Anda di halaman 1dari 11

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1    Disolusi
Pelepasan zat aktif sangat dipengaruhi oleh sifat fisika kimia zat aktif dan
bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif biasanya ditetapkan oleh kecepatan pelepasan
zat aktif dari bentuk ditentukan oleh kecepatan melarutnya dalam media
sekelilingnya. Disolusi didefinisikan sebagai zat proses dimana suatu zat padat dapat
masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi
merupakan proses dimana zat padat melarut secara prinsip dikendalikan oleh afinitas
antara zat padat dan pelarut (Hadie, 2007).
Disolusi adalah suatu jenis khusus dari suatu reaksi heterogen yang
menghasilkan transfer massa karena adanya pelepasan dan pemindahan menyeluruh
ke pelarut dari permukaan padat. Di dalam pembahasan untuk memahami mekanisme
disolusi, kadang-kadang digunakan salah satu model atau gabungan dari beberapa
model antara lain:
1.  Model Lapisan Difusi (Diffusion Layer Model)
Model ini pertama kali diusulkan oleh Nerst dan Brunner. Pada permukaan
padat terdapat satu lapisan tipis cairan dengan ketebalan ℓ, merupakan komponen
kecepatan negatif dengan arah yang berlawanan dengan permukaan padat. Reaksi
pada permukaan padat–cair berlangsung cepat. Begitu model solut melewati antar
muka liquid film–bulk film, pencampuran secara cepat akan terjadi dan gradien
konsentrasi akan hilang. Karena itu kecepatan disolusi ditentukan oleh difusi gerakan
Brown dari molekul dalam liquid film.
2.  Model Barrier Antar Muka (Interfacial Barrier Model)
Model ini menggambarkan reaksi yang terjadi pada permukaan padat dan dalam
hal ini terjadi difusi sepanjang lapisan tipis cairan.
Sebagai hasilnya, tidak dianggap adanya kesetimbangan padatan–larutan, dan
hal ini harus dijadikan pegangan dalam membahas model ini. Proses pada antar muka
padat–cair sekarang menjadi pembatas kecepatan ditinjau dari proses transpor.
Transpor yang relatif cepat terjadi secara difusi melewati lapisan tipis statis.
3.  Model Dankwert (Dankwert Model)
Model ini beranggapan bahwa transpor solut menjauhi permukaan padat terjadi
melalui cara paket makroskopik pelarut mencapai antar muka–cair karena terjadi
pusaran difusi secara acak. Paket pelarut terlihat pada permukaan padatan. Selama
berada pada antar muka, paket mampu mengabsorpsi solut menurut hukum difusi
biasa, dan kemudian digantikan oleh paket pelarut segar. Jika dianggap reaksi pada
permukaan padat terjadi segera, proses pembaharuan permukaan tersebut terkait
dengan kecepatan transpor solut atau dengan kata lain disolusi (Suyitno, 1988).
Menurut Zemansky (1982), kecepatan disolusi dapat ditentukan menurut
beberapa metoda sebagai berikut:
1.  Metoda Suspensi
Serbuk zat padat ditambahkan ke dalan pelarut tanpa pengontrolan eksak
terhadap luas permukaan partikelnya. Sampel diambil pada waktu-waktu tertentu dan
jumlah zat yang larut ditentukan dengan cara yang sesuai.
2.  Metoda Permukaan Konstan
Zat ditempatkan dalan suatu wadah yang diketahui luasnya sehingga variabel
perbedaan luas permukaan efektif dapat diabaikan. Penentuan dengan metoda
suspensi dapat dilakukan dengan alat uji disolusi tipe dayung. Sedangkan untuk
metoda permukaan tetap digunakan alat seperti diusulkan oleh Simonelli.
Gambar 2.1  Alat Uji Disolusi

Menurut Mastin (1990), faktor yang mempengaruhi disolusi sebagai berikut: 


