,
aliran core processes digambarkan secara horizontal.

Tahap kedua adalah identifikasi aktor yang terlibat beserta


peran dan hubungan timbal balik antar actor tersebut dalam rantai
komoditas. Tahap ketiga adalah membreakdown aktifitas masing-
masing actor dari rantai komoditas yang ada.

Tahapan keempat adalah analisis fungsional yang diidentifikasi


dengan mengunakan tabel dibawah ini

Tabel 1. Tahapan Analisis Fungsional


TAHAPAN FUNGSI AKTOR OUTPUT

Penyedia input
Produksi
Perdagangan
Pemotongan
Sumber: FAO, 2005a

Tahap kelima adalah membuat peta produk, informasi dan


teknologi yang dibutuhkan pada seluruh rangkaian rantai komoditas
sapi Madura. Aliran ini dimulai dari hulu (sapi potong) sampai dengan
hilir (daging sapi). Informasi yang dibutuhkan akan diidentifikasi
berdasarkan preferensi product yang dibutuhkan oleh pedagang dan
konsumen dan dibandingkan dengan produk yang dihasilkan oleh
peternak. Tahap keenam adalah memetakan marketing channel pada
rantai komoditas sapi potong yang meliputi volume dan nilai produk
sapi Madura yang diperdagangkan.

vi
Analisis kondisi pasar dijawab dengan menggunakan structure
conduct performance approach yang akan diterapkan pada semua
tingkatan pasar yaitu pasar input, pasar antara dan pasar output.
Struktur pasar akan dianalisis dengan menggunakan dua alat analisis
yaitu rasio konsentrasi dan hambatan (barrier) keluar-masuk pasar.
Perilaku (conduct) dianalisis yaitu analisis kebijakan harga dan
produk. Sedangkan kinerja (performance) diidentifikasi melalui tingkat
keuntungan dan efisiensi.

Sedangkan pembentukan model penguatan rantai komoditas


industri sapi Madura didekati dengan beberapa metode yaitu analisis
deskriptif, participatory research action dan focus group discussion.
Untuk membentuk model penguatan yang komprehensif, semua data
dan informasi yang diperoleh sebelumnya dipergunakan sebagai input
dasar. Selanjutnya diskusi terfokus yang melibatkan semua
stakeholder terkait dilakukan untuk menyusun dan mengkonfirmasi
model yang akan diimplementasikan.

Analisis value-added digunakan mengetahui besarnya nilai


value-added dari masing-masing aktor mulai dari penyedia input,
peternak, pedagang dan prosesor. Disamping itu juga akan
diidentifikasi komposisi value-added yang terbentuk.

Sedangkan untuk menghasilkan model penguatan rantai


komoditas idustri sapi Madura yang komprehensif dilakukan dengan
metode eksperimen (Seville, 1993). Adapun lingkup pelaksanaan
aktifitas ini adalah dipilih satu rantai utama komoditas sapi Madura,
selanjutnya model yang terbentuk diimplementsikan pada rantai
tersebut. Dilakukan pula evaluasi untuk mengetahui kelemahan-
kelemahan model yang ada dan dilakukan pula uji kelayakan holistik
yang meliputi aspek sosial, budaya, dan ekonomi.

v
.

vi
3. PROFIL INDUSTRI SAPI MADURA

Populasi Sapi Madura


Sapi Madura mempunyai peranan yang cukup signifikan pada
industri sapi potong di Jawa Timur. Tabel 2 menunjukkan bahwa
populasi sapi Madura di Jawa Timur pada periode 2007-2009
cenderung menurun dengan tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun
adalah -7%. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya
adalah meningkatnya frekuensi pemotongan ternak sapi Madura
untuk memenuhi permintaan daging sapi yang terus bertambah. Disisi
lain, tingkat pertumbuhan sapi bakalan masih tetap rendah sehingga
tidak mampu menutupi kenaikan permintaan sapi potong.

Dimulai sejak tahun 2009, populasi sapi Madura kembali


menunjukkan trend yang menaik. Tingkat pertumbuhan tertinggi
terjadi pada tahun 2009 yaitu sebesar 6%. Program-program
intensifikasi usaha sapi potong dalam rangka pencapaian program
swasembada daging ikut andil terciptanya kondisi tersebut. Berbagai
upaya untuk meningkatkan produksi ternak telah dilakukan baik oleh
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (propinsi dan
kabupaten/kota). Pada 2010, aktifitas yang dilakukan diantaranya
aalah penyediaan 1.273.528 paket semen untuk ternak (dari target
yang ditetapkan sebesar 1.450.000 paket), realisasi pertumbuhan
sapi bakalan dari program inseminasi buatan sebanyak 727.248 ekor
dan realisasi akseptor inseminasi buatan sebanyak 1.060.650 ekor
(Dinas Peternakan Jawa Timur,2010).

v
Tabel 2. Populasi Sapi Madura, Bangkalan, 2007-2009
NO JENIS TERNAK 2007 2008 2009 (%)
1 Sapi Potong 137,017 121,195 128,562 -7%
2 Sapi Perah 21 21 30 -7%
3 Kerbau 1,966 1,780 1,999 -10%
4 Kuda 900 713 782 -12%
5 Kambing 61,360 49,808 58,009 -13%
6 Domba 3,935 3,673 4,065 -15%
7 Ayam Buras 1,138,702 687,940 730,839 -18%
8 Ayam petelur 25,263 17,768 14,984 -18%
9 Ayam Pedaging 103,836 41,007 17,028 -17%
10 Itik 68,517 58,296 55,329 4%
11 Entok 20,147 27,897 27,575 19%
Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan, 2013
Catatan: *Rilis Akhir Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah dan Kerbau 2011

Konsumsi Daging Jawa Timur


Konsumsi produk peternakan seperti daging, telur dan susu di
Jawa Timur juga menunjukkan kecenderungan yang meningkat dari
tahun 2006-2010 (Gambar 2). Rata-rata pertumbuhan tingkat
konsumsi produk peternakan adalah sebesar 9.4% per tahun. Tetapi
pada tahun 2008, terjadi pertumbuhan negative terhadap tingkat
konsumsi produk peternakan sebesar - 6.8%. Salah satu faktor
penyebabnya adalah penurunan konsumsi telur, susu dan daging non
sapi (ayam dan unggas) yang disebabkan oleh ketakutan konsumen
untuk mengkonsumsi produk-produk tersebut karena adalah kasus flu
burung yang merebak hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Peningkatan hanya bahan bakar minyak pada tahun 2008 juga
berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan negatif konsumsi
produk peternakan kecuali daging sapi. Sedangkan tingkat

vi
pertumbuhan konsumsi daging sapi pada tahun 2008 masih tetap
positif yaitu sebesar 23.5%.

Pada periode 2006-2010, rata-rata pertumbuhan konsumsi


daging sapi adalah sebesar 11.9%. Jika pada tahun 2006 tingkat
konsumsinya masih dibawah 100 ribu ton (yaitu 66.782 ton) pada
tahun 2010 tingkat konsumsi daging sapi meningkat menjadi 103.809
ton. Peningkatan ini diakibatkan oleh beberapa faktor. Pertumbuhan
jumlah penduduk Indonesia mendorong tingkat konsumsi semua
kebutuhan pokok termasuk daging sapi. Selain itu, peningkatan
kesejahteraan masyarakat Indonesia yang ditandai dengan kenaikan
pendapatan per kapita juga mendorong peningkatan konsumsi daging
sapi.

1,200,000
1,100,000
1,000,000
900,000
800,000
700,000
Susu
ton

600,000
500,000
Telur
400,000
300,000 Daging (sapi dan
non sapi)
200,000
Daging (Sapi saja)
100,000
-
2006 2007 2008 2009 2010

Gambar 2. Konsumsi Daging, Susu dan Telor, Jawa Timur,2006-2010


Sumber: Laporan Tahunan DInas Peternakan Jawa Timur, 2006-2010

Kondisi Usaha Ternak Sapi Potong di Wilayah


Bangkalan
v
Umumnya sistem pemeliharaan sapi di lokasi penelitian sudah
belum intensif namun ternak tidak lagi digembalakan dengan alasan
keterbatasan lahan. Ternak umumnya dikandangkan seluruh
kebutuhannya di atur oleh peternak. Adapun kegiatan-kegiatan yang
dilakukan peternak sapi potong dilokasi penelitian sebagai berikut :

A. Usaha Pembibitan

Umumnya terdapat dua teknik pembibitan yakni sistem


perkawinan secara alam dan kawin suntik (Inseminasi Buatan-IB),
demikian juga di Kabupaten Bangkalan. Pada dasarnya baik kawin
suntik/IB maupun kawin alam terdapat kelebihan dan kekurangannya
masing-masing.

Menurut Soetanto (2002) manfaat kawin suntik (Inseminasi


Buatan-IB) diantaranya seperti (a) menghemat biaya pemeliharaan
sapi pejantan, (b) mengatur jarak kelahiran (d) semen beku masih
bisa dipakai meskipun penjantan mati. Menurut Diwyanto (2008)
keberhasilan IB untuk menghasilkan seekor pedet masih rendah
dibandingkan dengan kawin suntik, karena salah satu kunci
keberhasilan IB adalah dengan sapi dipelihara secara intensif dengan
cara dikandangkan. Sehingga hal ini dapat memudahkan dalam
mendeteksi berahi dan melaksanakan IB.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa animo masyarakat


terhadap kawin suntik masih rendah. Sebab dari tiga lokasi desa
sampel, peternak desa kampak yang paling dominan menggunakan
kawin suntik, sedangkan untuk desa banyior dan desa jangkar masih
rendah dalam menggunakan kawin suntik untuk kegiatan
pembibitannya. Berdasarkan hasil penelitian, jasa pelayanan kawin
suntik dilakukan oleh mantri hewan. Di samping itu, untuk kesehatan
ternak, pemeriksaan maupun penanganan penyakit oleh mantri

vi
hewan hanya dilakukan pada saat ternak sapi sakit dan tidak dapat
ditangani sendiri oleh peternak, sebab hasil penelitian menunjukkan
bahwa dalam menjaga kesehatan ternak sapi, responden
menggunakan jamu tradisional yang diracik sendiri.

B. Pemberian Pakan dan Minum

Kualitas pemberian pakan pada sapi akan menentukan


kualitas, pertumbuhan dan tingkat produktifitas sapi. Jika pakan yang
diberikan cukup dan bergizi maka sapi akan tumbuh dengan baik.
Pakan merupakan aspek penting dan sangat vital dalam usaha ternak
terutama sapi kereman/penggemukan. Pemberian pakan yang sesuai
kuantitas, kualitas dan waktunya akan menghasilkan sapi yang sehat
dan berkualitas tinggi. Sebaliknya pemberian pakan yang kurang
sesuai dengan kebutuhan gizi sapi dapat menyebabkan defesiensi
makanan. Akibatnya ternak akan mudah terserang penyakit. Terdapat
dua jenis pakan sapi yaitu pakan penguat (temu ireng, gula merah,
kunyit, telur, kelapa tua, bir hitam, soda, kopi, dan multivitamin) dan
pakan pokok yang terdiri dari hijauan (rumput, jerami, daun jagung,
tahu, dedak, daun jagung, dan tetes tebu).

