Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

FARMASI SOSIAL

Disusun Oleh:
Damayanti
418048

Dosen Pengampu:
apt. Fransisca Gloria, M.Farm.

PROGRAM STUDI S-1 FARMASI
STIKES TELOGOREJO SEMARANG
2021/2022
TUGAS 1

Perbedaan Sistem Kesehatan Nasional (SKN)

Tahun
1982 2004 2009 2012
‐ Dasar Hukum SKN ‐ Dasar Hukum SKN ‐ Dasar Hukum SKN ‐ Dasar Hukum SKN
Tahun 1982 adalah Tahun 2004 adalah Tahun 2009 adalah Tahun 2012 adalah
KEPMENKES Nomor KEPMENKES KEPMENKES RI PERPRES Nomor
99a/MENKES/SK/III/ Nomor Nomor 72 Tahun 2012
1982 tentang 131/MENKES/SK/II/ 374/MENKES/SK/V/2 tentang Sistem
Berlakunya SKN. 2004 tentang Sistem 009, serta UU 36 tahun Kesehatan Nasional
‐ Terdiri dari 3 bagian : Kesehatan Nasional 2009 pasal 167 (4) ‐ Sub Sistem terdiri
1. Pemikiran dasar ‐ Sub Sistem terdiri dari tentang Kesehatan dari :
pembangunan : ‐ Sub Sistem terdiri 1. Upaya kesehatan
kesehatan 1. Upaya kesehatan dari : 2. Penelitian &
2. Rencana 2. Pembiayaan 1. Upaya kesehatan Pengembangan
pembangunan kesehatan 2. Pembiayaan Kesehatan
jangka panjang 3. SDM kesehatan kesehatan 3. Pembiayaan
bidang kesehatan 4. Obat dan 3. SDM kesehatan kesehatan
3. Bentuk pokok SKN perbekalan 4. Sediaan Farmasi, 4. SDM Kesehatan
kesehatan Alkes dan Makanan 5. Sediaan Farmasi,
5. Pemberdayaan 5. Manajemen dan Alkes dan
masyarakat Informasi Makanan
6. Manajemen Kesehatan 6. Manajemen,
kesehatan 6. Pemberdayaan Informasi &
Masyarakat Regulasi
Kesehatan
7. Pemberdayaan
Masyarakat
TUGAS 2

Negara Sosialis dan Negara Liberal

A. Negara Sosialis
Sosialisme berasal dari dari kata socius yang artinya masyarakat.
Sosialisme adalah paham yang dibentuk dengan tujuan untuk memakmurkan
masyarakat yang kolektif dan produktif dengan membatasi milik perseorangan.
Sistem kesehatan pada negara sosialis diatur oleh negara (pemerintah).
Contoh negara sosialis : China, Korea utara, Belanda, Swedia, Kanada

B. Negara Liberal
Liberal atau liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan
tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan
persamaan hak adalah nilai politik yang utama Secara umum, liberalisme
mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan
berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan,
khususnya dari pemerintah dan agama. Sistem kesehatan pada negara liberal
ditentukan oleh masing-masing intansi kesehatan (swasta) bukan oleh
pemerintah.
Contoh negara liberal : Amerika serikat, Australia, Inggris, Perancis, Jepang
TUGAS 3
Sistem Asuransi Kesehatan

