Anda di halaman 1dari 149

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Ketersediaan sumber daya alam secara kuantitas ataupun kualitas tidak merata,
sedangkan kegiatan pembangunan membutuhkan sumber daya alam yang semakin
meningkat. Kegiatan pembangunan juga mengandung risiko terjadinya pencemaran dan
kerusakan lingkungan. Kondisi ini dapat mengakibatkan daya dukung, daya tampung dan
produktivitas lingkungan hidup menurun yang pada akhirnya menjadi beban sosial. Oleh
karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan
asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan dan asas keadilan.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menutut dikembangkannya suatu
sistem yang terpadu berupa suatu kebijakan nasional perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai
daerah. Penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi dan seimbang dengan fungsi
lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya, pemanfaatan sumber daya alam harus dilakukan
secara bijaksana, yaitu memperhatikan daya dukung lingkungan hidup (DDLH) dan daya
tampung lingkungan hidup (DTLH).
Kabupaten Bandung Barat menjadi salah satu wilayah yang menjadi pendukung
pertumbuhan itu dengan menjadi daerah pendukung kegiatan di Cekungan Bandung baik
sebagai penyedia produk jadi, produk setengah jadi, sumber daya alam maupun sumberdaya
manusia. Perubahan yang paling menonjol adalah hal tataguna lahan dalam rangka
memenuhi berbagai kebutuhan penyediaan lahan perumahan dan sarana komersial menjadi
isu utama di Kabupaten Bandung Barat.
Hal yang paling mendasar berkaitan dengan dinamika perkembangan di Kabupaten
Bandung Barat yang cenderung kurang terkendali adalah perubahan alih fungsi lahan.
Sehingga menjadi sangat penting untuk dilakukan pelestarian fungsi lingkungan hidup atau
rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan Daya Dukung dan Daya Tampung
Lingkungan Hidup (D3TLH) agar lingkungan hidup mampu memenuhi kebutuhan manusia
dan makhluk hidup lainnya tanpa menyebabkan terjadinya degradasi fungsi.
Penyusunan D3TLH ini dilakukan sesuai dengan Surat Edaran Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Nomor SE.5/Menlhk/PKTL/PLA.3/11/2016 tanggal 11 November 2016
tentang Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi dan
Kabupaten/Kota dan menjadi tahapan menjelang penyusunan Rencana Perlindungan
Lingkungan Hidup (RPPLH) yang wajib ditetapkan oleh Bupati dalam Peraturan Daerah
sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) dan (3) Undang-Undang nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

1
1.2. MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud dari Kajian Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup di
Kabupaten Bandung Barat adalah untuk menganalisis Daya Dukung dan Daya Tampung
Lingkungan Hidup di Kabupaten Bandung Barat sebagai dasar pertimbangan dalam
perumusan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dan penetapan
Peraturan Bupati.
Tujuan dari pekerjaan ini sebagai berikut:
1) Mendeskripsikan karakteristik Ekoregion dan kondisi Daya Dukung dan Daya Tampung
Lingkungan Hidup (D3TLH) di Kabupaten Bandung Barat.
2) Mendeskripsikan dan menganalisis kapasitas Ekoregion dan kondisi Daya Dukung dan
Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH) di Kabupaten Bandung Barat.
3) Ketersediaan informasi Ekoregion dan kondisi Daya Dukung dan Daya Tampung
Lingkungan Hidup (D3TLH) di Kabupaten Bandung Barat.

1.3. DATA DASAR


Beberapa peraturan terkait yang menjadi dasar hukum dalam penyusunan Kajian
Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup di Kabupaten Bandung Barat adalah
sebagai berikut:
1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistem;
2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah;
6) Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan;
7) Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Kajian
Lingkungan Hidup Strategis;
8) Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
SE.5/Menlhk/PKTL/PLA.3/11/2016 tanggal 11 November 2016 tentang Penyusunan
Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi dan Kabupaten/Kota

2
1.4. LOKASI KEGIATAN
Lokasi kegiatan ini berada di Kabupaten Bandung Barat yaitu meliputi 16 (enam
belas) Kecamatan.

1.5. LINGKUP PEKERJAAN


Pekerjaan Kajian Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup di Kabupaten
Bandung Barat ini dilaksanakan dengan lingkup pekerjaan :
1) Proses pengumpulan data spasial (peta dan citra) dan non spasial (tabuler) dan
penyusunan peta input dan peta output skala 1: 50.000, yaitu :
a) Peta administrasi wilayah;
b) Peta karakteristik bentang alam;
c) Peta tipe vegetasi alami;
d) Peta penutup lahan minimal 2 periode waktu;
e) Peta wilayah aliran sungan dan ketersediaan air;
f) Peta kinerja jasa lingkungan sebagai penyedia air.
2) Proses analisis data hasil panel ahli dengan menggunakan prinsip AHP yaitu Pairwise
Comparation untuk menghasilkan Koefisien Jasa Ekosistem (KJE).
3) Proses pengelolaan dan analisis spasial berupa pembuatan Peta Daya Dukung
Lingkungan Hidup Berbasis Jasa Ekosistem, pada skala 1 : 50.000
4) Verifikasi Hasil atas Peta Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH)
Berbasis Jasa Ekosistem dengan melakukan Focus Group Discussion untuk menilai
ketepatan hasil peta.
5) Penyusunan Laporan Akhir dan Album Peta Daya Dukung dan Daya Tampung
Lingkungan Hidup (D3TLH) di Kabupaten Bandung Barat Berbasis Jasa Ekosistem.

1.6. HASIL DAN KELUARAN


Keluaran yang diharapkan dari kegiatan Inventarisasi Daya Dukung dan Daya
Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH) Berbasis Jasa Ekosistem di Kabupaten Bandung Barat
Tahun 2022 adalah sebagai berikut:
1) Tersedianya Peta Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH)
Berbasis Jasa Ekosistem di Kabupaten Bandung Barat dengan kedalaman analisis skala
1 : 50.000, sebagai dasar pemanfaatan sumberdaya alam yang memperhatian:
a) Keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup;
b) Keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup;
c) Keselamatan, mutu hidup dan kesejahteraab masyarakat.
2) Deskripsi kondisi Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH) Berbasis
Jasa Ekosistem dengan unit satuan ekoregion dan administratif, khususnya Profil D3TLH

3
Berbasis Jasa Ekosistem di Kabupaten Bandung Barat.
3) Tersusunnya Basis Data Spasial dalam bentuk Album Peta Daya Dukung dan Daya
Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH) Berbasis Jasa Ekosistem, yang meliputi 2 jenis
Peta Input dan Peta Output Jasa Ekosistem.

4
BAB II
PROFIL WILAYAH DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Profil Wilayah Studi


Pembentukan Kabupaten Bandung Barat sudah menjadi wacana sebelum terbitnya
Undang-Undang Otonomi Daerah dan pemekaran Kabupaten Bandung dilakukan. Dengan
mempertimbangkan luas wilayah dan kompleksitas isu pembangunan di Kabupaten Bandung,
saat itu Gubernur Jawa Barat mengeluarkan surat kepada Bupati Bandung untuk mengkaji
rencana pembentukan kabupaten baru. Usulan gubernur waktu itu adalah pembentukan
Kabupaten Padalarang yang mencakup Bandung Barat dan Kota Administratif Cimahi.
Kelahiran Kabupaten Bandung Barat sebagai daerah otonom baru melalui
pertimbangan dan proses yang panjang, dengan kajian seksama dan memperhatikan aspirasi
yang berkembang di masyarakat. Aspirasi dan keinginan masyarakat itu dituangkan secara
formal dalam Surat Keputusan DPRD Kabupaten Bandung Nomor 11 Tahun 2004 tanggal 20
Agustus 2004 tentang Persetujuan DPRD Kabupaten Bandung terhadap Pembentukan
Kabupaten Bandung Barat. Di tingkat provinsi, diterbitkan Surat Keputusan DPRD Propinsi
Jawa Barat Nomor 135/Kep.DPRD-7/2005 tentang persetujuan DPRD terhadap
pembentukkan Kabupaten Bandung Barat. Kemudian disusul dengan surat Gubernur Jawa
Barat kepada Menteri Dalam Negeri bernomor 135.1/1197/Desen tertanggal 11 April 2005
perihal Usul Pembentukan Kabupaten Bandung Barat di Provinsi Jawa Barat.
Penetapan Kabupaten Bandung Barat didasarkan pada Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2007 tentang Pembentukkan Kabupaten Bandung Barat di Provinsi Jawa Barat dengan
pusat pemerintahan di Kecamatan Ngamprah yang disahkan oleh Presiden Republik
Indonesia pada tanggal 2 Januari 2007.

2.1.1. Kondisi Geografis dan Administrasi


Posisi geografis Kabupaten Bandung Barat terletak pada 06º 41’ - 07º 19’ Lintang
Selatan dan 107º 22’ - 108º 05’ Bujur Timur. Keseluruhan wilayah Kabupaten Bandung Barat
memiliki luas sebesar 1.305,77 km2 atau 130.577,40 Ha yang terbagi menjadi 16 wilayah
administrasi kecamatan, yaitu Lembang, Parongpong, Cisarua, Cikalongwetan, Cipeundeuy,
Ngamprah, Cipatat, Padalarang, Batujajar, Cihampelas, Cililin, Cipongkor, Rongga,
Sindangkerta, Gununghalu dan Saguling.

5
Gambar 2.1. Peta Orientasi Kabupaten Bandung Barat dalam wilayah Provinsi Jawa Barat

2.1.2. Administratif
Kabupaten Bandung Barat terdiri dari 16 kecamatan, 165 desa dengan batas wilayah
administrasi sebagai berikut:
a. Sebelah Utara : berbatasan dengan Kecamatan Cikalong Kulon Kabupaten
Cianjur; Kecamatan Manis, Kecamatan Darangdan, Kecamatan
Bojong dan Kecamatan Wanayasa Kabupaten Purwakarta;
Kecamatan Sagalaherang, Kecamatan Jalancagak dan
Kecamatan Cisalak Kabupaten Subang; Kecamatan Sukasari
Kabupaten Sumedang.
b. Sebelah Timur : berbatasan dengan Kecamatan Cilengkrang, Kecamatan
Cimenyan, Kecamatan Margaasih, Kecamatan Soreang
Kabupaten Bandung, Kecamatan Cidadap, Kecamatan Sukasari
Kota Bandung, Kecamatan Cimahi Utara, Kecamatan Cimahi
Tengah, Kecamatan Cimahi Selatan Kota Cimahi.
c. Sebelah : berbatasan Kecamatan Ciwidey, Kecamatan Rancabali
Selatan Kabupaten Bandung, Kecamatan Pagelaran Kabupaten Cianjur.
d. Sebelah Barat : berbatasan dengan Kecamatan Campaka, Kecamatan Cibeber,
Kecamatan Bojongpicung, Kecamatan Ciranjang, Kecamatan
Mande Kabupaten Cianjur.

6
Adapun luas wilayah administrasi per kecamatan sebagaimana dapat dilihat pada
Tabel sebagai berikut:
Tabel 2.1. Luas wilayah per-Kecamatan dan Jumlah Desa

Luas wilayah dan jumlah desa di kecamatan di Kabupaten Bandung Barat tidak
merata. Beberapa kecamatan memiliki wilayah yang sangat luas (di atas 100 Ha), misalnya
Gununghalu, Sindangkerta, Cipatat, Cikalong Wetan, Cipendeuy, dan Rongga. Sisanya
memiliki luas wilayah di bawah 100 Ha. Bahkan ada beberapa kecamatan yang memiliki
jumlah desa di bawah jumlah yang disyaratkan Undang-Undang, misalnya Kecamatan
Saguling sebagai wilayah kecamatan baru hanya memiliki 6 desa. Wilayah ini awalnya
merupakan bagian dari Kecamatan Batujajar, posisi geografis menyebabkan desa-desa di
wilayah Saguling terisolir sehingga pemerintah daerah melakukan pemekaran wilayah
kecamatan sebagai salah satu upaya pemerataan pembangunan, perluasan cakupan
pelayanan publik dan peningkatan kualitas pelayanan publik.
Di bawah ini dapat dilihat peta administrasi Kabupaten Bandung Barat yang
menggambarkan posisi geografis setiap kecamatan di wilayah Kabupaten Bandung Barat,
serta garis batas wilayah Kabupaten Bandung Barat dengan beberapa Kabupaten dan Kota
lain di Jawa Barat, seperti Kabupaten Bandung, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Purwakarta,
Kabupaten Subang, Kota Cimahi dan Kota Bandung. Posisi geografis Kabupaten Bandung
Barat yang berbatasan dengan wilayah lainnya terkait dengan bagaimana Kabupaten
Bandung Barat merespon masalah pembangunan yang bersifat lintas wilayah.

7
Gambar 2.2. Peta Administrasi Kabupaten Bandung Barat

2.1.3. Demografi
Jumlah penduduk Kabupaten Bandung Barat yang cukup besar dapat dijadikan aset
pembangunan bila kualitas sumber daya manusianya dikelola dengan baik. Sebaliknya,
jumlah penduduk yang besar dengan kualitas sumber daya manusia yang rendah akan
menjadi beban pembangunan dan meningkatkan intensitas masalah di daerah. Berdasarkan
data BPS, tahun 2012 jumlah penduduk Kabupaten Bandung Barat mencapai 1.582.326
orang, dengan komposisi penduduk laki-laki berjumlah 805.137 orang (50,88 %) dan
perempuan 777.189 orang (49, 12 %). Artinya, jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin
relatif seimbang.
Ditinjau dari rata-rata kepadatan penduduk per Km2 , Kabupaten Bandung Barat
memiliki rata-rata kepadatan penduduk sebesar 1.211 orang/Km2 . Kecamatan Ngamprah
merupakan wilayah dengan kepadatan penduduk yang paling tinggi yaitu sebanyak 44.876
orang/Km2 , sedangkan Kecamatan Gununghalu merupakan kepadatan yang terendah yaitu
sebesar 4.437 orang/Km2 . Kepadatan penduduk di Kabupaten Bandung Barat yang tidak
merata, dapat menjadi tantangan tersendiri dalam pelaksanaan pembangunan karena untuk
penyusunan program pembangunan perlu memperhatikan penyebaran penduduk agar
program dilaksanakan sesuai dengan sasaran.
Secara rinci data jumlah dan kepadatan penduduk tiap kecamatan di Kabupaten
Bandung Barat dilihat pada Tabel berikut ini:

8
Tabel 2.2. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Bandung Barat Tahun 2012

Adapun perkembangan penduduk Kabupaten Bandung Barat selama kurun waktu


tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2.3. Grafik Peningkatan Jumlah Penduduk Kabupaten Bandung Barat Tahun 2008-
2012

9
Pertumbuhan penduduk di Kabupaten Bandung Barat mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun dengan rata-rata 1,9% (2008-2009), 1,76 % (2009- 2010), 2,6 % (2010-
2011), dan 1,95% (2010-2012). Rata-rata pertumbuhan penduduk ini dianggap wajar.

2.1.4. Kondisi Fisik


Wilayah Kabupaten Bandung Barat merupakan daerah pertanian yang subur dengan
pemandangan alam yang indah. Kondisi geografis di wilayah tersebut berbukit-bukit dengan
ketinggian dan kemiringan yang variatif yang memiliki dataran terendah pada ketinggian 125
m dpl dan dataran tertinggi pada ketinggian 2.150 m dpl. Wilayah perbukitan di Kabupaten
Bandung Barat berbasiskan kegiatan pertanian dan peternakan, beberapa wilayah perbukitan
seperti Lembang menjadi kawasan andalan pariwisata di kabupaten ini. Sementara itu, di
kawasan tengah atau di kawasan yang relatif datar (di sekitar wilayah Kota Padalarang)
berkembang kawasan industri dan wilayah perkotaan.
Kabupaten Bandung Barat didominasi oleh kemiringan lereng yang sangat terjal
(>40%), salah satunya terdapat di Kecamatan Gununghalu yang merupakan kecamatan
dengan kemiringan lereng sangat terjal terluas (13.480 Ha). Adapun kemiringan lereng datar
(0-8%) merupakan kemiringan lereng dengan luas dominan kedua, misalnya di Kecamatan
Batujajar yang memiliki luas lereng datar (0-8%) terluas (4.899 Ha). Selain itu, kemiringan
lereng 8-15% cenderung untuk berada di beberapa kecamatan saja sebagaimana terlihat
pada Gambar di bawah ini.
Beberapa desa di kecamatan yang memiliki ketinggian di atas 750 m dpl merupakan
Kawasan Bandung Utara (KBU) yang saat ini telah berkembang menjadi kawasan pariwisata
unggulan di Jawa Barat sekaligus tetap menjadi kawasan resapan air di wilayah Bandung
utara. Dengan demikian, penanganan wilayah dengan posisi geografis seperti itu bukan
hanya menjadi kewenangan pemerintah Kabupaten Bandung Barat. Perlu dilakukan
kerjasama intensif dengan pemerintah Provinsi Jawa Barat, utamanya dalam konteks
perencanaan wilayah. Misalnya perijinan mendirikan bangunan memerlukan rekomendasi
dari Gubernur.

10
Gambar 2.4. Peta Tingkat Kemiringan Kabupaten Bandung Barat

Berdasarkan kemiringan lereng dan beda tinggi serta kenampakan di lapangan,


morfologi Kabupaten Bandung Barat dikelompokkan menjadi 4 (empat) satuan morfologi,
yaitu morfologi pedataran, landai, perbukitan dan morfologi pegunungan.
Jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Bandung Barat antara lain: aluvial coklat
kelabu; aluvial kelabu dan merah; andosol coklat; andosol coklat dan regosol coklat; glei
humus dan aluvial; glei humus dan aluvial kelabu; latosol coklat; latosol merah dan coklat;
latosol merah kekuningan; latosol tua kemerahan; regosol kelabu dan litosol. Jenis tanah yang
paling luas di Kabupaten Bandung Barat adalah glei humus dan alluvial sekitar 28.938,40 Ha
atau 23,84%, sedangkan yang luasnya paling kecil adalah jenis tanah alluvial kelabu dan
merah sekitar 612,64 Ha atau 0,50 % dari luas Kabupaten Bandung Barat.
Penggunaan lahan merupakan suatu cara atau metode bagaimana pemanfaatan
ruang di suatu wilayah yang akan digunakan berdasarkan potensi dan sumber daya alam
yang tersedia. Penggunaan lahan di suatu wilayah dapat dibagi menurut fungsi dan jenisnya.

11
Tabel 2.3. Penggunaan Lahan Kabupaten Bandung Barat dalam (ha)

Penggunaan lahan di Kabupaten Bandung Barat dikelompokkan berdasarkan


fungsinya, yaitu: berfungsi sebagai kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan
lindung meliputi luas 48.339,4 Ha atau 36,9% sedangkan kawasan budidaya pertanian
68.271,89 Ha atau 52,19% dan kawasan budidaya non pertanian 12.536,45 Ha atau 9,58%
dan lainnya 1.759,29 Ha atau 1,34%. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kawasan
budidaya masih merupakan areal yang terluas dibandingkan dengan kawasan hutan.

12
2.1.5. Profil Geologi
Secara geologis Kabupaten Bandung Barat merupakan wilayah yang berpotensi
terjadi gempa bumi, terutama tipe tektonik dan gempa vulkanik. Wilayah berpotensi terjadi
gempa tektonik adalah sesar Lembang, sedangkan daerah-daerah yang berpotensi terjadi
gempa akibat letusan gunung/vulkanik adalah wilayah di sekitar Gunung Tangkuban Perahu.
Dari hasil studi Direktorat Geologi Tata Lingkungan, sumber air bawah tanah di
Wilayah Kabupaten Bandung Barat dibagi ke dalam beberapa zona:
• Zona kritis, merupakan wilayah yang pengambilan air tanahnya dibatasi sampai
maksimum 100 m3 per bulan. Air tanah di wilayah ini hanya diperuntukkan untuk
memenuhi keperluan air minum dan rumah tangga. Penyebaran zona kritis pengambilan
air tanah di Kabupaten Bandung Barat sebagian besar berada di Kecamatan Batujajar.
• Zona rawan, untuk pengambilan air tanah hanya diperuntukan bagi keperluan air minum
dan rumah tangga dengan debit maksimum 100 m3/bulan. Zona rawan untuk
pengambilan air tanah penyebarannya ada di Kecamatan: Batujajar. Daerah resapan air
tanah penyebarannya ada di Kecamatan: Lembang dan Cisarua.
• Daerah aman pengambilan air tanah pengambilan baru diperbolehkan dengan debit 170
m3/hari dengan jumlah sumur terbatas. Daerah aman untuk pengambilan air tanah
penyebarannya ada di Kecamatan: Cikalongwetan, Padalarang, Ngamprah dan
Parongpong.
• Daerah resapan, tidak dikembangkan bagi pengambilan air tanah kecuali untuk air minum
dan rumah tangga dengan pengambilan maksimum 100 m3/bulan. Daerah resapan ini
meliputi Kecamatan: Lembang dan Cisarua.
• Zona bukan cekungan air tanah, produktivitas aquifer rendah sehingga kurang layak
dikembangkan, kecuali aquifer dangkal di daerah lembah untuk keperluan air minum dan
rumah tangga dengan pengambilan maksimum 100 m3/bulan per sumur. Zona bukan
cekungan air tanah penyebarannya di Kecamatan: Cipeundeuy, Cipatat, Cipongkor,
Cililin, Sindangkerta, Gununghalu dan Rongga.

2.1.6. Potensi Wilayah


2.1.6.1. Potensi Sumber Daya Alam
Berdasarkan kondisi fisik Kabupaten Bandung Barat memiliki potensi sumber daya
alam, antara lain:
a) Sumber daya air;
b) Sumber daya lahan;
c) Sumber daya mineral.

13
A. Sumber Daya Air
Kabupaten Bandung Barat memiliki ± 90 sungai, dengan sungai utama adalah Sungai
Citarum, Sungai Cimahi, Sungai Cibeureum, Sungai Cikapundung, dan Sungai Cikarial,
yang melewati Kecamatan Cipongkor, Kecamatan Cililin, Kecamatan Cihampelas, dan
Kecamatan Batujajar.
Berdasarkan hasil inventarisasi di lapangan, sumber mata air yang terdapat di wilayah
Kabupaten Bandung Barat umumnya dijumpai di sekitar kaki, lereng dan bagian atas
perbukitan yang tersusun oleh batuan vulkanik dan mempunyai penyebaran tidak merata.
Daerah-daerah mata air yang cukup banyak dijumpai di sekitar perbukitan utara, timur dan
selatan. Di bagian barat (kecuali barat laut), pemunculan mata air sangat jarang dijumpai.
Di Kabupaten Bandung Barat terdapat 2 danau/situ alam dan 2 waduk/danau buatan.
Danau/situ alam terdiri dari Situ Lembang dan Situ Ciburuy. Situ-situ ini dimanfaatkan
sebagai lokasi tujuan wisata. Waduk/danau buatan yang terdapat di daerah kajian yaitu
Waduk Saguling dan Cirata yang merupakan sumber tenaga listrik (PLTA).
Kondisi situ dan waduk masing-masing dapat dirinci sebagai berikut:
• Situ Ciburuy terdapat di Kecamatan Padalarang digunakan untuk irigasi dengan
kapasitas penyimpanan sekitar 4 juta m3.
• Situ Lembang digunakan untuk irigasi dan terletak di bagian hulu DAS Cimahi,
kapasitasnya sebesar 3,7 m3 dengan daerah tangkapan situ tersebut diperkirakan 6,3
km3.
• Waduk Saguling terletak di sungai Citarum yang tersebar di beberapa kecamatan yaitu
di Kecamatan Cililin, Batujajar, Cihampelas, Saguling dan Cipongkor. Waduk tersebut
digunakan untuk PLTA, irigasi dan penyediaan air minum. Kapasitas waduk
direncanakan 1.000 juta m3.
• Waduk Cirata terletak ke arah hilir dari Waduk Saguling yang lokasinya berada di
Kecamatan Cipeundeuy, volume direncanakan sekitar 2.000 juta m3, dengan
ketinggian muka air + 220 m/dpl.

Daerah tangkapan air yang menjadi penyedia air tanah maupun air permukaan di
Kabupaten Bandung Barat yaitu:
1) Sub DAS Cikapundung (Lembang, Cisarua, Parongpong)
2) Sub DAS Citarum (Cililin, Ngamprah, Batujajar, Padalarang)

Potensi mata air di Kabupaten Bandung Barat yaitu tersebar di 12 kecamatan


sebagaimana dapat di lihat pada Tabel di bawah ini.

14
Tabel 2.4. Data Mata Air

15
16
17
18
Potensi air permukaan di Kabupaten Bandung Barat pada tahun 2015 yaitu sebanyak 8
lokasi dengan debit air sebesar 630 liter/detik untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel
berikut:

19
Tabel 2.5. Potensi Air Permukaan Pada Beberapa Kecamatan di Kabupaten Bandung
Barat

Potensi Pengairan dan Kondisi Pengelolaan Jaringan Irigasi dan Bendungan di


Kabupaten Bandung Barat yaitu sebanyak 41 sungai dan saluran pembuangan. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel berikut:

Tabel 2.6. Sungai dan Saluran Pembuang yang Mengalir di Kabupaten Bandung Barat

20
Di Kabupaten Bandung Barat terdapat daerah resapan air tanah yang merupakan resapan
utama atau primer meliputi bagian lereng bervegetasi lebat pada ketinggian tertentu
sampai puncak gunung yang terutama dibentuk oleh batuan gunung api muda.
Selain itu, zona resapan utama meliputi pula bagian daerah pegunungan dan perbukitan
berupa punggungan yang bertindak sebagai tinggian pemisahan air utama bagi sungai-
sungai yang mengalir ke utara dan selatan.
Berdasarkan hasil penelitian hidrogeologi untuk menentukan batas horizontal cekungan
air tanah yang dilakukan oleh Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan
Pertambangan yang kemudian disahkan melalui Keputusan Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral Tahun 2003, cekungan air tanah di Jawa Barat terdapat 27 buah, dengan 2
cekungan air tanah diantaranya termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Bandung Barat.
Sedangkan untuk irigasi, di Kabupaten Bandung Barat terdapat dua buah irigasi yang
merupakan kewenangan provinsi karena berada di lintasan dua kabupaten, yaitu Daerah
Irigasi (DI) Leuwi Kuya dan Daerah Irigasi (DI) Cijanggel, sehingga diperlukan koordinasi
dan konsultasi antara dua kabupaten dan provinsi.

B. Sumber Daya Lahan


Kabupaten Bandung Barat dengan luas 130.577,40 Ha merupakan potensi dalam
penyediaan ruang dan pemanfaatan lahan untuk kesejahteraan penduduk. Sebagian
besar penggunaan lahan adalah untuk pertanian, perkebunan, kehutanan dan kawasan
lindung. Sehingga kegiatan budidaya dan usaha berbasis pertanian sangat sesuai
dikembangkan di Kabupaten Bandung Barat. Selain kesuburan tanahnya, juga secara
agroklimat sangat sesuai untuk berbagai komoditas pertanian dan perkebunan.
Pengembangan permukiman pedesaan dan perkotaan yang terintegrasi (rural urban
linkages) dapat mendorong terjadinya keseimbangan perkembangan wilayah, sekaligus
mendorong pertumbuhan ruang terbangun secara lebih merata. Hubungan desa-kota
terutama dalam bentuk pemenuhan kebutuhan, yang berjalan lancar akan mempercepat
struktur wilayah yang ideal. Pengembangan perumahan hendaknya mempertimbangkan
keseimbangan lingkungan, termasuk prioritas untuk memanfaatkan lahan-lahan kering
dan bukan sawah irigasi teknis.
Budidaya pertanian juga perlu mengendalikan penggunaan bahan kimia dalam
pengolahan tanah, agar kandungan organik tanah tetap terjaga seimbang dan tidak terjadi
kerusakan lahan atau penurunan kesuburan tanah. Budidaya perkebunan dan kehutanan
secara bijak juga akan mencegah dan menekan luasan lahan kritis. Dimana lahan kritis
merupakan awal kerusakan struktur tanah, menimbulkan kerawanan longsor dan banjir.

21
C. Sumber Daya Mineral
Kabupaten Bandung Barat merupakan kabupaten yang memiliki potensi sumber daya
mineral dan potensi energi panas bumi.
Potensi sumber daya mineral yang dimiliki Kabupaten Bandung Barat antara lain: andesit,
pasir, marmer, dan kapur, dimana pemanfaatannya sudah lama berlangsung di beberapa
tempat khususnya pertambangan bahan galian C. Namun demikian, pemanfaatan sumber
daya alam tersebut tak selamanya menghasilkan hal positif, akan tetapi kadang
menimbulkan dampak lain yang cukup merugikan. Di Kabupaten Bandung Barat
ditemukan dampak negatif atau kerusakan alam akibat penggalian. Banyak di antara
tanah bekas galian bahan tambang dibiarkan terlantar, tidak produktif dan sering kali
mengundang bencana. Di beberapa lokasi juga sering terjadi longsor, baik gejala alamiah
maupun akibat galian.
Untuk sumberdaya energi panas bumi, total potensi yang ada di Kabupaten Bandung
Barat mencapai 150 MWe, atau 2,82 persen dari potensi Jawa Barat. Energi panas bumi
merupakan energi yang ramah lingkungan dengan tingkat pencemaran CO2 yang sangat
rendah. Potensi panas bumi di Kabupaten Bandung Barat, antara lain:
1) Gunung Tangkuban Parahu dengan potensi panas bumi sekitar 100 MWe (hipotetik).
2) Saguling, Rajamandala dengan potensi panas bumi sekitar 25 MWe (spekulatif).

2.1.6.2. Potensi Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Perikanan dan Kehutanan


Kabupaten Bandung Barat mempunyai potensi beberapa komoditas unggulan
komparatif maupun kompetitif di bidang pertanian tanaman hortikultura yaitu sayuran, buah-
buahan yang terdiri dari alpukat, jambu biji, pisang, dan bunga yang terdiri dari krisan, gladiola,
anggrek. Sebaran komoditas tersebut terletak di sebelah utara Kabupaten Bandung Barat
yaitu di Kecamatan Lembang, Parongpong dan Cisarua. Selain komoditas tersebut,
Kabupaten Bandung Barat juga mempunyai komoditas yang cukup strategis untuk
dikembangkan di sebelah selatan Kabupaten Bandung Barat yaitu padi sawah, jagung, dan
kacang-kacangan.
Berdasarkan data rekapitulasi, komoditas perkebunan yang memberi paling banyak
kontribusi produksi di 16 kecamatan yaitu: teh, kelapa, karet dan kopi. Area perkebunan
terluas berada di 3 kecamatan yaitu: Cipatat, Cipeundeuy, dan Cikalongwetan.
Sapi perah merupakan salah satu ternak unggulan Kabupaten Bandung Barat.
Populasi ternak terbanyak terdapat di Kecamatan Lembang, Cisarua dan Parongpong. Selain
faktor ketersediaan pakan, wilayah tersebut juga merupakan wilayah dataran tinggi dengan
suhu yang sejuk dan cocok bagi perkembangan optimal sapi perah.
Kegiatan budidaya ternak sapi potong di Kabupaten Bandung Barat terdapat di 3

22
kecamatan yaitu: Kecamatan Cikalong, Cililin dan Cihampelas, dimana lingkungan dan
kondisi alamnya mendukung bagi pertumbuhan sapi potong.
Populasi kerbau tersebar di 13 (tiga belas) kecamatan, sedangkan populasi tertinggi
terdapat di Kecamatan Rongga. Populasi kuda tersebar secara merata di 11 (sebelas)
kecamatan, kecuali di Kecamatan Ngamprah, Cisarua, dan Parongpong. Ternak domba
tersebar di 16 kecamatan. Hal ini dikarenakan ternak domba merupakan komoditi yang mudah
beradaptasi dan hidup dimanapun, baik di dataran rendah dan tinggi. Kecamatan yang
merupakan sentra domba diantaranya kecamatan: Rongga, Gununghalu dan Padalarang.
Selanjutnya populasi kambing di Kabupaten Bandung Barat tersebar di 15 Kecamatan.
Kecuali di Kecamatan Cipatat, Cisarua, Ngamprah, Lembang dan Parongpong yang saat ini
kontribusi ternaknya masih sangat kecil. Tetapi pemanfaatan daging kambing relatif kurang
diminati untuk konsumsi, selama ini produksi ternak kambing dijual keluar Kabupaten
Bandung Barat seperti ke Jakarta, Karawang, Bekasi dan daerah lainnya. Sentra populasi
kambing terdapat di Kecamatan Clililin dan Cipongkor.
Budidaya perikanan air tawar di Kabupaten Bandung Barat saat ini dilakukan dengan
memanfaatkan Waduk Cirata sebagai tempat usaha budidaya ikan dengan metoda Kolam
Jaring Apung (KJA). Wilayah yang potensial penyumbang terbesar pada usaha KJA ini adalah
Kecamatan Cipeundeuy yaitu sekitar 59% produksi total produksi KJA. Selain itu usaha
perikanan lainnya yang terdapat di Kabupaten Bandung Barat yaitu usaha pembenihan ikan,
usaha budidaya ikan pada kolam air tenang, minapadi, dan penangkapan ikan di perairan
umum.
Apabila dilihat dari penyebaran setiap komoditas ternak besar dan kecil di Kabupaten
Bandung Barat dari setiap kecamatan, hanya komoditas domba, kambing, ayam dan itik yang
jumlahnya secara merata ada di setiap kecamatan di Kabupaten Bandung Barat. Sedangkan
ternak sapi, kerbau dan kuda merupakan ternak yang hanya terdapat di beberapa kecamatan
saja.
Penggunaan tanah di wilayah Kabupaten Bandung Barat didominasi oleh penggunaan
kawasan hutan. Kawasan kehutanan mempunyai kecenderungan turun. Kecenderungan
tersebut dikarenakan berubahnya sebagian fungsi hutan menjadi kawasan perumahan baru.
Tujuan pembangunan sub-sektor kehutanan untuk mempertahankan luas areal hutan
ternyata belum berhasil diterapkan dan dilaksanakan. Kurangnya informasi dan kesadaran
tentang fungsi hutan merupakan salah satu faktor penyebab penggunaan tata guna tanah
yang tidak pada tempatnya. Demikian juga dengan produksi hasil hutan berupa kayu
pertukangan, kayu bakar dan getah pinus, rumput gajah, hasil kayu.

23
2.1.6.3. Potensi Industri
Dalam hal potensi sektor lainnya, lokasi-lokasi industri hanya terdapat di beberapa
kecamatan yang menjadi lokasi berkumpulnya industri. Kawasan industri dan sentra industri
hanya terdapat di Kecamatan Padalarang. Jumlah industri besar dan sedang terbanyak
berada di Kecamatan Padalarang. Beberapa jenis industri kecil yang paling banyak terdapat
di Kabupaten Bandung Barat adalah anyaman dan makanan. Adapun jenis industri
menengah-besar terbanyak adalah industri tekstil sebesar 30,32%. Industri menengah-besar
yang tergolong agroindustri adalah industri makanan dan minuman, karet dan barang dari
karet, kulit dan barang dari kulit, serta jenis lainnya yang dipasok oleh sektor pertanian dengan
persentase kurang dari 20%.

2.1.6.4. Potensi Pariwisata


Selain potensi daerah di sektor agro baik pertanian, perkebunan, kehutanan,
peternakan dan perikanan, Kabupaten Bandung Barat juga memiliki beberapa potensi di
bidang pariwisata baik wisata alam, wisata minat khusus maupun jenis wisata lainnya.
Kawasan wisata KBB dibagi dalam 3 zona wisata utama, yaitu Zona Bandung Utara, Bandung
Selatan, dan Bandung Barat. Kecamatan Lembang merupakan kecamatan yang mempunyai
obyek wisata alam terbanyak dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Ada beberapa obyek
wisata yang sudah terkelola oleh pemerintah; beberapa dikelola oleh pihak lainnya.
Wisata merupakan salah satu kunci pengembangan Kabupaten Bandung Barat jika
merujuk pada Visi yang ada. Oleh karena itu, pengembangannya menjadi hal yang sangat
penting. Berdasarkan karekteristiknya, objek wisata dapat dikelompokkan menjadi objek
Wisata Agro, Wisata Alam, dan Wisata Minat Khusus. Beberapa lokasi kawasan wisata di
Kabupaten Bandung Barat dapat dilihat pada tabel-tabel di bawah ini.

Tabel 2.7. Obyek Wisata Agro

24
Tabel 2.8. Obyek Wisata Alam

Tabel 2.9. Obyek Wisata Minat Khusus

25
Dari informasi dan data sebagaimana ditampilkan di atas, secara umum prospek
pengembangan sektor pariwisata di Kabupaten Bandung Barat dianggap sangat positif.
Sebagaimana yang telah diakui oleh PBB, Bank Dunia, World Tourism Organization
(WTO) bahwa sektor pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan
manusia terutama menyangkut kegiatan sosial ekonomi. Hal tersebut karena industri
pariwisata diperkirakan akan menjadi industri terbesar di dunia pada tahun 2020. Menurut
World Travel and Tourism Council, para wisatawan bakal membelanjakan uangnya sekitar
5 milliar dollar AS setiap hari. Karakteristik sektor pariwisata yang memiliki multiflyer
effects, dapat memaksimalkan potensi wilayah di Kabupaten Bandung Barat, mulai dari
pertanian, peternakan, industri pengolahan pangan, jasa dan perdagangan. Keadaan ini
tentu menyulut industri pariwisata dan ikutannya antara lain hotel, usaha perjalanan,
usaha katering, pemandu wisata, dan sebagainya.
Dalam pengembangan kawasan parawisata, perlu adanya upaya nyata dalam menyusun
kebijakan yang tepat dan didukung oleh semua SKPD di Kabupaten Bandung Barat.
Sehingga secara spesifik, Kabupaten Bandung Barat memiliki potensi sangat besar untuk
dapat mengembangkan kawasan pariwisata yang berkelanjutan, terintegrasi dan berpihak
pada pemberdayaan masyarakat.

2.1.7. Wilayah Rawan Bencana


Pengertian kawasan yang rawan bencana adalah daerah yang pernah mengalami
bencana atau daerah yang mempunyai potensi terjadinya bencana. Bencana yang paling
sering terjadi adalah banjir dan yang pernah terjadi adalah erosi tanah. Di samping itu terdapat
juga beberapa kawasan yang termasuk dalam bahaya lahar gunung berapi.
Longsor juga merupakan bencana yang kerap menimpa wilayah Kabupaten Bandung
Barat. Longsor bisa disebabkan oleh pergerakan tanah (sledding) yang disebabkan oleh
gerusan air akibat adanya hujan lebat, serta adanya pemanfaatan ruang yang tidak memenuhi
kaidah-kaidah lingkungan dan konservasi tanah. Beberapa wilayah yang sering mengalami
bencana longsor adalah Cikalongwetan, Lembang, Gununghalu, Cipatat, Sindangkerta,
Rajamandala, Batujajar, Cisarua, dan Cililin. Selain tanah longsor, juga sering terjadi tanah
amblasan, retak-retak dan patahan.
Dalam rangka mengurangi atau mencegah tingkat bahaya longsor, erosi dan
sedimentasi, diperlukan adanya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah di beberapa lokasi
kawasan hutan. Sedangkan untuk mengamankan lahan sempadan sungai/
pengairan/danau/waduk/bendungan/mata air dapat dilakukan dengan cara penghijauan atau
menanami tanaman keras pada lahan sempadan sehingga menjadi ruang terbuka hijau.
Permasalahan di wilayah Kabupaten Bandung Barat, masih terdapat lahan kritis dan
terlantar. Adapun sebaran lahan kritis di setiap Kecamatan dan Desa di Kabupaten Bandung

26
Barat dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 2.10. Sebaran Lahan Kritis Di setiap Kecamatan dan Desa Di Kabupaten Bandung
Barat

Permasalahan lingkungan lainnya di Kabupaten Bandung Barat adalah pencemaran


lingkungan, baik terhadap air, udara maupun tanah. Dalam hal pencemaran udara, meskipun
belum parah, namun perkembangannya cenderung mengkhawatirkan. Kualitas udara setiap
tahunnya cenderung menurun. Hal ini diakibatkan karena kegiatan transportasi dan industri
yang meningkat. Pencemaran udara yang menonjol terjadi di Kecamatan Padalarang,
Batujajar dan Cipatat.
Peristiwa bencana alam yang sering terjadi di Kabupaten Bandung Barat terdiri dari
gempa bumi, tanah longsor, angin kencang, dan letusan gunung berapi. Peristiwa bencana

27
alam di Kabupaten Bandung Barat didominasi oleh kejadian gempa bumi dan tanah longsor.
Kawasan rawan bencana alam adalah kawasan yang sering atau berpotensi tinggi
mengalami bencana alam. Perlindungan terhadap kawasan rawan bencana alam dilakukan
untuk melindungi manusia dan kegiatannya dari bencana yang disebabkan oleh alam. Kriteria
kawasan rawan bencana, dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 2.11. Kriteria Kawasan Rawan Bencana

Berdasarkan kriteria tabel tersebut, kawasan rawan bencana longsor secara umum
menyebar di bagian utara dan selatan Kabupaten Bandung Barat, yaitu terdapat di
Kecamatan Lembang, Parongpong, Cikalongwetan, Cipatat, Batujajar, Cililin, Rongga,
Gununghalu. Kawasan bencana letusan gunung berapi terdapat di Kecamatan Lembang,
Parongpong, dan Cisarua dapat dilihat pada Gambar berikut.

28
Gambar 2.5. Peta Rawan Bencana Kabupaten Bandung Barat

2.1.7.1. Banjir
Banjir merupakan peristiwa terbenamnya daratan (yang biasanya kering) karena
volume air yang meningkat. Banjir dapat terjadi karena luapan air yang berlebihan di suatu
tempat akibat hujan besar, luapan air sungai dan pecahnya tanggul penahan air.
Kawasan rawan banjir di Kabupaten Bandung Barat umumnya adalah daerah di
sepanjang tepi Sungai Citarum bagian hulu. Hal ini terjadi karena rusaknya daya dukung
lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan pembangunan perumahan dan permukiman di
daerah resapan air, pembabatan hutan menjadi lahan pertanian dan bangunan serta
pertambangan yang mengakibatkan cepatnya aliran air menuju hilir. Kebiasaan masyarakat
membuang sampah ke sungai juga dapat menghambat dan menyumbat aliran. Kombinasi
antara kedua keaadan tersebut pada akhirnya menimbulkan banjir serta genangan. Banjir
semakin sering terjadi terutama jika hujan lebat, dan juga karena sistem drainase yang tidak
memadai.
Di wilayah Kabupaten Bandung Barat, kejadian banjir umumnya hanya berupa
genangan terutama karena buruknya saluran drainase. Banjir erat kaitannya dengan drainase
permukaan tanah. Drainase disini adalah drainase yang menunjukan lamanya atau seringnya
tanah tergenang air. Dengan demikian drainase ini sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik
tanah lainnya seperti lereng, tekstur tanah, konsistensi/porositas tanah.

29
2.1.7.2. Gempa Bumi dan Aliran Lahar
Gempa bumi yang terjadi di Kabupaten Bandung Barat merupakan gempa bumi
tektonik dan gempa bumi vulkanik (gunung berapi). Gempa bumi tektonik disebabkan oleh
pelepasan tenaga yang terjadi karena pergeseran lempengan plat tektonik. Tenaga yang
dihasilkan oleh tekanan antara batuan dikenal sebagai kecacatan tektonik. Teori dari plate
(plat tektonik) menjelaskan bahwa bumi terdiri dari beberapa lapisan batuan, sebagian besar
area dari lapisan kerak itu akan hanyut dan mengapung di lapisan seperti salju. Lapisan
tersebut bergerak perlahan sehingga berpecah-pecah dan bertabrakan satu sama lainnya.
Hal inilah yang menyebabkan terjadinya gempa tektonik. Salah satu penyebab gempa adanya
subduksi (penyusupan lempeng) misalkan Lempeng Australia terhadap Lempeng Eurasia (7
cm/tahun). Beberapa sesar aktif di Kabupaten Bandung Barat yang berpotensi menimbulkan
gempa tektonik di antaranya sesar Lembang, Bandung; serta sesar kecil cabang dari sesar
Cimandiri, Sukabumi.
Gempa bumi vulkanik terjadi di daerah yang berdekatan dengan gunung berapi,
bentuk keretakannya memanjang sama dengan gempa burni tektonik. Gempa bumi gunung
berapi disebabkan oleh pergerakan magma ke alas, dimana geseran pada batuannya
menghasilkan gempa bumi. Potensi gempa vulkanik di wilayah Kabupaten Bandung Barat
adalah di daerah yang berdekatan dengan gunung berapi, seperti Gunung Tangkuban Perahu
meliputi Kecamatan Lembang, Cisarua, Parongpong. Daerah tersebut selain rawan bencana
gempa vulkanik juga rawan aliran lahar.
Beberapa kawasan, terutama di utara Kabupaten Bandung Barat yang tergolong
daerah beresiko aliran lahar. Lahar ini dapat terbawa sungai sehingga membahayakan
daerah-daerah yang dilalui sungai tersebut. Beberapa kecamatan memiliki kawasan beresiko
aliran lahar ini antara lain Kecamatan Lembang (4.340 ha) dan Cisarua (1.580 ha).

2.1.7.3. Tanah Longsor dan Gerakan Tanah


Tanah longsor merupakan peristiwa pergerakan lereng tanah yang umumnya terjadi
saat hujan lebat, yang disebabkan oleh peningkatan, kejenuhan air dan kenaikan muka air
tanah akibat infiltrasi air hujan yang berlebihan. Proses penjenuhan tanah dapat dipercepat
oleh hilangnya tutupan lahan, kondisi tanah yang retak-retak, dan limpasan air genangan dari
areal persawahan dan kolam-kolam ikan di lereng. Beberapa tanah longsor berlangsung
lambat dan menimbulkan kerusakan secara bertahap. Sementara itu, yang lainnya bergerak
sangat cepat sehingga dapat menimbulkan kerugian dan korban jiwa yang sangat besar
secara tiba-tiba dan tak terduga. Kecamatan yang merupakan kawasan rawan longsor
meliputi Cikalongwetan, Lembang, Gununghalu, Cipatat, Sindangkerta, Batujajar, Cisarua,
dan Cililin.
Gerakan tanah merupakan proses perpindahan masa tanah dan atau batuan dari

30
tempat yang berkedudukannya lebih tinggi ke bagian yang lebih rendah. Dimensi gerakan
tanah bervariasi dari hanya beberapa meter sampai puluhan meter. Gerakan tanah dapat
dilihat berdasarkan tingkat kepekaan tanah secara alami, dan gerakan tanah akibat tindakan
manusia.

2.2. Lingkungan Hidup


Pengertian lingkungan hidup menurut UU RI No. 32 Tahun 2009 adalah kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia
serta makhluk hidup lain. McNauhgton & Wolf dalam Husein (1993) menyebutkan bahwa
lingkungan hidup merupakan semua faktor eksternal yang bersifat biologis dan fisika yang
langsung mempengaruhi kehidupan, pertumbuhan, perkembangan, dan reproduksi manusia.
Sedangkan jika dikaji dari sisi ilmu lingkungan, lingkungan hidup adalah ekologi, serta dengan
mempertimbangkan disiplin lain terutama ekonomi dan geografi (Soerjani & Djajadiningrat,
1985).
Sifat lingkungan hidup ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu jenis dan masing -masing
jenis unsur lingkungan hidup tersebut, hubungan atau interaksi antar unsur dalam lingkungan
hidup tersebut, kelakuan atau kondisi unsur lingkungan hidup, dan faktor non-materiil suhu,
cahaya dan kebisingan (Soemarwono,1994). Faktor-faktor tersebut menentukan lingkungan
hidup akan menjadi lebih baik atau akan menjadi lebih buruk. Sehingga untuk menciptakan
lingkungan yang harmonis, antara faktor lingkungan dan lingkungannya harus seimbang.
Secara umum lingkungan hidup merupakan suatu sistem yang meliputi lingkungan
hayati, lingkungan non hayati, lingkungan buatan dan lingkungan sosial. Sumber daya alam
merupakan salah satu unsur lingkungan alam, baik hayati maupun non hayati, yang
diperlukan manusia untuk memenuhi kebutuhannya dan meningkatkan kesejahteraannya.
Sumber daya alam sangat banyak dan melimpah, dari hal tersebut sumber daya alam
diklasifikasikan menjadi sumber daya alam terbarui dan tak terbarui.

2.2.1. Kerusakan Lingkungan Hidup dan Jenis-Jenisnya


Kerusakan lingkungan merupakan penurunan mutu lingkungan yang ditandai dengan
hilangnya sumber daya tanah, air, udara, punahnya fauna liar, dan kerusakan ekosistem. Hal
tersebut merupakan salah satu ancaman yang paling berbahaya untuk kelangsungan hidup
manusia. Lingkungan alam yang rusak berdampak terhadap kehidupan manusia sehingga
berpotensi menghasilkan bencana untuk saat ini dan untuk masa-masa yang akan datang.
Kerusakan lingkungan hidup terjadi karena faktor alami maupun karena akibat ulah manusia
(faktor buatan). Faktor alami kerusakan lingkungan hidup meliputi bencana alam dan cuaca
yang tidak menentu. Bencana alam tersebut dapat berupa banjir, tanah longsor, tsunami,

31
angin puting beliung, angin topan, gunung meletus, ataupun gempa bumi. Selain berbahaya
bagi keselamatan manusia maupun makhluk hidup lainnya, bencana alam tersebut dapat
mengakibatkan kerusakan lingkungan.
Sedangkan kerusakan lingkungan dilihat dari faktor buatan, terjadi akibat eksploitasi
sumberdaya alam yang dilakukan manusia secara berlebihan dan tidak dilakukan regenerasi
kembali. Kegiatan-kegiatan manusia di lingkungan hidupnya akan menyebabkan
permasalahan lingkungan seperti pencemaran lingkungan baik pencemaran udara, air tanah
dan suara yang berdampak pada adanya tanah kritis, penyimpangan iklim, hujan asam,
penipisan lapisan ozon dan lain sebagainya.
Rahmadi dalam Syaprillah (2016) menambahkan bahwa beberapa faktor juga dapat
menimbulkan permasalahan atau kerusakan lingkungan antara lain teknologi, penduduk,
ekonomi, politik, dan tata nilai yang berlaku. Penerapan teknologi baik dalam hal industri,
pertanian, transportasi, hingga komunikasi dapat menjadi salah satu sumber terjadinya
masalah-masalah lingkungan seperti pencemaran lingkungan (Commoner, 1973). Dari segi
ekonomi, Hardin dalam Syaprillah (2016) menyebutkan bahwa alasan-alasan ekonomi yang
sering kali menggerakkan perilaku manusia dan keputusan-keputusan yang diambil oleh
manusia secara perorangan maupun dalam kelompok, terutama dalam hubungannya dengan
pemanfaatan common property meliputi sungai, padang rumput, udara, dan laut. Karena
sumberdaya tersebut dapat bebas untuk dimanfaatkan oleh setiap orang untuk memenuhi
kebutuhannya masing -masing, maka setiap orang berusaha dan berlomba-lomba untuk
memanfaatkan atau mengeksploitasi sumberdaya semaksimal mungkin guna memperoleh
keuntungan pribadi.

2.2.2. Pengawasan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


Pengawasan merupakan aktivitas atau upaya yang mengontrol suatu ketetapan atau
ketentuan standar untuk mendapatkan hasil seperti yang direncanakan. Menurut Mockler,
pegawasan pada dasarnya merupakan upaya yang sistematis untuk menentukan standar
kinerja, merancang sistem umpan balik informasi, membandingkan prestasi aktual dengan
standar yang ditentukan, menentukan apakah terdapat penyimpangan dan mengukur
besarnya, serta mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin bahwa seluruh sumber
daya organisasi digunakan dengan cara yang paling efentif dan efisien untuk menapai tujuan.
Berkaitan dengan lingkungan, pengawasan lingkungan hidup diartikan sebagai serangkaian
kegiatan yang dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung oleh Fungsional Pejabat
Pengawas Lingkungan Hidup Daerah, yang bertujuan untuk mengetahui, memastikan dan
menetapkan tingkat ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan
yang ditetapkan dalam izin lingkungan dan peraturan perundang-undangan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (Hamid & Pramudyanto, 2007). Budiati

32
(2012) menambahkan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai usaha
pencegahan, penanggulangan kerusakan dan pencemaran serta pemulihan kualitas
lingkungan hidup, yang mana telah menuntut dikembangkannya berbagai perangkat
kebijaksanaan dan program serta kegiatan yang didukung oleh sistem pendukung
perlindungan dan pengelolaan lingkungan lainnya.
Pengelolaan lingkungan dapat diartikan sebagai usaha sadar untuk memelihara atau
memperbaiki mutu lingkungan agar kebutuhan dasar manusia dapat terpenuhi dengan sebaik
- baiknya (Soemarwono, 1994). Sedangkan menurut Randolph (2004), pengelolaan
lingkungan diartikan sebagai pengendalian atau arahan interaksi antara manusia dan
lingkungan untuk melindungi dan memperkaya kesehatan dan kesejahteraan manusia
sekaligus kualitas lingkungan. Randolph menjelaskan bahwa pengelolaan lingkungan
dikelompokkan menjadi:
1) Pengelolaan interaksi antara manusia dan lingkungan
2) Perencanaan lingkungan
3) Perencanaan tata guna lahan untuk pengelolaan lingkungan
4) Kolaborasi antara pengelolaan lingkungan dengan partisipasi publik
5) Pengelolaan DAS dan ekosistem

Pengelolaan lingkungan mempunyai ruang lingkup yang luas dengan cara


bermacammacam (Soemarwoto dalam Syaprillah, 2016), yaitu:
1) Pengelolaan lingkungan secara rutin
2) Perencanaan dini pengelolaan lingkungan suatu daerah yang menjadi dasar dan tutntutan
bagi perencanaan pembangunan
3) Perencanaan pengelolaan lingkungan berdasarkan perkiraan dampak lingkungan yang
akan terjadi sebagai akibat suatu proyek pembangunan yang sedang direncanakan
4) Perencanaan pengelolaan lingkungan untuk memperbaiki lingkungan yang mengalami
kerusakan, baik karena sebab alamiah maupun karena tindakan manusia

Silalahi (2001) menambahkan bahwa pengelolaan lingkungan hidup juga berkaitan


dengan hak dan kewajiban setiap orang, dimungkinkan atau dibuka kemungkinan bagi setiap
orang untuk mengajukan gugatan karena sehat dan bersihnya lingkungan hidup merupakan
kepentingan umum dan juga kepentingan setiap orang.

33
2.2.3. Penataan Ruang dalam Pemeliharaan dan Perlindungan Kualitas dan/atau
Fungsi Lingkungan Hidup
Penataan ruang menyangkut seluruh aspek kehidupan sehingga masyarakat perlu
mendapat akses dalam proses perencanaan tersebut. Selain itu, penataan ruang tidak hanya
untuk kepentingan sektor ekonomi tetapi juga harus memperhatikan aspek lingkungan.
Menurut Devas and Rakodi (1993), setiap pembangunan harus memperhatikan aspek-aspek
lingkungan seperti:
1) Meminimalisasi dampak dari pembangunan dan kegiatan-kegiatan pada perubahan
ekologi
2) Meminimalisasi risiko akibat adanya perubahan-perubahan terhadap bumi, seperti
kerusakan lapisan ozon, pemanasan global yang disebabkan emisi Karbon Dioksida,
perubahan iklim lokal yang disebabkan banjir, kekeringan, penebangan liar
3) Meminimalisasi polusi udara, air, dan tanah
4) Adanya jaminan dan pembangunan yang berkelanjutan serta berwawasan lingkungan

Sedangkan menurut Keraf dalam Kodoatie & Sjarief (2010) menyebutkan bahwa
terdapat 9 prinsip etika lingkungan lingkungan yang wajib ditaati dalam pembangunan,
meliputi:
1) Hormat terhadap alam (respect for nature)
2) Bertanggung jawab kepada alam (responsibility for nature)
3) Solidaritas kosmis (cosmic solidarity)
4) Peduli kepada alam (caring for nature)
5) Tidak merugikan (no harm)
6) Hidup selaras dengan alam (living harmony with nature)
7) Keadilan
8) Demokrasi
9) Integritas moral

Dapat diketahui bahwa penataan ruang memiliki peranan penting dalam usaha
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009
dijelaskan bahwa untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan
masyarakat, wajib di dasarkan pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan
perencanaan tata ruang wilayah ditetapkan dengan memperhatikan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup. Kajian Lingkungan Hidup Strategis berisi tentang kapasitas daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan, perkiraan mengenai
dampak dan risiko lingkungan hidup, kinerja layanan/jasa ekosistem, efisiensi pemanfaatan
sumber daya alam, tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim, dan

34
tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati. Selanjutnya, hasil pengkajian
tersebut dijadikan bahan pertimbangan dalam perencanaan tata ruang wilayah. Apabila dari
hasil pengkajian tersebut terdapat aktivitas yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan
dapat ditertibkan melalui pengendalian pemanfaatan ruang yaitu sebuah upaya untuk
mewujudkan tertib tata ruang.
Penataan ruang mempunyai peranan penting bagi perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup juga tertuang dalam Undang-Undang no. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, yaitu bahwa penataan ruang diselenggarakan guna mewujudkan keharmonisan
antara lingkungan alam dan lingkungan buatan, terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan
sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia,
guna terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap
lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Dari kedua undang-undang tersebut dapat diketahui
bahwa pentingnya penataan ruang dalam upaya pemeliharaan dan perlindungan kualitas
dan/atau fungsi lingkungan hidup pada umumnya terletak pada penentuan peruntukan
penggunaan ruang atau dalam pemanfaatan sumber-sumber daya yang ada di dalamnya.
Dengan peruntukan yang jelas, mala semua kepentingan yang terkait dengan
pemanfaatannya dapat diakomodasi sehingga tercipta harmonisasi dalam pemanfaatan
ruang yang dapat mewujudkan nilai tambah berupa pemanfaatan yang aman, nyaman,
produktif, dan berkelanjutan (Wahid, 2011).

2.3. Urgensi dan Isu Tentang Lingkungan Hidup.


Upaya untuk mewujudkan pembangunan nasional berkelanjutan akan mendapatkan
tantangan yang besar dari kondisi dan letak geografis Indonesia, kondisi sumberdaya alam
yang semakin berkurang, serta kondisi lingkungan yang semakin menurun. Salah satu
indikasi semakin menurunnya kualitas lingkungan hidup adalah dengan semakin seringnya
kejadia bencana, terutama bencana yang secara langsung maupu tidak langsung terkait
dengan menurunnya kualitas jasa ekosistem yang dihasilkan oleh lingkungan. Menurut BNPB,
sejak tahun 1918 telah terjadi lebih dari 20.400 kejadian bencana di Indonesia. Dari jumlah
kejadian tersebut, 84% diantaranya terkait langsung dengan kerusakan lingkungan hidup.
Data tersebut semakin mengkhawatirkan mengingat trend bencana alam terus meningkat
dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, khususnya didaerah-daerah yang rawan bencana.
Sejumlah bencana yang kerap kali terjadi, seperti banjir, longsor dan kekeringan frekuensinya
cenderung semakin meningkat. Perubahan pola iklim dunia akibat pemanasan global yang
diantaranya menyebabkan terjadinya fenomena el nino dan la nina, berdampak cukup besar
di wilayah Indonesia. Akan tetapi, menurunnya kualitas jasa lingkungan hidup saat ini diyakini
merupakan faktor utama yang memicu meningkatnya kejadian tersebut dan mendorong
perluasan dampak yang ditimbulkannya.

35
Beberapa jasa lingkungan yang saat ini sedang mengalami tekanan hebat adalah Jasa
Regulator Air, Jasa Penyedia/Penyimpanan Air dan Jasa Penyedia Pangan. Kegiatan
pembangunan, khususnya dalam bidang ekonomi, mendorong pemanfaatan sumberdaya
alam melewati batas pemulihannya. Pembukaan wilayah hutan, pertambanganpertambangan
terbuka, pengembangan infrastruktur dan perluasan area permukiman hingga wilayah-
wilayah terpencil telah mereduksi secara besar-besaran daerah-daerah dengan Jasa
Lingkungan tinggi. Pulau Jawa dan Sumatera merupakan pulan yang kondisi lingkungan
hidupnya mendapat tekanan paling besar. Pengembangan infrastruktur dan perkebunan yang
semakin meluas dan pertumbuhan penduduk yang sangat cepat telah menghilangkan
sebagian besar daerah-daerah regulator air tinggi di kawasan pegunungan Jawad an
pegunungan sepanjang Bukit Barisan Sumatera serta daerah penyedia pangan di Pulau
Jawa.
Kondisi yang hampir serupa terjadi di Kalimantan dan Sulawesi, meskipun belum
mencapai tahap menghawatirkan seperti di Jawa dan Sumatera. Pulau Kalimantan dan
Sulawesi yang secara luas dikenal sebagai wilayah yang sangat kaya dengan
keanekaragaman hayati dan bahan tambang, mulai mempercepat pengembangan wilayah
melalui pengembangan infrastruktur konektivitas antar daerah dan pengembangan kawasan
ekonomi khusus, terutama di sekitar perbatasan. Meningkatnya kejadian banjir di beberapa
tempat di Kalimantan merupakan dampak nyata dari mulai menurunnya kualitas jasa regulator
air akibat eksploitasi hutan, meningkatnya areal pertambangan, dan meluasnya perkebunan-
perkebunan sawit, selama beberapa tahun terakhir. Dengan meningkatnya konektivitas
wilayah, beberapa wilayah dengan jasa relulator dan penyimpan air tinggi di sepanjang
Pegunungan Muller Schwaner, pegunungan Meratus, kawasan gambut yang luas di
Kalimantan Tengah dan Kalimatan Barat, dan Kawasan ekosistem Karst diperkirakan akan
menjadi kawasan paling beresiko untuk mengalami degradasi. Selanjutnya, Kepulauan Bali
dan Nusa Tenggara dalam beberapa tahun telah mengembangkan diri dan memacu kegiatan
ekonomi berbasis pariwisata. Bali dan Nusa Tenggara Barat merupakan kawasan penting
nasional dari sisi suplai pangan karena merupakan salah satu Lumbung Pangan Nasional.
Kondisi jasa pangan tinggi, terutama pada daerah-daerah pertanian tradisional di Nusa
Tenggara Barat mulai mendapat tekanan dari pesatnya perkembangan perkotaan sedangkan
daerah jasa regulator tinggi mendapat tekanan dari perluasan permukiman di perdesaan dan
tumbuhnya kawasan wisata baru. Sementara itu, Pulau Papua dalam perkembangan sampai
saat ini masih mampu menjaga kualitas maupun kuantitas jasa lingkungan tinggi untuk
regulator dan penyimpanan air. Tutupan hutan yang masih luas dan rapat, perkembangan
infrastruktur dan kawasan pengembangan yang belum secepat di daerah lain, ikut membantu
menjaga dan memelihara kualitas jasa dan fungsi lingkungan hidup dalam kondisi baik.
Dari waktu ke waktu, pemakaian energi fosil di Indonesia menunjukkan tren yang terus

36
meningkat di semua sektor. Selama 1990-2000 meningkatnya konsumsi energy pada sektor
domestic terus menunjukkan peningkatan meskipun tidak terlalu besar dibandingkan sektor
domestik terus menunjukkan peningkatan meskipun tidak terlalu besar dibandingkan sektor
industri dan transportasi. Transportasi menjadi salah satu sektor yang paling banyak
menggunakan bahan bakar fosil. Sektor ini terus menunjukkan tren naik di semua jenis
transporasi baik darat, laut dan air (SLHI, 2010). Peningkatan terbesar terjadi pada
transportasi darat dengan kenaikan total kendaraan bermotor berkisar 10% (BPS, 2012).
Sepeda motor merupakan moda transportasi darat yang mengalami peningkatan paling tinggi
dan terjadi merata hampir di seluruh provinsi. Dampak dari pemakaian energi fosil sangat
besar pengaruhnya pada kualitas udara.
Secara global, pencemaran air berasal dari limbah cair domestic dan industri yang
tidak dikelola, sampah domestic, pemakaian air berlebihan, dan penataan fungsi lahan yang
tidak baik. Hal tersebut kemudian diperparah dengan masih banyaknya masyarakat (30%)
yang masih buang air besar di badan air. Setiap hari sekitar 14.000 ton tinja manusia belum
dikelola dengan benar sehingga berdampak pada menurunnya kualitas air. Selain hal
tersebut, kondisi ketersediaan air juga terganggu. Alih fungsi lahan pada daerah-daerah
resapan air meningkatkan aliran permukaan (run-off) di kawasan hilir, yang menyebabkan
meningkatnya potensi banjir. Hasil pemantauan 2008-2012 menunjukkan kualitas air sungai
cenderung menurun, terutama di Pulau jawa dan Sumatera. Sumber utama penemar berasal
dari aktivitas domestik yang terlihat dari parameter organik (proporsi BOD/COD dan
kandungan coliform) terutama di Maluku, Sulawesi Tenggara dan Sumatera Utara. Kualitas
air sungai sebagian besar provinsi memiliki nilai kandungan organic melebihi baku mutu
(diwakili parameter COD). Nilai organic tertinggi terpantau di Jawa Barat, terlihat ada tendensi
menurunnya kualitas air dari perindustrian. Sumber pencemar dari pertanian belum bisa
diidentifikasi karena monitoring rutin pencemar spesifik sektor ini belum dilakukan. Ancaman
pencemaran juga menincar sumberdaya laut.
Beberapa wilayah perairan Indonesia ternyata juga rentan terhadap pencemaran
minyak. Dalam kurun waktu 1997 - 2012 telah terjadi 36 kasus tumpahan minyak, yang
berdampak pada sumberdaya hayati dan non hayati laut (BPS, 2012). Pada 2012,
pemantauan kualitas air laut menggunakan parameter baku mutu air laut (BMAL) untuk
kualitas pelabuhan dan wisata bahari dibeberapa lokasi pelabuhan wisata bahari seperti
Pelabuhan Tanjung Priok, Pelabuhan Ciwandan, Pelabuhan Gorontalo dan Parigi, Teluk
Tomini menujukkan terdapat beberapa parameter yang melebihi baku mutum yaitu
kecerahan. Parameter amoniak yang melampaui baku mutu terdeteksi di Pelabuhan Tanjung
Priok, yang dekat dengan industri, pelabuhan peti kemas, dan pemecah gelombang.
Sementara itu di Pelabuhan Parigi, parameter amoniak di temukan di outlet Sungai Olaya.
Parameter TSS di lokasi wisata Parigi, Teluk Tominim melebihi baku mutu. Kandungan

37
oksigen terlarut (DO) di perkampungan Bajo di Pahuwato, Gorontalo, berada di luar baku
mutu, sedangkan lokasi lainnya masuk dalam baku mutu. Kandungan minyak lemak di laut
lepas dekat perkampungan Bajo dan wisata Parigi terdeteksi melebihi baku mutu.
Hutan tropis merupakan ekosistem yang kaya akan keanekaragaman hayati, berperan
dalam penyediaan jasa lingkungan dan tempat bergantung masyarakat yang hidup di sekitar
hutan. Selain itu, hutan tropis merupakan ekosistem yang menyimpan karbon terrestrial dalam
jumlah yang sangat besar. Deforestasi dan degradasi hutan akan menyebabkan pelepasan
emisi karbon dioksida ke atmosfer, sehingga mempengaruhi iklim secara global. Pada tahun
2008, emisi dunia dari proses deforestasi dan degradasi hutan mencapai 4,4 giga ton Co atau
11% dari total emisi anthropogenik (UNEP,2011), karena itu perlindungan hutan tropis
menjadi agenda internasional dalam rangka mitigasi perubahan iklim melalui mekanisme
Reduction Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+). REDD+ telah
disepakati dalam Conference On Paties 16 (COP 16) di Cancun tahun 2010. Indonesia dan
Brasil berperan penting dalam upaya mitigasi REDD+ karena memiliki hutan yang sangat luas.
Berdasarkan interpretasi Citra Satelit Landsat 7 ETM+, dalam kurun waktu tahun 2000 -2011
telah terjadi deforestasi di Indonesia seluas 6,5 juta hektar.
Dinamika deforestasi terkait dengan beberapa faktor, baim secara langsung (agent)
maupun tidak langsung (driving force) (Sunderling, W.D & Resosudarmo, 1996). Faktor
langsung berarti pelaku dan penyebab secara langsung mengubah tutupan hutan menjadi
peruntukan lain, misalnya kebakaran hutan, ekspansi lahan pertanian, perumahan dan
pertambangan. Faktor secara tidak langsung berupa kondisi sosial, ekonomi, dan politik pada
skala nasional, regional, maupun global. Beban pencemaran dan kerusakan tutupan hutan
pada akhirnya mengancam keragaman keanekaragaman hayati Indonesia. Pembangunan
ekonomi yang dilaksanakan dengan tidak memperhatikan kondisi lingkungan akan
mendorong laju kepunahan dan tingkat keterancaman keanekaragaman hayatu, karena itu
perlindungan terhadap jenis flora dan fauna terancam menjadi prioritas pemerintah.
Pembangunan nasional dewasa ini harus mengedepankan asas berkelanjutan
sebagai isu utama, yakni mengutamakan aspek pengelolaan lingkungan hidup. Tidak dapat
dipungkiri bahwa kondisi lingkungan hidup Indonesia sudah mengalami degradasi, dilihat dari
dua parameter yakni daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Kondisi ini terjadi
akibat tingkat pemanfaatan sumberdaya alam yang lebih tinggi daripada daya dukung dan
daya tampungnya. Pembangunan nasional selama ini memang lebih banyak bertumpu pada
pemanfaatan sumberdaya alam baik sumberdaya hutan, sumberdaya pertambangan seperti
migas maupun mineral, dan sebagainya. Kondisi ini menjadikan pembangunan nasional yang
selama ini dilakukan cenderung belum sepenuhnya berorientasi pada pengelolaan
lingkungan. Pengelolaan lingkungan hidup merupakan satu kesatuan sistem ekoregion dari
tingkat Nasional sampai Kabupaten/ Kota, sehingga perlu dianalisis isu strategis pengelolaan

38
lingkungan secara hirarkis untuk memberikan gambaran keterkaitan lingkungan. Berikut
disampaikan Isu Strategis Lingkungan Hidup tingkat Nasional, Ekoregion, Provinsi dan
Kabupaten.
Dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, 2 (dua) hal utama yang secara nasional
dihadapi sebagai isu strategis yang berkaitan dengan menurunnya kualitas dan daya dukung
lingkungan hidup adalah :
1) Menurunnya kemampuan ekosistem untuk menjaga keseimbangan siklus air siklus
hidrologi, terutama di Jawa dan Sumatera sudah sangat terganggu. Bencana alam yang
semakin sering terjadi merupakan salah satu indikasi yang dapat dirujuk. Ekosistem tidak
lagi mampu menampung dan menyalurkan air dengan semestinya. Oleh karena itu,
pengelolaan lingkungan hidup ke depan harus dapat menjamin pulihnya kemampuan
ekosistem untuk menyerap, menahan, menyimpan dan mengatur distribusi air. Daerah-
daerah yang menjadi resapan air harus dilindungi ekosistemnya, dipulihkan
kerusakannya, dan ditingkatkan kualitas tutupan hutannya. Sedangkan daerah-daerah
yang merupakan penyimpan air alami harus dipulihkan dan dibebaskan dari area
terbangun.
2) Berkurangnya luasan lahan pangan kualitas tinggi di daerah - daerah lumbung pangan
tradisional, Berdasarkan perhitungan Bappenas, Indonesia diproyeksikan akan dihuni
oleh ± 305,6 juta jiwa pada tahun 2035. Diperlukan produksi pangan yang besar untuk
dapat mendukung jumlah penduduk tersebut, yang selama ini dipasok dari lahan-lahan
sawah tradisional di Jawa, Sumatera, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Perkembangan
pembangunan yang pesat, terutama di Jawa dan Sumatera, menyebabkan banyak lahan-
lahan pangan produktif berubah fungsi menjadi perumahan, kawasan indutri, jalan tol,
atau area terbangun lainnya. Untuk mendorong penyelesaian isu tersebut, pengelolaan
lingkungan hidup ke depan harus mampu melindungi lahan-lahan pangan produktif,
mencegah alih fungsi lahan pertanian, dan memperketat penggunaan lahan yang
potensial untuk pangan menjadi daerah-daerah terbangun. Disamping itu, perlu
dikembangkan sumber-sumber pangan baru yang mempunyai kemampuan adaptasi
tinggi di luar Jawa.

39
Gambar 2.6. Peta Ekoregion Pulau Jawa

Ekoregion Pulau Jawa dipengaruhi proses vulkanik, struktural, denudasional


(pelapukan dan erosi) dan solusional (pelarutan batu gamping), serta fluvial. Kawasan
ekoregion Pulau Jawa memiliki berbagai tipe ekosistem alami dan buatan. Ekosistem alami
didominasi oleh ekosistem hujan tropika di dataran pegunungan/ perbukitan vulkanik,
pegunungan/ perbukitan struktural yang tersebar di bagian tengah serta beberapa bagian di
selatan Jawa. Ekosistem buatan yang merupakan kawasan perkotaan yang padat
pemukiman, kawasan industri dan kawasan budidaya pertanian/beras serta budidaya hutan
tersebar di bagian utara Pulau Jawa.
Ekoregion pulau Jawa memberikan jasa layanan ekosistem sebagai berikut:
a) Jasa Penyimpan air,
b) Jasa Pengaturan Tata Air dan Banjir
c) Jasa Penyedia pangan

Wilayah jasa penyimpan air di Pulau Jawa tersebar di 1) dataran fluvial di pesisir utara
Jawa Barat, di sebagian pesisir utara jawa tengah dan banten, 2) pegunungan vulkanik di
jawa barat, jawa tengah, jawa timur dan 3) pegunungan solusional karst di sebagian pesisir
selatan jawa tengah. Sedangkan untuk Jasa Tata Air dan Banjir tinggi di Ekoregion Pulau
Jawa tersebar di daerah pegunungan/perbukitan vulkanik di pulau Jawa yang saat ini masih
berstatus sebagai kawasan hutan. Sebagai catchment area, wilayah-wilayah tersebut akan
menahan Air hujan dan menyalurkan air ke daerah hilir secara bertahap. Pulau Jawa yang

40
memiliki banyak gunung berapi aktif, menjadikan ekoregionnya didominasi oleh dataran
vulkanik dan fluvial yang sangat subur untuk dijadikan lahan sawah dan tanaman semusim
lainnya. Secara umum hampir seluruh Ekoregion Jawa memiliki jasa lingkungan penyedia
bahan pangan, baik dari lahan kering maupun lahan basah. Ekoregion Jawa memiliki kawasan
budidaya yang luas, untuk persawahan terhampar pada ekoregion dengan karakteristik
dataran fluvial dan dataran vulkanik.

41
Tabel 2.12. Isu Strategis Ekoregion Pulau Jawa
Pendorong Tekanan Dampak Kondisi Lingkungan
Pertumbuhan penduduk di a. Pemekaran perkotaan a. Turunnya kemampuan produksi a. Rusaknya kemampuan daya
Perkotaan menyebabkan alih fungsi lahanm pangan; tamping air di dataran fluvial
pertanian; b. Turunnya daya dukung b. Subsiden di pesisir utara Jawa
b. Kebutuhan Air baku &SDA penyediaan air
meningkat
Kebijakan Pemerintah untuk a. Alih fungsi lahan budidaya pertanian a. Turunnya kemampuan produksi a. Indeks pencemaran di atas
Industrialisasi sekitar perkotaan menjadi kawasan pangan; ambang batas di wilayah
industry; b. Turunnya daya dukung perkotaan;
b. Kebutuhan air, SDA dan energy; penyediaan air b. Banyak kasus penyakit akibat
c. Urbanisasi untuk bekerja di sektor pencemaran;
Industri sekunder dan tersier c. Kualitas air baku menurun;
d. Subsiden akibat eksploitasi air
tanah.
Pembangunan infrastruktur a. Alih fungsi lahan budidaya pertanian a. Turunnya kemampuan jasa a. Kejadian banjir di wilayah
sekitar perkotaan menjadi kawasan lingkungan dalam menahan air perkotaan dan pesisir utara
industry; hujan; jawa;
b. Kebutuhan air, SDA dan energy; b. Merosotnya ketersediaan SDA. b. Kelangkaan air bersih di
c. Urbanisasi untuk bekerja di sektor wilayah perkotaan
Industri sekunder dan tersier
Tekanan ekonomi masyarakat a. Alih fungsi hutan menjadi lahan a. Turunnya kemapuan jasa
pedesaan dan permintaan pasar budidaya pertanian lingkungan dalam menahan air
hujan

42
Mencermati permasalahan-permasalahan lingkungan yang ada, diperlukan rencana
pengelolaan yang baik dan berbasis kelingkungan sehingga dapat lestari dalam jangka waktu
panjang. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan mengacu dalam UndangUndang Nomor 32
Tahun 2009. Memahami isi dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolan Lingkungan Hidup, maka setiap Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota
WAJIB menyusun dokumen-dokumen lingkungan hidup yang diatur dalam pasal-pasal
berikut. Bab II bagian Ketiga tentang Ruang Lingkup Pasal 4 menyatakan bahwa perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi: Perencanaan, Pemanfaatan, Pengendalian,
Pemeliharaan, Pengawasan, dan Penegakan Hukum. Pada pasal-pasal berikutnya dijelaskan
tentang definisi, cakupan kajian, cakupan wilayah, dan tujuan dari masing-masing tahapan
tersebut. Bab II Pasal 5 menyatakan bahwa pada tahap PERENCANAAN perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, harus dilaksanakan kegiatan-kegiatan, berupa: inventarisasi
lingkungan hidup, penetapan wilayah wilayah ekoregion, dan penyusunan Rencana
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH). Pasal 1 ayat (29) menjelaskan
bahwa ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora,
dan fauna asili, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas
sitem alam dan lingkungan hidup.

Gambar 2.7. Muatan Kegiatan dalam setiap Tahapan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup berdasarkan UUPLH No 32 Tahun 2009

UUPLH Nomor 32 Tahun 2009 tersebut memberikan pedoman secara jelas kepada
Pemerintah Daerah bahwa untuk dapat melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup secara baik. Pasal 12 yang menyebutkan bahwa apabila Rencana Perlindungan dan

43
Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) belum tersusun, maka pemanfaatan sumber daya
alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung. Keterkaitan daya dukung
dan daya tampung dengan KLHS, RPPLH, dan pemanfaatan sumberdaya alam sebagaimana
digambarkan pada diagram di bawah ini.

Gambar 2.8. Bagan Keterkaitan Daya Dukung Lingkungan Hidup

2.4. Daya Tampung dan Daya Dukung Lingkungan Hidup


Nilai ambang batas tertinggi dan terendah dari kandungan zat-zat, mahluk hidup atau
komponen – komponen lain dalam penilian kualitas lingkungan. Dengan kata lain, dikatakan
lingkungan daya tampungnya terlampaui apabila kondisi lingkungan sudah melewati ambang
batas yang telah ditetapkan. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan
hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke
dalamnya (UU No 32 Tahun 2009).
Kualitas lingkungan dapat terjaga dan terpelihara dengan baik apabila manusia
mengelola daya dukung pada batas antara minimum dan optimum. Daya dukung lahan
dihitung dari kebutuhan lahan per kapita. Daya dukung lahan dapat diketahui melalui
perhitungan daya tampung lahan. Nilai yang didapat dari hasil perhitungan daya tampung
dapat digunakan sebagai acuan untuk mengetahui kawasan mana saja yang berada pada
kondisi ambang batas yang masih dapat dimanfaatkan. Batas di antara titik keseimbangan
tersebut yang dinamakan daya dukung lingkungan. Menurut Soemarwoto (1985 dan 1990)
dalam Hadi (2001:12) menjelaskan bahwa semakin tinggi tingkat kepadatan penduduk
semakin tinggi pula tingkat permintaan terhadap lahan. Jika ketersediaan lahan tidak
mencukupi maka respon yang muncul di antaranya adalah membuka hutan dan menanami
daerah rawan erosi, dan hal yang demikian ini menunjukkan kondisi lapar lahan.
Carrying Capacity/CC (kapasitas daya tampung) merupakan kemampuan optimum
lingkungan untuk memberikan kehidupan yang baik dan memenuhi syarat kehidupan

44
terhadap penduduk yang mendiami lingkungan tersebut. Apabila kemampuan optimum telah
terpenuhi, sedangkan populasi cenderung meningkat maka akan terjadi persaingan dalam
memperebutkan sumberdaya. Untuk mengurangi disparitas pemenuhan kebutuhan masing-
masing individu akan sumberdaya maka diperlukan sebuah teknologi yag dapat membantu
memperbesar kapasitas sumberdaya. Adanya konsep Carrying Capacity (CC) berdasarkan
sebuah pemikiran bahwa lingkungan mempunyai batas kapasitas maksimum guna
mendukung pertumbuhan populasi penduduk yang berbanding lurus dengan azas
manfaatnya.
Konsep dasar dari pembangunan berkelanjutan memiliki dua konsep yaitu konsep
kebutuhan dan konsep keterbatasan. Sebuah konsep dari pemenuhan kebutuhan difokuskan
untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, sedangkan konsep dari keterbatasan adalah
ketersediaan dan kapasitas yang dimiliki dari lingkungan untuk memenuhi kebutuhan
tersebut. Berlanjutnya pembangunan untuk menciptakan keseimbangan antara kebutuhan
dan keterbatasan yang ada pada saat itu. Upaya keseimbangan itu dapat dilakukan dua arah
yaitu dengan mengandalkan kebutuhan dengan mengubah perilaku konsumsi dan sebaliknya
meningkatkan kemampuan untuk meminimalkan keterbatasan. Kegiatan yang dilakukan pada
saat ini untuk memenuhi kebutuhan harus mempertimbangkan keberlanjutan dari kota
tersebut dalam jangka waktu yang panjang.
Selain perhatian dari manusia selaku yang menempati lingkungan tersebut, faktor
yang menentukan bagi keberlangsungan hidup adalah daya dukung alam yang sangat
berpengaruh besar terhadap keberlangsungan hidup manusia. Maka kemampuan dari daya
dukung alam tersebut harus dijaga agar tidak merusak dan berakibat buruk pada kehidupan
makhluk hidup yang ada di dalamnya. Secara umum kerusakan daya dukung alam
dipengaruhi dua faktor yaitu:
a) Faktor internal, yaitu kerusakan yang berasal dari alam itu sendiri. Kerusakan karena
faktor internal pada daya dukung alam sulit untuk dicegah karena adalah proses alami
yang terjadi oleh alam itu sendiri, misalkan sebagai contoh gempa bumi, gunung berapi
dan tsunami.
b) Faktor eksternal, yaitu kerusakan yang diakibatkan oleh ulah manusia dalam rangka
meningkatkan kualitas dan kenyamanan hidupnya, misalnya kerusakan yang diakibatkan
oleh kegiatan industri, seperti tambang minyak, tambang emas dsb, kegiatan ini dapat
mencemarkan baik darat, air dan udara.
Lingkungan tidak hanya lingkungan alamiah saja, namu juga lingkungan sosial dan
lingkungan binaan. Lebih lanjut lagi, daya dukung dapat diperluas menjadi daya dukung
alamiah (lingkungan alam), daya dukung sosial (yang berupa ketersediaan sumber daya
manusia dan kemampuan finasial). Jadi dengan adanya pengelolaan lingkungan yang baik
dan perkembangan teknologi, maka daya dukung lingkugan dapat ditingkatkan

45
kemampuannya, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup makhluk yang ada didalam
lingkungan tersebut.
Kota yang “sustainable” adalah kota yang perkembangan dan perkembangannya
mampu memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini, mampu berkompetisi dalam ekonomi
global dengan mempertahankan keserasian lingkungan vitalitas sosial, budaya, politik dan
pertahanan keamanannya, tanpa mengabaikan ataupun mengurangi kemampuan generasi
mendatang dalam pemenuhan kebutuhan mereka (Budiharjo, E. dan D.Sujiarto, 1999).
Tujuan penyusunan Konsep Pedoman Penentuan Daya Dukung dan Daya Tampung
Lingkungan Hidup ini adalah:
a) Mewujudkan penataan ruang wilayah dan pemanfaatan sumber daya alam yang sesuai
dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang dapat menjamin
keberlanjutan suatu wilayah dalam mendukung kebutuhan manusia dan makhluk hidup
lainnya;
b) Menurunkan dampak negatif terhadap lingkungan akibat dari pemanfatan ruang dan
pemanfaatan sumber daya alam yang tidak berdasarkan pada daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup
c) Sebagai dasar perencanaan kerjasama antar daerah dalam pembangunan wilayah,
penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan dan pencadangan sumber daya alam,
pengendalian kerusakan lingkungan hidup dan pengendalian pencemaran lingkungan
hidup.
d) Tersedianya acuan umum pelaksanaan kajian daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup baik pada level nasional, provinsi dan kabupten/kota.

2.3.1. Daya Dukung Lingkungan Hidup


Konsep daya dukung lingkungan sudah mulai banyak diperbincangkan. Mengingat
semakin besarnya tekanan penduduk dan pembangunan terhadap lingkungan. Pertambahan
jumlah penduduk dengan aktifitasnya menyebabkan kebutuhan akan lahan bagi kegiatan
sosial ekonominya (lahan terbangun) makin bertambah dan sebaliknya lahan tidak terbangun
makin berkurang. Selain itu, pertambahan jumlah penduduk juga dibarengi dengan
peningkatan konsumsi sumber daya alam sejalan dengan meningkatnya tingkat sosial
ekonomi masyarakat. Peningkatan jumlah penduduk dan perubahan pola konsumsi
masyarakat akan mempengaruhi daya dukung lingkungannya.
Pengertian daya dukung lingkungan (carrying capacity) dalam konteks ekologis adalah
jumlah populasi atau komunitas yang dapat didukung oleh sumberdaya dan jasa yang
tersedia dalam ekosistem tersebut. Faktor yang mempengaruhi keterbatasan ekosistem untuk
mendukung perikehidupan adalah faktor jumlah sumberdaya yang tersedia, jumlah populasi
dan pola konsumsinya. Konsep daya dukung lingkungan dalam konteks ekologis tersebut

46
terkait erat dengan modal alam. Akan tetapi, dalam konteks pembangunan yang berlanjut
(sustainable development), suatu komunitas tidak hanya memiliki modal alam, melainkan juga
modal manusia, modal sosial dan modal lingkungan buatan. Oleh karena itu, dalam konteks
berlanjutnya suatu kota, daya dukung lingkungan kota adalah jumlah populasi atau komunitas
yang dapat didukung oleh sumberdaya dan jasa yang tersedia karena terdapat modal alam,
manusia, sosial dan lingkungan buatan yang dimilikinya.
Pengertian daya dukung lingkungan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu kemampuan lingkungan untuk mendukung
perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Daya dukung lingkungan adalah jumlah
maksimum manusia yang dapat didukung oleh bumi dengan sumberdaya alam yang tersedia.
Jumlah maksimum tersebut dalah jumlah yang tidak menyebabkan kerusakan pada
lingkungan dan kehidupan di buni dapat berlangsung secara ”sustainable”.
Dalam perkembangannya kemudian, konsep daya dukung lingkungan diaplikasikan
sebagai suatu metode perhitungan untuk menetapkan jumlah organisme hidup yang dapat
didukung oleh suatu ekosistem secara berlanjut, tanpa merusak keseimbangan di dalam
ekosistem tersebut. Penurunan kualitas dan kerusakan pada ekosistem kemudian
didefinisikan sebagai indikasi telah terlampauinya daya dukung lingkungan.
Batas daya dukung ekosistem tergantung pada tiga faktor yaitu:
1) Jumlah sumberdaya alam yang tersedia dalam ekosistem tersebut
2) Jumlah / ukuran populasi atau komunitas
3) Jumlah sumberdaya alam yang dikonsumsi oleh setiap individu dalam komunitas tersebut.
Pengertian modal alam berdasarkan website tersebut adalah meliputi:
1) Sumberdaya alam yaitu semua yang diambil dari alam dan digunakan dengan atau tanpa
melalui proses produksi yang meliputi air, tanaman, hewan, dan material alam seperti
bahan bakar fosil, logam dan mineral. Penggunaan sumberdaya alam ini akan
menghasilkan produk akhir dan limbah.
2) Jasa ekosistem yaitu proses alami yang dibutuhkan bagi kehidupan, seperti sumberdaya
perikanan, lahan untuk budidaya, kemampuan asimilasi air dan udara dan sebagainya.
3) Estetika dan keindahan alam yang memiliki kontribusi dalam meningkatkan kualitas hidup
dan adalah potensi ekonomi untuk pengembangan pariwisata dan rekreasi
Lingkungan mempunyai kemampuan dalam mengasimilasi limbah disebut sebagai daya
tampung lingkungan. Daya tampung lingkungan berdasarkan Undang-undang 23 tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk
menyerap zat, energi, dan/atau komponen lainnya yang masuk atau dimasukkan ke
dalamnya. Padahal sebenarnya daya tampung lingkungan sudah dapat tercakup dalam
pengertian daya dukung lingkungan karena ”mendukung perikehidupan” dapat diartikan
sebagai mendukung ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan sekaligus mengasimilasi

47
limbah dari konsumsi sumberdaya tersebut. Dari pengertian tersebut, daya dukung
lingkungan adalah sesuatu yang bersifat dinamis, dapat terdegradasi atau punah apabila
tidak dilestarikan dan sebaliknya dapat ditingkatkan kemampuannya.

2.3.2. Kemampuan Lahan


Evaluasi lahan merupakan suatu pendekatan atau cara untuk menilai potensi sumber
daya lahan. Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi dan/atau arahan penggunaan
lahan yang diperlukan, dan akhirnya nilai harapan produksi yang kemungkinan akan
diperoleh. Beberapa sistem evaluasi lahan yang telah banyak dikembangkan dengan
menggunakan berbagai pendekatan, yaitu ada yang dengan sistem perkalian parameter,
penjumlahan, dan sistem matching atau mencocokkan antara kualitas dan sifat-sifat lahan
(Land Qualities/Land Characteritics) dengan kriteria kelas kesesuaian lahan yang disusun
berdasarkan persyaratan tumbuh komoditas pertanian yang berbasis lahan. Sistem evaluasi
lahan yang pernah digunakan dan yang sedang dikembangkan di Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat (Litbang deptan, 2013).
Kemampuan lahan adalah penilaian atas kemampuan lahan untuk penggunaan
tertentu yang dinilai dari masing-masing faktor penghambat. Penggunaan lahan yang tidak
sesuai dengan kemampuannya dan tidak dikuti dengan usaha konservasi tanah yang baik
akan mempercepat terjadi erosi. Apabila tanah sudah tererosi maka produktivitas lahan akan
menurun (Arsyad 2010), Evaluasi kemampuan lahan adalah penilain lahan secara sistematik
dan pengelompokkannya kepada kategori berdasarkan sifat potensi dan penghambat
penggunaan lahan secara lestari. Pengklasifikasian lahan dimaksudkan agar dalam
pendayagunaan lahan yang digunakan sesuai dengan kemampuannya dan bagaimana
menerapkan teknik konservasi tanah dan air yang sesuai dengan kemampuan lahan tersebut.
1) Klasifikasi Kemampuan Lahan
Klasifikasi kemampuan lahan (Land Capability Classification) adalah penilaian lahan
(komponen-komponen lahan) secara sistematik dan pengelompokannya ke dalam
beberapa kategori berdasarkan atas sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat
dalam penggunaannya secara lestari. Kemampuan lahan dipandang sebagai kapasitas
lahan itu sendiri untuk suatu macam atau tingkat penggunaan umum. Klasifikasi
kemampuan Lahan dapat dilihat pada Tabel berikut.

48
Tabel 2.13. Klasifikasi Pengembangan Kemampuan Lahan

2) Metode Klasifikasi Kemampuan Lahan


Menurut Hadmoko (2012), beberapa metode klasifikasi kemampuan lahan adalah sebagai
berikut:
a) Overlay Map
Metode ini didasarkan pada overlay atau tumpang tindih peta yang sebelumnya sudah
di skorkan untuk tiap jenis petanya.
b) Metode statistik
Metode ini didasarkan pada analisis statistik variabel penentu kualitas lahan yang
disebut diagnostic land characteristic (variabel x) terhadap kualitas lahannya (variabel
y).
c) Metode matching
Metode ini didasarkan pada pencocokan antara kriteria kesesuaian lahan dengan data
kualitas lahan. Evaluasi kemampuan lahan dengan cara matchingdilakukan dengan
mencocokkan antara karakteristik lahan dengan syarat penggunaan lahan tertentu.
d) Metode pengharkatan (scoring)
Metode ini didasarkan pemberian nilai pada masing-masing satuan lahan sesuai
dengan karakteristiknya

2.3.3. Daya Dukung Sumber Daya Air di Perkotaan


Daya dukung sumber daya air pada suatu wilayah adalah tersedianya potensi sumber
daya air yang dapat dimanfaatkan oleh makhluk hidup yang ada dalam wilayah tersebut.
Potensi air pada suatu wilayah dapat diartikan sebagai supply dan kebutuhan air pada wilayah
tersebut sebagai demand. Idealnya, demand tidak melebihi dari kemampuan supply, jika
demand lebih besar dari supply, maka dapat dikatakan daya dukung air telah terlampaui.
Penerapan teknologi dan pengelolaan lingkungan yang baik dapat mengendalikan kondisi
agar daya dukung air tidak terlampaui. Secara umum beberapa sumber air yang dapat
digunakan sebagai alternatif sumber air bersih adalah sebagai berikut:
1) Air Permukaan
Air yang ada dan mengalir di permukaan tanah, yang termasuk pada golongan air
permukaan antara lain adalah: air laut, air danau, air sungai, air waduk dan air rawa. Air

49
sungai sering digunakan sebagai sumber air baku untuk sarana penyediaan air bersih,
pengairan dan industri. Secara kuantitas, debit aliran sungai umumnya sangat dipengaruhi
oleh musim, begitu juga dengan kualitasnya.
Pada musim penghujan sungai mengalami pengenceran sehingga kadar pencemaran
mengalami penurunan akibat pengenceran tersebut. Perairan tawar di permukaan bumi
dapat membentuk suatu ekosistem, misalnya ekosistem danau atau sungai. Faktor yang
paling mempengaruhi ekosistem perairan adalah oksigen terlarut untuk berlangsungnya
proses fotosintesis, respirasi dan penguraian dalam perairan; cahaya matahari untuk
pengaturan suhu dan berlangsungnya proses fotosintesis.
Beberapa masalah uatam yang terjadi pada air permukaan adalah pengeringan atau
gangguan terhadap kondisi alami (misalnya dampak pembuatan waduk, irigasi);
pencemaran pada badan air misalnya pembuangan limbah industri dan domestik, limbah
pertanian yang dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi yaitu suatu proses perubahan
fisi, kimia dan biologis yang terjadi dalam suatu badan peraiaran (biasanya yang alirannya
lambat) akibat melimpahnya masukan zat hara (umumnya N dan P) dari luar.

2) Air Bawah Tanah


a) Mata air
Pemunculan air tanah yang keluar di permukaan tanah secara alamiah. Debit mata air
yang ada berubah-ubah (fluktuatif) yang umumnya disebabkan oleh pergantian
musim, ada juga yang relatif tetap (kontinu). Beberapa mata air pada musim kemarau
tidak mengalirkan air sama sekali, namun pada musim penghujan airnya akan
mengalir kembali (mata air musiman).
b) Air tanah
Secara kuantitas, jumlah air tanah yang ada di suatu daerah dapat berbeda dengan
daerah lainnya, tergantung dari jumlah cadangan air yang terkandung pada setiap
lapisan pembawa air (aquifer) yang ada di daerah yang bersangkutan dan kapasitas
infiltrasi pada daerah tangkapan air hujan.
Air bawah tanah (ground water) atau aquifer (aquifer) adalah air yang terdapat pada
pori-pori tanah, pasir, kerikil, batuan yang telah jenuh terisi air. Aquifer tidak tertekan
(unconfined aquifer) mendapatkan air dari proses infiltrasi, sedangkan aquifer tertekan
(confined aquifer) airnya berasal dari daerah pengisian (recharge area) atau resapan
air. Muka air tanah (water table) adalah garis batas antara air tanah dengan air bwah
tanah yang jenuh. Muka air tanah akan mengalami kenaikan pada saat musim hujan
dan pada musim kemaru akan mengalami penurunan. Penyebaran air tanah tidak
merata, hal ini disebabkan oleh karakteristik tutupan lahan dan kondisi hidrogeologi
suatu wilayah.

50
Permasalahan air tanah pada suatu wilayah perkotaan biasanya berupa penuruan
kualitas air tanah yang disebabkan antara lain adanya pencemaran dari pertambangan,
pembuangan sampah, penimbunan senyawa berbahaya (radioaktif), penuruan kuantitas
antara lain disebabkan oleh perusakan daerah resapan, pengambilan air berlebihan yang
dapat mengakibatkan turunnya muka air tanah dan terjadinya intrusi air laut (pergeseran batas
air laut dan air tawar kea rah daratan), terjadinya kerucut depresi dan penurunan muka tanah.
Peranan air di alam dan dalam kegiatan manusia sangatlah kompleks, air merupakan
kebutuhan utama bagi manusia untuk memenuhi kebutuhannya seharihari dan melanjutakan
hidupnya, sehingga perlu pendekatan yang menyeluruh untuk melihat interaksi manusia
dengan konteks ekonomi, lingkungan dan sosial. Peranan air pada kegiatan manusia dapat
dilihat ada gambar berikut:

Gambar 2.9. Peran Air Dalam Kegiatan Manusia

2.3.4. Kebutuhan Air Perkotaan


Air merupakan sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan dalam menyokong
kehidupan manusia dan organisme hidup lain di seantero bumi selain sumberdaya lahan.
Pertumbuhan penduduk yang cepat serta perkembangan bidang sosioekonomi
mengakibatkan peningkatan tekanan terhadap sumberdaya air (Ming, 2011). Daya dukung air
menunjukkan kemampuan sumberdaya air dalam menyokong kehidupan masyarakat,
organisme hidup lain dan lingkungan di suatu wilayah yang besarannya dipengaruhi oleh
faktor alam maupun faktor sosial seperti status sosioekonomi, kebijakan nasional

51
tentangsumberdaya air, tingkat pengawasan, kebijakan tentang kependudukan (Kang dan Xu,
2011).
Metoda penentuan daya dukung air menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup Dalam
Penataan Ruang Wilayah yaitu dengan mempertimbangkan ketersediaan dan kebutuhan
akan sumber daya air bagi penduduk yang hidup di suatu wilayah. Dengan metoda ini dapat
diketahui secara umum apakah sumberdaya air di wilayah tersebut dalam keadaan surplus
atau defisit. Keadaan surplus menunjukkan bahwa ketersediaan air tercukupi dan dikatakan
defisit apabila ketersediaan air di suatu wilayah tidak tercukupi. Alur analisis pendekatan daya
dukung air suatu wilayah terlihat dalam gambar di bawah ini:

Gambar 2.10. Penentuan Daya Dukung Air

Kebutuhan air perkotaan meliputi kebutuhan air domestik dan nondomestik.


Perhitungan kebutuhan air domestik, umumnya dihitung dengan cara mengalikan jumlah
penduduk dengan rata-rata konsumsi air per orang per hari. Standar kebutuhan air domestik
adalah dari Dirjen Cipta Karya tahun 2000. dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.14. Standart Konsumsi Air Bersih

Kebutuhan air non domestik untuk perkotaan dikelompokkan berdasarkan jenis


kegiatan yang ada pada suatu perkotaan, biasanya terdiri atas: kebutuhan air untuk kegiatan
pertanian, peternakan, perikanan, industri, fasilitas umum dan sosial, perdagangan dan jasa,
pemeliharaan dan penggelontoran sungai, pemadam kebakaran, dan pertamanan. Standard

52
kebutuhan air nondomestik untuk perkotaan dapat dihitung dengan mengacu pada standard
yang ditetapkan oleh Departemen Pekerjaan Umum.
Kebutuhan air untuk kegiatan industri dalam suatu kawasan perkotaan, khususnya di
Indonesia sangat sulit untuk mendeskripsikan secara tepat atau setidaknya yang dapat
menggambarkan kondisi yang ada. Hal ini dikarenakan minimnya data mengenai industri dan
kapasitas produksinya. Beberapa standard ada yang memakai jumlah pegawai untuk
mengkategorikan jenis industri kemudian kebutuhan air digolongkan berdasarkan jenis
industrinya (kecil, sedang, besar), dan ada pula standard yang memakai data luas lahan
industri sebagai dasar penetapan kebutuhan air rata-rata. Penelitian ini mencoba
mengkombinasikan beberapa standard pemakaian air industri berdasarkan kapasitas
produksi dari masaing-masing jenis industri dengan mengacu pada beberapa literatur yang
ada dan disesuaikan dengan keterbatasan data dan iinformasi yang dimiliki.

2.3.5. Daya Dukung Lingkungan dan Kaitannya dengan Berlanjutnya Kota


Konsep dasar dari pembangunan yang berlanjut ada dua yaitu konsep kebutuhan
(concept of needs) dan konsep keterbatasan (concept of limitations). Konsep pemenuhan
kebutuhan difokuskan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, sementara konsep
keterbatasan adalah ketersediaan dan kapasitas yang dimiliki lingkungan untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Berlanjutnya pembangunan dapat terwujud apabila terjadi keseimbangan
antara kebutuhan dan keterbatasan yang ada saat itu. Upaya keseimbangan itu dapat
dilakukan dua arah yaitu dengan mengendalikan kebutuhan dengan mengubah perilaku
konsumsi dan sebaliknya meningkatkan kemampuan untuk meminimalkan keterbatasan
melalui pengembangan teknologi, finansial, dan institusi. Ativitas yang dilakukan saat ini untuk
memenuhi kebutuhan harus mempertimbangkan keberlanjutan jangka panjang. Daya dukung
alam sangat menentukan bagi keberlangsungan hidup manusia, maka kemampuan daya
dukung alam tersebut harus dijaga agar tidak merusak dan berakibat buruk pada kehidupan
makhluk hidup di dalamnya. Secara umum kerusakan daya dukung alam dipengaruhi oleh
dua faktor:
1) Faktor Internal
Kerusakan karena faktor internal adalah kerusakan yang berasal dari alam itu sendiri.
Kerusakan karena faktor internal pada daya dukung alam sulit untuk dicegah karena
adalah proses alami yang terjadi pada alam yang sedang mencari keseimbangan dirinya,
misalnya letusan gunung berapi, gempa bumi, dan badai.
2) Faktor Eksternal
Kerusakan karena faktor eksternal adalah kerusakan yang diakibatkan oleh ulah manusia
dalam rangka meningkatkan kualitas dan kenyamanan hidupnya, misalnya kerusakan
yang diakibatkan oleh kegiatan industri berupa pencemaran darat, air, laut, dan udara.

53
Lingkungan tidak hanya adalah lingkungan alamiah saja, namun juga lingkungan sosial
dan lingkungan binaan. Lebih lanjut lagi, daya dukung dapat diperluas menjadi daya
dukung alamiah (lingkungan alam), daya dukung sosial (yang berupa ketersedian sumber
daya manusia dan kemampuan finansial). Jadi dengan adanya pengelolaan lingkungan
yang baik dan input teknologi, maka daya dukung lingkungan dapat ditingkatkan
kemampuannya, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup makhluk yang ada didalam
lingkungan tersebut.
Kota yang “sustainable” adalah kota yang perkembangan dan pembangunannya mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini, mampu berkompetisi dalam ekonomi global
dengan mempertahankan keserasian lingkungan vitalitas sosial, budaya, poltik dan
pertahanan keamanannya, tanpa mengabaikan datu mengurangi kemampuan generasi
mendatang dalam pemenuhan kebutuhan mereka ( Budihardjo, E., Sujarto, D. 2005 ).
Untuk menciptakan kota yang berkelanjutan diperlukan lima prinsip dasar, yaitu
Environment (ecology), Economy (employment), Equity Engagement, dan Energy).

2.3.6. Daya Dukung dan Daya Tampung Pangan


Dalam UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan, pertanian
adalah kegiatan mengelola sumber daya alam hayati dengan bantuan teknologi, modal,
tenaga kerja, dan manajemen untuk menghasilkan Komoditas Pertanian yang mencakup
tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan dalam suatu agroekosistem.
Pertanian yang merupakan usaha kegiatan budidaya tanaman bahan makanan, pertanian,
kehutanan dan perternakan. Dimana pertanian merupakan salah satu penyedia pangan bagi
penduduk Indonesia. Ukuran sektor pertanian menjadikan sektor ini pempunyai peran penting
dalam menyediakan input. Sektor pertanian juga merupakan sumber modal yang utama bagi
pertumbuhan ekonomi modern, modal tersebut berasal dari tabungan yang diinvestasikan dan
tabungan berasal dari pendapatan (Arsyad, 1997 dalam Nita, 2017).
Tanaman pangan adalah tanaman-tanaman yang menghasilkan bahan makanan
utama seperti: padi (menghasilkan beras), palawija (menghasilkan jagung), kacangkacangan
dan ubi-ubian. Tanaman-tanaman dapat diusahakan di atas tanah, tanah sawah, ladang,
ataupun pekarangan (Mubyarto, 1985 dalam Moniga). Salah satu tanaman pangan adalah
padi yang menghasilkan beras. Beras adalah bagian bulir (gabah) yang telah di pisahkan dari
sekam. Pada salah satu tahap proses hasil panen padi, gabah di giling dengan alat pengiling
sehinga bagian luar (kulit gabah) dan yg berwarna putih, kemerahan, unggu, atau bahkan
hitam tersebut di namakan beras (Pertanian, 2015).
Dalam Pertanian, 2015 lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan
dibatasi oleh pematang (galengan), saluran untuk menahan/menyaluskan air, yang biasanya
ditanami padi sawah tanpa memandang dari mana diperolehnya atau status tanah tersebut.

54
Termasuk disini lahan yang terdaftar di Pajak Hasil Bumi, iuran pembangunan daerah, lahan
bengkok, lahan serobotan, lahan rawa yang ditanami padi dan lahan bekas tanaman tahunan
yang telah dijadikan sawah, baik yang ditanami padi maupun palawija.
Berdasarkan pengairannya lahan sawah dibedakan menjadi:
1) Lahan Sawah Irigasi
Lahan sawah yang memperoleh pengairan dari sistem irigasi, baik yang bangunan
penyadap dan jaringan-jaringannya diatur dan dikuasai Dinas Pengairan PU maupun
dikelola sendiri oleh masyarakat.
2) Lahan Sawah Tadah Hujan
Lahan sawah yang tidak memperoleh pengairan dan sistem irigasi tetapi bergantung pada
air hujan, pasang surutnya air sungai/laut dan air rembesan.
3) Lahan Sawah Rawa Pasang Surut
Lahan sawah yang tidak memperoleh pengairan dari sistem irigasi tetapi tergantung pada
air hujan, pasang surutnya air sungai/laut/
4) Lahan Sawah Rawa Lebak
Lahan sawah yang tidak memperoleh pengairan dari sistem irigasi tetapi tergantung pada
air rembesan.

2.3.7. Daya Dukung dan Daya Tampung Lahan


Lahan merupakan suatu permukaan datar dengan benda-benda diatasnya, seperti
benda padat, cair, maupun gas (Suryatan, 1985). Pengertian lainnya, lahan adalah segala
sesuatu yang ada di atasnya seperti iklim, relief, tanah air dan tumbuhan yang dapat
mempengaruhi penggunaan lahan, termasuk segala sesuatu yang diakibatkan oleh aktivitas
manusia dimasala lalu maupun saat ini (Arsuad, 1989). Jadi lahan dapat diartikan sebagai
kemampuan maupun sifatnya beserta segala sesuatu yang terdapat diatasnya termasuk
didalamnya kegiatan manusia dalam memanfaatkan lahan. Lahan memiliki banyak fungsi
yang dapat dimanfaatkan oleh manusia dalam usaha meningkatkan kualitas hidupnya.
Lahan merupakan dasar fisik yang dapat di manfaatkan sebagai pembangunan,
industri, perekonomian, pertanian dan tanaman pangan. Menurut UU No. 7 tahun 1996
tentang pangan, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik
yang diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia,
termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan
dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman.
Tanaman pangan adalah tanaman-tanaman yang menghasilkan bahan makanan utama
seperti padi (menghasilkan beras), palawija (menghasilkan jagung), kacang-kacangan dan
ubi-ubian. Tanaman-tanaman dapat diusahakan di atas tanah, tanah sawah, ladang, ataupun
pekarangan (Mubyarto, 1985). Sedangkan swasembada pangan merupakan usaha untuk

55
memenuhi kebutuhan pangan sendiri dengan cara membudidayakan tanaman pangan seperti
seleria (beras dan sejenisnya), palawija, cassava (ubi-ubian) dan lain-lain. Pengertian
pangan, dapat di sumpul kan bahwa segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air
yang dapat menghasilkan bahan makanan utama seperti padi (menghasilkan beras), palawija
(menghasilkan jagung), kacang-kacangan dan ubi-ubian yang di tanam atas tanah, tanah
sawah, ladang, ataupun pekarangan.
Menurut UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, daya dukung lingungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung
perikihidupan manusia, makhluk hidup lain dan keseimbangan antara keduanya. Daya
dukung lahan dapat di nilai menurut ambang batas kesangupan lahan sebagai suatu
ekosistem menahan keruntuhan akibat penggunaan. Daya dukung lahan ditentukan oleh
banyak faktor baik biofisik maupun sosial, ekonomi, budaya yang saling mempengaruhi (FAO,
1999). Daya dukung merupakan hal yang paling penting untuk mengevaluasi sumberdaya
lingkungan hidup serta pemgembangan ekonomi (Jiang et al, 2017). Maka daya dukung
bukan ahanya sebuah konsep ilmiah atau rumus untuk mengetahui pembangunan yang telah
melebihi dan harus di hentikan, tetapi suatu proses dimana untuk mengetahui batasan
pembangunan yang harus diperhatikan sebagai acuan (George & Kumar Kini, 2016).
Salah satu faktor yang berpengaruh besar dan juga sangat dipengaruhi oleh
pembangunan adalah faktor sumberdaya alam dan daya dukung lingkungan, yang
sebenarnya merupakan sumberdaya lahan. Sumber daya alam dan daya dukung lingkungan
ini salah satunya adalah lingkungan fisik yang merupakan tempat dilaksanakan pembangunan
maka diperlukan adanya keselarasan antara pebangunan yang dilakukan dengan daya
dukung fisik serta mengerti kemampuan swasembada beras.
Konsep daya dukung lahan pertanian yang ditemukan oleh Odum, Howard dan Issard
dapat digunakan sebagai dasar untuk menghitung tingkat swasembada pangan beras yang
menjadi kebutuhan pokok penduduk Indonesia. Swasembada beras berarti kemampuan
suatuwilayah untuk mencakup kebutuhan beras bagi penduduknya tanpa perdagangan dari
wilayah lain (mandiri). Terdapat dua komponen perhitungan swasembada beras yaitu
komponen kebutuhan dan ketersediaan (Muta’ali, 2012).
Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk di Indonesia
yang memberikan energi dan zat yang tinggi. Beras merupakan komoditas pangan pokok
yang dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat. Maka Kebutuhan penduduk akan beras
adalah kebutuhan pokok dimana setiap penduduk memiliki batas minimum kebutuhan beras
setiap tahun. Kebutuhan penduduk akan beras menururt BPS tahun 2015 sebesar 144
Kg/kapita/tahun. Dengan menggunakan standar kebutuhan tersebut maka dapat digunakan
untuk mencari kebutuhan penduduk akan beras.
Swasembada beras memiliki arti kemampuan suatu wilayah untuk mencukupi

56
kebutuhan beras bagi penduduknya tanpa perdagangan dengan wilayah lain atau mandiri.
Dalam swasembada beras terdapat 2 komponen yaitu kebutuahan (demand) dan
ketersediaan (Supply). Prinsip swasembada yang dijelaskan juga dapapt digunakan untuk
menilai daya dukun pangan beras yaitu keseimbangan antara ketersediaan beras dan
kebutuhan beras, yang dirumuskan sebagai berikut:

Keterangan:
DDPb = Daya dukung pangan beras
PrL = Produktiitas lahan (yang ditanami padi) (kg/ha)
LLtp = Luas lahan yang ditanami padi (ha)
Α = Indeks konversi dari padi menjadi beras (62,74%)
JP = Jumlah penduduk Stdb = Standar kebutuhan beras (kg), digunakan 114
kg/kapita/tahun (BPS, 2015)

2.5. Konsep Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup


Jika dilihat dari definisinya, daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
merupakan kemampuan lingkungan hidup untuk dapat mendukung perikehidupan manusia,
makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya. Dengan demikian, konsep daya
dukung secara umum dapat dilihat dari dua sisi yaitu:
a. Dari sisi ketersediaan, dengan melihat karakteristik wilayah, potensi sumber daya alam
yang ada di suatu wilayah
b. Dari sisi kebutuhan, yaitu dengan melihat kebutuhan manusia dan makhluk hidup lainnya
dan arahan kebijakan prioritas suatu wilayah

2.5.1. Konsep Daya Dukung dan Daya Tampung Berdasarkan Stok (Ketersediaan Air
dan Ketersediaan Lahan
Daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam perencanaan tata ruang
dimaksudkan agar pemanfaatan ruang berdasarkan tata ruang nantinya tidak sampai
melampaui batas-batas kemampuan lingkungan hidup dalam mendukung dan menampung
aktivitas manusia tanpa mengakibatkan kerusakan lingkungan. Kemampuan tersebut
mencakup kemampuan dalam menyediakan ruang, kemampuan dalam menyediakan
sumberdaya alam, dan kemampuan untuk melakukan perbaikan kualitas lingkungan apabila
terdapat dampak yang mengganggu keseimbangan ekosistem. Penataan ruang yang
mengabaikan daya dukung lingkungan dipastikan akan menimbulkan permasalahan dan

57
degradasi kualitas lingkungan hidup seperti banjir, longsor dan kekeringan, pencemaran dan
lain sebagainya.
Konsep dan metode pengukuran daya dukung lingkungan memiliki banyak definisi,
namun kesamaannya adalah bahwa daya dukung selalu memperhatikan perbandingan dan
keseimbangan antara ketersediaan (suplly) dan permintaan (demand) dan ke-semuanya
disesuaikan dengan tujuan yang diinginkan. Daya dukung lingkungan mengandung
pengertian kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan mahluk hidup secara
optimum dalam periode waktu yang panjang. Daya dukung lingkungan dapat pula diatikan
kemampuan lingkungan memberikan kehidupan organisme secara sejahtera dan lestari bagi
penduduk yang mendiami suatu kawasan.
Penetapan daya dukung lahan untuk hutan atau kawasan hutan dapat dilakukan
melalui berbagai tahapan. Tahapan pertama adalah menetapkan suatu kawasan berdasarkan
fungsinya. Penetapan kawasan ini didasarkan pada kemampuannya untuk mendukung
aktifitas manusa tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan.
Berdasarkan definisi yang umum digunakan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem
berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Sedangkan kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh
pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan yang
ditetapkan pemerintah terdiri atas :
1) Hutan konservasi yang terdiri atas :
a) Hutan Suaka Alam (Cagar Alam dan Suaka Margasatwa),
b) Hutan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya), Taman Wisata Alam),
dan
c) Taman Buru.
2) Hutan lindung
3) Hutan produksi, yang dapat dibedakan atas :
a) Hutan produksi terbatas,
b) biasa, dan
c) Hutan produksi yang dapat dikonversi.

Terkait dengan daya dukung lahan/lingkungan hutan, kawasan hutan lindung dan
hutan produksi menggambarkan kapasitasnya. Kawasan hutan konservasi ditetapkan
berdasarkan terdapatnya flora atau fauna khusus yang perlu dilindungi dari kepunahannya.
Sedangkan kawasan hutan produksi konversi ditetapkan pada lokasi yang seharusnya daya
dukungnya dapat untuk kegiatan budidaya non kehutanan, namun kondisinya saat ini
ditetapkan berpenutupan lahan hutan yang masih bagus kondisinya.

58
Analisis penetapan fungsi kawasan hutan dilakukan dengan berdasarkan SK Menteri
Pertanian No. 837/KPTS/UM/11.1980. dalam metode analisis ini ditentukan tiga factor, yaitu:
1) kemiringan lereng,
2) jenis tanah, dan
3) curah hujan.

Ketiga faktor tersebut masing-masing ditetapkan skornya kemudian hasilnya dijumlah


dan menghasilkan indeks lokasi. Indeks lokasi < 125 dan kemiringan lereng < 8%
direkomendasikan sebagai kawasan permukiman dan tanaman semusim. Indeks lokasi < 125
dan kemiringan lereng < 15% direkomendasikan sebagai kawasan budidaya tanaman
tahunan. Daerah dengan indeks lokasi 125-175 diperuntukkan sebagai kawasan fungsi
penyangga. Daerah dengan indeks lokasi > 175 diperuntukkan sebagai kawasan hutan
lindung.
Tahapan kedua adalah melalui kajian kemampuan lahan. Analisis kemampuan lahan
diarahkan untuk mengetahui potensi lahan bagi penggunaan berbagai sistem pertanian
secara luas dan lestari, berdasarkan cara penggunaan dan perlakuan yang paling sesuai,
sehingga dapat dijamin pemanfaatan lahan dalam waktu yang tidak terbatas.
Analisis kemampuan lahan mengacu pada sistem klasifikasi kemampuan lahan yang
dikembangkan oleh USDA. Metoda klasifikasi tersebut didasarkan pada sejumlah asumsi
sebagai berikut :
1) Klasifikasi kemampuan lahan merupakan klasifikasi yang bersifat interpretative
didasarkan atas sifat-sifat lahan yang permanen. Vegetasi yang ada seperti pohon,
belukar, dan sebagainya tidak dipertimbangkan sebagai sifat-sifat lahan yang permanen.
2) Lahan di dalam satu kelas serupa dalam tingkat kegawatan faktor penghambatnya, tetapi
tidak harus sama dalam jenis faktor penghambat atau tindakan pengelolaan yang
dibutuhkan.
3) Klasifikasi kemampuan lahan bukanlah gambaran produktivitas untuk jenis tanaman
tertentu, meskipun perbandingan masukan terhadap hasil dapat membantu dalam
menentukan kelas.
4) Diasumsikan tingkat pengelolaan yang cukup tinggi.
5) System itu sendiri tidak menunjukkan penggunaan yang paling menguntungkan yang
dapat dilakukan pada sebidang lahan.
6) Apabila faktor penghambat dapat dihilangkan atau perbaikan dilakukan (seperti drainase,
irigasi, penyingkiran batu-batuan), maka lahan dinilai menurut faktor penghambat masih
ada (yang tertinggal) setelah tindakan perbaikan tersebut dilakukan. Besarnya biaya
perbaikan tidak berpengaruh terhadap penilaian.
7) Penilaian kemampuan lahan dari suatu daerah dapat berubah dengan adanya proyek

59
reklamasi yang mengubah secara permanen keadaan dan atau cakupan faktor
penghambat (misalnya pembuatan drainase, irigasi, dan sebagainya).
8) Pengelompokkan kemampuan lahan akan dapat berubah apabila informasi baru tentang
tingkah laku dan respon tanah menjadi tersedia.
9) Jarak ke pasar, macam dan kondisi jalan, lokasi di lapangan, dan keadaan/sifat pemilikan
lahan tidak merupakan kriteria dalam mengelompokkan kemampuan lahan.

Struktur klasifikasi kemampuan lahan terbagi dalam kategori-kategori menurut faktor


penghambat terhadap pertumbuhan tanaman. Kelas merupakan kategori tertinggi dan bersifat
luas/umum. Penggolongan lahan ke dalam kelas kemampuan didasarkan pada intensitas
faktor-faktor penghambat permanen dan sulit diubah. Kelas kemampuan berkisar dari kelas I,
yaitu lahan yang tidak memiliki faktor penghambat utama bagi pertumbuhan tanaman, sampai
kelas VIII, yaitu lahan yang memiliki penghambat-penghambat yang sangat berat sehingga
tidak memungkinkan digunakan untuk sarana produksi tanaman, namun masih dapat
menghasilkan produksi non kayu atau jasa lingkungan. Kawasan hutan atau hutan pada
dasarnya dapat dikembangkan tanpa merusak lingkungan pada lahan dengan kemampuan
lahan kelas VI dan kelas VIII. Kawasan dengan kemampuan lahan kelas VIII hanya sesuai
untuk kawasan hutan lindung atau hutan konservasi.
Tahapan selanjutnya adalah melihat lokasi keberadaan hutan atau kawasan hutannya
ditinjau dari Daerah Aliran Sungai (DAS). DAS secara umum didefinisikan sebagai suatu
hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi pembatas topografi (punggungan bukit) yang
menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara serta mengalirkan melalui
anak-anak sungai dan keluar pada satu titik (outlet). Selanjutnya Departemen Kehutanan
(2001) memberikan pengertian bahwa DAS adalah suatu daerah tertentu yang bentuk dan
sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan kesatuan dengan sungai dan anak-anak
sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal
dari curah hujan dan sumber air lainnya, dan kemudian mengalirkan melalui sungai utamanya
(single outlet).
Pada dasarnya seluruh permukaan bumi terbagi habis dalam DAS, namun untuk
kepentingan perencanaan dan pengelolaannya sub-sub DAS dikelompokkan menjadi satu
DAS dimana sungai utamanya bermuara di laut, danau atau perairan terbuka lainnya.
Morfologi DAS adalah klasifikasi lokasi hulu, tengah atau hilir dari satu jaringan sungai dalam
satu DAS. Klasifikasi didasarkan pada ordo sungai atau tingkat percabangan sungai. Dari
sudut pandang fisiografi (geomorfologi), maka DAS mempunyai 3 (tiga) ciri/watak, yaitu
bagian hulu, tengah, dan hilir. Ciri-ciri DAS dapat digambarkan sebagai berikut :
1) DAS bagian hulu didefinisikan sebagai daerah aliran yang terbatas. Pada bagian hulu
dimana > 70% dari permukaan lahan DAS tersebut umumnya mempunyai kemiringan

60
lahan > 8%. Disini, aspek prioritas pemanfaatan lahan adalah konservasi tanah dan
pengendalian erosi. Secara hidrologis, DAS bagian hulu biasanya membentuk daerah
utama pengisian kembali curah hujan untuk air permukaan dan air tanah dari DAS.
2) DAS bagian tengah didefinisikan sebagai aliran yang terbatas pada bagian tengah,
dimana kurang lebih 50% dari permukaan lahan DAS tersebut mempunyai kemiringan
lahan < 8% serta dimana baik konservasi tanah maupun pengendalian bajir adalah sama
pentingnya. Secara hidrologis DAS bagian tengah membentuk daerah utama transisi
curah hujan untuk air tanah.
3) DAS bagian hilir didefinisikan sebagai daerah aliran yang terbatas pada bagian hilir,
dimana kurang lebih 70% permukaan lahannya mempunyai kemiringan terabaikan dalam
pengembangan tata guna lahan.

Kawasan hutan yang sama dengan kemampuan lahan yang sama bila terletak di hulu
DAS akan memiliki daya dukung yang lebih rendah bila dibandingkan letaknya di bagian
tengah DAS.
Hal terakhir dari penentu daya dukung lahan hutan atau kawasan hutan adalah
penggunaannya saat ini ditinjau dari kesesuainnya dengan fungsi, kemampuan lahan dan
lokasinya. Penutupan lahan adalah kondisi fisik benda atau kenampakan yang ada di
permukaan bumi, misalnya hutan, padang rumput, bangunan gedung, tubuh air. Penggunaan
lahan adalah tutupan biofisik pada permukaan bumi yang dapat diamati merupakan suatu
hasil pengaturan, aktifitas dan perlakuan manusia yang dilakukan pada jenis penutupan lahan
tertentu untuk melakukan kegiatan produksi, perubahan ataupun perwawatan pada
penutupan lahan tersebut.
Untuk menilai daya dukung lahan kawasan hutan maka penggunaan atau penutupan
lahan menjadi salah satu faktor penting. Penutupan lahan yang terbuka akan menurunkan
daya dukung lahan, sebaliknya bila penutupan lahan menutupi sebagian sebagian besar
permukaan tanah akan meningkatkan daya dukungnya. Untuk menilai tingkat daya dukung
lahan kawasan hutan maka penggunaan lahan dapat direklasifikasi berdasarkan derajat
penutupannya.
Kesesuaian penggunaan lahan ini umumnya digunakan untuk menilai daya dukung
lahan pada suatu kawasan, misalnya DAS atau sub DAS. Kawasan yang memiliki kesesuaian
penggunaan yang kecil memiliki daya dukung yang rendah, demikian juga sebaliknya.
Esensi dasar dari daya dukung adalah perbandingan antara ketersediaan dan
kebutuhan atau supply dan demand. Hal ini menjadi penting karena supply umumnya
terbatas, sedangkan demand tidak terbatas. Perhitungan menjadi sulit, karena terlalu banyak
faktor yang mempengaruhi kebutuhan dan ketersediaan. Dengan kata lain, terlalu banyak
elemen yang mempengaruhi komponen daya dukung lingkungan. Kesulitan tersebut

61
mengakibatkan daya dukung umumnya berlaku pada sistem tertutup, tanpa
memperhitungkan interaksi antar wilayah, sehingga lebih banyak berkembang daya dukung
sektoral (pertanian, pariwisata, sosial dan lain-lain) yang dikembangkan berdasarkan tujuan
dan fungsi tertentu.
Beberapa konsep dan perhitungan teknis daya dukung lingkungan yang dapat
digunakan sebagai dasar dalam penyusunan RTRW sangatlah banyak dan beragam serta
tergantung pada tujuan yang diinginkan seperti untuk daya tampung demografis,
keseimbangan pangan, lahan pertanian, penggunaan lahan, keseimbangan kebutuhan lahan,
kebutuhan air dan sebagainya. Selain itu penggunaan penerapan teknik pengukuran daya
dukung lingkungan juga tergantung pada unit analisis yang digunakan.
Selain teknik pengukuran daya dukung lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup
menerbitkan Peratura Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 Tentang
Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup Dalam Penataan Ruang Wilayah,
dengan mendasarkan pada tiga metode yaitu alokasi pemanfaatan ruang berbasis
kemampuan lahan, keseimbangan sumberdaya lahan dan sumberdaya air.
Kemampuan lahan merupakan karakteristik lahan yang mencakup sifat tanah (fisik
dan kimia), topografi, drainase, dan kondisi lingkungan hidup lain. Berdasarkan karakteristik
lahan tersebut, dapat dilakukan klasifikasi kemampuan lahan ke dalam tingkat kelas, sub
kelas, dan unit pengelolaan. Pengelompokkan kemampuan lahan dilakukan untuk membantu
dalam penggunaan dan interpretasi peta tanah. Kemampuan lahan sangat berkaitan dengan
tingkat bahaya kerusakan dan hambatan dalam mengelola lahan.
Hasil akhir kelas kemampuan lahan dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok sebagai
berikut :
a) kelompok pertama adalah kelompok kelas kemampuan untuk penggunaan lahan
pertanian (usaha tani) meliputi kelas I sampai kelas IV;
b) kelompok kedua adalah kelompok kelas kemampuan yang tidak bisa digunakan untuk
pertanian (usaha tani) meliputi kelas V sampai kelas VIII.
Dengan demikian makin tinggi kelasnya semakin rendah kualitas lahannya (Rayes, 2007).
Berdasarkan karakter di atas, maka Muta’ali (2011) menyusun rumusan tentang
Indeks Kemampuan Lahan Wilayah (IKLw) dengan asumsi bahwa kemampuan lahan I-IV
untuk pengembangan kawasan budidaya dan kemampuan lahan V-VIII untuk penetapan
kawasan lindung. Koefisien lindung yang dipakai antara 0,3-0,4 yang memungkinkan suatu
wilayah dapat mengembangkan potensi kawasan budidayanya, namun tetap menjaga
kelestarian fungsi lindungnya, dimana diasumsikan 30% luas wilayah digunakan sebagai
kawasan lindung dan tidak dibudidayakan. Apabila IKLw lebih dari satu, berarti bahwa wilayah
memiliki kemampuan mengembangkan potensi lahannya lebih optimal khususnya untuk
berbagai ragam kawasan budidaya, dengan tetap terjaganya keseimbangan lingkungan.

62
Sedangkan apabila IKLw lebih kecil dari satu, berarti wilayah lebih banyak memiliki fungsi
lindung, khususnya perlindungan terhadap tata air dan gangguan dari persoalan banjir, erosi,
sedimentasi serta kekurangan air. Selain ukuran-ukuran tersebut, indeks kemampuan lahan
suatu wilayah juga dapat dicerminkan oleh rasio antara kepemilikan lahan dengan kelas
kemampuan lahan I-IV dengan jumlah penduduk. Asumsi yang dikembangkan, semakin tinggi
rasio tersebut, maka semakin tinggi tingkat perkembangan wilayah.
Penentuan daya dukung lahan dilakukan dengan membandingkan ketersediaan dan
kebutuhan lahan. Ketersediaan lahan ditentukan berdasarkan data total produksi actual
setempat dari setiap komoditas di suatu wilayah, dengan menjumlahkan produk dari semua
komoditas yang ada di wilayah tersebut. Untuk penjumlahan digunakan harga sebagai faktor
konversi karena setiap komoditas memiliki satuan yang beragam. Sementara itu, kebutuhan
lahan dihitung berdasarkan kebutuhan hidup layak. Bila ketersediaan lahan lebih besar dari
kebutuhan lahan, maka daya dukung lahan dinyatakan surplus. Sedangkan jika ketersediaan
lahan lebih kecil dari kebutuhan lahan, maka daya dukung dinyatakan defisit.
Penentuan daya dukung air dilakukan dengan membandingkan ketersediaan dan
kebutuhan air. Ketersediaan air ditentukan dengan menggunakan metode koefisien limpasan
berdasarkan informasi penggunaan lahan serta data curah hujan tahunan. Sementara itu,
kebutuhan air dihitung dari hasil konversi terhadap kebutuhan hidup layak. Dengan metode
ini, dapat diketahui secara umum apakah sumberdaya air di suatu wilayah dalam keadaan
surplus atau defisit. Nilai ketersediaan air lebih besar dari kebutuhan air, daya dukung air
dinyatakan surplus. Sedangkan jika ketersediaan air lebih kecil dari kebutuhan air, daya
dukung air dinyatakan defisit atau terlampaui. Keadaan surplus menunjukkan bahwa
ketersediaan air di suatu wilayah tercukupi, sedangkan keadaan defisit menunjukkan bahwa
wilayah tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan akan air. Hasil perhitungan dengan metode
ini dapat dijadikan bahan masukan/ pertimbangan dalam penyusunan rencana tata ruang dan
evaluasi pemanfaatan ruang dalam rangka penyediaan sumberdaya air yang berkelanjutan.
Undang-undang Penataan ruang juga memberikan indikator-indikator yang dapat
digunakan untuk menunjukkan kemampuan daya dukung lingkungan yaitu terkait dengan
jumlah dan atau proporsi hutan dalam Daerah Alliran Sungai dan proporsi ruang terbuka hijau
pada RTR perkotaan. Muta’ali (2011) merumuskan indek fungsi lindung DAS, Indek
kemampuan lindung, dan indek ruang terbuka hijau (RTH).

2.5.2. Konsep Supply-Demand


Secara umum konsep daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dapat
digambarkan melalui framework sisi permintaan (demand) dan sisi penawaran (supply side).
Sisi permintaan lebih didasarkan pada kebutuhan (needs) dan pola konsumsi akan sumber
daya alam dan jasa lingkungan seperti lahan, air dan sumber daya alam lainnya. Kebutuhan

63
ini akan banyak dipengaruhi oleh perkembangan penduduk baik di suatu wilayah administratsi
maupun wilayah ekoregion. Interaksi kebutuhan akan sumber daya alam dan jasa lingkungan
dengan jumlah yang diekstrasi akann meninggalkan jejak ekologis (ecological foot print) yang
menunjukkan jejak ekosisitim per satuan penggunaan sumber daya.
Di sisi lain, sumber daya alam menyediakan layanan barang dan jasa yang dapat di
manfaatakan untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Sisi suplay menggambarkan seberapa
besar (baik dari kuantitas maupun kualitas) sumber daya alam mampu mendukung kebutuhan
manusia. Sisi suplai ini bisa digambarkan, misalnya, dengan neraca air, neraca sumber daya
dan lingkungan, neraca lahan, potensi lahan untuk memenuhi kebutuhan produksi setara
beras dan sebagainya. Interaksi penyediaan dan penggunaannya akan menggambarkan
daya dukung sumber daya alam dan lingkungan (carryng capacity). Keseimbangan sisi suplai
dan sisi demand dari sumber daya alam yang digambarkan oleh Ecological Footprint dan
carryng capacity ini akan menentukan besaran daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup beserta status (state) yang diakibatkan oleh pemanfaatan sumber daya alam tersebut.

Gambar 2.11. Konsep DDTLH Dalam Kerangka Supply-Demand

2.5.3. Konsep Jasekom, Konsep Ekosistem Tematik (Sektor Kehutanan,


Pertambangan, Pertanian, Perikanan dll.)
Ekosistem adalah entitas yang kompleks yang terdiri atas komunitas tumbuhan,
binatang dan mikroorganisme yang dinamis beserta lingkungan abiotiknya yang saling
berinteraksi sebagai satu kesatuan unit fungsional (MA, 2005). Fungsi ekosistem adalah
kemampuan komponen ekosistem untuk melakukan proses alam dalam menyediakan materi
dan jasa yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan manusia, baik secara langsung
maupun tidak langsung (De Groot, 1992). Jasa ekosistem adalah keuntungan yang diperoleh

64
manusia dari ekosistem (MA, 2005).
Jasa ekosistem dikategorikan menjadi empat, yaitu meliputi jasa penyediaan
(provisioning), jasa pengaturan (regulating), jasa budaya (cultural), dan jasa pendukung
(supporting) (MA, 2005). Berdasarkan empat kategori ini dikelaskan ada 23 kelas klasifikasi
jasa ekosistem, yaitu (De Groots, 2002) :
a) Jasa penyediaan : (1) Bahan Makanan, (2) Air bersih, (3) Serat, bahan bakar dan bahan
dasar lainnya (4) Materi genetik, (5) Bahan obat dan biokimia, (6) Spesies Hias
b) Jasa Pengaturan : (7) Pengaturan kualitas udara, (8) Pengaturan iklim, (9) Pencegahan
gangguan, (10) Pengaturan air, (11) Pengolahan limbah, (12) Perlindungan tanah, (13)
Penyerbukan, (14) Pengaturan biologis, (15) Pembentukan tanah.
c) Budaya : (16) Estetika, (17) Rekreasi, (18) Warisan dan indentitas budaya, (20) Spiritual
dan keagamaan, (21) Pendidikan.
d) Pendukung : (22) Habitat berkembang biak, (23) Perlindungan plasma nutfah

Daya dukung merupakan indikasi kemampuan mendukung penggunaan tertentu,


sedangkan daya tampung adalah indikasi toleransi mendukung perubahan penggunaan
tertentu (atau pengelolaan tertentu) pada unit spasial tertentu. Untuk menghitung daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup, perlu beberapa pertimbangan. Adapun
pertimbangan tersebut adalah
a) ruang dan sifatnya,
b) tipe pemanfaatan ruang,
c) ukuran produk lingkungan hidup utama (udara dan air),
d) penggunaan/penutupan lahan mendukung publik (hutan),
e) penggunaan tertentu untuk keperluan pribadi.

Pada daerah hutan, untuk mendukung penggunaan milik pribadi dalam unit statis
harus diatur mengenai ukuran luas hutan primer di wilayah tertentu di DAS dan ukuran luas
penggunaan lain, yang tergantung ke hutan secara langsung atau tidak langsung. Hal ini
dikarenakan jika penggunaan ruang tidak sesuai dengan daya dukung dan daya tampung
maka akan menurunkan daya dukung dan proses perusakan atau tanah sudah rusak. Apabila
penggunaannya dalam skala besar, maka dapat sangat cepat menurunkan daya dukung.
Dalam penentuan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup diperlukan pemahaman
karakteristik lahan secara vertikal dan horizontal dan penggunaannya.
Penilaian yang lazim untuk daya dukung dilakukan melalui kemampuan lahan dan
kesesuaian lahan. Penilaian kemampuan lahan lebih umum dibandingkan kesesuaian lahan.
Penggunaan tidak sesuai dengan kemampuan berarti mengarah mengurangi daya dukung
sehingga perlu perubahan teknologi yang dapat merubah daya dukung. Penilaian daya

65
dukung dan daya tampung lingkungan hidup umumnya dalam bentuk vertikal (sifat kualitas),
jarang dinilai dalam bentuk ruang. Kualitas baik dan penggunaan yang tepat akan
berkontribusi di lokasi tertentu. Jika dalam ruang lebih banyak tidak sesuai maka akan
melampau daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Dalam ruang yang besar,
perencanaan akan memasukkan unsur lain dalam bentuk ruang. Dalam pengelolaan kebun
atau HTI di ekosistem gambut lebih sensitif tentang pengaruh penggunaan di lokasi lain dalam
ekosistem yang sama.
Penentuan DDDT (daya dukung dan daya tampung) pertambangan fokus pada kondisi
setelah tambang ditutup. DD (daya dukung) dikaitkan dengan kemampuan menghasilkan
produk, sedangkan DT (daya tampung) dikaitkan dengan kemampuan mengadopsi teknologi
untuk meningkatkan atau kebalikannya. Bahan dan potensi pertambangan tidak terbaharui
dapat menghasilkan landscape yang baik jika didesain sejak awal.
DDDT dapat menjadi referensi penataan ruang. Dalam perencanaan ruang sudah
mengacu daya dukung. Dalam pemanfaatan harus sesuai peruntukan dan memerlukan
persyaratan dalam penggunaannya. Pengendalian dapat mengacu pada DDDT. Secara
spasial harus ada ruang untuk tematik tertentu. Penilaian DD pemanfaatan ruang untuk
pertanian, perkebunan (dan pertambangan) di kawasan budidaya dilakukan berbasis kualitas
lahan dan efeknya ke penyimpanan/supply air, berbagai bentuk ruang, dan teknik
pengelolaannya. Teknik pengelolaan terkait dengan operasional penggunaan lahan dilakukan
mengikuti konsep pengelolaan berbasis konservasi tanah dan air.

2.5.4. Konsep Ecological Footprint


Ecological footprint merupakan suatu pendekatan baru untuk pengelolaan sumber
daya alam berkelanjutan. Istilah jejak kaki atau footprint telah dikenal secara umum dalam
pengelolaan sumber daya alam di dunia internasional sebagai metode perhitungan kuantitatif
yang menunjukkan pemanfaatan sumber daya alam oleh manusia dalam kehidupannya
sehari-hari. Saat ini telah dikenal tiga jenis footprint dalam kehidupan sehari-hari, yaitu
1) ecological footprint,
2) carbon footprint dan
3) water footprint.
Satuan dan sumber daya yang dianalisis secara spesifik oleh masing-masing jenis footprint
tersebut berbeda-beda. Ecological footprint difokuskan untuk menghitung penggunaan lahan
bioproduktif yang digunakan untuk menyokong populasi dunia dan dinyatakan dalam satuan
hektar.
Perhitungan carbon footprint dititik-beratkan pada penghitungan penggunaan energi
yang dinyatakan dalam volume emisi karbondioksida (CO2) menggunakan satuan ton. Water
footprint adalah jenis footprint yang terakhir. Footprint ini menghitung penggunaan air untuk

66
menyokong kehidupan manusia yang dinyatakan dalam satuan volume air (m3).
Konsep ecological footprint (EF) atau jejak kaki ekologis, pertama kali diperkenalkan
oleh William Rees dan Martin Wackernagel pada tahun 1990-an. Konsep ini pada dasarnya
dikembangkan sebagai usaha pencarian indikator untuk pembangunan berkelanjutan dan
khususnya diharapkan dapat menjadi metode untuk mengukur secara kuantitatif mengenai
hubungan perlakuan manusia terhadap bumi dengan daya dukung yang dimiliki oleh bumi itu
sendiri (Wackernagel and Rees, 1996).
Konsep ini menegaskan bahwa hampir semua tindakan dan perilaku hidup manusia
misalnya perilaku konsumsi dan transportasi, akan membawa dampak ekologis atau dampak
bagi lingkungan (Hoekstra, 2007). Pendekatan EF dapat digunakan untuk mendidik
masyarakat mengenai penggunaan sumber daya alam yang berlebihan dan kemampuan
daya dukung bumi untuk menyokong keberlanjutan hidup mereka. Pendekatan ini dapat
digunakan sebagai indikator keberlanjutan. Pendekatan ini juga memberikan penjelasan
mengenai dampak perilaku manusia terhadap lingkungan dan dapat menghubungkannya
dengan daya dukung bumi.
Jenis analisis footprint yang kedua adalah Analisis carbon footprint (CF). Carbon
footprint adalah indikator mengenai dampak aktivitas manusia terhadap iklim global yang
dinyatakan dalam jumlah gas rumah kaca (GRK) yang diproduksi. Carbon footprint secara
konseptual menggambarkan kontribusi individu atau negara terhadap pemanasan global.
Carbon footprint dapat menunjukkan total emisi karbondioksida (CO2) dan gas rumah kaca
lainnya yang diemisikan pada seluruh proses untuk menghasilkan produk atau jasa (Hoekstra,
2008).
Jenis analisis footprint yang terakhir adalah analisis water foootprint (WF). Water
footprint dikembangkan oleh Hoekstra pada tahun 2002. Water footprint dapat
merepresentasikan jumlah volume air tawar yang dibutuhkan untuk menjaga keberlanjutan
suatu populasi, seperti yang diungkapkan oleh Madrid et al “The water footprint represents
the freshwater volume required to sustain a population” (Madridet al., not dated). Hoekstra
dan Chapagain (2004) dalam laporan hasil penelitiannya mendefinisikan water footprint
individu, bisnis atau negara adalah total volume air tawar yang digunakan untuk memproduksi
makanan dan jasa yang dikonsumsi oleh individu, bisnis atau negara. Nilai water footprint
umumnya dinyatakan dalam satuan volume air yang digunakan setiap tahunnya. Saat ini,
water footprint telah berkembang menjadi alat analisis yang digunakan untuk mengarahkan
perumusan kebijakan kearah isu-isu mengenai keamanan air dan penggunaan air yang
berkelanjutan di negara maju (Hoekstra, 2008).

2.5.5. Konsep Wilayah Fungsional/Sistem Ekologis, Bioregion dan Ekoregion


Undang-undang 32 Tahun 2009 mengamanatkan perhitungan daya dukung dan daya

67
tampung berdasarkan pada ekoregion. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan
lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan
keseimbangan antar keduanya. Sedangkan daya tampung lingkungan hidup adalah
kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan / atau komponen lain yang
masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
Dalam ekologi, daya dukung adalah besarnya populasi yang dapat didukung oleh
suatu habitat tanpa merusak kualitas ekosistem secara permanen. Makna daya dukung dalam
udang-undang tidak dapat dimaknai sama dengan pemahaman dalam keilmuan ekologi
tersebut. Kalimat “... kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan
manusia..” sulit untuk diimplementasikan, karena kebudayaan manusia dalam menjalani
hidupnya dipengaruhi oleh variabel teknologi, pola konsumsi yang berbeda, dan perniagaan.
Dengan demikian, perhitungan daya dukung menggunakan batasan habitat, jumlah populasi,
dan perkapita menjadi sulit untuk diaplikasikan untuk perikehidupan manusia. Terminologi
lainnya yang terkait dengan hal di atas adalah human carrying capacity. Human carrying
capacity dapat diinterpretasikan sebagai tingkat maksimum penggunaan sumber data dan
debit limbah yang dapat ditanggung tanpa merusak fungsi, integritas, dan produktivitas dari
ekosistem.
Berdasarkan UU 32/2009, penentuan daya dukung dan daya tampung didasarkan
pada hasil inventarisasi lingkungan hidup berupa data dan informasi sumber daya alam yang
meliputi: potensi dan ketersediaan, jenis yang dimanfaatkan, bentuk penguasaan,
pengetahuan pengelolaan, bentuk kerusakan, konflik, dan penyebab konflik. Jika
ketersediaan data dan informasi tersebut tersedia dengan baik, maka ekoregion akan menjadi
unit analisis untuk menentukan daya dukung dan daya tampung serta cadangan sumber daya
alam. Tentunya yang menjadi pertanyaan adalah:
a) Ketersediaan data dan informasi seperti yang dimaksudkan di atas.
b) Bagaimana informasi mengenai sumber daya alam tersebut dapat ditransformasikan
menjadi informasi daya dukung dan daya tampung?

Konsepsi Jasa Ekosistem, Daya Dukung dan Daya Tampung


Menurut UU 32/2009 penentuan daya dukung dan daya tampung berdasarkan pada
inventarisasi lingkungan hidup dan ekoregion. Inventarisasi lingkungan hidup dilaksanakan
untuk memperoleh data dan informasi mengenai sumber daya alam. Pemetaan ekoregion
ditujukan untuk:
a) Unit analisis dalam penetapan daya dukung dan daya tampung
b) Dasar dalam penyusunan RPPLH
c) Memperkuat kerjasama dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup
d) Acuan untuk pengendalian dan pelestarian jasa ekosistem

68
e) Acuan pemetaan pada skala yang lebih besar

Hubungan antara ekoregion dengan daya dukung dan daya tampung dapat dilihat pada
gambar berikut ini.

Gambar 2.12. Hubungan Ekoregion, Jasa Ekosistem, Daya Dukung, dan Daya Tampung

Pada ekosistem terdapat struktur dan proses. Struktur ekosistem adalah berbagai elemen
biotik dan abiotik yang terdapat pada ekosistem tersebut. Sedangkan proses pada ekosistem
adalah interaksi antar elemen tersebut yang biasanya berupa aliran materi, aliran energi, dan
aliran informasi. Konsep ekoregion dapat dikatakan sebagai bentuk implementasi konsep
ekosistem, atau dapat dikatakan sebagai ekosistem region.
Peta ekoregion yang sudah dikembangkan pada saat ini didasarkan pada karakteristik
bentang alam, berupa geomorfologi, dan morfogenesa. Peta ekoregion telah mampu
mendeliniasi batas-batas karakteristik tersebut, sehingga dapat terlihat perbedaan
karakteristiknya. Sebagai ekosistem, setiap karakteristik ekoregion akan membentuk
ekosistem dengan fungsi ekosistem yang berbeda menurut karakteristiknya. Namun
demikian, peta ekoregion belum cukup untuk memberikan informasi jasa ekosistem, namun
bisa memberikan indikasi fungsi yang mungkin dominan pada suatu ekoregion.
Klasifikasi fungsi ekosistem ada empat (de Groot et al, 2000), yaitu: fungsi pengaturan, fungsi
habitat, fungsi produksi, dan fungsi informasi. Fungsi pengaturan merupakan fungsi yang
memberikan jasa ekosistem berupa kapasitas alami atau semi alami untuk mengatur proses
ekologi dan mendukung sistem kehidupan. Fungsi habitat memberikan jasa ekosistem berupa
tempat untuk tinggal dan berkembang biak. Fungsi produksi memberikan jasa ekosistem
berupa penyediaan materi dan energi yang dibutuhkan oleh kehidupan. Sedangkan fungsi
informasi memberikan jasa ekosistem yang bermanfaat bagi kesehatan jiwa manusia.
Jika dikaitkan dengan daya dukung dan daya tampung, fungsi ekosistem dapat mewakili
keduanya. Dapat diartikan bahwa daya dukung dan daya tampug merupakan kapasitas fungsi
ekosistem dan jasa ekosistem dalam mendukung perikehidupan manusia atau makhluk
lainnya yang berada pada suatu lokasi tertentu (ekoregion). Fungsi regulasi akan dapat
mendukung daya tampung, sedangkan ketiga fungsi lainnya akan mendukung daya dukung.

69
Penggunaan sumber daya oleh manusia untuk kepentingan dan kesejahteraan manusia inilah
yang disebut dengan jasa ekosistem. Kesejahteraan manusia dapat menjadi indikator
kesehatan ekosistem atau kesehatan lingkungan hidup pada suatu wilayah. Pemetaan jasa
ekosistem yang berbasiskan pada data spasial akan memberikan keuntungan karena dapat
disintesiskan dengan peta ekoregion.
Sebagai unit analisis dalam penetapan daya dukung dan daya tampung, peta ekoregion tidak
dapat langsung digunakan, tetapi harus disintesis dengan data lainnya sehingga dapat
memberikan informasi yang dibutuhkan. Salah satunya adalah peta jasa ekosistem.

Metode Pemetaan Jasa Ekosistem


Ekosistem adalah entitas yang kompleks yang terdiri atas komunitas tumbuhan, binatang, dan
mikroorganisme yang dinamis beserta lingkungan abiotiknya yang saling berinteraksi sebagai
satu kesatuan unit fungsional (MA, 2005). Fungsi ekosistem adalah kemampuan komponen
ekosistem untuk melakukan proses alam dalam menyediakan materi dan jasa yang
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan manusia, baik secara langsung maupun tidak
langsung (De Groot, 1992). Jasa ekosistem adalah keuntungan yang diperoleh manusia dari
ekosistem (MA, 2005).
Jasa ekosistem dikategorikan menjadi empat, yaitu meliputi jasa penyediaan (provisioning),
jasa pengaturan (regulating), jasa budaya (cultural), dan jasa pendukung (supporting) (MA,
2005). Berdasarkan empat kategori ini, dikelaskan ada 23 kelas klasifikasi jasa ekosistem,
yaitu (De Groots, 2002):
Jasa ekosistem dikategorikan menjadi empat, yaitu meliputi jasa penyediaan (provisioning),
jasa pengaturan (regulating), jasa budaya (cultural), dan jasa pendukung (supporting) (MA,
2005). Berdasarkan empat kategori ini, dikelaskan ada 23 kelas klasifikasi jasa ekosistem,
yaitu (De Groots, 2002):
a) Jasa Penyediaan: (1) Bahan makanan, (2) Air bersih, (3) Serat, bahan bakar, dan bahan
dasar lainnya, (4) Materi genetik, (5) aitu (De Groots, 2002): Bahan obat dan biokimia, (6)
Spesies hias.
b) Jasa Pengaturan: (7) Pengaturan kualitas udara, (8) Pengaturan iklim, (9) Pencegahan
gangguan, (10) Pengaturan air, (11) Pengolahan limbah, (12) Perlindungan tanah, (13)
Penyerbukan, (14) Pengaturan biologis, (15) Pembentukan tanah.
c) Budaya: (16) Estetika, (17) Rekreasi, (18) Inspirasi, (19) Warisan dan indentitas budaya,
(20) Spiritual, (21) Pendidikan.
d) Pendukung: (22) Habitat berkembang biak, (23) Perlindungan plasma nutfah.

Untuk melihat jasa ekosistem dalam suatu ekoregion maka dilakukan suatu metode valuasi
jasa ekosistem dengan pendekatan landuse based proxy. Berdasarkan pada Peta Tutupan

70
Lahan akan diperhitungkan indeks jasa ekosistem perkelas lahan dan indeks jasa ekosistem
total (IJET) (Mashita, 2012). Pendekatan ini dimaksudkan untuk melihat pola distribusi dan
kualitas secara spasial dari setiap jasa ekosistem pada setiap ekoregion yang dinilai melalui
peta tutupan lahannya.

Aplikasi Peta Ekoregion dan Peta Jasa Ekosistem


Peta ekoregion dan peta jasa ekosistem dapat menjadi sumber informasi dalam menetapkan
daya dukung dan daya tampung. Dari kedua peta tersebut dapat dilihat pada satu satuan
ekoregion jasa ekosistem yang dominan. Sebagai contoh, peta ekoregion di daerah Jawa
mempunyai karakteristik dataran vulkanik dan pegunungan vulkanik.
Karakteristik ekoregion dataran vulkanik di Pulau Jawa diantaranya adalah:
a. Memiliki tanah yang subur dengan kandungan hara tinggi, solum tebal, mampu meresap
air hujan sebagai imbuh air tanah dengan baik, dominan masyarakat sebagai petani,
pertumbuhan penduduk pesat dan kepadatan tinggi.
b. Perkembangan wilayah yang pesat dan pertumbuhan penduduk yang tinggi
menyebabkan kebutuhan lahan semakin tinggi, ancaman berupa alih fungsi lahan
pertanian.

Karakteristik ekoregion pegunungan vulkanik di Pulau Jawa diantaranya memiliki sifat


sebagian besar ekoregion ini masih berhutan lebat, memiliki keanekaragaman hayati yang
tinggi, memiliki sumber daya air permukaan maupun air tanah yang melimpah sepanjang
tahun, berperan sebagai sumber cadangan air yang besar. Kedua karakteristik ekoregion ini
dapat berdasarkan jasa ekosistemnya.
Kedua tipe ekoregion tersebut menkonfirmasi hubungan yang kuat antara karakteristik
ekoregion, fungsi ekosistem, dan jasa ekosistem. Jika semua jasa ekosistem dalam satuan
ekoregion di ‘gabungkan’ akan menjadi indikator terhadap daya dukung dan daya tampung
pada suatu satuan ekoregion.

Metode Penyusunan Daya Dukung dan Daya Tampung Jasa Lingkungan


Daya dukung dan daya tampung diinterpretasikan sebagai tingkat maksimum penggunaan
sumber daya dan debit limbah yang dapat ditanggung tanpa merusak fungsi, integritas, dan
produktivitas dari ekosistem. Untuk dapat ‘menilai’ tingkat maksimum penggunaan sumber
daya dapat dilakukan dengan menggunakan ekoregion sebagai “batas” ketersediaan sumber
daya dan jasa ekosistem untuk melihat fungsi lingkungan hidup.
Daya dukung dan daya tampung dapat ditentukan dengan cara sebagai berikut:
a) Melakukan inventarisasi fungsi lingkungan hidup dari setiap unit satuan analisis ekoregion.
b) Menetapkan fungsi lingkungan hidup yang akan dilindungi (atau ditetapkan).

71
c) ‘Menilai’ daya dukung dan daya tampung setiap unit analisis (ekoregion), bisa dibantu
dengan data lainnya (seperti densitas populasi, produktivitas pertanian, peternakan,
perikanan, dll).
d) Menetapkan daya dukung dan daya tampung dari setiap unit analisis (ekoregion).

‘Menilai’ daya dukung merupakan cara untuk menentukan apakah suatu unit analisis
ekoregion dapat mendukung perikehidupan manusia / makhluk hidup lainnya diatasnya.
Metode untuk menilai dapat dilakukan dengan beberapa metode, diantaranya adalah:
a. Perbandingan produksi kalori dan kebutuhan kalori perkapita.
b. Shape indeks dan besarnya (magnitude) dari jasa ekosistem (metode dalam landscape
ecology).
c. Penilaian pakar (expert judgement).

Sedangkan untuk ‘menilai’ daya tampung dapat dilakukan dengan pemodelan / analisis atau
dengan melihat indikasi di lapangan atau berdasarkan data / informasi yang mendukung.
Tahapan penetapan daya dukung dan daya tampung seperti pada paragraf awal adalah
menentukan tingkat maksimum penggunaan sumber daya. Sumber daya yang dimaksud
adalah sumber daya ruang yang ada pada satuan unit analisi ekoregion. Misalnya pada
ekoregion dataran vulkanik di daerah cekungan Bandung terdapat dua jasa ekosistem yang
dominan (jasa ekosistem penyedia pangan dan fungsi habitat), jika keduanya menjadi
prioritas untuk dilindungi / ditetapkan maka penetapan daya dukung dan daya tampung adalah
menetapkan penggunaan tingkat maksimum penggunaan lahan / ruang untuk pemukiman
dan budidaya.
Tingkat maksimum ini dapat berupa angka prosentase atau luasan minimum / maksimum
yang dipertahankan atau ditetapkan agar fungsi lingkungan tetap berjalan pada satuan unit
analisis ekoregion tersebut. Dalam penetapan ini tentunya melihat azas-azas perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam penetapan daya dukung dan daya tampung tingkat
nasional, tingkat pulau, dan tingkat propinsi dapat dilakukan berdasarkan akumulasi dari unit-
unit analisis.
Penetapan daerah / kawasan dari ekoregion untuk daya dukung untuk fungsi ekologis dapat
disebut sebagai pencadangan sumber daya. Dimana ekoregion itu direservasi (dicadangkan)
untuk menjaga fungsi ekologi / fungsi lingkungan hidup. Fungsi ekologi / fungsi lingkungan
hidup yang dimaksud adalah fungsi yang mendukung berjalannya proses ekologis seperti jasa
ekosistem pengaturan air, jasa ekosistem pengaturan iklim, dan lainnya.
Penentuan daya dukung dan daya tampung merupakan proses yang kompleks, bahkan pada
tingkat penelitian. Kompleksitas, pendekatan, dan cara pandang penetapan daya dukung dan
daya tampung sangat beragam dan menjadi kendala dalam penetapan daya dukung dan daya

72
tampung yang dimaksud pada Undangundang No. 32 Tahun 2009. Pendekatan yang
disampaikan pada tulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan pada permasalahan
implementasi penetapan daya dukung dan daya tampung yang diamanatkan undang-undang.

2.5.6. Konsep Valuasi Ekonomi


Salah satu penyebab terjadinya degradasi lingkungan dan ongkos ekonomi adalah
masalah undervalue terhadap nilai yang sebenarnya yang dihasilkan dari sumberdaya alam
dan lingkungan. Hal ini juga mengindikasikan kurangnya informasi mengenai penilaian
sumberdaya alam dan lingkungan. Kurangnya informasi tersebut juga menyebabkan
terjadinya kegagalan pasar karena jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam dan
lingkungan tidak sepenuhnya terpasarkan (unpriced). (Fauzi, 2014). Valuasi ekonomi SDAL
memiliki peran penting dalam menyediakan informasi ini untuk membantu proses
pengambilan keputusan terkait dengan kebijakan publik. Kebijakan publik harus
mencerminkan pemahaman terkait nilai barang publik, apalagi hal yang menyangkut dengan
sumberdaya alam dan lingkungan karena nilai publik dari SDAL sering tidak tercermin dalam
nilai pasar (Champ et al 2001 dalam Fauzi 2014).
Secara umum, nilai ekonomi SDAL dibagi dalam dua kelompok yakni nilai guna (use
value) dan nilai non-guna (non-use value). Konsep use value relatif tidak terlalu sulit untuk
dipahami. Use value adalah nilai ekonomi yang berkaitan dengan pemanfaatan in situ dari
sumberdaya alam dan lingkungan , seperti pemanfaatan untuk konsumsi atau rekreasi. Nilai
pemanfaatan ini dibagi lagi ke dalam nilai pemanfaatan langsung (direct use value) baik dalam
bentuk konsumsi, seperti ikan untuk dikonsumsi, minyak untuk energi, dan sebagainya,
maupun non konsumsi seperti pemanfaatan rekreasi. Sementara itu, pemanfaatan yang
sifatnya tidak langsung atau indirect use value adalah manfaat yang diperoleh dari
sumberdaya alam dan jasa lingkungan tanpa harus secara aktual mengkonsumsinya. Contoh
indirect use value adalah perlindungan aliran sungai untuk mitigasi banjir atau peran hutan
sebagai carbon sequestration.
Nilai non guna atau non use value lebih kompleks baik dalam pemahaman dan
pengukuran use value. Non use value adalah nilai yang dirasakan oleh individu atau
masyarakat terhadap SDAL yang independen terhadap pemanfaatan saat ini maupun
mendatang. Independensi terhadap pemanfaatan saat ini maupun mendatang menunjukkan
bahwa nilai yang diturunkan tidak harus melalui mekanisme konsumsi atau pemanfaatan.
Konsep non use value awalnya dikenalkan oleh Krutila 1967 (Fauzi 2014). Non use value
terdiri dari bequest value (nilai pewarisan) dan option value (nilai pilihan). Namun dalam
perkembangan literatur, penggunaan konsep option value sebagai bagian dari non use value
cenderung missleading karena option value lebih terkait dengan aspek ketidakpastian,
sehingga lebih tepat digunakan konsep option price. Secara konseptual option value

73
menggambarkan manfaat yang dirasakan seseorang atau masyarakat untuk membuka pilihan
agar SDAL dapat dimanfaatkan untuk masa mendatang meski ia tidak merencanakannya saat
ini untuk memanfaatkannya. Dengan kata lain, option value muncul karena adanya
ketidakpastian akan keberadaan barang dan jasa dari SDAL di masa mendatang. Dengan
keberadaan ketidakpastian ini para ahli sepakat bahwa option value tidak serta merta
berhubungan langsung dengan use value maupun non use value.
Kombinasi nilai guna (use value) dan nilai non guna (non use value) merupakan Total
Economic Value (TEV). Terminologi total dalam Total Economic Value bukan menunjukkan
nilai keseluruhan dari sumberdaya dan lingkungan. Nilai total yang dimaksud lebih
menunjukkan penjumlahan dua komponen nilai guna dan non guna.
Pengukuran nilai guna dapat dilakukan melalui proksi harga pasar. Sedangkan non
use value melibatkan jasa lingkungan dan atribut sumberdaya alam yang tidak dipasarkan
sehingga tidak tepat menggunakan komoditas yang dipasarkan sebagai proksi. Teknik valuasi
ekonomi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan dikelompokkan menjadi dua yaitu revealed
WTP (tidak langsung) dan expressed WTP (langsung / survey). Revealed preference
menunjukkan bahwa penilaian terhadap barang dan jasa didasarkan pada perilaku yang
teramati atau terungkap dari seseorang terhadap pilihan yang dilakukan. Metode Revealed
preference dapat diartikan sebagai penilaian pengaruh dari komponen SDAL yang tidak
terpasarkan (nonmarketed) melalui perilaku aktual, khususnya melalui pengeluaran yang
dikeluarkan seseorang melalui mekanisme pasar (Pearce et al. 2006). Pendekatan ini juga
sering dikatakan sebagai pendekatan yang melacak “jejak pasar” (market footprint) dari
komoditas yang tidak terpasarkan (Russel 2001). Beberapa teknik yang termasuk kelompok
revealed WTP yaitu hedonic pricing, travel cost, dan random utility model. Hedonic price
menggambarkan penilaian sesuatu (barang atau jasa) yang dirasakan karena adanya atribut
atau karakteristik kesenangan, seperti pemandangan yang indah, kenyamanan (convenience)
maupun karakteristik lainnya. Sedangkan Travel Cost Method (TCM) merupakan metode
penilaian terungkap yang digunakan untuk menilai manfaat non-guna berdasarkan perilaku
yang diamati yakni pengeluaran individu untuk perjalanan. TCM biasanya digunakan untuk
menilai komponen yang diamati adalah perjalanan ke tempat rekreasi yang dikeluarkan
seseorang. Prinsip dasar metode TCM adalah teori permintaan konsumen dimana nilai yang
diberikan seseorang pada lingkungan (atribut yang tidak terpasarkan) dapat disimpulkan dari
biaya yang dikeluarkan ke lokasi yang dikunjungi.
Sementara yang termasuk kelompok expressed WTP yaitu contingent valuation dan
discrete choice method. Contingent Valuation Method (CVM) merupakan metode langsung
penilaian ekonomi ekonomi melalui pertanyaan kemauan membayar seseorang (Willingness
to Pay = WTP), sedangkan Choice experiment (CE) merupakan metode tidak langsung
penilaian ekonomi dimana pendugaan WTP dilakukan melalui tawaran pilihan yang setiap

74
pilihan memiliki variable karakteristik harga atau biaya.

2.6. Ekoregion Berbasi Bentang Lahan (Landsapce)


UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup secara eksplisit
mengamanatkan pentingnya penggunaan ekoregion sebagai azas dalam pengelolaan
lingkungan. Sebaliknya dalam UU Penataan Ruang juga menegaskan pentingnya
penggunaan ekoregion sebagai dasar penyusunan tata ruang wilayah. UU Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan definisi ekoregion adalah wilayah geografis yang
memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia
dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup.
Ekoregion adalah bentuk metode perwilayahan untuk manajemen pembangunan yang
mendasarkan pada batasan dan karakteristik tertentu (deliniasi ruang). Berdasarkan definisi
tersebut karaktersitik yang dapat digunakan sebagai dasar penentuan batas wilayah diantara
kesamaan karakteristik:
a) karakteristik bentang alam;
b) daerah aliran sungai;
c) iklim;
d) flora dan fauna;
e) sosial budaya;
f) ekonomi;
g) kelembagaan masyarakat; dan
h) hasil inventarisasi lingkungan hidup

Istilah bentang lahan berasal dari kata landscape (Inggris) atau landscap (Belanda)
atau landschaft (Jerman), yang secara umum berarti pemandangan. Arti pemandangan
mengandung 2 aspek, yaitu: aspek visual dan aspek estetika pada suatu lingkungan tertentu
(Zonneveld, 1979). Ada beberapa penulis yang memberikan pengertian tentang bentang
lahan, seperti berikut ini.
1) Bentang lahan ialah sebagian ruang permukaan bumi yang terdiri atas sistem-sistem,
yang dibentuk oleh interaksi dan interdependensi antara bentuklahan, batuan, bahan
pelapukan batuan, tanah, air, udara, tetumbuhan, hewan, laut tepi pantai, energi dan
manusia dengan segala aktivitasnya yang secara keseluruhan membentuk satu kesatuan
(Surastopo, 1982).
2) Bentang lahan merupakan bentangan permukaan bumi dengan seluruh fenomenanya,
yang mencakup: bentuklahan, tanah, vegetasi, dan atribut- atribut lain yang dipengaruhi
oleh aktivitas manusia (Vink, 1983).
3) Bentang lahan adalah bentangan permukaan bumi yang di dalamnya terjadi hubungan

75
saling terkait (interrelationship) dan saling kebergantungan (interdependency) antar
berbagai komponen lingkungan, seperti: udara, air, batuan, tanah, dan flora-fauna, yang
mempengaruhi keberlangsungan kehidupan manusia yang tinggal di dalamnya
(Verstappen, 1983). Berdasarkan pengertian bentang lahan tersebut, maka menurut
Santosa (2010) dapat diketahui bahwa terdapat 8 unsur penyusun bentanglahan, yaitu:
udara, batuan, tanah, air, bentuk lahan, flora, fauna, dan manusia dengan segala
aktivitasnya. Kedelapan analisis bentanglahan tersebut merupakan faktor-faktor penentu
terbentuknya bentang lahan, yang terdiri atas: faktor geomorfik (G), litologik (L), edafik (E),
klimatik (K), hidrologik (H), oseanik (O), biotik (B), dan faktor antropogenik (A). Dengan
demikian berdasarkan faktor-faktor pembentuknya, bentang lahan (Ls) dapat dirumuskan
sebagai:

Dengan demikian jelas bahwa satuan ekoregion pada dasarnya adalah bentang lahan
dengan segala komponen penyusun karakteristik yang ada di dalamnya, sebagai satu
kesatuan yang utuh, saling terkait, saling bergantung, dan saling pengaruh-mempengaruhi
antara satu komponen terhadap komponen lainnya, dalam kontek lingkungan secara
keseluruhan. Merujuk pada ketentuan dasar dalam UUPPLH Nomor 32 tahun 2009 yang
selaras dengan tinjauan secara akademik, maka perlu ditegaskan bahwa dalam kegiatan
inventarisasi lingkungan hidup, sudah semestinya jika kerangka dasar analisis yang
ditetapkan adalah satuan ekoregion berdasarkan kesamaan bentang lahan sebagai kesatuan
wilayah secara geografis yang mempunyai kesamaan sifat- sifat geosfer, yaitu: atmosferik
(iklim), morfologik (bentuk permukaan), litologik (batuan), edafik (tanah), hidrologik (air),
oseanik (pesisir dan laut), biotik (flora- fauna), dan antropogenik (manusia dengan segala
perilaku sosial, ekonomi, dan budaya).
Dengan kata lain bahwa satuan ekoregion dalam inventarisasi lingkungan hidup dapat
dideskripsikan sebagai satuan ekosistem berbasis bentang lahan yang diintegrasikan dengan
batas daerah aliran sungai, iklim atau komponen lingkungan lainnya, dan wilayah administrasi
(regional). Pertimbangan bentanglahan sebagai kerangka dasar penyusunan satuan
ekoregion, karena mempunyai banyak kelebihan dibandingkan pendekatan parametrik, yaitu:
1) lebih mudah dalam identifikasi dan interpretasi, karena mempunyai standar klasifikasi
yang seragam, berjenjang sesuai skala peta, dan bersifat tetap di seluruh dunia (tinjauan
secara geomorfologis);
2) kedudukan, letak dan batas bentang lahan relatif tetap, karena terbentuk dalam proses

76
dan waktu yang sangat lama (waktu geologis) dan bersifat alami;
3) mempunyai pola distribusi yang spesifik dan teratur, karena pembentukannya dikontrol
oleh proses gerakan lempeng tektonik (contoh: kedudukan jajaran gunung-gunugapi di
Pulau Sumatera, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara membentuk pola kelurusan yang searah
dengan garis tengah setiap pulau, dan membentang di bagian tengah pulau-pulau
tersebut;
4) perubahan kedudukan dan dinamika geomorfologi bentang lahan relatif sangat lambat,
kecuali jika terjadi proses-proses alam yang bersifat endogen- katastropik, seperti:
gempabumi tektonik dan erupsi gunung berapi; proses ekstraterestrial, seperti: meteor
jatuh; atau karena proses antropogenik akibat ulah manusia dengan energi nuklir (bom
atom);
5) bersifat lebih obyektif dalam identifikasi dan interpretasi, dengan sumber data sebagai
data input yang lebih standar, yaitu: data citra penginderaan jauh (remote sensing) yang
disesuaikan dengan skala kepentingan (nasional, regional, atau lokal);
6) hasil akhir dari pendekatan ini adalah satuan-satuan ekoregion yang lebih sederhana,
seragam dalam klasifikasi, mudah dilihat dan mudah dipahami oleh setiap pengguna
(multy-user);
7) sehingga lebih mempermudah dalam teknis penyajian data, analisis, dan kemanfaatannya
dalam pengambilan kebijakan.

Aspek-aspek penyusun satuan bentuklahan adalah morfologi, struktur, proses dan


material. Setiap aspek penyusun satuan bentuk lahan akan berpengaruh terhadap
karakteristik dan sebaran komponen-komponen penyusun lingkungan, seperti: udara, tanah,
air, batuan dan mineral, vegetasi, penggunaan lahan, serta perilaku manusia yang
mempengaruhi keberlangsungan kehidupan dalam lingkungan tersebut. Morfologi atau relief
merupakan kesan atau kenampakan topografi di permukaan bumi yang berpengaruh
terhadap homogenitas dan kompleksitas permukaan bumi, yang dikontrol oleh struktur di
dalamnya dan berubah oleh proses geomorfologi yang bekerja pada material penyusunnya
dalam skala ruang dan waktu tertentu.
Perbedaan relief akan memberikan pengaruh pada tinggi- rendah, panjang-pendek,
halus-kasar dan miring tidaknya suatu permukaan bumi (Verstappen, 1983). Aspek morfologi
dapat diidentifikasi secara kuantitatif berdasarkan faktor kemiringan lereng dan beda tinggi,
serta secara kualitatif berdasarkan kesan konfigurasi permukaan bumi atau relief. Untuk
keperluan ini, interpretasi Peta Topografi atau Peta Rupa Bumi dan Citra SRTM (Suttle Radar
Topographic Mission) sangat mendukung dalam klasifikasi kemiringan lereng dan beda tinggi
(Santosa, 2010). Pada kegiatan penyusunan ekoregion berbasis bentanglahan skala 1 :
25.000, klasifikasi morfologi didasarkan atas kriteria yang ditetapkan oleh Zuidam (1979) dan

77
Verstappen (1983), yang diuraikan dalam Tabel berikut:

Tabel 2.15. Klasifikasi Morfologi Berdasarkan kemiringan Lereng dan Beda Tinggi

Selanjutnya Santosa (2010) menjelaskan bahwa genesis dan kronologis pembentukan


bentuk lahan merupakan informasi penting dalam upaya penanganan dan pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan. Sementara genesis juga mempengaruhi proses
strukturisasi permukaan bumi, yang tercermin pada bentuk lahannya. Thornbury (1954)
menyatakan bahwa truktur geologi merupakan salah satu faktor pengontrol evolusi bentuk
lahan, sebaliknya bentuk lahan dicerminkan oleh struktur geologinya. Konteks lain
menyatakan bahwa struktur geologi sangat menentukan struktur geomorfologi, yang
memberikan kenampakan yang khas pada bentuk lahannya. Untuk mempelajari dan
memahami genesis daerah penelitian secara lengkap, maka dilakukan telaah pustaka secara
mendalam, berdasarkan berbagai rujukan atau hasil-hasil penelitian terdahulu yang ada di
daerah penelitian dan sekitarnya. Berbagai referensi yang dapat dijadikan dasar untuk
mempelajari genesis wilayah kajian adalah: Pannekoek (1940), Bemmelen (1970), dan
Verstappen (2000, dalam Sutikno, 2014), yang secara terinci diuraikan dalam Tabel.

Tabel 2.16. Rujukan Utama untuk Analisis di Wilayah Kajian

Proses geomorfologi merupakan suatu bentuk perubahan fisik maupun kimiawi yang
mampu mengikis dan/atau mengangkut material di permukaan bumi (Lobeck, 1939).
Prosesproses tersebut mengakibatkan perubahan bentuk lahan dalam waktu pendek maupun
panjang yang disebabkan oleh tenaga geomorfologi. Lebih lanjut disebutkan bahwa proses
yang bekerja pada masa lampau akan berpengaruh terhadap proses masa sekarang, dan

78
proses yang terjadi pada saat ini dapat dipakai untuk menelusur proses yang terjadi pada
masa lampau. Proses-proses geomorfik akan meninggalkan bekas pada bentuk lahan, dan
setiap proses geomorfik yang berkembang memberikan karakteristik tertentu pada bentuk
lahan (Thornbury, 1954). Proses geomorfologi yang terjadi sekarang lebih bersifat eksogen
berupa pelapukan, pentorehan, pengangkutan dan gerak massa batuan, telah mengubah
struktur geomorfologi aslinya dan menghasilkan bentukan-bentukan yang lebih kecil dan
sangat kompleks (Santosa, 2014).

2.7. Ambang Batas Lingkungan Hidup


Penilaian bahwa lingkungan telah rusak atau tercemar maka digunakan mutu baku
lingkungan. Gangguan terhadap lingkungan diukur menurut besar kecilnya penyimpangan
dari batas-batas yang telah ditetapkan sesuai dengan kemampuan atau daya tenggang
lingkungan. Adanya baku mutu lingkungan, dikenal adanya nilai ambang batas yang
merupakan batas-batas daya dukung, daya tenggang dan daya toleransi atau kemampuan
lingkungan. Nilai ambang batas terbagi menjadi batas tertinggi dan terendah dari kandungan
zat-zat, mahluk hidup atau komponen-komponen lain dalam setiap interaksi yang berkenaan
dengan lingkungan khususnya yang mempengaruhi mutu lingkungan. Dapat dikatakan
lingkungan tercemar apabila kondisi lingkungan telah melewati ambang batas (batas
maksimum dan batas minimum) yang telah ditetapkan berdasarkan baku mutu lingkungan.
Penentuan apakah telah terjadi pencemaran dari kegiatan industri atau pabrik
dipergunakan dua buah sistem baku mutu lingkungan, yaitu:
1) Effluent Standard, merupakan kadar maksimum limbah yang diperbolehkan untuk dibuang
ke lingkungan
2) Stream Standard , merupakan batas kadar untuk sumberdaya tertentu, seperti sungai,
waduk dan danau. Kadar yang ditetapkan berdasarkan pada kemampuan sumberdaya
beserta sifat peruntukannya. Miasalnya batas kadar badan air untuk air minum akan
berlainan dengan batas kadar bagi badan air untuk pertanian.

Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup dalam keputusannya No. KEP-
03/MENKLH/II/1991 telah menetapkan baku mutu air pada sumber air, baku mutu limbah cair,
baku mutu udara ambien, baku mutu udara emisi dan baku mutu air laut. Pada keputusan
tersebut, yang dimaksud dengan:
1) Baku mutu air pada sumber air, adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau
bahan pencemar terdapat dalam air, namun tetap berfungsi sesuai dengan
peruntukannya.
2) Baku mutu limbah cair adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau bahan
pencemar untuk dibuang dari sumber pencemaran ke dalam air pada sumber air,

79
sehingga sehingga tidak meyebabkan dilampauinya baku mutu air.
3) Baku mutu udara ambien adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau bahan
pencemar terdapat di udara, namun tidak menimbulkan gangguan terhadap mahluk hidup,
tumbuh-tumbuhan dan atau benda.
4) Baku mutu udara emisi adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau bahan
pencemar untuk dikeluarkan dari sumber pencemaran ke udara, sehingga tidak
mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien.
5) Baku mutu air laut adalah batas atau kadar mahluk hidup, zat, energi, atau komponen lain
yang ada atau harus ada, dan zatatau bahan pencemar yang ditenggang adanya dalam
air laut.

2.8. Jasa Ekosistem (Ecosystem Services)


Manusia mendapat manfaat dari berbagai sumber daya dan proses yang disediakan
oleh ekosistem alam. Secara menyeluruh, manfaat ini dikenal dengan istilah jasa ekosistem
dan meliputi produk seperti air minum dan proses seperti pemecahan (dekomposisi) sampah.
Jasa ekosistem adalah barang atau jasa yang disediakan oleh ekosistem untuk manusia dan
menjadi dasar untuk penilaian (valuation] suatu ekosistem (Hein et al. 2006). Ketersediaan
jasa ekosistem sering bervariasi dengan berjalannya waktu, seperti tercantum dalam
Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup Nomor 09 Tahun 2011 mengenai Pedoman Umum
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) ketersediaan baik kuantitas dan kualitas jasa
ekosistem akan berpengaruh dan mempengaruhi daya dukung dan daya tampung lingkungan
sebagai panduan perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Daya dukung merupakan indikasi kemampuan mendukung penggunaan tertentu,
sedangkan daya tampung adalah indikasi toleransi mendukung perubahan penggunaan
tertentu (atau pengelolaan tertentu) pada unit spasial tertentu. Untuk menghitung daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup, perlu beberapa pertimbangan. Adapun
pertimbangan tersebut antara lain :
d) ruang dan sifatnya,
e) tipe pemanfaatan ruang,
f) ukuran produk lingkungan hidup utama (udara dan air),
g) penggunaan/penutupan lahan mendukung publik (hutan),
h) penggunaan tertentu untuk keperluan pribadi.
Menurut sistem klasifikasi jasa ekosistem yang digunakan dalam Millenium Ecosystem
Assessment (2005), jasa ekosistem dikelompokkan menjadi empat fungsi layanan, yaitu jasa
penyediaan (provisioning), jasa pengaturan (regulating), jasa pendukung (supporting), dan
jasa kultural (cultural), dengan rincian sebagai berikut:

80
81
Tabel 2.17. Klasifikasi Jasa Ekosistem dan Definisinya

2.9. Penentuan Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup


Penentuan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup merupakan instrumen
yang menjelaskan proses/cara kajian ilmiah untuk menentukan/mengetahui kemampuan
suatu wilayah dalam mendukung kebutuhan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Oleh
karena itu dalam penentuan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dilakukan
melalui pendekatan indikatif berdasarkan unit analisis, parameter, indikator dan tolok ukur
pada masing-masing unit analisis tersebut. Mengingat daya dukung dan daya tampung
bersifat dinamis dan kompleks dan sangat tergantung kepada karakteristik geografi suatu
wilayah, jumlah penduduk dan kondisi eksisting sumber daya alam di wilayahnya masing-
masing.

82
2.9.1. Pendekatan Unit Analisis DDDTLH
Pendekatan unit analisis dan indikator dalam konsep daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup ini untuk menentukan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
dapat dikategorikan sebagai berikut :
1) Nasional dan Pulau/Kepulauan
2) Provinsi dan Ekoregion Lintas Kabupaten/Kota
3) Kabupaten/Kota dan Ekoregion di Wilayah Kabupaten/Kota
4) Lingkungan Tematik (Sektor Kehutanan, Pertambangan, Pertanian, Perkebunan Dan
Perikanan, dll)

2.9.2. Metode Analisis


Adapun metode unit analisis yang dapat digunakan untuk menentukan daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup diantaranya adalah:
1) Stock dengan menghitung ketersediaan sumber daya alam yang ada, untuk metode ini
dapat digunakan dalam menentukan daya dukung dan daya tampung pada level nasional
maupun pulau/kepulauan
2) Supply-demand dengan menghitung berapa kebutuhan yang diperlukan (berdasarkan
ecological foot print) untuk memenuhi kebutuhan manusia pada suatu wilayah dan berapa
kemampuan lingkungan mampu men supply kebutuhan tersebut (daya dukung lingkungan
hidup)
3) Jasa ekosistem merupakan layanan atau fungsi ekosistem dalam suatu wilayah yang
dikategorikan dalam 4 (empat) jenis layanan, yaitu:
a) Layanan fungsional (provisioning services): Jasa/produk yang didapat dari ekosistem,
seperti misalnya sumberdaya genetika, makanan, air dll.
b) Layanan regulasi (regulating services): manfaat yang didapatkan dari pengaturan
ekosistem, seperti misalnya aturan tentang pengendalian banjir, pengendalian erosi,
pengendalian dampak perubahan iklim dll.
c) Layanan kultural (cultural services): manfaat yang tidak bersifat material/terukur dari
ekosistem, seperti misalnya pengkayaan spirit, tradisi pengalaman batin, nilai-nilai
estetika dan pengetahuan.
d) Layanan pendukung kehidupan (supporting services): jasa ekosistem yang diperlukan
manusia, seperti misalnya produksi biomasa, produksi oksigen, nutrisi, air, dll.
4) Valuasi ekonomi dengan melakukan perhitungan ekonomi dari suatu
kebijakan/rencana/program (KRP) di suatu wilayah terhadap berapa biaya kerugian
(potensial dampak) yang harus dikeluarkan dari KRP tersebut untuk dibayarkan dalam
rangka untuk memenuhi DDDTLH yang ideal.

83
Sebagaimana diuraikan di atas daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan
lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan
keseimbangan antar keduanya. Dalam konteks ini kondisi eksisting suatu wilayah akan
ditunjukkan dengan status kondisi lingkungan baik secara fisik, kimia dan/atau hayati
lingkungan telah terjadi kerusakan atau tidak. Oleh karena itu dibutuhkan baku kerusakan
lingkungan hidup untuk menilai status kondisi lingkungan tersebut.
Sedangkan daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup
untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke
dalamnya. Dalam konteks ini daya tampung lingkungan dihubungkan dengan pencemaran
lingkungan akibat dari suatu kegiatan, oleh karena itu dibutuhkan baku mutu lingkungan hidup
untuk menilai status pencemaran lingkungan tersebut.

2.9.3. Unit Analisis


1) Unit analisis adalah satuan analisis untuk mengukur kemampuan wilayah baik pada level
nasional, pulau/ kepulauan, provinsi, ekoregion lintas kabupaten/kota, kabupaten/kota dan
ekoregion di wilayah kabupaten/ kota serta lingkungan tematik dalam konteks daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup Dalam menentukan daya dukung, unit
analisis ini bisa terbagi atas unit adminsistrasi maupun unit ekoregion dengan kebutuhan
data yang berbeda. Berikut ini adalah Tabel yang menggambarkan unit analisis daya
dukung dan data yang diperlukan:

Tabel 2.18. Unit Analisis Daya Dukung dan Data Yang Diperlukan
Unit Analisis (Wilayah) Klasifikasi Wilayah Sumber Data
Wilayah Administrasi 1. Nasional Data Administrasi
2. Provinsi Data Spasial
3. Kabupaten/ Kota
4. Kecamatan
5. Desa
Wilayah Fungsional (Tata 1. Kawasan Lindung Data Spasial
Ruang) 2. Kawasan Budidaya
3. Kawasan Rawan
Bencana
4. Kawasan Startegis
Wilayah Ekologis
1. Daerah Alisan Sungai 1. Daerah hulu Data Administrasi
2. Daerah tengah Data Spasial

84
3. Daerah hilir
2. Ekoregion (Pendekatan 1. Bentuk lahan asal Data Spasial
landform) proses vulkanik
2. Bentuk lahan asal
proses structural
3. Bentuk lahan asal
proses fluvial
4. Bentuk lahan asal
proses solusional
5. Bentuk lahan asal
proses denudasional
6. Bentuk lahan asal
proses eolian
7. Bentuk lahan asal
proses marine
8. Bentuk lahan asal
proses glasial
9. Bentuk lahan asal
proses organic
10. Bentuk lahan asal
proses antropo-genik

Sumber : Muta’alai, 2014

2) Parameter DDDTLH adalah merupakan komponen penentuan DDDTLH berdasarkan unit


analisis.
3) Indikator adalah metode analisis yang akan digunakan untuk mengukur kemampuan
wilayah dalam konteks daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
4) Tolok ukur adalah satuan analisis berdasarkan parameter DDDTLH

2.9.4. Penentuan DDDTLH


Secara umum teknik perhitungan daya dukung dan daya tampung tergantung dari
fungsi atau tujuan yang akan diukur apakah menyangkut aspek ekonomi, demografi dan
sebagainya. Setiap tujuan ini memiliki formulasi tersendiri karena karakteristik unit dan ukuran
yang berbeda. Muta’ali (2014) telah merangkum beberapa teknik pengukuran dan penentuan
daya dukung berdasarkan fungsi dan tujuan sebagaimana tertera pada Tabel berikut:

85
Tabel 2.19. Unit Analisis Daya Dukung dan Data Yang Diperlukan

86
87
88
Selain penentuan daya dukung berdasarkan fungsi atau tujuan tersebut, penentuan
daya dukung juga dapat diukur berdasarkan tipologi media seperti lahan hutan dan air serta
beberapa sector ekonomi baik pada tingkat nasional, regional maupun ekoregion.

89
A. Daya Dukung Lahan
Daya dukung lahan pada dasarnya ditentukan oleh adanya ketersediaan dan kebutuhan
atau demand dan supply side. Muta’ali (2014) menentukan bahwa daya dukung
berdasarkan kedua sisi tersebut dapat dilihat pada Tabel berikut:

Tabel 2.20. Daya Dukung Lahan Ditentukan Oleh Adanya Ketersediaan dan Kebutuhan

B. Daya Dukung Air


Penentuan daya dukung air secara prinsip hampir sama dengan penentuan daya dukung
lahan yakni dengan memperbandingkan ketersediaan air dan kebutuhan air. Dengan
melihat kedua kriteria di atas, Muta’ali (2014) menentukan daya dukung air sebagai
berikut:

90
Tabel 2.21. Daya Dukung Air Ditentukan Oleh Adanya Ketersediaan Dan Kebutuhan

C. Daya Dukung Hutan Dan Kawasan Hutan


Sebagaimana telah dikemukakan pada bab terdahulu, penentuan daya dukung hutan dan
kawasan didasarkan pada konsep yang kompleks karena adanya interaksi dari berbagai
faktor seperti tingkat keseusian lahan, kemiringan lahan, faktor pembatas, tutup lahan dan
hutan dan berbagai faktor lainnya. Disamping itu interaksi antar daerah aliran sungai juga

91
menyebabkan perhitungan daya dukung hutan relative lebih kompleks karena
menyangkut batas adminsitrasi dan batas ekosistem. Di bawah ini hanya diberikan
ilustrasi perhitungan daya dukung hutan berdasarkan kajian Barkey (2014). Ilustrasi yang
digunakan adalah dari Daerah Aliran Sungai Jeneberang di Provinsi Sulawesi Selatan.
Kawasan Hutan pada DAS Jeneberang terdiri atas Kawasan Hutan Lindung dengan luas
7.724,39 ha, Kawasan Hutan Produksi Terbatas dengan luas 7.544,62 ha, Kawasan
Hutan Produksi dengan luas 4.666,96 ha dan Kawasan Taman Wisata Alam dengan luas
3.408,13 ha. Total luas kawasan hutan mencapai 23.344,10 ha atau 23% dari total luas
DAS. Sebaran daya dukung kawasan hutan dapat dilihat pada Tabel di bawah ini.

Tabel 2.22. Contoh perhitungan Daya Dukung Lahan Kawasan Hutan DAS Jeneberang

D. Penentuan Daya Dukung Dan Daya Tampung Pertanian Dan Perkebunan


Sama halnya dengan penentuan daya dukung hutan dan kawasan hutan, penentuan daya
dukung untuk pertanian dan perkebunan juga relative kompleks. Hal ini karena didasari

92
pada interaksi ruang dan karakteristik atau jenis ekosistim yang dimanfaatkan. Untuk
kawasan gambut misalnya akan berbeda dengan kawasan daerah aliran sungai. Secara
umum penilaian DDDT LH untuk pertanian dan perkebunan sama dengan penentuan
kawasan hutan dan lahan yakni berdasarkan kemampuan lahan dan kesesuaian lahan
serta neraca lahan. Dengan demikian formula umum untuk penentuan daya dukung dan
daya tampung sector pertanian dan perkebunan adalah (Barus, 2014)

Dimana ruang untuk air merupakan fungsi dari karakter ruang, tipe penggunaan dan fisik
tanah. Sementara kualitas lahan ditentukan oleh sifak kimia, fisik dan biologi. Dengan
diketahuinya daya dukung maka daya tampung merupakan selisih dari daya dukung atau

Dimana D1 adalah daya dukung periode 1 dan DD2 adalah daya dukung periode 2. Jika
selisih negative maka perlu upaya perbaikan dan jika positif perlu dipertahankan.
Selain itu jenis komoditas pertanian yang ditanam juga akan menentukan kesesuain lahan
dan berimplikasi pada penentuan daya dukung dan daya tampung. Sebagai contoh untuk
jagung, kesesuain lahan mengikuti kriteria berikut.

Tabel 2.23. Kesesuain Lahan Untuk Komoditas Jagung

93
Berikut ini disajikan ilustrasi konsep daya dukung dan daya tampung berbasis hidrologi
dan DAS dan KHG (kawasan hutan gambut)

Gambar 2.13. Ilustrasi Daya Dukung Kawasan Gambut Dan Daerah Aliran Sungai
(Barus, 2014)

E. Penentuan Daya Dukung Dan Daya Tampung Kawasan Tambang


Secara umum dapat dikatakan bahwa belum ada formulas khusus untuk menentukan
DDDTLH pertambangan. Hal ini karena aktifitas pertambangan yang berada di wilayah
hutan atau daratan DDDTH akan mengikuti kaidah DDDTH lahan atau hutan serta air yag
digunakannya. Tambang merupakan aktifitas ekonomi yang akan menggunakan media
lahan dan air, sehingga tekanan aktifitas dari kegiatan penambangan akan menyebabkan
berubahnya DDDTH lahan dan air. Fokus penentuan DDDTLH untuk kegiatan
penambangan lebih diarahkan pada kegiatan kondisi setelah tambang di tutup karena dari
sinilah perubahan biofisik lahan dan air akan terjadi.

F. Penentuan Daya Dukung Dan Daya Tampung Berdasarkan Valuasi Ekonomi


Selain dengan metode yang berbasis perhitungan unit fisik (seperti hekta, orang ataupun
indeks), penentuan DDDTLH juga dapat dilakukan melalui pendekatan Valuasi Ekonomi.
Prinsip ini didasarkan pada kaidah “Service-to-Value” yang terjadi pada sumber daya
alam. Dengan kata lain pemanfaatan sumber daya alam yang melewati daya dukung akan
mengubah layanan sumber daya alam tersebut. Layanan ini bisa di proxy dari nilai
ekonomi sumber daya yang dihasilkan maupun dari sumber daya yang hilang. Deplesi
dan degradasi dari sumber daya alam akan mengurangi manfaat dari sumber daya alam
dan sekaligus menggambarkan penurunan DDDTH itu sendiri. Dengan diketahuinya nilai
ekonomi dari sumber daya alam akan diketahui seberapa besar deplesi dan degradasi
sumber daya alam. Nilai deplesi ini akan membantu menentukan apakah sumber daya

94
alam sudah melewati daya dukung dan daya tampungnya. Jika dihitung pada skala makro
nilai ini akan membantu dalam menentukan neraca sumber daya alam dan PDB/PDRB
(Produk Domestik Bruto dan Produk Domestik Regional Bruto).
Salah satu metode sederhana dalam menghitung deplesi adalah denga mengurangi
ekstraksi SDA terhadap nilai Maximum Sustainable Yield nya atau produksi lestarinya,
yakni tingkat produksi yang dapat dipertahankan dalam jangka panjang tanpa harus
merusak ketersediaan sumber daya itu di masa mendatang. Dengan kata lain Deplesi
dihitung dengan rumus;

Jika pengambilan atau pemanenan sudah melebihi produksi lestari (Y > SY) maka dapat
dikatakan sudah melewati daya dukung. Nilai deplesi kemudian bisa dihitung dengan

Nilai ini kemudian dapat digunakan untuk menghitung PDB/PDRB yang sudah
disesuaikan atau Adjusted PDB/PDRB dengan menggurangi nilai PDB terhadap Deplesi
sumber daya alam.

Jika nilai Adjusted PDB/PDRB ini tereduksi dari deplesi lebih dari 25% misalnya, maka
ektraksi sumber daya alam dapat dikatakan tidak optimal dan telah melewati daya
dukungnya.
Oleh karena penentuan nilai dari sumber daya alam harus didasarkan pada kaidah valuasi
ekonomi, maka penentuan nilai berdasarkan valuasi ekonomi ini dapat dilakukan dengan
beberapa metode. Fauzi (2014)1 secara rinci menjelaskan beberapa metode valuasi
ekonomi untuk sumber daya alam. Secara umum pendekatan tersebut dapat digambarkan
dalam Gambar di bawah ini.

95
Gambar 2.14. Pendekatan Valuasi Ekonomi Untuk Menghitung DDDTLH

Seperti terlihat pada Gambar di atas, perhitungan valuasi ekonomi dapat dihitung baik
melalui pendekatan pasar maupun non-pasar dan bukti kerusakan (evidence).
Pendekatan pasar umumnya digunakan melalui pasar titipan (surrogate) seperti nilai
rumah yang berbeda antar rumah dengan amienties lingkungan dengan yang tidak
memiliki amenity lingkungan. Nilai property yang tinggi menggambarkan adanya nilai
tambahan dari lingkungan di sekitar yang dapat dijadikan sebagai proxy dalam
menentukan nilai lingkungan.
Pendekatan lain yang digunakan adalah melalui Contingent Valuation Method (CVM) atau
Choice modeling yang berupaya menghitung kesanggupan membayar masyarakat akan
perbaikan lingkungan. Pendekatan bukti didasarkan pada biaya yang dibutuhkan untuk
menilai jasa lingkungan yang hilang akibat pembangunan atau ekstraksi yang melewati
DDDTLH.
Jika kemudian ketiga pendekatan di atas tidak dimungkinkan, maka nilai ekonomi dapat
didekati dengan menggunakan Benefit Transfer, yakni menggunakan nilai ekonomi yang
sudah dihitung dari penelitian-penelitian sebelumnya sebagai basis perhitungan. Tabel di
bawah ini menyajikan beberapa nilai ekonomi yang dapat digunakan sebagai basis dalam
perhitungan Benefit Transfer.

96
Tabel 2.24. Nilai Ekonomi Yang Dapat Digunakan Sebagai Basis Dalam Perhitungan
Benefit Transfer

Secara prinsip, dalam konteks perhitungan DDDTLH, valuasi ekonomi hanya memberikan
rambu-rambu ekstraksi sumber daya alam yang berkelanjutan dengan membandingkan
nilai ekonomi yang diperoleh dari ekstraksi dengan yang sebenarnya dari sumber daya
alam itu sendiri. Dengan kata lain jika nilai kerusakan yang dihasilkan dari ekstraksi
sumber daya alam lebih besar dari nilai ekonomi SDAL maka dapat dikatakan sudah
melewati daya dukungnya.

Namun demikian rumus di atas tentu saja memerlukan penyesuaian karena setiap
ekosistim memiliki karakteristik yang berbeda dengan nilai ekonomi yang berbeda pula.
Dengan demikian diperlukan kehati-hatian dalam menghitung nilai ekonomi dari sumber
daya alam sehingga tidak menghasilkan nilai yang bias.

G. Penentuan Ambang Kritis DDDTLH


Salah satu hal yang krusial dalam menentukan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup adalah menyangkut ambang batas atau critical threshold yakni nilai
(dalam satuan unit analisis seperti hektar atau nilai kuantitatif lainnya) dimana ketika nilai
kritis tersebut dilalui maka DDDTLH sudah terlampau. Secara teoritis oleh karena
kompeksitas interaksi alam dan lingkungan, memang tidak ada ukuran yang universal
untuk menentukan ambang kritis tersebut karena adanya daya lenting (resilience) dari
lingkungan itu sendiri. Oleh karenanya dalam menentukan ambang kritis, sebagaimana

97
dikemukakan oleh Nijkamp (1999), digunakan kisaran ambang kritis minimum dan
ambang kritis maksimum.
Pendekatan Nijkamp (1999) dalam mementukan ambang kritis menggunakan pendekatan
FLAG (atau bendera) dapat diilustrasikan pada Gambar berikut:

Gambar 2.15. Pendekatan FLAG

Sebagaimana terlihat pada Gambar di atas, Nijkamp (1999) menggunakan “pita” (band)
yang menggambarkan critical threshold value (CTV) dalam rentang kisaran ambang batas
kritis minimum (CTVmin) dan ambang batas maksimum (CTVmax). CTVmin
mengindikasikan dugaan konservatif ambang batas kritis yang bisa ditolelir sementara
CTVmax merupakan ambang batas kritis maksium dimana ketika titik ini dilewati maka
daya dukung sudah melampaui batas maksimumnya dan dinyatakan dalam zona bahaya
(warna hitam).
Berdasarkan kriteria di atas, maka titik kritis daya dukung dapat dihitung menurut rumus
berikut (Nijkamp, 1999)

Dimana nilai X adalah nilai indikator yang diukur dan S(x) merupakan indikator
sustainability yang menggambarkan wilayah hijau sampai kuning (apakah masih aman
atau sudah melewati daya dukung). Sebagai contoh jika nila CTV adalah 100 (status
ekstraksi misalnya) adalah 100 dengan CTVmax 120, maka jika ekstraksi saat ini sebesar
121, maka nilai S(x) = (121 – 100)/(120 – 100) = 1.05. Karena kisaran pita berada antara
-1 sampai 1, maka nilai 1.05 sudah melewati CTVmax dan akan berada pada pita hitam
yang berarti daya dukung sudah jauh terlampaui.
Penentuan ambang kritis di atas hanyalah salah satu pendekatan yang dapat dilakukan
disamping banyak pendekatan lain yang lebih kompleks. Namun demikian setiap
pendekatan memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing dan tergantung dari
kondisi sumber daya alam dan lingkungan yang dianalisis.

98
H. Matriks Penentuan Daya Dukung Dan Daya Tampung LH
Selanjutnya, Matriks di bawah ini menyajikan kriteria pengukuran atau penentuan
DDDTLH dengan komponen kajian dan indikator pengukurannya. Sebagaimana terlihat
pada Matrix di bawah ini, penentuan daya dukung nasional dan kepulauan bisa didasarkan
pada komponen kajian kerawanan dan kerentanan bencana, fungsi hidroogis, produksi
hayati, sumber daya mineral, keunikan ekosistem dan kapasistas sekuestrian karbon.
Komponen-komponen ini kemudian bisa diukur dari berbagai indikator seperti ketersedian
atau potensi sumber daya,nilai ekonomi, ketahanan ekologi maupun kapasitas
menyimpan karbon. Sebagaiamna telah dijelaskan pada pengkuran DDDTLH pada
bagian sebelumnya, tolok ukur dari beberapa indikator ini kemudian dilakukan dengan
berbagai metode yang telah diuraikan di atas.

1) Penentuan DDDTLH Nasional dan Pulau/Kepulauan


Unit pengukuran pada skala yang makro adalah skala nasional dak kepulauan. Padas
skala ini memang relative lebih rumit karena luasan komponen kajian dan besaran unit
yang di analisis menyebabkan pengukuran menjadi lebih kompleks. Secara prinsip,
penentuan DDDTLH bisa saja merupakan kompilasi atau kumulasi dari skala yang
lebih kecil di bawahnya seperti skala regioanal/ecoregion atau skala kabupaten/kota.
Dalam penentuan unit analisis nasional, kawasan hutan mungkin dapat dijadikan
sebagai baseline dalam menentukan DDDTLH, hal ini karena skala luasan kawasan
melintasi batas wilayah ecoregion, provinsi maupun kabupaten kota. Selain itu data
luasan hutan pada tingkat nasional relative lebih tersedia. Dengan demikian baik
tutupan lahan maupun kesesuaian lahan dapat digunakan sebagai tolok ukur dalam
menentukan DDDTLH pada unit nasional.

99
Tabel 2.25. Penentuan DDDTLH Nasional dan Pulau/Kepulauan

2) Penentuan DDDTLH Provinsi dan Ekoregion Lintas Kabupaten/Kota


Sama seperti penentuan DDDTLH pada unit nasional, penentuan DDDTLH pada unit
provinsi maupun ecoregion pada prinsipnya hampir sama, hanya memerlukan scaling
down pada unti pengukuran (tolok ukur) atau indikator. Pada unit analisis ekoregion,
beberapa indikator seperti tingkat kerusakan hutan kerawanan geologi maupun
ketersedian cadangan sumber daya mungkin bisa lebih diukur secara lebih rinci dalam
skala yang lebih baik. Dengan demikian pengukuran DDDTLH sebagaimana yang
telah diuraikan di atas dapat dilakukan secara lebih rinci berdasarkan komponen kajian
yang telah ditentukan sebelumnya.

100
Tabel 2.26. Penentuan DDDTLH Provinsi dan Ekoregion Lintas Kabupaten/Kota

3) Penentuan DDDTLH Kabupaten/ Kota dan Ekoregion di Wilayah Kabupaten/Kota


Penentuan DDDTLH pada unti analisis Kabupaten/kota dan Ekoregion di wilayah
kabupaten/ kota secara prinsip juga sama dengan pada tingkat di atasnya. Yang
diperlukan adalah scaling down pada deliniasi komponen kajian seperti ekstraksi
sumber daya mineral dalam wilayah kabupaten/kota (izin usaha pertambangan) atau
tingkat pencemaran sungai yang berada di wilayah kabupaten/kota maupun wilayah
ecoregion yang melintasi kabupaten/kota tersebut.

101
Tabel 2.27. Penentuan DDDTLH Kabupaten/ Kota dan Ekoregion di Wilayah
Kabupaten/Kota

4) Penentuan DDDTLH Lingkungan Tematik


Penentuan DDDTLH dalam konteks lingkungan tematik lebvih diarahkan pada sektor
ekonomi yang berkaitan dengan ekstraksi sumber daya alam seperti pertanian,
perikanan, perkebunan, pertambangan dan sejenisnya. Pada skala tematik ini data
ekstraksi yang ada pada sektor dapat dijadikan sebagai basis ukuran penggunaan
sumber daya alam sementara data sisi suplai dapat diperoleh pada tingkatan di
atasnya misalnya kabupaten/kota, provinsi maupun nasional. Dengan demikian jika
yang dihitung adalah daya dukung pertanian di Kabupaten A, maka sisi suplai
(ketersediaan sumber daya alam sebagai baisis perhitungan daya dukung) dan sisi
permintaan, yakni jumlah sumber daya yang diambil atau diekstraksi juga didasarkan
besaran tingkat kabupaten A tersebut. Demikian juga pada tingkat di atasnya.

102
Tabel 2.28. Penentuan DDDTLH Lingkungan Tematik

2.10. Kesimpulan dan Beberapa Catatan Terkait dengan Konsep dan Pengukuran
DDDTLH
Sumber daya alam dan lingkungan merupakan salah satu modal penting dalam
pembangunan baik pada tingkat nasional maupun regional. Namun demikian modal alam ini
sering dikondisikan sebagai “used” and “abused” sehingga menimbulkan “ongkos”
pembangunan berupa kerusakan lingkungan yang harus dibayar bukan saja oleh generasi
kini namun juga generasi mendatang. Fenomena “used” and “abused” ini terjadi karena
kurangnya perhatian terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup itu sendiri
dalam menunjang pembangunan. Dengan diberlakukannya UU 32/2009, maka daya dukung
dan daya tampung, selanjutnya disingkat DDDT LH, menjadi salah satu unsur pengendali
penting dalam pembangunan, dimana sebagai unsur KLHS, akan menjadi instrumen penting
dalam menentukan apakah Kebijakan, Rencana dan/atau Program harus direvisi, dilanjutkan,
atau bahkan dihentukan sama sekali.
Dengan berpijak pada prinsip tersebut maka diperlukan kematangan konsep tentang
DDDT LH sebagai acuan dasar implementasi operasional pada KRP baik di tingkat pusat
maupun di daerah. Berikut ini adalah beberapa catatan terkait dengan konsep dan
implementasi pengukuran DDDT LH baik secara umum maupun secara tematik.

103
Pertama. Terkait dengan konsep DDDTLH, maka selain diperlukan konsep dan alat
ukur yang bersifat generik sebagaimana tertuang dalam UU 32/2009, diperlukan pula konsep
dan pengukuran yang bersifat thematic atau topical sesuai dengan kondisi sumber daya alam
yang dihitung. DDDTH untuk air, lahan gambut, kawasan hutan, perikanan, dan berbagai jenis
sumber daya alam dan lingkungan lainnya memerlukan konsep dan alat ukuran yang sangat
topical. Hal ini disebabkan karena beberapa sumber daya alam memiliki karakteristik yang
unik dan berbeda.
Kedua, DDDTLH sebagai instrument pengendalian dan sifatnya yang generik-spesific,
akan menghadapi kendala ukuran kualitatif versus kuantitatif. Dengan demikian perlu difahami
bahwa selain ukuran yang bersifat “indikatif” (seperti kesesuain lahan), maka diperlukan pula
ukuran yang bersifat “benchmark” atau threshold. Ukuran ini diperlukan karena sebagian
sumber daya alam dan lingkungan bersifat lenting dimana tekanan terhadap SDAL dalam
batas tertentu masih bisa ditolelir, namun ketika melewati thresholdnya kemungkinan terjadi
ketidak pulihan (irreversible) harus diperhatikan. Selain itu patut pula diperhatikan pentingnya
safe index dari DDDTH yang terkait dengan luasan dan jenis sumber daya alam dan
lingkungan (seperti keaneka- ragaman hayati).
Ketiga, isu terkait dengan baseline atau kerangka waktu dimana DDDTH akan
diterapkan. Hal ini penting mengingat interaksi DDDTH harus sejalan dengan rentang waktu
pembangunan itu sendiri. FGD menyepakati bahwa baseline rentang waktu adalah tahapan
RPJM baik di tingkat pusat maupun daerah (RPJMPD). Dengan demikian ketika pemerintah
pusat maupun daerah merencakan pembangunan lima tahun berikutnya, indikator DDDTH
harus menjadi acuan utama dalam menentukan target-target pembangunan yang berbasis
eksploitasi sumber daya alam maupun pembangunan wilayah lainnya yang menggunakan
dan berkaitan dengan sumber daya alam dan jasa lingkungan.
Keempat. Dalam menentukan DDDTH harus diperhatikan apakah didasarkan pada
demand side (seperti pertumbuhan pemukiman, pertumbuhan penduduk dan sebagainya)
atau didasarkan pada “supply side” (ketentuan batas berdasarkan karakteristik SDAL). Oleh
karena kompleksitas yang dihadapi dalam menentukan demand side DDDTH, maka untuk
memudahkan perencanaan pembangunan dan implementasinya disepakati DDDTH yang
lebih didasarkan pada supply side.
Kelima, DDDTH memerlukan kriteria pengukuran sebagai acuan apakah RKP direvisi,
dibatalkan atau dilanjutkan. Dengan demikian diperlukan kriteria pengukuran pemanfaatan
sumber daya alam dan jasa lingkungan. Dari beberapa kriteria pengukuran seperti kinerja,
efisiensi, kerentanan dan daya lenting (resilience), maka FGD menyepakati ukuran efisiensi
dan keretanan menjadi prioritas yang kemudian dilengkapi dengan daya lenting (resilience).
Hal ini dikarenakan pengukuran efisiensi relatif lebih mudah dan terukur dalam
implementasinya, dan kerentanaan akan membantu mengindikasikan seberapa besar

104
threshold (titik kritis) daya dukung dan daya tampun terlewati.
Keenam, konsep DDDTLH merupakan konsep yang tidak bersifat statis dan berdiri di
ruang vakum. Dengan kata lian diperlukan integrasi dengan aspek lainnya seperti aspek sosial
ekonomi dan teknologi. Karena bisa saja DDDTH di perbaiki melalui rekayasi teknik
(engineering), namun bisa juga DDDTH ini menurun secara cepat manakala aspek sosial dan
ekonomi cenderung bersifat eksploitatif tanpa memperdulikan kemampuan alam untuk
menopang pembangunan. Dengan demikian perlu diberikan ruang untuk perubahan DDDTH
manakala integrasi sosial -ekonomi dan teknologi memungkinkan.
Ketujuh. Terkait dengan unit analisis. Tidak dipungkiri memang sumber daya alam dan
jasa lingkungan melintasi batas-batas adiministrasi. Meski secara ideal unit analisis yang
terbaik adalah berbasis ekoregion, namun karena konteks KRP adalah unit administrasi maka
disepakati unit analisis yang berbasis administrasi merupakan hal yang sangat feasible untuk
dilakukannya kuantifikasi DDDTH. Dengan rekayasa ilmiah, konteks unit ekoregion kemudian
dapat pula dilakukan setalah unit analisis pada tingkat administrasi dilakukan.

2.11. Metode Perhitungan Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup
2.11.1. Lingkup Pedoman
Metode penentuan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di Indonesia
telah dikembangkan sejak munculnya UU 32/2009 tentang PPLH. Dalam Pasal 12 dan 16,
kajian daya dukung dan daya tampung merupakan salah satu muatan dari RPPLH dan KLHS.
Daya dukung didefinisikan sebagai kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung
perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya. Sedangkan
daya tampung adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau
komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
Metode awal yang diimplementasikan dalam penentuan daya dukung dan daya
tampung dijabarkan dalam PermenLH No. 17/2009 tentang Pedoman Penentuan Daya
Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah. Meskipun demikian, pada
peraturan tersebut hanya dikembangkan metode daya dukung. Metode penentuan daya
dukung didekati dengan persamaan neraca ketersediaan (supply) dan kebutuhan (demand)
untuk air dan pangan dalam suatu wilayah administratif. Seiring dengan perkembangannya,
penentuan daya dukung dan daya tampung kemudian mulai didekati dengan konsep jasa
lingkungan dan analisis secara spasial. Evolusi pemahaman ini berdasarkan pertimbangan
bahwa jasa lingkungan mewakili kemampuan llingkungan hidup secara holistik, termasuk
menggambarkan keseimbangan antara manusia dan makhluk hidup lainnya.
Konsep ini lebih melihat pada pemanfaatan sumber daya alam secara luas dengan
pertimbangan fungsi yang dihasilkan dari interaksi unsur biotik dan abiotik sebagai modal
alam.

105
Dikutip dari pembahasan tersebut, jasa lingkungan teridentifikasi sebanyak 23 jenis
(MEA, 2005) yang kemudian dikelompokkan menjadi jasa penyedia, jasa pengatur, jasa
pendukung dan jasa budaya. Meskipun demikian, perhitungan kinerja jasa lingkungan hidup
dalam pedoman ini diprioritaskan hanya pada 7 jasa lingkungan. Tujuh Jasa Lingkungan
tersebut beserta penjelasannya adalah sebagai berikut:
1) Jasa Lingkungan Penyedia Air
Kinerja jasa lingkungan hidup sebagai penyedia air adalah kemampuan lingkungan hidup
dalam memberikan jasa penyediaan air untuk para pemanfaatnya. Indikator keadaannya
adalah jumlah total air (m3/ha), sedangkan indikator kinerjanya adalah jumlah maksimum
ekstraksi air secara berkelanjutan (m3/ha/tahun).
2) Jasa Lingkungan Penyedia Pangan
Kinerja jasa lingkungan hidup sebagai penyedia pangan memiliki definisi ketersediaan
tanaman (serealia dan non serealia) dan hewan yang dapat dimakan, dengan indikator
keadaannya adalah stok total dan rata-rata (dalam kg/ha). Sedangkan indikator kinerjanya
adalah luasan produktivitas bersih (dalam kkal/ha/tahun atau unit lainnya).
3) Jasa Lingkungan Pengatur Air
Kinerja jasa lingkungan hidup sebagai pengatur air memiliki definisi peran bentang alam
dan penutupan lahan dalam infiltrasi air dan pelepasan air secara berkala, dengan
indikator keadaannya adalah kapasitas infiltrasi (litologi, topografi, curah hujan, vegetasi,
tutupan) dan retensi air (vegetasi, topografi, litologi) dalam m3 dan indikator kinerjanya
adalah kuantitas infiltrasi dan retensi air serta pengaruhnya terhadap wilayah hidrologis.
4) Jasa Lingkungan Pengatur Iklim
Kinerja jasa lingkungan hidup sebagai pengatur iklim memiliki definisi pengaruh ekosistem
terhadap iklim lokal dan global melalui tutupan lahan dan proses yang dimediasi secara
biologis. Indikator keadaannya adalah tutupan lahan yang bervegetasi (Ha), sedangkan
indikator kinerjanya adalah luas tutupan lahan yang bervegetasi (Ha).
5) Jasa Lingkungan Pengatur Mitigasi Bencana Longsor
Kinerja jasa lingkungan hidup sebagai pengatur mitigasi bencana tanah longsor
didefinisikan sebagai struktur alam yang berfungsi untuk pencegahan dan perlindungan
dari tanah longsor. Indikator keadaannya berupa karakteristik bentang alam, vegetasi dan
penutupan lahan, sedangkan indikator kinerjanya adalah luasan karakteristik bentang
alam, vegetasi dan penutupan lahan yang berfungsi sebagai pencegahan dan
perlindungan terhadap tanah longsor (hektar).
6) Jasa Lingkungan Pengatur Mitigasi Bencana Banjir
Kinerja jasa lingkungan hidup sebagai pengatur mitigasi bencana banjir memiliki definisi
bahwa struktur alam yang berfungsi untuk pencegahan dan perlindungan dari banjir.
Indikator keadaannya berupa karakteristik bentang alam, vegetasi dan penutupan lahan,

106
sedangkan indikator kinerjanya adalah luasan karakteristik bentang alam, vegetasi dan
penutupan lahan yang berfungsi sebagai pencegahan dan perlindungan terhadap banjir
(hektar).
7) Jasa Lingkungan Pengatur Mitigasi Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan
Kinerja jasa lingkungan hidup sebagai pengatur mitigasi bencana kebakaran hutan dan
lahan didefinisikan sebagai struktur alam yang berfungsi untuk pencegahan dan
perlindungan dari kebakaran hutan dan lahan. Indikator keadaannya berupa karakteristik
bentang alam, vegetasi dan penutupan lahan, sedangkan indikator kinerjanya adalah
luasan karakteristik bentang alam, vegetasi dan penutupan lahan yang berfungsi sebagai
pencegahan dan perlindungan terhadap kebakaran hutan dan lahan (Ha).

Kinerja jasa lingkungan menjadi dasar dalam penentuan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup. Dalam pedoman ini, lingkup metode penentuan daya dukung dan
daya tampung lingkungan hidup hanya untuk Daya Dukung dan Daya Tampung Air yang
terdiri atas:
1) Metode penentuan kecukupan jasa lingkungan hidup sebagai penyedia air
2) Metode penentuan kecenderungan perubahan kinerja jasa lingkungan hidup sebagai
pengatur air

Dari kedua poin tersebut di atas, artinya hanya jasa lingkungan hidup penyedia air dan
pengatur air yang dikaji. Kedua Jasa Lingkungan tersebut dipilih berdasarkan hasil
pengembangan metode yang dilakukan oleh KLHK dibantu dengan tim ahli serta merupakan
jasa lingkungan hidup yang esensial dibandingkan dengan jasa lingkungan hidup lainnya.
Pedoman penentuan DDDT Jasa lingkungan hidup lainnya akan ditentukan kemudian dan
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pedoman ini.
Air merupakan sumber daya alam esensial yang menopang kehidupan manusia dan
makhluk hidup lainnya dan perlu dipelihara keberlanjutannya. Kebutuhan akan ketersediaan
air merupakan satu-satunya jasa lingkungan hidup yang dapat dirasakan merata di seluruh
wilayah Indonesia. Selain itu, air juga turut mengambil andil penting dalam keberlanjutan jasa
lingkungan hidup lainnya. Sebagai contoh yaitu jasa lingkungan hidup penyedia pangan.
Ketersediaan dan pengaturan air erat kaitannya dengan pertumbuhan dan produktifitas
tanaman pangan serta mempengaruhi produktivitas peternakan maupun perikanan, karena
pada dasarnya semua makhluk hidup membutuhkan air. Selain itu, jasa lingkungan mitigasi
bencana banjir dan longsor juga sangat dipengaruhi oleh kapasitas jasa lingkungan
pengaturan air karena berkaitan dengan tingkat infiltrasi dan retensi air pada suatu lahan.
Oleh karenanya, mengetahui D3T Air menjadi titik awal dalam mensintesa keterkaitan antara
ketersediaan air dengan daya dukung dan daya tampung jasa lingkungan hidup lainnya.

107
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, jasa lingkungan hidup sebagai
penyedia air adalah ketersediaan air untuk dimanfaatkan, yaitu jumlah maksimum ekstraksi
air secara berkelanjutan. Sedangkan Jasa lingkungan hidup sebagai pengatur air adalah
merupakan kuantitas infiltrasi dan retensi air serta pengaruhnya terhadap wilayah hidrologis.
Secara sederhana, jasa lingkungan hidup pengatur air merupakan penentu keberhasilan
siklus hidrologi (daur air) terutama pada proses infiltrasi dan kemudian mempengaruhi
ketersediaan air yang dapat diekstraksi (jasa penyedia air). Keterkaitan antara jasa
lingkungan hidup pengatur air dan penyedia air dalam siklus hidrologi di ilustrasikan sebagai
berikut.

Gambar 2.216. Siklus Hidrologi

Dalam siklus hidrologi, jasa lingkungan hidup pengatur air berperan dalam proses
infiltrasi, pengisian akuifer (air tanah), serta berperan dalam terjadinya air limpasan (run off).
Sementara itu, jasa lingkungan penyedia air merupakan ekstraksi penggunaan air yang
ditunjukan melalui pemanfaatan air tanah, penyerapan air oleh akar tumbuhan (plant uptake)
dan ketersediaan air permukaan. Hubungan keterkaitan antara jasa lingkungan pengatur air
dan penyedia air lebih sering tidak terjadi pada satu wilayah atau antar wilayah yang
berdekatan. Sebagai contoh yaitu penyerapan yang terjadi di daerah dataran tinggi dengan
tutupan lahan hutan akan memberikan dampak bagi ketersediaan air pada bagian hilir sungai.
Penentuan daya dukung dan daya tampung air dilakukan dengan memanfaatkan
informasi kinerja jasa lingkungan penyedia air dan pengatur air. Kinerja jasa lingkungan hidup
dinilai berdasarkan 3 parameter yaitu bentang alam, vegetasi alami dan penutup lahan.
Bentang alam dan tipe vegetasi alami merupakan pembentuk ekoregion sedangkan penutup
lahan merupakan faktor koreksi ekonomi berbasis lahan. Kombinasi dari ketiga parameter
tersebut diharapkan mampu menggambarkan kinerja jasa lingkungan hidup penyedia dan
pengatur air eksisting. Secara sederhana, alur penetapan daya dukung dan daya tampung air
adalah sebagai berikut:

108
Gambar 2.217. Penetapan Daya Dukung dan Daya Tampung Air

2.11.2. Kebutuhan Data


Secara umum, terdapat 2 jenis data yang dibutuhkan, yaitu data spasial dan data non-
spasial (tabular). Data yang dibutuhkan dalam penentuan DDDTLH Air berdasarkan tahapan
prosesnya adalah sebagai berikut:

I. Penentuan Kinerja Jasa Lingkungan Hidup


A. Peta Karakteristik Bentang Alam Dan Definisi Operasionalnya
Karakteristik bentang alam adalah bentangan permukaan bumi yang di dalamnya
terjadi hubungan saling terkait (interrelationship) dan saling kebergantungan
(interdependency) antar berbagai komponen lingkungan, seperti: udara, air, batuan,
tanah, dan flora-fauna, yang mempengaruhi keberlangsungan kehidupan manusia
yang tinggal di dalamnya (Verstappen, 1983).

B. Peta Tipe Vegetasi Alami Dan Definisi Operasionalnya


Vegetasi alami memiliki pengertian mosaik komunitas tumbuhan dalam lanskap yang
belum dipengaruhi oleh kegiatan manusia. Vegetasi alami beradaptasi dengan
lingkungannya dan karena itu ada dalam keharmonisan dengan unsur-unsur lain dari
lanskap (Kartawinata, 2010).

109
C. Peta Penutup Lahan Minimal 2 Periode Waktu Dan Definisi Operasionalnya
Menurut UU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial bahwa Penutupan
Lahan merupakan garis yang menggambarkan batas penampakan area tutupan di
atas permukaan bumi yang terdiri dari bentang alam dan/atau bentang buatan. Untuk
provinsi, skala informasi yang digunakan yaitu 1:250.000 sedangkan untuk kabupaten
1: 50.000 dan kota 1:25.000. Buku Informasi ini hanya dilengkapi oleh peta tutupan
lahan pada skala 1:250.000 sehingga daerah wajib melakukan pendetilan peta dengan
berkoordinasi dengan Badan Informasi Geospasial.

Tabel 2.29. Kedetilan Skala Informasi Parameter DDDTLH Pada Tiap Cakupan
Wilayah Perencanaan

D. Penentuan Bobot Dan Skor Masing-Masing Parameter


Penentuan bobot dan skor masing-masing parameter tiap Jasa Lingkungan dilakukan
melalui panel pakar di tingkat daerah dan/atau dapat mengacu pada hasil penentuan
bobot dan skor masing-masing parameter untuk penghitungan DDDTLH tingkat
Nasional atau Pulau. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyediakan
bobot dan skor 3 parameter 7 Jasa Lingkungan pada skala 1: 250.000 untuk tahun
2016 dan 1996. Diharapkan daerah mampu mengembangkan bobot dan skor,
terutama pada skala penutupan lahan yang lebih besar.

II. Kecukupan Jasa Lingkungan Hidup Sebagai Penyedia Air


A. Peta Grid Skala Ragam Indonesia Resolusi 5” x 5“
Untuk melakukan pemodelan atau analisis spasial, data yang digunakan harus berada
pada tingkat skala yang sama (uni-scale) untuk menghasilkan informasi yang baik.
Namun, ketersediaan, kesesuaian, dan keseragaman data spasial di Indonesia masih
terkendala di berbagai wilayah. Pendekatan dengan sistem grid skala ragam
memungkinkan dilakukannya analisis spasial yang melibatkan banyak jenis data
dengan berbagai skala/resolusi berbeda (Mashita, 2012). Selain itu, system grid juga

110
memungkinkan mengubah data tabular menjadi sebaran (spasial).
Dalam penentuan kecukupan JLH sebagai penyedia air, data spasial hasil penentuan
kinerja jasa lingkungan hidup penyedia air disiapkan dengan konsep sistem grid.
Konsep sistem grid Indonesia salah satunya dikembangkan oleh Riqqi, dkk. (2011)
Sistem grid skala ragam tersebut dibuat dengan memperhatikan datum geodetik,
sistem koordinat, titik asal sistem koordinat grid skala ragam, resolusi grid, dan sistem
penomoran grid. Sistem grid skala ragam ini dimanfaatkan untuk data lingkungan
Indonesia dengan titik asal (origin) sistem koordinat terletak pada koordinat geodetik
(90° BT, 15° LS); titik batas ujung timur dan ujung utara grid adalah 144° BT dan 10°
LU, sama dengan grid penomoran lembar peta rupa bumi Indonesia (RBI)
(BAKOSURTANAL, 2005). Titik asal tersebut terletak pada sudut kiri bawah yang
menjadi awal dari nomor grid pada sistem grid skala ragam Indonesia.
Setiap grid diberi Nomor Grid yang berfungsi sebagai pengenal setiap sel pada sistem
grid skala ragam. Dengan demikian, setiap sel dapat diketahui dengan mudah.
Sistematika penomoran dimulai dari titik asal dan seterusnya hingga ke arah timur dan
utara. Sistem penomoran grid dimulai dari grid ukuran 1°30′ × 1° ke yang lebih kecil
hingga 5″ × 5″ (Sofiyanti, 2010). Ukuran beserta resolusi; dan sistematika ukuran grid,
ditunjukkan Tabel di bawah ini. Penomoran grid yang berukuran lebih kecil diturunkan
dari nomor grid berukuran besar sehingga menghasilkan nomor pengenal yang unik
untuk setiap sel grid.
Tabel 2.230. Ukuran dan Resolusi Grid Skala Ragam

Keterangan: 1° ≈ 111 km (Sofiyanti, 2010)


KLHK telah menyediakan Peta Sistem Grid untuk ukuran 30’’ dan 5’’. Penggunaan grid
disesuaikan dengan luasan daerah yang dikaji, untuk provinsi yaitu 30” sedangkan
kabupaten kota yaitu 5”.

B. Jumlah populasi Provinsi/Kabupaten/Kota


Jumlah populasi tiap kabupaten/kota merupakan data tabular yang dikeluarkan oleh
Badan Pusat Statistik. Data ini nantinya akan dijadikan data spasial dengan

111
memanfaatkan sistem grid.

C. Data Ketersediaan Air


Data Ketersediaan Air beserta peta Wilayah Aliran Sungai digunakan untuk
menentukan ketersediaan air dalam satu provinsi atau kabupaten/kota. Sebaran
ketersediaan air akan dilakukan melalui dengan sistem Grid dan menggunakan peta
kinerja jasa lingkungan. Data Ketersediaan Air beserta peta Wilayah Aliran Sungai
bersumber dari Dirjen Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat.

D. Data Kebutuhan Air


Data kebutuhan air terdiri dari dua: (1) kebutuhan domestik; dan (2) kebutuhan lahan.
Kebutuhan domestik ditentukan dengan jumlah penduduk dan standar kebutuhan air
per kapita. Standar ini dapat ditemukan di Peraturan Menteri Negara Lingkungan
Hidup No. 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan
Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah. Kebutuhan air untuk pemanfaatan lahan dapat
didekati dengan literartur terkait dan memanfaatkan peta Tutupan Lahan.

III. Kecenderungan Perubahan Kinerja Jasa Lingkungan Hidup Pengatur Air


Data yang dibutuhkan untuk analisis ini merupakan data hasil dari penentuan kinerja jasa
lingkungan hidup pada proses sebelumnya.

2.11.3. Tahapan Penentuan Daya Dukung Daya Tampung Lingkungan Hidup


Tahapan penentuan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup adalah sebagai
berikut :
1) Kinerja Jasa Lingkungan Hidup
Jasa lingkungan hidup adalah manfaat dari ekosistem dan lingkungan hidup bagi manusia
dan keberlangsungan kehidupan yang diantaranya mencakup penyediaan sumber daya
alam, pengaturan alam dan lingkungan hidup, penyokong proses alam dan pelestarian
nilai budaya. Penghitungan kinerja jasa lingkungan hidup dilakukan untuk mengetahui
supply (ketersediaan) dari alam. Untuk mengetahui kinerja jasa lingkungan menggunakan
3 parameter yaitu karakteristik bentang alam, tipe vegetasi alami dan penutup lahan.
Proses identifikasi kinerja jasa lingkungan hidup meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
A. Inventarisasi Tipologi Terhadap Parameter Bentang Alam, Tipe Vegetasi Alami Dan
Penutupan Lahan
Tahapan awal penentuan peta kinerja jasa lingkungan hidup adalah inventarisasi
tipologi dari masing-masing parameter beserta deliniasinya. Hasil inventarisasi ini

112
pada dasarnya bersifat umum, yaitu menggambarkan kondisi wilayah yang dikaji
melalui parameter tersebut. Sehingga hasil ini tidak hanya spesifik untuk jasa
lingkungan hidup tertentu atau hanya berlaku pada kajian ini saja.
Peta informasi bentang alam dan tipe vegetasi alami tersedia di KLHK pada skala 1:
250.00. Sedangkan penutup lahan, pemerintah daerah harus melakukan inventarisasi
ulang pada skala yang sesuai. Pendetilan peta penutup lahan dilakukan melalui
asistensi dengan BIG dan mengikuti kelas tutupan lahan yang tercantum dalam SNI
7645:2010.

B. Penentuan Bobot Parameter Bentang Alam, Tipe Vegetasi Alami Dan Penutupan
Lahan
Model matematik yang digunakan untuk mengetahui kinerja jasa lingkungan hidup
adalah metode penjumlahan berbobot (Simple Additive Weighting), dengan penentuan
bobot dan skor. Penentuan bobot dilakukan oleh pakar (expert judgement) untuk
parameter bentang alam, tipe vegetasi alami dan penutupan lahan. Penentuan bobot
ini didasarkan pada peran masing-masing parameter dalam memberikan jasa
lingkungan hidup. Pada penentuan kinerja jasa lingkungan hidup yang telah dilakukan
oleh KLHK, digunakan bobot 28% untuk bentang alam, 12% untuk tipe vegetasi alami,
dan 60% untuk penutupan lahan.

C. Penentuan Skor Parameter Bentang Alam, Tipe Vegetasi Alami Dan Penutupan Lahan
Setelah melakukan inventarisasi bentang alam, tipe vegetasi alami, dan penutupan
lahan, langkah berikutnya dilanjutkan dengan penentuan skor pada masing-masing
tipologi parameter. Penentuan skor didasari oleh penilaian yang dilakukan para pakar
(expert judgement) dalam melakukan estimasi besaran pengaruh tipologi parameter
terhadap jasa lingkungan hidup. Proses penilaian bobot dan skor didukung antara lain
dengan melakukan verifikasi terhadap akurasi informasi parameter melalui ground
check. Pada dasarnya, skor dipahami sebagai kemampuan masing-masing parameter
dalam memberikan fungsi dan jasa lingkungan hidup. Rentang penilaian skor terhadap
parameter adalah 1 hingga 5, dimana angka 1 merupakan skor terendah dan angka 5
merupakan skor tertinggi.

D. Perhitungan Indeks Kinerja Jasa Lingkungan Hidup


Setelah didapatkan skor dan bobot, kemudian dilakukan perhitungan indeks kinerja
jasa lingkungan hidup dengan metode Simple Additive Weight. Pada dasarnya,
metode ini merupakan metode sederhana dengan cara menjumlahkan hasil perkalian
bobot dan skor dari masing-masing parameter. Model matematik yang digunakan

113
adalah sebagai berikut.

Keterangan:
wba = bobot bentang alam
sba = skor bentang alam
wveg = bobot vegetasi
sveg = skor vegetasi
wpl = bobot penutupan lahan
spl = skor penutupan lahan

E. Klasifikasi Indeks Dan Interpretasi Visual


Hasil perhitungan akan menghasilkan indeks kinerja jasa lingkungan hidup penyedia
air dengan rentang indeks 1 sampai 5. Indeks ini kemudian diklasifikasikan ke dalam
5 kategori dengan menggunakan skala likert, sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab
Metodologi. Nilai interval tiap kategori adalah 0,8, dari sangat rendah hingga sangat
tinggi. Untuk memudahkan visualisasi pada peta, masing-masing kategori memiliki
warna yang berbeda seperti berikut.

Untuk skala 1:250.000, indikator kinerja, besarnya bobot dan skor untuk masing-
masing parameter tiap jasa lingkungan yang akan dihitung terdapat dalam lampiran
pedoman ini.

114
2) Metode penentuan kecukupan jasa lingkungan hidup sebagai penyedia air
A. Perhitungan Ketersediaan Air tiap Grid
Setelah mengetahui indeks jasa lingkungan hidup, langkah berikutnya dilanjutkan
dengan perhitungan ketersediaan air. Perhitungan ketersedian air dilakukan melalui
pendekatan system grid dengan resolusi 30” x 30” (±0,9km x 0,9km).
a) Identifikasi Wilayah Aliran Sungai (WAS) dan ketersedian air
Wilayah aliran sungai dan ketersediaan air diidentifikasi melalui peta wilayah
sungai tahun 2016 yang diterbitkan oleh Ditjen Sumber Daya Air, Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Dari data ketersediaan air tiap WAS, digunakan asumsi 80% dari ketersediaan air
merupakan jumlah air yang dapat digunakan secara optimal atau disebut juga
sebagai ketersediaan air andalan.

b) Analisis Tumpang Susun (Overlay) antara Peta Wilayah Aliran Sungai, Peta Grid
dan Peta Kinerja Jasa Lingkungan sebagai Penyedia Air
Tahapan berikutnya melakukan pendistribusian ketersediaan air berdasarkan
indeks jasa lingkungan hidup dan sistem grid. Peta Wilayah Aliran Sungai adalah
peta yang memuat informasi ketersediaan air tiap wilayah aliran sungai.
Sedangkan Peta Jasa Lingkungan Hidup adalah peta yang memuat informasi
indeks kinerja jasa lingkungan hidup. Peta Grid adalah peta dengan sistem
pembagian grid dengan resolusi 30"x30" (0,9 km x 0,9 km).
Ketiga peta ini ditumpang susunkan sehingga dalam satu ID grid akan termuat
data indeks kinerja jasa lingkungan hidup sebagai penyedia air sekaligus informasi
ketersediaan air tiap WAS. Dalam hal ini, indeks kinerja jasa lingkungan hidup
berperan sebagai faktor pendistribusian, jika nilai indeks tinggi maka nilai
ketersediaan air pun tinggi.
Contoh penampang satu grid sebagai hasil analisis tumpang susun dapat dilihat
pada gambar berikut.

115
Gambar 2.218. Contoh Penampang Grid Analisis Tumpang Susun

Dari ilustrasi di atas, proses overlay dari ketiga peta tersebut menghasilkan
deliniasi baru berupa tujuh poligon dalam satu grid. Akan tetapi, informasi
ketersediaan air dan IJLH penyedia air yang disajikan dalam grid merupakan
jumlah total, belum proporsional berdasarkan deliniasi poligon baru. Dapat
dicermati dari gambar di atas, terdapat dua kelas IJLH dengan satu WAS maka
informasi IJLH dan ketersediaan air pada poligon No. 1 akan berisi data yang sama
dengan polygon No. 5, 6, dan 7. Sama halnya, poligon No.2 berisi informasi IJLH
dan ketersediaan air yang sama dengan poligon No. 3 dan 4. Proses analisis pada
tahapan ini hanya dapat mengidentifikasi luasan masing-masing polygon.

c) Distribusi Jumlah Ketersediaan Air tiap Grid


Langkah berikutnya adalah mendistribusikan ketersedian air dari poligon-poligon
yang terbentuk supaya dapat mengidentifikasi jumlah ketersediaan air dalam satu
grid. Dari contoh penampang grid tersebut, kita awali dengan menghitung indeks
jasa lingkungan hidup (IJLH) sebagai penyedia air tiap polygon dengan rumus
berikut.

Setelah melakukan perhitungan indeks JLH poligon untuk seluruh grid, dilanjutkan
dengan penjumlahan seluruh indeks jasa lingkungan hidup sebagai penyedia air
untuk tiap Wilayah Aliran Sungai (IJLHWAS). Biasanya satu Wilayah Aliran Sungai
terdiri dari lebih dari ribuan ID grid, jadi dapat dibayangkan jika satu grid memiliki
lebih dari satu bagian poligon di dalamnya maka kombinasi data yang didapatkan
bisa mencapai jutaan data. Oleh karenanya, proses analisis dan perhitungan lebih

116
mudah dilakukan menggunakan platform aplikasi spasial seperti ArcGIS dan
sejenisnya.
Sebagai contoh, dari proses penjumlahan ribuan data grid dalam satu WAS
didapatkan nilai IJLHWAS sebesar 48.440. Nilai IJLHWAS inilah yang digunakan
sebagai pembanding terhadap IJLHPOLIGON untuk mencari proporsi
ketersediaan air tiap poligon. Konsep tersebut diilustrasikan pada gambar di
bawah ini.
Formatted: Centered

Ilustrasi di atas diformulasikan secara sederhana dengan model matematik berikut


ini.

Rumus tersebut digunakan untuk mendapatkan proporsional pendistribusian


ketersediaan air tiap poligon. Setelah itu, ketersediaan air masing-masing polygon
dalam satu grid dijumlahkan untuk mendapatkan total ketersediaan air tiap grid.

B. Perhitungan Kebutuhan Air tiap Grid


Pada dasarnya, perhitungan kebutuhan air untuk penetapan D3T Air Nasional masih
memanfaatkan analisis spasial berbasis sistem grid dengan mempertimbangkan
kebutuhan air dari sektor rumah tangga dan sektor kegiatan ekonomi berbasis lahan.
Oleh karenanya, pembahasan perhitungan kebutuhan air pada bab ini dibagi
berdasarkan dua sektor tersebut.
- Perhitungan Kebutuhan Air untuk Rumah Tangga
Kebutuhan air rumah tangga dihitung dengan basis jumlah penduduk. Konsep
yang diterapkan adalah membuat distribusi penduduk tiap grid dengan
mempertimbangkan faktor penutupan lahan. Pertimbangan distribusinya
didasarkan pada pembobotan tiap tipe penutupan lahan.
Beberapa referensi telah menyatakan bahwa wilayah pemukiman atau
perkampungan memiliki kepadatan penduduk yang lebih tinggi dari wilayah lainnya
dengan demikian nilai bobot pada tipe penutupan lahan pun tinggi. Asumsinya,
kemudahan akses sangat mempengaruhi letak suatu perkampungan atau
pemukiman. Oleh karenanya, nilai pembobotan pada jalan untuk pendistribusian

117
jumlah penduduk juga tinggi.

Mengaplikasikan Sistem Grid dalam Peta Administrasi


Berdasarkan konsep di atas, maka langkah awal yang perlu dilakukan adalah overlay
peta administrasi (yang berisi informasi jumlah penduduk di dalamnya) dengan peta
grid. Catatan yang harus diperhatikan adalah memastikan setiap grid tidak berada
pada dua atau lebih batas administrasi. Hal ini penting dilakukan agar dalam satu ID
grid tidak mencantumkan dua data jumlah penduduk dan nama kabupaten/kota yang
berpotensi menyebabkan double counting. Apabila data jumlah penduduk yang
digunakan adalah data statistik kabupaten/kota maka sewajarnya batas administrasi
yang dianalisis juga batas kabupaten/kota. Gambar di bawah ini dapat memberikan
gambaran contoh proses rekayasa alokasi grid dalam batas administrasi.
Proses di atas akan menghasilkan Peta Administrasi Grid. Peta ini yang akan dijadikan
dasar untuk memotong penutupan lahan dan jalan sesuai grid administrasi.
Formatted: Centered

Gambar 2.219. Sistem Grid dalam Peta Administrasi

Menilai Bobot Tipe Penutupan Lahan tiap Grid


Proses selanjutnya adalah
- Menilai bobot tipe penutupan lahan. Bobot tipe penutupan lahan ditentukan oleh
pakar dan/atau disesuaikan dengan referensi ilmiah. Semakin besar bobot pada
tipe penutupan lahan, maka distribusi jumlah penduduk di wilayah tersebut akan
semakin besar. Tabel berikut ini merupakan bobot penutupan lahan yang
digunakan pada perhitungan kebutuhan air dalam proses Penetapan D3T Air
Nasional.

118
Tabel 2.31. Bobot Penutupan Lahan dalam Kebutuhan Air

- Melakukan overlay Peta Administrasi Grid dengan Peta Penutupan Lahan


sehingga masing-masing grid memiliki informasi tutupan lahan beserta bobotnya.
Proses overlay akan menghasilkan grid dengan beberapa poligon, kondisi yang
serupa dengan penjabaran poligon pada pembahasan “perhitungan ketersediaan
air tiap grid”.
- Melakukan perhitungan proporsi bobot tipe penutupan lahan untuk tiap poligon
pada masing-masing grid. Jika ketersediaan air menggunakan IJLH sebagai faktor
distribusi ketersediaan air, maka kali ini kebutuhan air menggunakan bobot tipe
penutupan lahan untuk mendistribusikan penduduk. Rumus yang digunakan untuk
menghitung proporsi bobot tipe penutupan lahan (PL) adalah sebagai berikut.
Formatted: Indent: Left: 0.75"

- Menjumlahkan bobot tipe penutupan lahan tiap poligon dalam satu grid untuk
mendapatkan total Bobot Penutupan Lahan Grid (WPL).

Menilai Bobot Jalan tiap Grid


Proses berikutnya adalah :
- Melakukan overlay Peta Administrasi Grid dengan Peta Jalan untuk dihasilkan
peta jalan dalam sistem grid. Proses ini bertujuan memotong peta jalan tetap

119
dalam bentuk garis (bukan poligon/area). Sama seperti penentuan bobot tipe
penutupan lahan, penilaian pada bobot jalan didasarkan pada expert judgement.
Penampang grid jalan diilustrasikan pada gambar di bawah ini.
Formatted: Centered

Gambar 2.20. Ilustrasi Penampang Grid

- Melakukan perhitungan proporsi bobot tiap satuan garis pada masing-masing grid.
Konsep perhitungan yang dilakukan sama seperti menghitung bobot tipe
penutupan lahan. Hanya saja pada perhitungan bobot jalan menggunakan satuan
panjang jalan sebagai pembandingnya.

Dengan model matematik di atas, kita dapat menghitung bobot jalan tiap garis
yang lalu dijumlahkan setiap Grid (WJLN). Formatted: Subscript

- Menjumlahkan nilai WPL dan WJLN untuk mendapatkan bobot distribusi per grid
(WGRID) sebagai faktor distribusi penduduk.

Distribusi Penduduk
Setelah bobot distribusi penduduk tiap grid (WGRID) diketahui, langkah berikutnya
yaitu :
- Menghitung jumlah penduduk tiap grid. Konsep perhitungan yang digunakan
masih sama membandingkan satu grid dengan total grid seperti rumus berikut ini.

Nilai total bobot grid disesuaikan dengan batasan administrasi yang dikaji. Jika
data populasi yang digunakan adalah data Kabupaten/Kota maka batas total bobot
grid mengikuti batasan administrasi Kabupaten/ Kota. Formatted: Font: (Default) Arial, Font color: Text 1

Distribusi Kebutuhan Air Rumah Tangga tiap Grid (D GRID)


Dari data penduduk grid tersebut maka langkah berikutnya yaitu :
- Menentukan kebutuhan air rumah tangga dengan cara mengkalikannya dengan

120
angka KHL sebesar 43,2 m 3 /tahun/kapita (standar kebutuhan air hidup layak)
dan angka 2 sebagai faktor koreksi, rumus yang digunakan seperti di bawah ini.

- Melakukan Perhitungan Kebutuhan Air untuk Kegiatan Ekonomi Berbasis Lahan


(Penutupan Lahan)
Peta yang digunakan sebagai dasar analisis adalah Peta Penutupan Lahan
dengan sistem grid yang telah ditumpangsusunkan pada tahapan sebelumnya.
Dari peta tersebut, dihitung kebutuhan air penutupan lahan dengan menggunakan
persamaan yang diadopsi dari rumus perhitungan penggunaan air untuk padi
(persawahan) per tahun sebagai berikut.

Qi : jumlah penggunaan air tutupan lahan dalam setahun untuk grid ke-i (m3 Formatted Table
/tahun)
Ai : luas lahan grid ke-i (hektare)
I : intensitas tanaman dalam persen (%) musim per tahun
q : standar penggunaan air

Penggunaan air untuk kegiatan ekonomi berbasis lahan dihitung dengan


pendekatan penghitungan luasan penutupan lahan yang terdiri dari :
a. sawah,
b. perkebunan/kebun,
c. tegalan/pertanian lahan kering dan
d. tambak/perikanan air tawar.

Tipe tutupan lahan yang dihitung kebutuhan airnya mengacu pada kelas penutup
lahan skala 1:50.000 atau 1:25.000 sebagaimana termuat dalam Lampiran C SNI
7645:2010 dan hanya kelas penutup lahan yang berkaitan dengan kegiatan
ekonomi (produksi).

121
Tabel 2.32. Lampiran C SNI-7645:2010

122
Sumber : Ditjen Cipta Karya, 2000 ; Triatmojo

- Menentukan Kebutuhan Air tiap Grid. Setelah mengetahui jumlah kebutuhan air
untuk rumah tangga (DGRID) dan lahan (QGRID), kedua nilai ini dijumlahkan
(TGRID). Nilai inilah yang disebut sebagai Kebutuhan Air tiap Grid untuk
dibandingkan dengan Ketersediaan Air tiap Grid.

123
C. Mengidentifikasi Status D3T tiap Grid Melalui Selisih Ketersediaan dan Kebutuhan
Langkah berikutnya, yaitu mencari selisih ketersediaan dan kebutuhan air tiap grid
untuk menentukan status D3T penyedia air. Kondisi status D3T Air terlampaui
merupakan kondisi dimana kebutuhan lebih tinggi dibandingkan ketersediaan airnya.
Kondisi ini ditandai dengan hasil pengurangan ketersediaan terhadap kebutuhan air
bernilai nol atau negatif (-), begitupun sebaliknya.

C.
D. Penentuan Ambang Batas Penduduk yang Dapat Didukung
Setelah melakukan identifikasi status D3T Air, analisis tambahan dapat dilakukan
untuk mengetahui seberapa banyak populasi maksimum yang mampu didukung
dengan kondisi ketersediaan air yang ada. Analisis ini merupakan penentuan ambang
batas penduduk.
Rumus yang digunakan untuk menghitung ambang batas penduduk adalah sebagai
berikut :

ABGRID = ambang batas penduduk yang dapat didukung tiap grid (jiwa) Formatted: Subscript
K.AirGRID = ketersediaan air per grid (m3/th) Formatted: Subscript
TGRID = total kebutuhan air per grid (m3/ th) Formatted: Subscript
D. KHLA = kebutuhan air untuk hidup layak, 800 m3 air/kapita/th

3) Metode Penentuan Kecenderungan Perubahan Kinerja Jasa Lingkungan Hidup Sebagai


Pengatur Air Formatted: Font: Bold
Untuk menentukan kecenderungan perubahan kinerja jasa lingkungan hidup dibutuhkan
2 peta penutupan lahan pada tahun pada saat dilaksanakan kajian (T1) dan tahun acuan
(T0). Hal ini untuk menentukan kinerja jasa lingkungan pada tahun eksisting dan tahun
acuan dengan asumsi bentang alam dan vegetasi alami tidak mengalami perubahan.
Sehingga skor untuk parameter tersebut dianggap tetap. Setelah itu, masing-masing
tahun yang dikaji dianalisis kinerja jasa lingkungannya berdasarkan tata cara
sebagaimana poin 2. Pada umumnya, penentuan kecenderungan kinerja dapat
diaplikasikan di seluruh jasa lingkungan hidup, namun pada pembahasan kali ini hanya
digunakan jasa lingkungan hidup pengatur air sebagai informasi pendukung bagi status
kecukupan jasa lingkungan hidup penyedia air.
Prosesnya meliputi tahapan sebagai berikut:

124
- Melakukan overlay antara peta kinerja jasa lingkungan hidup pada tahun pada saat
dilaksanakan kajian (T1) dan tahun acuan (T0).
- Mengidentifikasi tingkat kecenderungan jasa lingkungan hidup suatu wilayah yang
menurun, meningkat, atau tetap berdasarkan selisih indek jasa lingkungannya.
Rumusnya yaitu:

Dikatakan menurun apabila hasil perhitungan selisih indeks kinerja jasa lingkungan
menandakan negatif (-); meningkat apabila nilainya positif (+), dan nol untuk tetap.
Kecenderungan perubahan kinerja jasa lingkungan hidup dapat digunakan untuk
mengetahui sebaran spasial wilayah yang mengalami perubahan dan penyebab
perubahan kinerja jasa lingkungan hidup dilihat dari parameter penutupan lahan.

2.12. Pemanfaatan Informasi Status Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan
Hidup
Informasi status daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup daerah dapat
dimanfaatkan sebagai bahan kajian dalam:
1) Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
2) Kajian Lingkungan Hidup Strategis
3) Tata Ruang (RTRW/RZWP3K)
4) Izin Lingkungan
5) Sebagai data sintesa untuk berbagai pemanfaatan sumber daya alam dalam berbagai
sektor.

Seperti telah dibahas pada bab sebelumnya bahwa informasi status daya dukung dan
daya tampung lingkungan hidup ini sebagai faktor pembatas dalam pemanfaatan sumber
daya alam dan lingkungan hidup. Faktor pembatas dalam status ini adalah ambang batas
populasi yang dapat dilayani oleh jasa lingkungan penyedia sumber daya (sebagai contoh air
dan pangan).
Populasi yang meningkat tanpa terkendali, berbanding lurus dengan kebutuhan akan
pangan dan meningkatnya industri yang menopang populasi dalam pemenuhan terhadap
sumber dayanya. Meningkatnya kegiatan industri mengakibatkan polusi yang tak terkendali
pula. Sehingga berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan hidup dan daya dukung
lingkungan. Seperti digambarkan oleh Donnella Meadows dalam gambar di bawah ini.

125
Formatted: Centered

Gambar 2.21. Pemanfaatan Sumber Daya Alam Menurut Donella Meadows

Dari sisi penyediaan (Supply) memastikan fungsi lingkungan hidup berjalan baik,
dengan memastikan jasa lingkungan tidak terus menurun karena faktor pembangunan
sehingga manfaat yang akan diterima oleh manusia tidak berkurang. Sedangkan Jika pola
konsumsi masyarakat (Demand) tidak diatur atau dibuat tidak terbatas maka ambang batas
daya dukung dan daya tampungnya akan terlampaui. Dapat dilihat dalam gambar di bawah
ini.
Formatted: Centered

Gambar 2.22. Grafik pola Konsumsi dan DDDTLH

Untuk menjaga daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup tidak terlampaui
dapat dilakukan dengan 2 skenario :
1) Dari sisi demand
Berupaya untuk mengubah pola konsumsi masyarakat dan meningkatkan teknologi yang
dapat mendukung ketersediaan sumber daya alam
2) Dari sisi Supply
Menahan laju penurunan daya dukung dan daya tampung, memperbaiki kualitas jasa dari
lingkungan, pengembangan dan penerapan teknologi ramah lingkungan dalam segala
aspek pembangunan, meningkatkan ketahanan lingkungan terhadap perubahan iklim.

126
Skenario-skenario tersebut berorientasi pada pembangunan berkelanjutan yang
antara lain mempertimbangkan informasi daya dukung pangan, daya dukung air,
kecenderungan perubahan kinerja jasa lingkungan dalam rentang periode waktu, dan status
perizinan pemanfaatan sumberdaya alam pada suatu wilayah. Dalam skenario pembangunan
berkelanjutan, pemanfaatan sumberdaya alam di dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan
daya tampung lingkungan hidup, sesuai dengan pasal 12 ayat 2 UU 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup agar memperhatikan 3 hal sebagai berikut:
1) Keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup;
2) Keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup; dan
3) Keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat

Informasi yang berasal dari daya dukung air, daya dukung pangan, kecenderungan
perubahan kinerja jasa lingkungan dan status perizinan sumberdaya alam diintegrasikan dan
dianalisis untuk menghasilkan satu interaksi antar manusia dengan sistem ekologi sosialnya.
Dalam pandangan sistem ekologi sosial interaksi OAP dan penduduk Papua dapat dikenali
dengan 3 parameter yaitu:
1) kerentanan (vulnerability),
2) ketahanan (resilience), dan
3) keberlanjutan (sustainability).

Pembangunan berkelanjutan mencerminkan pembangunan jangka panjang dan


dalam hal ini parameter interaksi yang digunakan untuk menggambarkan dimensi waktu yang
panjang dalam pembangunan berkelanjutan adalah kerentanan (vulnerability).
Kerentanan berkaitan dengan segala sesuatu yang akan menyebabkan bahaya pada
masa yang akan datang dalam sebuah ekosistem. Ketahanan mempunyai pengertian
kemampuan suatu masyarakat dalam beradaptasi terhadap suatu perubahan yang mereka
alami atau akan alami sebagai upaya perlindungan pada ekosistem dari berbagai pengaruh
perubahan sosial dan lingkungan hidup. Setelah potensi kerentanan diketahui, kita dapat
dengan leluasa menentukan bentuk ketahanan yang sesuai. Pola adaptasi tersebut akan
menunjang keberlanjutan sebagai pola yang mengikuti kelompok masyarakat tertentu.
Kerentanan memiliki kontekstual ekologi karena terkait dengan biofisik dan sosio ekonomi
(Adger, Lorenzoni dan O’Briend, 2009).
adalah informasi kecenderungan perubahan kinerja jasa lingkungan untuk jasa
lingkungan selain penyedia air dan penyedia pangan. Dengan metode yang sama,
kecenderungan perubahan kinerja jasa lingkungan yang dapat diidentifikasi sesuai dengan
ketersediaan data adalah untuk :
1) Jasa Lingkungan Hidup sebagai Pengatur Air

127
2) Jasa Lingkungan Hidup sebagai Pengatur Iklim
3) Jasa Lingkungan Hidup sebagai Pengatur Mitigasi Bencana Longsor
4) Jasa Lingkungan Hidup sebagai Pengatur Mitigasi Bencana Banjir
5) Jasa Lingkungan Hidup sebagai Pengatur Mitigasi Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan

Informasi kenderungan perubahan kinerja jasa lingkungan tersebut dapat


dimanfaatkan sebagai bahan kajian yang setara dengan informasi status daya dukung
lingkungan. Informasi ini dapat mengindikasikan pola kecenderungan jasa lingkungan
semakin baik atau sebaliknya semakin memburuk kualitasnya sehingga dapat menjadi dasar
dalam menentukan kebijakan pemanfaatan sumberdaya alam.
Sebagai ilustrasi pemanfaatan data dan informasi status daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup digambarkan pada gambar dibawah ini :
Formatted: Centered

Gambar 2.23. Pemanfaatan Informasi D3TLH

128
Gambar 2.24. Ilustrasi Contoh Pemanfaatan Informasi D3TLH dalam Perencanaan

129
BAB III
METODE DAN RENCANA KERJA

3.1. Metode dan Analisis Data


Metode penelitian adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan cara dan tujuan
tertentu. Artinya, kegiatan penelitian perlu dilakukan berdasarkan standar ciri-ciri keilmuan,
yaitu rasional, sistematis, dan empiris. Rasional artinya penelitian tersebut masuk akal
sehingga dapat dijangkau oleh nalar manusia. Empiris artinya cara atau langkah yang
dilakukan dapat diamati oleh indera manusia. Sementara itu, sistematis artinya penelitian
menggunakan langkah-langkah yang bersifat masuk akal atau logis.
Metode yang digunakan dalam pekerjaan ini yaitu dengan Metode Penelitian
Gabungan (Mixed Methods), dimana dilakukan penggabungan metode kuantitatif dan metode
kualitatif. Metode ini dilakukan dengan tujuan untuk salaing melengkapi gambaran hasil studi
mengenai fenomena yang diteliti dan untuk memperkuat analisis penelitan. Alan Bryman
dalam buku Mixing Methods: Qualitative and Quantitative karya Julia Brannen (1997)
menyatakan bahwa pendekatan kuantitatif memiliki kelebihan dan kekurangan, demikian juga
penelitian kualitatif juga, penggabungan adalah cara untuk melengkapi atau
menyempurnakan.
Mikkelsen, Britha dalam bukunya Methods for development work and Research: A.
Guide for Practitioners (1995) menyatakan ada ruang-ruang untuk mengkombinasikan
metode kuantitatif dan kualitatif dari berbagai disiplin. Penelitian kuantitatif dapat digunakan
untuk mengisi kesenjangan-kesenjangan yang muncul dalam studi kualitatif. Hal ini terjadi
karena penelitian kuantitatif lebih efisien pada penelusuran ciri-ciri ‘struktural’ kehidupan
sosial, sementara penelitian kualitatif biasanya lebih kuat dalam aspek-aspek operasional.
Oleh karenanya, kekuatan ini dapat dihadirkan bersama-sama dalam satu studi. Selain itu,
kelebihan beberapa fakta kuantitatif dapat membantu menyederhanakan fakta ketika sering
kali tidak ada kemungkinan menggeneralisasi (dalam arti statistik) temuan- temuan yang
diperoleh dari penelitian kualitatif.

1) Persiapan dan Mobilisasi


Pada tahap ini yang dilakukan adalah menyusun Rencana Kerja Terinci mengenai semua
tahapan kegiatan yang akan dilaksanakan. Tujuan penyusunan rencana ini adalah untuk
memonitor dan mengatur aktifitas kegiatan dikaitkan dengan penggunaan sumber-sumber
daya, dan sebagai pemantauan kemajuan pekerjaan serta acuan tahapan pembayaran
bagi konsultan.
2) Pengumpulan Data Primer
Beberapa survei yang akan dilakukan terkait pengumpulan data primer untuk studi ini

130
yaitu:
a) Merunut legislasi (peraturan perundang-undangan);
b) Merunut kesesuaian dengan kebijakan yang tercantum pada dokumen formal yang
memiliki hierarki diatasnya;
c) Merunut dokumen formal (kesesuaian dengan hasil yang diharapkan/ tujuan dan
sasaran)
d) Interview dan pengumpulan data dengan penyusun kebijakan atau administrator
program (dinas terkait).
e) Identifikasi kondisi eksisting wilayah.
f) Penjaringan aspirasi masyarakat di wilayah perencanaan serta aparat pemerintah
yang terkait.

3) Pengumpulan Data Sekunder


Data sekunder dapat diperoleh dari instansi/dinas terkait lainnya maupun dari pihak
swasta yang dapat dijadikan referensi dalam studi ini. Beberapa data sekunder yang
dibutuhkan untuk pelaksanaan studi ini diantaranya adalah:
a) Data Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
b) Data Peta Topografi
c) Data Rencana Tata Ruang Wilayah Lokasi Pekerjaan
d) Data Kependudukan
e) Data Kepemilikan Lahan
f) Data Tata Guna Lahan/RTRW
g) Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) RTRW
h) Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) RDTR
i) Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) RPJMD

4) Focus Group Discossion


Penggalian informasi yang lebih mendetail dilakukan melalui FGD (Focus Group
Discussion ) ataupun Indepth interview dengan pihak terkait baik menggunakan kuesioner
ataupun wawancara mendalam. FGD dilakukan dua kali, dimana pertama dimaksudkan
untuk mengenalkan substansi RPPLH dan penjaringan informasi tentang isu-isu strategis,
sedangkan FGD kedua dilakukan untuk mengkoordinasikan programprogram
pembangunan yang terkait dengan lingkungan hidup, yang telah dilakukan para
Stakeholder yang memiliki kontribusi langsung bagi perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.

131
5) Pengolahan dan Analisis Data
A. Data Kualitatif
Analisis data kualitatif digunakan untuk menafsirkan dan memahami kualitas data yang
diperoleh dari pengumpulan data. Analisis data kualitatif sangat bergantung pada
interpretasi. Apabila kamu sudah mahir dalam melakukan pengumpulan data kualitatif,
maka akan cukup mudah untuk menginterpetasikannya dalam bentuk pemaparan atau
deskripsi yang lebih mendalam. Hal ini biasanya disertai dengan asumsi dan beberapa
pendapat atau rujukan dari referensi terpercaya.
Dalam analisis data kualitatif, penting untuk dapat mengembangkan pendekatan
sistematis. Ada empat langkah yang dapat kamu lakukan yaitu sebagai berikut:

1) Melakukan peninjauan data.


Sebelum melakukan analisis data apapun, penting untuk memahami data yang sudah
dikumpulkan dan meninjuanya secara berkala. Sebagai contoh, apabila data yang
dimiliki merupakan transkrip wawancara, baca kembali transkrip tersebut secara
menyeluruh hingga didapatkan gambaran umum mengenai hasil wawancara tersebut.
Kemudian berikan pendapat kamu pada temuan yang didapatkan. Hal ini sebagai
tanggapan awal yang mungkin nantinya akan berguna untuk menafsirkan data.
2) Mengatur data yang terkumpul.
Data kualitatif yang terkumpul cenderung panjang dan rumit. Setelah melakukan
peninjauan, kamu dapat mengklasifikasikannya ke dalam beberapa bagian. Terdapat
beberapa pengelompokaan/pengklasifikasian data misalnua berdasarkan tanggal
pengambilan data, jenis pengumpulan data, atau berdasarkan pertanyaan yang
ditanyakan.
3) Melabeli data
Pelabelan atau biasa disebut pengkodean merupakan proses identifikasi dan
pemberikan label sesuai dengan tema/topik dari data yang kamu analisis.
4) Menafsirkan data
Interpretasi data menyertakan makna dan signifikansi daya yang diperoleh. Coba
lakukan tinjuan berulang untuk melihat hubungan antara tema/topik dengan hasil,
kemudian ambil kesimpulan dari hasil interpretasi.

B. Data Kuantitatif
Data kuantitatif merupakan data yang disajikan dalam bentuk numerik. Data ini dapat
diukur (measurable) atau dihitung secara langsung sebagai variabel angka atau bilangan.
Variabel dalam ilmu statistika adalah atribut, karakteristik, atau pengukuran yang
mendeskripsikan suatu kasus atau objek penelitian.

132
Penelitian kuantitatif banyak digunakan untuk menguji suatu teori, menyajikan suatu fakta
atau mendeskripsikan statistik, menunjukkan hubungan antarvariabel, dan ada pula yang
bersifat mengembangkan konsep, mengembangkan pemahaman atau mendeskripsikan
banyak hal, baik itu dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial.
Analisis data kuantitatif adalah proses penggunaan metode statistik untuk
menggambarkan, meringkas, dan membandingkan berdasarkan jenis data yang
dikumpulkan. Dengan menggunakan analisis data kuantitaif memungkinkan
didapatkannya temuan evaluasi untuk memperkuat program organisasi yang
dilaksanakan. Analisis data kuantitatif biasanya digunakan untuk analisis data hasil
kuisioner.

C. Analisis Data
Analisis data yang dilakukan dalam kajian ini, meliputi: analisis deskriptif kuantitatif,
deskripsi komparatif, dan analisis spasial.
1) Analisis deskriptif kuantitatif bertujuan untuk menguraikan berbagai permasalahan
lingkungan yang ada, kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dan
implementasi, monitoring, dan evaluasi RPPLH;
2) Analisis deskriptif komparatif dimaksudkan untuk membandingkan karakteristik
masing-masing data pada satuan ekoregion terhadap satuan ekoregion lainnya, atau
antara satu wilayah administrasi terhadap wilayah administrasi lainnya. Selain itu
berupa perbandingan rencana pengelolaan lingkungan hidup yang berbeda pada
setiap ecoregion;
3) Analisis keruangan (spatial) menunjukkan pola sebaran karakteristik perencanaan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup setiap satuan ekoregion dan wilayah
adminsitrasi yang memiliki permasalahan lingkungan di Kota Tangerang;
4) Analisis substansial RPPLH, yang mencakup:
a) Pemanfaatan dan/atau pencadangan sumberdaya alam;
b) Pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup;
c) Pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian sumberdaya
alam; dan
d) Adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
5) Analisis SWOT untuk menyusun strategi perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup, yang dilanjutkan dengan penyusunan tabel Matrik Program Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup sesuai dengan isu strategis dan strategi yang
ditetapkan.

133
6) Analisis Proyeksi Penduduk
Hollingworth (1979), didalam Warpani (1980), menyebutkan analisa penduduk telah
diyakini merupakan hal yang sangat penting dalam perencanaan kota maupun daerah,
dimana salah satu hal yang penting dalam analisa penduduk yaitu mengetahui
perkiraan (proyeksi) jumlah penduduk dimasa datang. Adanya proyeksi dimasa
mendatang mempermudah dalam memprediksi kebutuhan perumahan dan
permukiman dibeberapa tahun kedepan. Dengan mengetahui jumlah kebutuhan
perumahan di masa mendatang, pemerintah bisa mengambil kebijakan atau
perencanaan dalam menyediakan lahan untuk permukiman sehingga perkembangan
permukiman di masa mendatang tidak menyalahi peruntukannya dan sesuai dengan
rencana tata ruang wilayah (RTRW) tersebut.
Metode pertumbuhan geometric ini digunakan dengan asumsi bahwa pertumbuhan
penduduk adalah konstan atau sama setiap tahun atau menggunakan dasar bunga
majemuk.

7) Analisis Ketersediaan dan Kebutuhan Air


Daya dukung sumber daya air adalah kemampuan lingkungan atau suatu wilayah
dalam memenuhi kebutuhan air bagi populasi di dalamnya (penduduk dan kegiatan
budidayanya) dengan mempertimbangkan potensi ketersediaan sumberdaya air yang
tersedia. Daya dukung sumber daya air suatu wilayah merupakan parameter yang
memperlihatkan perbandingan antara kebutuhan dan ketersediaan air, atau dapat
didefenisikan sebagai kemampuan maksimal wilayah menyediakan air bagi
ppenduduk dalam jumlah tertentu beserta kegiatannya. Apabila daya tampung pada
suatu wilayah telah dilampaui, maka penduduk dan kegiatan pembangunan tidak
dapat mendapatkan air terutama pada daerah permukiman dalam jumlah yang
memadai sehingga terjadilah gejala krisis air atau defisit air.

a) Ketersediaan Air (water supply)


Ketersediaan air dihitungan menggunakan metode koefisien limpasan yaitu:

134
Keterangan :
SA : ketersediaan air (m³/tahun)
C : Koefisien limpasan tertimbang
Ci : Koefisien limpasan penggunaan lahan i
(Koefisien i menggunakan pedoman dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.
17 Tahun 2009)
Ai : luas penggunaan lahan (ha)
R : rata-rata curah hujan tahunan wilayah (mm/tahun)
Ri : curah hujan tahunan pada stasiun i
M : jumlah stasiun pengamatan curah hujan
A : luas wilayah (ha) 10 : faktor konversi dari mm.ha menjadi m³

Berikut penjelasan koefisien i berdasarkan PERMEN LH No. 17 tahun 2009:

b) Kebutuhan Air
Kebutuhan air dengan menjumlahkan kebutuhan domestik. Berikut ketentuan
perhitungan kebutuhan air domestic dan non domestic menurut Departemen
Pekerjaan Umum Tahun 2009 :
1. Kebutuhan air domestik
2. Perdesaan sebesar 80 liter/hari/kapita

135
3. Perkotaan sebesar untuk kota kecil sebesar 100 liter/hari/kapita dan kota
sedang besar sebesar 150 liter/hari/kapita

Berdasarkan pedoman penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan


(Depkimpraswil, 2003), kota berdasarkan jumlah penduduk menjadi :
• Kota kecil, jumlah penduduk 10.000 – 100.000
• Kota sedang, jumlah penduduk 100.000 – 500.000
• Kota besar, jumlah penduduk 500.000 – 1.000.000
• Metropolitan, jumlah penduduk 1.000.000 – 8.000.000
• Megapolitan, jumlah penduduk diatas 8.000.000

Kebutuhan air domestik dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Keterangan :
DA : Total Kebutuhan air (m³/tahun)
N : Jumlah penduduk
KHLA : Kebutuhan air untuk kehidupan layak
Dengan formulasi atau rumus di atas dapat diketahui secara umum apakah
sumberdaya air di suatu wilayah dalam keadaan surplus atau defisit. Keadaan
surplus berarti ketersediaan air di suatu wilayah tercukupi, sebaliknya apabila
keadaan air mengalami defisit maka ketersediaan air tidak mencukupi dalam
memenuhi kebutuhan air. Secara singkat diinterpretasikan sebagai berikut:
• Apabila DDA>1, terjadi surplus air, air masih mampu mendukung populasi
yang ada
• Apabila DDA<1, terjadi defisit air dan daya dukung terlampaui.

8) Analisis Daya Tampung Permukiman


Daya tampung untuk lahan permukiman, dalam suatu wilayah atau kota,
perkembangannya daru kawasan permukiman sangat rentan terhadap adanya
perkembangan yang tidak terkendali. Adanya permintaan untuk tempat tinggal yang
cukup tinggi dikarenakan tingkat pertumbuhan penduduk yang setiap tahunnya terus
meningkat yang tidak diimbangi dengan ketersediaan lahan permukiman yang
memadai, menyebabkan perkembangan kawasan permukiman tidak dapat
menampung lagi penduduk untuk bertempat tinggal di wilayah tersebut.dapat diartikan
sebagai kemampuan suatu wilayah dalam menyediakan lahan permukiman guna

136
menampung jumlah penduduk tertentu untuk bertempat tinggal secara layak. Dalam
menyusun formula untuk lahan permukiman, dalam analisis daya tampung lahan
permukiman akan dilakukan perbandingan antara pertumbuhan penduduk dengan
ketersediaan lahan yang ada, dimana di asumsikan berdasarakan Rencana
Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman Daerah (RP4D),
berikut asumsi perhitungannya:
a) Menghitung daya tampung dengan anggapan luas lahan yang digunakan untuk
permukiman hanya 70% dari luasan lahan yang boleh tertutup (30% untuk fasilitas
serta utilitas lainnya).
b) 1 Kepala Keluarga 4 jiwa.

Berdasarkan hasil dari perhitungan daya tampung lahan permukiman nantinya di


Kabupaten Semarang, untuk diketahui secara keseluruhan daya tampungnya. Dengan
rumus sebagai berikut :

Keterangan = 70% koefisien kawasan permukiman

Adapun luas kapling berdasarkan Kepmenpraswil/403/Kpts/M/2002 antara lain,


asumsi yang digunakan untuk tipe rumah rata – rata adalah :
a) Kapling rumah sederhana : 72 m2
b) Kapling rumah sedang : 144 m2
c) Kapling rumah mewah : 288 m2

Ketentuan asumsi diambil berdasarkan ketentuan hunian berimbang maka perkiraan


jumlah dan tipe rumah dilakukan dengan komposisi 1 : 2 : 3 (kavling sederhana :
menengah : mewah).

D. Batasan Operational
Beberapa batasan penting khususunya konsep dan hasil dalam kajian ini dapat diuraikan
sebagai berikut: Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang
selanjutnya disingkat RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah
lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu
tertentu. Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diutamakan
berupa pemanfaatan dan pencadangan sumberdaya alam, pemeliharaan dan

137
perlindungan kualitas dana atau fungsi lingkungan hidup pengendalian pemantauan serta
pendayagunaan dan pelertarian sumberdaya alam, dan rencana adaptasi dan mitigasi
terhadap perubahan iklim. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan
hidup untuk mendukung peri kehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan
antar keduanya. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup
untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke
dalamnya. Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan yang dibahas dalam RPPLH
adalah yang memiliki isu-isu utama permasalahan lingkungan. Ekoregion adalah wilayah
geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola
interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan
lingkungan hidup. Ekoregion menjadi dasar dalam pembuatan RPPLH.

E. Indikator Keberhasilan
Sasaran akhir dari pembangunan yang berbasis lingkungan yang mengacu pada tingkat
nasional adalah sebagai berikut:
1) Melakukan peningkatan kualitas lingkungan hidup untuk memenuhi aspek
keberlanjutan, pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam dan lingkungan bagi
generasi sekarang dan yang akan datang.
2) Melakukan perbaikan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan untuk
menunjang kualitas kehidupan.
3) Melakukan peningkatan terkait pemeliharaan dan pemanfaatan keanekaragaman
hayati untuk menjadi pondasi awal pembangunan.

Berikut adalah indikator-indikator penentu keberhasilan pengelolaan lingkungan


berdasarkan Panduan Pengelolaan Lingkungan Hidup Tingkat Nasional yaitu
1) Daya Dukung Dan Daya Tamping Lingkungan Hidup
Daya Dukung Lingkungan hidup merupakan suatu kemampuan lingkungan hidup
dalam mendukung keseluruhan kehidupan manusia, mahluk hidup lainnya, dan
keseimbangan diantara keduanyan. Konsep ini sudah banyak digunakan di berbag
bidang sebagai dasar informasi pengetahuan kualitas lingkungan hidup. Daya dukung
lingkungan yang semakin tinggi menandakan kualitas lingkungan yang semakin baik.
Batasan Indikator daya dukung lingkungan perlu dilakukan mengingat luasnya dimensi
konsep daya dukung lingkungan. Batasan indikator akan fokus terhadap kebutuhan
utama penduduk di perkotaan yaitu lahan dan air. Indikator daya dukung lingkungan
adalah :
a) Indikator daya dukung lahan untuk RTH;
b) Indikator daya dukung air;

138
c) Indikator keberlangsungan fungsi ekosistem.

Pendekatan Jasa Ekosistem (ecosystem services) adalah salah satu indikator yang
dapat digunakan untuk menentukan keberlangsungan fungsi suatu ekosistem.
Pengertian utama dari jasa ekosistem adalah manfaat yang diperoleh manusia dari
bermacam-macam sumberdaya dan proses alam yang secara kolektif diberikan oleh
suatu ekosistem dan dikelompokkan kedalam empat macam manfaat yaitu:
a) manfaat penyediaan produksi pangan dan air,
b) manfaat pengaturan pengendalian iklim dan penyakit,
c) manfaat pendukung, seperti siklus nutrient dan polinasi tumbuhan, serta
d) manfaat kultural, spiritual dan rekreasional (Millenium Ecosystem Assesment,
2005).

Berdasarkan konsep tersebut dan penetapan fungsi jasa ekosistem dalam RPPLH
Nasional khususnya di Ekoregion Jawa dan Laporan DDL maka untuk penilaian
keberlangsungan fungsi ekosistem dapat menggunakan dua belas indikator fungsi
jasa ekosistem yaitu:
a) Jasa ekosistem penyedia pangan;
b) Jasa ekosistem penyedia air bersih;
c) Jasa ekosistem pengatur iklim;
d) Jasa ekosistem pengatur tata aliran air dan banjir;
e) Jasa ekosistem pengatur pencegahan dan perlindungan dari bencana;
f) Jasa ekosistem pengatur pemurnian air;
g) Jasa ekosistem pengatur pengolahan dan penguraian limbah;
h) Jasa ekosistem pengatur pemeliharaan kualitas udara;
i) Jasa ekosistem budaya fungsi tempat tinggal dan ruang hidup;
j) Jasa ekosistem budaya fungsi rekreasi dan ekowisata;
k) Jasa ekosistem budaya fungsi estetika;
l) Jasa ekosistmen pendukung biodiversitas.

Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dapat dinilai berhasil


apabila mampu mempertahankan atau meningkatkan jasa ekosistem tersebut.
Semakin tinggi nilai jasa ekosistem maka semakin tinggi pula nilai keberlangsungan
fungsi ekosistem.

139
2) Indikator Kualitas Lingkungan Hidup
Indikator kualitas lingkungan hidup dapat mengacu pada Kementrian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan yang menggunakan indeks lingkungan berbasi wilayah
(Kabupaten kota/ provinsi). Indeks ini dapat memberi kesimpulan dari suatu kondisi
lingkungan hidup pada periode tertentu. Pemangku kepentingan ( Stack holder ) dapat
menggunakan hasil indeks kualitas lingkungan ini sebagai dasar penyusunan maupun
pelaksanaan program dan kegiatan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup. Indeks ini juga disusun sebagai Indikator Kinerja Utama (IKU) untuk memenuhi
salah satu sasaran pembangunan berkelanjutan. IKLH (Indeks Kualitas Lingkungan
Hidup) mempunyai fungsi sebagai pendukung kebijakan dalam melakukan penentuan
deraja permasalahan lingkungan dan sumbersumber permasalahan dalam
pengelolaan lingkungan hidup. Indikator dari IKLH terdiri dari :
a) Indikator kualitas air;
b) Indikator kualitas air udara;
c) Indikator kualitas tutupan hutan kota.

Profil kualitas lingkungan hidup dapat dihasilkan dengan membandingkan


kecenderungan maupun dinamika IKLH dengan sasaran-sasaran yang ditetapkan.
Target peningkatan dari IKLH akan mencakup keseluruhan sector pembangunan yang
tercermin pada meningkatnya kualitas air dan udara untuk meuwujudkan
pembangunan yang ramah lingkungan dan kehidupan masyarakat yang sehat dan
bersih. Target IKLH dibuat dalam bentuk angka untuk memudahkan interpretasi dari
pemangku kepentingan dalam memahami kualitas lingkungan hidup daerahnya.
Pengetahuan akan kondisi kualitas lingkungan hidup akan membantu pengalokasian
sumberdaya alam secara lebih akurat agar penggunaannya lebih efektif, efisien, dan
berkelanjutan.

3) Penanganan Isu Strategis Lingkungan


Isu strategis lingkungan adalah permasalahan lingkungan hidup yang memiliki rentang
kejadian yang berulang dan berdampak besar serta luas terhadap keberlangsungan
fungsi lingkungan hidup. Isu strategis diperoleh dengan melakukan pengolahan data
dan informasi hasil inventarisasi lingkungan hidup yaitu:
a) potensi dan kondisi lingkungan hidup,
b) upaya pengelolaan lingkungan hidup, dan
c) kejadian bencana, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi di
wilayah tersebut.

140
Daftar isu strategis juga diperoleh melalui forum masyawarah antar para pemangku
kepentingan untuk menyepakati isu strategis. Dalam menetapkan isu strategis
nantinya akan mempertimbangkan pengaruh antara elemen pendorong, tekanan,
kondisi, dampak dan repson atau yang dikenal dengan isitilah analisis DPSIR.
Berdasarkan tahapan diatas melalui pengolahan data dan informasi hasil inventarisasi
lingkungan hidup, forum masyawarah antar para pemangku kepentingan dan analisis
DPSIR yang dilakukan dalam penyusunan laporan maka ditetapkan sebelas isu
strategis lingkungan yaitu:
a) Sampah;
b) Pencemaran Air;
c) Kelangkaan Air/Penurunan Muka Air Tanah/Kekeringan;
d) Banjir/Genangan;
e) Penurunan Kualitas Udara;
f) Ruang Terbuka Hijau;
g) Limbah Domestik;
h) Permukiman Kumuh;
i) Perubahan Iklim;
j) Alih Fungsi Lahan Pertanian/ Jalur Hijau;
k) Perilaku Peduli Lingkungan.

4) Mitigasi Perubahan Iklim.


Kegiatan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan
perubahan iklim. Perubahan yang dimaksud diantaranya mengubah komposisi
atmosfer global dan variabilitas iklim alami yang teramati dalam suatu periode tertentu.
Pemanasan global yang menyebabkan adanya peningkatan suhu bumi dan
pergeseran musim termasuk gejala perubahan iklim. Kegiatan manusia dalam segala
aspek akan selalu terdampak pada perubahan iklim termasuk perubahan lingkungan,
perubahan sosial, ekonomi, dan pembangunan wilayah. Dampak perubahan iklim
diantaranya adalah pada kondisi pembangunan ekonomi seperti perubahan produksi,
gangguan terhadap sistem kehidupan dan ketercapaian kondisi kesejahteraan
masyarakat, terganggunya kondisi ekosistem dan pelanan jasa ekosistem, serta
terganggunya kegiatan pembangunan wilayah. Berikut adalah indikator-indikator yang
dapat digunakan dalam menilai ketercapaian keberhasilan pengelolaan lingkungan
hidup yaitu:
a) Perubahan suhu dan temperatur udara local;
b) Banjir;
c) Kekeringan/ Kelangkaan air.

141
3.2. Diagram Alir Penelitian

Mulai

Studi Pustaka

Pengumpulan Data

Data Primer Data Sekunder


1. Merunut legislasi
2. Merunut kesesuaian dengan kebijakan yang 1. Data Rencana Pembangunan Jangka
tercantum pada dokumen formal yang Menengah Daerah
memiliki hierarki diatasnya; 2. Data Peta Topografi
3. Merunut dokumen formal (kesesuaian dengan 3. Data Rencana Tata Ruang Lokasi Pekerjaan
hasil yang diharapkan/ tujuan dan sasaran) 4. Data Kependudukan
4. Interview dan pengumpulan data dengan 5. Data Kepemilikan Lahan
penyusun kebijakan atau administrator 6. Data Tata Guna Lahan/RTRW
program (dinas terkait). 7. KLHS RDTR
5. Identifikasi kondisi eksisting wilayah. 8. KLHS RTRW
6. Penjaringan aspirasi masyarakat di wilayah 9. KLHS RPJMD
perencanaan serta aparat pemerintah terkait.

Tidak

Data Cukup

Ya

Analisis Data
1. Pengolahan data primer dan sekunder dengan metode pengolahan data kualitatif dan metode kuantitatif.
2. Melaksanakan konsultasi publik hasil pekerjaan (FGD).
3. Pengolahan Data Daya Tampung dan Daya Dukung Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung Barat
4. Analisa Penyusunan Rencana Data Daya Tampung dan Daya Dukung Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung
Barat
5. Penyusunan dan Verifikasi Basis Data Spasial Daya Tampung dan Daya Dukung Lingkungan Hidup Kabupaten
Bandung Barat dengan Instansi Terkait
6. Album Peta format Spasial Daya Tampung dan Daya Dukung Lingkungan Hidup

Kesimpulan

Selesai

142
3.3. Jangka Waktu Pelaksanaan
Jangka Waktu Pekerjaan Kajian Daya Tampung Dan Daya Dukung Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung Barat adalah 120 (Seratus
Dua Puluh) hari kalender dengan rencana lini masa sebagai berikut:

Bulan I Bulan II Bulan III Bulan IV


NO Rencana Kerja
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Penyusunan Kajian Daya Dukung Dan Daya Tampung
1.
Lingkungan
2. Persiapan

3. Rapat Pembahasan Awal

4. Inventarisasi Data dan Informasi D3TLH

5. Pengolahan/Analisis Data dan Informasi D3TLH

6. Focuss Group Disscusion (FGD)

7. Penyusunan Laporan Akhir

8. Pembahasan Laporan Akhir

9. Serah Terima Hasil Pekerjaan

143
3.4. Daftar Hasil Kegiatan
Keluaran yang diharapkan dari kegiatan Inventarisasi Daya Dukung dan Daya
Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH) Berbasis Jasa Ekosistem di Kabupaten Bandung Barat
Tahun 2022 adalah sebagai berikut:
1) Tersedianya Peta Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH) Berbasis
Jasa Ekosistem di Kabupaten Bandung Barat dengan kedalaman analisis skala 1 : 50.000,
sebagai dasar pemanfaatan sumberdaya alam yang memperhatian:
a) Keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup;
b) Keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup;
c) Keselamatan, mutu hidup dan kesejahteraab masyarakat.
2) Deskripsi kondisi Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH) Berbasis
Jasa Ekosistem dengan unit satuan ekoregion dan administratif, khususnya Profil D3TLH
Berbasis Jasa Ekosistem di Kabupaten Bandung Barat.
3) Tersusunnya Basis Data Spasial dalam bentuk Album Peta Daya Dukung dan Daya
Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH) Berbasis Jasa Ekosistem, yang meliputi 2 jenis Peta
Input dan Peta Output Jasa Ekosistem.

144
3.5. Usulan Struktur dan Penugasan Personel

I. Jadwal Penugasan Personil


Bulan Ke-
No Nama Tenaga Ahli dan Pendukung
1 2 3 4
A Tenaga Ahli
1 Team Leader Ahli Teknik Lingkungan (1 orang)
2 Ahli Hidrogeologi (1 orang)
3 Ahli GIS (1 orang)
B Tenaga Pendukung
1 Adminstrasi (1 orang)
2 Surveyor (4 orang)

II. Usulan Komposisi Tim, Kualifikasi dan Bidang Pokok

Kualifikasi yang Kualifikasi yang


Posisi Pokok Pekerjaan
dibutuhkan diusulkan

Team Leader Ahli Sarjana Strata 2 (S2) Team Leader • Tenaga Ahli
Teknik Lingkungan, S1 Bidang Teknik Ahli Teknik berkewajiban dan
Teknik Lingkungan, Lingkungan, memiliki Lingkungan bertanggungjawab
memiliki SKA Ahli SKA Ahli Madya sepenuhnya terhadap
Madya Teknik Teknik Lingkungan, pelaksanaan
Lingkungan, dengan berpengalaman lebih penyusunan rencana
pengalaman kerja di dari 10 tahun sesuai dengan
minimal 1 tahun (Team ketentuan perjanjian
Leader); kerjasama yang
disepakati.
• Bertanggung jawab
atas pelaksanaan
pekerjaan mulai dari
awal pekerjaan sampai
dengan selesai.
• Mengkoordinasikan
dan melakukan analisis
pekerjaan yang

145
berkaitan dengan
penilaian nilai daya
dukung dan daya
tampung lingkungan
hidup.
Ahli Hidrogeologi, S1 Sarjana Strata 2 (S2) Ahli Hidrogeologi • Tenaga Ahli
Sipil / Geologi, Bidang Sipil / Geologi, berkewajiban dan
pengalaman kerja di memiliki SKA Ahli bertanggungjawab
minimal 1 tahun; Madya Sipil / Geologi, sepenuhnya terhadap
berpengalaman lebih pelaksanaan
dari 5 tahun. penyusunan rencana
sesuai dengan
ketentuan perjanjian
kerjasama yang
disepakati.
• Tenaga Ahli wajib
mengikuti ketentuan
teknis yang ditentukan
sesuai dengan
Kerangka Acuan Kerja
(KAK);
• Melakukan analisis
yang berkaitan dengan
kondisi air tanah dan air
permukaan.
Ahli GIS, S1 Geodesi, Sarjana Strata 2 (S2) Ahli GIS • Tenaga Ahli
dengan minimal Bidang Geodesi, berkewajiban dan
pengalaman 1 tahun. memiliki SKA Ahli bertanggungjawab
Madya GIS, sepenuhnya terhadap
berpengalaman lebih pelaksanaan
dari 5 tahun. penyusunan rencana
sesuai dengan
ketentuan perjanjian
kerjasama yang
disepakati.
• Tenaga Ahli wajib

146
mengikuti ketentuan
teknis yang ditentukan
sesuai dengan
Kerangka Acuan Kerja
(KAK);
• Tenaga Ahli dalam
melaksanakan
pekerjaannya
dinyatakan berakhir
sampai dengan
selesainya semua
kewajiban yang harus
dipenuhi sesuai
dengan perjanjian
pekerjaan yang
disepakati;
• Melakukan analisis
spasial dan membuat
peta hasil kajian.

147
Tenaga Administrasi Sarjana Strata 1 (S1) Administrasi • Membantu team leader
dan Keuangan, Semua Jurusan, dalam mengetik segala
SMK/D3 Semua dengan pengalaman bentuk administrasi
Jurusan, dengan lebih dari 5 tahun. yang dibutuhkan untuk
pengalaman minimal 1 pelaporan kegiatan.
tahun • Melakukan tugas
administrasi yang
berkaitan dengan
korespondensi/surat
menyurat, notulen
rapat, dokumen
kontrak, dokumen
pencairan dan
administrasi lainnya.
• Membantu dalam hal
pengadministrasian
keuangan.

Surveyor, SMK/D3 Sarjana Strata 1 (S1) Surveyor / • Membantu ketugasan


Semua Jurusan, Semua Jurusan, Enumerator seluruh tenaga ahli
dengan minimal dengan pengalaman sesuai dengan
pengalaman kerja 1 lebih dari 5 tahun. kebutuhan studi.
tahun • Mengumpulkan semua
data yang dibutuhkan
dari lapangan dan
bertanggung jawab
atas keakuratan data
yang didiperoleh.

148

Anda mungkin juga menyukai