Anda di halaman 1dari 16

QANUN SEBAGAI PERATURAN PELAKSANAAN

OTONOMI KHUSUS
DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Oleh : Al Yasa’ Abubakar dan M. Daud Yoesoef

PENDAHULUAN
Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam melahirkan harapan dan membuka peluang
untuk tumbuhnya kreatifitas, diskresi dan kebebasan bagi Pemerintah Provinsi
dan Kabupaten /Kota serta masyarakat Aceh pada umumnya untuk menemukan
kembali identitas diri dan membangun wilayahnya. Peluang ini telah ditanggapi
secara positif oleh komponen masyarakat, baik legislatif maupun eksekutif
bahkan oleh organisasi sosial kemasyarakatan dan lembaga swadaya
masyarakat. Tanggapan yang positif ini memang diperlukan untuk mencegah
timbulnya kemungkinan bahwa pendulum akan berbalik kembali ke arah
sentralisasi.
Penyerahan otonomi khusus dan penggantian nama Provinsi Daerah
Istimewa Aceh menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam didasarkan
kepada Undang-undang No. 18 Tahun 2001. Lahirnya Undang-undang ini
dilatarbelakangi setidak-tidaknya oleh dua fenomena, satu terdapat di Aceh
dan satu lagi ditingkat nasional. Yang pertama, berkaitan dengan konflik Aceh
yang timbul akibat adanya Gerakan Aceh Merdeka sejak tahun 1976. Sedang
yang kedua berkaitan dengan reformasi yang menuntut perubahan disegala
bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara termasuk mengubah pola
hubungan antara pusat dan daerah. Reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa
telah “memaksa” pemerintah untuk membuat beberapa kebijakan, diantaranya
kebijakan tentang desentralisasi dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sedang konflik Aceh yang
berlangsung berlarut-larut telah “mendorong” sebagian anggota DPR untuk
mengajukan usul inisiatif yang lantas melahirkan Undang-Undang Nomor 44
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa
Aceh. Melalui Undang-Undang ini Pemerintah Pusat mengakui keistimewaan
Aceh, yang telah lama disandang oleh Provinsi Daerah Istimewa Aceh yaitu
sejak tahun 1959. Karena Undang-Undang ini dirasakan belum cukup
mengakomodir tuntutan daerah, Sidang Umum MPR tahun 1999 melalui
Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999, mengamanatkan antara lain pemberian

15
Vol. 1 No. 3 - November 2004

otonomi khusus kepada Daerah Istimewa Aceh. Selanjutnya Sidang Tahunan


MPR tahun 2000 melalui Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 kembali
merekomendasikan agar Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Daerah
Istimewa Aceh dapat dikeluarkan selambat-lambatnya bulan Mei 2001. Lebih
dari itu perubahan kedua atas Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan
MPR pada sidang tahunan tahun 2000, dalam Pasal 18 B ayat (1) mengakui
dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang akan diatur dengan undang-undang. Atas dasar
perubahan yang relatif dratis ini, sebagian anggota DPR kembali mengajukan
usul inisiatif mengenai Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh, yang pada akhirnya disahkan sebagai Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa
Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang disahkan pada
tanggal 19 Juli 2001 dan diundangkan pada tanggal 9 Agustus 2001.
Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Pasal 31 (1) dinyatakan
bahwa “Ketentuan pelaksanaan Undang-Undang ini yang menyangkut
kewenangan Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah,”
sedang pada ayat (2) dinyatakan bahwa “Ketentuan pelaksanaan Undang-
Undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam ditetapkan dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.” Sedang pengertian Qanun, dalam Pasal 1 angka 8 dinyatakan
“Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah
sebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus”.
Dari ketentuan ini terlihat bahwa Qanun Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (untuk selanjutnya di singkat qanun) adalah peraturan untuk
melaksanakan otonomi khusus dalam hal yang menjadi kewenangan pemerintah
provinsi. Dengan demikian walaupun dari satu segi qanun adalah peraturan
daerah, tetapi dari segi lain qanun tidak tunduk kepada peraturan pemerintah
karena qanun berada langsung di bawah undang-undang. Berhubung dengan
kedudukannya yang unik, maka tulisan ini ingin menjelaskan, bagaimana
pemahaman tentang makna, kewenangan dan kedudukan qanun dalam tertib
hukum di Indonesia, apa kesulitan yang dihadapi dalam menjabarkan makna
tersebut dan bagaimana kedudukan qanun dalam hubungan dengan pelaksanaan
Syari’at Islam sebagai salah satu otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh.
Tetapi sebelum itu akan dipaparkan sedikit uraian tentang sejarah dan makna
otonomi khusus di Aceh.