A. Indonesia
Pada tahun 2004 sebelum di bentuknya undang-undang tentang kesehatan di
Indonesia sudah membentuk Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang kemudian dikeluarkan Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
BPJS ini sebagai perwujudan dari ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang menyatakan
bahwa berbagai macam badan jaminan sosial yang sudah ada maka dapat dibentuk
badan jaminan sosial dengan undang-undang. Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) ini dibedakan antara yang memiliki kewenangan pengurusan di
bidang ketenagakerjaan maupun di bidang kesehatan. Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan merupakan lembaga yang mengakomodir
sistem kesehatan di Indonesia dengan skema pembayaran yang dibedakan
berdasarkan keinginan masyarakat Indonesia di dalam memilih pelayanan
kesehatan mana yang dibutuhkan. Mulai dari kelas I hingga kelas III menjadikan
adanya menjadi kewajiban kembali bagi rakyat untuk membayarkan premi setiap
bulan dan sistem pembayaran ini berlandaskan asas gotong royong. Artinya
bahwa sekalipun seseorang tersebut tidak dalam keadaan sakit maka tetap wajib
membayar premi yang dbebankan kepadanya dengan tujuan memberikan suatu
pertolongan gotong royong kepada warga masyarakat yang ternyata membayar
premi BPJS Kesehatan namun dia mengalami musibah yaitu menderita sakit
(Habibi, 2020).
Sistem kesehatan di Indonesia didukung dengan pembiayaan pemerintah yang
bersumber dari pemerintah pusat maun pemerintah daerah. Anggaran dari
pemerintah pusat disalurkan melalui DAU, DAK, DAK non fisik, serta Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). Sedangkan anggaran dari pemerintahan daerah dalam
bentuk dukungan program pusat maupun untuk pembiayaan program inovasi
daerah sendiri. Pengelola sistem pembiayaan di Indonesia yakni kementerian
kesehatan sebagai regulator, monitor dan mengevaluasi pelaksanaan sistem
kesehatan. Sedangkan badan pengumpul dan penyalur premi melalui kapitasi dan
INA CBG’S adalah BPJS. Akses pelayanan kesehatan yang adil menggunakan
prinsip keadilan vertikal. Prinsip keadilan vertikal menegaskan, kontribusi warga
dalam pembiayaan kesehatan ditentukan berdasarkan kemampuan membayar
(ability to pay), bukan berdasarkan kondisi kesehatan/ kesakitan seorang. Dengan
keadilan vertikal, orang berpendapatan lebih rendah membayar biaya yang lebih
rendah daripada orang berpendapatan lebih tinggi untuk pelayanan kesehatan
dengan kualitas yang sama. Dengan kata lain, biaya tidak boleh menjadi hambatan
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan (needed care,
necessary care) (Putri, 2019).

B. Amerika
Negara yang menerapkan sistem mandat asuransi dalam pembiayaan
kesehatannya dalam mencapai cakupan semesta salah satunya adalah Amerika
Serikat. Mandat asuransi adalah pemerintah mewajibkan agar semua warga
memiliki asuransi dari perusahaan asuransi swasta, pemerintah, atau nirlaba.
Amerika Serikat selama ini menerapkan sistem pembiayaan kesehatan yang
liberal melalui pasar swasta. Kurang lebih sepertiga dari pembiayaan kesehatan
langsung dibayar oleh pasien (out of pocket). Sumber dana sisanya berasal dari
organisasi asuransi swasta yang profit, organisasi asuransi not for profit seperti
Blue Cross dan Blue Shield serta Health Maintenance Organization (HMO).
HMO merupakan praktek kelompok pelayanan kesehatan yang dibayar di muka
(pre-paid) berdasarkan kapitasi dan pelayanan kesehatan yang diberikan bersifat
komprehensif. Pada sistem pembiayaan kesehatan tersebut, pemerintah federal
dan negara bagian memberikan skema asuransi kesehatan bagi warga miskin
(Medicaid) dan usia lanjut, veteran, dan berpenyakit kronis (Medicare).
Pada dasarnya, sistem jaminan sosial yang diterapkan di Negara Amerika
Serikat diselenggarakan dengan satu undang-undang dan diselenggarakan oleh
satu badan pemerintah (Social Security Administration, SSA) yang memiliki sifat
nasional dan dikelola oleh pemerintah Federal yang berada di bawah Departemen
Pelayanan Sosial. Untuk setiap penduduk setidaknya harus memiliki 9 digit
nomor (Social Security Number, SSN) yang akan berlaku untuk segala macam
urusan seperti paspor, rekening bank, pekerjaan, pendidikan, pajak, jaminan
sosial, dan sebagainya. Dengan demikian, program jaminan sosial Amerika
Serikat bersifat monopolistik dan mencakup jaminan hari tua dan jaminan
kesehatan.
Health Maintenance Organization bertanggung jawab dalam hal pembiayaan
dan juga pemberian pelayanan kesehatan yang komprehensif (meliputi preventif,
promotif, kuratif dan rehabilitatif) terhadap populasi tertentu yang telah terdaftar
dengan pembayaran sejumlah uang yang dihitung berdasarkan kapitasi atau per
bulan per orang. Konsep asuransi ini muncul akibat timbulnya masalah
pembiayaan kesehatan di Amerika Serikat pada tahun 1973. Pada tanggal 23
Maret 2010, presiden Barrack Obama menandatangani sebuah reformasi sistem
layanan kesehatan di Amerika Serikat yang bernama “Affordable Health Care for
America Act”. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, terdapat perubahan pada
sektor layanan kesehatan di AS, seperti :
 Warga Amerika yang belum memiliki asuransi dan telah memiliki penyakit
sebelumnya (preexisting conditions) akan memperoleh asuransi kesehatan
melalui bantuan subsidi sementara yang disediakan pemerintah.
 Perusahaan asuransi dilarang memutuskan pertanggungan ketika si pengguna
asuransi kesehatan terkena penyakit; Perusahaan asuransi dilarang
memberlakukan batasan maksimal nilai pertanggungan seumur hidup bagi
pengguna asuransi kesehatan tertentu;
 Seorang anak dibenarkan untuk ikut dalam asuransi kesehatan orang tuanya
sampai dia mencapai umur 26 tahun;
 Setiap pertanggungan baru wajib mengcover layanan pencegahan (preventive
cares) dan perawatan kebugaran ( wellness care );
 Seorang pengguna asuransi dapat mengajukan banding kepada satu badan
yang independen berkenaan dengan sengketa yang dihadapinya dengan
perusahaan asuransi;