1. Suhu
Suhu akan mempengaruhi kecepatan melarut zat. Perbedaan sejauh lima persen
akan disebabkan oleh adanya perbedaan suhu satu derajat.
2. Medium
Medium yang paling aman adalah air, buffer dan 0,1 N HCl. Dalam beberapa
hal zat tidak larut dalam larutan air, maka zat organik yang dapat merubah sifat ini
atau surfaktan digunakan untuk menambah kelarutan zat di dalam  medium bukan
merupakan faktor penentu dalam poses disolusi. Untuk mencapai keadaan disolusi
maka perbandingan zat aktif dalam volume medium harus dijaga tetap pada kadar 3-
10 kali lebih besar daripada jumlah yang diperlukan bagi satuan larutan jenuh.
Masalah yang mungkin mengganggu adalah adanya gas dari medium sebelum
digunakan gelembung udara yang terjadi dalam medium karena suhu naik dapat
mengganggu zat, sehingga dapat menaikkan kecepatan melarutnya.
3. Kecepatan Perputaran
Kenaikan dalam pengadukan akan mempercepat kelarutan. Umumnya
kecepatan pengadukan 50 rpm atau 100 rpm. Perputaran di atas 100 rpm tidak
menghasilkan data yang dapat dipakai untuk membeda-bedakan hasil kecepatan
melarut.
Ternyata bahwa kecepatan pengadukan perlu lebih dari 100 rpm maka lebih
baik untuk mengubah medium daripada menaikkan rpm. Walaupun 4%
penyimpangan masih diperbolehkan, sebaiknya dihindarkan.
4. Ketepatan Letak Vertikal Poros
Disini termasuk tegak lurusnya poros perputaran dayung atau wadah, tinggi dan
ketepatan posisi dayung atau wadah yang harus sentris. Letak yang kurang sentral
dapat menimbulkan hasil yang tinggi, karena hal ini akan mengakibatkan pengadukan
yang lebih hebat di dalam wadah.
5. Goyangnya Poros
Goyangnya poros dapat mengakibatkan hasil yang lebih tinggi karena dapat
menimbulkan pengadukan yang lebih besar di dalam medium. Sebaiknya digunakan
poros dan bagian yang sama dalam posisi sama bagi setiap percobaan karena masalah
yang timbul karena adanya poros yang goyang akan dapat lebih mudah dideteksi.
6. Vibrasi
Bilamana vibrasi timbul, hasil yang diperoleh akan lebih tinggi. Hampir semua
masalah vibrasi berasal dari poros motor, pemanas penangas air atau adanya
penyebab dari luar. Alas dari busa mungkin dapat membantu, tetapi kita harus hati-
hati akibatnya yaitu letak dan keseluruhan harus dicek.
7. Gangguan Pola Aliran
Setiap hal yang mempengaruhi pola aliran di dalam bejana disolusi dapat
mengakibatkan hasil disolusi yang tinggi. Alat pengambil aplikan serta adanya filter
pada ujung pipet selama percobaan berlangsung dapat menjadi penyebabnya.

2.2    Asam Salisilat
Asam salisilat memiliki rumus molekul C6H4COOHOH berbentuk Kristal
berwarna merah muda terang hingga kecokelatan yang memiliki berat molekul
sebesar 138,123 g/mol dengan titik leleh sebesar 156 oC dan densitas pada 25 oC
sebesar 1,443 g/mL. Mudah larut dalam air dingin tetapi dapat melarutkan dalam
keadaan panas.
Asam salisilat dapat menyublim tetapi dapat terdekomposisi dengan mudah
menjadi karbon dioksida dan phenol bila dipanaskan secara cepat pada suhu sekitar
200 oC (Wikipedia, 2011).
Asam salisilat memiliki struktur bangun seperti yang disajikan pada gambar 2.2
berikut ini:

 Gambar 2.2 Struktur Asam Salisilat


Bahan baku utama dalam pembuatan asam salisilat adalah phenol,
NaOH,  karbon dioksida dan asam sulfat. Asam salisilat kebanyakan digunakan
sebagai obat- obatan dan sebagai bahan intermediet pada pabrik obat dan pabrik
farmasi seperti aspirin dan beberapa turunannya. Sebagai antiseptik, asam salisilat zat
yang mengiritasi kulit dan selaput lendir. Asam salisilat tidak diserap oleh kulit,
tetapi membunuh sel epidermis dengan sangat cepat tanpa memberikan efek langsung
pada sel epidermis. Setelah pemakaian beberapa hari akan menyebabkan
terbentuknya lapisan-lapisan kulit yang baru. Obat ini sangat spesifik untuk rematik
akut yang  dapat mencegah kerusakan jantung yang biasanya terjadi akibat rematik,
menghilangkan sakit secara keseluruhan, dan beberapa saat setelah pemakaiannya
akan menurunkan temperatur suhu tubuh kembali normal (Atkins, 1996).
Asam salisilat (10 – 20 %) dalam larutan yang terdiri dari asam nitrat selulosa
dalam eter dan alkohol digunakan sebagai penghilang kutil dan katimumul pada kaki.
Dalam hal ini asam salisilat menyebabkan pelunakan lapisan kulit sehingga
katimumul dan kutil akan terlepas bersama kulit mati. Selain digunakan sebagai
bahan utama pembuatan aspirin, asam salisilat juga dapat digunakan sebagai bahan
baku obat yang menjadi turunan asam salisilat.
Misalnya sodium salisilat yang dapat digunakan sebagai analgesic dan
antipyretic serta untuk terapi bagi penderita rematik akut. Ammonium salisilat
digunakan sebagai obat penghilang kuman penyakit dan bakteri. Kalsium salisilat
dapat digunakan untuk mengatasi diare (Atkins, 1996).
Turunan lain selain diatas adalah asam p-aminosalisilat yang dapat mengatasi
tubercolosis pada manusia. Asam metilendisalisilat sering digunakan sebagai zat
aditif minyak pelumas serta sebagai formulasi resin alkil. Salisilamide digunakan
secara farmasi sebagai antipyretic, zat seudatif dan anti rematik (Anonim, 2011).
Tabel 2.1 Sifat Fisika Asam Salisilat
Sifat Fisika Asam Salisilat
Rumus molekul C7H6O3
Titik lebur 159 oC
Titik didih 211 oC
Tekanan Uap 1 mmHg pada 33 oC
Densitas 1,44 gram/cm3
Sumber : (Moechtar, 1990).

Tabel 2.2 Sifat Kimia Asam Salisilat


Sifat Kimia Asam Salisilat
Kelarutan Larut dalam 550 bagian air dan dalam 4
bagian etanol (195 %) mudah larut dalam
kloroform dan ester.
Sifat Larutannya  Tidak cepat menguap dan tidak mudah
terbakara
Sumber : (Moechtar, 1990).
2.3 Indikator Fenolftalein
Fenolftalein merupakan indikator sintetis (buatan) yang dapat dibuat didalam
laboratorium dengan menggunakan bahan fenol dan ftalat anhidrida melalui reaksi
kondensasi. Fenolftalein termasuk senyawa golongan ftalein yang bersifat asam
lemeh. Fenolftalein umumnya dipakai sebagai indikator dalam menentukan titik akhir
titrasi asam kuat dengan basa kuat. Fenolftalein mempunyai trayek pH 8,3 - 10,0.
Dalam titrasi asam kuat dan basa kuat yang menggunakan larutan asam seperti
HCl sebagai titran dan larutan basa seperti NaOH sebagai titrat, maka akan terjadi
perubahan warna indikator fenolftalein dari tak berwarna, yaitu dalam rentangan pH
larutan dibawah 8,3. Fenolftalein mulai berubah warna menjadi merah muda pada
rentangan pH 8,3-10,0 , jika penambahan titrat dilanjutkan sehingga memiliki
rentangan pH diatas 10,0 , maka warna larutan akan menjadi merah (Bassett, 1994).
Dalam larutan yang bersifat asam dan pada rentangan pH < 8,3 indikator
fenolftalein tidak akan memberikan perubahan warna, dimana warna larutan tetap
tidak berwarna. Sedangkan pada larutan yang bersifat basa pada rentangan pH  8,3-
10,0 indikator fenolftalein akan memberikan perubahan warna menjadi merah muda,
dan pada rentangan pH >10,0 indikator fenolftalein akan memberikan perubahan
warna menjadi merah. Namun dalam suasana basa pekat berlebih indikator
fenolftalein kembali menjadi tidak berwarna. Hal ini didukung dengan hasil
percobaan yang menunjukkan bahwa dalam konsentrasi NaOH yang semakin pekat,
warna fenolftalein semakin pudar (Petruševski dan Risteska, 2007).