16
Qanun Sebagai Peraturan Pelaksanaan Otonomi Khusus

A. SUBSTANSI POKOK UNDANG-UNDANG NOMOR 44


TAHUN 1999
Dengan UU Nomor 44 Tahun 1999 ini, keistimewaan yang selalu disebut-
sebut sebagai ciri utama dan telah menjadi “identitas” Aceh sejak tahun 1959
itu diharapkan akan menjadi lebih menyeluruh di tengah masyarakat. Undang-
Undang ini hanya mengatur hal-hal pokok, dan setelah itu memberi kebebasan
kepada Daerah untuk mengatur pelaksanaannya melalui peraturan daerah dan
keterlibatan ulama dalam pembuatan kebijakan daerah, agar kebijakan daerah
lebih akomodatif terhadap aspirasi masyarakat Aceh.
Adapun hal-hal pokok yang ditetapkan dalam UU Nomor 44 Tahun 1999
untuk menyelenggarakan keistimewaan yang diberikan kepada Aceh adalah
sebagai berikut: Dalam pasal 1 angka 8 disebutkan bahwa “Keistimewaan
adalah kewenangan khusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama,
adat, pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.” Pasal
1 angka 9 berbunyi, “Kebijakan Daerah adalah Peraturan Daerah atau
Keputusan Gubernur yang bersifat mengatur dan mengikat dalam
penyelenggaraan keistimewaan”. Pasal 1 angka 10, “Syari’at Islam adalah
tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan;” Pasal 1 angka 11,
“Adat adalah aturan atau perbuatan yang bersendikan Syari’at Islam
yang lazim dituruti, dihormati, dan dimuliakan sejak dahulu yang
dijadikan sebagai landasan hidup.”
Mengenai keistimewaan dibidang kehidupan beragama, diatur dalam Pasal
4 ayat (1) dan (2), bahwa penyelenggaraan kehidupan beragama di daerah
diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syari’at Islam bagi pemeluknya dalam
bermasyarakat; dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama.
Sedang cakupan Syari’at Islam seperti dijelaskan dalam Pasal 1 angka 10 di
atas, telah didefinisikan secara relative lengkap, yaitu mencakup seluruh
ajarannya (tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan). Jadi
Undang-Undang ini telah memberikan pemahaman yang kaffah kepada Syari’at
Islam, mencakup ibadat, mu’amalat, jinayat, munakahat bahkan lebih dari itu
mencakup ‘aqidah dan akhlak serta ajaran dan tuntunan diberbagai bidang lainnya.
Sedang mengenai kehidupan adat, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
diberi izin melestarikan dan membentuk lembaga adat di tingkat provinsi,
kabupaten/kota, kecamatan, kemukiman, dan gampong (desa) yang seperti
telah dikutip di atas tadi harus dijiwai serta sesuai dengan ajaran Islam.
Sedang keistimewaan di bidang pendidikan, walaupun urusan pendidikan
telah diserahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah,

17
Vol. 1 No. 3 - November 2004

namun dengan undang-undang ini, Daerah Istimewa Aceh diberikan


kewenangan khusus untuk menata pendidikan, mengembangkan dan mengatur
berbagai jenis dan jenjang pendidikan serta kurikulumnya dengan menambah
materi muatan lokal yang berbasis kompetensi agar sesuai dan mendukung
pelaksanaan Syari’at Islam. Dalam hubungan ini tentu perlu diingat dan dijaga
bahwa penetapan kebijakan di bidang pendidikan ini harus tetap sejalan dengan
sistem pendidikan nasional.
Dengan demikian, aturan tentang penyelenggaraan keistimewaan dalam
bidang kehidupan adat dan pendidikan, kelihatannya hanyalah untuk lebih
memudahkan dan mengukuhkan pelaksanaan Syari’at Islam dalam kehidupan
masyarakat muslim di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Setelah ini pelaksanaan Syari’at Islam secara formal diperkuat dan
dipertegas lagi melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.

B . OTONOMI KHUSUS DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 18


TAHUN 2001
Di dalam konsideran “Menimbang” UU No. 18 Tahun 2001 huruf “d”
antara lain disebutkan bahwa ketentuan dalam UU No.22 Tahun 1999 dan
UU No. 25 Tahun 1999 “… belum menampung sepenuhnya hak asal usul
dan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.” Sedang dalam huruf
“e” disebutkan “bahwa pelaksanaan Undang-Undang Nomor 44 Tahun
1999 … perlu diselaraskan dalam penyelenggaraan pemerintahan di
Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.” Dari kutipan ini dapat dipahami bahwa otonomi khusus adalah
otonomi yang diberikan sebagai tambahan atas otonomi yang sudah ada dan
juga penyempurnaan atas penyelenggaraan keistimewaan yang sudah diberikan
sebelumnya. Dalam Pasal 3 Undang-Undang ini ditemukan rumusan : (1)
“Kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang diatur dalam
Undang-Undang ini adalah kewenangan otonomi khusus”. (2)
“Kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam selain yang diatur
pada ayat (1) tetap berlaku sesuai dengan peraturan perundang-
undangan”. Dalam kaitan ini, sekiranya diingat bahwa yang tidak diotonomikan
oleh UU Nomor 22 Tahun 1999 pada pokoknya hanyalah lima buah urusan
yaitu : hukum, agama, fiskal, hubungan luar negeri, dan pertahanan, maka
otonomi khusus seyogyanya dipahami sebagai pemberian paling kurang

