Buku Model Penguatan - Final
Buku Model Penguatan - Final
Buku Model Penguatan - Final
RANTAI KOMODITAS
INDUSTRI SAPI MADURA
FUAD HASAN
ANDRIE KISROH SUNYIGONO
AMINAH HAPPY M. A.
Penerbit:
Sanksi Pelanggaran
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta
Pasal 72
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1)
dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling
singkat 1 (satu) bulam dan/atau denda paling sedikit Rp.1.000.000,00
(satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,
atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasill pelanggaran
Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
vi
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmad, taufiq serta hidayah-Nya sehingga pada
kesempatan yang berbahagia ini penulis dapat menyelesaikan tulisan yang
sangat sederhana ini untuk digunakan sebagai acuan dalam Membangun
suatu model pemberdayaan masyarakat peternak khususnya peternak kecil.
Tulisan ini merupakan ringkasan dari hasil Penelitian Hibah
Bersaing-DIKTI tahun 2013 dan 2014 yang diperkaya dengan kajian pustaka
dari berbagai sumber yang relevan. Salah satu keunggulan dari buku ini
adalah adanya pembahasan secara mikro kondisi peternak kecil Sapi
Madura hasil dari studi di lapangan sehingga diharapkan dapat memberikan
gambaran yang nyata dan komprehensif terkait kondisi industri Sapi
Madura.
Akhirnya semoga kontribusi pemikiran yang sederhana ini dapat
memberikan sedikit tambahan ilmu pengetahuan dan wawasan bagi para
peneliti topic terkait, mahasiswa, pelaku bisnis pada industri sapi potong
serta pemerintah dalam memahami kondisi industri sapi potong khususnya
sapi Madura.
November, 2014
Penulis
3
vi
DAFTAR ISI
v
Tahapan Implementasi Model Penguatan Rantai Komoditas
Industri Sapi Madura 72
7. KONSEP POLA KEMITRAAN MASYARAKAT PETERNAK
SAPI MADURA 79
DAFTAR PUSTAKA 85
vi
v
1. GAMBARAN UMUM INDUSTRI
SAPI POTONG
Kondisi Eksisting Industri Sapi Nasional
Pertumbuhan populasi sapi potong masih sangat rendah
sekitar 1.44% per tahun (Subagyo, 2009). Sedangkan tingkat
permintaan terhadap sapi potong meningkat cukup signifikan sekitar
11% per tahun. Sehingga jumlah impor sapi potong dan daging
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Direktorat Jenderal
Peternakan (2010) mencatat bahwa pada tahun 2010 volume impor
sapi potong adalah 120,000 ton dengan nilai impor sebesar 5 trilliun
rupiah.
v
permintaan dan penawaran. Mereka juga mempunyai kemampuan
manajerial dan entrepreneurial yang terbatas.
vi
adalah 119.53 ± 9.772 kg dan 171.47 ± 31.055 kg. Dari hasil tersebut
dapat disimpulkan bahwa performance reproduksi sapi Madura lebih
baik daripada persilangannya, sebaliknya penampilan produksi anak
sapi persilangan lebih tinggi daripada sapi Madura. Hal ini berarti
bahwa pertumbuhan sapi Madura cenderung lebih rendah, kondisi ini
bias diatasi dengan pemberian pakan yang cukup dari sisi kualitas
dan kuantitas.
v
tawar beberapa aktor (yaitu penyedia bakalan dan peternak) menjadi
rendah dan yang terakhir adalah belum adanya koperasi dan atau
kelompok peternak yang efektif.
vi
adalah kekurangan pakan, efek negatif dari kebijakan impor terhadap
harga sapi potong, penyakit ternak dan keterbatasan infrastruktur
pasar khususnya timbangan sapi. Keterbatas modal juga merupakan
permasalahan yang cukup serius.
v
vi
2. KERANGKA TEORITIS PENGUATAN
RANTAI KOMODITAS
v
kurang optimalnya hasil pembangunan, karena tanggung jawab
pembangunan tidak terdistribusi secara merata. Disamping itu konsep
pembangunan yang berjalan selama ini lebih cenderung pada
pendekatan top down dan penyeragaman tanpa melihat potensi dan
masalah yang ada di setiap lokasi/wilayah.
vi
masyarakat untuk bertahan, dan mengembangkan diri untuk
mencapai kemajuan. Sumodiningrat (1996) mengemukakan bahwa
keberdayaan masyarakat yang tinggi adalah masyarakat yang
sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental, terdidik dan kuat,
dan memiliki nilai-nilai intrinsik, seperti: kekeluargaan,
kegotongroyongan, dan kebhinekaan. Pemberdayaan adalah
upaya untuk membangun daya dan kemampuan dengan mendorong,
memotivasi, dan menumbuhkan pengetahuan dan kesadaran akan
adanya potensi yang dimilikinya serta berusaha untuk
mengembangkan potensi tersebut. Pemberdayaan merupakan suatu
proses yang mengajak kita berpikir tentang bagaimana cara
memperoleh sesuatu dan mengapa hal itu bisa terjadi. Pemberdayaan
mengajak berpikir tentang tenaga, bantuan, pencapaian dan
keberhasilan.
v
mengembangkan dan meningkatkan taraf hidupnya. Dalam proses
tersebut masyarakat melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
vi
serta meningkatkan efektifitas proses pemberdayaan masyarakat.