2.4 NaOH
Natrium hidroksida (NaOH) juga dikenal sebagai soda kaustik atau
sodium hidroksida, adalah sejenis basa logam kaustik. Natrium hidroksida terbentuk
dari oksida basa Natrium Oksida dilarutkan dalam air. Natrium hidroksida
membentuk larutan alkalin yang kuat ketika dilarutkan ke dalam air. Natrium
hidroksida digunakan di berbagai macam bidang industri, kebanyakan digunakan
sebagai basa dalam proses produksi bubur kayu dan kertas, tekstil, air minum, sabun
dan deterjen.
Senyawa Natrium Hidroksida mempunyai ciri-ciri :

1. jenis : Senyawa Ion


2. Bentuk : Kristal dan Bubuk Bewarna Putih dan Tidak Berbau
3. Densitas : 2,13 gr/cm
4. memiliki titik Leleh : 318 C
5. memiliki titik Didih : 1388 C
6. Kelarutan Dalam Air : Suhu 0 C , 418 gr/L. Suhu 20 C , 1150 gr/L
7. Mr (Massa Molekul Relatif) = 40
8. Larut dengan : Air, ethanol, Methanol, larutan Ammonia dan Eter
9. Bahaya : Bersifat Corrosif
10. (pkb) Tingkat Kebasaan = 0,2 ( Rank 4 )
11. Rivalitas Asam = HCl

Natrium hidroksida adalah basa yang paling umum digunakan dalam


laboratorium kimia. Natrium hidroksida murni berbentuk putih padat dan tersedia
dalam bentuk pelet, serpihan, butiran ataupun larutan jenuh >45. Natrium hidroksida
bersifat lembab cair dan secara spontan menyerap karbon dioksida dari udara bebas.
Natrium hidroksida sangat larut dalam air dan akan melepaskan panas ketika
dilarutkan.

Natrium hidroksida juga larut dalam etanol dan metanol, walaupun kelarutan
NaOH dalam kedua cairan ini lebih kecil daripada kelarutan KOH. Natrium
hidroksida tidak larut dalam dietil eter dan pelarut non-polar lainnya. Larutan natrium
hidroksida akan meninggalkan noda kuning pada kain dan kertas.

Natrium hidroksida murni memiliki bentuk putih padat dan tersedia dalam


bentuk serpihan, pelet, butiran ataupun larutan jenuh 50% yang biasa disebut larutan
Sorensen. bersifat lembap cair dan secara spontan menyerap karbondioksida dari
udara bebas.
NaOH sangat larut dalam air dan melepaskan panas ketika dilarutkan,
dikarenakan pada proses pelarutannya dalam air bereaksi secara eksotermis. natrium
hidroksida juga larut ke dalam etanol dan metanol, meskipun kelarutan NaOH dalam
kedua cairan ini lebih kecil daripada kelarutan KOH. NaOH tidak larut dalam dietil
eter dan pelarut non polar lainnya. Larutan natrium hidroksida akan meninggalkan
bekas noda kuning pada kain dan kertas.