18
Qanun Sebagai Peraturan Pelaksanaan Otonomi Khusus

sebagian kewenangan dalam lima urusan yang belum diotonomikan oleh UU


No. 22 Tahun 1999 sebelumnya. Di dalam “Penjelasan Umum” UU No.18
Tahun 2001 disebutkan bahwa “Hal mendasar dari Undang-Undang ini
adalah pemberian kesempatan yang lebih luas untuk mengatur dan
mengurus rumah tangga sendiri termasuk sumber-sumber ekonomi,
menggali sumber daya alam dan sumber daya manusia, …dan
mengaplikasikan Syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat.” Dalam
alinea lainnya disebutkan “Kewenangan yang berkaitan dengan bidang
pertahanan negara merupakan kewenangan Pemerintah. Dalam hal
pelaksanaan kebijakan tata ruang pertahanan untuk kepentingan
pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia di wilayah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam yang tidak bersifat rahasia, Pemerintah
berkoordinasi dengan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.”
Tetapi rumusan tentang masalah yang diserahkan melalui otonomi khusus
kepada Aceh tidak disebutkan secara jelas di dalam UU No. 18 Tahun 2001
ini. Memang didalam undang-undang ini ada beberapa hal yang secara jalas
dinyatakan berbeda dengan peraturan sebelumnya, seperti besaran nisbah “dana
perimbangan” dan adanya “penerimaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
dalam rangka otonomi khusus” serta jumlah anggota DPR Provinsi “maksimal
125 % dari jumlah yang ditetapkan Undang-Undang”. Begitu juga ada beberapa
masalah yang oleh Undang-Undang ini, secara jelas diserahkan (didelegasikan)
kepada Qanun untuk mengaturnya. Sebagian masalah ini hanya merupakan
tambahan atas otonomi dalam bidang yang sebelumnya sudah merupakan
otonomi daerah, sedang sebagian lagi merupakan hal baru, merupakan salah
satu dari lima urusan yang menurut UU No. 22 Tahun 1999 tidak diotonomikan
(misalnya hukum dan agama). Lebih dari itu di dalam UU No. 18 Tahun 2001
ada 15 hal yang secara jelas dinyatakan “perlu diatur dalam qanun” yang
spektrumnya relatif luas, meliputi pemerintahan, keuangan, DPRD, pemilihan
kepala daerah, hak pemilih di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, kepolisian
serta peradilan. Tetapi semua ini belumlah menjelaskan secara tegas cakupan
otonomi khusus tersebut dan juga batas yang menjadi kewenangan pemerintah
dan pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Dengan demikian, karena luasnya jangkauan bidang yang didelegasikan kepada
(disuruh atau dengan) qanun disatu pihak dan tidak adanya rincian yang jelas dan
tegas tentang masalah yang diotonomi-khususkan, maka peluang untuk terjadinya
perbedaan tafsir yang relatif luas dan bersegi banyak tentang kandungan dan cakupan
otonomi khusus serta “kekuatan hukum” dari qanun dalam hirarki perundangan di
Indonesia, kelihatannya sangat terbuka lebar dan tidak akan dapat dihindari.

19
Vol. 1 No. 3 - November 2004

C. PENGERTIAN QANUN
Istilah qanun sudah digunakan sejak lama sekali dalam bahasa atau budaya
Melayu. Kitab “Undang-Undang Melaka” yang disusun pada abad ke
limabelas atau enam belas Masehi telah menggunakan istilah ini.1 Menurut Liaw
Yock Fang istilah ini dalam budaya Melayu digunakan semakna dengan adat
dan biasanya dipakai ketika ingin membedakan antara hukum yang tertera dalam
adat dengan hukum yang tertera dalam kitab fiqih. (Liaw Yock Fang 1975:178).
Kuat dugaan istilah ini masuk kedalam budaya melayu dari bahasa Arab karena
mulai digunakan bersamaan dengan kehadiran agama Islam dan penggunaan
bahasa Arab Melayu di Nusantara.2 Bermanfaat disebutkan, dalam literatur
Barat pun istilah ini sudah digunakan sejak lama, diantaranya merujuk kepada
hukum kristen (Canon Law) yang sudah ada sejak sebelum zaman Islam.
Dalam bahasa Aceh istilah ini relatif sangat populer dan tetap digunakan
di tengah masyarakat, karena salah satu pepatah adat yang menjelaskan
hubungan adat dan syari’at yang tetap hidup dan bahkan sangat sering dikutip
mengunakan istilah ini.3 Dalam literatur Melayu Aceh pun qanun sudah digunakan
sejak lama, dan diartikan sebagai aturan yang berasal dari hukum Islam yang
telah menjadi adat. Salah sebuah naskah tersebut berjudul Qanun Syara’
Kerajaan Aceh yang ditulis oleh Teungku di Mulek pada tahun 1257 H, atas
perintah Sultan Alauddin Mansur Syah yang wafat pada tahun 1870 M.Naskah
pendek ini (hanya beberapa halaman) berisi berbagai hal di bidang hukum
tatanegara, pembagian kekuasaan, berbagai badan peradilan dan kewenangan
mengadili,fungsi kepolisian dan kejaksaan serta aturan protokoler dalam
berbagai upacara kenegaraan.4 Dapat disimpulkan dalam arti sempit, qanun
merupakan suatu aturan yang dipertahankan dan diperlakukan oleh seorang
sultan dalam wilayah kekuasaanya yang bersumber pada hukum Islam,

1
Liaw Yock Fang, Undang-Undang Melaka, KITLV,Den Haag,1976 hlm.62.Teks tersebut berbunyi,
“Adapun kemudian dari pada itu, maka inilah suatu risalat pada menyatakan hukum kanun yaitu
pada segala negeri yang besar-besar dan pada segala raja-raja yang besar-besar dan wazir dan
pada adat yang takluk dan dusun supaya manfaat atas negeri dan raja-raja.”
2
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala menggunakan istilah “KANUN” untuk nama jurnal ilmiah
yang mereka terbitkan, yang sekarang ini telah memasuki tahun ke sepuluh.
3
Pepatah adat ini dikutip dalam: “Penjelasan Umum” Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, yang
berbunyi: “Adat bak potemerreuhum, hukom bak Syiah Kuala, qanun bak Putro Phang, reusam bak
Laksamana (Adat dari Sultan, Hukum dari Ulama, Qanun dari Pahang, Reusam dari Laksamana).”
Sekiranya nama tokoh yang disebutkan didalam pepatah ini digunakan sebagai rujukan (yang dikenal
luas di tengah masyarakat, Sultan adalah Sultan Iskandar Muda, Ulama adalah Syiah Kuala, Putri
Pahang adalah permaisuri Sultan Iskandar Muda) maka pepatah ini mungkin sekali berasal dari awal
abad ke tujuh belas, masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam.
4
Abdulah Sani Usman Basyah (Tesis Magister), Kanun Syarak Kerajaan Aceh pada Zaman Sultan
Alauddin Mansur Syah: Tahkik Kajian Bandingan dengan Bustanus Salatin,Fakultas Pengajian Islam,
UKM, Kuala Lumpur, 2000, hlm 17.