Penggunaan teknik dan alat tersebut bertujuan agar proses
penggalian identifikasi, penyusunan rencana kelompok, pelaksanaan
kegiatan serta aktifitas monitoring dan evaluasi dapat dilakukan
secara efektif dan sistematis. Teknik dan alat tersebut yang
didefinisikan sebagai Participatory Rural Appraisal atau kajian desa
secara patisipatif.
v
masyarakat dalam rangka peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan
masyarakat.
vi
dengan pengembangan usaha kecil/gurem akan diungkap beragam
asas dan prinsip dalam hal tersebut lebih dulu. Pembahasannya
diambil dari sebuah pengalaman mikro membangkitkan masyarakat
dalam pengembangan usaha-usaha produktif. Hal ini diungkapkan
dengan maksud agar asas dan prinsip kemitraan pengembangan
usaha kecil/gurem dikembangkan berdasarkan pengalaman tempatan
yang memang mengakar dalam masyarakat.
v
kembali masyarakat untuk berhimpun melakukan usaha. Selanjutnya
hal tersebut seperti menjadi media pembelajaran masyarakat,
terutama dalam kaitan mengubah kemahiran dari mengorganisasikan
kegiatan sosial menjadi kegiatan yang bernilai ekonomi (kolopaking,
2001).
vi
menghubungkan keperluan perusahaan dengan usaha masyarakat.
Hal yang sejalan dalam hal ini, misal memanfaatkan usaha kerajinan
masyarakat untuk mengisi keperluan cinderamata yang diperlukan
perusahaan. Tetapi, masyarakat belajar tidak bergantung kepada
perusahaan ini. Mereka kemudian secara bermartabat berbagi
kepentingan, yang pada gilirannya sikap ini menjadi dasar melakukan
kemitraan dengan berbagai pihak yang mempunyai kesamaan
kepentingan. Pemerintah desa kemudian mencoba
mengorganisasikan berbagai unit usaha masyarakat dalam satu
wadah Badan Usaha Milik Desa (BUMDES). Masyarakat kemudian
mulai belajar menerima kerjasama dengan berbagai pihak dengan
koordinasi BUMDES ini.
v
atau perhatiannya harus selalu sama, terkadang malah kepentingan
tersebut saling tumpang tindih. Maka hal tersebut dapat dilaksanakan
secara bersama-sama untuk memperoleh hasil yang diharapkan
(Anonymous, 2003)
vi
dibuat suatu Nota Kesepahaman kerjasama kemitraan antara pihak-
pihak yang terlibat.
v
dukungan dari semua stakeholder akan meningkatkan efisiensi dan
menghasilkan laba bersih dalam meningkatkan kesejahteraan
peternak.
vi
besar 1.02. Hal ini berarti pemerintah telah memberikan insentif
kepada peternak kecil sebesar 16% dalam bentuk kebijakan
perlindungan impor dan penurunan bunga bank sedangkan peternak
besar hanya menerima 2%. Dari nilai Nominal protection coefficient
output menunjukkan bahwa nilai untuk peternak kecil adalah 1.16 dan
peternak besar 1.01. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah
memberikan subsidi output sebesar 16% untuk peternak kecil dan 1%
untuk peternak besar.
v
Mereka membantu menyediakan jasa penjualan ternak dan
memberikan informasi harga jual terkini dan informasi keberadaan
ternak, (4) berat badan/live weigh merupakan pertimbangan utama
bagi sebagian besar peternak dalam menentukan kapan ternaknya
dijual, (4) cara menentukan harga jual ternak antara lokasi cukup
beragam, ada dengan sistem taksiran, timbangan berat hidup maupun
timbangan karkas, namun yang terbanyak adalah dengan
menggunakan taksiran dan (5) sistem pembayaran yang berlaku pada
umumnya adalah dibayar kemudian tanpa uang muka, hanya sedikit
dibayar tunai (Kariyasa dan Kasryno, 2004).
vi
Selanjutnya dikemukakan bahwa persentase nilai tambah dari
varietas unggul adalah 89% sedangkan untuk varietas tradisional
adalah 79%. Sedangkan kontribusi pendapatan dari usahatani jagung
adalah 76% untuk varietas unggul dan 63% untuk varietas
tradisional. Hal ini mengidikasikan bahwa pada petani varietas
tradisional banyak menggunakan uangnya untuk membayar tenaga
kerja luar keluarga.