Air minum untuk ternak juga mempunyai fungsi yang sangat


penting. Ketersediaan air minum akan menentukan pertumbuhan
badan dan kondisi kesehatan ternak. Kesediaan dan kualitas air
minum harus senantiasa diperiksa kondisinya untuk semua ternak
baik dari bersihnya air minum ataupun dari cukup tidaknya
ketersediaan air minum ternak itu sendiri. Pemberian minum dan
pakan pada ternak di lokasi penelitian dilakukan sendiri peternak
secara rutin minimal dua kali sehari. Terkadang peternak dibantu oleh
anggota keluarganya yaitu ibu dan anak-anaknya.

v
Pada umumnya peternak memberikan pakan hijauan (forage)
yang berupa rumput-rumputan yang telah diambil dari lahan dan
kemudian dikumpulkan digudang. Pemberian pakan terkadang
peternak mencampurkan tetes tebu yang telah dicampur/dilarutkan
dalam air yang kemudian diberikan kepada ternak. Tetes tebu
diperlukan untuk memberikan rasa manis pada pakan hijauan yang
mana fungsi dari tetes tebu tersebut berfungsi untuk membangkan
nafsu makan sapi terutama apabila peternak memberikan pakan baru
yang sebelumnya tidak pernah diberikan pada sapi. Pemberian pakan
hijauan biasanya diberikan satu ikat/gulungan rumput untuk beberapa
ekor ternak tanpa memperhitungkan kualitas dan kuantitas pakan
ternak. Hal ini tidak ideal dengan syarat pemberian pakan yang mana
seharusnya pemberian pakan ternak sesuai dengan berat badan sapi
potong.

C. Pembersihan Kandang

Sebagai tempat tinggal ternak kondisi kandang akan sangat


menentukan perkembangan dari ternak. Kebersihan kandang dapat
menimbulkan efek nyaman bagi ternak serta meminimalisir
kemungkinan ternak terserang penyakit. Beberapa aspek pada
kandang yang berpengaruh terhadap kondisi kesehatan sapi adalah
keleluasaan, kelembaban, kebecekan dan upaya menghindari adanya
lalat. Selanjutnya letak kandang harus terpisah dari rumah agar factor
kesehatan keluarga dapat dijaga. Namun karena adanay beberapa
alasan dan keterbatasan maka ditemukan di daerah penelitian
terdapat beberapa responden yang terpaksa menempatkan
kandangnya disamping atau dibelakang rumah mereka.

Kebersihan kandang dilakukan setiap hari dengan


menggunakan sekop, dan di siram air. Kotoran ternak dibersihkan
menggunakan sekop yang kemudian diangkut menggunakan argo

vi
dan di siram air, kotoran tersebut dibawa ke tempat penampungan
yang berada tidak jauh dari kandang yang pada umumnya digunakan
peternak untuk memupuk lahan pertaniannya.

D. Kebersihan Sapi

Kebersihan sapi bertujuan menjaga agar sapi tidak terjangkit


penyakit yang berasal dari parasit. Hal ini penting dilakukan karena
penyakit akan menyebabkan penurunan kualitas dan produktifitas
sapi. Pembersihan ternak dilakukan dengan cara memandikan ternak,
dimana ternak dibawa ke sungai yang tidak berada jauh dari rumah
peternak dan adapula yang dimandikan di dalam kandang hal ini
dilakukan karena peternak sekaligus membersihkan kandang.

Kegiatan memandikan ternak dilakukan bila tubuh ternak


sudah keliahatan kotor. Namun tidak semua peternak yang ada
dilokasi penelitian memandikan ternak. Beberapa peternak
membiarkan ternaknya dalam keadaan kotor dan jarang sekali
membersihkannya. Apabila kondisi ini dibiarkan dalam jangka panjang
akan menyebabkan ternak terjangkit penyakit cacingan, penyakit
mata dan kudis. Hal ini akan menurunkan kualitas sekaligus harga
jual ternak.

E. Pengendalian Penyakit

Serangan penyakit dapat menimbulkan masalah yang


berkepanjangan, seperti mengahambat pertumbuhan ternak sehingga
dapat mengurangi keuntungan peternak. Penyakit yang sering
menyerang ternak sapi di daerah penelitian adalah penyakit diare,
selain itu ada penyakit lain seperti masuk angin, kaki lemas dan
cacingan. Pada umumnya apabila ternak sakit pertama yang
dilakukan peternak adalah mengobatinya secara tradisonal dengan
ramuan dan jamu alami yang resepnya diperoleh dari nenek moyang

v
mereka. Peternak meminta bantuan petugas kesehatan apabila
penyakit yang diderita ternak tidak sembuh. Petugas kesehatan akan
memeriksa sapi dan memberikan obat atau tindakan medis yang
dibutuhkan.

F. Pemasaran Ternak Sapi

Dalam kegiatan penjualan hasil produksinya, responden


menjualnya sendiri secara langsung ke pasar dan juga menggunakan
jasa pedagang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penjualan hasil
produksi berupa pedet maupun bakalan. Umumnya, pedet maupun
bakalan yang dijual melalui perantara pedagang yang mana transaksi
jual beli berlangsung dirumah peternak dan juga di pasar sapi yakni
pasar sapi Arosbaya yang berlangsung setiap hari selasa, dan pasar
sapi Tanah Merah tiap hari sabtu, serta pasar sapi Sepuluh setiap hari
minggu.

Adapun dalam proses pembelian maupun penjualan sapi


potong masih dilakukan dengan sistem taksir/tampilan yakni dengan
melihat penampakan bodi sapi potong. Adapun dalam transaksi jual
beli sapi potong, posisi responden (peternak) sangat lemah, sebab
yang menentukan harga adalah pedagang maupun jagal. Adapun
dalam proses penjualan ternak sapinya, responden masih
menggunakan peran pedagang perantara. Hal ini menunjukkan
bahwa dalam penjualan sapi potong, responden masih tergantung
dengan pedagang perantara. Menurut responden, harga jual sapi
potong relative tinggi hanya saat mendekati hari raya idhul fitri dan
hari raya kurban. Umumnya, peternak dilokasi penelitian hanya
memperhitungkan biaya pembelian bakalan dan pakan (tahu dan
dedak) sedangkan tenaga kerja tidak diperhitungkan, sehingga
peternak merasa rugi hanya jika harga jual sapinya rendah
(menurun).

vi
Pemasaran ternak sapi dilokasi penelitian dilakukan dengan
penjualan hasil produksi berupa ternak sapi. Umumnya, peternak
menjual ternaknya melalui perantara yang dating langsung kerumah
peternak. Terkadang juga langsung menjual kepada calon pembeli
yang langsung datang kerumah peternak. Penjualan ternak pada
umumnya dilakukan pada umur ternak kurang dari 1 tahun (pedet)
dan umur 1-2 tahun (muda/dara). Pada umur tersebut bobot rata-rata
karkas 90 – 250 kg. Penjualan sapi didasarkan pada bobot karkas
ternak yang nilai setiap kilogram karkas sapi. Penjualan ternak pada
umumnya dilakukan pada saat musim haji dan tahaun ajaran baru
dimana kebutuhan untuk biaya anak sekolah sangat tinggi. Disamping
itu, penjualan ternak muda juga dilakukan untuk tujuan dijadikan bibit
indukan bagi calon pembeli. Demikian juga dengan penjantan yang
akan digunakan sebagai bibit pejantan.

Berdasarkan penelitian, kotoran ternak yang dihasilkan belum


dikomersialkan oleh peternak. Hal ini dikarenakan, selain kotoran
ternak yang dihasilkan dimanfaatkan untuk kegiatan dalam usahatani,
kemampuan responden dalam pemanfaatan kotoran rendah karena
kotoran ternak yang digunakan dalam usahatani sebagai pupuk tanpa
diolah terlebih dahulu yakni hanya masih dalam bentuk mentah. Hal
ini menunjukkan bahwa dalam hal pengelolaan pupuk kemampuan
responden masih relatif rendah.

v
4. ANALISIS KINERJA INDUSTRI SAPI
MADURA

Analisis Rasio Konsentrasi pada Pasar Input,


Intermendiate dan Output
Rasio konsentrasi pasar dihitung berdasarkan pada nilai sapi
Madura yang diperdagangkan pada setiap sub-market. Transaksi dari
empat aktor terbesar pada masing-masing aktor (penyedia bakalan,
peternak, pedagang dan prosesor) dipertimbangkan dalam
perhitungan rasio konsentrasi pasar (CR4) sebagaimana diindikasikan
pada Tabel 3.

CR4 dari penyedia bakalan yang merepresentasikan pasar


input adalah sebesar 12.99% dan nilai ini menunjukkan bahwa kondisi
industri pada pasar input adalah tidak terkonsentrasi (un-concentrated
industry) Demikian juga dengan CR4 pada peternak kecil sapi potong
sebesar 11.83% menunjukkan bahwa tipe pasar yang terbentuk
adalah tidak terkonsentrasi. Dapat juga dikatakan bahwa kedua jenis
pasar tersebut secara umum berbentuk persaingan. Kedua actor
(penyedia bakalan dan peternak) mempunyai posisi tawar atau
kekuatan pasar yang seimbang. Tidak ada aktor yang mempunyai
kekuatan pasar yang besar (dominan). Salah satu yang menyebabkan
posisi tawar ini adalah karena peternak masih berusaha sendiri-
sendiri tanpa adanya koordinasi satu dengan lainnya.

v
Tabel 3. Rasio Konsentrasi pada Pasar Input, Intermediet dan Output,
Bangkalan, 2013
ITEM PENYEDIA BAKALAN PETERNAK PEDAGANG PROSESOR
Jumlah aktor 4 52 9 8
Nilai sapi potong yang diperdagangkan oleh 138,000 208,500 806,250 1,116,043
empat aktor terbesar (000 Rp)
Total nilai sapi potong yang diperdagangkan (000 1,062,375 1,762,600 1,357,100 2,017,052
Rp)
CR4 (%) 12.99 11.83 59.41 55.33

Sumber: Data primer diolah, 2013

Untuk pedagang sapi Madura di semua level (desa,


kecamatan, kabupaten dan propinsi), nilai CR4 adalah 59.41%. Hal ini
berarti bahwa tipe pasar intermediet adalah oligopoli yang sangat kuat
(strongly oligopolistic). Pedagang mempunyai kekuatan yang sangat
besar dalam mempengaruhi pasar. Mereka mempunyai kekuatan
besar untuk menentukan harga dibandingkan peternak. Sedangkan
nilai CR4 dari prosesor adalah 55.33% yang termasuk dalam kategori
pasar oligopoli. Hal ini menunjukkan bahwa jenis pasar pada pasar
daging sapi adalah oligopoli dimana prosesor juga mempunyai
kekuatan yang besar dalam mempengaruhi mekanisme pasar.