20
Qanun Sebagai Peraturan Pelaksanaan Otonomi Khusus

sedangkan dalam arti luas, qanun sama dengan istilah hukum atau adat. Didalam
perkembangannya boleh juga disebutkan bahwa qanun merupakan suatu istilah
untuk menjelaskan aturan yang berlaku di tengah masyarakat yang merupakan
penyesuaian dengan kondisi setempat atau penjelasan lebih lanjut atas ketentuan
didalam fiqih yang ditetapkan oleh Sultan.
Sekarang ini Qanun digunakan sebagai istilah untuk “Peraturan Daerah
Plus” atau lebih tepatnya Peraturan Daerah yang menjadi peraturan pelaksanaan
langsung untuk undang-undang (dalam rangka otonomi khusus di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 8
“Ketentuan Umum” dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang telah
dikutip di atas.
Sejak dimulainya penyelenggaraan otonomi khusus berdasarkan UU No.
18/01, sudah banyak qanun yang disahkan. Menurut notulen di Sekretariat
DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sampai Agustus 2004 telah
dihasilkan 49 qanun yang mengatur berbagai materi untuk merealisasikan
kewenangan khusus yang diserahkan Pemerintah kepada Pemerintah Provinsi
Aceh termasuk pelaksanaan Syari’at Islam. Untuk yang terakhir ini di bawah
akan diuraikan lebih lanjut.

D. KEDUDUKAN DAN FUNGSI QANUN DALAM


PELAKSANAAN OTONOMI KHUSUS
Qanun dibentuk oleh DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan
disahkan oleh Kepala Daerah setelah mendapatkan persetujuan bersama.
Ketentuan ini mengikuti semangat rumusan Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUD
1945 amandemen pertama yang berisi : Dewan Perwakilan Rakyat
memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. Setiap RUU dibahas
oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Dengan
demikian qanun merupakan peraturan perundang-undangan di daerah yang
dibuat untuk menyelenggarakan otonomi khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dan karena itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kesatuan
sistem perundang-undangan nasional.
Dalam kaitan ini, kedudukan peraturan daerah dalam tata urutan sistem
perundang-undangan Republik Indonesia telah diatur dalam Ketetapan MPR
Nomor III/MPR/2000 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
Negara Republik Indonesia sebagai berikut:
1. UUD 1945

21
Vol. 1 No. 3 - November 2004

2. Ketetapan MPR
3. Undang-undang
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
5. Peraturan Pemerintah
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah
Tata urutan peraturan perundang-undangan menurut TAP MPR di atas,
dengan sendirinya menempatkan qanun sebagai subsistem dalam tata peraturan
perundang-undangan nasional, bahkan sistem hukum nasional pada umumnya.
Karena itu qanun sebagai peraturan daerah “plus”-tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya. (Bagir
Manan, 1995;9) Tetapi persoalan yang sekarang kita hadapi, UU No. 18 Tahun
2001 Pasal 31 ayat (2) yang telah dikutip diatas tadi, menjadikan qanun tidak
sama persis dengan peraturan daerah. Walaupun dari satu segi qanun disebutkan
sebagai peraturan daerah, tetapi dia diberi kekuatan khusus yaitu merupakan
peraturan pelaksanaan langsung untuk undang-undang dalam urusan otonomi
khusus yang menjadi kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan
kata lain qanun merupakan peraturan pelaksanaan yang secara hirarkis berada
langsung dibawah undang-undang, tidak diselingi oleh peraturan perundangan
lainnya. Mengikuti ketentuan ini, maka barangkali tidak ada keraguan bahwa
untuk pelaksanaan otonomi khusus yang menjadi kewenangan Provinsi, qanun
setingkat dengan peraturan pemerintah.
Jalan pikiran atau kesimpulan di atas menjadi penting karena didalam
“Penjelasan Umum” UU No. 18 Tahun 2001 disebutkan bahwa, “Qanun
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, yang dapat menyampingkan peraturan
Perundang-undangan yang lain dengan mengikuti asas lex specialis
derogat lex generalis dan Mahkamah Agung berwenang melakukan uji
materiel terhadap Qanun”. Dari bunyi rumusan ini muncul pertanyaan,
ketentuan atau peraturan apa yang dapat disingkirkan oleh Qanun Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Untuk menjawab ini, sekiranya jalan pikiran diatas
tadi diterima maka qanun dapat menyingkirkan peraturan pemerintah dan
keputusan presiden sekiranya hal itu menyangkut otonomi khusus yang menjadi
kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Selanjutnya dalam Pasal 33 disebutkan, “Perubahan atas undang-
undang ini dapat dilakukan dengan memperhatikan Pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.”
Ketentuan ini secara tidak langsung menyatakan bahwa undang-undang yang

22
Qanun Sebagai Peraturan Pelaksanaan Otonomi Khusus

tidak sejalan dengan UU No. 18 Tahun 2001 yang datang sesudahnya, tidak
secara serta merta berlaku di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Undang-
undang tersebut baru akan berlaku setelah mendapatkan pertimbangan dari
DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Jalan pikiran ini secara tidak
langsung menyatakan bahwa Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat
mengenyampingkan undang-undang baru (yang datang belakangan) yang tidak
sejalan dengan UU No. 18 Tahun 2001.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa Qanun Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam berfungsi sebagai berikut:
a. Menyelenggarakan peraturan hal-hal yang belum jelas, yang oleh undang-
undang otonomi khusus diminta (diserahkan) kepada qanun untuk
mengaturnya.
b. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu undang-undang.
c. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang belum diatur oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu undang-undang.
Menurut penulis kedudukan qanun dalam hubungan dengan
penyelenggaraan otonomi khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
perlu dikaji dan dijelaskan oleh para akademisi dan praktisi secara jernih dan
tanpa prasangka, sehingga posisinya dan kewenanganya yang di atas tadi
dikatakan setingkat dengan peraturan pemerintah dan bahkan undang-undang,
dapat dipahami dan diterima oleh para pembuat kebijakan dan pencari keadilan.
Melalui pengkajian dan penjelasan ini nanti, para pembuat kebijakan dan
pencari keadilan dan bahkan para pengamat hukum secara umum akan
secara mudah dapat memahami bahwa qanun dalam rangka pelaksanaan
otonomi khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat
menyampingkan peraturan lain yang lebih tinggi, yang dalam keadaan biasa
tidak dapat disingkirkan oleh peraturan daerah. Akan tetapi sebagai konsekuensi
diberikannya otonomi khusus kepada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
maka produk legislatif daerah ini dapat saja menyimpang dari produk eksekutif
di tingkat pusat. Misalnya suatu materi qanun yang telah ditetapkan secara sah
ternyata bertentangan isinya dengan materi Keputusan Presiden (apalagi hanya
dengan keputusan menteri) yang bersinggungan dengan otonomi khusus, maka
Mahkamah Agung tentu harus menyatakan bahwa qanun itulah yang berlaku
untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sedangkan Keputusan Presiden
atau Peraturan Menteri berlaku secara umum di seluruh Indonesia (Jimly
Asshiddiqie, 2000 : 29)

23
Vol. 1 No. 3 - November 2004

Di dalam praktek, pembuatan dan pengesahan qanun, terutama dari segi


materil atau subtansi masalah yang diatur, tidaklah berjalan mulus dalam arti
mungkin sekali akan terjadi tolak tarik karena adanya perbedaan kepentingan
antara berbagai unsur yang ada di dalam masyarakat. Perbedaan mana harus
diakomodir dan dimusyawarahkan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan
gejolak atau kesulitan yang tidak perlu. Sebagai contoh, qanun pertama yang
dibuat oleh DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk implementasi
otonomi khusus adalah qanun di bidang keuangan dan perimbangan bagi hasil
minyak dan gas bumi. Pengesahan qanun ini telah mengundang kritik terutama
dari masyarakat Kabupaten penghasil gas bumi yakni Kabupaten Aceh Utara.
Mereka mengatakan substansi qanun tersebut tidak lebih sebagai perpindahan
sentralisasi dari Jakarta ke Ibukota Provinsi sebab pembagian hasil gas bumi
tidak memenuhi keinginan dari masyarakat yang bersangkutan sehingga mereka
menuntut DPRD Kabupaten dan Bupati Aceh Utara untuk tidak menerima
qanun tentang pembagian keuangan tersebut (Humam Hamid, 2004 : 8-9)

E . KEDUDUKAN QANUN DALAM PELAKSANAAN


SYARI’AT ISLAM
Pelaksanaan Syari’at Islam sebagai inti dari keistimewaan Aceh, yang
sebelumnya hanya merupakan slogan, mendapat legalitas dan landasan formal
dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999. Dalam Undang-Undang ini
pelaksanaan syari’at Islam sebagai keistimewaan dibidang agama akan
didukung oleh pelaksanaan keistimewaan di bidang adat dan pendidikan.
Pelaksanaan syari’at Islam ini diperkuat kembali di dalam Undang Undang
No. 18 Tahun 2001. Di dalam UU yang terakhir ini ada tiga bab tentang
penegakan hukum yaitu Bab X tentang Kepolisian Daerah, Bab XI tentang
Kejaksaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Bab XII tentang
Mahkamah Syari’ah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Mengenai
Kepolisian, undang-undang menyatakan bahwa tugas fungsional kepolisian di
bidang ketertiban dan ketenteraman masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (Pasal 22 ayat 4). Sedang mengenai Kejaksaan tidak ada perintah
untuk mengaturnya dengan qanun. Mengenai Mahkamah Syari’ah, karena
merupakan pusat perhatian penulis kutipkan secara lengkap: Pasal 25,(1)
Peradilan Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai
bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syari’ah
yang bebas dari pengaruh pihak manapun. (2) Kewenangan Mahkamah
Syari’ah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didasarkan atas Syariat

24
Qanun Sebagai Peraturan Pelaksanaan Otonomi Khusus

Islam dalam sistem hukum nasional, yang diatur lebih lanjut dengan
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (3) Kewenangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diberlakukan bagi pemeluk agama Islam. Pasal
26 (1) Mahkamah Syari’ah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat
(1) terdiri atas Mahkamah Syari’ah Kabupaten/Sagoe dan Kota/Banda
atau nama lain sebagai pengadilan tingkat pertama, dan Mahkamah
Syari’ah Provinsi sebagai pengadilan tingkat banding di ibukota Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. (2) Mahkamah Syari’ah untuk pengadilan
tingkat kasasi dilakukan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia. (3)
Hakim Mahkamah Syari’ah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
sebagai Kepala Negara atas usul Menteri Kehakiman setelah mendapat
pertimbangan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Ketua
Mahkamah Agung.
Seperti telah disinggung di atas, urusan yang menurut UU No.22/99 tidak
diotonomikan kepada daerah, tetapi oleh UU No. 18 Tahun 2001 dijadikan
sebagai otonomi khusus adalah peradilan Syari’at Islam yang dilaksanakan
oleh Mahkamah Syari’ah. Melihat redaksi dalam dua pasal di atas, dan juga
sistematikanya yang terletak sesudah kepolisian dan kejaksaan, maka dapat
dikatakan bahwa pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh menurut UU No.18/01
ini termasuk ke dalam bidang (urusan) hukum, bukan bidang (urusan) agama.
Dengan demikian pelaksanaan Syari’at Islam sebagai bagian dari otonomi
khusus di Aceh dapat dikatakan berinduk kepada dua bidang, ada yang ke
agama berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 dan ada yang ke
hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001. Berhubung
kajian ini berkaitan dengan qanun (UU No.18/2001), maka uraian di bawah
difokuskan pada bidang hukum, bukan bidang agama.
Karena tidak jelas apakah Mahkamah Syari’ah merupakan lembaga baru
atau pengubahan atas lembaga yang sudah ada, dan apakah merupakan lembaga
daerah (otonomi khusus) ataukah lembaga Pusat (masuk ke Departemen
Kehakiman dan Departemen Agama atau ke Mahkamah Agung) maka sebuah
team yang mewakili Aceh, sejak awal tahun 2002 aktif berkonsultasi dengan
Pemerintah, dalam hal ini Mahkamah Agung, Departemen Kehakiman dan
HAM, Departemen Agama, Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indone-
sia dan Departemen Dalam Negeri. Rangkaian konsultasi ini pada akhirnya
memberikan rekomendasi agar pada tingkat pusat dibentuk sebuah team antar
departemen di bawah pimpinan Departemen Dalam Negeri, yang bertugas
menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pembentukan dan peresmian
Mahkamah Syari’ah di Aceh. Team ini dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri

25
Vol. 1 No. 3 - November 2004

diketuai oleh Sekretaris Jenderal dalam hal ini Ibu Siti Nurbaya dan
beranggotakan utusan dari Departemen dan lembaga terkait, termasuk utusan
Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Salah satu tugas yang
dianggap mendesak adalah menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah
tentang Peradilan Syari’at Islam atau Mahkamah Syari’ah sebagai bagian dari
pelaksanaan otonomi khusus. Di pihak lain, sementara Team Pusat bekerja,
dan konsultasi antara Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan
Pemerintah berlangsung, Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam juga
bekerja menyiapkan rancangan Qanun tentang Peradilan Syari’at Islam,
(terutama sekali untuk menetapkan kewenangannya), yang menurut undang-
undang diserahkan kepada qanun.
Pada bulan Oktober 2002 disahkan Qanun Nomor 10 tahun 2002 tentang
Peradilan Syari’at Islam, tepatnya tanggal 14 Oktober 2002, yang diantara
isinya mengubah Pengadilan Agama menjadi Mahkamah Syari’ah, Pengadilan
Tinggi Agama menjadi Mahkamah Syari’ah Provinsi (Pasal 2) dan menetapkan
kewenangannya (Pasal 49) yang meliputi bidang hukum perdata kekeluargaan
(al ahwal as-syakhshiyyah), perdata kehartabendaan (mu’amalah) dan pidana
(jinayat).
Rancangan Peraturan Pemerintah yang disiapkan oleh Team Pusat sesuai
dengan masukan yang disampaikan utusan dari Aceh dan juga hasil pembicaraan
dalam beberapa kali pertemuan dan diskusi, berisi pengukuhan atas pengubahan
Pengadilan Agama menjadi Mahkamah Syari’ah seperti yang telah tercantum
di dalam Qanun, serta menjelaskan hubungan antara kepolisian dan kejaksaan
dengan Mahkamah Syari’ah di bidang pidana telah dapat diselesaikan dalam
Februari 2003. Tetapi dengan sebab yang tidak jelas Rancangan Peraturan
Pemerintah yang dengan susah payah disiapkan oleh team interdep tadi, tidak
disahkan dan sebagai ganti dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun
2003 tanggal 3 Maret 2003 tentang Mahkamah Syari’ah dan Mahkamah
Syari’ah Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam Keppres
yang terdiri atas 11 pasal ini, di samping menetapkan pengubahan Pengadilan
Agama menjadi Mahkamah Syari’ah (Pasal 1), juga menetapkan
kewenangannya yaitu semua kewenangan Pengadilan Agama “ditambah
dengan kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat dalam ibadah dan syi’ar Islam yang ditetapkan dalam Qanun”
[Pasal 3 ayat (1). Sedang hubungan antara kepolisian dan kejaksaan dengan
Mahkamah Syar’iyah yang di Aceh sangat ditunggu-tunggu (karena dianggap
bukan merupakan kewenangan Qanun], tidak disebut-sebut di dalam
KEPPRES ini.

26
Qanun Sebagai Peraturan Pelaksanaan Otonomi Khusus

Lepas dari apa yang dimaksud dengan “kekuasaan dan kewenangan


lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan
syi’ar Islam,” kenapa rangkaian kata ini muncul sebagai kewenangan
Mahkamah Syari’ah di dalam KEPPRES dan bagaimana melaksanakannya di
lapangan, satu hal ingin dikomentari bahwa UU No.18/01 secara jelas
menyatakan bahwa kewenangan Mahkamah Syari’ah ditetapkan dengan qanun
dan qanun untuk itu telah disahkan sebelum KEPPRES lahir. Tetapi KEPPRES
kembali mengaturnya dan ternyata isinya tidak sama dengan yang ditentukan di
dalam Qanun. Dengan demikian KEPPRES ini mengatur sesuatu yang
sebetulnya tidak perlu diatur karena berada di luar kewenangannya. Tetapi
karena hal ini sudah terlanjur terjadi, maka mana yang harus digunakan?
Dapatkan KEPPRES itu dianggap tidak berlaku karena bertentangan dengan
ketentuan yang terdapat dalam undang-undang? Meneruskan jalan pikiran ini,
apakah yang dianggap tidak berlaku tersebut hanya pasal yang dianggap
bertentangan dengan undang-undang (yang melampaui kewenangannya) ataukah
seluruh isi KEPPRES ini harus dianggap tidak ada? Perlukah Mahkamah Agung
melakukan uji materiil atas keberadaan kedua peraturan ini?
Kembali kepada qanun untuk pelaksanaan Syari’at Islam, Qanun Nomor
10 Tahun 2002 menetapkan dalam Pasal 53 dan Pasal 54 bahwa hukum materiil
dan formil dari Syari’at Islam yang akan dilaksanakan oleh Mahkamah Syari’ah
perlu ditetapkan di dalam Qanun terlebih dahulu. Untuk ini telah disahkan Qanun
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang Aqidah,
Ibadah, dan Syi’ar Islam; Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 12
Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya; Qanun Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian);
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No.14 Tahun 2003 tentang
Khalwat (Mesum) dan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 7
Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat. Di masa depan qanun-qanun ini akan
ditambah sedikit demi sedikit sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan. Sedang
mengenai hukum acara pada dasarnya akan menggunakan hukum acara yang
berlaku secara nasional (KUHAP) kecuali dalam hal yang memang ada
perbedaan dengan Syari’at Islam.
Dalam kaitan dengan qanun mengenai hukum materiil dan formil Syari’at
Islam khususnya tentang sanksi, kadang-kadang muncul pertanyaan, apakah
sanksi yang ada dalam Syari’at Islam terutama sekali cambuk dapat ditetapkan
dengan qanun, karena menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, hukuman yang dapat diatur di dalam Perda (menurut
mereka termasuk Qanun) hanyalah denda maksimal Rp. 5.000.000,- atau

27
Vol. 1 No. 3 - November 2004

kurungan maksimal enam bulan. Untuk menjawab pertanyaan ini ada tiga hal
yang perlu diperhatikan. Pertama sekali UU No.18Tahun 2001 menyatakan
bahwa kewenangan Mahkamah Syari’ah untuk menjalankan peradilan Syari’at
Islam ditetapkan dengan Qanun berdasarkan Syari’at Islam dan sistem
hukum nasional. Sedang mengenai Syari’at Islam yang akan dilaksanakan
oleh Mahkamah tersebut, tidaklah disebutkan harus ditetapkan di dalam qanun
terlebih dahulu. Aturan bahwa Syari’at yang akan dijalankan itu akan ditetapkan
ke dalam qanun terlebih dahulu diatur oleh qanun, yaitu Qanun No.10 Tahun
2002. Qanun inilah yang menetapkan bahwa Syari’at Islam yang akan
dilaksanakan itu harus ditetapkan di dalam Qanun terlebih dahulu, seperti telah
disebutkan di atas. Kebijakan ini ditempuh untuk lebih memudahkan dan lebih
mewujudkan kepastian hukum. Dengan kata lain, karena dituliskan di dalam
qanun maka siapa saja yang berminat dapat dengan mudah mencari dan
mempelajarinya. Sebetulnya qanun boleh saja menetapkan bahwa Syari’at Is-
lam yang akan dijalankan adalah ketentuan yang terdapat dalam suatu buku
fiqih tertentu, atau langsung meminta hakim mencarinya ke dalam ayat Al-qur’an
atau hadis Rasulullah, tidak perlu dirumuskan ke dalam qanun-qanun terlebih
dahulu. Tetapi cara ini tidak ditempuh, karena diduga akan sangat menyulitkan
hakim. Cara ini memerlukan tenaga hakim dengan kualifikasi yang sangat ketat.
Juga akan sangat menyusahkan para pihak bahkan para pengacara karena
yang menguasai buku fiqih untuk kepentingan beracara ini relatif tidaklah banyak.
Dengan penulisan di dalam qanun, maka yang dicari hakim ke dalam buku fiqih
atau ayat Al-qur’an serta hadis hanyalah penjelasan atau rincian tertentu. Kedua,
walaupun sanksi tersebut dituliskan di dalam qanun, tetapi sanksi ini bukanlah
sanksi PERDA, melainkan sanksi Syari’at Islam itu sendiri, dalam hal ini ta’zir
hudud atau qishash/diyat. Maksudnya tanpa dituliskan di dalam qanun pun
para ulama Islam sudah mengetahui bahwa hudud atau qishash/diyat yang akan
diajukan untuk perbuatan pidana tertentu itu adalah seperti itu, tidak boleh
yang lain. Jadi penulisan sanksi di dalam qanun sebagaimana telah disebutkan
di atas, adalah sekedar untuk lebih mudah mewujudkan kepastian hukum,
mengurangi alternatif atas berbagai pilihan yang kadang-kadang ditemukan di
dalam fiqih. Ketiga, masyarakat Aceh sejak dari awal kemerdekaan sudah
menuntut izin untuk melaksanakan Syari’at Islam secara sempurna di tengah
masyarakat tanpa pernah berhenti. Setelah hampir enam puluh tahun merdeka
barulah keinginan ini mendapatkan pengakuan dan landasan juridis perundangan
yang relatif memadai. Tetapi oleh sebagian pihak landasan dan pengakuan ini
dianggap masih belum cukup kuat dan karena itu tidak dapat digunakan untuk
melaksanakan syari’at Islam secara kaffah. Untuk ini menurut penulis, para

28
Qanun Sebagai Peraturan Pelaksanaan Otonomi Khusus

akademisi dan praktisi selayaknya memberikan tafsir berdasar tujuan (teologis)


sedemikian rupa. Keinginan rakyat Aceh yang sudah cukup lama untuk
melaksanakan Syari’at Islam, yang oleh undang-undang di atas ingin diakomodir
dengan baik, tetapi karena keterbatasan rumusan dan pilihan kata ternyata
tidak mampu menampung semuanya, perlu diatasi dengan cara memberikan
tafsir berdasar tujuan. Bahwa ketentuan dalam undang-undang di atas
seyogyanya dipahami berdasar tujuannya yaitu, memberikan kesempatan
kepada rakyat Aceh untuk melaksanakan Syari’at Islam secara sempurna melalui
lembaga pengadilan di tengah masyarakatnya.

PENUTUP
Kewenangan mengatur pelaksanaan atau penyelenggaraan otonomi khusus
oleh UU No. 18 Tahun 2001 diberikan kepada Pemerintah Provinsi untuk
dituangkan ke dalam qanun. Namun penguatan atau pengaturannya melalui
(oleh) peraturan pemerintah tetap dirasa perlu, karena otonomi khusus ini
sifatnya sangat unik hanya ada di Provinsi NAD dan Provinsi Papua (tetapi
dengan isi yang tidak sama). Rincian otonomi khusus tidak disebutkan secara
jelas di dalam undang-undang, sedang bidang sebarannya relatif sangat luas,
sehingga persinggungan antara kewenangan Pemerintah Provinsi dengan
kewenangan Pemerintah akan sering terjadi, dan sekiranya terjadi batasannya
tidak mudah ditentukan. Karena hal itu adanya peraturan pemerintah yang
memberi ketegasan tentang kewenangan Pemerintah di samping kewenangan
Pemerintah Provinsi merupakan suatu hal yang sangat diperlukan. Adanya
peraturan pemerintah di samping di perlukan oleh masyarakat Aceh juga
diperlukan oleh para petugas dan pembuat kebijakan di berbagai Departeman
di Jakarta, karena sangat boleh jadi ketika membuat sebuah kebijakan Aceh
yang berotonomi khusus yang telah mempunyai qanun menjadi terlupakan.
Secara manusiawi adalah wajar sekiranya para pembuat keputusan di Jakarta
tidak mengetahui qanun yang sudah disahkan dan berlaku di Aceh, atau
walaupun sudah mengetahuinya tidak menghayatinya atau lebih dari itu, boleh
jadi terlupa ketika membuat kebijakan tersebut (karena tertuang didalam Qanun
yang dibuat dan berlaku di Aceh). Jadi penjelasan tambahan atau penulisan
kembali beberapa hal yang merupakan otonomi khusus di dalam peraturan
pemerintah akan lebih mantap dan akan lebih memudahkan para pembuat
keputusan dan kebijakan di Jakarta. Tanpa adanya peraturan pemerintah yang
akan memberikan penjelasan tambahan tentang otonomi khusus bagi Provinsi
NAD, maka benturan antara qanun sebagai peraturan pelaksanaan atas undang-

29
Vol. 1 No. 3 - November 2004

undang dengan peraturan pemerintah atau peraturan eksekutif lainnya yang


lebih rendah di tingkat pusat kuat dugaan tidak akan dapat dihindari malah
mungkin akan sering terjadi.
Demikianlah, semoga ada manfaatnya. Kritik dan saran dari berbagai
pihak tetap diharapkan untuk penyempurnaan di masa depan dan bahkan
perbaikan sekiranya ada yang dianggap keliru atau salah ‰

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Sani (tesis Magister), Qanun Syarak Kerajaan Aceh pada zaman
Sultan Alaudin Mansur Syah: Tahkik dan Kajian Bandingan dengan
Bustanus Salatin, Fakultas Pengajian Islam UKM, Kuala Lumpur, 2000.

Al Yasa Abubakar, Tanya Jawab Pelaksanaan Syari’at Islam di Provinsi


Nanggroe Aceh Darussalam, Dinas Syari’at Islam Provinsi NAD,
Banda Aceh, cet. 1, 2003.

Bagir Manan, Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-


undangan Tingkat Daerah, LPPM-UNISBA, Bandung, 1995.

Dinas Syari’at Islam Prov. NAD, Himpunan Undang-Undang Keputusan


Presiden, Peraturan daerah, Qanun, Instruksi Gubernur dan Edaran
Gubernur, Dinas Syari’at Islam Prov. NAD Banda Aceh, 2003

Human Hamid, “Beberapa Catatatan Awal Tentang Otonomi Khusus di Provinsi


NAD” Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 38 FH UNSYIAH, Banda
Aceh, 2004.

Jimly Asshiddiqie, Penataan Kembali Sumber Tertib Hukum RI Dalam


Rangka Amendemen Kedua UUD 1945, BP MPR-RI, Jakarta, 2000.

Kaoy Syah, M. Lukman Hakim, Keistimewaan Aceh Dalam Lintasan


Sejarah Al- Jamiatul Washliyah, Jakarta, 2000.

Liaw Yock Fang, Undang-Undang Melaka, KITLV, Den Haag, 1976.

30

Anda mungkin juga menyukai