Senyawa Natrium Hidroksida (NaOH) diproduksi dalam skala industri dengan


cara elektrolisis larutan garamnya ataupun biasa kita sebut dengan
proses khloroalkali. Proses khloroalkali dilakukan dengan cara melarutkan garam
murni kedalam air hingga dihasilkan larutan NaCl jenuh, lalu dilakukan suatu
elektrolisis yang begitu sangat kompleks yang mana pada proses ini akan dihasilkan
tiga senyawa penting yaitu gas hidrogen, Gas Klorin, Dan Senyawa Natrium
Hidroksida. Ketiga senyawa yang sangat penting ini dipisahkan secara sistematis dan
kompleks hingga kualitas senyawa natrium hidroksida yang dihasilkan bisa bernilai
daya jual tinggi.

2.4.1 Sifat-sifat Fisika dan Kimia NaOH


1. Sifat Fisika NaOH
Tabel 2.3 Sifat Fisika NaOH
Sifat Fisika NaOH
Massa molar 39,9971 g/mol 39,9971 g/mol
Titik lebur 318 °C (591 K)
Titik didih 1390 °C (1663 K)
Kelarutan dalam air 111 g/100 ml (20 °C)
Densitas 2,1 g/cm³
Kebasaan (pKb) -2,43
Sumber : (Hadie, 2007).
2. Sifat Fisika NaOH
Menurut Hadie (2007), adapun sifat kimia etanol diantaranya :
a) Berwarna putih atau praktis putih
b) Sangat basa dan mudah terionisasi membentuk ion natrium dan hidroksida
c) Bila dibiarkan di udara akan cepat menyerap karbondioksida dan lembab
d) Mudah larut dalam air dan dalam etanol tetapi tidak larut dalam eter
e) NaOH membentuk basa kuat bila dilarutkan dalam air
DAFTAR PUSTAKA

Bassett, J., Denney, R.C., Jeffrey, G.H., dan Mendham, J. 1994. Buku Ajar Vogel:
Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Alih Bahasa A. Hadnyana P. Dan L.
Setiono. Vogel’s Textbook of Quantitative Inorganic Analysis Including
Elementary Instrumental Analysis, Fourth Edition. 1991. Jakarta: EGC.
Hadie, Lannie. 2007. Disolusi. http://disolusi:academiaedu.com/. Diakses Tanggal
04 Oktober 2019.
Mastin, Ahmad. 1990. Difusi. http://difusilarutan.wikipedia.com/. Diakses Tanggal
04 Oktober 2019.
Rara. 2008. Uji Disolusi (ketersediaan hayati in
vitro). http://rara87.wordpress.co/2008/11/29/uji-ketersediaan-hayati-in-vitro/.
Diakses Tanggal 04 Oktober 2019.
Ratih. 2010. Larutan. http://difusilarutan.academiaedu.co/. Diakses Tanggal 04
Oktober 2019.
Petruševski, Vladimir M. dan Risteska, Keti. 2007. Behaviour of Phenolphthalein in
Strongly Basic Media. Chemistry, Vol. 16, Iss. 4 (2007). Tersedia pada
http://khimiya.org/pdfs/KHIMIYA_16_4_PETRUSEVSKI.pdf). Diakses
pada tanggal 04 Oktober 2019.
Perry, R.H. and Green, D.W., 1984, Perry’s Chemical Engineer’s Handbook, 6
Th edition,
McGraw Hill Book Company, Singapore
Atkins, PW. 1996. Kimia Fisika Jilid II edisi IV.Erlangga. Jakarta
Moechtar. 1990. Farmasi Fisika.UGM Press.Yogyakarta
Suyitno. 1988. Fisika Untuk Sains dan Teknik. Penerbit Erlangga. Jakarta
Zemansky. 1982. Fisika Universitas. Penerbit Bina Cipta. Bandung

Anda mungkin juga menyukai