277 847 1 SM
277 847 1 SM
OTONOMI KHUSUS
DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
PENDAHULUAN
Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam melahirkan harapan dan membuka peluang
untuk tumbuhnya kreatifitas, diskresi dan kebebasan bagi Pemerintah Provinsi
dan Kabupaten /Kota serta masyarakat Aceh pada umumnya untuk menemukan
kembali identitas diri dan membangun wilayahnya. Peluang ini telah ditanggapi
secara positif oleh komponen masyarakat, baik legislatif maupun eksekutif
bahkan oleh organisasi sosial kemasyarakatan dan lembaga swadaya
masyarakat. Tanggapan yang positif ini memang diperlukan untuk mencegah
timbulnya kemungkinan bahwa pendulum akan berbalik kembali ke arah
sentralisasi.
Penyerahan otonomi khusus dan penggantian nama Provinsi Daerah
Istimewa Aceh menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam didasarkan
kepada Undang-undang No. 18 Tahun 2001. Lahirnya Undang-undang ini
dilatarbelakangi setidak-tidaknya oleh dua fenomena, satu terdapat di Aceh
dan satu lagi ditingkat nasional. Yang pertama, berkaitan dengan konflik Aceh
yang timbul akibat adanya Gerakan Aceh Merdeka sejak tahun 1976. Sedang
yang kedua berkaitan dengan reformasi yang menuntut perubahan disegala
bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara termasuk mengubah pola
hubungan antara pusat dan daerah. Reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa
telah “memaksa” pemerintah untuk membuat beberapa kebijakan, diantaranya
kebijakan tentang desentralisasi dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sedang konflik Aceh yang
berlangsung berlarut-larut telah “mendorong” sebagian anggota DPR untuk
mengajukan usul inisiatif yang lantas melahirkan Undang-Undang Nomor 44
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa
Aceh. Melalui Undang-Undang ini Pemerintah Pusat mengakui keistimewaan
Aceh, yang telah lama disandang oleh Provinsi Daerah Istimewa Aceh yaitu
sejak tahun 1959. Karena Undang-Undang ini dirasakan belum cukup
mengakomodir tuntutan daerah, Sidang Umum MPR tahun 1999 melalui
Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999, mengamanatkan antara lain pemberian
15
Vol. 1 No. 3 - November 2004
16
Qanun Sebagai Peraturan Pelaksanaan Otonomi Khusus
17
Vol. 1 No. 3 - November 2004
18
Qanun Sebagai Peraturan Pelaksanaan Otonomi Khusus
19
Vol. 1 No. 3 - November 2004
C. PENGERTIAN QANUN
Istilah qanun sudah digunakan sejak lama sekali dalam bahasa atau budaya
Melayu. Kitab “Undang-Undang Melaka” yang disusun pada abad ke
limabelas atau enam belas Masehi telah menggunakan istilah ini.1 Menurut Liaw
Yock Fang istilah ini dalam budaya Melayu digunakan semakna dengan adat
dan biasanya dipakai ketika ingin membedakan antara hukum yang tertera dalam
adat dengan hukum yang tertera dalam kitab fiqih. (Liaw Yock Fang 1975:178).
Kuat dugaan istilah ini masuk kedalam budaya melayu dari bahasa Arab karena
mulai digunakan bersamaan dengan kehadiran agama Islam dan penggunaan
bahasa Arab Melayu di Nusantara.2 Bermanfaat disebutkan, dalam literatur
Barat pun istilah ini sudah digunakan sejak lama, diantaranya merujuk kepada
hukum kristen (Canon Law) yang sudah ada sejak sebelum zaman Islam.
Dalam bahasa Aceh istilah ini relatif sangat populer dan tetap digunakan
di tengah masyarakat, karena salah satu pepatah adat yang menjelaskan
hubungan adat dan syari’at yang tetap hidup dan bahkan sangat sering dikutip
mengunakan istilah ini.3 Dalam literatur Melayu Aceh pun qanun sudah digunakan
sejak lama, dan diartikan sebagai aturan yang berasal dari hukum Islam yang
telah menjadi adat. Salah sebuah naskah tersebut berjudul Qanun Syara’
Kerajaan Aceh yang ditulis oleh Teungku di Mulek pada tahun 1257 H, atas
perintah Sultan Alauddin Mansur Syah yang wafat pada tahun 1870 M.Naskah
pendek ini (hanya beberapa halaman) berisi berbagai hal di bidang hukum
tatanegara, pembagian kekuasaan, berbagai badan peradilan dan kewenangan
mengadili,fungsi kepolisian dan kejaksaan serta aturan protokoler dalam
berbagai upacara kenegaraan.4 Dapat disimpulkan dalam arti sempit, qanun
merupakan suatu aturan yang dipertahankan dan diperlakukan oleh seorang
sultan dalam wilayah kekuasaanya yang bersumber pada hukum Islam,
1
Liaw Yock Fang, Undang-Undang Melaka, KITLV,Den Haag,1976 hlm.62.Teks tersebut berbunyi,
“Adapun kemudian dari pada itu, maka inilah suatu risalat pada menyatakan hukum kanun yaitu
pada segala negeri yang besar-besar dan pada segala raja-raja yang besar-besar dan wazir dan
pada adat yang takluk dan dusun supaya manfaat atas negeri dan raja-raja.”
2
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala menggunakan istilah “KANUN” untuk nama jurnal ilmiah
yang mereka terbitkan, yang sekarang ini telah memasuki tahun ke sepuluh.
3
Pepatah adat ini dikutip dalam: “Penjelasan Umum” Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, yang
berbunyi: “Adat bak potemerreuhum, hukom bak Syiah Kuala, qanun bak Putro Phang, reusam bak
Laksamana (Adat dari Sultan, Hukum dari Ulama, Qanun dari Pahang, Reusam dari Laksamana).”
Sekiranya nama tokoh yang disebutkan didalam pepatah ini digunakan sebagai rujukan (yang dikenal
luas di tengah masyarakat, Sultan adalah Sultan Iskandar Muda, Ulama adalah Syiah Kuala, Putri
Pahang adalah permaisuri Sultan Iskandar Muda) maka pepatah ini mungkin sekali berasal dari awal
abad ke tujuh belas, masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam.
4
Abdulah Sani Usman Basyah (Tesis Magister), Kanun Syarak Kerajaan Aceh pada Zaman Sultan
Alauddin Mansur Syah: Tahkik Kajian Bandingan dengan Bustanus Salatin,Fakultas Pengajian Islam,
UKM, Kuala Lumpur, 2000, hlm 17.
20
Qanun Sebagai Peraturan Pelaksanaan Otonomi Khusus
sedangkan dalam arti luas, qanun sama dengan istilah hukum atau adat. Didalam
perkembangannya boleh juga disebutkan bahwa qanun merupakan suatu istilah
untuk menjelaskan aturan yang berlaku di tengah masyarakat yang merupakan
penyesuaian dengan kondisi setempat atau penjelasan lebih lanjut atas ketentuan
didalam fiqih yang ditetapkan oleh Sultan.
Sekarang ini Qanun digunakan sebagai istilah untuk “Peraturan Daerah
Plus” atau lebih tepatnya Peraturan Daerah yang menjadi peraturan pelaksanaan
langsung untuk undang-undang (dalam rangka otonomi khusus di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 8
“Ketentuan Umum” dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang telah
dikutip di atas.
Sejak dimulainya penyelenggaraan otonomi khusus berdasarkan UU No.
18/01, sudah banyak qanun yang disahkan. Menurut notulen di Sekretariat
DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sampai Agustus 2004 telah
dihasilkan 49 qanun yang mengatur berbagai materi untuk merealisasikan
kewenangan khusus yang diserahkan Pemerintah kepada Pemerintah Provinsi
Aceh termasuk pelaksanaan Syari’at Islam. Untuk yang terakhir ini di bawah
akan diuraikan lebih lanjut.
21
Vol. 1 No. 3 - November 2004
2. Ketetapan MPR
3. Undang-undang
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
5. Peraturan Pemerintah
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah
Tata urutan peraturan perundang-undangan menurut TAP MPR di atas,
dengan sendirinya menempatkan qanun sebagai subsistem dalam tata peraturan
perundang-undangan nasional, bahkan sistem hukum nasional pada umumnya.
Karena itu qanun sebagai peraturan daerah “plus”-tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya. (Bagir
Manan, 1995;9) Tetapi persoalan yang sekarang kita hadapi, UU No. 18 Tahun
2001 Pasal 31 ayat (2) yang telah dikutip diatas tadi, menjadikan qanun tidak
sama persis dengan peraturan daerah. Walaupun dari satu segi qanun disebutkan
sebagai peraturan daerah, tetapi dia diberi kekuatan khusus yaitu merupakan
peraturan pelaksanaan langsung untuk undang-undang dalam urusan otonomi
khusus yang menjadi kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan
kata lain qanun merupakan peraturan pelaksanaan yang secara hirarkis berada
langsung dibawah undang-undang, tidak diselingi oleh peraturan perundangan
lainnya. Mengikuti ketentuan ini, maka barangkali tidak ada keraguan bahwa
untuk pelaksanaan otonomi khusus yang menjadi kewenangan Provinsi, qanun
setingkat dengan peraturan pemerintah.
Jalan pikiran atau kesimpulan di atas menjadi penting karena didalam
“Penjelasan Umum” UU No. 18 Tahun 2001 disebutkan bahwa, “Qanun
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, yang dapat menyampingkan peraturan
Perundang-undangan yang lain dengan mengikuti asas lex specialis
derogat lex generalis dan Mahkamah Agung berwenang melakukan uji
materiel terhadap Qanun”. Dari bunyi rumusan ini muncul pertanyaan,
ketentuan atau peraturan apa yang dapat disingkirkan oleh Qanun Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Untuk menjawab ini, sekiranya jalan pikiran diatas
tadi diterima maka qanun dapat menyingkirkan peraturan pemerintah dan
keputusan presiden sekiranya hal itu menyangkut otonomi khusus yang menjadi
kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Selanjutnya dalam Pasal 33 disebutkan, “Perubahan atas undang-
undang ini dapat dilakukan dengan memperhatikan Pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.”
Ketentuan ini secara tidak langsung menyatakan bahwa undang-undang yang
22
Qanun Sebagai Peraturan Pelaksanaan Otonomi Khusus
tidak sejalan dengan UU No. 18 Tahun 2001 yang datang sesudahnya, tidak
secara serta merta berlaku di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Undang-
undang tersebut baru akan berlaku setelah mendapatkan pertimbangan dari
DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Jalan pikiran ini secara tidak
langsung menyatakan bahwa Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat
mengenyampingkan undang-undang baru (yang datang belakangan) yang tidak
sejalan dengan UU No. 18 Tahun 2001.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa Qanun Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam berfungsi sebagai berikut:
a. Menyelenggarakan peraturan hal-hal yang belum jelas, yang oleh undang-
undang otonomi khusus diminta (diserahkan) kepada qanun untuk
mengaturnya.
b. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu undang-undang.
c. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang belum diatur oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu undang-undang.
Menurut penulis kedudukan qanun dalam hubungan dengan
penyelenggaraan otonomi khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
perlu dikaji dan dijelaskan oleh para akademisi dan praktisi secara jernih dan
tanpa prasangka, sehingga posisinya dan kewenanganya yang di atas tadi
dikatakan setingkat dengan peraturan pemerintah dan bahkan undang-undang,
dapat dipahami dan diterima oleh para pembuat kebijakan dan pencari keadilan.
Melalui pengkajian dan penjelasan ini nanti, para pembuat kebijakan dan
pencari keadilan dan bahkan para pengamat hukum secara umum akan
secara mudah dapat memahami bahwa qanun dalam rangka pelaksanaan
otonomi khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat
menyampingkan peraturan lain yang lebih tinggi, yang dalam keadaan biasa
tidak dapat disingkirkan oleh peraturan daerah. Akan tetapi sebagai konsekuensi
diberikannya otonomi khusus kepada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
maka produk legislatif daerah ini dapat saja menyimpang dari produk eksekutif
di tingkat pusat. Misalnya suatu materi qanun yang telah ditetapkan secara sah
ternyata bertentangan isinya dengan materi Keputusan Presiden (apalagi hanya
dengan keputusan menteri) yang bersinggungan dengan otonomi khusus, maka
Mahkamah Agung tentu harus menyatakan bahwa qanun itulah yang berlaku
untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sedangkan Keputusan Presiden
atau Peraturan Menteri berlaku secara umum di seluruh Indonesia (Jimly
Asshiddiqie, 2000 : 29)
23
Vol. 1 No. 3 - November 2004
24
Qanun Sebagai Peraturan Pelaksanaan Otonomi Khusus
Islam dalam sistem hukum nasional, yang diatur lebih lanjut dengan
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (3) Kewenangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diberlakukan bagi pemeluk agama Islam. Pasal
26 (1) Mahkamah Syari’ah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat
(1) terdiri atas Mahkamah Syari’ah Kabupaten/Sagoe dan Kota/Banda
atau nama lain sebagai pengadilan tingkat pertama, dan Mahkamah
Syari’ah Provinsi sebagai pengadilan tingkat banding di ibukota Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. (2) Mahkamah Syari’ah untuk pengadilan
tingkat kasasi dilakukan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia. (3)
Hakim Mahkamah Syari’ah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
sebagai Kepala Negara atas usul Menteri Kehakiman setelah mendapat
pertimbangan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Ketua
Mahkamah Agung.
Seperti telah disinggung di atas, urusan yang menurut UU No.22/99 tidak
diotonomikan kepada daerah, tetapi oleh UU No. 18 Tahun 2001 dijadikan
sebagai otonomi khusus adalah peradilan Syari’at Islam yang dilaksanakan
oleh Mahkamah Syari’ah. Melihat redaksi dalam dua pasal di atas, dan juga
sistematikanya yang terletak sesudah kepolisian dan kejaksaan, maka dapat
dikatakan bahwa pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh menurut UU No.18/01
ini termasuk ke dalam bidang (urusan) hukum, bukan bidang (urusan) agama.
Dengan demikian pelaksanaan Syari’at Islam sebagai bagian dari otonomi
khusus di Aceh dapat dikatakan berinduk kepada dua bidang, ada yang ke
agama berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 dan ada yang ke
hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001. Berhubung
kajian ini berkaitan dengan qanun (UU No.18/2001), maka uraian di bawah
difokuskan pada bidang hukum, bukan bidang agama.
Karena tidak jelas apakah Mahkamah Syari’ah merupakan lembaga baru
atau pengubahan atas lembaga yang sudah ada, dan apakah merupakan lembaga
daerah (otonomi khusus) ataukah lembaga Pusat (masuk ke Departemen
Kehakiman dan Departemen Agama atau ke Mahkamah Agung) maka sebuah
team yang mewakili Aceh, sejak awal tahun 2002 aktif berkonsultasi dengan
Pemerintah, dalam hal ini Mahkamah Agung, Departemen Kehakiman dan
HAM, Departemen Agama, Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indone-
sia dan Departemen Dalam Negeri. Rangkaian konsultasi ini pada akhirnya
memberikan rekomendasi agar pada tingkat pusat dibentuk sebuah team antar
departemen di bawah pimpinan Departemen Dalam Negeri, yang bertugas
menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pembentukan dan peresmian
Mahkamah Syari’ah di Aceh. Team ini dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri
25
Vol. 1 No. 3 - November 2004
diketuai oleh Sekretaris Jenderal dalam hal ini Ibu Siti Nurbaya dan
beranggotakan utusan dari Departemen dan lembaga terkait, termasuk utusan
Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Salah satu tugas yang
dianggap mendesak adalah menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah
tentang Peradilan Syari’at Islam atau Mahkamah Syari’ah sebagai bagian dari
pelaksanaan otonomi khusus. Di pihak lain, sementara Team Pusat bekerja,
dan konsultasi antara Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan
Pemerintah berlangsung, Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam juga
bekerja menyiapkan rancangan Qanun tentang Peradilan Syari’at Islam,
(terutama sekali untuk menetapkan kewenangannya), yang menurut undang-
undang diserahkan kepada qanun.
Pada bulan Oktober 2002 disahkan Qanun Nomor 10 tahun 2002 tentang
Peradilan Syari’at Islam, tepatnya tanggal 14 Oktober 2002, yang diantara
isinya mengubah Pengadilan Agama menjadi Mahkamah Syari’ah, Pengadilan
Tinggi Agama menjadi Mahkamah Syari’ah Provinsi (Pasal 2) dan menetapkan
kewenangannya (Pasal 49) yang meliputi bidang hukum perdata kekeluargaan
(al ahwal as-syakhshiyyah), perdata kehartabendaan (mu’amalah) dan pidana
(jinayat).
Rancangan Peraturan Pemerintah yang disiapkan oleh Team Pusat sesuai
dengan masukan yang disampaikan utusan dari Aceh dan juga hasil pembicaraan
dalam beberapa kali pertemuan dan diskusi, berisi pengukuhan atas pengubahan
Pengadilan Agama menjadi Mahkamah Syari’ah seperti yang telah tercantum
di dalam Qanun, serta menjelaskan hubungan antara kepolisian dan kejaksaan
dengan Mahkamah Syari’ah di bidang pidana telah dapat diselesaikan dalam
Februari 2003. Tetapi dengan sebab yang tidak jelas Rancangan Peraturan
Pemerintah yang dengan susah payah disiapkan oleh team interdep tadi, tidak
disahkan dan sebagai ganti dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun
2003 tanggal 3 Maret 2003 tentang Mahkamah Syari’ah dan Mahkamah
Syari’ah Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam Keppres
yang terdiri atas 11 pasal ini, di samping menetapkan pengubahan Pengadilan
Agama menjadi Mahkamah Syari’ah (Pasal 1), juga menetapkan
kewenangannya yaitu semua kewenangan Pengadilan Agama “ditambah
dengan kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat dalam ibadah dan syi’ar Islam yang ditetapkan dalam Qanun”
[Pasal 3 ayat (1). Sedang hubungan antara kepolisian dan kejaksaan dengan
Mahkamah Syar’iyah yang di Aceh sangat ditunggu-tunggu (karena dianggap
bukan merupakan kewenangan Qanun], tidak disebut-sebut di dalam
KEPPRES ini.
26
Qanun Sebagai Peraturan Pelaksanaan Otonomi Khusus
27
Vol. 1 No. 3 - November 2004
kurungan maksimal enam bulan. Untuk menjawab pertanyaan ini ada tiga hal
yang perlu diperhatikan. Pertama sekali UU No.18Tahun 2001 menyatakan
bahwa kewenangan Mahkamah Syari’ah untuk menjalankan peradilan Syari’at
Islam ditetapkan dengan Qanun berdasarkan Syari’at Islam dan sistem
hukum nasional. Sedang mengenai Syari’at Islam yang akan dilaksanakan
oleh Mahkamah tersebut, tidaklah disebutkan harus ditetapkan di dalam qanun
terlebih dahulu. Aturan bahwa Syari’at yang akan dijalankan itu akan ditetapkan
ke dalam qanun terlebih dahulu diatur oleh qanun, yaitu Qanun No.10 Tahun
2002. Qanun inilah yang menetapkan bahwa Syari’at Islam yang akan
dilaksanakan itu harus ditetapkan di dalam Qanun terlebih dahulu, seperti telah
disebutkan di atas. Kebijakan ini ditempuh untuk lebih memudahkan dan lebih
mewujudkan kepastian hukum. Dengan kata lain, karena dituliskan di dalam
qanun maka siapa saja yang berminat dapat dengan mudah mencari dan
mempelajarinya. Sebetulnya qanun boleh saja menetapkan bahwa Syari’at Is-
lam yang akan dijalankan adalah ketentuan yang terdapat dalam suatu buku
fiqih tertentu, atau langsung meminta hakim mencarinya ke dalam ayat Al-qur’an
atau hadis Rasulullah, tidak perlu dirumuskan ke dalam qanun-qanun terlebih
dahulu. Tetapi cara ini tidak ditempuh, karena diduga akan sangat menyulitkan
hakim. Cara ini memerlukan tenaga hakim dengan kualifikasi yang sangat ketat.
Juga akan sangat menyusahkan para pihak bahkan para pengacara karena
yang menguasai buku fiqih untuk kepentingan beracara ini relatif tidaklah banyak.