Selain itu, dalam UU tersebut juga ditetapkan bahwa terhitung sejak tanggal 1
Januari 2011 diatur hal-hal sebagai berikut :

 Pemerintah mulai memberikan subsidi bagi perusahaan-perusahaan kecil


untuk membiayai asuransi kesehatan karyawannya;
 Perusahaan-perusahaan asuransi wajib menggunakan 80-85 % dari premium
kesehatan yang diterimanya untuk layanan kesehatan. Perusahaan asuransi
yang tidak memenuhi syarat diwajibkan untuk memberikan pengembalian
biaya (rebates) kepada para pemegang polis;
 Perusahaan-perusahaan asuransi wajib menjelaskan kenaikan premium
asuransi kesehatan. Perusahaan asuransi yang menaikkan premium yang
berlebihan dapat dikenakan sanksi dikeluarkan dari bursa asuransi kesehatan
yang dikelola pemerintah.

Di Amerika sistem pembayaran kepada pemberi pelayanan kesehatan (PPK)


dilakukan di muka (pre-payment) hal ini dilakukan sebelum pelayanan kesehatan
diselenggarakan. Disisi lain Health Maintenance Organization (HMO) yang
dilaksanakan oleh Amerika Serikat menggunakan prinsip Managed Care yang
dapat dikelola oleh pihak swasta maupun pemerintah. Health Maintenance
Organization (HMO) memadukan badan asuransi dengan penyedia palayanan
kesehatan yang dibayar di muka dengan sistem kapitasi dimana sistem
pembayarannya dilakukan oleh pengelola dana (resources management) kepada
penyelenggara pelayanan kesehatan (health provider) untuk pelayanan yang
diselenggarakan dengan biaya dihitung berdasarkan jumlah pasien yang ada yang
menjadi tanggungannya. Kelebihan sistem kapitasi dilihat pada administrasi
badan penyelenggara dan provider yang lebih sederhana dan tidak merepotkan
serta penghasilan provider akan lebih stabil dan merata karena penghasilan tidak
ditentukan oleh fluktuasi jumlah kunjungan. Sedangkan kekurangannya yaitu
kemungkinan adanya provider kurang bersungguh-sungguh dalam memberikan
pelayanan kesehatan kepada masyarakatnya serta adanya ketentuan yang
membatasi pelayanan kesehatannya sehingga tidak menutup kemungkinan tidak
dapat menjamin semua kebutuhan atau tuntutan peserta terpenuhi secara merata.

C. Inggris
Di Inggris diterapkan sebuah sistem jaminan kesehatan berbasis pajak yang
bernama “Pelayanan Kesehatan Nasional” (National Health Service disingkat
NHS) yaitu suatu sistem kesehatan yang didanai dan dikelola oleh pemerintah
secara nasional yang sebagian besar bersumber dari pajak umum (tax-funded).
Pembiayaan untuk NHS didanai oleh pajak yang diberikan kepada Departemen
Kesehatan oleh parlemen. NHS memberikan secara gratis hampir semua jenis
pelayanan kesehatan, seperti pemeriksaan kehamilan, perawatan gawat darurat,
dan lain-lain. Pengecualiannya, yang memerlukan pembayaran hanya sedikit,
seperti obat yang diresepkan (prescriptions), pengobatan gigi dan mata. NHS
menggunakan sistem pendanaan yang bersifat sentralistik dengan prinsip ekuitas
berdasarkan kebutuhan serta status kesehatan setempat. Sedangkan pelayanan
yang diberikan bersifat desentralistis dengan dokter umum sebagai gate keeper
yang bukan pegawai negeri. Selanjutnya apabila pasien tersebut dirasa perlu untuk
penanganan lebih lanjut maka pasien akan dirujuk ke dokter rumah sakit yang
merupakan pegawai negeri. Untuk mengatasi permintaan yang berlebihan maka
diberlakukan co-payment misalnya: obat-batan diluar rumah sakit serta rationing
yang berkaitan dengan waktu. Hal ini dirasa cukup efektif dalam menekan biaya
kesehatan.
NHS menerapkan sistem pembayaran prospektif dimana pembayaran
dilakukan sebelum seseorang sakit atau sebelum mendapat pelayanan kesehatan.
Selain itu, sistem purchasing mechanism yang dianut oleh sistem jaminan
kesehatan NHS di Inggris yaitu Pembayar Tunggal (Single Payer) yang tidak
selalu berarti bahwa pemerintah merupakan satu-satunya pihak yang menyediakan
dan membiayai pelayanan kesehatan untuk semua warga. Inggris juga memberi
kesempatan bagi warganya untuk membeli pelayanan kesehatan tambahan melalui
asuransi swasta, karakteristik yang menyerupai sistem pembayar ganda (two-tier).
Tetapi yang jelas dalam sistem pembayar tunggal, peran pemerintah sangat
dominan sebagai pembayar dan pembeli pelayanan kesehatan bagi warga.