Analisis Indeks Gini dan Kurva Lorenz pada


Peternak Sapi Madura
Indeks Gini digunakan untuk mengukur tingkat konsentrasi dari
masing-masing pasar pada industri sapi potong skala kecil. Nilai
indeks Gini menunjukkan apakah pasar yang terbentuk bersifat
terkonsentrasi atau tidak terkonsentrasi. Analisis ini juga didukung
oleh Kurva Loren untuk memperjelas intepretasi yang disampaikan,
Pada riset ini, nilai sapi potong yang diperdagangkan dipergunakan
untuk menghitung besarnya Indeks Gini.

vi
Dari Tabel 4 dapat diketahui bahwa nilai Indeks Gini untuk
penyedia bakalan adalah 0.249 yang mengindikasikan bahwa
distribusi yang terjadi relatif merata (relatively equitable distribution).
Hal ini juga menunjukkan bahwa nilai sapi bakalan yang
diperdagangkan oleh setiap peternak penyedia bakalan adalah relatif
sama.

Tabel 4. Indeks Gini pada Peternak Sapi Madura, Bangkalan, 2013


PENYEDIA
ITEM PETERNAK PEDAGANG PROSESOR
BAKALAN

Jumlah Aktor 4 52 9 8
Indeks Gini 0.249 0.276 0.253 0.207

Sumber: Data primer diolah, 2013

Di level peternak, nilai Indeks Gini adalah sebesar 0.276. Jika


dilihat dari nilai sapi potong yang diperjualbelikan oleh masing-masing
peternak menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
diantara mereka. Hal ini menghasilkan jenis pasar yang tidak
terkonsentrasi.

Demikian juga pada tingkat pedagang, nilai Indeks Gini adalah


sebesar 0.253 yang mengindikasikan bahwa 10 pedagang menjual
sapi potong dengan nilai yang relatif sama. Tidak ada satupun
pedagang yang dominan dengan menjual sapi potong dalam jumlah
yang lebih banyak dibandingkan dengan pedagang lainnya.

Indeks Gini untuk prosesor adalah 0.207. Hal ini menunjukkan


bahwa terjadi distribusi yang merata (equitable distribution) diantara
11 prosesor yang ada. Rendahnya Indeks Gini disebabkan oleh relatif
meratanya nilai sapi potong yang diperdagangkan.

v
Kurva Loren untuk pasar input, intermediet dan output pada
industri sapi Madura di Bangkalan dapat dilihat pada gambar 3. Pada
tingkat peternak, area yang terbentuk antara Kurva Loren (warna biru)
dan garis ekui-distribusi (warna merah) adalah lebih luas
dibandingkan pada pasar-pasar yang lain. Hal ini berarti bahwa pasar
peternak mempunyai distribusi nilai yang relatif tidak merata. Dari data
dasar, dapat diketahui bahwa 13 peternak mempunyai nilai jual sapi
potong kurang dari 10 juta rupiah sedangkan sisanya (68 peternak)
mempunyai nilai jual diatas 10 juta rupiah. Bahkan 41% dari mereka
mempunyai nilai jual diatas 20 juta rupiah.

vi
Gambar 3. Kurva Loren pada Pasar Input, Intermediet dan Output, Bangkalan, 2013.
Source: Data Primer Diolah, 2013

v
Hambatan Masuk dan Keluar pada Pasar Input,
Intermediet dan Output
Terdapat beberapa faktor yang menjadi penghambat untuk
masuk pasar sapi potong yang teknologi produksi, nilai investasi,
rendahnya harga jual sapi potong, besarnya impor, permasalahan
pemasaran, kompetisi yang ketat dan skala ekonomi. Masing-masing
aktor mempunyai perbedaan faktor mana yang menjadi penghambat
utama.

Pada tingkat penyedia bakalan, faktor yang menjadi


penghambat untuk masuk adalah teknologi produksi (42%), nilai
investasi yang tinggi (34%), dan skala ekonomi yang masih sangat
kecil (15%). Pada peternak, hambatan untuk masuk adalah:
rendahnya harga sapi potong (38%), nilai investasi yang tinggi (28%)
dan permasalahan pemasaran (20%). Pedagang mempunyai
hambatan untuk masuk sebagai berikut: nilai investasi yang tinggi
(50%), besarnya volume impor (20%) dan tingkat kompetisi yang
tinggi (10%). Prosesor menghadapi hambatan yang sama dengan
pedagang, hanya faktor pemasaran yang juga menjadi faktor
penghambat utama dalam kegiatan prosesor.

Sedangkan faktor-faktor yang menjadi penghambat untuk


keluar dari industri sapi Madura skala kecil adalah: nilai investasi yang
besar, peluang permintaan, ikatan kontrak, pekerjaan utama
responden, sumber pendapatan dan ketersedian sumber pakan
hijauan. Semua actor relative menghadapi hambatan yang serupa
yaitu: 1) besarnya potensi permintaan terhadap daging sapi
mengakibatkan mereka enggan untuk keluar pasar. Mereka meyakini
bahwa pada masa depan permintaan akan sapi potong dan daging
sapi pasti mengalami peningkatan; 2) nilai investasi yang besar.

vi
Ketiga mereka memutuskan untuk menekuni usaha sapi potong maka
nilai investasi yang ditanamkan relative besar berkisar antara 20 – 60
juta. Sehingga mereka berusaha untuk terus menekuni usaha ini.

v
vi
5. ANALISIS USAHA TERNAK DAN
NILAI TAMBAH SAPI MADURA

Karakteristik Responden
Untuk mengetahui kondisi mikro usaha ternak sapi Madura
dilakukan Penelitian di Kabupaten Bangkalan dengan focus penelitian
di Kecamatan Sepulu, Kecamatan Geger dan Kecamatan Tanah
Merah. Alasan pemilihan lokasi ini adalah kecamatan-kecamatan
tersebut adalah sentra produksi dan pemasaran sapi Madura.

Karakteristik responden yang diamati adalah karakteristik sosial


dan ekonomi. Karakteristik sosial peternak yang di analisis meliputi
umur peternak, tingkat pendidikan peternak, jumlah tanggungan
keluarga, pengalaman beternak, motivasi beternak, dan jumlah
tenaga kerja. Sedangkan karakteristik ekonomi responden yang
dianalisis meliputi total penerimaan, total biaya produksi dan total
pendapatan bersih usaha ternak sapi. Karakteristik sosial ekonomi
responden dapat dilihat pada Tabel 5

Tabel 5. Karakteristik Responden di Daerah Penelitian


Karakteristik Peternak Satuan Rentang
Umur Peternak Tahun 23 s/d 70
Tingkat Pendidikan Tahun 0 s/d 12
Jumlah Tanggungan
Orang 1 s/d 6
Keluarga
Pengalaman Beternak Tahun 1 s/d 50
Motivasi Beternak Orang 0 s/d 1
Jumlah Tenaga Kerja Orang 1 s/d 4
Jumlah Ternak Ekor 1 s/d 7
Total Penerimaan Rp/Tahun 7,500,000 s/d
65,000,000

v
2,690,500 s/d
Total Biaya Produksi Rp/Tahun
57,596,000
(12,596,000) s/d
Total Pendapatan Rp/Tahun
12,347,500
Sumber data primer 2014

G. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur

Umur dapat mempengaruhi kemampuan fisik peternak dalam


mengelola usaha. Menurut UU No 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, usia dikatakan produktif adalah usia 25 sampai 55
tahun. Usia produktif adalah tenaga kerja penduduk dalam usia kerja.

Tabel 6. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur


Karakteristik Peternak Jumlah Prosentase (%)
Umur Peternak
≤ 24 1 2.38
25-55 30 71.43
56 ≥ 11 26.19
Total Responden 42 100
Sumber data primer 2014

Dari data di Tabel 6 dapat dijelaskan bahwa peternak di lokasi


penelitian termasuk usia produktif yaitu berada diantara umur 25-55
tahun dengan prensentase paling besar terdapat diantara 25-55 tahun
(71,43%). Hasil ini sejalan dengan Undang-undangan tentang
ketenagakerjaan tersebut, keadaan ini menunjukkan bahwa
responden dapat berpengaruh dalam pengembangan usaha ternak
sapi potong dan kemudian daya serap/tanggap menerima teknologi
baru yang disampaikan. Sedangkan apabila lebih dari usia tersebut

vi
dianggap peternak kurang produktif karena kondisi fisik sudah mulai
tua.

H. Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan


Keluarga

Jenis tanggungan keluarga adalah tanggungan yang ada


didalam satu kelompok rumah tangga, baik saudara bukan sedarah
ataupun saudara bukan sedarah. Adapun jumlah anggota/tanggungan
keluarga peternak dilokasi penelitian dapat dilihat di Tabel 7

Tabel 7. Karakteristik Responden berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga


Karakteristik Peternak Jumlah Prosentase (%)
Tanggungan Keluarga Peternak
1 s/d 4 38 90.48
5≥ 4 9.52
Karakteristik Peternak 42 100
Sumber data primer 2014

Hasil Tabel 7 diketahui paling banyak tanggungan keluarga


sebesar 1-4 orang ini dilihat dari jumlah presentase sebesar 90,48 %.
Jumlah tanggungan ini juga menjadi salah satu alasan peternak
memilih usaha ternak sapi potong sebagai penopang ekonomi rumah
tangga selain berprofesi sebagai petani. Beban tanggungan keluarga
secara langsung akan memberikan pengaruh terhadap peternak
untuk membiayai usaha ternaknya dan pendapatan yang diperoleh
dari hasil usaha ternaknya hanya mampu mencukupi kebutuhan yang
bersifat konsumtif.

Banyaknya jumlah tanggungan keluarga dapat pula


mencerminkan jumlah tenaga kerja yang tersedia dalam menjalakan
usaha ternak sapi potong. Hal ini dapat menjadi faktor pendukung
v
untuk memberikan kontribusi dalam kegiatan produksi sapi potong,
misalnya untuk mencari pakan hijauan, pembersihan kandang, dan
penjualan hasil produksi.

I. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan dapat berpengaruh terhadap kemudahan


seseorang dalam menyerap inovasi dan menerapkan teknologi.
Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin maju pula tingkat
pemikirannya, sehingga lebih cepat menyerap inovasi baru dan
mampu menggunakan teknologi, sebaliknya semakin rendahnya
pendidikan maka semakin lambat menyerap inovasi dan teknologi.

Tabel 8 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan


Karakteristik Peternak Jumlah Prosentase (%)
Tingkat Pendidikan Peternak
Tidak Sekolah 4 9.52
Sekolah SD 36 85.71
Sekolah Mengah Pertama 2 4.76
Karakteristik Peternak 42 100.00
Sumber data primer 2014

Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar peternak sapi


potong di lokasi penelitian berpendidikan SD yaitu dengan jumlah 28
orang atau 85,71% dari total responden. Walaupun tingkat pendidikan
paling besar hanya setingkat sekolah dasar. Namun demikian, dalam
melaksanakan kegiatan ternak ini bukan menjadi penghambat karena
kegiatan ternak sapi potong tidak menuntut keahlian tertentu yang
harus diperoleh melalui jenjang pendidikan tertentu pula. Ternak sapi
potong dapat dilakukan oleh siapa saja karena cara ternak yang
diterapkan cukup sederhana.

vi
Inovasi teknologi ternak yang lebih baik dan sesuai dengan
anjuran memerlukan peningkatan pengetahuan dan keterampilan,
baik melalui pelatihan maupun bimbingan dan penyuluhan dari
penyuluh ternak setempat. Berdasarkan pengakuan responden
bahwa kegiatan pelatihan bagi peternak sapi potong sudah pernah
dilakukan. Kesulitan yang dihadapi peternak apabila berpendidikan
rendah yaitu kemampuan dalam menerima inovasi masih kurang,
sehingga kemampuan peternak untuk mengelola usaha ternak
terbatas pada apa yang diketahuinya dari pengalaman sebagai
peternak sapi potong dan sulit menyerap bibit unggul dan teknik
budidaya ternak sapi potong yang baik.

J. Karakteristik Responden Berdasarkan Pengalaman Beternak

Pengalaman beternak merupakan pengalaman petani dalam


melaksanakan usaha ternak, dimana semakin lama/berpengalaman
peternak melakukan usaha ternaknya maka semakin mahir peternak
dalam mengembangkan usaha ternaknya karena telah mengetahui
kekuatan dan kelemahannya serta mengetahui cara menangani
resiko kegagalan.Pengalaman responden diukur berdasarkan
lamanya responden terlibat dalam kegiatan usaha ternaknya.
Semakin lama responden bekerja pada kegiatan tersebut semakin
banyak pengalaman yang diperolehnya. Semakin lama seseorang
dalam menekuni suatu pekerjaan maka semakin meningkat pula
pengetahuan, keterampilan, dan pengalamannya dlam melaksanakan
pekerjaan tersebut. Adapaun lama pengalaman responden
melakukan usaha ternak dapat dilihat pada Tabel 9.

v
Tabel 9. Karakteristik Responden Berdasarkan Pengalaman Beternak
Karakteristik
Jumlah Prosentase (%)
Peternak
Pengalaman
Beternak
1 s/d 5 10 23.81
6≥ 32 76.19
Karakteristik Peternak 42 100
Sumber data primer 2014

Berdasarkan Tabel 9 diketahui responden sebesar 76,19% dari


42 responden memiliki pengalaman berternak sapi potong lebih dari 6
tahun yang mana responden tersebut layak dikatakan
berpengalaman, kemudian sebesar 23,81% memiliki pengalaman
berternak sapi potong selama 1-5 tahun yang mana hanya bias
dikatakan baru berpengalaman berternak sapi potong. Hal ini
dikarenakan masyarakat di lokasi penelitian sudah sejak lama bahkan
sejak kecil sudah di ajarkan oleh orang tuanya untuk
membudidayakan usaha ternak sapi potong. Demikian dapat
dijelaskan bahwa sebagian besar responden telah memiliki
pengetahuan yang mendalam mengenai usahaternak sapi potong.

K. Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Tenaga Kerja

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja


dalam usaha sapi potong di daerah penelitian berkisar antara 1-4
orang. Adapun tenaga kerja yang digunakan oleh peternak dapat
dikelompokkan menjadi dua yakni tenaga kerja dalam keluarga dan
luar keluarga (tenaga kerja upahan).

vi
Tabel 10. Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Tenaga Keluarga
Karakteristik
Jumlah Prosentase (%)
Peternak
Jumlah Tenaga Kerja
Bapak 11 26.19
Bapak/Ibu 21 50.00
Bapak/Ibu/Anak 9 21.43
Upahan 1 2.38
Karakteristik Peternak 42 100
Sumber data primer 2014

Hasil Tabel 10 menunjukkan bahwa tenaga kerja upahan


hanya sebesar 2,38% dari jumlah tenaga kerja yang digunakan.
Umumnya tenaga kerja upahan bukanlah tenaga kerja tetap
melainkan tenaga kerja yang menggantikan tenaga kerja dalam
keluarga pada saat berhalangan atau tidak dapat mengerjakan
rutinitas sehari-hari seperti mencari pakan hijauan.

L. Karakteristik Responden Berdasarkan Motivasi Beternak

Hasil wawancara dengan responden di lokasi penelitian


diperoleh bahwa motivasi beternak reponden pada rentang 0 – 1.
Kriteria angka (0) adalah motivasi yang berasal dari dorongan orang
tua atau dari orang lain, sedangkan angka (1) merupakan motivasi
dari diri sendiri.

v
Tabel 11. Karakteristik Responden Berdasarkan Motivasi Beternak
Karakteristik
Jumlah Prosentase (%)
Peternak
Motivasi Beternak
0 (Motivasi yang lain) 28 66.67
1 (Motivasi Sendiri) 14 33.33
Karakteristik Peternak 42 100
Sumber data primer 2014

Hasil Tabel 11 dapat diketahui bahwa sebesar 33,33% atau


sejumlah 14responden dari 42 responden dilokasi penelitian pada
umumnya memiliki sedikit motivasi sendiri dalam menjalankan
usahanya.Hal ini menggambarkan bahwa peternak memiliki antusias
yang rendah dalam menjalakan usaha ternak sapi potong, baik dari
segi adopsi teknologi yang baru semisal Inseminasi Buatan (IB)
maupun manajemen usaha ternak yang intensif.

M. Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Ternak

Jumlah Kepemilikan sapi potong merupakan indikator


keberhasilan suatu usaha peternakan sapi. Dengan meningkatkan
jumlah sapi yang dimiliki responden, maka jumlah sapi yang dapat
dijual per tahun akan meningkatkan pendapatan peternak.
Karakteristik jumlah sapi potong di lokasi penelitian dapat dilihat di
Tabel 12.

vi
Tabel 12. Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Ternak
Prosentase
Karakteristik Peternak Jumlah
(%)
Jumlah Ternak
1 s/d 3 29 69.05
4≥ 13 30.95
Karakteristik Peternak 42 100
Sumber data primer 2014

Hasil Tabel 12 dapat diketahui bahwa sebesar 69,05% atau


sejumlah 29 responden dari 42 responden dilokasi penelitian pada
umumnya memiliki jumlah ternak yang relative rendah dalam
menjalankan usahanya, dimana hal ini menggambarkan bahwa
peternak dilokasi penelitian masih tergolong peternak tradisional
dengan ciri-ciri jumlah ternak sedikit dengan rata-rata jumlah
kepemilikan sapi 3 ekor.

Analisis Usaha Sapi Potong


Analisis usaha sapi potong pada penelitian ini digunakan guna
mengetahui tingkat pengembalian atau efisiensi dari usaha sapi
potong yakni dengan membandingkan penerimaan yang diterima
dengan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh peternak sehingga dengan
demikian dapat diketahui rata-rata keuntungan yang diterima oleh
peternak selama masa pemeliharaan satu tahun.

Biaya usaha sapi potong merupakan semua ongkos yang


dikeluarkan dalam suatu usaha sapi potong yang meliputi biaya tetap
dan biaya variabel. Pada dasarnya, biaya yang dikeluarkan tiap
peternak dalam usaha sapi potong tidaklah sama, sebab besar

v
kecilnya biaya yang dikeluarkan responden tergantung pada besar
kecilnya skala usaha. Besar kecilnya skala usaha menunjukkan
tingkat input yang dibutuhkan. Karna itu semakin besar skala
usahanya maka semakin besar pula biaya yang yang harus
dikeluarkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata total biaya
usaha sapi potong yang dikeluarkan responden dengan masa
pemeliharaan satu tahun adalah sebesar Rp. 24.359.715,41 per tahun
atau Rp. 2.029.976,28 per bulan dari total responden (Tabel 13).

Tabel 13 Analisis Usaha Sapi Potong


Rata-Rata
Uraian Jumlah
Per tahun Per bulan
Bakalan 279.200.000 6.647.619,05 553.968,23
Pakan 449.210.000 10.695.476,19 891.289,68
Tenaga kerja 180.600.000 4.300.000,00 358.333,33
Obat-obatan + IB 27.922.500 664.821,43 55.401,79
Biaya lainnya 32.691.000 778.357,14 64.863,10
Total Biaya Variabel 969.623.500 23.086.273,81 1.923.856,15
Peny. kandang dan 45.024.547 1.072.013,03 89.334,42
peralatan
Pemeliharaan dan 8.460.000 201.428,57 16.785,71
perbaikan
Total Biaya Tetap 53.484.547 1.273.441,60 106.120,13
Total Biaya 1.023.108.047 24.359.715,41 2.029.976,28
Total Penerimaan 1.085.150.000 25.836.904,76 2.153.075,40
Pendapatan 62.041.953 1.477.189,35 123.099,11
R/C ratio 1,06
Sumber: data primer (2014)

A. Biaya Variabel

vi
Biaya tidak tetap (biaya variabel) merupakan biaya yang
dikeluarkan responden yang mana besar kecilnya tergantung pada
besar kecilnya produksi. Berdasarkan hasil penelitian biaya variabel
yang dikeluarkan responden di lokasi penelitian meliputi biaya untuk
pembelian bakalan, pembelian pakan, biaya tenaga kerja, kawin
suntik (Inseminasi Buatan-IB), dan obat-obatan serta biaya lainnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya variabel terbesar


yang dikeluarkan responden yakni biaya pakan. Adapun jenis pakan
yang diberikan meliputi pakan hijauan dan pakan penguat. Pakan
hijauan yang diberikan berupa rumput, jerami dan daun jagung.
Menurut responden, pakan hijauan yang digunakan seperti rumput
dan jerami diperoleh disekitar lokasi usaha, sehingga tidak perlu
membeli sebab rumput dan jerami tersedia disekitar wilayah lokasi
penelitian. Sedangkan untuk pakan penguat seperti dedak dan tahu
diperoleh dari toko dan pabrik setempat. Berdasarkan hasil penelitian
penggunaan tahu sebagai pakan ternak sapi hanya digunakan oleh
responden desa Kampak. Hal ini tidak lain karna di desa kampak
terdapat usaha pembuatan tahu.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa aktivitas


pemeliharaan usaha sapi potong dilokasi penelitian masih belum
dikerjakan oleh tenaga kerja upahan. Melainkan dikerjakan oleh
tenaga kerja dalam keluarga yang mana aktivitasnya meliputi mencari
pakan (rumput atau jerami), dan pemeliharaan ternak sapi seperti
pemberian pakan, dan memandikan sapi serta membersihkan
kandang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam sistem pembibitan


tidak semua responden menggunakan kawin suntik (Inseminasi
Buatan-IB) sebagian besar masih menggunakan sistem kawin alami.
Hal ini dikarenakan keberhasilan kawin suntik (Inseminasi Buatan-IB)

v
tidak langsung pada satu kali suntik tapi juga bisa sampai mencapai
1-3 kali suntik. Penggunaan kawin suntik (Inseminasi Buatan-IB)
mayoritas sering dilakukan oleh responden peternak desa Kampak.
Menurut responden, hal ini tidak lepas dari peranan mantri hewan
setempat yang sering kali melakukan sosialisasi dan pendampingan
dalam cara pemeliharaan yang baik seperti pencatatan dan
perencanaan pembibitan. Di sisi lain animo responden desa Kampak
yang tergiur akan keuntungan (potensi) hasil dari perkawinan silang
antara sapi Madura dengan sapi Limousin.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya lainnya pada usaha


sapi potong di lokasi penelitian meliputi biaya transportasi, biaya
masuk pasar (karcis sapi) dan biaya pembelian input serta biaya
perantara.

N. Biaya Tetap

Biaya tetap merupakan biaya yang dikeluarkan oleh responden


yang mana besar kecilnya tidak tergantung pada besar kecilnya
produksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata biaya tetap
pada usaha sapi potong dilokasi penelitian per tahun sebesar Rp.
1.273.441,60. Berdasarkan hasil penelitian, ukuran dan bahan yang
digunakan untuk membuat kandang tidaklah sama pada setiap usaha
sapi potong yang usahakan responden. Karna itu, besar kecilnya
biaya tetap yang dikeluarkan responden juga berbeda-beda.

Berdasarkan hasil penelitian, bahan yang digunakan


responden dalam pembuatan kandang masih berbahan papan atau
bambu untuk bagian dinding, sedangkan untuk bagian atap
menggunakan seng atau genteng dan untuk lantai masih sedikit yang

vi
menggunakan semen. Adapun untuk inventaris peralatan yang dimiliki
perternak juga berbeda-beda tergantung dari skala usahanya.

O. Penerimaan Usaha Sapi Potong

Penerimaan merupakan pendapatan kotor yang mana masih


belum dikurangi atas biaya yang dikeluarkan. Umumnya, komponen
penerimaan usaha sapi potong berasal dari penjualan ternak sapi dan
penjualan pupuk. Adapun penerimaan usaha sapi potong pada
dasarnya dipengaruhi oleh jumlah dan harga jual dari output (sapi
potong dan pupuk), sehingga semakin besar skala usahanya (jumlah
kepemilikan sapi potong) dan serta semakin tinggi harga jual sapi
potong maka penerimaan yang diterima peternak juga semakin besar
pula.

Pada dasarnya usaha ternak sapi tidak hanya menghasilkan


bakalan atau pedet untuk dikomersialkan, tetapi juga menghasilkan
produk samping seperti feses dan urine, yang mana dapat
dimanfaatkan sebagai pupuk sehingga memiliki nilai ekonomis yang
tinggi (Rohaeni et al, 2005).

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata


penerimaan yang diterima responden adalah sebesar Rp.
25.836.904,76 per tahun atau sebesar Rp. 2.153.075,40 per bulan
dari total responden peternak. Adapun komponen penerimaan dalam
usaha sapi potong di lokasi penelitian hanya berasal dari penjualan
sapi potong. Sebab sampai saat ini (waktu penelitian dilaksanakan)
pupuk yang dihasilkan belum dimanfaatkan secara komersial
melainkan dimanfaatkan dalam usahatani. Menurut responden,
penjualan ternak sapi tidak dilakukan secara berskala (tidak menentu)
atau terencana melainkan sesuai kebutuhan artinya hanya ketika
responden membutuhkan uang secara mendadak. Responden
v
menjual hasil produksinya (ternak sapi) dengan mempertimbangkan
harga jual musiman seperti saat menjelang perayaan hari-hari besar,
sebab harga jual ternak relatif tinggi pada hari-hari besar seperti hari
raya Idhul fitri dan hari raya qurban.

P. Pendapatan Usaha Sapi Potong

Pendapatan merupakan keuntungan bersih yang diterima


responden setelah adanya pengurangan terhadap penerimaan atas
biaya (total biaya) yang dikeluarkan selama satu tahun masa
pemeliharaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata
pendapatan usaha sapi potong dilokasi penelitian secara finansial
relatif rendah yakni Rp. 1.477.189,35 per tahun atau sebesar Rp.
123.099,11 per bulan. Sebab jika dibandingkan dengan UMK (Upah
Minimum Kota) maka besaran nilai pendapatan yang diterima tiap
responden belum dapat dikatakan ideal. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa manajemen pemeliharaan responden dalam mengelola usaha
sapi potong belum efisien. Sebab dalam pengelolaan usaha ternak
sapinya, responden cenderung tidak memperhitungkan berapa
besaran output yang akan dihasilkan sehingga bisa diukur berapa
besaran nilai input yang dibuthkan sehingga dengan demikian
pendapatan dapat diperkirakan.

Di sisi lain, rendahnya pendapatan yang diterima responden


juga disebabkan rendahnya harga jual ternak sapi yang mana rata-
rata harga jual sapi (waktu penelitian dilaksanakan) hanya sebesar
Rp. 7.205.215, di samping itu jumlah ternak yang dimiliki responden
rata-rata 3 ekor dari total responden dengan sebaran kepemilikan
ternak berkisar antara 1-7 ekor. Menurut responden, harga jual ternak
sapi relatif tinggi saat menjelang hari-hari besar seperti hari raya Idul
Fitri dan hari raya Kurban.

vi
Umumnya, pendapatan usaha sapi potong tidak hanya berasal
dari penjualan sapi potong, melainkan juga dari penjualan kotoran
ternak. Hal senada juga dinyatakan oleh Rohaeni et al (2005), bahwa
kotoran ternak dapat dikomersialkan dengan dimanfaatkan sebagai
pupuk. Sehingga dari penjualan pupuk (kotoran ternak) kemudian
dapat meningkatkan pendapatan peternak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa di lokasi penelitian,


pemanfaatan pupuk belum optimal. Sebab penggunaan kotoran
ternak sebagai pupuk untuk usahatani belum melalui proses diolah
serta penggunaannya masih rendah karena mayoritas peternak masih
menggunakan pupuk kimia dalam kegiatan usahataninya.

Q. Analisis R/C Ratio

Analisis R/C ratio merupakan satu alat analisis yang mana


digunakan untuk melihat tingkat kelayakan dari satu usaha, dengan
syarat bahwa nilai R/C ratio harus lebih dari satu (R/C > 1) sehingga
dengan semakin tinggi nilai dari R/C ratio dari usaha tersebut maka
semakin layak usaha tersebut untuk dijalankan sebab pendapatan
yang diterima semakin besar begitu juga sebaliknya. Pada dasarnya,
analisis R/C ratio dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
dalam pengambilan keputusan yang berkenaan dengan usaha akan
lanjutkan untuk dijalankan atau tidak.

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa rata-rata nilai R/C


ratio usaha sapi potong dilokasi penelitian yakni sebesar 1,06.
Sehingga berdasarkan hasil analisis R/C maka usaha sapi potong
dilokasi penelitian layak untuk dijalankan sebab nilai R/C ratio dari
usaha sapi potong dilokasi penelitian lebih dari satu (R/C < 1). Artinya,
bahwa dalam setiap pengeluaran Rp 1.000 maka responden akan
memperoleh pendapatan sebesar Rp. 1,060. Berdasarkan hasil

v
penelitian, usaha sapi potong dilokasi penelitian mampu memberikan
tambahan pendapatan meskipun relatif rendah. Rendahnya
pendapatan yang diterima oleh responden tidak lain disebabkan
usaha sapi potong di lokasi penelitian sifat pengusahaanya masih
sebagai tabungan. Sehingga dalam pengelolaannya masih belum
maksimal, hal ini dapat dilihat dari penggunaan factor produksi yang
tidak efisien sehingga biaya yang dikeluarkan relatif tinggi.

Namun, usaha sapi potong di lokasi penelitian memiliki peluang


dan potensi usaha yang relatif besar. Setidaknya bila dilihat dari
potensi pakan dari lingkungan sekitar lokasi usaha yang sifatnya
relatif lebih murah.

Nilai Tambah Industri Sapi Potong


Mujiburrahman (2011) mendefinisikan analisis nilai tambah
sebagai suatu alat analisis yang digunakan untuk mengetahui
persentase pertambahan nilai dari suatu produk yang sudah
mengalami proses pengolahan atau berubah menjadi produk baru.

Dalam industri sapi potong, kegiatan distribusi yang


berlangsung yakni dari sapi potong menjadi daging segar melibatkan
beberapa aktor, yang mana di dalam proses tersebut setiap aktor
memberikan nilai tambah terhadap komoditas sapi potong. Nilai
tambah di sini dikarenakan adanya perlakuan yang dilakukan oleh
para aktor yang terlibat dalam kegiatan distribusi dari sapi potong
menjadi daging segar (Emhar et al, 2014).

Nilai tambah pada kegiatan pemotongan sapi potong


merupakan tambahan keuntungan yang diperoleh oleh pelaku usaha
(jagal) akibat adanya perlakuan terhadap bahan baku (sapi potong)
menjadi daging. Di mana nilai tambah dari kegiatan pemotongan sapi

vi
potong menjadi daging terdiri dari atas balas jasa bagi tenaga kerja
dan keuntungan pengusaha. Adapun rata-rata hasil perhitungan nilai
tambah jagal dapat dilihat sebagaimana yang ada dalam Tabel 14.

Tabel 14 Rata-rata Nilai Tambah di Tingkat Jagal

No. Output, Input dan Harga Rumus Nilai


Output
1 Volume Penjualan (kg)
a. Produk Utama (kg) 1a 101.67
b. Produk samping (kg) 1b 39.33
c. Total volume penjualan (kg) 1c = (1a) + (1b) 141.00
Nilai Penjualan (Rp/kg)
d. Harga Produk Utama 1d 76,666.67
e. Harga Produk samping 1e 40,761.90
f. Total nilai penjualan (Rp) 1f = (1a*1d) + (1b*1e) 9,397,746.03
2 Bahan Baku
a. Harga beli sapi hidup (rp/ekor) 2a 8,333,333.33
b. Bobot sapi hidup (kg/ekor) 2b 150.00
3 Tenaga kerja (HOK/ekor) 3 3
4 Faktor konversi 4 = (1f)/(2a) 1.13
5 Koefisien tenaga kerja (HOK/kg) 5 = (3)/(2b) 0.02
6 Upah tenaga kerja (Rp/HOK) 6 31,166.67
Penerimaan dan Keuntungan
7 Harga bahan baku (Rp/kg) 7 = (2a)/(2b) 55,555.56
8 Harga input lain
a. Biaya pakan (Rp/kg bahan baku) 8a 122.22
b. Biaya transportasi (Rp/kg bahan baku) 8b 222.22
c. Biaya retribusi (Rp/kg bahan baku) 8c 211.11
d. Total harga input lain 8d = (8a) + (8b) + (8c) 555.56
9 Nilai output
a. Produk Utama (kg) 9a = 4 x 1d 86,459.26
b. Produk samping (kg) 9b = 4 x 1e 45,968.40
c. Total Nilai output (Rp/kg) 9c = (9a + 9b) 132,427.67
10 a. Nilai tambah (Rp/kg) 10a = (9c) - (7) - (8d) 76,316.56
b. Rasio nilai tambah (%) 10b = (10a/9c) x 100% 57.63
11 a. Pendapatan tenaga kerja (Rp/kg) 11a = (5) x (6) 554.07
b. Pangsa tenaga kerja (%) 11b = (11a/10a) x 100% 0.73
12 a. Keuntungan (Rp/kg) 12a = (10a) - (11a) 75,762.48
b. Tingkat keuntungan (%) 12b = (12a/9c) x 100% 57.21
Sumber: data primer (2014)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan baku utama dalam


kegiatan pemotongan sapi menjadi daging yakni sapi potong. Adapun
sapi yang dipotong baik ukuran dan harganya berbeda-beda. Bahan

v
baku utama yakni sapi potong dibeli baik secara langsung maupun
melalui pedagang yang mana transaksinya terjadi di pasar sapi, dan
terkadang juga langsung diantar ke rumah jagal oleh pedagang.
Untuk pembayaran, umumnya dilakukan secara tunai. Pemotongan
sapi menjadi daging segar dipotong dengan pengawasan Rumah
Potong Hewan (RPH).

Adapun produk yang dihasilkan dari proses pemotongan sapi


potong menjadi daging segar yakni menghasilkan dua jenis produk
yakni produk utama (primary product) dan produk samping (side
product). Di mana produk utama yang dihasilkan berupa daging
sedangkan produk samping yang dihasilkan diantaranya berupa
kepala, kulit, jeroan, ekor, dll.

Berdasarkan hasil perhitungan nilai tambah pemotongan sapi


potong menjadi daging diketahui bahwa rata-rata volume penjualan
daging sebesar 141 kg dari setiap pemotongan 1 ekor sapi hidup
ukuran sedang (150 kg) dengan nilai penjualan sebesar Rp.
9.397.746 per hari, di mana rata-rata harga beli bahan baku utama
yakni 1 ekor ternak sapi sebesar Rp. 8.333.333,33. Nilai faktor
konversi sebesar 1,13 di mana faktor konversi merupakan hasil dari
pembagian nilai output dengan nilai input untuk setiap 1 ekor sapi
ukuran sedang. Nilai konversi ini menunjukkan bahwa dalam setiap
Rp. 1. utama yang digunakan maka akan menghasilkan keuntungan
sebesar Rp 1,31.

Harga bahan baku merupakan harga beli sapi potong yang


dibagi dengan berat sapi dalam satuan rupiah per kilogram, sehingga
diperoleh harga rata-rata sapi potong per kilogram sebesar Rp.
55.555,56. Untuk mendukung kegiatan nilai tambah diperlukan
sumbangan dari input lain seperti biaya pakan, biaya transportasi dan

vi
biaya retribusi yakni sebesar Rp. 555,56 untuk setiap kilogram input
(bahan baku utama) yang digunakan.

Adapun dalam proses pemotongan setiap 1 ekor sapi potong


rata-rata membutuhkan 3 HOK dengan upah rata-rata tenaga kerja
sebesar Rp. 31.167/HOK, dengan nilai koefisien tenaga kerja sebesar
0,02 yang artinya untuk setiap satu kilogram input bahan baku yang
digunakan membutuhkan 0,02 HOK. Adapun jumlah keuntungan yang
diterima terima oleh tenaga kerja dalam setiap kilogram output yang
dihasilkan yakni sebesar Rp. 554,07 atau 0,73% dari total nilai
tambah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan pemotongan


sapi potong menjadi daging di lokasi penelitian mampu memberikan
nilai tambah karna besaran nilai tambah yang diperoleh lebih besar
dari nol (0) yakni sebesar Rp. 76.316,56,- atau 57,63% dari total
output. Namun, nilai tambah yang diperoleh tersebut masih
merupakan keuntungan kotor bagi jagal, karena di dalamnya masih
terdapat imbalan bagi tenaga kerja yang terlibat langsung dalam
proses pemotongan sapi potong yakni sebesar Rp. 554,07 atau
0,73% dari total nilai tambah. Sehingga keuntungan bersih yang
diterima jagal Rp. 75,762,48 atau 57,21% dari total nilai output yaitu
Rp. 132.427,67. Dengan demikian, hal ini menunjukkan bahwa di
samping memberikan keuntungan bagi jagal, proses pemotongan sapi
potong menjadi daging dapat menciptakan lapangan pekerjaan dan
memberikan kontribusi nyata terhadap peningkatan pendapatan
masyarakat khususnya tenaga kerja.

v
vi
6. MODEL PENGUATAN RANTAI
KOMODITAS INDUSTRI SAPI MADURA

Konsep Model Penguatan


Permasalahan utama yang ingin dipecahkan dalam penelitian
ini adalah bagaimana memperkuat rantai komoditas Sapi Madura,
artinya terjalin keterkaitan antar aktor yang terlibat dalam hubungan
yang setara, serasi dan saling menguntungkan. Aktor yang paling
mendapat perhatian adalah peternakan penggemukan dan penyedia
bakalan. Kedua aktor ini menghadapi berbagai permasalahan
diantaranya yaitu: permodalan terbatas, kepemilikan ternak antara 2 –
4 ekor saja, penguasaan teknologi yang kurang, bargaining postition
yang lemah serta rendah insentif ekonomi yang diterima. Akibatnya
mereka hidup dibawah garis kemiskinan dan tidak berdaya untuk
mengakses sumberdaya produktif guna meningkatkan taraf hidup
keluarganya.

Hasil analisis menunjukkan bahwa salah satu faktor krusial


yang harus segera ditangani dalam memperkuat rantai komoditas sapi
Madura adalah penguatan manajemen dan kelembagaan peternak,
perbaikan infrastruktur pasar dan perkuatan bargaining position.
Jalinan kerja yang saling menguntungkan juga sangat dibutuhkan
terutama bagi penyedia bakalan yang sementara ini menjadi aktor
yang paling lemah.

Model rantai komoditas industri Sapi Madura yang dapat dilihat


pada gambar berikut adalah hasil perpaduan dari kajian akademis
yang disesuaikan dengan kondisi wilayah, permasalahan dan potensi
yang ada serta paket kebijakan pemerintah yang relevan. Harapannya

v
konsep tersebut betul-betul sesuai dengan keinginan peternak dan
bersedia untuk dilaksanakan dengan baik agar mampu membantu
tercapainya swasembada daging.

Visi yang ingin dicapai dalam implementasi model penguatan


diatas adalah terbentuknya peternak (penggemukan dan penyedia
bakalan) yang mandiri dan mampu bekerjasama dalam suatu lembaga
yang profesional dalam rangka meningkatkan taraf hidup serta
bersinergis dengan pemerintah, lembaga swasta/pengusaha dan
akademisi dalam mengembangkan wilayah secara keseluruhan.

Untuk mencapai visi diatas maka model pemberdayaan


dilakukan dengan pendekatan Empat-Pilar yaitu: pengembangan
kualitas SDM, perbaikan organisasi dan kelembagaan, pemberdayaan
usaha ekonomi produktif, dan pendayagunaan sarana dan prasarana
produksi dan pemasaran.

vi
Gambar 4. Model Penguatan Rantai Komoditas Industri Sapi Madura

Aktor yang terlibat dalam Model Penguatan Rantai


Komoditas Industri Sapi Madura serta Peran Masing-
Masing
Dalam model penguatan ini terdapat aktor yang terlibat yaitu:

A. Peternak

Peternak adalah aktor kunci dalam rantai komoditas industri


sapi Madura. Mereka mempunyai aktifitas upstream dan downstream.
Dalam penelitian ini, informasi dari peternak digunakan sebagai dasar

v
untuk mencari kelompok responden. Aktifitas yang dilakukan oleh
peternak diantaranya adalah:

a. Membeli bakalan
b. Perawatan sapi Madura
c. Membeli sapi makalan
d. Membeli obat
e. Membeli pakan
f. Penggemukan sapi
g. Aktifitas transportasi

R. Penyedia Bakalan

Penyedia bakalan adalah aktor yang paling rendah tingkat


kesejahterannya. Mereka kurang intensif dalam mengusahakan
kegiatan penyediaan bakalan. Hal disebabkan karena perawatan
bakalan membutuhkan waktu dan biaya yang relatif besar. Aktifitas
yang dilakukan oleh penyedia bakalan diantaranya adalah:

a. Membeli indukan
b. Mencari pakan hijauan
c. Membeli pakan ternak (konsentrat dll)
d. Membeli obat-obatan
e. Aktifitas insenminasi buatan
f. Pemeliharaan bakalan
g. Aktifitas transportasi
h. Aktifitas pemasaran bakalan

S. Pedagang

vi
Pedagang terdiri dari beberapa level yaitu pedagang desa yang
membeli sapi dari peternak atau pedagang lainnya dalam satu wilayah
desa; pedagang kecamatan membeli sapi diwilayah satu kecamatan
dan pedagang kabupaten yang membeli sapi dari pihak lain dalam
satu kabupaten.

Pedagang dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok yaitu


pedagang yang mempunyai modal besar dan pedagang yang
mempuyai modal pas-pasan. Mereka yang mempunyai modal besar
dapat memelihara sapi yang baru dibeli sampai harga beranjak naik.
Aktifitas yang dilakukan oleh pedagang antara lain adalah:

a. Membeli sapi potong


b. Perawatan sapi potong
c. Periklanan
d. Pengepakan daging bagi yang merangkap sebagai jagal
e. Aktifitas transportasi
f. Aktifitas pemasaran

T. Jagal

Aktor lain yang terlibat adalah jagal atau prosesor. Sama


dengan pedagang maka jagal dapat dikelompokkan berdasarkan areal
kerjanya. Aktifitas yang dilakukan oleh jagal antara lain adalah:

a. Membeli sapi potong


b. Periklanan
c. Pengolahan daging
d. Aktifitas transportasi
e. Aktifitas pemasaran

v
U. Aktor Lainnya

Disamping aktor-aktor sebagaimana disebutkan diatas. Ada


beberapa aktor lainnya yaitu:

a. Lembaga keuangan
b. Inseminator
c. Penyuluh
d. Penyedia pakan
e. Penyedian obat-obatan

Tahapan Implementasi Model Penguatan Rantai


Komoditas Industri Sapi Madura
Implementasi model penguatan rantai komoditas industri Sapi
Madura dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut:

A. Sosialisasi dan Pelatihan Tim Pemberdayaan Masyarakat


1. Sosialisasi

Sosialisasi ini merupakan tahap awal untuk dapat mengenalkan


dan menjelaskan apa yang dimaksud dengan Model Penguatan rantai
komoditas, apa yang menjadi tujuan dan sasarannya, siapa yang akan
dilibatkan, serta mekanisme bagaimana yang digunakan. Pelaksanaan
sosialisasi yang minim, akan mengakibatkan kurang utuhnya
pemahaman tentang konsep ini yang pada akhirnya berdampak pada
memudarnya makna dan tujuan model pemberdayaan ini.

2. Seleksi dan Pelatihan Tim Pemberdayaan Masyarakat


a. Seleksi Tim Pemberdayaan Masyarakat (PM)

vi
Adapun peran utama tim pemberdayaan masyarakat adalah
pendampingan pada masyarakat dalam proses pemberdayaan
masyarakat. Peran dari tim pemberdayaan masyarakat ini pada
awalnya sangat dominan dan sangat menentukan keberhasilan proses
pemberdayaan tetapi selanjutnya harus semakin berkurang selama
proses pemberdayaan berjalan. Hingga pada akhirnya peran tim
pemberdayaan masyarakat berkurang diganti dengan peran
masyarakat yang sudah mampu melanjutkan kegiatannya secara
mandiri. Proses pendampingan pada saat itu berhenti, namun
demikian masih harus dipertahankan hubungan kerjasama dengan
masyarakat tersebut khususnya dalam hal pelayanan teknis dan non-
teknis yang masih dibutuhkan masyarakat.

Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk pengadaan


pendamping ini adalah sebagai berikut :

a. Mengidentifikasikan calon-calon personil pendamping. Para


pendamping ini dapat berasal dari berbagai unsur seperti aparat
pemerintah, organisasi kemasyarakatan, akademisi, lembaga
penelitian, ataupun individu yang memiliki perhatian terhadap
program ini.
b. Menyeleksi calon pendamping. Dalam proses ini calon
pendamping diutamakan dapat memenuhi beberapa kriteria, antara
lain sebagai berikut:
 Memiliki pendidikan formal, minimal setara D3.
 Memiliki pengalaman pendampingan dengan pendekatan
partisipatif.
 Memiliki pengetahuan dan keahlian dalam pengembangan
ekonomi lokal.

v
 Memperoleh pengakuan dari berbagai stakeholder di
daerahnya.
 Memiliki komitmen dan integritas tinggi
 Telah tinggal di daerah tersebut sedikitnya 1(satu) tahun.
 Diutamakan yang bersedia bekerja secara sukarela.

b. Pelatihan Tim Pemberdayaan Masyarakat

Untuk tim pemberdayaan masyarakat ada program pelatihan


yang diadakan sebelum mereka diterjunkan ke lapangan. Kegiatan
tersebut perlu diikuti oleh anggota Tim untuk meningkatkan keahlian
dan kemampuannya dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat yang
akan dilakukan.

Fokus kegiatan pelatihan yang dilakukan adalah memberikan


bekal tehnik-tehnik kepada anggota tim pemberdayaan agar mampu
melakukan trasnformasi nilai-nilai yang bersifat universal. Metode
pelatihan yang digunakan adalah Andragogi yaitu suatu proses
pendidikan orang dewasa. Proses belajar yang dilakukan terdiri dari
beberapa pendekatan yaitu diskusi kelompok terfokus (Focus Group
Discussion), tukar pengalaman (sharing), Demoplot dan untuk materi-
materi tertentu dilakukan tutorial. Semua kegiatn tersebut dibmbing
oleh instruktur dan nara sumber ahli.

Secara garis besar materi pelatihan yang diberikan kepada tim


pemberdayaan masyarakat adalah:

- Orientasi proyek dan program pemberdayaan


- Training of Trainer (TOT)
- Pelatihan praktek untuk Focus Group Discussion (FGD)
- Pelatihan praktek untuk komunikasi massa

vi
- Pembentukan dan pengembangan kelompok
- Pelatihan tehnik dan metode partisipatif
- Pelatihan praktek untuk metode survey desa sendiri

V. Pembentukan Kelompok

Tahap kedua dalam implementasi model penguatan adalah


pembentukan kelompok sebagai wadah dalam pelaksanaan program
pemberdayaan. Pembentukan kelompok ini tidak dimaksudkan untuk
membatasi anggota masyarakat yang terlibat dalam program
pemberdayaan, tetapi bertujuan untuk meningkatkan efektifitas
pengorganisasian seluruh komponen masyarakat untuk secara
terorganisasi dan sistematik melaksanakan program-program
pemberdayaan sehingga tujuan untuk memberdayakan semua
komponen masyarakat akan lebih mudah tercapai.

Untuk implementasi awal dalam pelaksanaan model ini


digunakan institusi yang telah ada yaitu kelompok pengajian (yasinan).
Pertimbangannya adalah kelompok yasinan telah lama ada dan
mendapat legitimasi kuat dari semua kelompok masyarakat.
Disamping itu kondisi kelembagaan yang ada di tujuh desa diatas
relatif tidak berjalan, sekalipun institusi formal yang pendiriannya
dibentuk oleh pemerintah daerah. Oleh karena itu salah satu alternatif
institusi yang dapat digunakan sebagai wadah dalam pemberdayaan
masyarakat adalah kelompok yasinan. Namun demikian, dalam
perkembangannya tidak tertutup kemungkinan untuk membentuk
kelompok pemberdayaan di luar kelompok yasinan. Apabila
masyarakat menghendaki dibentuknya institusi baru.

v
W. Kajian Keadaan secara Partisipatif

Kajian Keadaan Pedesaan Partisipatif dimaksudkan agar


masyarakat mampu dan percaya diri dalam mengidentifikasi serta
menganalisa keadaannya, baik potensi maupun permasalahannya.
Selain itu tahap ini dimaksudkan untuk mendapat gambaran mengenai
aspek sosial, ekonomi dan kelembagaan masyarakat serta sumber
daya alam dan sumber daya manusia. Gambaran ini akan
memberikan dasar untuk penyusunan rencana kegiatan
pengembangan. Kajian pedesaan ini dilakukan oleh masyarakat dan
difasilitasi oleh Tim PM. Dalam langkah kajian ini disediakan proses di
mana masyarakat mendapat kesempatan untuk berdiskusi dan
berbagi pengalaman dan pengetahuannya.

X. Pengembangan Kelompok

Setelah teridentifikasi segala potensi dan permasalahan


masyarakat, langkah berikutnya adalah memfokuskan kegiatan pada
masyarakat yang benar-benar tertarik dan berminat untuk melakukan
kegiatan bersama. Dalam hal ini perlu diperhatikan keterlibatan
perempuan serta yang terabaikan lain. Kegiatan bersama ini akan
dilakukan melalui kelompok pemberdayaan yang telah dibentuk
sebelumnya.

Y. Penyusunan Rencana/program

Penyusunan perencanaan kelompok peternak dilakukan secara


partisipatif dengan melibatkan berbagai stakeholder yang terlibat.
Pada awal pelaksanaan tahap ini bisa dipastikan peran Tim
Pemberdayaan Masyarakat (PM) sangat dominan. Karena dari hasil

vi
survey ternyata 55,7% belum pernah merencanakan semua kegiatan
yang akan dilakukan.

Z. Pelaksanaan Rencana/program

Implementasi program dilakukan berdasarkan rencana kegiatan


yang telah disusun dengan berbagai sumber daya penunjangnya.
Koordinasi dengan berbagai instansi terkait perlu dilakukan agar
terintegrasi dalam pelaksanaannya. Hal terpenting yang harus selalu
diperhatikan adalah partisipasi aktif dan keswadayaan masyarakat
dalam mendukung rencana yang telah diteapkan harus selalu ada.
Karena program ini sejatinya adalah dari oleh dan untuk kepentingan
masyarakat.

AA. Monitoring dan Evaluasi

Satu aspek yang sangat penting dalam pelaksanaan kegiatan


Pemberdayaan Masyarakat adalah Monitoring dan Evaluasi secara
Partisipatif. Monitoring dan Evaluasi bukanlah suatu kegiatan khusus,
tetapi dilaksanakan secara mendalam pada semua tahap PM, agar
proses Pemberdayaan Masyarakat berjalan dengan baik dan
tujuannya akan tercapai. monitoring dan evaluasi dilaksanakan oleh
semua pihak yang terlibat dalam PM di mana intinya adalah peran
masyarakat sebagai pelaku utama.

BB. Pemandirian Kelompok

Tujuan tahap Pemandirian Kelompok yaitu agar kelompok:

 Mampu menjalankan kegiatannya sendiri

v
 Mampu memanfaatkan SDM dan SDA setempat seoptimal
mungkin
 Mampu mengakses pihak-pihak yang dibutuhkan pelayanan
ataupun usahanya oleh masyarakat (seperti bank, pihak swasta,
dan sebagainya)
 Mampu memahami proses-proses perencanaan pemerintah dan
berperan serta didalamnya, misalnya proses Musyawarah
Pembangunan Desa (Musbangdes).

CC. Pembentukan Satuan Tugas Pemberdayaan Swakarsa

Para anggota tim pemberdayaan masyarakat harus berupaya


untuk melakukan penanaman dan pelembagaan visi, misi, prinsip
serta nilai-nilai dasar pemberdayaan masyarakat melalui kader
masyarakat setempat maupun berbagai kelembagaan lokal yang
dibentuk. Melalui kader masyarakat serta berbagai kelembagaan lokal
pula, usaha-usaha pemberdayaan diharapkan dapat menjadi suatu
gerakan dari, oleh dan untuk masyarakat, yang didukung oleh
pemerintah daerah dan kelompok peduli setempat.

vi
7. KONSEP POLA KEMITRAAN
MASYARAKAT PETERNAK SAPI
MADURA
Konsep kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil
dengan usaha menengah dan atau dengan usaha besar disertai
pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah dan atau
Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan,
saling memperkuat dan saling menguntungkan. Dilibatkan pula
pemerintah, Perguruan Tinggi dan lembaga bisnis.

Prinsip-prinsip kemitraan sebenarnya berkembang dari hal-hal


sederhana yang kelihatannya sepele, tetapi kadangkala sulit untuk
diterapkan. Prinsip-prinsip tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
kebersamaan, saling percaya, equality, komunikasi dan kompromi,
kerjasama dan adanya monitoring dan evaluasi.

Proses manajemen kemitraan, yang diperoleh dari penggalian


informasi dari masyarakat dan kajian pustaka adalah adanya
mekanisme untuk pertukaran informasi dan forum untuk
berkomunikasi dan menegosiasikan kesepakatan. Diperlukan
keterlibatan aktif para stakeholder dalam mengembangkan
kesepakatan manajemen (partisipasi dalam rapat, penyampaian dan
pembelaan 'posisi', dsb.). Diperlukan pula adanya badan atau
organisasi pengaduan jika terjadi konflik di dalam kerjasama
manajemen,

Pembinaan dan pengembangan usaha kecil adalah suatu


proses pemberdayaan untuk membantu para pengusaha kecil atau
kelompok untuk sesegera mungkin mandiri dan dapat memanfaatkan

v
sumber-sumber yang ada untuk menghasilkan produk yang sangat
laku di pasaran. Pembinaan dilakukan oleh tim dari Universitas
Trunojoyo yang membantu pembinaan pengusaha kecil melalui
kelompok agar mampu mengembangkan usahanya dengan baik.