Dengan penulisan di dalam qanun, maka yang dicari hakim ke dalam buku fiqih
atau ayat Al-qur’an serta hadis hanyalah penjelasan atau rincian tertentu. Kedua,
walaupun sanksi tersebut dituliskan di dalam qanun, tetapi sanksi ini bukanlah
sanksi PERDA, melainkan sanksi Syari’at Islam itu sendiri, dalam hal ini ta’zir
hudud atau qishash/diyat. Maksudnya tanpa dituliskan di dalam qanun pun
para ulama Islam sudah mengetahui bahwa hudud atau qishash/diyat yang akan
diajukan untuk perbuatan pidana tertentu itu adalah seperti itu, tidak boleh
yang lain. Jadi penulisan sanksi di dalam qanun sebagaimana telah disebutkan
di atas, adalah sekedar untuk lebih mudah mewujudkan kepastian hukum,
mengurangi alternatif atas berbagai pilihan yang kadang-kadang ditemukan di
dalam fiqih. Ketiga, masyarakat Aceh sejak dari awal kemerdekaan sudah
menuntut izin untuk melaksanakan Syari’at Islam secara sempurna di tengah
masyarakat tanpa pernah berhenti. Setelah hampir enam puluh tahun merdeka
barulah keinginan ini mendapatkan pengakuan dan landasan juridis perundangan
yang relatif memadai. Tetapi oleh sebagian pihak landasan dan pengakuan ini
dianggap masih belum cukup kuat dan karena itu tidak dapat digunakan untuk
melaksanakan syari’at Islam secara kaffah. Untuk ini menurut penulis, para
28
Qanun Sebagai Peraturan Pelaksanaan Otonomi Khusus
PENUTUP
Kewenangan mengatur pelaksanaan atau penyelenggaraan otonomi khusus
oleh UU No. 18 Tahun 2001 diberikan kepada Pemerintah Provinsi untuk
dituangkan ke dalam qanun. Namun penguatan atau pengaturannya melalui
(oleh) peraturan pemerintah tetap dirasa perlu, karena otonomi khusus ini
sifatnya sangat unik hanya ada di Provinsi NAD dan Provinsi Papua (tetapi
dengan isi yang tidak sama). Rincian otonomi khusus tidak disebutkan secara
jelas di dalam undang-undang, sedang bidang sebarannya relatif sangat luas,
sehingga persinggungan antara kewenangan Pemerintah Provinsi dengan
kewenangan Pemerintah akan sering terjadi, dan sekiranya terjadi batasannya
tidak mudah ditentukan. Karena hal itu adanya peraturan pemerintah yang
memberi ketegasan tentang kewenangan Pemerintah di samping kewenangan
Pemerintah Provinsi merupakan suatu hal yang sangat diperlukan. Adanya
peraturan pemerintah di samping di perlukan oleh masyarakat Aceh juga
diperlukan oleh para petugas dan pembuat kebijakan di berbagai Departeman
di Jakarta, karena sangat boleh jadi ketika membuat sebuah kebijakan Aceh
yang berotonomi khusus yang telah mempunyai qanun menjadi terlupakan.
Secara manusiawi adalah wajar sekiranya para pembuat keputusan di Jakarta
tidak mengetahui qanun yang sudah disahkan dan berlaku di Aceh, atau
walaupun sudah mengetahuinya tidak menghayatinya atau lebih dari itu, boleh
jadi terlupa ketika membuat kebijakan tersebut (karena tertuang didalam Qanun
yang dibuat dan berlaku di Aceh). Jadi penjelasan tambahan atau penulisan
kembali beberapa hal yang merupakan otonomi khusus di dalam peraturan
pemerintah akan lebih mantap dan akan lebih memudahkan para pembuat
keputusan dan kebijakan di Jakarta. Tanpa adanya peraturan pemerintah yang
akan memberikan penjelasan tambahan tentang otonomi khusus bagi Provinsi
NAD, maka benturan antara qanun sebagai peraturan pelaksanaan atas undang-
29
Vol. 1 No. 3 - November 2004
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Sani (tesis Magister), Qanun Syarak Kerajaan Aceh pada zaman
Sultan Alaudin Mansur Syah: Tahkik dan Kajian Bandingan dengan
Bustanus Salatin, Fakultas Pengajian Islam UKM, Kuala Lumpur, 2000.
30