D. Australia
Australia mengeluarkan UU Asuransi Nasionalnya di tahun 1973 dengan
memberikan jaminan pelayanan komprehensif kepada seluruh penduduk
Australia, baik yang berada di Australia maupun yang berada di beberapa negara
tetangga seperti di Selandia Baru dan warga negara beberapa negara Eropa yang
tinggal di Australia. Asuransi, yang juga disebut Medicare, ini dikelola oleh
Health Insurance Commisioner di tingkat negara Federal. Seluruh penduduk
Australia tidak pernah harus memikirkan biaya perawatan manakala mereka sakit
dan karenanya penyakit tidak akan membuat mereka jatuh miskin. Begitu baiknya
pengelolaan asuransi ini sehingga untuk merangsang penduduk yang ingin
membeli asuransi kesehatan swasta diberikan perangsang pengurangan kontribusi
asuransi wajib.
Sistem kesehatan Australia merupakan system yang kompleks dan canggih,
merupakan kombinasi antara pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta. Seluruh
warga negara dan penduduk tetap Australia memiliki akses terhadap pelayanan
kesehatan bebas biaya yang dikelola oleh pemerintah, namun demikian hampir
setengah penduduk Australia memiliki asuransi kesehatan swasta. Medicare di
biayai oleh 10% dari total penerimaan pajak negara. Sistem ini mampu menutupi
biaya masyarakat dalam pengobatan kesehatan hingga 85%. Selain itu, sistem
medicare ini mampu membayar langsung tenaga profesional dan pasien hanya
cukup membayar sebesar 15%. Medicare menyediakan layanan – layanan dan
program - program seperti perawatan rumah sakit umum bebas biaya, membantu
meringankan biaya perawatan di luar rumah sakit, serta penanganan medis gratis
atau disubsidi, pelayanan itu di berikan oleh ahli kedokteran seperti dokter, dokter
spesialis, dan dokter mata yg berpartisipasi di dalam program ini. Medicare juga
mambantu dengan biaya obat yang di dapatkan dengan resep dokter.