v
produksi sapi potong dan mencapai target swasembada daging
nasional, Tapi usaha tersebut belum membuahkan hasil terbukti
dengan tidak tercapai target swasebada daging. Hasil beberapa
penelitian menunjukkan bahwa terdapat permasalahan dari aspek
produksi dan pemasaran yang dihadapi oleh petani.
vi
Dari aspek pemasaran, analisis rantai komoditas dan daya
saing yang diikuti oleh analisis nilai tambah akan memberikan
informasi tentang potensi dan permasalahan dari masing-masing
aktor sehingga akan dapat diketahui peta permasalahan dalam
industri sapi Madura dan solusi alternatif yang bisa dilakukan untuk
meningkatkan insentif ekonomi bagi peternak kecil. Diketahui pula,
besar dan distribusi nilai tambah pada masing-masing aktor yang
terlibat pada rantai komoditas Sapi Madura.
v
TAHUN I TAHUN II
Sapi Pedagang
- Jumlah pembeli - Praktek jual beli - Tingkat Masterplan
dan penjual - Penentuan harga keuntungan
- informasi - Efisiensi Pengembangan
- hambatan masuk - Efisiensi Uji Coba Model Industri Sapi
Model Penguatan
dan keluar pemasaran Penguatan
Rantai Komoditas
Rantai
Madura yang
Sapi Madura
Sapi Peternak Komoditas Integratif
Rekomendasi
Bakalan, Kebijakan
Pakan dan Penyedia Review Kebijakan
Sapi Madura Pengembangan
input Input Analisis
Sapi Madura
lainnya Kebijakan
vi
Dalam riset penguatan rantai komoditas industri sapi Madura,
karakteristik peternak yang masuk kategori dalam riset adalah
peternak kecil dengan kepemilikan 1- 5 ekor. Peternak juga harus
aktif artinya mereka aktif melakukan transaksi pembelian dan
penjualan sapi Madura dalam satu tahun terakhir.
v
beberapa tahapan kegiatan yang akan dilakukan untuk
menggambarkan rantai komoditas sapi Madura.
Penyedia input
Produksi
Perdagangan
Pemotongan
Sumber: FAO, 2005a
vi
Analisis kondisi pasar dijawab dengan menggunakan structure
conduct performance approach yang akan diterapkan pada semua
tingkatan pasar yaitu pasar input, pasar antara dan pasar output.
Struktur pasar akan dianalisis dengan menggunakan dua alat analisis
yaitu rasio konsentrasi dan hambatan (barrier) keluar-masuk pasar.
Perilaku (conduct) dianalisis yaitu analisis kebijakan harga dan
produk. Sedangkan kinerja (performance) diidentifikasi melalui tingkat
keuntungan dan efisiensi.
v
.
vi
3. PROFIL INDUSTRI SAPI MADURA
v
Tabel 2. Populasi Sapi Madura, Bangkalan, 2007-2009
NO JENIS TERNAK 2007 2008 2009 (%)
1 Sapi Potong 137,017 121,195 128,562 -7%
2 Sapi Perah 21 21 30 -7%
3 Kerbau 1,966 1,780 1,999 -10%
4 Kuda 900 713 782 -12%
5 Kambing 61,360 49,808 58,009 -13%
6 Domba 3,935 3,673 4,065 -15%
7 Ayam Buras 1,138,702 687,940 730,839 -18%
8 Ayam petelur 25,263 17,768 14,984 -18%
9 Ayam Pedaging 103,836 41,007 17,028 -17%
10 Itik 68,517 58,296 55,329 4%
11 Entok 20,147 27,897 27,575 19%
Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan, 2013
Catatan: *Rilis Akhir Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah dan Kerbau 2011
vi
pertumbuhan konsumsi daging sapi pada tahun 2008 masih tetap
positif yaitu sebesar 23.5%.
1,200,000
1,100,000
1,000,000
900,000
800,000
700,000
Susu
ton
600,000
500,000
Telur
400,000
300,000 Daging (sapi dan
non sapi)
200,000
Daging (Sapi saja)
100,000
-
2006 2007 2008 2009 2010
A. Usaha Pembibitan
vi
hewan hanya dilakukan pada saat ternak sapi sakit dan tidak dapat
ditangani sendiri oleh peternak, sebab hasil penelitian menunjukkan
bahwa dalam menjaga kesehatan ternak sapi, responden
menggunakan jamu tradisional yang diracik sendiri.
v
Pada umumnya peternak memberikan pakan hijauan (forage)
yang berupa rumput-rumputan yang telah diambil dari lahan dan
kemudian dikumpulkan digudang. Pemberian pakan terkadang
peternak mencampurkan tetes tebu yang telah dicampur/dilarutkan
dalam air yang kemudian diberikan kepada ternak. Tetes tebu
diperlukan untuk memberikan rasa manis pada pakan hijauan yang
mana fungsi dari tetes tebu tersebut berfungsi untuk membangkan
nafsu makan sapi terutama apabila peternak memberikan pakan baru
yang sebelumnya tidak pernah diberikan pada sapi. Pemberian pakan
hijauan biasanya diberikan satu ikat/gulungan rumput untuk beberapa
ekor ternak tanpa memperhitungkan kualitas dan kuantitas pakan
ternak. Hal ini tidak ideal dengan syarat pemberian pakan yang mana
seharusnya pemberian pakan ternak sesuai dengan berat badan sapi
potong.