Pengembangan usaha kecil menengah dan koperasi adalah


suatu konsep pertumbuhan ekonomi yang mendasarkan pada
pendayagunaan sumberdaya lokal yang ada pada stau masyarakat,
baik sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan sumberdaya
kelembagaan. Pendayagunaan sumberdaya tersebut dilakukan oleh
masyarakat sendiri bersama pemerintah lokal maupun kelompok-
kelompok kelembagaan berbasis masyarakat yang ada. Keunggulan
dari pengembangan ekonomi yang berorientasi atau berbasis lokal ini
adalah penekanannya pada proses peningkatan peran dan inisiatif-
inisiatif masyarakat lokal dalam pengembangan aktifitas ekonomi serta
peningkatan produktifitas.

1. Usaha Kecil Menengah

Usaha kecil menengah adalah usaha produktif di bidang


perdagangan, jasa, pertanian dan industri) yang dijalankan oleh
masyarakat dengan ketentuan:

a. Dimiliki dan dikelola oleh perorangan dan keluarga


b. Mempergunakan teknologi sederhana
c. Memanfaatkan sumberdaya lokal
d. Persaingan yang ketat
e. Lapangan usahanya mudah dimasuki dan ditinggalkan
2. Koperasi

Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-


orang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya

vi
berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi
rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.

3. Usaha Produktif

Adalah usaha yang dapat memberikan nilai tambah dan


meningkatkan pendapatan bagi pengusaha kecil dan menengah,
sehingga yang bersangkutan dapat berkembang lebih lanjut lagi dan
mengembalikan dana pinjamannya dengan baik.

4. Kredit Usaha

Adalah kredit modal kerja yang diberikan oleh Bank Jatim


melalui kelompok agar mampu mengembangkan usahanya.
Pemberian kredit usaha ini disertai dengan pembinaan kepada
kelompok usaha kecil penerima kredit.

A. Strategi Pengembangan Program


1. Pengenalan potensi wilayah dengan analisis lingkungan
sederhana dan mudah dipahami masyarakat
2. Sosialisasi dan penyiapan kader pendamping dan pengelola
program.
3. Identifikasi dan penentuan kelompok sasaran berdasarkan
kriteria yang telah dtentukan.
4. Pembentukan, penguatan dan pengembangan kelompok
usaha sebagai dasar pengembangan program
5. Penggalian keinginan dan kebutuhan sebagai dasar untuk
menyusun program dan rencana usaha

v
6. Memfasilitasi penyusunan program dan rencana usaha yang
bertumpu pada sumberdaya lokal dan dilakukan sepenuhnya
oleh masyarakat
7. Praktek dan studi banding pada wirausahawan atau kelompok
usaha yang telah berhasil
8. Survey dan analisis pasar untuk mendapatkan informasi
tentang permintaan pasar dan komoditas yang
menguntungkan untuk diusahakan.
9. Penciptaan produk yang berorientasi pasar dan mempunyai
nilai tambah yang tinggi
10. Bimbingan analisis usaha dan pembukuan untuk keperluan
monitoring dan evaluasi
11. Pembinaan konsep simpan pinjam dengan sistem tanggung
renteng melalui mekanisme pemberdayaan kelompok
12. Pemberian kredit usaha sesuai dengan tingkat kebutuhan
yang telah dirumuskan dalam musyawarah kelompok
13. Memperkenalkan kelompok usaha yang telah mandiri untuk
belajar menghadapi lembaga keuangan formal yang lebih
ketat persyaratannya.
14. Pengembangan jaringan pemasaran di berbagai tempat untuk
memelihara pasar yang sudah ada dan berusaha mengakses
pasar baru
15. Pengenalan sistem teknologi informasi dan komunikasi pasar
16. Mengembangkan kemitraan dengan berbagai pihak terkait
untuk memperbesar akses kelompok terhadap sumber
permodalan, teknologi dan pasar.

vi
B. Kelompok Sasaran Program

Kelompok sasaran terbagai dalam dua kategori, yaitu:

1. Sasaran Langsung
 Peternak
 Produsen skala rumah tangga
 Pedagang

2. Sasaran Tidak Langsung


 Koperasi
 Sektor Usaha Informal

C. Manfaat Program
1. Pemberdayaan masyarakat. Fokus program adalah
tumbuhnya keberdayaan masyarakat yang dicirikan dengan
kemampuan masyarakat mengidentifikasi potensi dan
permasalahan yang dihadapi serta kemampuan untuk
menemukan solusi alternatif pemecahan masalah.
2. Pengembangan ekonomi dan usaha di daerah melalui upaya
penciptaan sektor usaha yang berbasis sumberdaya lokal dan
keterkaitan dengan pasar di perkotaan
3. Peningkatan kemampuan kelompok sasaran dalam
menyusun rencana usaha dan mengelola kegiatan usahanya
secara profesional dan komersil.
4. Menumbuhkan semangat kerjasama antar individu, antara
individu dengan kelompok, antara kelompok satu dengan
kelompok lainnya, antara kelompok dengan pemerintah dan

v
stakeholder terkait untuk tumbuhnya perekonomian
masyarakat
5. Menumbuhkembangkan klaster-klaster usaha dan industri
kecil yang memiliki keunggulan lokal, akses pasar yang jelas,
kontinu dan prospektif
6. Terciptanya jaringan kemitraan yang saling menguntungkan
antara pelaku-pelaku bisnis yang ada dalam upaya
pengembangan ekonomi lokal.

vi
DAFTAR PUSTAKA
ANONYMOUS, 2011a. Reducing Dependency of Supply Beef and Calf from
Australia. Communication Forum of Research Professor, Indonesian
Agency for Agricultural Research and Development, Ministry of
Agriculture.
Ardiansyah, A.F. 2014. Kontribusi Nilai Tambah Industri Sapi potong. Skripsi.
Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo
Madura.
Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri 2000. Kebijakan
Pemberdayaan Kelembagaan Tani. Departemen Pertanian.
Chambers, Robert, 2001. Partisiparoty Rural Appraisal, Memahami Desa
Secara Partisipatif, Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Czuba, Cheryl E., Empowerment: What Is It?. Journal of extension Volume
37 Number 5 Oktober 1999.
http://www.joe.org/joe/1999october/comm1.html
Depdagri, 2000. Aktualisasi Otonomi Dalam Perencanaan Pembangunan
Daerah Jurnal Pembangunan Daerah, Jakarta.
DIRECTORATE GENERAL OF LIVESTOCK INDONESIA. 2010. Blue Print
of Meat self-Sufficient Program 2014. Ministry of Agriculture.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2003 Pengembangan
Kawasan Agribisnis Berbasis Peternakan (2003), Direktorat
Pengembangan Peternakan, , Departemen Pertanian, Jakarta.
DitjenNak, 2000a. Panduan Kegiatan Kajian Keadaan Pedesaan Partisipatif
(HM 4), DELIVERI.
DitjenNak, 2000c. Panduan Pemberdayaan Masyarakat bagi Pengambil
Kebijakan (PG 3), DELIVERI
FAISAL, M. 2010. Analisis Tata Niaga Sapi Potong PT. Kariyana Gita
Utama Cicurug Sukabumi. Master Thesis. Institut Pertanian
Bogor.
FOOD AND AGRICULTURE ORGANIZATION (FAO). 2005a. On-line
resource materials for policy making. Analytical tools. Module 043.
Commodity Chain Analysis. Constructing the Commodity Chain,
Functional Analysis and Flow Charts. Retrieved June 9, 2009.

v
From EASYPOL World Wide Web: www.fao.org/ docs/up/
easypol/330/cca_043EN.pdf.
HARUNA, U and MURTALA, N, 2005. Commodity Chain Analysis of Cattle
Marketing in Nigeria: A Case Study of K.R.I.P Area Kano State. Final
Report of Adeni Project/NAERLS Zaria, Nigeria.
Irfandi, A.A. 2014. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Peternak
Sapi Potong (Studi Kasus di Kabupaten Bangkalan). Skripsi. Program
Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura.
KARIYASA, K dan KASRYNO, F. 2004. Dinamika Pemasaran dan Prospek
Pengembangan Ternak Sapi di Indonesia. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
KARIYASA, K. 2003. Analisis Permintaan dan Penawaran Daging Sapi di
Indonesia: Analisis Swasemda daging pada tahun 2005. Hal: 99-115.
SOCA Journal (Udayana University)
KARNAEN dan ARIFIN, J. 2007. Performans Produksi dan Reproduksi Sapi
Madura, Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner,
Universitas Pajajaran.
KUTSIYAH, F, KUSMARTONO dan SUSILAWATI, T. 2003. Studi
Komparatif Produktifitas antara Sapi Madura dan
Persilangannya dengan Limousin di Pulau Madura. Jurnal Ilmu
Ternak dan Veteriner, Volume 8 (2): 98-106
MAYROWANI, H. 2006. Performance of Beef Cattle Agribusiness in
East Java Province: Impact of Monetary Crisis and
Implementation of Regional Autonomy Policy. Journal of Socio-
Economic of Agriculture and Agribusiness, Volume 6 (3): 20-42.
MONKE, E. A. and S. PEARSON.1989.The policy analysis matrix for
agricultural development, Cornell University Press.
Purwanto, D. 2014. Analisis Structure Conduct Performance Industri Sapi
Madura (Studi Kasus di Kabupaten Bangkalan). Skripsi. Program
Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura.
RAHMANTO, B. 2004. Farm Business Analysis of Smallholder Beef Cattle
Farmers. Indonesian center for Agricultural Socio Economic Research
and development. Ministry of Agriculture.

vi
SINURAYA, YF. 2006. Livestock Production: Achievement and Prospect.
Indonesian Center for Agriculture Socio Economic and Policy Studies.
SUNYIGONO, A.K. 2012. Economic Assesement of the Beef Cattle
Commodity Chain for Smallholder and Large Farmers in East Java,
Indonesia. Unpublished PhD Dissertation. College of Economics
and Management, University of the Philippines Los Banos.
TAWAF, R dan SURYADI, D. 2008. Response of Feedlot Business to the
Beef Market Mechanism Changed in West Java Indonesia, Lucrari
Scietific volume 54, Universitate de Stiinte Agricole si Medicina
Veterinara.
YUSDJA, Y, R SAYUTI, S WAHYUNINGSIH, WK SEJATI, I SODIKIN, N
ILHAM and SUBAGYO, I. 2009. The Portrait of Indonesian Cattle
Commodity. Economic Review, No (217): 1-7.
YUSRAN, A., AFFANDHY, L., RASYID, A., dan WIJONO, D.B., 1992.
Periode Anestrus Post-Partus Sapi Madura Induk Menyusui pada
Musim Kemarau di Pulau Madura: Studi Kasus di Dua Desa
Beragroekosistem Pertanian Lahan Kering. Jurnal Ilmiah Penelitian
Ternak Grati, Volume 2 (3): 49-55 hal.

Anda mungkin juga menyukai