E. New Zealand
Sistem kesehatan New Zealand (Selandia Baru) telah mengalami lebih dari
tiga dekade restrukturisasi besar-besaran. Sejak tahun 2000 penekanan yang lebih
besar telah ditempatkan pada perawatan kesehatan primer, respon sistem
kesehatan strategis untuk membangun kesetaraan kesehatan. Pendekatan
kesehatan populasi dan kebijakan sosial yang diarahkan untuk menutup
kesenjangan kesehatan juga merupakan fitur dari restrukturisasi sistem. Penyakit
kronis adalah penyebab utama morbiditas, mortalitas, dan hasil kesehatan yang
tidak merata di New Zealand. Tahun 1990-an melihat Crown Health Enterprises,
di mana rumah sakit didirikan sebagai perusahaan milik negara dan Otoritas
Kesehatan Daerah adalah pembeli layanan, termasuk perawatan kesehatan primer.
Sejak tahun 2000, restrukturisasi telah terjadi dalam elemen pemerintah dari
sistem kesehatan. DHBs (District Health Boards) mengintegrasikan rumah sakit
ke dalam badan pendanaan. DHBs merencanakan, mengelola, menyediakan, dan
mendanai layanan bagi penduduk di distriknya. Ini termasuk pendanaan untuk
perawatan primer, layanan kesehatan masyarakat. DHBs mendanai penyediaan
perawatan kesehatan primer melalui Organisasi Kesehatan Primer (PHOs). Dinas
Kesehatan ditugaskan untuk bekerja dengan masyarakat lokal dan populasi yang
terdaftar, mengurangi ketidaksetaraan kesehatan dan meningkatkan akses dan
penyediaan layanan (Sheridan et al., 2011).
Di sistem kesehatan New Zealand, subsidi dari pemerintah (publicly funded
health services) dananya sebagian berasal dari pajak. Dana yang tersedia itu
dialokasikan ke berbagai hal, salah satunya untuk public health services. Dengan
subsidi itu, seseorang yang sudah terdaftar di suatu klinik bisa membayar
konsultasi dan berobat dengan biaya yang lebih murah. Bahkan untuk anak-anak
di bawah 13 tahun bisa gratis. Kontrol kehamilan dan persalinan dengan bidan
juga bisa gratis. Namun tidak semua orang bisa menerima subsidi tersebut. Yang
bisa menikmati publicly funded health services hanyalah mereka yang eligible,
yaitu:
 Warga negara atau permanent resident New Zealand.
 Warga negara atau permanent resident Australia yang tinggal di New Zealand
selama minimal 2 tahun.
 Pemegang work visa yang tinggal di New Zealand selama minimal 2 tahun.
 Anak usia di bawah 18 tahun dari orang tua atau wali yang eligible.
 Pemegang interim visa jika di visa sebelumnya juga eligible.
 Mahasiswa penerima New Zealand Aid Scholarship (NZAS), termasuk
partner dan anaknya.
 Mahasiswa penerima Commonwealth Scholarship and Fellowship Plan.
 Orang asing yang mengikuti Ministry of Education’s Foreign Language
Teaching Assistantship Scheme.
 Pengungsi dan orang-orang yang dilindungi oleh pemerintah New Zealand.
TUGAS 4

Kebijakan Pengadaan Obat di era JKN dan Pokok-Pokok


KONAS

A. Kebijakan Pengadaan Obat di era JKN


Pada program JKN, pengadaan obat dan bahan medis habis pakai (BMHP)
diarahkan melalui sistem e-Katalog. Tujuannya untuk memastikan ketersediaan
dan keterjangkauan obat yang aman, berkhasiat, dan bermutu di fasilitas
kesehatan (Faskes) dengan cara yang transparan, efektif, efisien dan akuntabel.
Penggunaan e-Katalog untuk pengadaan obat JKN diatur dengan Peraturan
Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Amandemen Keempat Perpres Nomor 54
Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa dan Surat Edaran Menteri Kesehatan
Nomor 167 Tahun 2014. Sementara itu, proses penetapan e-Katalog didasarkan
pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 523 Tahun 2015 yang diperkuat
dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 137 Tahun 2016 tentang
Formularium Nasional.

Terkait dengan obat, dalam lima tahun pertama penerapan sistem e-Katalog
sejak 2014, efisiensi pengadaan obat dapat dianggap telah tercapai. Harga obat
secara umum telah mengalami penurunan drastis dibandingkan dengan era pra-
JKN, sebelum penerapan e-Katalog. Hal ini ditunjukkan oleh hasil analisis
beragam data sekunder dan dipastikan dalam wawancara dengan para farmasis
senior dari PP IAI, FF UP, beragam faskes, serta sejumlah perusahaan farmasi dan
distributor di Jakarta. Namun, hingga akhir 2018, sistem pengadaan obat berbasis
elektronik itu masih terjerat berbagai masalah yang menyebabkan
ketidaktersediaan beragam obat di faskes, sehingga sejumlah pasien JKN tidak
mendapatkan obat sesuai kebutuhan medisnya. Di bawah peraturan perundang-
undangan yang tak mengalami perubahan dari tahun-tahun sebelumnya, beberapa
hal pada 2018 teridentifikasi di berbagai titik proses pengadaan obat JKN adalah:
Jumlah obat yang terangkum dalam Fornas terus bertambah, sementara itu
kesenjangan antara Fornas dan RKO Nasional, serta antara RKO dan zero e-
Purchasing, terus menyempit, yang mencapai proporsi terendah pada 2018.
Namun demikian, kesenjangan antara RKO dan e-Katalog serta antara RKO dan
e-Purchasing yang sangat rendah, <30% RKO, sedikit melebar, setidaknya dalam
tiga tahun terakhir sejak 2016. Hal ini berarti, daftar item obat dalam Fornas
semakin lengkap dan penggunaan obat di faskes makin sesuai Fornas. Namun
demikian, masih ada item obat yang dikeluarkan dari Fornas sehingga tidak dapat
masuk ke e-Katalog 2018 dan, karenanya, tidak mendapat penggantian dari BPJS
Kesehatan. Selain itu, pengadaan riil obat dengan pemesanan secara online
melalui e-Katalog cenderung menurun, yang meningkatkan kemungkinan
terjadinya kekosongan obat di faskes. Oleh sebab itu kebijakan untuk seluruh
pemangku kepentingan harus dipastikan melaporkan data RKO secara akurat,
sesuai kebutuhan riil di tingkat faskes. Data RKO tersebut merupakan data dasar
bagi Kemenkes untuk menentukan RKO Nasional, sehingga akan menentukan
HPS dan integritas sistem e-Katalog secara keseluruhan.