C. Pembersihan Kandang
vi
dan di siram air, kotoran tersebut dibawa ke tempat penampungan
yang berada tidak jauh dari kandang yang pada umumnya digunakan
peternak untuk memupuk lahan pertaniannya.
D. Kebersihan Sapi
E. Pengendalian Penyakit
v
mereka. Peternak meminta bantuan petugas kesehatan apabila
penyakit yang diderita ternak tidak sembuh. Petugas kesehatan akan
memeriksa sapi dan memberikan obat atau tindakan medis yang
dibutuhkan.
vi
Pemasaran ternak sapi dilokasi penelitian dilakukan dengan
penjualan hasil produksi berupa ternak sapi. Umumnya, peternak
menjual ternaknya melalui perantara yang dating langsung kerumah
peternak. Terkadang juga langsung menjual kepada calon pembeli
yang langsung datang kerumah peternak. Penjualan ternak pada
umumnya dilakukan pada umur ternak kurang dari 1 tahun (pedet)
dan umur 1-2 tahun (muda/dara). Pada umur tersebut bobot rata-rata
karkas 90 – 250 kg. Penjualan sapi didasarkan pada bobot karkas
ternak yang nilai setiap kilogram karkas sapi. Penjualan ternak pada
umumnya dilakukan pada saat musim haji dan tahaun ajaran baru
dimana kebutuhan untuk biaya anak sekolah sangat tinggi. Disamping
itu, penjualan ternak muda juga dilakukan untuk tujuan dijadikan bibit
indukan bagi calon pembeli. Demikian juga dengan penjantan yang
akan digunakan sebagai bibit pejantan.
v
4. ANALISIS KINERJA INDUSTRI SAPI
MADURA
v
Tabel 3. Rasio Konsentrasi pada Pasar Input, Intermediet dan Output,
Bangkalan, 2013
ITEM PENYEDIA BAKALAN PETERNAK PEDAGANG PROSESOR
Jumlah aktor 4 52 9 8
Nilai sapi potong yang diperdagangkan oleh 138,000 208,500 806,250 1,116,043
empat aktor terbesar (000 Rp)
Total nilai sapi potong yang diperdagangkan (000 1,062,375 1,762,600 1,357,100 2,017,052
Rp)
CR4 (%) 12.99 11.83 59.41 55.33
vi
Dari Tabel 4 dapat diketahui bahwa nilai Indeks Gini untuk
penyedia bakalan adalah 0.249 yang mengindikasikan bahwa
distribusi yang terjadi relatif merata (relatively equitable distribution).
Hal ini juga menunjukkan bahwa nilai sapi bakalan yang
diperdagangkan oleh setiap peternak penyedia bakalan adalah relatif
sama.
Jumlah Aktor 4 52 9 8
Indeks Gini 0.249 0.276 0.253 0.207
v
Kurva Loren untuk pasar input, intermediet dan output pada
industri sapi Madura di Bangkalan dapat dilihat pada gambar 3. Pada
tingkat peternak, area yang terbentuk antara Kurva Loren (warna biru)
dan garis ekui-distribusi (warna merah) adalah lebih luas
dibandingkan pada pasar-pasar yang lain. Hal ini berarti bahwa pasar
peternak mempunyai distribusi nilai yang relatif tidak merata. Dari data
dasar, dapat diketahui bahwa 13 peternak mempunyai nilai jual sapi
potong kurang dari 10 juta rupiah sedangkan sisanya (68 peternak)
mempunyai nilai jual diatas 10 juta rupiah. Bahkan 41% dari mereka
mempunyai nilai jual diatas 20 juta rupiah.
vi
Gambar 3. Kurva Loren pada Pasar Input, Intermediet dan Output, Bangkalan, 2013.
Source: Data Primer Diolah, 2013
v
Hambatan Masuk dan Keluar pada Pasar Input,
Intermediet dan Output
Terdapat beberapa faktor yang menjadi penghambat untuk
masuk pasar sapi potong yang teknologi produksi, nilai investasi,
rendahnya harga jual sapi potong, besarnya impor, permasalahan
pemasaran, kompetisi yang ketat dan skala ekonomi. Masing-masing
aktor mempunyai perbedaan faktor mana yang menjadi penghambat
utama.
vi
Ketiga mereka memutuskan untuk menekuni usaha sapi potong maka
nilai investasi yang ditanamkan relative besar berkisar antara 20 – 60
juta. Sehingga mereka berusaha untuk terus menekuni usaha ini.
v
vi
5. ANALISIS USAHA TERNAK DAN
NILAI TAMBAH SAPI MADURA
Karakteristik Responden
Untuk mengetahui kondisi mikro usaha ternak sapi Madura
dilakukan Penelitian di Kabupaten Bangkalan dengan focus penelitian
di Kecamatan Sepulu, Kecamatan Geger dan Kecamatan Tanah
Merah. Alasan pemilihan lokasi ini adalah kecamatan-kecamatan
tersebut adalah sentra produksi dan pemasaran sapi Madura.
v
2,690,500 s/d
Total Biaya Produksi Rp/Tahun
57,596,000
(12,596,000) s/d
Total Pendapatan Rp/Tahun
12,347,500
Sumber data primer 2014
vi
dianggap peternak kurang produktif karena kondisi fisik sudah mulai
tua.
vi
Inovasi teknologi ternak yang lebih baik dan sesuai dengan
anjuran memerlukan peningkatan pengetahuan dan keterampilan,
baik melalui pelatihan maupun bimbingan dan penyuluhan dari
penyuluh ternak setempat. Berdasarkan pengakuan responden
bahwa kegiatan pelatihan bagi peternak sapi potong sudah pernah
dilakukan. Kesulitan yang dihadapi peternak apabila berpendidikan
rendah yaitu kemampuan dalam menerima inovasi masih kurang,
sehingga kemampuan peternak untuk mengelola usaha ternak
terbatas pada apa yang diketahuinya dari pengalaman sebagai
peternak sapi potong dan sulit menyerap bibit unggul dan teknik
budidaya ternak sapi potong yang baik.
v
Tabel 9. Karakteristik Responden Berdasarkan Pengalaman Beternak
Karakteristik
Jumlah Prosentase (%)
Peternak
Pengalaman
Beternak
1 s/d 5 10 23.81
6≥ 32 76.19
Karakteristik Peternak 42 100
Sumber data primer 2014
vi
Tabel 10. Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Tenaga Keluarga
Karakteristik
Jumlah Prosentase (%)
Peternak
Jumlah Tenaga Kerja
Bapak 11 26.19
Bapak/Ibu 21 50.00
Bapak/Ibu/Anak 9 21.43
Upahan 1 2.38
Karakteristik Peternak 42 100
Sumber data primer 2014
v
Tabel 11. Karakteristik Responden Berdasarkan Motivasi Beternak
Karakteristik
Jumlah Prosentase (%)
Peternak
Motivasi Beternak
0 (Motivasi yang lain) 28 66.67
1 (Motivasi Sendiri) 14 33.33
Karakteristik Peternak 42 100
Sumber data primer 2014
vi
Tabel 12. Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Ternak
Prosentase
Karakteristik Peternak Jumlah
(%)
Jumlah Ternak
1 s/d 3 29 69.05
4≥ 13 30.95
Karakteristik Peternak 42 100
Sumber data primer 2014
v
kecilnya biaya yang dikeluarkan responden tergantung pada besar
kecilnya skala usaha. Besar kecilnya skala usaha menunjukkan
tingkat input yang dibutuhkan. Karna itu semakin besar skala
usahanya maka semakin besar pula biaya yang yang harus
dikeluarkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata total biaya
usaha sapi potong yang dikeluarkan responden dengan masa
pemeliharaan satu tahun adalah sebesar Rp. 24.359.715,41 per tahun
atau Rp. 2.029.976,28 per bulan dari total responden (Tabel 13).
A. Biaya Variabel
vi
Biaya tidak tetap (biaya variabel) merupakan biaya yang
dikeluarkan responden yang mana besar kecilnya tergantung pada
besar kecilnya produksi. Berdasarkan hasil penelitian biaya variabel
yang dikeluarkan responden di lokasi penelitian meliputi biaya untuk
pembelian bakalan, pembelian pakan, biaya tenaga kerja, kawin
suntik (Inseminasi Buatan-IB), dan obat-obatan serta biaya lainnya.
v
tidak langsung pada satu kali suntik tapi juga bisa sampai mencapai
1-3 kali suntik. Penggunaan kawin suntik (Inseminasi Buatan-IB)
mayoritas sering dilakukan oleh responden peternak desa Kampak.
Menurut responden, hal ini tidak lepas dari peranan mantri hewan
setempat yang sering kali melakukan sosialisasi dan pendampingan
dalam cara pemeliharaan yang baik seperti pencatatan dan
perencanaan pembibitan. Di sisi lain animo responden desa Kampak
yang tergiur akan keuntungan (potensi) hasil dari perkawinan silang
antara sapi Madura dengan sapi Limousin.
N. Biaya Tetap
vi
menggunakan semen. Adapun untuk inventaris peralatan yang dimiliki
perternak juga berbeda-beda tergantung dari skala usahanya.
vi
Umumnya, pendapatan usaha sapi potong tidak hanya berasal
dari penjualan sapi potong, melainkan juga dari penjualan kotoran
ternak. Hal senada juga dinyatakan oleh Rohaeni et al (2005), bahwa
kotoran ternak dapat dikomersialkan dengan dimanfaatkan sebagai
pupuk. Sehingga dari penjualan pupuk (kotoran ternak) kemudian
dapat meningkatkan pendapatan peternak.
v
penelitian, usaha sapi potong dilokasi penelitian mampu memberikan
tambahan pendapatan meskipun relatif rendah. Rendahnya
pendapatan yang diterima oleh responden tidak lain disebabkan
usaha sapi potong di lokasi penelitian sifat pengusahaanya masih
sebagai tabungan. Sehingga dalam pengelolaannya masih belum
maksimal, hal ini dapat dilihat dari penggunaan factor produksi yang
tidak efisien sehingga biaya yang dikeluarkan relatif tinggi.
vi
potong menjadi daging terdiri dari atas balas jasa bagi tenaga kerja
dan keuntungan pengusaha. Adapun rata-rata hasil perhitungan nilai
tambah jagal dapat dilihat sebagaimana yang ada dalam Tabel 14.
v
baku utama yakni sapi potong dibeli baik secara langsung maupun
melalui pedagang yang mana transaksinya terjadi di pasar sapi, dan
terkadang juga langsung diantar ke rumah jagal oleh pedagang.
Untuk pembayaran, umumnya dilakukan secara tunai. Pemotongan
sapi menjadi daging segar dipotong dengan pengawasan Rumah
Potong Hewan (RPH).
vi
biaya retribusi yakni sebesar Rp. 555,56 untuk setiap kilogram input
(bahan baku utama) yang digunakan.
v
vi
6. MODEL PENGUATAN RANTAI
KOMODITAS INDUSTRI SAPI MADURA
v
konsep tersebut betul-betul sesuai dengan keinginan peternak dan
bersedia untuk dilaksanakan dengan baik agar mampu membantu
tercapainya swasembada daging.
vi
Gambar 4. Model Penguatan Rantai Komoditas Industri Sapi Madura
A. Peternak
v
untuk mencari kelompok responden. Aktifitas yang dilakukan oleh
peternak diantaranya adalah:
a. Membeli bakalan
b. Perawatan sapi Madura
c. Membeli sapi makalan
d. Membeli obat
e. Membeli pakan
f. Penggemukan sapi
g. Aktifitas transportasi
R. Penyedia Bakalan
a. Membeli indukan
b. Mencari pakan hijauan
c. Membeli pakan ternak (konsentrat dll)
d. Membeli obat-obatan
e. Aktifitas insenminasi buatan
f. Pemeliharaan bakalan
g. Aktifitas transportasi
h. Aktifitas pemasaran bakalan
S. Pedagang
vi
Pedagang terdiri dari beberapa level yaitu pedagang desa yang
membeli sapi dari peternak atau pedagang lainnya dalam satu wilayah
desa; pedagang kecamatan membeli sapi diwilayah satu kecamatan
dan pedagang kabupaten yang membeli sapi dari pihak lain dalam
satu kabupaten.
T. Jagal
v
U. Aktor Lainnya
a. Lembaga keuangan
b. Inseminator
c. Penyuluh
d. Penyedia pakan
e. Penyedian obat-obatan
vi
Adapun peran utama tim pemberdayaan masyarakat adalah
pendampingan pada masyarakat dalam proses pemberdayaan
masyarakat. Peran dari tim pemberdayaan masyarakat ini pada
awalnya sangat dominan dan sangat menentukan keberhasilan proses
pemberdayaan tetapi selanjutnya harus semakin berkurang selama
proses pemberdayaan berjalan. Hingga pada akhirnya peran tim
pemberdayaan masyarakat berkurang diganti dengan peran
masyarakat yang sudah mampu melanjutkan kegiatannya secara
mandiri. Proses pendampingan pada saat itu berhenti, namun
demikian masih harus dipertahankan hubungan kerjasama dengan
masyarakat tersebut khususnya dalam hal pelayanan teknis dan non-
teknis yang masih dibutuhkan masyarakat.
v
Memperoleh pengakuan dari berbagai stakeholder di
daerahnya.
Memiliki komitmen dan integritas tinggi
Telah tinggal di daerah tersebut sedikitnya 1(satu) tahun.
Diutamakan yang bersedia bekerja secara sukarela.
vi
- Pembentukan dan pengembangan kelompok
- Pelatihan tehnik dan metode partisipatif
- Pelatihan praktek untuk metode survey desa sendiri
V. Pembentukan Kelompok
v
W. Kajian Keadaan secara Partisipatif
X. Pengembangan Kelompok
Y. Penyusunan Rencana/program
vi
survey ternyata 55,7% belum pernah merencanakan semua kegiatan
yang akan dilakukan.
Z. Pelaksanaan Rencana/program
v
Mampu memanfaatkan SDM dan SDA setempat seoptimal
mungkin
Mampu mengakses pihak-pihak yang dibutuhkan pelayanan
ataupun usahanya oleh masyarakat (seperti bank, pihak swasta,
dan sebagainya)
Mampu memahami proses-proses perencanaan pemerintah dan
berperan serta didalamnya, misalnya proses Musyawarah
Pembangunan Desa (Musbangdes).
vi
7. KONSEP POLA KEMITRAAN
MASYARAKAT PETERNAK SAPI
MADURA
Konsep kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil
dengan usaha menengah dan atau dengan usaha besar disertai
pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah dan atau
Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan,
saling memperkuat dan saling menguntungkan. Dilibatkan pula
pemerintah, Perguruan Tinggi dan lembaga bisnis.
v
sumber-sumber yang ada untuk menghasilkan produk yang sangat
laku di pasaran. Pembinaan dilakukan oleh tim dari Universitas
Trunojoyo yang membantu pembinaan pengusaha kecil melalui
kelompok agar mampu mengembangkan usahanya dengan baik.
vi
berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi
rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.
3. Usaha Produktif
4. Kredit Usaha
v
6. Memfasilitasi penyusunan program dan rencana usaha yang
bertumpu pada sumberdaya lokal dan dilakukan sepenuhnya
oleh masyarakat
7. Praktek dan studi banding pada wirausahawan atau kelompok
usaha yang telah berhasil
8. Survey dan analisis pasar untuk mendapatkan informasi
tentang permintaan pasar dan komoditas yang
menguntungkan untuk diusahakan.
9. Penciptaan produk yang berorientasi pasar dan mempunyai
nilai tambah yang tinggi
10. Bimbingan analisis usaha dan pembukuan untuk keperluan
monitoring dan evaluasi
11. Pembinaan konsep simpan pinjam dengan sistem tanggung
renteng melalui mekanisme pemberdayaan kelompok
12. Pemberian kredit usaha sesuai dengan tingkat kebutuhan
yang telah dirumuskan dalam musyawarah kelompok
13. Memperkenalkan kelompok usaha yang telah mandiri untuk
belajar menghadapi lembaga keuangan formal yang lebih
ketat persyaratannya.
14. Pengembangan jaringan pemasaran di berbagai tempat untuk
memelihara pasar yang sudah ada dan berusaha mengakses
pasar baru
15. Pengenalan sistem teknologi informasi dan komunikasi pasar
16. Mengembangkan kemitraan dengan berbagai pihak terkait
untuk memperbesar akses kelompok terhadap sumber
permodalan, teknologi dan pasar.
vi
B. Kelompok Sasaran Program
1. Sasaran Langsung
Peternak
Produsen skala rumah tangga
Pedagang
C. Manfaat Program
1. Pemberdayaan masyarakat. Fokus program adalah
tumbuhnya keberdayaan masyarakat yang dicirikan dengan
kemampuan masyarakat mengidentifikasi potensi dan
permasalahan yang dihadapi serta kemampuan untuk
menemukan solusi alternatif pemecahan masalah.
2. Pengembangan ekonomi dan usaha di daerah melalui upaya
penciptaan sektor usaha yang berbasis sumberdaya lokal dan
keterkaitan dengan pasar di perkotaan
3. Peningkatan kemampuan kelompok sasaran dalam
menyusun rencana usaha dan mengelola kegiatan usahanya
secara profesional dan komersil.
4. Menumbuhkan semangat kerjasama antar individu, antara
individu dengan kelompok, antara kelompok satu dengan
kelompok lainnya, antara kelompok dengan pemerintah dan
v
stakeholder terkait untuk tumbuhnya perekonomian
masyarakat
5. Menumbuhkembangkan klaster-klaster usaha dan industri
kecil yang memiliki keunggulan lokal, akses pasar yang jelas,
kontinu dan prospektif
6. Terciptanya jaringan kemitraan yang saling menguntungkan
antara pelaku-pelaku bisnis yang ada dalam upaya
pengembangan ekonomi lokal.
vi
DAFTAR PUSTAKA
ANONYMOUS, 2011a. Reducing Dependency of Supply Beef and Calf from
Australia. Communication Forum of Research Professor, Indonesian
Agency for Agricultural Research and Development, Ministry of
Agriculture.
Ardiansyah, A.F. 2014. Kontribusi Nilai Tambah Industri Sapi potong. Skripsi.
Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo
Madura.
Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri 2000. Kebijakan
Pemberdayaan Kelembagaan Tani. Departemen Pertanian.
Chambers, Robert, 2001. Partisiparoty Rural Appraisal, Memahami Desa
Secara Partisipatif, Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Czuba, Cheryl E., Empowerment: What Is It?. Journal of extension Volume
37 Number 5 Oktober 1999.
http://www.joe.org/joe/1999october/comm1.html
Depdagri, 2000. Aktualisasi Otonomi Dalam Perencanaan Pembangunan
Daerah Jurnal Pembangunan Daerah, Jakarta.
DIRECTORATE GENERAL OF LIVESTOCK INDONESIA. 2010. Blue Print
of Meat self-Sufficient Program 2014. Ministry of Agriculture.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2003 Pengembangan
Kawasan Agribisnis Berbasis Peternakan (2003), Direktorat
Pengembangan Peternakan, , Departemen Pertanian, Jakarta.
DitjenNak, 2000a. Panduan Kegiatan Kajian Keadaan Pedesaan Partisipatif
(HM 4), DELIVERI.
DitjenNak, 2000c. Panduan Pemberdayaan Masyarakat bagi Pengambil
Kebijakan (PG 3), DELIVERI
FAISAL, M. 2010. Analisis Tata Niaga Sapi Potong PT. Kariyana Gita
Utama Cicurug Sukabumi. Master Thesis. Institut Pertanian
Bogor.
FOOD AND AGRICULTURE ORGANIZATION (FAO). 2005a. On-line
resource materials for policy making. Analytical tools. Module 043.
Commodity Chain Analysis. Constructing the Commodity Chain,
Functional Analysis and Flow Charts. Retrieved June 9, 2009.
v
From EASYPOL World Wide Web: www.fao.org/ docs/up/
easypol/330/cca_043EN.pdf.
HARUNA, U and MURTALA, N, 2005. Commodity Chain Analysis of Cattle
Marketing in Nigeria: A Case Study of K.R.I.P Area Kano State. Final
Report of Adeni Project/NAERLS Zaria, Nigeria.
Irfandi, A.A. 2014. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Peternak
Sapi Potong (Studi Kasus di Kabupaten Bangkalan). Skripsi. Program
Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura.
KARIYASA, K dan KASRYNO, F. 2004. Dinamika Pemasaran dan Prospek
Pengembangan Ternak Sapi di Indonesia. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
KARIYASA, K. 2003. Analisis Permintaan dan Penawaran Daging Sapi di
Indonesia: Analisis Swasemda daging pada tahun 2005. Hal: 99-115.
SOCA Journal (Udayana University)
KARNAEN dan ARIFIN, J. 2007. Performans Produksi dan Reproduksi Sapi
Madura, Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner,
Universitas Pajajaran.
KUTSIYAH, F, KUSMARTONO dan SUSILAWATI, T. 2003. Studi
Komparatif Produktifitas antara Sapi Madura dan
Persilangannya dengan Limousin di Pulau Madura. Jurnal Ilmu
Ternak dan Veteriner, Volume 8 (2): 98-106
MAYROWANI, H. 2006. Performance of Beef Cattle Agribusiness in
East Java Province: Impact of Monetary Crisis and
Implementation of Regional Autonomy Policy. Journal of Socio-
Economic of Agriculture and Agribusiness, Volume 6 (3): 20-42.
MONKE, E. A. and S. PEARSON.1989.The policy analysis matrix for
agricultural development, Cornell University Press.
Purwanto, D. 2014. Analisis Structure Conduct Performance Industri Sapi
Madura (Studi Kasus di Kabupaten Bangkalan). Skripsi. Program
Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura.
RAHMANTO, B. 2004. Farm Business Analysis of Smallholder Beef Cattle
Farmers. Indonesian center for Agricultural Socio Economic Research
and development. Ministry of Agriculture.
vi
SINURAYA, YF. 2006. Livestock Production: Achievement and Prospect.
Indonesian Center for Agriculture Socio Economic and Policy Studies.
SUNYIGONO, A.K. 2012. Economic Assesement of the Beef Cattle
Commodity Chain for Smallholder and Large Farmers in East Java,
Indonesia. Unpublished PhD Dissertation. College of Economics
and Management, University of the Philippines Los Banos.
TAWAF, R dan SURYADI, D. 2008. Response of Feedlot Business to the
Beef Market Mechanism Changed in West Java Indonesia, Lucrari
Scietific volume 54, Universitate de Stiinte Agricole si Medicina
Veterinara.
YUSDJA, Y, R SAYUTI, S WAHYUNINGSIH, WK SEJATI, I SODIKIN, N
ILHAM and SUBAGYO, I. 2009. The Portrait of Indonesian Cattle
Commodity. Economic Review, No (217): 1-7.
YUSRAN, A., AFFANDHY, L., RASYID, A., dan WIJONO, D.B., 1992.
Periode Anestrus Post-Partus Sapi Madura Induk Menyusui pada
Musim Kemarau di Pulau Madura: Studi Kasus di Dua Desa
Beragroekosistem Pertanian Lahan Kering. Jurnal Ilmiah Penelitian
Ternak Grati, Volume 2 (3): 49-55 hal.