(Soewondo et al., 2020).

B. Pokok-Pokok KONAS

Kebijakan Obat Nasional disebut KONAS adalah dokumen resmi berisi


pernyataan komitmen semua pihak yang menetapkan tujuan dan sasaran nasional
di bidang obat beserta prioritas, strategi dan peran berbagai pihak dalam
penerapan komponen-komponen pokok kebijakan untuk pencapaian tujuan
pembangunan kesehatan.

Pokok-Pokok dan Langkah Kebijakan :

1. Pembiayaan Obat
Salah satu upaya untuk menjamin pembiayaan obat bagi masyarakat, adalah
bila semua anggota masyarakat dicakup oleh Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Langkah Kebijakan :
a. Penetapan target pembiayaan obat sektor publik secara nasional
b. Pengembangan mekanisme pemantauan pembiayaan obat sektor publik
di daerah
c. Penyediaan anggaran obat untuk program kesehatan nasional.
d. Penyediaan anggaran Pemerintah dalam pengadaan obat buffer stock
nasional untuk kepentingan penanggulangan bencana, dan memenuhi
kekurangan obat di kabupaten/kota.
e. Penyediaan anggaran obat yang cukup yang dialokasikan dari Dana
Alokasi Umum (DAU) dan dari sumber yang lain.
f. Penerapan skema JKN dan sistem jaminan pemeliharaan kesehatan
lainnya harus menyelenggarakan pelayanan kesehatan paripurna.
g. Pembebanan retribusi yang mungkin dikenakan kepada pasien di
Puskesmas harus dikembalikan sepenuhnya untuk pelayanan kesehatan
termasuk untuk penyediaan obat.
h. Penerimaan bantuan obat dari donor untuk menghadapi keadaan
darurat, sifatnya hanya sebagai pelengkap.

2. Ketersediaan dan Pemerataan Obat


Ketersediaan dan pemerataanperedaran obat, terutama obat esensial secara
nasional harus dijamin oleh pemerintah.
Langkah Kebijakan :
a. Pemberian insentif kepada industri obat jadi dan bahan baku dalam
negeri tanpa menyimpang dari dan dengan memanfaatkan peluang yang
ada dalam perjanjian WTO.
b. Peningkatan ekspor obat untuk mencapai skala produksi yang lebih
ekonomis untuk menunjang perkembangan ekonomi nasional.
c. Peningkatan kerjasama regional, baik sektor publik maupun sektor
swasta, dalam rangka perdagangan obat internasional untuk
pengembangan produksi dalam negeri.
d. Pengembangan dan produksi fitofarmaka dari sumber daya alam
Indonesia sesuai dengan kriteria khasiat dan keamanan obat.
e. Peningkatan efektivitas dan efisiensi distribusi obat melalui regulasi
yang tepat untuk ketersediaan, keterjangkauan dan pemerataan
peredaran obat.
f. Peningkatan pelayanan kefarmasian melalui peningkatan
profesionalisme tenaga farmasi sesuai dengan standar pelayanan yang
berlaku.
g. Pemberian insentif untuk pelayanan obat di daerah terpencil.
h. Pengembangan mekanisme pemantauan keterseiaan obat esensial dan
langkah-langkah perbaikan.
i. Ketersediaan obat sektor publik
j. Penyediaan obat dalam keadaan darurat
k. Penyediaan obat di daerah terpencil, perbatasan dan rawan bencana
serta orphan drug diatur secara khusus oleh pemerintah.

3. Keterjangkauan atau Akses Obat


Keterjangkauan atau akses obat diupayakan dari dua arah, yaitu dari arah
permintaan pasar dan dari arah pemasok. Dari arah permintaan diupayakan
melalui penerapan Konsep Obat Esensial dan penggunaan obat generic.
Dilakukan melalui berbagai upaya, antara lain promosi penggunaan obat
generic di setiap tingkat pelayanan kesehatan, pengaturan, pengelolaan obat di
sektor publik.
Langkah Kebijakan :
a. Peningkatan penerapan Konsep Obat Esensial dan Program Obat
Generik
b. Pelaksanaan evaluasi harga secara periodic
c. Pemanfaatan pendekatan farmako-ekonomik di unit pelayanan
kesehatan untuk meningkatkan efisiensi.
d. Melaksanakan lisensi wajib obat-obat yang sangat diperlukan sesuai
dengan Undang-undang yang berlaku.
e. Pengembangan system informasi harga obat.
f. Pengembangan system pengadaan obat sektor publik yang efektif dan
efisien.
g. Penghapusan pajak dan bea masuk untuk obat esensial.
h. Pengaturan harga obat esensial untuk menjamin keterjangkauan harga
obat.

4. Seleksi Obat Esensial


Agar system pelayanan kesehatan berfungsi dengan baik, obat esensial harus
selalu tersedia dalam jenis dan jumlah yang memadai, bentuk sediaan yang
tepat, mutu terjamin, informasi yang memadai, dan dengan harga yang
terjangkau.
Langkah Kebijakan :
a. Pemilihan obat esensial harus terkait dengan pedoman terapi atau
standar pengobatan yang didasarkan pada bukti ilmiah terbaik.
b. Pelaksanaan seleksi obat esensial dilakukan melalui penelaahan ilmiah
yang mendalam dan pengambilan keputusan yang transparan dengan
melibatkan apoteker, farmakolog, klinisi dan ahli kesehatan masyarakat
dari berbagai strata sarana pelayanan kesehatan dan lembaga
pendidikan tenaga kesehatan.
c. Pelaksanaan revisi DOEN dilakukan secara periodic paling tidak setiap
3-4 tahun dengan melalui proses pengambilan keputusan yang sama.
d. Penyebarluasan DOEN kepada sarana pelayanan kesehatan sampai
daerah terpencil, lembaga pendididikan tenaga kesehatan, baik dalam
bentuk media cetak maupun elektronik.

5. Penggunaan Obat yang Rasional


Penggunaan obat yang rasional merupakan salah satu langkah untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik. Untuk mengatasi permasalahan
penggunaan obat yang tidak rasional perlu dilakukan pemantauan penggunaan
obat agar dapat diketahui tipe ketidak-rasionalan, besarnya permasalahan,
penyebab penggunaan obat yang tidak rasional, agar dapat dipilih strategi
yamg tepat, efektif, dan layak untuk dilaksanakan.
Langkah Kebijakan :
a. Penyusunan pedoman terapi standar berdasarkan bukti ilmiah terbaik
yang direvisi secara berkala.
b. Pemilihan obat dengan acuan utama DOEN.
c. Pembentukan atau Pemberdayaan Komite Farmasi dan terapi di rumah
sakit.
d. Pembelajaran farmakoterapi berbasis klinis dalam kurikulum S, tenaga
kesehatan.
e. Pendidikan berkelanjutan sebagai persyaratan pemberian izin
menjalankan kegiatan profesi.
f. Pengawasan, audit dan umpan balik dalam penggunaan obat.
g. Penyediaan informasi obat yang benar, lengkap dan tidak menyesatkan.
h. Pendidikan dan pemberdayaan masyarakat untuk menggunakan obat
secara tepat dan benar, serta meningkatkan kepatuhan penggunaan obat.
i. Regulasi dan penerapannya untuk menghindarkan insentif pada
penggunaan dan penulisan resep obat.
j. Regulasi untuk menunjang penerapan berbagai langkah kebijakan
penggunaan obat yang rasional.
k. Promosi penggunaan obat yang rasional melalui berbagai media.

6. Pengawasan Obat
Pengawasan obat merupakan tugas yang kompleks yang melibatkan berbagai
pemangku kepentingan yaitu pemerintah, pengusaha dan masyarakat.
Langkah Kebijakan :
a. Penilaian dan pendaftaran obat.
b. Penyusunan dan penerapan standar produk dan system mutu.
c. Perizinan dan sertifikasi sarana produksi dan distribusi.
d. Inspeksi sarana produksi dan sarana distribusi.
e. Pengujian mutu dengan laboratorium yang terakreditasi.
f. Pemantauan promosi obat.
g. Surveilans dan vijilan paska pemasaran.
h. Penilaian kembali terhadap obat yang beredar.
i. Peningkatan sarana dan prasarana pengawasan obat serta
pengembangan tenaga dalam jumlah dan mutu sesuai dengan standar
kompetensi.
j. Pembentukan Pusat Informasi Obat di pusat dan daerah untuk
intensifikasi penyebaran informasi obat.
k. Peningkatan kerjasama regional maupun internasional.
l. Pengawasan obat palsu dan obat selundupan (tidak absah).
m. Pengembangan peran serta masyarakat untuk melindungi dirinya
sendiri dari obat yang tidak memenuhi syarat, obat palsu, dan obat
illegal melalui upaya komunikasi, informasi, dan edukasi.

7. Penelitian dan Pengembangan


Penelitian dan pengembangan obat bertujuan untuk menunjang pembangunan
di bidang obat yang mencakup kajian terhadap pembiayaan, ketersediaan dan
pemerataan, keterjangkauan, seleksi obat esensial, penggunaan obat rasional,
pengawasan, penelitian dan pengembangan, pengembangan sumber daya
manusia dan pemantauan serta evaluasi.
Langkah Kebijakan :
a. Melakukan identifikasi penelitian yang relevan dan penyusunan
prioritas dengan mekanisme kerja yang erat antara penyelenggara
upaya-upaya pembangunan di bidang obat dengan penyelenggara
penelitian dan pengembangan.
b. Meningkatkan kerjasama lintas sektor dan dengan luar negeri di bidang
penelitian dan pengembangan obat serta meningkatkan koordinasi dan
sinkronisasi penyelenggaraan penelitian antara berbagai lembaga dan
perorangan yang melakukan penelitian di bidang obat.
c. Membina dan membantu penyelenggaraan penelitian yang relevan dan
diperlukan dalam pembangunan di bidang obat.

8. Pengembangan SDM
Tersedianya SDM farmasi di puskesmas, rumah sakit baik pemerintah maupun
swasta, industri farmasi, pedagang besar farmasi (PBF), apotek serta toko obat
sangat diperlukan.
Langkah Kebijakan :
a. Penyusunan rencana kebutuhan tenaga farmasi.
b. Penyediaan dan penempatan tenaga farmasi secara merata sesuai
dengan kebutuhan di setiap daerah dan jenjang pelayanan kesehatan.
c. Pengintegrasian KONAS ke dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan
tenaga kesehatan.
d. Pengintegrasian KONAS ke dalam kurikulum pendidikan berkelanjutan
oleh organisasi profesi kesehatan.
e. Peningkatan kerjasama nasional, regional dan internasional untuk
pengembangan SDM.

9. Pemantauan dan Evaluasi


Penerapan KONAS memerlukan pemantauan dan evaluasi secara berkala. Hal
ini penting untuk melakukan antisipasi atau koreksi terhadap perubahan
lingkungan dan perkembangan yang begitu kompleks dan cepat yang terjadi di
masyarakat.
Langkah Kebijakan :
a. Pemantauan dan evaluasi dilakukan secara berkala, paling lama setiap 5
tahun.
b. Pelaksanaan dan indicator pemantauan mengikuti pedoman WHO dan
dapat bekerjasama dengan WHO atau pihak lain untuk membandingkan
hasilnya dengan Negara lain.
c. Pemanfaatan hasil pemantauan dan evaluasi

(Depkes RI, 2006).


DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2004). Sistem Kesehatan Nasional.


Depkes RI, Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2009). Sistem Kesehatan Nasional.


Depkes RI, Jakarta.

Depkes RI. (2006). Kebijakan Obat Nasional. Jakarta: Departemen Kesehatan


Republik Indonesia.

Habibi, D. (2020). Rekonstruksi Sistem Hukum Kesehatan Di Indonesia Dengan


Pendekatan Perbandingan Sistem Kesehatan Di Negara Maju. Jurnal
Medika Hutama, 1(03), 156-162.

Putri, R. N. (2019). Perbandingan sistem kesehatan di negara berkembang dan


negara maju. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, 19(1), 139-146.

Republik Indonesia. Peraturan Presiden No 72 Tahun 2012 Tentang Sistem


Kesehatan Nasional.

Sheridan, N. F., Kenealy, T. W., Connolly, M. J., Mahony, F., Barber, P. A.,
Boyd, M. A., ... & Moffitt, A. (2011). Health equity in the New Zealand
health care system: a national survey. International Journal for Equity in
Health, 10(1), 1-14.

Soewondo, P., P. Sarnianto, D. O. Irawati & R. Pujisubekti. (2020). Kajian


Kebijakan Pengadaan Obat Untuk Program Jaminan Kesehatan Nasional
2014-2018. TNP2K, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai