D3TLH Bandung Barat
D3TLH Bandung Barat
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2. MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud dari Kajian Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup di
Kabupaten Bandung Barat adalah untuk menganalisis Daya Dukung dan Daya Tampung
Lingkungan Hidup di Kabupaten Bandung Barat sebagai dasar pertimbangan dalam
perumusan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dan penetapan
Peraturan Bupati.
Tujuan dari pekerjaan ini sebagai berikut:
1) Mendeskripsikan karakteristik Ekoregion dan kondisi Daya Dukung dan Daya Tampung
Lingkungan Hidup (D3TLH) di Kabupaten Bandung Barat.
2) Mendeskripsikan dan menganalisis kapasitas Ekoregion dan kondisi Daya Dukung dan
Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH) di Kabupaten Bandung Barat.
3) Ketersediaan informasi Ekoregion dan kondisi Daya Dukung dan Daya Tampung
Lingkungan Hidup (D3TLH) di Kabupaten Bandung Barat.
2
1.4. LOKASI KEGIATAN
Lokasi kegiatan ini berada di Kabupaten Bandung Barat yaitu meliputi 16 (enam
belas) Kecamatan.
3
Berbasis Jasa Ekosistem di Kabupaten Bandung Barat.
3) Tersusunnya Basis Data Spasial dalam bentuk Album Peta Daya Dukung dan Daya
Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH) Berbasis Jasa Ekosistem, yang meliputi 2 jenis
Peta Input dan Peta Output Jasa Ekosistem.
4
BAB II
PROFIL WILAYAH DAN TINJAUAN PUSTAKA
5
Gambar 2.1. Peta Orientasi Kabupaten Bandung Barat dalam wilayah Provinsi Jawa Barat
2.1.2. Administratif
Kabupaten Bandung Barat terdiri dari 16 kecamatan, 165 desa dengan batas wilayah
administrasi sebagai berikut:
a. Sebelah Utara : berbatasan dengan Kecamatan Cikalong Kulon Kabupaten
Cianjur; Kecamatan Manis, Kecamatan Darangdan, Kecamatan
Bojong dan Kecamatan Wanayasa Kabupaten Purwakarta;
Kecamatan Sagalaherang, Kecamatan Jalancagak dan
Kecamatan Cisalak Kabupaten Subang; Kecamatan Sukasari
Kabupaten Sumedang.
b. Sebelah Timur : berbatasan dengan Kecamatan Cilengkrang, Kecamatan
Cimenyan, Kecamatan Margaasih, Kecamatan Soreang
Kabupaten Bandung, Kecamatan Cidadap, Kecamatan Sukasari
Kota Bandung, Kecamatan Cimahi Utara, Kecamatan Cimahi
Tengah, Kecamatan Cimahi Selatan Kota Cimahi.
c. Sebelah : berbatasan Kecamatan Ciwidey, Kecamatan Rancabali
Selatan Kabupaten Bandung, Kecamatan Pagelaran Kabupaten Cianjur.
d. Sebelah Barat : berbatasan dengan Kecamatan Campaka, Kecamatan Cibeber,
Kecamatan Bojongpicung, Kecamatan Ciranjang, Kecamatan
Mande Kabupaten Cianjur.
6
Adapun luas wilayah administrasi per kecamatan sebagaimana dapat dilihat pada
Tabel sebagai berikut:
Tabel 2.1. Luas wilayah per-Kecamatan dan Jumlah Desa
Luas wilayah dan jumlah desa di kecamatan di Kabupaten Bandung Barat tidak
merata. Beberapa kecamatan memiliki wilayah yang sangat luas (di atas 100 Ha), misalnya
Gununghalu, Sindangkerta, Cipatat, Cikalong Wetan, Cipendeuy, dan Rongga. Sisanya
memiliki luas wilayah di bawah 100 Ha. Bahkan ada beberapa kecamatan yang memiliki
jumlah desa di bawah jumlah yang disyaratkan Undang-Undang, misalnya Kecamatan
Saguling sebagai wilayah kecamatan baru hanya memiliki 6 desa. Wilayah ini awalnya
merupakan bagian dari Kecamatan Batujajar, posisi geografis menyebabkan desa-desa di
wilayah Saguling terisolir sehingga pemerintah daerah melakukan pemekaran wilayah
kecamatan sebagai salah satu upaya pemerataan pembangunan, perluasan cakupan
pelayanan publik dan peningkatan kualitas pelayanan publik.
Di bawah ini dapat dilihat peta administrasi Kabupaten Bandung Barat yang
menggambarkan posisi geografis setiap kecamatan di wilayah Kabupaten Bandung Barat,
serta garis batas wilayah Kabupaten Bandung Barat dengan beberapa Kabupaten dan Kota
lain di Jawa Barat, seperti Kabupaten Bandung, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Purwakarta,
Kabupaten Subang, Kota Cimahi dan Kota Bandung. Posisi geografis Kabupaten Bandung
Barat yang berbatasan dengan wilayah lainnya terkait dengan bagaimana Kabupaten
Bandung Barat merespon masalah pembangunan yang bersifat lintas wilayah.
7
Gambar 2.2. Peta Administrasi Kabupaten Bandung Barat
2.1.3. Demografi
Jumlah penduduk Kabupaten Bandung Barat yang cukup besar dapat dijadikan aset
pembangunan bila kualitas sumber daya manusianya dikelola dengan baik. Sebaliknya,
jumlah penduduk yang besar dengan kualitas sumber daya manusia yang rendah akan
menjadi beban pembangunan dan meningkatkan intensitas masalah di daerah. Berdasarkan
data BPS, tahun 2012 jumlah penduduk Kabupaten Bandung Barat mencapai 1.582.326
orang, dengan komposisi penduduk laki-laki berjumlah 805.137 orang (50,88 %) dan
perempuan 777.189 orang (49, 12 %). Artinya, jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin
relatif seimbang.
Ditinjau dari rata-rata kepadatan penduduk per Km2 , Kabupaten Bandung Barat
memiliki rata-rata kepadatan penduduk sebesar 1.211 orang/Km2 . Kecamatan Ngamprah
merupakan wilayah dengan kepadatan penduduk yang paling tinggi yaitu sebanyak 44.876
orang/Km2 , sedangkan Kecamatan Gununghalu merupakan kepadatan yang terendah yaitu
sebesar 4.437 orang/Km2 . Kepadatan penduduk di Kabupaten Bandung Barat yang tidak
merata, dapat menjadi tantangan tersendiri dalam pelaksanaan pembangunan karena untuk
penyusunan program pembangunan perlu memperhatikan penyebaran penduduk agar
program dilaksanakan sesuai dengan sasaran.
Secara rinci data jumlah dan kepadatan penduduk tiap kecamatan di Kabupaten
Bandung Barat dilihat pada Tabel berikut ini:
8
Tabel 2.2. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Bandung Barat Tahun 2012
Gambar 2.3. Grafik Peningkatan Jumlah Penduduk Kabupaten Bandung Barat Tahun 2008-
2012
9
Pertumbuhan penduduk di Kabupaten Bandung Barat mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun dengan rata-rata 1,9% (2008-2009), 1,76 % (2009- 2010), 2,6 % (2010-
2011), dan 1,95% (2010-2012). Rata-rata pertumbuhan penduduk ini dianggap wajar.
10
Gambar 2.4. Peta Tingkat Kemiringan Kabupaten Bandung Barat
11
Tabel 2.3. Penggunaan Lahan Kabupaten Bandung Barat dalam (ha)
12
2.1.5. Profil Geologi
Secara geologis Kabupaten Bandung Barat merupakan wilayah yang berpotensi
terjadi gempa bumi, terutama tipe tektonik dan gempa vulkanik. Wilayah berpotensi terjadi
gempa tektonik adalah sesar Lembang, sedangkan daerah-daerah yang berpotensi terjadi
gempa akibat letusan gunung/vulkanik adalah wilayah di sekitar Gunung Tangkuban Perahu.
Dari hasil studi Direktorat Geologi Tata Lingkungan, sumber air bawah tanah di
Wilayah Kabupaten Bandung Barat dibagi ke dalam beberapa zona:
• Zona kritis, merupakan wilayah yang pengambilan air tanahnya dibatasi sampai
maksimum 100 m3 per bulan. Air tanah di wilayah ini hanya diperuntukkan untuk
memenuhi keperluan air minum dan rumah tangga. Penyebaran zona kritis pengambilan
air tanah di Kabupaten Bandung Barat sebagian besar berada di Kecamatan Batujajar.
• Zona rawan, untuk pengambilan air tanah hanya diperuntukan bagi keperluan air minum
dan rumah tangga dengan debit maksimum 100 m3/bulan. Zona rawan untuk
pengambilan air tanah penyebarannya ada di Kecamatan: Batujajar. Daerah resapan air
tanah penyebarannya ada di Kecamatan: Lembang dan Cisarua.
• Daerah aman pengambilan air tanah pengambilan baru diperbolehkan dengan debit 170
m3/hari dengan jumlah sumur terbatas. Daerah aman untuk pengambilan air tanah
penyebarannya ada di Kecamatan: Cikalongwetan, Padalarang, Ngamprah dan
Parongpong.
• Daerah resapan, tidak dikembangkan bagi pengambilan air tanah kecuali untuk air minum
dan rumah tangga dengan pengambilan maksimum 100 m3/bulan. Daerah resapan ini
meliputi Kecamatan: Lembang dan Cisarua.
• Zona bukan cekungan air tanah, produktivitas aquifer rendah sehingga kurang layak
dikembangkan, kecuali aquifer dangkal di daerah lembah untuk keperluan air minum dan
rumah tangga dengan pengambilan maksimum 100 m3/bulan per sumur. Zona bukan
cekungan air tanah penyebarannya di Kecamatan: Cipeundeuy, Cipatat, Cipongkor,
Cililin, Sindangkerta, Gununghalu dan Rongga.
13
A. Sumber Daya Air
Kabupaten Bandung Barat memiliki ± 90 sungai, dengan sungai utama adalah Sungai
Citarum, Sungai Cimahi, Sungai Cibeureum, Sungai Cikapundung, dan Sungai Cikarial,
yang melewati Kecamatan Cipongkor, Kecamatan Cililin, Kecamatan Cihampelas, dan
Kecamatan Batujajar.
Berdasarkan hasil inventarisasi di lapangan, sumber mata air yang terdapat di wilayah
Kabupaten Bandung Barat umumnya dijumpai di sekitar kaki, lereng dan bagian atas
perbukitan yang tersusun oleh batuan vulkanik dan mempunyai penyebaran tidak merata.
Daerah-daerah mata air yang cukup banyak dijumpai di sekitar perbukitan utara, timur dan
selatan. Di bagian barat (kecuali barat laut), pemunculan mata air sangat jarang dijumpai.
Di Kabupaten Bandung Barat terdapat 2 danau/situ alam dan 2 waduk/danau buatan.
Danau/situ alam terdiri dari Situ Lembang dan Situ Ciburuy. Situ-situ ini dimanfaatkan
sebagai lokasi tujuan wisata. Waduk/danau buatan yang terdapat di daerah kajian yaitu
Waduk Saguling dan Cirata yang merupakan sumber tenaga listrik (PLTA).
Kondisi situ dan waduk masing-masing dapat dirinci sebagai berikut:
• Situ Ciburuy terdapat di Kecamatan Padalarang digunakan untuk irigasi dengan
kapasitas penyimpanan sekitar 4 juta m3.
• Situ Lembang digunakan untuk irigasi dan terletak di bagian hulu DAS Cimahi,
kapasitasnya sebesar 3,7 m3 dengan daerah tangkapan situ tersebut diperkirakan 6,3
km3.
• Waduk Saguling terletak di sungai Citarum yang tersebar di beberapa kecamatan yaitu
di Kecamatan Cililin, Batujajar, Cihampelas, Saguling dan Cipongkor. Waduk tersebut
digunakan untuk PLTA, irigasi dan penyediaan air minum. Kapasitas waduk
direncanakan 1.000 juta m3.
• Waduk Cirata terletak ke arah hilir dari Waduk Saguling yang lokasinya berada di
Kecamatan Cipeundeuy, volume direncanakan sekitar 2.000 juta m3, dengan
ketinggian muka air + 220 m/dpl.
Daerah tangkapan air yang menjadi penyedia air tanah maupun air permukaan di
Kabupaten Bandung Barat yaitu:
1) Sub DAS Cikapundung (Lembang, Cisarua, Parongpong)
2) Sub DAS Citarum (Cililin, Ngamprah, Batujajar, Padalarang)
14
Tabel 2.4. Data Mata Air
15
16
17
18
Potensi air permukaan di Kabupaten Bandung Barat pada tahun 2015 yaitu sebanyak 8
lokasi dengan debit air sebesar 630 liter/detik untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel
berikut:
19
Tabel 2.5. Potensi Air Permukaan Pada Beberapa Kecamatan di Kabupaten Bandung
Barat
Tabel 2.6. Sungai dan Saluran Pembuang yang Mengalir di Kabupaten Bandung Barat
20
Di Kabupaten Bandung Barat terdapat daerah resapan air tanah yang merupakan resapan
utama atau primer meliputi bagian lereng bervegetasi lebat pada ketinggian tertentu
sampai puncak gunung yang terutama dibentuk oleh batuan gunung api muda.
Selain itu, zona resapan utama meliputi pula bagian daerah pegunungan dan perbukitan
berupa punggungan yang bertindak sebagai tinggian pemisahan air utama bagi sungai-
sungai yang mengalir ke utara dan selatan.
Berdasarkan hasil penelitian hidrogeologi untuk menentukan batas horizontal cekungan
air tanah yang dilakukan oleh Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan
Pertambangan yang kemudian disahkan melalui Keputusan Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral Tahun 2003, cekungan air tanah di Jawa Barat terdapat 27 buah, dengan 2
cekungan air tanah diantaranya termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Bandung Barat.
Sedangkan untuk irigasi, di Kabupaten Bandung Barat terdapat dua buah irigasi yang
merupakan kewenangan provinsi karena berada di lintasan dua kabupaten, yaitu Daerah
Irigasi (DI) Leuwi Kuya dan Daerah Irigasi (DI) Cijanggel, sehingga diperlukan koordinasi
dan konsultasi antara dua kabupaten dan provinsi.
21
C. Sumber Daya Mineral
Kabupaten Bandung Barat merupakan kabupaten yang memiliki potensi sumber daya
mineral dan potensi energi panas bumi.
Potensi sumber daya mineral yang dimiliki Kabupaten Bandung Barat antara lain: andesit,
pasir, marmer, dan kapur, dimana pemanfaatannya sudah lama berlangsung di beberapa
tempat khususnya pertambangan bahan galian C. Namun demikian, pemanfaatan sumber
daya alam tersebut tak selamanya menghasilkan hal positif, akan tetapi kadang
menimbulkan dampak lain yang cukup merugikan. Di Kabupaten Bandung Barat
ditemukan dampak negatif atau kerusakan alam akibat penggalian. Banyak di antara
tanah bekas galian bahan tambang dibiarkan terlantar, tidak produktif dan sering kali
mengundang bencana. Di beberapa lokasi juga sering terjadi longsor, baik gejala alamiah
maupun akibat galian.
Untuk sumberdaya energi panas bumi, total potensi yang ada di Kabupaten Bandung
Barat mencapai 150 MWe, atau 2,82 persen dari potensi Jawa Barat. Energi panas bumi
merupakan energi yang ramah lingkungan dengan tingkat pencemaran CO2 yang sangat
rendah. Potensi panas bumi di Kabupaten Bandung Barat, antara lain:
1) Gunung Tangkuban Parahu dengan potensi panas bumi sekitar 100 MWe (hipotetik).
2) Saguling, Rajamandala dengan potensi panas bumi sekitar 25 MWe (spekulatif).
22
kecamatan yaitu: Kecamatan Cikalong, Cililin dan Cihampelas, dimana lingkungan dan
kondisi alamnya mendukung bagi pertumbuhan sapi potong.
Populasi kerbau tersebar di 13 (tiga belas) kecamatan, sedangkan populasi tertinggi
terdapat di Kecamatan Rongga. Populasi kuda tersebar secara merata di 11 (sebelas)
kecamatan, kecuali di Kecamatan Ngamprah, Cisarua, dan Parongpong. Ternak domba
tersebar di 16 kecamatan. Hal ini dikarenakan ternak domba merupakan komoditi yang mudah
beradaptasi dan hidup dimanapun, baik di dataran rendah dan tinggi. Kecamatan yang
merupakan sentra domba diantaranya kecamatan: Rongga, Gununghalu dan Padalarang.
Selanjutnya populasi kambing di Kabupaten Bandung Barat tersebar di 15 Kecamatan.
Kecuali di Kecamatan Cipatat, Cisarua, Ngamprah, Lembang dan Parongpong yang saat ini
kontribusi ternaknya masih sangat kecil. Tetapi pemanfaatan daging kambing relatif kurang
diminati untuk konsumsi, selama ini produksi ternak kambing dijual keluar Kabupaten
Bandung Barat seperti ke Jakarta, Karawang, Bekasi dan daerah lainnya. Sentra populasi
kambing terdapat di Kecamatan Clililin dan Cipongkor.
Budidaya perikanan air tawar di Kabupaten Bandung Barat saat ini dilakukan dengan
memanfaatkan Waduk Cirata sebagai tempat usaha budidaya ikan dengan metoda Kolam
Jaring Apung (KJA). Wilayah yang potensial penyumbang terbesar pada usaha KJA ini adalah
Kecamatan Cipeundeuy yaitu sekitar 59% produksi total produksi KJA. Selain itu usaha
perikanan lainnya yang terdapat di Kabupaten Bandung Barat yaitu usaha pembenihan ikan,
usaha budidaya ikan pada kolam air tenang, minapadi, dan penangkapan ikan di perairan
umum.
Apabila dilihat dari penyebaran setiap komoditas ternak besar dan kecil di Kabupaten
Bandung Barat dari setiap kecamatan, hanya komoditas domba, kambing, ayam dan itik yang
jumlahnya secara merata ada di setiap kecamatan di Kabupaten Bandung Barat. Sedangkan
ternak sapi, kerbau dan kuda merupakan ternak yang hanya terdapat di beberapa kecamatan
saja.
Penggunaan tanah di wilayah Kabupaten Bandung Barat didominasi oleh penggunaan
kawasan hutan. Kawasan kehutanan mempunyai kecenderungan turun. Kecenderungan
tersebut dikarenakan berubahnya sebagian fungsi hutan menjadi kawasan perumahan baru.
Tujuan pembangunan sub-sektor kehutanan untuk mempertahankan luas areal hutan
ternyata belum berhasil diterapkan dan dilaksanakan. Kurangnya informasi dan kesadaran
tentang fungsi hutan merupakan salah satu faktor penyebab penggunaan tata guna tanah
yang tidak pada tempatnya. Demikian juga dengan produksi hasil hutan berupa kayu
pertukangan, kayu bakar dan getah pinus, rumput gajah, hasil kayu.
23
2.1.6.3. Potensi Industri
Dalam hal potensi sektor lainnya, lokasi-lokasi industri hanya terdapat di beberapa
kecamatan yang menjadi lokasi berkumpulnya industri. Kawasan industri dan sentra industri
hanya terdapat di Kecamatan Padalarang. Jumlah industri besar dan sedang terbanyak
berada di Kecamatan Padalarang. Beberapa jenis industri kecil yang paling banyak terdapat
di Kabupaten Bandung Barat adalah anyaman dan makanan. Adapun jenis industri
menengah-besar terbanyak adalah industri tekstil sebesar 30,32%. Industri menengah-besar
yang tergolong agroindustri adalah industri makanan dan minuman, karet dan barang dari
karet, kulit dan barang dari kulit, serta jenis lainnya yang dipasok oleh sektor pertanian dengan
persentase kurang dari 20%.
24
Tabel 2.8. Obyek Wisata Alam
25
Dari informasi dan data sebagaimana ditampilkan di atas, secara umum prospek
pengembangan sektor pariwisata di Kabupaten Bandung Barat dianggap sangat positif.
Sebagaimana yang telah diakui oleh PBB, Bank Dunia, World Tourism Organization
(WTO) bahwa sektor pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan
manusia terutama menyangkut kegiatan sosial ekonomi. Hal tersebut karena industri
pariwisata diperkirakan akan menjadi industri terbesar di dunia pada tahun 2020. Menurut
World Travel and Tourism Council, para wisatawan bakal membelanjakan uangnya sekitar
5 milliar dollar AS setiap hari. Karakteristik sektor pariwisata yang memiliki multiflyer
effects, dapat memaksimalkan potensi wilayah di Kabupaten Bandung Barat, mulai dari
pertanian, peternakan, industri pengolahan pangan, jasa dan perdagangan. Keadaan ini
tentu menyulut industri pariwisata dan ikutannya antara lain hotel, usaha perjalanan,
usaha katering, pemandu wisata, dan sebagainya.
Dalam pengembangan kawasan parawisata, perlu adanya upaya nyata dalam menyusun
kebijakan yang tepat dan didukung oleh semua SKPD di Kabupaten Bandung Barat.
Sehingga secara spesifik, Kabupaten Bandung Barat memiliki potensi sangat besar untuk
dapat mengembangkan kawasan pariwisata yang berkelanjutan, terintegrasi dan berpihak
pada pemberdayaan masyarakat.
26
Barat dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 2.10. Sebaran Lahan Kritis Di setiap Kecamatan dan Desa Di Kabupaten Bandung
Barat
27
alam di Kabupaten Bandung Barat didominasi oleh kejadian gempa bumi dan tanah longsor.
Kawasan rawan bencana alam adalah kawasan yang sering atau berpotensi tinggi
mengalami bencana alam. Perlindungan terhadap kawasan rawan bencana alam dilakukan
untuk melindungi manusia dan kegiatannya dari bencana yang disebabkan oleh alam. Kriteria
kawasan rawan bencana, dapat dilihat pada Tabel berikut.
Berdasarkan kriteria tabel tersebut, kawasan rawan bencana longsor secara umum
menyebar di bagian utara dan selatan Kabupaten Bandung Barat, yaitu terdapat di
Kecamatan Lembang, Parongpong, Cikalongwetan, Cipatat, Batujajar, Cililin, Rongga,
Gununghalu. Kawasan bencana letusan gunung berapi terdapat di Kecamatan Lembang,
Parongpong, dan Cisarua dapat dilihat pada Gambar berikut.
28
Gambar 2.5. Peta Rawan Bencana Kabupaten Bandung Barat
2.1.7.1. Banjir
Banjir merupakan peristiwa terbenamnya daratan (yang biasanya kering) karena
volume air yang meningkat. Banjir dapat terjadi karena luapan air yang berlebihan di suatu
tempat akibat hujan besar, luapan air sungai dan pecahnya tanggul penahan air.
Kawasan rawan banjir di Kabupaten Bandung Barat umumnya adalah daerah di
sepanjang tepi Sungai Citarum bagian hulu. Hal ini terjadi karena rusaknya daya dukung
lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan pembangunan perumahan dan permukiman di
daerah resapan air, pembabatan hutan menjadi lahan pertanian dan bangunan serta
pertambangan yang mengakibatkan cepatnya aliran air menuju hilir. Kebiasaan masyarakat
membuang sampah ke sungai juga dapat menghambat dan menyumbat aliran. Kombinasi
antara kedua keaadan tersebut pada akhirnya menimbulkan banjir serta genangan. Banjir
semakin sering terjadi terutama jika hujan lebat, dan juga karena sistem drainase yang tidak
memadai.
Di wilayah Kabupaten Bandung Barat, kejadian banjir umumnya hanya berupa
genangan terutama karena buruknya saluran drainase. Banjir erat kaitannya dengan drainase
permukaan tanah. Drainase disini adalah drainase yang menunjukan lamanya atau seringnya
tanah tergenang air. Dengan demikian drainase ini sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik
tanah lainnya seperti lereng, tekstur tanah, konsistensi/porositas tanah.
29
2.1.7.2. Gempa Bumi dan Aliran Lahar
Gempa bumi yang terjadi di Kabupaten Bandung Barat merupakan gempa bumi
tektonik dan gempa bumi vulkanik (gunung berapi). Gempa bumi tektonik disebabkan oleh
pelepasan tenaga yang terjadi karena pergeseran lempengan plat tektonik. Tenaga yang
dihasilkan oleh tekanan antara batuan dikenal sebagai kecacatan tektonik. Teori dari plate
(plat tektonik) menjelaskan bahwa bumi terdiri dari beberapa lapisan batuan, sebagian besar
area dari lapisan kerak itu akan hanyut dan mengapung di lapisan seperti salju. Lapisan
tersebut bergerak perlahan sehingga berpecah-pecah dan bertabrakan satu sama lainnya.
Hal inilah yang menyebabkan terjadinya gempa tektonik. Salah satu penyebab gempa adanya
subduksi (penyusupan lempeng) misalkan Lempeng Australia terhadap Lempeng Eurasia (7
cm/tahun). Beberapa sesar aktif di Kabupaten Bandung Barat yang berpotensi menimbulkan
gempa tektonik di antaranya sesar Lembang, Bandung; serta sesar kecil cabang dari sesar
Cimandiri, Sukabumi.
Gempa bumi vulkanik terjadi di daerah yang berdekatan dengan gunung berapi,
bentuk keretakannya memanjang sama dengan gempa burni tektonik. Gempa bumi gunung
berapi disebabkan oleh pergerakan magma ke alas, dimana geseran pada batuannya
menghasilkan gempa bumi. Potensi gempa vulkanik di wilayah Kabupaten Bandung Barat
adalah di daerah yang berdekatan dengan gunung berapi, seperti Gunung Tangkuban Perahu
meliputi Kecamatan Lembang, Cisarua, Parongpong. Daerah tersebut selain rawan bencana
gempa vulkanik juga rawan aliran lahar.
Beberapa kawasan, terutama di utara Kabupaten Bandung Barat yang tergolong
daerah beresiko aliran lahar. Lahar ini dapat terbawa sungai sehingga membahayakan
daerah-daerah yang dilalui sungai tersebut. Beberapa kecamatan memiliki kawasan beresiko
aliran lahar ini antara lain Kecamatan Lembang (4.340 ha) dan Cisarua (1.580 ha).
30
tempat yang berkedudukannya lebih tinggi ke bagian yang lebih rendah. Dimensi gerakan
tanah bervariasi dari hanya beberapa meter sampai puluhan meter. Gerakan tanah dapat
dilihat berdasarkan tingkat kepekaan tanah secara alami, dan gerakan tanah akibat tindakan
manusia.
31
angin puting beliung, angin topan, gunung meletus, ataupun gempa bumi. Selain berbahaya
bagi keselamatan manusia maupun makhluk hidup lainnya, bencana alam tersebut dapat
mengakibatkan kerusakan lingkungan.
Sedangkan kerusakan lingkungan dilihat dari faktor buatan, terjadi akibat eksploitasi
sumberdaya alam yang dilakukan manusia secara berlebihan dan tidak dilakukan regenerasi
kembali. Kegiatan-kegiatan manusia di lingkungan hidupnya akan menyebabkan
permasalahan lingkungan seperti pencemaran lingkungan baik pencemaran udara, air tanah
dan suara yang berdampak pada adanya tanah kritis, penyimpangan iklim, hujan asam,
penipisan lapisan ozon dan lain sebagainya.
Rahmadi dalam Syaprillah (2016) menambahkan bahwa beberapa faktor juga dapat
menimbulkan permasalahan atau kerusakan lingkungan antara lain teknologi, penduduk,
ekonomi, politik, dan tata nilai yang berlaku. Penerapan teknologi baik dalam hal industri,
pertanian, transportasi, hingga komunikasi dapat menjadi salah satu sumber terjadinya
masalah-masalah lingkungan seperti pencemaran lingkungan (Commoner, 1973). Dari segi
ekonomi, Hardin dalam Syaprillah (2016) menyebutkan bahwa alasan-alasan ekonomi yang
sering kali menggerakkan perilaku manusia dan keputusan-keputusan yang diambil oleh
manusia secara perorangan maupun dalam kelompok, terutama dalam hubungannya dengan
pemanfaatan common property meliputi sungai, padang rumput, udara, dan laut. Karena
sumberdaya tersebut dapat bebas untuk dimanfaatkan oleh setiap orang untuk memenuhi
kebutuhannya masing -masing, maka setiap orang berusaha dan berlomba-lomba untuk
memanfaatkan atau mengeksploitasi sumberdaya semaksimal mungkin guna memperoleh
keuntungan pribadi.
32
(2012) menambahkan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai usaha
pencegahan, penanggulangan kerusakan dan pencemaran serta pemulihan kualitas
lingkungan hidup, yang mana telah menuntut dikembangkannya berbagai perangkat
kebijaksanaan dan program serta kegiatan yang didukung oleh sistem pendukung
perlindungan dan pengelolaan lingkungan lainnya.
Pengelolaan lingkungan dapat diartikan sebagai usaha sadar untuk memelihara atau
memperbaiki mutu lingkungan agar kebutuhan dasar manusia dapat terpenuhi dengan sebaik
- baiknya (Soemarwono, 1994). Sedangkan menurut Randolph (2004), pengelolaan
lingkungan diartikan sebagai pengendalian atau arahan interaksi antara manusia dan
lingkungan untuk melindungi dan memperkaya kesehatan dan kesejahteraan manusia
sekaligus kualitas lingkungan. Randolph menjelaskan bahwa pengelolaan lingkungan
dikelompokkan menjadi:
1) Pengelolaan interaksi antara manusia dan lingkungan
2) Perencanaan lingkungan
3) Perencanaan tata guna lahan untuk pengelolaan lingkungan
4) Kolaborasi antara pengelolaan lingkungan dengan partisipasi publik
5) Pengelolaan DAS dan ekosistem
33
2.2.3. Penataan Ruang dalam Pemeliharaan dan Perlindungan Kualitas dan/atau
Fungsi Lingkungan Hidup
Penataan ruang menyangkut seluruh aspek kehidupan sehingga masyarakat perlu
mendapat akses dalam proses perencanaan tersebut. Selain itu, penataan ruang tidak hanya
untuk kepentingan sektor ekonomi tetapi juga harus memperhatikan aspek lingkungan.
Menurut Devas and Rakodi (1993), setiap pembangunan harus memperhatikan aspek-aspek
lingkungan seperti:
1) Meminimalisasi dampak dari pembangunan dan kegiatan-kegiatan pada perubahan
ekologi
2) Meminimalisasi risiko akibat adanya perubahan-perubahan terhadap bumi, seperti
kerusakan lapisan ozon, pemanasan global yang disebabkan emisi Karbon Dioksida,
perubahan iklim lokal yang disebabkan banjir, kekeringan, penebangan liar
3) Meminimalisasi polusi udara, air, dan tanah
4) Adanya jaminan dan pembangunan yang berkelanjutan serta berwawasan lingkungan
Sedangkan menurut Keraf dalam Kodoatie & Sjarief (2010) menyebutkan bahwa
terdapat 9 prinsip etika lingkungan lingkungan yang wajib ditaati dalam pembangunan,
meliputi:
1) Hormat terhadap alam (respect for nature)
2) Bertanggung jawab kepada alam (responsibility for nature)
3) Solidaritas kosmis (cosmic solidarity)
4) Peduli kepada alam (caring for nature)
5) Tidak merugikan (no harm)
6) Hidup selaras dengan alam (living harmony with nature)
7) Keadilan
8) Demokrasi
9) Integritas moral
Dapat diketahui bahwa penataan ruang memiliki peranan penting dalam usaha
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009
dijelaskan bahwa untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan
masyarakat, wajib di dasarkan pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan
perencanaan tata ruang wilayah ditetapkan dengan memperhatikan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup. Kajian Lingkungan Hidup Strategis berisi tentang kapasitas daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan, perkiraan mengenai
dampak dan risiko lingkungan hidup, kinerja layanan/jasa ekosistem, efisiensi pemanfaatan
sumber daya alam, tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim, dan
34
tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati. Selanjutnya, hasil pengkajian
tersebut dijadikan bahan pertimbangan dalam perencanaan tata ruang wilayah. Apabila dari
hasil pengkajian tersebut terdapat aktivitas yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan
dapat ditertibkan melalui pengendalian pemanfaatan ruang yaitu sebuah upaya untuk
mewujudkan tertib tata ruang.
Penataan ruang mempunyai peranan penting bagi perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup juga tertuang dalam Undang-Undang no. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, yaitu bahwa penataan ruang diselenggarakan guna mewujudkan keharmonisan
antara lingkungan alam dan lingkungan buatan, terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan
sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia,
guna terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap
lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Dari kedua undang-undang tersebut dapat diketahui
bahwa pentingnya penataan ruang dalam upaya pemeliharaan dan perlindungan kualitas
dan/atau fungsi lingkungan hidup pada umumnya terletak pada penentuan peruntukan
penggunaan ruang atau dalam pemanfaatan sumber-sumber daya yang ada di dalamnya.
Dengan peruntukan yang jelas, mala semua kepentingan yang terkait dengan
pemanfaatannya dapat diakomodasi sehingga tercipta harmonisasi dalam pemanfaatan
ruang yang dapat mewujudkan nilai tambah berupa pemanfaatan yang aman, nyaman,
produktif, dan berkelanjutan (Wahid, 2011).
35
Beberapa jasa lingkungan yang saat ini sedang mengalami tekanan hebat adalah Jasa
Regulator Air, Jasa Penyedia/Penyimpanan Air dan Jasa Penyedia Pangan. Kegiatan
pembangunan, khususnya dalam bidang ekonomi, mendorong pemanfaatan sumberdaya
alam melewati batas pemulihannya. Pembukaan wilayah hutan, pertambanganpertambangan
terbuka, pengembangan infrastruktur dan perluasan area permukiman hingga wilayah-
wilayah terpencil telah mereduksi secara besar-besaran daerah-daerah dengan Jasa
Lingkungan tinggi. Pulau Jawa dan Sumatera merupakan pulan yang kondisi lingkungan
hidupnya mendapat tekanan paling besar. Pengembangan infrastruktur dan perkebunan yang
semakin meluas dan pertumbuhan penduduk yang sangat cepat telah menghilangkan
sebagian besar daerah-daerah regulator air tinggi di kawasan pegunungan Jawad an
pegunungan sepanjang Bukit Barisan Sumatera serta daerah penyedia pangan di Pulau
Jawa.
Kondisi yang hampir serupa terjadi di Kalimantan dan Sulawesi, meskipun belum
mencapai tahap menghawatirkan seperti di Jawa dan Sumatera. Pulau Kalimantan dan
Sulawesi yang secara luas dikenal sebagai wilayah yang sangat kaya dengan
keanekaragaman hayati dan bahan tambang, mulai mempercepat pengembangan wilayah
melalui pengembangan infrastruktur konektivitas antar daerah dan pengembangan kawasan
ekonomi khusus, terutama di sekitar perbatasan. Meningkatnya kejadian banjir di beberapa
tempat di Kalimantan merupakan dampak nyata dari mulai menurunnya kualitas jasa regulator
air akibat eksploitasi hutan, meningkatnya areal pertambangan, dan meluasnya perkebunan-
perkebunan sawit, selama beberapa tahun terakhir. Dengan meningkatnya konektivitas
wilayah, beberapa wilayah dengan jasa relulator dan penyimpan air tinggi di sepanjang
Pegunungan Muller Schwaner, pegunungan Meratus, kawasan gambut yang luas di
Kalimantan Tengah dan Kalimatan Barat, dan Kawasan ekosistem Karst diperkirakan akan
menjadi kawasan paling beresiko untuk mengalami degradasi. Selanjutnya, Kepulauan Bali
dan Nusa Tenggara dalam beberapa tahun telah mengembangkan diri dan memacu kegiatan
ekonomi berbasis pariwisata. Bali dan Nusa Tenggara Barat merupakan kawasan penting
nasional dari sisi suplai pangan karena merupakan salah satu Lumbung Pangan Nasional.
Kondisi jasa pangan tinggi, terutama pada daerah-daerah pertanian tradisional di Nusa
Tenggara Barat mulai mendapat tekanan dari pesatnya perkembangan perkotaan sedangkan
daerah jasa regulator tinggi mendapat tekanan dari perluasan permukiman di perdesaan dan
tumbuhnya kawasan wisata baru. Sementara itu, Pulau Papua dalam perkembangan sampai
saat ini masih mampu menjaga kualitas maupun kuantitas jasa lingkungan tinggi untuk
regulator dan penyimpanan air. Tutupan hutan yang masih luas dan rapat, perkembangan
infrastruktur dan kawasan pengembangan yang belum secepat di daerah lain, ikut membantu
menjaga dan memelihara kualitas jasa dan fungsi lingkungan hidup dalam kondisi baik.
Dari waktu ke waktu, pemakaian energi fosil di Indonesia menunjukkan tren yang terus
36
meningkat di semua sektor. Selama 1990-2000 meningkatnya konsumsi energy pada sektor
domestic terus menunjukkan peningkatan meskipun tidak terlalu besar dibandingkan sektor
domestik terus menunjukkan peningkatan meskipun tidak terlalu besar dibandingkan sektor
industri dan transportasi. Transportasi menjadi salah satu sektor yang paling banyak
menggunakan bahan bakar fosil. Sektor ini terus menunjukkan tren naik di semua jenis
transporasi baik darat, laut dan air (SLHI, 2010). Peningkatan terbesar terjadi pada
transportasi darat dengan kenaikan total kendaraan bermotor berkisar 10% (BPS, 2012).
Sepeda motor merupakan moda transportasi darat yang mengalami peningkatan paling tinggi
dan terjadi merata hampir di seluruh provinsi. Dampak dari pemakaian energi fosil sangat
besar pengaruhnya pada kualitas udara.
Secara global, pencemaran air berasal dari limbah cair domestic dan industri yang
tidak dikelola, sampah domestic, pemakaian air berlebihan, dan penataan fungsi lahan yang
tidak baik. Hal tersebut kemudian diperparah dengan masih banyaknya masyarakat (30%)
yang masih buang air besar di badan air. Setiap hari sekitar 14.000 ton tinja manusia belum
dikelola dengan benar sehingga berdampak pada menurunnya kualitas air. Selain hal
tersebut, kondisi ketersediaan air juga terganggu. Alih fungsi lahan pada daerah-daerah
resapan air meningkatkan aliran permukaan (run-off) di kawasan hilir, yang menyebabkan
meningkatnya potensi banjir. Hasil pemantauan 2008-2012 menunjukkan kualitas air sungai
cenderung menurun, terutama di Pulau jawa dan Sumatera. Sumber utama penemar berasal
dari aktivitas domestik yang terlihat dari parameter organik (proporsi BOD/COD dan
kandungan coliform) terutama di Maluku, Sulawesi Tenggara dan Sumatera Utara. Kualitas
air sungai sebagian besar provinsi memiliki nilai kandungan organic melebihi baku mutu
(diwakili parameter COD). Nilai organic tertinggi terpantau di Jawa Barat, terlihat ada tendensi
menurunnya kualitas air dari perindustrian. Sumber pencemar dari pertanian belum bisa
diidentifikasi karena monitoring rutin pencemar spesifik sektor ini belum dilakukan. Ancaman
pencemaran juga menincar sumberdaya laut.
Beberapa wilayah perairan Indonesia ternyata juga rentan terhadap pencemaran
minyak. Dalam kurun waktu 1997 - 2012 telah terjadi 36 kasus tumpahan minyak, yang
berdampak pada sumberdaya hayati dan non hayati laut (BPS, 2012). Pada 2012,
pemantauan kualitas air laut menggunakan parameter baku mutu air laut (BMAL) untuk
kualitas pelabuhan dan wisata bahari dibeberapa lokasi pelabuhan wisata bahari seperti
Pelabuhan Tanjung Priok, Pelabuhan Ciwandan, Pelabuhan Gorontalo dan Parigi, Teluk
Tomini menujukkan terdapat beberapa parameter yang melebihi baku mutum yaitu
kecerahan. Parameter amoniak yang melampaui baku mutu terdeteksi di Pelabuhan Tanjung
Priok, yang dekat dengan industri, pelabuhan peti kemas, dan pemecah gelombang.
Sementara itu di Pelabuhan Parigi, parameter amoniak di temukan di outlet Sungai Olaya.
Parameter TSS di lokasi wisata Parigi, Teluk Tominim melebihi baku mutu. Kandungan
37
oksigen terlarut (DO) di perkampungan Bajo di Pahuwato, Gorontalo, berada di luar baku
mutu, sedangkan lokasi lainnya masuk dalam baku mutu. Kandungan minyak lemak di laut
lepas dekat perkampungan Bajo dan wisata Parigi terdeteksi melebihi baku mutu.
Hutan tropis merupakan ekosistem yang kaya akan keanekaragaman hayati, berperan
dalam penyediaan jasa lingkungan dan tempat bergantung masyarakat yang hidup di sekitar
hutan. Selain itu, hutan tropis merupakan ekosistem yang menyimpan karbon terrestrial dalam
jumlah yang sangat besar. Deforestasi dan degradasi hutan akan menyebabkan pelepasan
emisi karbon dioksida ke atmosfer, sehingga mempengaruhi iklim secara global. Pada tahun
2008, emisi dunia dari proses deforestasi dan degradasi hutan mencapai 4,4 giga ton Co atau
11% dari total emisi anthropogenik (UNEP,2011), karena itu perlindungan hutan tropis
menjadi agenda internasional dalam rangka mitigasi perubahan iklim melalui mekanisme
Reduction Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+). REDD+ telah
disepakati dalam Conference On Paties 16 (COP 16) di Cancun tahun 2010. Indonesia dan
Brasil berperan penting dalam upaya mitigasi REDD+ karena memiliki hutan yang sangat luas.
Berdasarkan interpretasi Citra Satelit Landsat 7 ETM+, dalam kurun waktu tahun 2000 -2011
telah terjadi deforestasi di Indonesia seluas 6,5 juta hektar.
Dinamika deforestasi terkait dengan beberapa faktor, baim secara langsung (agent)
maupun tidak langsung (driving force) (Sunderling, W.D & Resosudarmo, 1996). Faktor
langsung berarti pelaku dan penyebab secara langsung mengubah tutupan hutan menjadi
peruntukan lain, misalnya kebakaran hutan, ekspansi lahan pertanian, perumahan dan
pertambangan. Faktor secara tidak langsung berupa kondisi sosial, ekonomi, dan politik pada
skala nasional, regional, maupun global. Beban pencemaran dan kerusakan tutupan hutan
pada akhirnya mengancam keragaman keanekaragaman hayati Indonesia. Pembangunan
ekonomi yang dilaksanakan dengan tidak memperhatikan kondisi lingkungan akan
mendorong laju kepunahan dan tingkat keterancaman keanekaragaman hayatu, karena itu
perlindungan terhadap jenis flora dan fauna terancam menjadi prioritas pemerintah.
Pembangunan nasional dewasa ini harus mengedepankan asas berkelanjutan
sebagai isu utama, yakni mengutamakan aspek pengelolaan lingkungan hidup. Tidak dapat
dipungkiri bahwa kondisi lingkungan hidup Indonesia sudah mengalami degradasi, dilihat dari
dua parameter yakni daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Kondisi ini terjadi
akibat tingkat pemanfaatan sumberdaya alam yang lebih tinggi daripada daya dukung dan
daya tampungnya. Pembangunan nasional selama ini memang lebih banyak bertumpu pada
pemanfaatan sumberdaya alam baik sumberdaya hutan, sumberdaya pertambangan seperti
migas maupun mineral, dan sebagainya. Kondisi ini menjadikan pembangunan nasional yang
selama ini dilakukan cenderung belum sepenuhnya berorientasi pada pengelolaan
lingkungan. Pengelolaan lingkungan hidup merupakan satu kesatuan sistem ekoregion dari
tingkat Nasional sampai Kabupaten/ Kota, sehingga perlu dianalisis isu strategis pengelolaan
38
lingkungan secara hirarkis untuk memberikan gambaran keterkaitan lingkungan. Berikut
disampaikan Isu Strategis Lingkungan Hidup tingkat Nasional, Ekoregion, Provinsi dan
Kabupaten.
Dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, 2 (dua) hal utama yang secara nasional
dihadapi sebagai isu strategis yang berkaitan dengan menurunnya kualitas dan daya dukung
lingkungan hidup adalah :
1) Menurunnya kemampuan ekosistem untuk menjaga keseimbangan siklus air siklus
hidrologi, terutama di Jawa dan Sumatera sudah sangat terganggu. Bencana alam yang
semakin sering terjadi merupakan salah satu indikasi yang dapat dirujuk. Ekosistem tidak
lagi mampu menampung dan menyalurkan air dengan semestinya. Oleh karena itu,
pengelolaan lingkungan hidup ke depan harus dapat menjamin pulihnya kemampuan
ekosistem untuk menyerap, menahan, menyimpan dan mengatur distribusi air. Daerah-
daerah yang menjadi resapan air harus dilindungi ekosistemnya, dipulihkan
kerusakannya, dan ditingkatkan kualitas tutupan hutannya. Sedangkan daerah-daerah
yang merupakan penyimpan air alami harus dipulihkan dan dibebaskan dari area
terbangun.
2) Berkurangnya luasan lahan pangan kualitas tinggi di daerah - daerah lumbung pangan
tradisional, Berdasarkan perhitungan Bappenas, Indonesia diproyeksikan akan dihuni
oleh ± 305,6 juta jiwa pada tahun 2035. Diperlukan produksi pangan yang besar untuk
dapat mendukung jumlah penduduk tersebut, yang selama ini dipasok dari lahan-lahan
sawah tradisional di Jawa, Sumatera, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Perkembangan
pembangunan yang pesat, terutama di Jawa dan Sumatera, menyebabkan banyak lahan-
lahan pangan produktif berubah fungsi menjadi perumahan, kawasan indutri, jalan tol,
atau area terbangun lainnya. Untuk mendorong penyelesaian isu tersebut, pengelolaan
lingkungan hidup ke depan harus mampu melindungi lahan-lahan pangan produktif,
mencegah alih fungsi lahan pertanian, dan memperketat penggunaan lahan yang
potensial untuk pangan menjadi daerah-daerah terbangun. Disamping itu, perlu
dikembangkan sumber-sumber pangan baru yang mempunyai kemampuan adaptasi
tinggi di luar Jawa.
39
Gambar 2.6. Peta Ekoregion Pulau Jawa
Wilayah jasa penyimpan air di Pulau Jawa tersebar di 1) dataran fluvial di pesisir utara
Jawa Barat, di sebagian pesisir utara jawa tengah dan banten, 2) pegunungan vulkanik di
jawa barat, jawa tengah, jawa timur dan 3) pegunungan solusional karst di sebagian pesisir
selatan jawa tengah. Sedangkan untuk Jasa Tata Air dan Banjir tinggi di Ekoregion Pulau
Jawa tersebar di daerah pegunungan/perbukitan vulkanik di pulau Jawa yang saat ini masih
berstatus sebagai kawasan hutan. Sebagai catchment area, wilayah-wilayah tersebut akan
menahan Air hujan dan menyalurkan air ke daerah hilir secara bertahap. Pulau Jawa yang
40
memiliki banyak gunung berapi aktif, menjadikan ekoregionnya didominasi oleh dataran
vulkanik dan fluvial yang sangat subur untuk dijadikan lahan sawah dan tanaman semusim
lainnya. Secara umum hampir seluruh Ekoregion Jawa memiliki jasa lingkungan penyedia
bahan pangan, baik dari lahan kering maupun lahan basah. Ekoregion Jawa memiliki kawasan
budidaya yang luas, untuk persawahan terhampar pada ekoregion dengan karakteristik
dataran fluvial dan dataran vulkanik.
41
Tabel 2.12. Isu Strategis Ekoregion Pulau Jawa
Pendorong Tekanan Dampak Kondisi Lingkungan
Pertumbuhan penduduk di a. Pemekaran perkotaan a. Turunnya kemampuan produksi a. Rusaknya kemampuan daya
Perkotaan menyebabkan alih fungsi lahanm pangan; tamping air di dataran fluvial
pertanian; b. Turunnya daya dukung b. Subsiden di pesisir utara Jawa
b. Kebutuhan Air baku &SDA penyediaan air
meningkat
Kebijakan Pemerintah untuk a. Alih fungsi lahan budidaya pertanian a. Turunnya kemampuan produksi a. Indeks pencemaran di atas
Industrialisasi sekitar perkotaan menjadi kawasan pangan; ambang batas di wilayah
industry; b. Turunnya daya dukung perkotaan;
b. Kebutuhan air, SDA dan energy; penyediaan air b. Banyak kasus penyakit akibat
c. Urbanisasi untuk bekerja di sektor pencemaran;
Industri sekunder dan tersier c. Kualitas air baku menurun;
d. Subsiden akibat eksploitasi air
tanah.
Pembangunan infrastruktur a. Alih fungsi lahan budidaya pertanian a. Turunnya kemampuan jasa a. Kejadian banjir di wilayah
sekitar perkotaan menjadi kawasan lingkungan dalam menahan air perkotaan dan pesisir utara
industry; hujan; jawa;
b. Kebutuhan air, SDA dan energy; b. Merosotnya ketersediaan SDA. b. Kelangkaan air bersih di
c. Urbanisasi untuk bekerja di sektor wilayah perkotaan
Industri sekunder dan tersier
Tekanan ekonomi masyarakat a. Alih fungsi hutan menjadi lahan a. Turunnya kemapuan jasa
pedesaan dan permintaan pasar budidaya pertanian lingkungan dalam menahan air
hujan
42
Mencermati permasalahan-permasalahan lingkungan yang ada, diperlukan rencana
pengelolaan yang baik dan berbasis kelingkungan sehingga dapat lestari dalam jangka waktu
panjang. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan mengacu dalam UndangUndang Nomor 32
Tahun 2009. Memahami isi dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolan Lingkungan Hidup, maka setiap Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota
WAJIB menyusun dokumen-dokumen lingkungan hidup yang diatur dalam pasal-pasal
berikut. Bab II bagian Ketiga tentang Ruang Lingkup Pasal 4 menyatakan bahwa perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi: Perencanaan, Pemanfaatan, Pengendalian,
Pemeliharaan, Pengawasan, dan Penegakan Hukum. Pada pasal-pasal berikutnya dijelaskan
tentang definisi, cakupan kajian, cakupan wilayah, dan tujuan dari masing-masing tahapan
tersebut. Bab II Pasal 5 menyatakan bahwa pada tahap PERENCANAAN perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, harus dilaksanakan kegiatan-kegiatan, berupa: inventarisasi
lingkungan hidup, penetapan wilayah wilayah ekoregion, dan penyusunan Rencana
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH). Pasal 1 ayat (29) menjelaskan
bahwa ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora,
dan fauna asili, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas
sitem alam dan lingkungan hidup.
Gambar 2.7. Muatan Kegiatan dalam setiap Tahapan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup berdasarkan UUPLH No 32 Tahun 2009
UUPLH Nomor 32 Tahun 2009 tersebut memberikan pedoman secara jelas kepada
Pemerintah Daerah bahwa untuk dapat melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup secara baik. Pasal 12 yang menyebutkan bahwa apabila Rencana Perlindungan dan
43
Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) belum tersusun, maka pemanfaatan sumber daya
alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung. Keterkaitan daya dukung
dan daya tampung dengan KLHS, RPPLH, dan pemanfaatan sumberdaya alam sebagaimana
digambarkan pada diagram di bawah ini.
44
terhadap penduduk yang mendiami lingkungan tersebut. Apabila kemampuan optimum telah
terpenuhi, sedangkan populasi cenderung meningkat maka akan terjadi persaingan dalam
memperebutkan sumberdaya. Untuk mengurangi disparitas pemenuhan kebutuhan masing-
masing individu akan sumberdaya maka diperlukan sebuah teknologi yag dapat membantu
memperbesar kapasitas sumberdaya. Adanya konsep Carrying Capacity (CC) berdasarkan
sebuah pemikiran bahwa lingkungan mempunyai batas kapasitas maksimum guna
mendukung pertumbuhan populasi penduduk yang berbanding lurus dengan azas
manfaatnya.
Konsep dasar dari pembangunan berkelanjutan memiliki dua konsep yaitu konsep
kebutuhan dan konsep keterbatasan. Sebuah konsep dari pemenuhan kebutuhan difokuskan
untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, sedangkan konsep dari keterbatasan adalah
ketersediaan dan kapasitas yang dimiliki dari lingkungan untuk memenuhi kebutuhan
tersebut. Berlanjutnya pembangunan untuk menciptakan keseimbangan antara kebutuhan
dan keterbatasan yang ada pada saat itu. Upaya keseimbangan itu dapat dilakukan dua arah
yaitu dengan mengandalkan kebutuhan dengan mengubah perilaku konsumsi dan sebaliknya
meningkatkan kemampuan untuk meminimalkan keterbatasan. Kegiatan yang dilakukan pada
saat ini untuk memenuhi kebutuhan harus mempertimbangkan keberlanjutan dari kota
tersebut dalam jangka waktu yang panjang.
Selain perhatian dari manusia selaku yang menempati lingkungan tersebut, faktor
yang menentukan bagi keberlangsungan hidup adalah daya dukung alam yang sangat
berpengaruh besar terhadap keberlangsungan hidup manusia. Maka kemampuan dari daya
dukung alam tersebut harus dijaga agar tidak merusak dan berakibat buruk pada kehidupan
makhluk hidup yang ada di dalamnya. Secara umum kerusakan daya dukung alam
dipengaruhi dua faktor yaitu:
a) Faktor internal, yaitu kerusakan yang berasal dari alam itu sendiri. Kerusakan karena
faktor internal pada daya dukung alam sulit untuk dicegah karena adalah proses alami
yang terjadi oleh alam itu sendiri, misalkan sebagai contoh gempa bumi, gunung berapi
dan tsunami.
b) Faktor eksternal, yaitu kerusakan yang diakibatkan oleh ulah manusia dalam rangka
meningkatkan kualitas dan kenyamanan hidupnya, misalnya kerusakan yang diakibatkan
oleh kegiatan industri, seperti tambang minyak, tambang emas dsb, kegiatan ini dapat
mencemarkan baik darat, air dan udara.
Lingkungan tidak hanya lingkungan alamiah saja, namu juga lingkungan sosial dan
lingkungan binaan. Lebih lanjut lagi, daya dukung dapat diperluas menjadi daya dukung
alamiah (lingkungan alam), daya dukung sosial (yang berupa ketersediaan sumber daya
manusia dan kemampuan finasial). Jadi dengan adanya pengelolaan lingkungan yang baik
dan perkembangan teknologi, maka daya dukung lingkugan dapat ditingkatkan
45
kemampuannya, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup makhluk yang ada didalam
lingkungan tersebut.
Kota yang “sustainable” adalah kota yang perkembangan dan perkembangannya
mampu memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini, mampu berkompetisi dalam ekonomi
global dengan mempertahankan keserasian lingkungan vitalitas sosial, budaya, politik dan
pertahanan keamanannya, tanpa mengabaikan ataupun mengurangi kemampuan generasi
mendatang dalam pemenuhan kebutuhan mereka (Budiharjo, E. dan D.Sujiarto, 1999).
Tujuan penyusunan Konsep Pedoman Penentuan Daya Dukung dan Daya Tampung
Lingkungan Hidup ini adalah:
a) Mewujudkan penataan ruang wilayah dan pemanfaatan sumber daya alam yang sesuai
dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang dapat menjamin
keberlanjutan suatu wilayah dalam mendukung kebutuhan manusia dan makhluk hidup
lainnya;
b) Menurunkan dampak negatif terhadap lingkungan akibat dari pemanfatan ruang dan
pemanfaatan sumber daya alam yang tidak berdasarkan pada daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup
c) Sebagai dasar perencanaan kerjasama antar daerah dalam pembangunan wilayah,
penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan dan pencadangan sumber daya alam,
pengendalian kerusakan lingkungan hidup dan pengendalian pencemaran lingkungan
hidup.
d) Tersedianya acuan umum pelaksanaan kajian daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup baik pada level nasional, provinsi dan kabupten/kota.
46
terkait erat dengan modal alam. Akan tetapi, dalam konteks pembangunan yang berlanjut
(sustainable development), suatu komunitas tidak hanya memiliki modal alam, melainkan juga
modal manusia, modal sosial dan modal lingkungan buatan. Oleh karena itu, dalam konteks
berlanjutnya suatu kota, daya dukung lingkungan kota adalah jumlah populasi atau komunitas
yang dapat didukung oleh sumberdaya dan jasa yang tersedia karena terdapat modal alam,
manusia, sosial dan lingkungan buatan yang dimilikinya.
Pengertian daya dukung lingkungan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu kemampuan lingkungan untuk mendukung
perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Daya dukung lingkungan adalah jumlah
maksimum manusia yang dapat didukung oleh bumi dengan sumberdaya alam yang tersedia.
Jumlah maksimum tersebut dalah jumlah yang tidak menyebabkan kerusakan pada
lingkungan dan kehidupan di buni dapat berlangsung secara ”sustainable”.
Dalam perkembangannya kemudian, konsep daya dukung lingkungan diaplikasikan
sebagai suatu metode perhitungan untuk menetapkan jumlah organisme hidup yang dapat
didukung oleh suatu ekosistem secara berlanjut, tanpa merusak keseimbangan di dalam
ekosistem tersebut. Penurunan kualitas dan kerusakan pada ekosistem kemudian
didefinisikan sebagai indikasi telah terlampauinya daya dukung lingkungan.
Batas daya dukung ekosistem tergantung pada tiga faktor yaitu:
1) Jumlah sumberdaya alam yang tersedia dalam ekosistem tersebut
2) Jumlah / ukuran populasi atau komunitas
3) Jumlah sumberdaya alam yang dikonsumsi oleh setiap individu dalam komunitas tersebut.
Pengertian modal alam berdasarkan website tersebut adalah meliputi:
1) Sumberdaya alam yaitu semua yang diambil dari alam dan digunakan dengan atau tanpa
melalui proses produksi yang meliputi air, tanaman, hewan, dan material alam seperti
bahan bakar fosil, logam dan mineral. Penggunaan sumberdaya alam ini akan
menghasilkan produk akhir dan limbah.
2) Jasa ekosistem yaitu proses alami yang dibutuhkan bagi kehidupan, seperti sumberdaya
perikanan, lahan untuk budidaya, kemampuan asimilasi air dan udara dan sebagainya.
3) Estetika dan keindahan alam yang memiliki kontribusi dalam meningkatkan kualitas hidup
dan adalah potensi ekonomi untuk pengembangan pariwisata dan rekreasi
Lingkungan mempunyai kemampuan dalam mengasimilasi limbah disebut sebagai daya
tampung lingkungan. Daya tampung lingkungan berdasarkan Undang-undang 23 tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk
menyerap zat, energi, dan/atau komponen lainnya yang masuk atau dimasukkan ke
dalamnya. Padahal sebenarnya daya tampung lingkungan sudah dapat tercakup dalam
pengertian daya dukung lingkungan karena ”mendukung perikehidupan” dapat diartikan
sebagai mendukung ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan sekaligus mengasimilasi
47
limbah dari konsumsi sumberdaya tersebut. Dari pengertian tersebut, daya dukung
lingkungan adalah sesuatu yang bersifat dinamis, dapat terdegradasi atau punah apabila
tidak dilestarikan dan sebaliknya dapat ditingkatkan kemampuannya.
48
Tabel 2.13. Klasifikasi Pengembangan Kemampuan Lahan
49
sungai sering digunakan sebagai sumber air baku untuk sarana penyediaan air bersih,
pengairan dan industri. Secara kuantitas, debit aliran sungai umumnya sangat dipengaruhi
oleh musim, begitu juga dengan kualitasnya.
Pada musim penghujan sungai mengalami pengenceran sehingga kadar pencemaran
mengalami penurunan akibat pengenceran tersebut. Perairan tawar di permukaan bumi
dapat membentuk suatu ekosistem, misalnya ekosistem danau atau sungai. Faktor yang
paling mempengaruhi ekosistem perairan adalah oksigen terlarut untuk berlangsungnya
proses fotosintesis, respirasi dan penguraian dalam perairan; cahaya matahari untuk
pengaturan suhu dan berlangsungnya proses fotosintesis.
Beberapa masalah uatam yang terjadi pada air permukaan adalah pengeringan atau
gangguan terhadap kondisi alami (misalnya dampak pembuatan waduk, irigasi);
pencemaran pada badan air misalnya pembuangan limbah industri dan domestik, limbah
pertanian yang dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi yaitu suatu proses perubahan
fisi, kimia dan biologis yang terjadi dalam suatu badan peraiaran (biasanya yang alirannya
lambat) akibat melimpahnya masukan zat hara (umumnya N dan P) dari luar.
50
Permasalahan air tanah pada suatu wilayah perkotaan biasanya berupa penuruan
kualitas air tanah yang disebabkan antara lain adanya pencemaran dari pertambangan,
pembuangan sampah, penimbunan senyawa berbahaya (radioaktif), penuruan kuantitas
antara lain disebabkan oleh perusakan daerah resapan, pengambilan air berlebihan yang
dapat mengakibatkan turunnya muka air tanah dan terjadinya intrusi air laut (pergeseran batas
air laut dan air tawar kea rah daratan), terjadinya kerucut depresi dan penurunan muka tanah.
Peranan air di alam dan dalam kegiatan manusia sangatlah kompleks, air merupakan
kebutuhan utama bagi manusia untuk memenuhi kebutuhannya seharihari dan melanjutakan
hidupnya, sehingga perlu pendekatan yang menyeluruh untuk melihat interaksi manusia
dengan konteks ekonomi, lingkungan dan sosial. Peranan air pada kegiatan manusia dapat
dilihat ada gambar berikut:
51
tentangsumberdaya air, tingkat pengawasan, kebijakan tentang kependudukan (Kang dan Xu,
2011).
Metoda penentuan daya dukung air menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup Dalam
Penataan Ruang Wilayah yaitu dengan mempertimbangkan ketersediaan dan kebutuhan
akan sumber daya air bagi penduduk yang hidup di suatu wilayah. Dengan metoda ini dapat
diketahui secara umum apakah sumberdaya air di wilayah tersebut dalam keadaan surplus
atau defisit. Keadaan surplus menunjukkan bahwa ketersediaan air tercukupi dan dikatakan
defisit apabila ketersediaan air di suatu wilayah tidak tercukupi. Alur analisis pendekatan daya
dukung air suatu wilayah terlihat dalam gambar di bawah ini:
52
kebutuhan air nondomestik untuk perkotaan dapat dihitung dengan mengacu pada standard
yang ditetapkan oleh Departemen Pekerjaan Umum.
Kebutuhan air untuk kegiatan industri dalam suatu kawasan perkotaan, khususnya di
Indonesia sangat sulit untuk mendeskripsikan secara tepat atau setidaknya yang dapat
menggambarkan kondisi yang ada. Hal ini dikarenakan minimnya data mengenai industri dan
kapasitas produksinya. Beberapa standard ada yang memakai jumlah pegawai untuk
mengkategorikan jenis industri kemudian kebutuhan air digolongkan berdasarkan jenis
industrinya (kecil, sedang, besar), dan ada pula standard yang memakai data luas lahan
industri sebagai dasar penetapan kebutuhan air rata-rata. Penelitian ini mencoba
mengkombinasikan beberapa standard pemakaian air industri berdasarkan kapasitas
produksi dari masaing-masing jenis industri dengan mengacu pada beberapa literatur yang
ada dan disesuaikan dengan keterbatasan data dan iinformasi yang dimiliki.
53
Lingkungan tidak hanya adalah lingkungan alamiah saja, namun juga lingkungan sosial
dan lingkungan binaan. Lebih lanjut lagi, daya dukung dapat diperluas menjadi daya
dukung alamiah (lingkungan alam), daya dukung sosial (yang berupa ketersedian sumber
daya manusia dan kemampuan finansial). Jadi dengan adanya pengelolaan lingkungan
yang baik dan input teknologi, maka daya dukung lingkungan dapat ditingkatkan
kemampuannya, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup makhluk yang ada didalam
lingkungan tersebut.
Kota yang “sustainable” adalah kota yang perkembangan dan pembangunannya mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini, mampu berkompetisi dalam ekonomi global
dengan mempertahankan keserasian lingkungan vitalitas sosial, budaya, poltik dan
pertahanan keamanannya, tanpa mengabaikan datu mengurangi kemampuan generasi
mendatang dalam pemenuhan kebutuhan mereka ( Budihardjo, E., Sujarto, D. 2005 ).
Untuk menciptakan kota yang berkelanjutan diperlukan lima prinsip dasar, yaitu
Environment (ecology), Economy (employment), Equity Engagement, dan Energy).
54
Termasuk disini lahan yang terdaftar di Pajak Hasil Bumi, iuran pembangunan daerah, lahan
bengkok, lahan serobotan, lahan rawa yang ditanami padi dan lahan bekas tanaman tahunan
yang telah dijadikan sawah, baik yang ditanami padi maupun palawija.
Berdasarkan pengairannya lahan sawah dibedakan menjadi:
1) Lahan Sawah Irigasi
Lahan sawah yang memperoleh pengairan dari sistem irigasi, baik yang bangunan
penyadap dan jaringan-jaringannya diatur dan dikuasai Dinas Pengairan PU maupun
dikelola sendiri oleh masyarakat.
2) Lahan Sawah Tadah Hujan
Lahan sawah yang tidak memperoleh pengairan dan sistem irigasi tetapi bergantung pada
air hujan, pasang surutnya air sungai/laut dan air rembesan.
3) Lahan Sawah Rawa Pasang Surut
Lahan sawah yang tidak memperoleh pengairan dari sistem irigasi tetapi tergantung pada
air hujan, pasang surutnya air sungai/laut/
4) Lahan Sawah Rawa Lebak
Lahan sawah yang tidak memperoleh pengairan dari sistem irigasi tetapi tergantung pada
air rembesan.
55
memenuhi kebutuhan pangan sendiri dengan cara membudidayakan tanaman pangan seperti
seleria (beras dan sejenisnya), palawija, cassava (ubi-ubian) dan lain-lain. Pengertian
pangan, dapat di sumpul kan bahwa segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air
yang dapat menghasilkan bahan makanan utama seperti padi (menghasilkan beras), palawija
(menghasilkan jagung), kacang-kacangan dan ubi-ubian yang di tanam atas tanah, tanah
sawah, ladang, ataupun pekarangan.
Menurut UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, daya dukung lingungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung
perikihidupan manusia, makhluk hidup lain dan keseimbangan antara keduanya. Daya
dukung lahan dapat di nilai menurut ambang batas kesangupan lahan sebagai suatu
ekosistem menahan keruntuhan akibat penggunaan. Daya dukung lahan ditentukan oleh
banyak faktor baik biofisik maupun sosial, ekonomi, budaya yang saling mempengaruhi (FAO,
1999). Daya dukung merupakan hal yang paling penting untuk mengevaluasi sumberdaya
lingkungan hidup serta pemgembangan ekonomi (Jiang et al, 2017). Maka daya dukung
bukan ahanya sebuah konsep ilmiah atau rumus untuk mengetahui pembangunan yang telah
melebihi dan harus di hentikan, tetapi suatu proses dimana untuk mengetahui batasan
pembangunan yang harus diperhatikan sebagai acuan (George & Kumar Kini, 2016).
Salah satu faktor yang berpengaruh besar dan juga sangat dipengaruhi oleh
pembangunan adalah faktor sumberdaya alam dan daya dukung lingkungan, yang
sebenarnya merupakan sumberdaya lahan. Sumber daya alam dan daya dukung lingkungan
ini salah satunya adalah lingkungan fisik yang merupakan tempat dilaksanakan pembangunan
maka diperlukan adanya keselarasan antara pebangunan yang dilakukan dengan daya
dukung fisik serta mengerti kemampuan swasembada beras.
Konsep daya dukung lahan pertanian yang ditemukan oleh Odum, Howard dan Issard
dapat digunakan sebagai dasar untuk menghitung tingkat swasembada pangan beras yang
menjadi kebutuhan pokok penduduk Indonesia. Swasembada beras berarti kemampuan
suatuwilayah untuk mencakup kebutuhan beras bagi penduduknya tanpa perdagangan dari
wilayah lain (mandiri). Terdapat dua komponen perhitungan swasembada beras yaitu
komponen kebutuhan dan ketersediaan (Muta’ali, 2012).
Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk di Indonesia
yang memberikan energi dan zat yang tinggi. Beras merupakan komoditas pangan pokok
yang dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat. Maka Kebutuhan penduduk akan beras
adalah kebutuhan pokok dimana setiap penduduk memiliki batas minimum kebutuhan beras
setiap tahun. Kebutuhan penduduk akan beras menururt BPS tahun 2015 sebesar 144
Kg/kapita/tahun. Dengan menggunakan standar kebutuhan tersebut maka dapat digunakan
untuk mencari kebutuhan penduduk akan beras.
Swasembada beras memiliki arti kemampuan suatu wilayah untuk mencukupi
56
kebutuhan beras bagi penduduknya tanpa perdagangan dengan wilayah lain atau mandiri.
Dalam swasembada beras terdapat 2 komponen yaitu kebutuahan (demand) dan
ketersediaan (Supply). Prinsip swasembada yang dijelaskan juga dapapt digunakan untuk
menilai daya dukun pangan beras yaitu keseimbangan antara ketersediaan beras dan
kebutuhan beras, yang dirumuskan sebagai berikut:
Keterangan:
DDPb = Daya dukung pangan beras
PrL = Produktiitas lahan (yang ditanami padi) (kg/ha)
LLtp = Luas lahan yang ditanami padi (ha)
Α = Indeks konversi dari padi menjadi beras (62,74%)
JP = Jumlah penduduk Stdb = Standar kebutuhan beras (kg), digunakan 114
kg/kapita/tahun (BPS, 2015)
2.5.1. Konsep Daya Dukung dan Daya Tampung Berdasarkan Stok (Ketersediaan Air
dan Ketersediaan Lahan
Daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam perencanaan tata ruang
dimaksudkan agar pemanfaatan ruang berdasarkan tata ruang nantinya tidak sampai
melampaui batas-batas kemampuan lingkungan hidup dalam mendukung dan menampung
aktivitas manusia tanpa mengakibatkan kerusakan lingkungan. Kemampuan tersebut
mencakup kemampuan dalam menyediakan ruang, kemampuan dalam menyediakan
sumberdaya alam, dan kemampuan untuk melakukan perbaikan kualitas lingkungan apabila
terdapat dampak yang mengganggu keseimbangan ekosistem. Penataan ruang yang
mengabaikan daya dukung lingkungan dipastikan akan menimbulkan permasalahan dan
57
degradasi kualitas lingkungan hidup seperti banjir, longsor dan kekeringan, pencemaran dan
lain sebagainya.
Konsep dan metode pengukuran daya dukung lingkungan memiliki banyak definisi,
namun kesamaannya adalah bahwa daya dukung selalu memperhatikan perbandingan dan
keseimbangan antara ketersediaan (suplly) dan permintaan (demand) dan ke-semuanya
disesuaikan dengan tujuan yang diinginkan. Daya dukung lingkungan mengandung
pengertian kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan mahluk hidup secara
optimum dalam periode waktu yang panjang. Daya dukung lingkungan dapat pula diatikan
kemampuan lingkungan memberikan kehidupan organisme secara sejahtera dan lestari bagi
penduduk yang mendiami suatu kawasan.
Penetapan daya dukung lahan untuk hutan atau kawasan hutan dapat dilakukan
melalui berbagai tahapan. Tahapan pertama adalah menetapkan suatu kawasan berdasarkan
fungsinya. Penetapan kawasan ini didasarkan pada kemampuannya untuk mendukung
aktifitas manusa tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan.
Berdasarkan definisi yang umum digunakan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem
berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Sedangkan kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh
pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan yang
ditetapkan pemerintah terdiri atas :
1) Hutan konservasi yang terdiri atas :
a) Hutan Suaka Alam (Cagar Alam dan Suaka Margasatwa),
b) Hutan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya), Taman Wisata Alam),
dan
c) Taman Buru.
2) Hutan lindung
3) Hutan produksi, yang dapat dibedakan atas :
a) Hutan produksi terbatas,
b) biasa, dan
c) Hutan produksi yang dapat dikonversi.
Terkait dengan daya dukung lahan/lingkungan hutan, kawasan hutan lindung dan
hutan produksi menggambarkan kapasitasnya. Kawasan hutan konservasi ditetapkan
berdasarkan terdapatnya flora atau fauna khusus yang perlu dilindungi dari kepunahannya.
Sedangkan kawasan hutan produksi konversi ditetapkan pada lokasi yang seharusnya daya
dukungnya dapat untuk kegiatan budidaya non kehutanan, namun kondisinya saat ini
ditetapkan berpenutupan lahan hutan yang masih bagus kondisinya.
58
Analisis penetapan fungsi kawasan hutan dilakukan dengan berdasarkan SK Menteri
Pertanian No. 837/KPTS/UM/11.1980. dalam metode analisis ini ditentukan tiga factor, yaitu:
1) kemiringan lereng,
2) jenis tanah, dan
3) curah hujan.
59
reklamasi yang mengubah secara permanen keadaan dan atau cakupan faktor
penghambat (misalnya pembuatan drainase, irigasi, dan sebagainya).
8) Pengelompokkan kemampuan lahan akan dapat berubah apabila informasi baru tentang
tingkah laku dan respon tanah menjadi tersedia.
9) Jarak ke pasar, macam dan kondisi jalan, lokasi di lapangan, dan keadaan/sifat pemilikan
lahan tidak merupakan kriteria dalam mengelompokkan kemampuan lahan.
60
lahan > 8%. Disini, aspek prioritas pemanfaatan lahan adalah konservasi tanah dan
pengendalian erosi. Secara hidrologis, DAS bagian hulu biasanya membentuk daerah
utama pengisian kembali curah hujan untuk air permukaan dan air tanah dari DAS.
2) DAS bagian tengah didefinisikan sebagai aliran yang terbatas pada bagian tengah,
dimana kurang lebih 50% dari permukaan lahan DAS tersebut mempunyai kemiringan
lahan < 8% serta dimana baik konservasi tanah maupun pengendalian bajir adalah sama
pentingnya. Secara hidrologis DAS bagian tengah membentuk daerah utama transisi
curah hujan untuk air tanah.
3) DAS bagian hilir didefinisikan sebagai daerah aliran yang terbatas pada bagian hilir,
dimana kurang lebih 70% permukaan lahannya mempunyai kemiringan terabaikan dalam
pengembangan tata guna lahan.
Kawasan hutan yang sama dengan kemampuan lahan yang sama bila terletak di hulu
DAS akan memiliki daya dukung yang lebih rendah bila dibandingkan letaknya di bagian
tengah DAS.
Hal terakhir dari penentu daya dukung lahan hutan atau kawasan hutan adalah
penggunaannya saat ini ditinjau dari kesesuainnya dengan fungsi, kemampuan lahan dan
lokasinya. Penutupan lahan adalah kondisi fisik benda atau kenampakan yang ada di
permukaan bumi, misalnya hutan, padang rumput, bangunan gedung, tubuh air. Penggunaan
lahan adalah tutupan biofisik pada permukaan bumi yang dapat diamati merupakan suatu
hasil pengaturan, aktifitas dan perlakuan manusia yang dilakukan pada jenis penutupan lahan
tertentu untuk melakukan kegiatan produksi, perubahan ataupun perwawatan pada
penutupan lahan tersebut.
Untuk menilai daya dukung lahan kawasan hutan maka penggunaan atau penutupan
lahan menjadi salah satu faktor penting. Penutupan lahan yang terbuka akan menurunkan
daya dukung lahan, sebaliknya bila penutupan lahan menutupi sebagian sebagian besar
permukaan tanah akan meningkatkan daya dukungnya. Untuk menilai tingkat daya dukung
lahan kawasan hutan maka penggunaan lahan dapat direklasifikasi berdasarkan derajat
penutupannya.
Kesesuaian penggunaan lahan ini umumnya digunakan untuk menilai daya dukung
lahan pada suatu kawasan, misalnya DAS atau sub DAS. Kawasan yang memiliki kesesuaian
penggunaan yang kecil memiliki daya dukung yang rendah, demikian juga sebaliknya.
Esensi dasar dari daya dukung adalah perbandingan antara ketersediaan dan
kebutuhan atau supply dan demand. Hal ini menjadi penting karena supply umumnya
terbatas, sedangkan demand tidak terbatas. Perhitungan menjadi sulit, karena terlalu banyak
faktor yang mempengaruhi kebutuhan dan ketersediaan. Dengan kata lain, terlalu banyak
elemen yang mempengaruhi komponen daya dukung lingkungan. Kesulitan tersebut
61
mengakibatkan daya dukung umumnya berlaku pada sistem tertutup, tanpa
memperhitungkan interaksi antar wilayah, sehingga lebih banyak berkembang daya dukung
sektoral (pertanian, pariwisata, sosial dan lain-lain) yang dikembangkan berdasarkan tujuan
dan fungsi tertentu.
Beberapa konsep dan perhitungan teknis daya dukung lingkungan yang dapat
digunakan sebagai dasar dalam penyusunan RTRW sangatlah banyak dan beragam serta
tergantung pada tujuan yang diinginkan seperti untuk daya tampung demografis,
keseimbangan pangan, lahan pertanian, penggunaan lahan, keseimbangan kebutuhan lahan,
kebutuhan air dan sebagainya. Selain itu penggunaan penerapan teknik pengukuran daya
dukung lingkungan juga tergantung pada unit analisis yang digunakan.
Selain teknik pengukuran daya dukung lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup
menerbitkan Peratura Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 Tentang
Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup Dalam Penataan Ruang Wilayah,
dengan mendasarkan pada tiga metode yaitu alokasi pemanfaatan ruang berbasis
kemampuan lahan, keseimbangan sumberdaya lahan dan sumberdaya air.
Kemampuan lahan merupakan karakteristik lahan yang mencakup sifat tanah (fisik
dan kimia), topografi, drainase, dan kondisi lingkungan hidup lain. Berdasarkan karakteristik
lahan tersebut, dapat dilakukan klasifikasi kemampuan lahan ke dalam tingkat kelas, sub
kelas, dan unit pengelolaan. Pengelompokkan kemampuan lahan dilakukan untuk membantu
dalam penggunaan dan interpretasi peta tanah. Kemampuan lahan sangat berkaitan dengan
tingkat bahaya kerusakan dan hambatan dalam mengelola lahan.
Hasil akhir kelas kemampuan lahan dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok sebagai
berikut :
a) kelompok pertama adalah kelompok kelas kemampuan untuk penggunaan lahan
pertanian (usaha tani) meliputi kelas I sampai kelas IV;
b) kelompok kedua adalah kelompok kelas kemampuan yang tidak bisa digunakan untuk
pertanian (usaha tani) meliputi kelas V sampai kelas VIII.
Dengan demikian makin tinggi kelasnya semakin rendah kualitas lahannya (Rayes, 2007).
Berdasarkan karakter di atas, maka Muta’ali (2011) menyusun rumusan tentang
Indeks Kemampuan Lahan Wilayah (IKLw) dengan asumsi bahwa kemampuan lahan I-IV
untuk pengembangan kawasan budidaya dan kemampuan lahan V-VIII untuk penetapan
kawasan lindung. Koefisien lindung yang dipakai antara 0,3-0,4 yang memungkinkan suatu
wilayah dapat mengembangkan potensi kawasan budidayanya, namun tetap menjaga
kelestarian fungsi lindungnya, dimana diasumsikan 30% luas wilayah digunakan sebagai
kawasan lindung dan tidak dibudidayakan. Apabila IKLw lebih dari satu, berarti bahwa wilayah
memiliki kemampuan mengembangkan potensi lahannya lebih optimal khususnya untuk
berbagai ragam kawasan budidaya, dengan tetap terjaganya keseimbangan lingkungan.
62
Sedangkan apabila IKLw lebih kecil dari satu, berarti wilayah lebih banyak memiliki fungsi
lindung, khususnya perlindungan terhadap tata air dan gangguan dari persoalan banjir, erosi,
sedimentasi serta kekurangan air. Selain ukuran-ukuran tersebut, indeks kemampuan lahan
suatu wilayah juga dapat dicerminkan oleh rasio antara kepemilikan lahan dengan kelas
kemampuan lahan I-IV dengan jumlah penduduk. Asumsi yang dikembangkan, semakin tinggi
rasio tersebut, maka semakin tinggi tingkat perkembangan wilayah.
Penentuan daya dukung lahan dilakukan dengan membandingkan ketersediaan dan
kebutuhan lahan. Ketersediaan lahan ditentukan berdasarkan data total produksi actual
setempat dari setiap komoditas di suatu wilayah, dengan menjumlahkan produk dari semua
komoditas yang ada di wilayah tersebut. Untuk penjumlahan digunakan harga sebagai faktor
konversi karena setiap komoditas memiliki satuan yang beragam. Sementara itu, kebutuhan
lahan dihitung berdasarkan kebutuhan hidup layak. Bila ketersediaan lahan lebih besar dari
kebutuhan lahan, maka daya dukung lahan dinyatakan surplus. Sedangkan jika ketersediaan
lahan lebih kecil dari kebutuhan lahan, maka daya dukung dinyatakan defisit.
Penentuan daya dukung air dilakukan dengan membandingkan ketersediaan dan
kebutuhan air. Ketersediaan air ditentukan dengan menggunakan metode koefisien limpasan
berdasarkan informasi penggunaan lahan serta data curah hujan tahunan. Sementara itu,
kebutuhan air dihitung dari hasil konversi terhadap kebutuhan hidup layak. Dengan metode
ini, dapat diketahui secara umum apakah sumberdaya air di suatu wilayah dalam keadaan
surplus atau defisit. Nilai ketersediaan air lebih besar dari kebutuhan air, daya dukung air
dinyatakan surplus. Sedangkan jika ketersediaan air lebih kecil dari kebutuhan air, daya
dukung air dinyatakan defisit atau terlampaui. Keadaan surplus menunjukkan bahwa
ketersediaan air di suatu wilayah tercukupi, sedangkan keadaan defisit menunjukkan bahwa
wilayah tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan akan air. Hasil perhitungan dengan metode
ini dapat dijadikan bahan masukan/ pertimbangan dalam penyusunan rencana tata ruang dan
evaluasi pemanfaatan ruang dalam rangka penyediaan sumberdaya air yang berkelanjutan.
Undang-undang Penataan ruang juga memberikan indikator-indikator yang dapat
digunakan untuk menunjukkan kemampuan daya dukung lingkungan yaitu terkait dengan
jumlah dan atau proporsi hutan dalam Daerah Alliran Sungai dan proporsi ruang terbuka hijau
pada RTR perkotaan. Muta’ali (2011) merumuskan indek fungsi lindung DAS, Indek
kemampuan lindung, dan indek ruang terbuka hijau (RTH).
63
ini akan banyak dipengaruhi oleh perkembangan penduduk baik di suatu wilayah administratsi
maupun wilayah ekoregion. Interaksi kebutuhan akan sumber daya alam dan jasa lingkungan
dengan jumlah yang diekstrasi akann meninggalkan jejak ekologis (ecological foot print) yang
menunjukkan jejak ekosisitim per satuan penggunaan sumber daya.
Di sisi lain, sumber daya alam menyediakan layanan barang dan jasa yang dapat di
manfaatakan untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Sisi suplay menggambarkan seberapa
besar (baik dari kuantitas maupun kualitas) sumber daya alam mampu mendukung kebutuhan
manusia. Sisi suplai ini bisa digambarkan, misalnya, dengan neraca air, neraca sumber daya
dan lingkungan, neraca lahan, potensi lahan untuk memenuhi kebutuhan produksi setara
beras dan sebagainya. Interaksi penyediaan dan penggunaannya akan menggambarkan
daya dukung sumber daya alam dan lingkungan (carryng capacity). Keseimbangan sisi suplai
dan sisi demand dari sumber daya alam yang digambarkan oleh Ecological Footprint dan
carryng capacity ini akan menentukan besaran daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup beserta status (state) yang diakibatkan oleh pemanfaatan sumber daya alam tersebut.
64
manusia dari ekosistem (MA, 2005).
Jasa ekosistem dikategorikan menjadi empat, yaitu meliputi jasa penyediaan
(provisioning), jasa pengaturan (regulating), jasa budaya (cultural), dan jasa pendukung
(supporting) (MA, 2005). Berdasarkan empat kategori ini dikelaskan ada 23 kelas klasifikasi
jasa ekosistem, yaitu (De Groots, 2002) :
a) Jasa penyediaan : (1) Bahan Makanan, (2) Air bersih, (3) Serat, bahan bakar dan bahan
dasar lainnya (4) Materi genetik, (5) Bahan obat dan biokimia, (6) Spesies Hias
b) Jasa Pengaturan : (7) Pengaturan kualitas udara, (8) Pengaturan iklim, (9) Pencegahan
gangguan, (10) Pengaturan air, (11) Pengolahan limbah, (12) Perlindungan tanah, (13)
Penyerbukan, (14) Pengaturan biologis, (15) Pembentukan tanah.
c) Budaya : (16) Estetika, (17) Rekreasi, (18) Warisan dan indentitas budaya, (20) Spiritual
dan keagamaan, (21) Pendidikan.
d) Pendukung : (22) Habitat berkembang biak, (23) Perlindungan plasma nutfah
Pada daerah hutan, untuk mendukung penggunaan milik pribadi dalam unit statis
harus diatur mengenai ukuran luas hutan primer di wilayah tertentu di DAS dan ukuran luas
penggunaan lain, yang tergantung ke hutan secara langsung atau tidak langsung. Hal ini
dikarenakan jika penggunaan ruang tidak sesuai dengan daya dukung dan daya tampung
maka akan menurunkan daya dukung dan proses perusakan atau tanah sudah rusak. Apabila
penggunaannya dalam skala besar, maka dapat sangat cepat menurunkan daya dukung.
Dalam penentuan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup diperlukan pemahaman
karakteristik lahan secara vertikal dan horizontal dan penggunaannya.
Penilaian yang lazim untuk daya dukung dilakukan melalui kemampuan lahan dan
kesesuaian lahan. Penilaian kemampuan lahan lebih umum dibandingkan kesesuaian lahan.
Penggunaan tidak sesuai dengan kemampuan berarti mengarah mengurangi daya dukung
sehingga perlu perubahan teknologi yang dapat merubah daya dukung. Penilaian daya
65
dukung dan daya tampung lingkungan hidup umumnya dalam bentuk vertikal (sifat kualitas),
jarang dinilai dalam bentuk ruang. Kualitas baik dan penggunaan yang tepat akan
berkontribusi di lokasi tertentu. Jika dalam ruang lebih banyak tidak sesuai maka akan
melampau daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Dalam ruang yang besar,
perencanaan akan memasukkan unsur lain dalam bentuk ruang. Dalam pengelolaan kebun
atau HTI di ekosistem gambut lebih sensitif tentang pengaruh penggunaan di lokasi lain dalam
ekosistem yang sama.
Penentuan DDDT (daya dukung dan daya tampung) pertambangan fokus pada kondisi
setelah tambang ditutup. DD (daya dukung) dikaitkan dengan kemampuan menghasilkan
produk, sedangkan DT (daya tampung) dikaitkan dengan kemampuan mengadopsi teknologi
untuk meningkatkan atau kebalikannya. Bahan dan potensi pertambangan tidak terbaharui
dapat menghasilkan landscape yang baik jika didesain sejak awal.
DDDT dapat menjadi referensi penataan ruang. Dalam perencanaan ruang sudah
mengacu daya dukung. Dalam pemanfaatan harus sesuai peruntukan dan memerlukan
persyaratan dalam penggunaannya. Pengendalian dapat mengacu pada DDDT. Secara
spasial harus ada ruang untuk tematik tertentu. Penilaian DD pemanfaatan ruang untuk
pertanian, perkebunan (dan pertambangan) di kawasan budidaya dilakukan berbasis kualitas
lahan dan efeknya ke penyimpanan/supply air, berbagai bentuk ruang, dan teknik
pengelolaannya. Teknik pengelolaan terkait dengan operasional penggunaan lahan dilakukan
mengikuti konsep pengelolaan berbasis konservasi tanah dan air.
66
menyokong kehidupan manusia yang dinyatakan dalam satuan volume air (m3).
Konsep ecological footprint (EF) atau jejak kaki ekologis, pertama kali diperkenalkan
oleh William Rees dan Martin Wackernagel pada tahun 1990-an. Konsep ini pada dasarnya
dikembangkan sebagai usaha pencarian indikator untuk pembangunan berkelanjutan dan
khususnya diharapkan dapat menjadi metode untuk mengukur secara kuantitatif mengenai
hubungan perlakuan manusia terhadap bumi dengan daya dukung yang dimiliki oleh bumi itu
sendiri (Wackernagel and Rees, 1996).
Konsep ini menegaskan bahwa hampir semua tindakan dan perilaku hidup manusia
misalnya perilaku konsumsi dan transportasi, akan membawa dampak ekologis atau dampak
bagi lingkungan (Hoekstra, 2007). Pendekatan EF dapat digunakan untuk mendidik
masyarakat mengenai penggunaan sumber daya alam yang berlebihan dan kemampuan
daya dukung bumi untuk menyokong keberlanjutan hidup mereka. Pendekatan ini dapat
digunakan sebagai indikator keberlanjutan. Pendekatan ini juga memberikan penjelasan
mengenai dampak perilaku manusia terhadap lingkungan dan dapat menghubungkannya
dengan daya dukung bumi.
Jenis analisis footprint yang kedua adalah Analisis carbon footprint (CF). Carbon
footprint adalah indikator mengenai dampak aktivitas manusia terhadap iklim global yang
dinyatakan dalam jumlah gas rumah kaca (GRK) yang diproduksi. Carbon footprint secara
konseptual menggambarkan kontribusi individu atau negara terhadap pemanasan global.
Carbon footprint dapat menunjukkan total emisi karbondioksida (CO2) dan gas rumah kaca
lainnya yang diemisikan pada seluruh proses untuk menghasilkan produk atau jasa (Hoekstra,
2008).
Jenis analisis footprint yang terakhir adalah analisis water foootprint (WF). Water
footprint dikembangkan oleh Hoekstra pada tahun 2002. Water footprint dapat
merepresentasikan jumlah volume air tawar yang dibutuhkan untuk menjaga keberlanjutan
suatu populasi, seperti yang diungkapkan oleh Madrid et al “The water footprint represents
the freshwater volume required to sustain a population” (Madridet al., not dated). Hoekstra
dan Chapagain (2004) dalam laporan hasil penelitiannya mendefinisikan water footprint
individu, bisnis atau negara adalah total volume air tawar yang digunakan untuk memproduksi
makanan dan jasa yang dikonsumsi oleh individu, bisnis atau negara. Nilai water footprint
umumnya dinyatakan dalam satuan volume air yang digunakan setiap tahunnya. Saat ini,
water footprint telah berkembang menjadi alat analisis yang digunakan untuk mengarahkan
perumusan kebijakan kearah isu-isu mengenai keamanan air dan penggunaan air yang
berkelanjutan di negara maju (Hoekstra, 2008).
67
tampung berdasarkan pada ekoregion. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan
lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan
keseimbangan antar keduanya. Sedangkan daya tampung lingkungan hidup adalah
kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan / atau komponen lain yang
masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
Dalam ekologi, daya dukung adalah besarnya populasi yang dapat didukung oleh
suatu habitat tanpa merusak kualitas ekosistem secara permanen. Makna daya dukung dalam
udang-undang tidak dapat dimaknai sama dengan pemahaman dalam keilmuan ekologi
tersebut. Kalimat “... kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan
manusia..” sulit untuk diimplementasikan, karena kebudayaan manusia dalam menjalani
hidupnya dipengaruhi oleh variabel teknologi, pola konsumsi yang berbeda, dan perniagaan.
Dengan demikian, perhitungan daya dukung menggunakan batasan habitat, jumlah populasi,
dan perkapita menjadi sulit untuk diaplikasikan untuk perikehidupan manusia. Terminologi
lainnya yang terkait dengan hal di atas adalah human carrying capacity. Human carrying
capacity dapat diinterpretasikan sebagai tingkat maksimum penggunaan sumber data dan
debit limbah yang dapat ditanggung tanpa merusak fungsi, integritas, dan produktivitas dari
ekosistem.
Berdasarkan UU 32/2009, penentuan daya dukung dan daya tampung didasarkan
pada hasil inventarisasi lingkungan hidup berupa data dan informasi sumber daya alam yang
meliputi: potensi dan ketersediaan, jenis yang dimanfaatkan, bentuk penguasaan,
pengetahuan pengelolaan, bentuk kerusakan, konflik, dan penyebab konflik. Jika
ketersediaan data dan informasi tersebut tersedia dengan baik, maka ekoregion akan menjadi
unit analisis untuk menentukan daya dukung dan daya tampung serta cadangan sumber daya
alam. Tentunya yang menjadi pertanyaan adalah:
a) Ketersediaan data dan informasi seperti yang dimaksudkan di atas.
b) Bagaimana informasi mengenai sumber daya alam tersebut dapat ditransformasikan
menjadi informasi daya dukung dan daya tampung?
68
e) Acuan pemetaan pada skala yang lebih besar
Hubungan antara ekoregion dengan daya dukung dan daya tampung dapat dilihat pada
gambar berikut ini.
Gambar 2.12. Hubungan Ekoregion, Jasa Ekosistem, Daya Dukung, dan Daya Tampung
Pada ekosistem terdapat struktur dan proses. Struktur ekosistem adalah berbagai elemen
biotik dan abiotik yang terdapat pada ekosistem tersebut. Sedangkan proses pada ekosistem
adalah interaksi antar elemen tersebut yang biasanya berupa aliran materi, aliran energi, dan
aliran informasi. Konsep ekoregion dapat dikatakan sebagai bentuk implementasi konsep
ekosistem, atau dapat dikatakan sebagai ekosistem region.
Peta ekoregion yang sudah dikembangkan pada saat ini didasarkan pada karakteristik
bentang alam, berupa geomorfologi, dan morfogenesa. Peta ekoregion telah mampu
mendeliniasi batas-batas karakteristik tersebut, sehingga dapat terlihat perbedaan
karakteristiknya. Sebagai ekosistem, setiap karakteristik ekoregion akan membentuk
ekosistem dengan fungsi ekosistem yang berbeda menurut karakteristiknya. Namun
demikian, peta ekoregion belum cukup untuk memberikan informasi jasa ekosistem, namun
bisa memberikan indikasi fungsi yang mungkin dominan pada suatu ekoregion.
Klasifikasi fungsi ekosistem ada empat (de Groot et al, 2000), yaitu: fungsi pengaturan, fungsi
habitat, fungsi produksi, dan fungsi informasi. Fungsi pengaturan merupakan fungsi yang
memberikan jasa ekosistem berupa kapasitas alami atau semi alami untuk mengatur proses
ekologi dan mendukung sistem kehidupan. Fungsi habitat memberikan jasa ekosistem berupa
tempat untuk tinggal dan berkembang biak. Fungsi produksi memberikan jasa ekosistem
berupa penyediaan materi dan energi yang dibutuhkan oleh kehidupan. Sedangkan fungsi
informasi memberikan jasa ekosistem yang bermanfaat bagi kesehatan jiwa manusia.
Jika dikaitkan dengan daya dukung dan daya tampung, fungsi ekosistem dapat mewakili
keduanya. Dapat diartikan bahwa daya dukung dan daya tampug merupakan kapasitas fungsi
ekosistem dan jasa ekosistem dalam mendukung perikehidupan manusia atau makhluk
lainnya yang berada pada suatu lokasi tertentu (ekoregion). Fungsi regulasi akan dapat
mendukung daya tampung, sedangkan ketiga fungsi lainnya akan mendukung daya dukung.
69
Penggunaan sumber daya oleh manusia untuk kepentingan dan kesejahteraan manusia inilah
yang disebut dengan jasa ekosistem. Kesejahteraan manusia dapat menjadi indikator
kesehatan ekosistem atau kesehatan lingkungan hidup pada suatu wilayah. Pemetaan jasa
ekosistem yang berbasiskan pada data spasial akan memberikan keuntungan karena dapat
disintesiskan dengan peta ekoregion.
Sebagai unit analisis dalam penetapan daya dukung dan daya tampung, peta ekoregion tidak
dapat langsung digunakan, tetapi harus disintesis dengan data lainnya sehingga dapat
memberikan informasi yang dibutuhkan. Salah satunya adalah peta jasa ekosistem.
Untuk melihat jasa ekosistem dalam suatu ekoregion maka dilakukan suatu metode valuasi
jasa ekosistem dengan pendekatan landuse based proxy. Berdasarkan pada Peta Tutupan
70
Lahan akan diperhitungkan indeks jasa ekosistem perkelas lahan dan indeks jasa ekosistem
total (IJET) (Mashita, 2012). Pendekatan ini dimaksudkan untuk melihat pola distribusi dan
kualitas secara spasial dari setiap jasa ekosistem pada setiap ekoregion yang dinilai melalui
peta tutupan lahannya.
71
c) ‘Menilai’ daya dukung dan daya tampung setiap unit analisis (ekoregion), bisa dibantu
dengan data lainnya (seperti densitas populasi, produktivitas pertanian, peternakan,
perikanan, dll).
d) Menetapkan daya dukung dan daya tampung dari setiap unit analisis (ekoregion).
‘Menilai’ daya dukung merupakan cara untuk menentukan apakah suatu unit analisis
ekoregion dapat mendukung perikehidupan manusia / makhluk hidup lainnya diatasnya.
Metode untuk menilai dapat dilakukan dengan beberapa metode, diantaranya adalah:
a. Perbandingan produksi kalori dan kebutuhan kalori perkapita.
b. Shape indeks dan besarnya (magnitude) dari jasa ekosistem (metode dalam landscape
ecology).
c. Penilaian pakar (expert judgement).
Sedangkan untuk ‘menilai’ daya tampung dapat dilakukan dengan pemodelan / analisis atau
dengan melihat indikasi di lapangan atau berdasarkan data / informasi yang mendukung.
Tahapan penetapan daya dukung dan daya tampung seperti pada paragraf awal adalah
menentukan tingkat maksimum penggunaan sumber daya. Sumber daya yang dimaksud
adalah sumber daya ruang yang ada pada satuan unit analisi ekoregion. Misalnya pada
ekoregion dataran vulkanik di daerah cekungan Bandung terdapat dua jasa ekosistem yang
dominan (jasa ekosistem penyedia pangan dan fungsi habitat), jika keduanya menjadi
prioritas untuk dilindungi / ditetapkan maka penetapan daya dukung dan daya tampung adalah
menetapkan penggunaan tingkat maksimum penggunaan lahan / ruang untuk pemukiman
dan budidaya.
Tingkat maksimum ini dapat berupa angka prosentase atau luasan minimum / maksimum
yang dipertahankan atau ditetapkan agar fungsi lingkungan tetap berjalan pada satuan unit
analisis ekoregion tersebut. Dalam penetapan ini tentunya melihat azas-azas perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam penetapan daya dukung dan daya tampung tingkat
nasional, tingkat pulau, dan tingkat propinsi dapat dilakukan berdasarkan akumulasi dari unit-
unit analisis.
Penetapan daerah / kawasan dari ekoregion untuk daya dukung untuk fungsi ekologis dapat
disebut sebagai pencadangan sumber daya. Dimana ekoregion itu direservasi (dicadangkan)
untuk menjaga fungsi ekologi / fungsi lingkungan hidup. Fungsi ekologi / fungsi lingkungan
hidup yang dimaksud adalah fungsi yang mendukung berjalannya proses ekologis seperti jasa
ekosistem pengaturan air, jasa ekosistem pengaturan iklim, dan lainnya.
Penentuan daya dukung dan daya tampung merupakan proses yang kompleks, bahkan pada
tingkat penelitian. Kompleksitas, pendekatan, dan cara pandang penetapan daya dukung dan
daya tampung sangat beragam dan menjadi kendala dalam penetapan daya dukung dan daya
72
tampung yang dimaksud pada Undangundang No. 32 Tahun 2009. Pendekatan yang
disampaikan pada tulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan pada permasalahan
implementasi penetapan daya dukung dan daya tampung yang diamanatkan undang-undang.
73
menggambarkan manfaat yang dirasakan seseorang atau masyarakat untuk membuka pilihan
agar SDAL dapat dimanfaatkan untuk masa mendatang meski ia tidak merencanakannya saat
ini untuk memanfaatkannya. Dengan kata lain, option value muncul karena adanya
ketidakpastian akan keberadaan barang dan jasa dari SDAL di masa mendatang. Dengan
keberadaan ketidakpastian ini para ahli sepakat bahwa option value tidak serta merta
berhubungan langsung dengan use value maupun non use value.
Kombinasi nilai guna (use value) dan nilai non guna (non use value) merupakan Total
Economic Value (TEV). Terminologi total dalam Total Economic Value bukan menunjukkan
nilai keseluruhan dari sumberdaya dan lingkungan. Nilai total yang dimaksud lebih
menunjukkan penjumlahan dua komponen nilai guna dan non guna.
Pengukuran nilai guna dapat dilakukan melalui proksi harga pasar. Sedangkan non
use value melibatkan jasa lingkungan dan atribut sumberdaya alam yang tidak dipasarkan
sehingga tidak tepat menggunakan komoditas yang dipasarkan sebagai proksi. Teknik valuasi
ekonomi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan dikelompokkan menjadi dua yaitu revealed
WTP (tidak langsung) dan expressed WTP (langsung / survey). Revealed preference
menunjukkan bahwa penilaian terhadap barang dan jasa didasarkan pada perilaku yang
teramati atau terungkap dari seseorang terhadap pilihan yang dilakukan. Metode Revealed
preference dapat diartikan sebagai penilaian pengaruh dari komponen SDAL yang tidak
terpasarkan (nonmarketed) melalui perilaku aktual, khususnya melalui pengeluaran yang
dikeluarkan seseorang melalui mekanisme pasar (Pearce et al. 2006). Pendekatan ini juga
sering dikatakan sebagai pendekatan yang melacak “jejak pasar” (market footprint) dari
komoditas yang tidak terpasarkan (Russel 2001). Beberapa teknik yang termasuk kelompok
revealed WTP yaitu hedonic pricing, travel cost, dan random utility model. Hedonic price
menggambarkan penilaian sesuatu (barang atau jasa) yang dirasakan karena adanya atribut
atau karakteristik kesenangan, seperti pemandangan yang indah, kenyamanan (convenience)
maupun karakteristik lainnya. Sedangkan Travel Cost Method (TCM) merupakan metode
penilaian terungkap yang digunakan untuk menilai manfaat non-guna berdasarkan perilaku
yang diamati yakni pengeluaran individu untuk perjalanan. TCM biasanya digunakan untuk
menilai komponen yang diamati adalah perjalanan ke tempat rekreasi yang dikeluarkan
seseorang. Prinsip dasar metode TCM adalah teori permintaan konsumen dimana nilai yang
diberikan seseorang pada lingkungan (atribut yang tidak terpasarkan) dapat disimpulkan dari
biaya yang dikeluarkan ke lokasi yang dikunjungi.
Sementara yang termasuk kelompok expressed WTP yaitu contingent valuation dan
discrete choice method. Contingent Valuation Method (CVM) merupakan metode langsung
penilaian ekonomi ekonomi melalui pertanyaan kemauan membayar seseorang (Willingness
to Pay = WTP), sedangkan Choice experiment (CE) merupakan metode tidak langsung
penilaian ekonomi dimana pendugaan WTP dilakukan melalui tawaran pilihan yang setiap
74
pilihan memiliki variable karakteristik harga atau biaya.
Istilah bentang lahan berasal dari kata landscape (Inggris) atau landscap (Belanda)
atau landschaft (Jerman), yang secara umum berarti pemandangan. Arti pemandangan
mengandung 2 aspek, yaitu: aspek visual dan aspek estetika pada suatu lingkungan tertentu
(Zonneveld, 1979). Ada beberapa penulis yang memberikan pengertian tentang bentang
lahan, seperti berikut ini.
1) Bentang lahan ialah sebagian ruang permukaan bumi yang terdiri atas sistem-sistem,
yang dibentuk oleh interaksi dan interdependensi antara bentuklahan, batuan, bahan
pelapukan batuan, tanah, air, udara, tetumbuhan, hewan, laut tepi pantai, energi dan
manusia dengan segala aktivitasnya yang secara keseluruhan membentuk satu kesatuan
(Surastopo, 1982).
2) Bentang lahan merupakan bentangan permukaan bumi dengan seluruh fenomenanya,
yang mencakup: bentuklahan, tanah, vegetasi, dan atribut- atribut lain yang dipengaruhi
oleh aktivitas manusia (Vink, 1983).
3) Bentang lahan adalah bentangan permukaan bumi yang di dalamnya terjadi hubungan
75
saling terkait (interrelationship) dan saling kebergantungan (interdependency) antar
berbagai komponen lingkungan, seperti: udara, air, batuan, tanah, dan flora-fauna, yang
mempengaruhi keberlangsungan kehidupan manusia yang tinggal di dalamnya
(Verstappen, 1983). Berdasarkan pengertian bentang lahan tersebut, maka menurut
Santosa (2010) dapat diketahui bahwa terdapat 8 unsur penyusun bentanglahan, yaitu:
udara, batuan, tanah, air, bentuk lahan, flora, fauna, dan manusia dengan segala
aktivitasnya. Kedelapan analisis bentanglahan tersebut merupakan faktor-faktor penentu
terbentuknya bentang lahan, yang terdiri atas: faktor geomorfik (G), litologik (L), edafik (E),
klimatik (K), hidrologik (H), oseanik (O), biotik (B), dan faktor antropogenik (A). Dengan
demikian berdasarkan faktor-faktor pembentuknya, bentang lahan (Ls) dapat dirumuskan
sebagai:
Dengan demikian jelas bahwa satuan ekoregion pada dasarnya adalah bentang lahan
dengan segala komponen penyusun karakteristik yang ada di dalamnya, sebagai satu
kesatuan yang utuh, saling terkait, saling bergantung, dan saling pengaruh-mempengaruhi
antara satu komponen terhadap komponen lainnya, dalam kontek lingkungan secara
keseluruhan. Merujuk pada ketentuan dasar dalam UUPPLH Nomor 32 tahun 2009 yang
selaras dengan tinjauan secara akademik, maka perlu ditegaskan bahwa dalam kegiatan
inventarisasi lingkungan hidup, sudah semestinya jika kerangka dasar analisis yang
ditetapkan adalah satuan ekoregion berdasarkan kesamaan bentang lahan sebagai kesatuan
wilayah secara geografis yang mempunyai kesamaan sifat- sifat geosfer, yaitu: atmosferik
(iklim), morfologik (bentuk permukaan), litologik (batuan), edafik (tanah), hidrologik (air),
oseanik (pesisir dan laut), biotik (flora- fauna), dan antropogenik (manusia dengan segala
perilaku sosial, ekonomi, dan budaya).
Dengan kata lain bahwa satuan ekoregion dalam inventarisasi lingkungan hidup dapat
dideskripsikan sebagai satuan ekosistem berbasis bentang lahan yang diintegrasikan dengan
batas daerah aliran sungai, iklim atau komponen lingkungan lainnya, dan wilayah administrasi
(regional). Pertimbangan bentanglahan sebagai kerangka dasar penyusunan satuan
ekoregion, karena mempunyai banyak kelebihan dibandingkan pendekatan parametrik, yaitu:
1) lebih mudah dalam identifikasi dan interpretasi, karena mempunyai standar klasifikasi
yang seragam, berjenjang sesuai skala peta, dan bersifat tetap di seluruh dunia (tinjauan
secara geomorfologis);
2) kedudukan, letak dan batas bentang lahan relatif tetap, karena terbentuk dalam proses
76
dan waktu yang sangat lama (waktu geologis) dan bersifat alami;
3) mempunyai pola distribusi yang spesifik dan teratur, karena pembentukannya dikontrol
oleh proses gerakan lempeng tektonik (contoh: kedudukan jajaran gunung-gunugapi di
Pulau Sumatera, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara membentuk pola kelurusan yang searah
dengan garis tengah setiap pulau, dan membentang di bagian tengah pulau-pulau
tersebut;
4) perubahan kedudukan dan dinamika geomorfologi bentang lahan relatif sangat lambat,
kecuali jika terjadi proses-proses alam yang bersifat endogen- katastropik, seperti:
gempabumi tektonik dan erupsi gunung berapi; proses ekstraterestrial, seperti: meteor
jatuh; atau karena proses antropogenik akibat ulah manusia dengan energi nuklir (bom
atom);
5) bersifat lebih obyektif dalam identifikasi dan interpretasi, dengan sumber data sebagai
data input yang lebih standar, yaitu: data citra penginderaan jauh (remote sensing) yang
disesuaikan dengan skala kepentingan (nasional, regional, atau lokal);
6) hasil akhir dari pendekatan ini adalah satuan-satuan ekoregion yang lebih sederhana,
seragam dalam klasifikasi, mudah dilihat dan mudah dipahami oleh setiap pengguna
(multy-user);
7) sehingga lebih mempermudah dalam teknis penyajian data, analisis, dan kemanfaatannya
dalam pengambilan kebijakan.
77
Verstappen (1983), yang diuraikan dalam Tabel berikut:
Tabel 2.15. Klasifikasi Morfologi Berdasarkan kemiringan Lereng dan Beda Tinggi
Proses geomorfologi merupakan suatu bentuk perubahan fisik maupun kimiawi yang
mampu mengikis dan/atau mengangkut material di permukaan bumi (Lobeck, 1939).
Prosesproses tersebut mengakibatkan perubahan bentuk lahan dalam waktu pendek maupun
panjang yang disebabkan oleh tenaga geomorfologi. Lebih lanjut disebutkan bahwa proses
yang bekerja pada masa lampau akan berpengaruh terhadap proses masa sekarang, dan
78
proses yang terjadi pada saat ini dapat dipakai untuk menelusur proses yang terjadi pada
masa lampau. Proses-proses geomorfik akan meninggalkan bekas pada bentuk lahan, dan
setiap proses geomorfik yang berkembang memberikan karakteristik tertentu pada bentuk
lahan (Thornbury, 1954). Proses geomorfologi yang terjadi sekarang lebih bersifat eksogen
berupa pelapukan, pentorehan, pengangkutan dan gerak massa batuan, telah mengubah
struktur geomorfologi aslinya dan menghasilkan bentukan-bentukan yang lebih kecil dan
sangat kompleks (Santosa, 2014).
Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup dalam keputusannya No. KEP-
03/MENKLH/II/1991 telah menetapkan baku mutu air pada sumber air, baku mutu limbah cair,
baku mutu udara ambien, baku mutu udara emisi dan baku mutu air laut. Pada keputusan
tersebut, yang dimaksud dengan:
1) Baku mutu air pada sumber air, adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau
bahan pencemar terdapat dalam air, namun tetap berfungsi sesuai dengan
peruntukannya.
2) Baku mutu limbah cair adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau bahan
pencemar untuk dibuang dari sumber pencemaran ke dalam air pada sumber air,
79
sehingga sehingga tidak meyebabkan dilampauinya baku mutu air.
3) Baku mutu udara ambien adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau bahan
pencemar terdapat di udara, namun tidak menimbulkan gangguan terhadap mahluk hidup,
tumbuh-tumbuhan dan atau benda.
4) Baku mutu udara emisi adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau bahan
pencemar untuk dikeluarkan dari sumber pencemaran ke udara, sehingga tidak
mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien.
5) Baku mutu air laut adalah batas atau kadar mahluk hidup, zat, energi, atau komponen lain
yang ada atau harus ada, dan zatatau bahan pencemar yang ditenggang adanya dalam
air laut.
80
81
Tabel 2.17. Klasifikasi Jasa Ekosistem dan Definisinya
82
2.9.1. Pendekatan Unit Analisis DDDTLH
Pendekatan unit analisis dan indikator dalam konsep daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup ini untuk menentukan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
dapat dikategorikan sebagai berikut :
1) Nasional dan Pulau/Kepulauan
2) Provinsi dan Ekoregion Lintas Kabupaten/Kota
3) Kabupaten/Kota dan Ekoregion di Wilayah Kabupaten/Kota
4) Lingkungan Tematik (Sektor Kehutanan, Pertambangan, Pertanian, Perkebunan Dan
Perikanan, dll)
83
Sebagaimana diuraikan di atas daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan
lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan
keseimbangan antar keduanya. Dalam konteks ini kondisi eksisting suatu wilayah akan
ditunjukkan dengan status kondisi lingkungan baik secara fisik, kimia dan/atau hayati
lingkungan telah terjadi kerusakan atau tidak. Oleh karena itu dibutuhkan baku kerusakan
lingkungan hidup untuk menilai status kondisi lingkungan tersebut.
Sedangkan daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup
untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke
dalamnya. Dalam konteks ini daya tampung lingkungan dihubungkan dengan pencemaran
lingkungan akibat dari suatu kegiatan, oleh karena itu dibutuhkan baku mutu lingkungan hidup
untuk menilai status pencemaran lingkungan tersebut.
Tabel 2.18. Unit Analisis Daya Dukung dan Data Yang Diperlukan
Unit Analisis (Wilayah) Klasifikasi Wilayah Sumber Data
Wilayah Administrasi 1. Nasional Data Administrasi
2. Provinsi Data Spasial
3. Kabupaten/ Kota
4. Kecamatan
5. Desa
Wilayah Fungsional (Tata 1. Kawasan Lindung Data Spasial
Ruang) 2. Kawasan Budidaya
3. Kawasan Rawan
Bencana
4. Kawasan Startegis
Wilayah Ekologis
1. Daerah Alisan Sungai 1. Daerah hulu Data Administrasi
2. Daerah tengah Data Spasial
84
3. Daerah hilir
2. Ekoregion (Pendekatan 1. Bentuk lahan asal Data Spasial
landform) proses vulkanik
2. Bentuk lahan asal
proses structural
3. Bentuk lahan asal
proses fluvial
4. Bentuk lahan asal
proses solusional
5. Bentuk lahan asal
proses denudasional
6. Bentuk lahan asal
proses eolian
7. Bentuk lahan asal
proses marine
8. Bentuk lahan asal
proses glasial
9. Bentuk lahan asal
proses organic
10. Bentuk lahan asal
proses antropo-genik
85
Tabel 2.19. Unit Analisis Daya Dukung dan Data Yang Diperlukan
86
87
88
Selain penentuan daya dukung berdasarkan fungsi atau tujuan tersebut, penentuan
daya dukung juga dapat diukur berdasarkan tipologi media seperti lahan hutan dan air serta
beberapa sector ekonomi baik pada tingkat nasional, regional maupun ekoregion.
89
A. Daya Dukung Lahan
Daya dukung lahan pada dasarnya ditentukan oleh adanya ketersediaan dan kebutuhan
atau demand dan supply side. Muta’ali (2014) menentukan bahwa daya dukung
berdasarkan kedua sisi tersebut dapat dilihat pada Tabel berikut:
Tabel 2.20. Daya Dukung Lahan Ditentukan Oleh Adanya Ketersediaan dan Kebutuhan
90
Tabel 2.21. Daya Dukung Air Ditentukan Oleh Adanya Ketersediaan Dan Kebutuhan
91
menyebabkan perhitungan daya dukung hutan relative lebih kompleks karena
menyangkut batas adminsitrasi dan batas ekosistem. Di bawah ini hanya diberikan
ilustrasi perhitungan daya dukung hutan berdasarkan kajian Barkey (2014). Ilustrasi yang
digunakan adalah dari Daerah Aliran Sungai Jeneberang di Provinsi Sulawesi Selatan.
Kawasan Hutan pada DAS Jeneberang terdiri atas Kawasan Hutan Lindung dengan luas
7.724,39 ha, Kawasan Hutan Produksi Terbatas dengan luas 7.544,62 ha, Kawasan
Hutan Produksi dengan luas 4.666,96 ha dan Kawasan Taman Wisata Alam dengan luas
3.408,13 ha. Total luas kawasan hutan mencapai 23.344,10 ha atau 23% dari total luas
DAS. Sebaran daya dukung kawasan hutan dapat dilihat pada Tabel di bawah ini.
Tabel 2.22. Contoh perhitungan Daya Dukung Lahan Kawasan Hutan DAS Jeneberang
92
pada interaksi ruang dan karakteristik atau jenis ekosistim yang dimanfaatkan. Untuk
kawasan gambut misalnya akan berbeda dengan kawasan daerah aliran sungai. Secara
umum penilaian DDDT LH untuk pertanian dan perkebunan sama dengan penentuan
kawasan hutan dan lahan yakni berdasarkan kemampuan lahan dan kesesuaian lahan
serta neraca lahan. Dengan demikian formula umum untuk penentuan daya dukung dan
daya tampung sector pertanian dan perkebunan adalah (Barus, 2014)
Dimana ruang untuk air merupakan fungsi dari karakter ruang, tipe penggunaan dan fisik
tanah. Sementara kualitas lahan ditentukan oleh sifak kimia, fisik dan biologi. Dengan
diketahuinya daya dukung maka daya tampung merupakan selisih dari daya dukung atau
Dimana D1 adalah daya dukung periode 1 dan DD2 adalah daya dukung periode 2. Jika
selisih negative maka perlu upaya perbaikan dan jika positif perlu dipertahankan.
Selain itu jenis komoditas pertanian yang ditanam juga akan menentukan kesesuain lahan
dan berimplikasi pada penentuan daya dukung dan daya tampung. Sebagai contoh untuk
jagung, kesesuain lahan mengikuti kriteria berikut.
93
Berikut ini disajikan ilustrasi konsep daya dukung dan daya tampung berbasis hidrologi
dan DAS dan KHG (kawasan hutan gambut)
Gambar 2.13. Ilustrasi Daya Dukung Kawasan Gambut Dan Daerah Aliran Sungai
(Barus, 2014)
94
alam sudah melewati daya dukung dan daya tampungnya. Jika dihitung pada skala makro
nilai ini akan membantu dalam menentukan neraca sumber daya alam dan PDB/PDRB
(Produk Domestik Bruto dan Produk Domestik Regional Bruto).
Salah satu metode sederhana dalam menghitung deplesi adalah denga mengurangi
ekstraksi SDA terhadap nilai Maximum Sustainable Yield nya atau produksi lestarinya,
yakni tingkat produksi yang dapat dipertahankan dalam jangka panjang tanpa harus
merusak ketersediaan sumber daya itu di masa mendatang. Dengan kata lain Deplesi
dihitung dengan rumus;
Jika pengambilan atau pemanenan sudah melebihi produksi lestari (Y > SY) maka dapat
dikatakan sudah melewati daya dukung. Nilai deplesi kemudian bisa dihitung dengan
Nilai ini kemudian dapat digunakan untuk menghitung PDB/PDRB yang sudah
disesuaikan atau Adjusted PDB/PDRB dengan menggurangi nilai PDB terhadap Deplesi
sumber daya alam.
Jika nilai Adjusted PDB/PDRB ini tereduksi dari deplesi lebih dari 25% misalnya, maka
ektraksi sumber daya alam dapat dikatakan tidak optimal dan telah melewati daya
dukungnya.
Oleh karena penentuan nilai dari sumber daya alam harus didasarkan pada kaidah valuasi
ekonomi, maka penentuan nilai berdasarkan valuasi ekonomi ini dapat dilakukan dengan
beberapa metode. Fauzi (2014)1 secara rinci menjelaskan beberapa metode valuasi
ekonomi untuk sumber daya alam. Secara umum pendekatan tersebut dapat digambarkan
dalam Gambar di bawah ini.
95
Gambar 2.14. Pendekatan Valuasi Ekonomi Untuk Menghitung DDDTLH
Seperti terlihat pada Gambar di atas, perhitungan valuasi ekonomi dapat dihitung baik
melalui pendekatan pasar maupun non-pasar dan bukti kerusakan (evidence).
Pendekatan pasar umumnya digunakan melalui pasar titipan (surrogate) seperti nilai
rumah yang berbeda antar rumah dengan amienties lingkungan dengan yang tidak
memiliki amenity lingkungan. Nilai property yang tinggi menggambarkan adanya nilai
tambahan dari lingkungan di sekitar yang dapat dijadikan sebagai proxy dalam
menentukan nilai lingkungan.
Pendekatan lain yang digunakan adalah melalui Contingent Valuation Method (CVM) atau
Choice modeling yang berupaya menghitung kesanggupan membayar masyarakat akan
perbaikan lingkungan. Pendekatan bukti didasarkan pada biaya yang dibutuhkan untuk
menilai jasa lingkungan yang hilang akibat pembangunan atau ekstraksi yang melewati
DDDTLH.
Jika kemudian ketiga pendekatan di atas tidak dimungkinkan, maka nilai ekonomi dapat
didekati dengan menggunakan Benefit Transfer, yakni menggunakan nilai ekonomi yang
sudah dihitung dari penelitian-penelitian sebelumnya sebagai basis perhitungan. Tabel di
bawah ini menyajikan beberapa nilai ekonomi yang dapat digunakan sebagai basis dalam
perhitungan Benefit Transfer.
96
Tabel 2.24. Nilai Ekonomi Yang Dapat Digunakan Sebagai Basis Dalam Perhitungan
Benefit Transfer
Secara prinsip, dalam konteks perhitungan DDDTLH, valuasi ekonomi hanya memberikan
rambu-rambu ekstraksi sumber daya alam yang berkelanjutan dengan membandingkan
nilai ekonomi yang diperoleh dari ekstraksi dengan yang sebenarnya dari sumber daya
alam itu sendiri. Dengan kata lain jika nilai kerusakan yang dihasilkan dari ekstraksi
sumber daya alam lebih besar dari nilai ekonomi SDAL maka dapat dikatakan sudah
melewati daya dukungnya.
Namun demikian rumus di atas tentu saja memerlukan penyesuaian karena setiap
ekosistim memiliki karakteristik yang berbeda dengan nilai ekonomi yang berbeda pula.
Dengan demikian diperlukan kehati-hatian dalam menghitung nilai ekonomi dari sumber
daya alam sehingga tidak menghasilkan nilai yang bias.
97
dikemukakan oleh Nijkamp (1999), digunakan kisaran ambang kritis minimum dan
ambang kritis maksimum.
Pendekatan Nijkamp (1999) dalam mementukan ambang kritis menggunakan pendekatan
FLAG (atau bendera) dapat diilustrasikan pada Gambar berikut:
Sebagaimana terlihat pada Gambar di atas, Nijkamp (1999) menggunakan “pita” (band)
yang menggambarkan critical threshold value (CTV) dalam rentang kisaran ambang batas
kritis minimum (CTVmin) dan ambang batas maksimum (CTVmax). CTVmin
mengindikasikan dugaan konservatif ambang batas kritis yang bisa ditolelir sementara
CTVmax merupakan ambang batas kritis maksium dimana ketika titik ini dilewati maka
daya dukung sudah melampaui batas maksimumnya dan dinyatakan dalam zona bahaya
(warna hitam).
Berdasarkan kriteria di atas, maka titik kritis daya dukung dapat dihitung menurut rumus
berikut (Nijkamp, 1999)
Dimana nilai X adalah nilai indikator yang diukur dan S(x) merupakan indikator
sustainability yang menggambarkan wilayah hijau sampai kuning (apakah masih aman
atau sudah melewati daya dukung). Sebagai contoh jika nila CTV adalah 100 (status
ekstraksi misalnya) adalah 100 dengan CTVmax 120, maka jika ekstraksi saat ini sebesar
121, maka nilai S(x) = (121 – 100)/(120 – 100) = 1.05. Karena kisaran pita berada antara
-1 sampai 1, maka nilai 1.05 sudah melewati CTVmax dan akan berada pada pita hitam
yang berarti daya dukung sudah jauh terlampaui.
Penentuan ambang kritis di atas hanyalah salah satu pendekatan yang dapat dilakukan
disamping banyak pendekatan lain yang lebih kompleks. Namun demikian setiap
pendekatan memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing dan tergantung dari
kondisi sumber daya alam dan lingkungan yang dianalisis.
98
H. Matriks Penentuan Daya Dukung Dan Daya Tampung LH
Selanjutnya, Matriks di bawah ini menyajikan kriteria pengukuran atau penentuan
DDDTLH dengan komponen kajian dan indikator pengukurannya. Sebagaimana terlihat
pada Matrix di bawah ini, penentuan daya dukung nasional dan kepulauan bisa didasarkan
pada komponen kajian kerawanan dan kerentanan bencana, fungsi hidroogis, produksi
hayati, sumber daya mineral, keunikan ekosistem dan kapasistas sekuestrian karbon.
Komponen-komponen ini kemudian bisa diukur dari berbagai indikator seperti ketersedian
atau potensi sumber daya,nilai ekonomi, ketahanan ekologi maupun kapasitas
menyimpan karbon. Sebagaiamna telah dijelaskan pada pengkuran DDDTLH pada
bagian sebelumnya, tolok ukur dari beberapa indikator ini kemudian dilakukan dengan
berbagai metode yang telah diuraikan di atas.
99
Tabel 2.25. Penentuan DDDTLH Nasional dan Pulau/Kepulauan
100
Tabel 2.26. Penentuan DDDTLH Provinsi dan Ekoregion Lintas Kabupaten/Kota
101
Tabel 2.27. Penentuan DDDTLH Kabupaten/ Kota dan Ekoregion di Wilayah
Kabupaten/Kota
102
Tabel 2.28. Penentuan DDDTLH Lingkungan Tematik
2.10. Kesimpulan dan Beberapa Catatan Terkait dengan Konsep dan Pengukuran
DDDTLH
Sumber daya alam dan lingkungan merupakan salah satu modal penting dalam
pembangunan baik pada tingkat nasional maupun regional. Namun demikian modal alam ini
sering dikondisikan sebagai “used” and “abused” sehingga menimbulkan “ongkos”
pembangunan berupa kerusakan lingkungan yang harus dibayar bukan saja oleh generasi
kini namun juga generasi mendatang. Fenomena “used” and “abused” ini terjadi karena
kurangnya perhatian terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup itu sendiri
dalam menunjang pembangunan. Dengan diberlakukannya UU 32/2009, maka daya dukung
dan daya tampung, selanjutnya disingkat DDDT LH, menjadi salah satu unsur pengendali
penting dalam pembangunan, dimana sebagai unsur KLHS, akan menjadi instrumen penting
dalam menentukan apakah Kebijakan, Rencana dan/atau Program harus direvisi, dilanjutkan,
atau bahkan dihentukan sama sekali.
Dengan berpijak pada prinsip tersebut maka diperlukan kematangan konsep tentang
DDDT LH sebagai acuan dasar implementasi operasional pada KRP baik di tingkat pusat
maupun di daerah. Berikut ini adalah beberapa catatan terkait dengan konsep dan
implementasi pengukuran DDDT LH baik secara umum maupun secara tematik.
103
Pertama. Terkait dengan konsep DDDTLH, maka selain diperlukan konsep dan alat
ukur yang bersifat generik sebagaimana tertuang dalam UU 32/2009, diperlukan pula konsep
dan pengukuran yang bersifat thematic atau topical sesuai dengan kondisi sumber daya alam
yang dihitung. DDDTH untuk air, lahan gambut, kawasan hutan, perikanan, dan berbagai jenis
sumber daya alam dan lingkungan lainnya memerlukan konsep dan alat ukuran yang sangat
topical. Hal ini disebabkan karena beberapa sumber daya alam memiliki karakteristik yang
unik dan berbeda.
Kedua, DDDTLH sebagai instrument pengendalian dan sifatnya yang generik-spesific,
akan menghadapi kendala ukuran kualitatif versus kuantitatif. Dengan demikian perlu difahami
bahwa selain ukuran yang bersifat “indikatif” (seperti kesesuain lahan), maka diperlukan pula
ukuran yang bersifat “benchmark” atau threshold. Ukuran ini diperlukan karena sebagian
sumber daya alam dan lingkungan bersifat lenting dimana tekanan terhadap SDAL dalam
batas tertentu masih bisa ditolelir, namun ketika melewati thresholdnya kemungkinan terjadi
ketidak pulihan (irreversible) harus diperhatikan. Selain itu patut pula diperhatikan pentingnya
safe index dari DDDTH yang terkait dengan luasan dan jenis sumber daya alam dan
lingkungan (seperti keaneka- ragaman hayati).
Ketiga, isu terkait dengan baseline atau kerangka waktu dimana DDDTH akan
diterapkan. Hal ini penting mengingat interaksi DDDTH harus sejalan dengan rentang waktu
pembangunan itu sendiri. FGD menyepakati bahwa baseline rentang waktu adalah tahapan
RPJM baik di tingkat pusat maupun daerah (RPJMPD). Dengan demikian ketika pemerintah
pusat maupun daerah merencakan pembangunan lima tahun berikutnya, indikator DDDTH
harus menjadi acuan utama dalam menentukan target-target pembangunan yang berbasis
eksploitasi sumber daya alam maupun pembangunan wilayah lainnya yang menggunakan
dan berkaitan dengan sumber daya alam dan jasa lingkungan.
Keempat. Dalam menentukan DDDTH harus diperhatikan apakah didasarkan pada
demand side (seperti pertumbuhan pemukiman, pertumbuhan penduduk dan sebagainya)
atau didasarkan pada “supply side” (ketentuan batas berdasarkan karakteristik SDAL). Oleh
karena kompleksitas yang dihadapi dalam menentukan demand side DDDTH, maka untuk
memudahkan perencanaan pembangunan dan implementasinya disepakati DDDTH yang
lebih didasarkan pada supply side.
Kelima, DDDTH memerlukan kriteria pengukuran sebagai acuan apakah RKP direvisi,
dibatalkan atau dilanjutkan. Dengan demikian diperlukan kriteria pengukuran pemanfaatan
sumber daya alam dan jasa lingkungan. Dari beberapa kriteria pengukuran seperti kinerja,
efisiensi, kerentanan dan daya lenting (resilience), maka FGD menyepakati ukuran efisiensi
dan keretanan menjadi prioritas yang kemudian dilengkapi dengan daya lenting (resilience).
Hal ini dikarenakan pengukuran efisiensi relatif lebih mudah dan terukur dalam
implementasinya, dan kerentanaan akan membantu mengindikasikan seberapa besar
104
threshold (titik kritis) daya dukung dan daya tampun terlewati.
Keenam, konsep DDDTLH merupakan konsep yang tidak bersifat statis dan berdiri di
ruang vakum. Dengan kata lian diperlukan integrasi dengan aspek lainnya seperti aspek sosial
ekonomi dan teknologi. Karena bisa saja DDDTH di perbaiki melalui rekayasi teknik
(engineering), namun bisa juga DDDTH ini menurun secara cepat manakala aspek sosial dan
ekonomi cenderung bersifat eksploitatif tanpa memperdulikan kemampuan alam untuk
menopang pembangunan. Dengan demikian perlu diberikan ruang untuk perubahan DDDTH
manakala integrasi sosial -ekonomi dan teknologi memungkinkan.
Ketujuh. Terkait dengan unit analisis. Tidak dipungkiri memang sumber daya alam dan
jasa lingkungan melintasi batas-batas adiministrasi. Meski secara ideal unit analisis yang
terbaik adalah berbasis ekoregion, namun karena konteks KRP adalah unit administrasi maka
disepakati unit analisis yang berbasis administrasi merupakan hal yang sangat feasible untuk
dilakukannya kuantifikasi DDDTH. Dengan rekayasa ilmiah, konteks unit ekoregion kemudian
dapat pula dilakukan setalah unit analisis pada tingkat administrasi dilakukan.
2.11. Metode Perhitungan Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup
2.11.1. Lingkup Pedoman
Metode penentuan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di Indonesia
telah dikembangkan sejak munculnya UU 32/2009 tentang PPLH. Dalam Pasal 12 dan 16,
kajian daya dukung dan daya tampung merupakan salah satu muatan dari RPPLH dan KLHS.
Daya dukung didefinisikan sebagai kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung
perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya. Sedangkan
daya tampung adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau
komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
Metode awal yang diimplementasikan dalam penentuan daya dukung dan daya
tampung dijabarkan dalam PermenLH No. 17/2009 tentang Pedoman Penentuan Daya
Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah. Meskipun demikian, pada
peraturan tersebut hanya dikembangkan metode daya dukung. Metode penentuan daya
dukung didekati dengan persamaan neraca ketersediaan (supply) dan kebutuhan (demand)
untuk air dan pangan dalam suatu wilayah administratif. Seiring dengan perkembangannya,
penentuan daya dukung dan daya tampung kemudian mulai didekati dengan konsep jasa
lingkungan dan analisis secara spasial. Evolusi pemahaman ini berdasarkan pertimbangan
bahwa jasa lingkungan mewakili kemampuan llingkungan hidup secara holistik, termasuk
menggambarkan keseimbangan antara manusia dan makhluk hidup lainnya.
Konsep ini lebih melihat pada pemanfaatan sumber daya alam secara luas dengan
pertimbangan fungsi yang dihasilkan dari interaksi unsur biotik dan abiotik sebagai modal
alam.
105
Dikutip dari pembahasan tersebut, jasa lingkungan teridentifikasi sebanyak 23 jenis
(MEA, 2005) yang kemudian dikelompokkan menjadi jasa penyedia, jasa pengatur, jasa
pendukung dan jasa budaya. Meskipun demikian, perhitungan kinerja jasa lingkungan hidup
dalam pedoman ini diprioritaskan hanya pada 7 jasa lingkungan. Tujuh Jasa Lingkungan
tersebut beserta penjelasannya adalah sebagai berikut:
1) Jasa Lingkungan Penyedia Air
Kinerja jasa lingkungan hidup sebagai penyedia air adalah kemampuan lingkungan hidup
dalam memberikan jasa penyediaan air untuk para pemanfaatnya. Indikator keadaannya
adalah jumlah total air (m3/ha), sedangkan indikator kinerjanya adalah jumlah maksimum
ekstraksi air secara berkelanjutan (m3/ha/tahun).
2) Jasa Lingkungan Penyedia Pangan
Kinerja jasa lingkungan hidup sebagai penyedia pangan memiliki definisi ketersediaan
tanaman (serealia dan non serealia) dan hewan yang dapat dimakan, dengan indikator
keadaannya adalah stok total dan rata-rata (dalam kg/ha). Sedangkan indikator kinerjanya
adalah luasan produktivitas bersih (dalam kkal/ha/tahun atau unit lainnya).
3) Jasa Lingkungan Pengatur Air
Kinerja jasa lingkungan hidup sebagai pengatur air memiliki definisi peran bentang alam
dan penutupan lahan dalam infiltrasi air dan pelepasan air secara berkala, dengan
indikator keadaannya adalah kapasitas infiltrasi (litologi, topografi, curah hujan, vegetasi,
tutupan) dan retensi air (vegetasi, topografi, litologi) dalam m3 dan indikator kinerjanya
adalah kuantitas infiltrasi dan retensi air serta pengaruhnya terhadap wilayah hidrologis.
4) Jasa Lingkungan Pengatur Iklim
Kinerja jasa lingkungan hidup sebagai pengatur iklim memiliki definisi pengaruh ekosistem
terhadap iklim lokal dan global melalui tutupan lahan dan proses yang dimediasi secara
biologis. Indikator keadaannya adalah tutupan lahan yang bervegetasi (Ha), sedangkan
indikator kinerjanya adalah luas tutupan lahan yang bervegetasi (Ha).
5) Jasa Lingkungan Pengatur Mitigasi Bencana Longsor
Kinerja jasa lingkungan hidup sebagai pengatur mitigasi bencana tanah longsor
didefinisikan sebagai struktur alam yang berfungsi untuk pencegahan dan perlindungan
dari tanah longsor. Indikator keadaannya berupa karakteristik bentang alam, vegetasi dan
penutupan lahan, sedangkan indikator kinerjanya adalah luasan karakteristik bentang
alam, vegetasi dan penutupan lahan yang berfungsi sebagai pencegahan dan
perlindungan terhadap tanah longsor (hektar).
6) Jasa Lingkungan Pengatur Mitigasi Bencana Banjir
Kinerja jasa lingkungan hidup sebagai pengatur mitigasi bencana banjir memiliki definisi
bahwa struktur alam yang berfungsi untuk pencegahan dan perlindungan dari banjir.
Indikator keadaannya berupa karakteristik bentang alam, vegetasi dan penutupan lahan,
106
sedangkan indikator kinerjanya adalah luasan karakteristik bentang alam, vegetasi dan
penutupan lahan yang berfungsi sebagai pencegahan dan perlindungan terhadap banjir
(hektar).
7) Jasa Lingkungan Pengatur Mitigasi Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan
Kinerja jasa lingkungan hidup sebagai pengatur mitigasi bencana kebakaran hutan dan
lahan didefinisikan sebagai struktur alam yang berfungsi untuk pencegahan dan
perlindungan dari kebakaran hutan dan lahan. Indikator keadaannya berupa karakteristik
bentang alam, vegetasi dan penutupan lahan, sedangkan indikator kinerjanya adalah
luasan karakteristik bentang alam, vegetasi dan penutupan lahan yang berfungsi sebagai
pencegahan dan perlindungan terhadap kebakaran hutan dan lahan (Ha).
Kinerja jasa lingkungan menjadi dasar dalam penentuan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup. Dalam pedoman ini, lingkup metode penentuan daya dukung dan
daya tampung lingkungan hidup hanya untuk Daya Dukung dan Daya Tampung Air yang
terdiri atas:
1) Metode penentuan kecukupan jasa lingkungan hidup sebagai penyedia air
2) Metode penentuan kecenderungan perubahan kinerja jasa lingkungan hidup sebagai
pengatur air
Dari kedua poin tersebut di atas, artinya hanya jasa lingkungan hidup penyedia air dan
pengatur air yang dikaji. Kedua Jasa Lingkungan tersebut dipilih berdasarkan hasil
pengembangan metode yang dilakukan oleh KLHK dibantu dengan tim ahli serta merupakan
jasa lingkungan hidup yang esensial dibandingkan dengan jasa lingkungan hidup lainnya.
Pedoman penentuan DDDT Jasa lingkungan hidup lainnya akan ditentukan kemudian dan
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pedoman ini.
Air merupakan sumber daya alam esensial yang menopang kehidupan manusia dan
makhluk hidup lainnya dan perlu dipelihara keberlanjutannya. Kebutuhan akan ketersediaan
air merupakan satu-satunya jasa lingkungan hidup yang dapat dirasakan merata di seluruh
wilayah Indonesia. Selain itu, air juga turut mengambil andil penting dalam keberlanjutan jasa
lingkungan hidup lainnya. Sebagai contoh yaitu jasa lingkungan hidup penyedia pangan.
Ketersediaan dan pengaturan air erat kaitannya dengan pertumbuhan dan produktifitas
tanaman pangan serta mempengaruhi produktivitas peternakan maupun perikanan, karena
pada dasarnya semua makhluk hidup membutuhkan air. Selain itu, jasa lingkungan mitigasi
bencana banjir dan longsor juga sangat dipengaruhi oleh kapasitas jasa lingkungan
pengaturan air karena berkaitan dengan tingkat infiltrasi dan retensi air pada suatu lahan.
Oleh karenanya, mengetahui D3T Air menjadi titik awal dalam mensintesa keterkaitan antara
ketersediaan air dengan daya dukung dan daya tampung jasa lingkungan hidup lainnya.
107
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, jasa lingkungan hidup sebagai
penyedia air adalah ketersediaan air untuk dimanfaatkan, yaitu jumlah maksimum ekstraksi
air secara berkelanjutan. Sedangkan Jasa lingkungan hidup sebagai pengatur air adalah
merupakan kuantitas infiltrasi dan retensi air serta pengaruhnya terhadap wilayah hidrologis.
Secara sederhana, jasa lingkungan hidup pengatur air merupakan penentu keberhasilan
siklus hidrologi (daur air) terutama pada proses infiltrasi dan kemudian mempengaruhi
ketersediaan air yang dapat diekstraksi (jasa penyedia air). Keterkaitan antara jasa
lingkungan hidup pengatur air dan penyedia air dalam siklus hidrologi di ilustrasikan sebagai
berikut.
Dalam siklus hidrologi, jasa lingkungan hidup pengatur air berperan dalam proses
infiltrasi, pengisian akuifer (air tanah), serta berperan dalam terjadinya air limpasan (run off).
Sementara itu, jasa lingkungan penyedia air merupakan ekstraksi penggunaan air yang
ditunjukan melalui pemanfaatan air tanah, penyerapan air oleh akar tumbuhan (plant uptake)
dan ketersediaan air permukaan. Hubungan keterkaitan antara jasa lingkungan pengatur air
dan penyedia air lebih sering tidak terjadi pada satu wilayah atau antar wilayah yang
berdekatan. Sebagai contoh yaitu penyerapan yang terjadi di daerah dataran tinggi dengan
tutupan lahan hutan akan memberikan dampak bagi ketersediaan air pada bagian hilir sungai.
Penentuan daya dukung dan daya tampung air dilakukan dengan memanfaatkan
informasi kinerja jasa lingkungan penyedia air dan pengatur air. Kinerja jasa lingkungan hidup
dinilai berdasarkan 3 parameter yaitu bentang alam, vegetasi alami dan penutup lahan.
Bentang alam dan tipe vegetasi alami merupakan pembentuk ekoregion sedangkan penutup
lahan merupakan faktor koreksi ekonomi berbasis lahan. Kombinasi dari ketiga parameter
tersebut diharapkan mampu menggambarkan kinerja jasa lingkungan hidup penyedia dan
pengatur air eksisting. Secara sederhana, alur penetapan daya dukung dan daya tampung air
adalah sebagai berikut:
108
Gambar 2.217. Penetapan Daya Dukung dan Daya Tampung Air
109
C. Peta Penutup Lahan Minimal 2 Periode Waktu Dan Definisi Operasionalnya
Menurut UU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial bahwa Penutupan
Lahan merupakan garis yang menggambarkan batas penampakan area tutupan di
atas permukaan bumi yang terdiri dari bentang alam dan/atau bentang buatan. Untuk
provinsi, skala informasi yang digunakan yaitu 1:250.000 sedangkan untuk kabupaten
1: 50.000 dan kota 1:25.000. Buku Informasi ini hanya dilengkapi oleh peta tutupan
lahan pada skala 1:250.000 sehingga daerah wajib melakukan pendetilan peta dengan
berkoordinasi dengan Badan Informasi Geospasial.
Tabel 2.29. Kedetilan Skala Informasi Parameter DDDTLH Pada Tiap Cakupan
Wilayah Perencanaan
110
memungkinkan mengubah data tabular menjadi sebaran (spasial).
Dalam penentuan kecukupan JLH sebagai penyedia air, data spasial hasil penentuan
kinerja jasa lingkungan hidup penyedia air disiapkan dengan konsep sistem grid.
Konsep sistem grid Indonesia salah satunya dikembangkan oleh Riqqi, dkk. (2011)
Sistem grid skala ragam tersebut dibuat dengan memperhatikan datum geodetik,
sistem koordinat, titik asal sistem koordinat grid skala ragam, resolusi grid, dan sistem
penomoran grid. Sistem grid skala ragam ini dimanfaatkan untuk data lingkungan
Indonesia dengan titik asal (origin) sistem koordinat terletak pada koordinat geodetik
(90° BT, 15° LS); titik batas ujung timur dan ujung utara grid adalah 144° BT dan 10°
LU, sama dengan grid penomoran lembar peta rupa bumi Indonesia (RBI)
(BAKOSURTANAL, 2005). Titik asal tersebut terletak pada sudut kiri bawah yang
menjadi awal dari nomor grid pada sistem grid skala ragam Indonesia.
Setiap grid diberi Nomor Grid yang berfungsi sebagai pengenal setiap sel pada sistem
grid skala ragam. Dengan demikian, setiap sel dapat diketahui dengan mudah.
Sistematika penomoran dimulai dari titik asal dan seterusnya hingga ke arah timur dan
utara. Sistem penomoran grid dimulai dari grid ukuran 1°30′ × 1° ke yang lebih kecil
hingga 5″ × 5″ (Sofiyanti, 2010). Ukuran beserta resolusi; dan sistematika ukuran grid,
ditunjukkan Tabel di bawah ini. Penomoran grid yang berukuran lebih kecil diturunkan
dari nomor grid berukuran besar sehingga menghasilkan nomor pengenal yang unik
untuk setiap sel grid.
Tabel 2.230. Ukuran dan Resolusi Grid Skala Ragam
111
memanfaatkan sistem grid.
112
pada dasarnya bersifat umum, yaitu menggambarkan kondisi wilayah yang dikaji
melalui parameter tersebut. Sehingga hasil ini tidak hanya spesifik untuk jasa
lingkungan hidup tertentu atau hanya berlaku pada kajian ini saja.
Peta informasi bentang alam dan tipe vegetasi alami tersedia di KLHK pada skala 1:
250.00. Sedangkan penutup lahan, pemerintah daerah harus melakukan inventarisasi
ulang pada skala yang sesuai. Pendetilan peta penutup lahan dilakukan melalui
asistensi dengan BIG dan mengikuti kelas tutupan lahan yang tercantum dalam SNI
7645:2010.
B. Penentuan Bobot Parameter Bentang Alam, Tipe Vegetasi Alami Dan Penutupan
Lahan
Model matematik yang digunakan untuk mengetahui kinerja jasa lingkungan hidup
adalah metode penjumlahan berbobot (Simple Additive Weighting), dengan penentuan
bobot dan skor. Penentuan bobot dilakukan oleh pakar (expert judgement) untuk
parameter bentang alam, tipe vegetasi alami dan penutupan lahan. Penentuan bobot
ini didasarkan pada peran masing-masing parameter dalam memberikan jasa
lingkungan hidup. Pada penentuan kinerja jasa lingkungan hidup yang telah dilakukan
oleh KLHK, digunakan bobot 28% untuk bentang alam, 12% untuk tipe vegetasi alami,
dan 60% untuk penutupan lahan.
C. Penentuan Skor Parameter Bentang Alam, Tipe Vegetasi Alami Dan Penutupan Lahan
Setelah melakukan inventarisasi bentang alam, tipe vegetasi alami, dan penutupan
lahan, langkah berikutnya dilanjutkan dengan penentuan skor pada masing-masing
tipologi parameter. Penentuan skor didasari oleh penilaian yang dilakukan para pakar
(expert judgement) dalam melakukan estimasi besaran pengaruh tipologi parameter
terhadap jasa lingkungan hidup. Proses penilaian bobot dan skor didukung antara lain
dengan melakukan verifikasi terhadap akurasi informasi parameter melalui ground
check. Pada dasarnya, skor dipahami sebagai kemampuan masing-masing parameter
dalam memberikan fungsi dan jasa lingkungan hidup. Rentang penilaian skor terhadap
parameter adalah 1 hingga 5, dimana angka 1 merupakan skor terendah dan angka 5
merupakan skor tertinggi.
113
adalah sebagai berikut.
Keterangan:
wba = bobot bentang alam
sba = skor bentang alam
wveg = bobot vegetasi
sveg = skor vegetasi
wpl = bobot penutupan lahan
spl = skor penutupan lahan
Untuk skala 1:250.000, indikator kinerja, besarnya bobot dan skor untuk masing-
masing parameter tiap jasa lingkungan yang akan dihitung terdapat dalam lampiran
pedoman ini.
114
2) Metode penentuan kecukupan jasa lingkungan hidup sebagai penyedia air
A. Perhitungan Ketersediaan Air tiap Grid
Setelah mengetahui indeks jasa lingkungan hidup, langkah berikutnya dilanjutkan
dengan perhitungan ketersediaan air. Perhitungan ketersedian air dilakukan melalui
pendekatan system grid dengan resolusi 30” x 30” (±0,9km x 0,9km).
a) Identifikasi Wilayah Aliran Sungai (WAS) dan ketersedian air
Wilayah aliran sungai dan ketersediaan air diidentifikasi melalui peta wilayah
sungai tahun 2016 yang diterbitkan oleh Ditjen Sumber Daya Air, Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Dari data ketersediaan air tiap WAS, digunakan asumsi 80% dari ketersediaan air
merupakan jumlah air yang dapat digunakan secara optimal atau disebut juga
sebagai ketersediaan air andalan.
b) Analisis Tumpang Susun (Overlay) antara Peta Wilayah Aliran Sungai, Peta Grid
dan Peta Kinerja Jasa Lingkungan sebagai Penyedia Air
Tahapan berikutnya melakukan pendistribusian ketersediaan air berdasarkan
indeks jasa lingkungan hidup dan sistem grid. Peta Wilayah Aliran Sungai adalah
peta yang memuat informasi ketersediaan air tiap wilayah aliran sungai.
Sedangkan Peta Jasa Lingkungan Hidup adalah peta yang memuat informasi
indeks kinerja jasa lingkungan hidup. Peta Grid adalah peta dengan sistem
pembagian grid dengan resolusi 30"x30" (0,9 km x 0,9 km).
Ketiga peta ini ditumpang susunkan sehingga dalam satu ID grid akan termuat
data indeks kinerja jasa lingkungan hidup sebagai penyedia air sekaligus informasi
ketersediaan air tiap WAS. Dalam hal ini, indeks kinerja jasa lingkungan hidup
berperan sebagai faktor pendistribusian, jika nilai indeks tinggi maka nilai
ketersediaan air pun tinggi.
Contoh penampang satu grid sebagai hasil analisis tumpang susun dapat dilihat
pada gambar berikut.
115
Gambar 2.218. Contoh Penampang Grid Analisis Tumpang Susun
Dari ilustrasi di atas, proses overlay dari ketiga peta tersebut menghasilkan
deliniasi baru berupa tujuh poligon dalam satu grid. Akan tetapi, informasi
ketersediaan air dan IJLH penyedia air yang disajikan dalam grid merupakan
jumlah total, belum proporsional berdasarkan deliniasi poligon baru. Dapat
dicermati dari gambar di atas, terdapat dua kelas IJLH dengan satu WAS maka
informasi IJLH dan ketersediaan air pada poligon No. 1 akan berisi data yang sama
dengan polygon No. 5, 6, dan 7. Sama halnya, poligon No.2 berisi informasi IJLH
dan ketersediaan air yang sama dengan poligon No. 3 dan 4. Proses analisis pada
tahapan ini hanya dapat mengidentifikasi luasan masing-masing polygon.
Setelah melakukan perhitungan indeks JLH poligon untuk seluruh grid, dilanjutkan
dengan penjumlahan seluruh indeks jasa lingkungan hidup sebagai penyedia air
untuk tiap Wilayah Aliran Sungai (IJLHWAS). Biasanya satu Wilayah Aliran Sungai
terdiri dari lebih dari ribuan ID grid, jadi dapat dibayangkan jika satu grid memiliki
lebih dari satu bagian poligon di dalamnya maka kombinasi data yang didapatkan
bisa mencapai jutaan data. Oleh karenanya, proses analisis dan perhitungan lebih
116
mudah dilakukan menggunakan platform aplikasi spasial seperti ArcGIS dan
sejenisnya.
Sebagai contoh, dari proses penjumlahan ribuan data grid dalam satu WAS
didapatkan nilai IJLHWAS sebesar 48.440. Nilai IJLHWAS inilah yang digunakan
sebagai pembanding terhadap IJLHPOLIGON untuk mencari proporsi
ketersediaan air tiap poligon. Konsep tersebut diilustrasikan pada gambar di
bawah ini.
Formatted: Centered
117
jumlah penduduk juga tinggi.
118
Tabel 2.31. Bobot Penutupan Lahan dalam Kebutuhan Air
- Menjumlahkan bobot tipe penutupan lahan tiap poligon dalam satu grid untuk
mendapatkan total Bobot Penutupan Lahan Grid (WPL).
119
dalam bentuk garis (bukan poligon/area). Sama seperti penentuan bobot tipe
penutupan lahan, penilaian pada bobot jalan didasarkan pada expert judgement.
Penampang grid jalan diilustrasikan pada gambar di bawah ini.
Formatted: Centered
- Melakukan perhitungan proporsi bobot tiap satuan garis pada masing-masing grid.
Konsep perhitungan yang dilakukan sama seperti menghitung bobot tipe
penutupan lahan. Hanya saja pada perhitungan bobot jalan menggunakan satuan
panjang jalan sebagai pembandingnya.
Dengan model matematik di atas, kita dapat menghitung bobot jalan tiap garis
yang lalu dijumlahkan setiap Grid (WJLN). Formatted: Subscript
- Menjumlahkan nilai WPL dan WJLN untuk mendapatkan bobot distribusi per grid
(WGRID) sebagai faktor distribusi penduduk.
Distribusi Penduduk
Setelah bobot distribusi penduduk tiap grid (WGRID) diketahui, langkah berikutnya
yaitu :
- Menghitung jumlah penduduk tiap grid. Konsep perhitungan yang digunakan
masih sama membandingkan satu grid dengan total grid seperti rumus berikut ini.
Nilai total bobot grid disesuaikan dengan batasan administrasi yang dikaji. Jika
data populasi yang digunakan adalah data Kabupaten/Kota maka batas total bobot
grid mengikuti batasan administrasi Kabupaten/ Kota. Formatted: Font: (Default) Arial, Font color: Text 1
120
angka KHL sebesar 43,2 m 3 /tahun/kapita (standar kebutuhan air hidup layak)
dan angka 2 sebagai faktor koreksi, rumus yang digunakan seperti di bawah ini.
Qi : jumlah penggunaan air tutupan lahan dalam setahun untuk grid ke-i (m3 Formatted Table
/tahun)
Ai : luas lahan grid ke-i (hektare)
I : intensitas tanaman dalam persen (%) musim per tahun
q : standar penggunaan air
Tipe tutupan lahan yang dihitung kebutuhan airnya mengacu pada kelas penutup
lahan skala 1:50.000 atau 1:25.000 sebagaimana termuat dalam Lampiran C SNI
7645:2010 dan hanya kelas penutup lahan yang berkaitan dengan kegiatan
ekonomi (produksi).
121
Tabel 2.32. Lampiran C SNI-7645:2010
122
Sumber : Ditjen Cipta Karya, 2000 ; Triatmojo
- Menentukan Kebutuhan Air tiap Grid. Setelah mengetahui jumlah kebutuhan air
untuk rumah tangga (DGRID) dan lahan (QGRID), kedua nilai ini dijumlahkan
(TGRID). Nilai inilah yang disebut sebagai Kebutuhan Air tiap Grid untuk
dibandingkan dengan Ketersediaan Air tiap Grid.
123
C. Mengidentifikasi Status D3T tiap Grid Melalui Selisih Ketersediaan dan Kebutuhan
Langkah berikutnya, yaitu mencari selisih ketersediaan dan kebutuhan air tiap grid
untuk menentukan status D3T penyedia air. Kondisi status D3T Air terlampaui
merupakan kondisi dimana kebutuhan lebih tinggi dibandingkan ketersediaan airnya.
Kondisi ini ditandai dengan hasil pengurangan ketersediaan terhadap kebutuhan air
bernilai nol atau negatif (-), begitupun sebaliknya.
C.
D. Penentuan Ambang Batas Penduduk yang Dapat Didukung
Setelah melakukan identifikasi status D3T Air, analisis tambahan dapat dilakukan
untuk mengetahui seberapa banyak populasi maksimum yang mampu didukung
dengan kondisi ketersediaan air yang ada. Analisis ini merupakan penentuan ambang
batas penduduk.
Rumus yang digunakan untuk menghitung ambang batas penduduk adalah sebagai
berikut :
ABGRID = ambang batas penduduk yang dapat didukung tiap grid (jiwa) Formatted: Subscript
K.AirGRID = ketersediaan air per grid (m3/th) Formatted: Subscript
TGRID = total kebutuhan air per grid (m3/ th) Formatted: Subscript
D. KHLA = kebutuhan air untuk hidup layak, 800 m3 air/kapita/th
124
- Melakukan overlay antara peta kinerja jasa lingkungan hidup pada tahun pada saat
dilaksanakan kajian (T1) dan tahun acuan (T0).
- Mengidentifikasi tingkat kecenderungan jasa lingkungan hidup suatu wilayah yang
menurun, meningkat, atau tetap berdasarkan selisih indek jasa lingkungannya.
Rumusnya yaitu:
Dikatakan menurun apabila hasil perhitungan selisih indeks kinerja jasa lingkungan
menandakan negatif (-); meningkat apabila nilainya positif (+), dan nol untuk tetap.
Kecenderungan perubahan kinerja jasa lingkungan hidup dapat digunakan untuk
mengetahui sebaran spasial wilayah yang mengalami perubahan dan penyebab
perubahan kinerja jasa lingkungan hidup dilihat dari parameter penutupan lahan.
2.12. Pemanfaatan Informasi Status Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan
Hidup
Informasi status daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup daerah dapat
dimanfaatkan sebagai bahan kajian dalam:
1) Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
2) Kajian Lingkungan Hidup Strategis
3) Tata Ruang (RTRW/RZWP3K)
4) Izin Lingkungan
5) Sebagai data sintesa untuk berbagai pemanfaatan sumber daya alam dalam berbagai
sektor.
Seperti telah dibahas pada bab sebelumnya bahwa informasi status daya dukung dan
daya tampung lingkungan hidup ini sebagai faktor pembatas dalam pemanfaatan sumber
daya alam dan lingkungan hidup. Faktor pembatas dalam status ini adalah ambang batas
populasi yang dapat dilayani oleh jasa lingkungan penyedia sumber daya (sebagai contoh air
dan pangan).
Populasi yang meningkat tanpa terkendali, berbanding lurus dengan kebutuhan akan
pangan dan meningkatnya industri yang menopang populasi dalam pemenuhan terhadap
sumber dayanya. Meningkatnya kegiatan industri mengakibatkan polusi yang tak terkendali
pula. Sehingga berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan hidup dan daya dukung
lingkungan. Seperti digambarkan oleh Donnella Meadows dalam gambar di bawah ini.
125
Formatted: Centered
Dari sisi penyediaan (Supply) memastikan fungsi lingkungan hidup berjalan baik,
dengan memastikan jasa lingkungan tidak terus menurun karena faktor pembangunan
sehingga manfaat yang akan diterima oleh manusia tidak berkurang. Sedangkan Jika pola
konsumsi masyarakat (Demand) tidak diatur atau dibuat tidak terbatas maka ambang batas
daya dukung dan daya tampungnya akan terlampaui. Dapat dilihat dalam gambar di bawah
ini.
Formatted: Centered
Untuk menjaga daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup tidak terlampaui
dapat dilakukan dengan 2 skenario :
1) Dari sisi demand
Berupaya untuk mengubah pola konsumsi masyarakat dan meningkatkan teknologi yang
dapat mendukung ketersediaan sumber daya alam
2) Dari sisi Supply
Menahan laju penurunan daya dukung dan daya tampung, memperbaiki kualitas jasa dari
lingkungan, pengembangan dan penerapan teknologi ramah lingkungan dalam segala
aspek pembangunan, meningkatkan ketahanan lingkungan terhadap perubahan iklim.
126
Skenario-skenario tersebut berorientasi pada pembangunan berkelanjutan yang
antara lain mempertimbangkan informasi daya dukung pangan, daya dukung air,
kecenderungan perubahan kinerja jasa lingkungan dalam rentang periode waktu, dan status
perizinan pemanfaatan sumberdaya alam pada suatu wilayah. Dalam skenario pembangunan
berkelanjutan, pemanfaatan sumberdaya alam di dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan
daya tampung lingkungan hidup, sesuai dengan pasal 12 ayat 2 UU 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup agar memperhatikan 3 hal sebagai berikut:
1) Keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup;
2) Keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup; dan
3) Keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat
Informasi yang berasal dari daya dukung air, daya dukung pangan, kecenderungan
perubahan kinerja jasa lingkungan dan status perizinan sumberdaya alam diintegrasikan dan
dianalisis untuk menghasilkan satu interaksi antar manusia dengan sistem ekologi sosialnya.
Dalam pandangan sistem ekologi sosial interaksi OAP dan penduduk Papua dapat dikenali
dengan 3 parameter yaitu:
1) kerentanan (vulnerability),
2) ketahanan (resilience), dan
3) keberlanjutan (sustainability).
127
2) Jasa Lingkungan Hidup sebagai Pengatur Iklim
3) Jasa Lingkungan Hidup sebagai Pengatur Mitigasi Bencana Longsor
4) Jasa Lingkungan Hidup sebagai Pengatur Mitigasi Bencana Banjir
5) Jasa Lingkungan Hidup sebagai Pengatur Mitigasi Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan
128
Gambar 2.24. Ilustrasi Contoh Pemanfaatan Informasi D3TLH dalam Perencanaan
129
BAB III
METODE DAN RENCANA KERJA
130
yaitu:
a) Merunut legislasi (peraturan perundang-undangan);
b) Merunut kesesuaian dengan kebijakan yang tercantum pada dokumen formal yang
memiliki hierarki diatasnya;
c) Merunut dokumen formal (kesesuaian dengan hasil yang diharapkan/ tujuan dan
sasaran)
d) Interview dan pengumpulan data dengan penyusun kebijakan atau administrator
program (dinas terkait).
e) Identifikasi kondisi eksisting wilayah.
f) Penjaringan aspirasi masyarakat di wilayah perencanaan serta aparat pemerintah
yang terkait.
131
5) Pengolahan dan Analisis Data
A. Data Kualitatif
Analisis data kualitatif digunakan untuk menafsirkan dan memahami kualitas data yang
diperoleh dari pengumpulan data. Analisis data kualitatif sangat bergantung pada
interpretasi. Apabila kamu sudah mahir dalam melakukan pengumpulan data kualitatif,
maka akan cukup mudah untuk menginterpetasikannya dalam bentuk pemaparan atau
deskripsi yang lebih mendalam. Hal ini biasanya disertai dengan asumsi dan beberapa
pendapat atau rujukan dari referensi terpercaya.
Dalam analisis data kualitatif, penting untuk dapat mengembangkan pendekatan
sistematis. Ada empat langkah yang dapat kamu lakukan yaitu sebagai berikut:
B. Data Kuantitatif
Data kuantitatif merupakan data yang disajikan dalam bentuk numerik. Data ini dapat
diukur (measurable) atau dihitung secara langsung sebagai variabel angka atau bilangan.
Variabel dalam ilmu statistika adalah atribut, karakteristik, atau pengukuran yang
mendeskripsikan suatu kasus atau objek penelitian.
132
Penelitian kuantitatif banyak digunakan untuk menguji suatu teori, menyajikan suatu fakta
atau mendeskripsikan statistik, menunjukkan hubungan antarvariabel, dan ada pula yang
bersifat mengembangkan konsep, mengembangkan pemahaman atau mendeskripsikan
banyak hal, baik itu dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial.
Analisis data kuantitatif adalah proses penggunaan metode statistik untuk
menggambarkan, meringkas, dan membandingkan berdasarkan jenis data yang
dikumpulkan. Dengan menggunakan analisis data kuantitaif memungkinkan
didapatkannya temuan evaluasi untuk memperkuat program organisasi yang
dilaksanakan. Analisis data kuantitatif biasanya digunakan untuk analisis data hasil
kuisioner.
C. Analisis Data
Analisis data yang dilakukan dalam kajian ini, meliputi: analisis deskriptif kuantitatif,
deskripsi komparatif, dan analisis spasial.
1) Analisis deskriptif kuantitatif bertujuan untuk menguraikan berbagai permasalahan
lingkungan yang ada, kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dan
implementasi, monitoring, dan evaluasi RPPLH;
2) Analisis deskriptif komparatif dimaksudkan untuk membandingkan karakteristik
masing-masing data pada satuan ekoregion terhadap satuan ekoregion lainnya, atau
antara satu wilayah administrasi terhadap wilayah administrasi lainnya. Selain itu
berupa perbandingan rencana pengelolaan lingkungan hidup yang berbeda pada
setiap ecoregion;
3) Analisis keruangan (spatial) menunjukkan pola sebaran karakteristik perencanaan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup setiap satuan ekoregion dan wilayah
adminsitrasi yang memiliki permasalahan lingkungan di Kota Tangerang;
4) Analisis substansial RPPLH, yang mencakup:
a) Pemanfaatan dan/atau pencadangan sumberdaya alam;
b) Pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup;
c) Pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian sumberdaya
alam; dan
d) Adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
5) Analisis SWOT untuk menyusun strategi perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup, yang dilanjutkan dengan penyusunan tabel Matrik Program Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup sesuai dengan isu strategis dan strategi yang
ditetapkan.
133
6) Analisis Proyeksi Penduduk
Hollingworth (1979), didalam Warpani (1980), menyebutkan analisa penduduk telah
diyakini merupakan hal yang sangat penting dalam perencanaan kota maupun daerah,
dimana salah satu hal yang penting dalam analisa penduduk yaitu mengetahui
perkiraan (proyeksi) jumlah penduduk dimasa datang. Adanya proyeksi dimasa
mendatang mempermudah dalam memprediksi kebutuhan perumahan dan
permukiman dibeberapa tahun kedepan. Dengan mengetahui jumlah kebutuhan
perumahan di masa mendatang, pemerintah bisa mengambil kebijakan atau
perencanaan dalam menyediakan lahan untuk permukiman sehingga perkembangan
permukiman di masa mendatang tidak menyalahi peruntukannya dan sesuai dengan
rencana tata ruang wilayah (RTRW) tersebut.
Metode pertumbuhan geometric ini digunakan dengan asumsi bahwa pertumbuhan
penduduk adalah konstan atau sama setiap tahun atau menggunakan dasar bunga
majemuk.
134
Keterangan :
SA : ketersediaan air (m³/tahun)
C : Koefisien limpasan tertimbang
Ci : Koefisien limpasan penggunaan lahan i
(Koefisien i menggunakan pedoman dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.
17 Tahun 2009)
Ai : luas penggunaan lahan (ha)
R : rata-rata curah hujan tahunan wilayah (mm/tahun)
Ri : curah hujan tahunan pada stasiun i
M : jumlah stasiun pengamatan curah hujan
A : luas wilayah (ha) 10 : faktor konversi dari mm.ha menjadi m³
b) Kebutuhan Air
Kebutuhan air dengan menjumlahkan kebutuhan domestik. Berikut ketentuan
perhitungan kebutuhan air domestic dan non domestic menurut Departemen
Pekerjaan Umum Tahun 2009 :
1. Kebutuhan air domestik
2. Perdesaan sebesar 80 liter/hari/kapita
135
3. Perkotaan sebesar untuk kota kecil sebesar 100 liter/hari/kapita dan kota
sedang besar sebesar 150 liter/hari/kapita
Keterangan :
DA : Total Kebutuhan air (m³/tahun)
N : Jumlah penduduk
KHLA : Kebutuhan air untuk kehidupan layak
Dengan formulasi atau rumus di atas dapat diketahui secara umum apakah
sumberdaya air di suatu wilayah dalam keadaan surplus atau defisit. Keadaan
surplus berarti ketersediaan air di suatu wilayah tercukupi, sebaliknya apabila
keadaan air mengalami defisit maka ketersediaan air tidak mencukupi dalam
memenuhi kebutuhan air. Secara singkat diinterpretasikan sebagai berikut:
• Apabila DDA>1, terjadi surplus air, air masih mampu mendukung populasi
yang ada
• Apabila DDA<1, terjadi defisit air dan daya dukung terlampaui.
136
menampung jumlah penduduk tertentu untuk bertempat tinggal secara layak. Dalam
menyusun formula untuk lahan permukiman, dalam analisis daya tampung lahan
permukiman akan dilakukan perbandingan antara pertumbuhan penduduk dengan
ketersediaan lahan yang ada, dimana di asumsikan berdasarakan Rencana
Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman Daerah (RP4D),
berikut asumsi perhitungannya:
a) Menghitung daya tampung dengan anggapan luas lahan yang digunakan untuk
permukiman hanya 70% dari luasan lahan yang boleh tertutup (30% untuk fasilitas
serta utilitas lainnya).
b) 1 Kepala Keluarga 4 jiwa.
D. Batasan Operational
Beberapa batasan penting khususunya konsep dan hasil dalam kajian ini dapat diuraikan
sebagai berikut: Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang
selanjutnya disingkat RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah
lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu
tertentu. Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diutamakan
berupa pemanfaatan dan pencadangan sumberdaya alam, pemeliharaan dan
137
perlindungan kualitas dana atau fungsi lingkungan hidup pengendalian pemantauan serta
pendayagunaan dan pelertarian sumberdaya alam, dan rencana adaptasi dan mitigasi
terhadap perubahan iklim. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan
hidup untuk mendukung peri kehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan
antar keduanya. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup
untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke
dalamnya. Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan yang dibahas dalam RPPLH
adalah yang memiliki isu-isu utama permasalahan lingkungan. Ekoregion adalah wilayah
geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola
interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan
lingkungan hidup. Ekoregion menjadi dasar dalam pembuatan RPPLH.
E. Indikator Keberhasilan
Sasaran akhir dari pembangunan yang berbasis lingkungan yang mengacu pada tingkat
nasional adalah sebagai berikut:
1) Melakukan peningkatan kualitas lingkungan hidup untuk memenuhi aspek
keberlanjutan, pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam dan lingkungan bagi
generasi sekarang dan yang akan datang.
2) Melakukan perbaikan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan untuk
menunjang kualitas kehidupan.
3) Melakukan peningkatan terkait pemeliharaan dan pemanfaatan keanekaragaman
hayati untuk menjadi pondasi awal pembangunan.
138
c) Indikator keberlangsungan fungsi ekosistem.
Pendekatan Jasa Ekosistem (ecosystem services) adalah salah satu indikator yang
dapat digunakan untuk menentukan keberlangsungan fungsi suatu ekosistem.
Pengertian utama dari jasa ekosistem adalah manfaat yang diperoleh manusia dari
bermacam-macam sumberdaya dan proses alam yang secara kolektif diberikan oleh
suatu ekosistem dan dikelompokkan kedalam empat macam manfaat yaitu:
a) manfaat penyediaan produksi pangan dan air,
b) manfaat pengaturan pengendalian iklim dan penyakit,
c) manfaat pendukung, seperti siklus nutrient dan polinasi tumbuhan, serta
d) manfaat kultural, spiritual dan rekreasional (Millenium Ecosystem Assesment,
2005).
Berdasarkan konsep tersebut dan penetapan fungsi jasa ekosistem dalam RPPLH
Nasional khususnya di Ekoregion Jawa dan Laporan DDL maka untuk penilaian
keberlangsungan fungsi ekosistem dapat menggunakan dua belas indikator fungsi
jasa ekosistem yaitu:
a) Jasa ekosistem penyedia pangan;
b) Jasa ekosistem penyedia air bersih;
c) Jasa ekosistem pengatur iklim;
d) Jasa ekosistem pengatur tata aliran air dan banjir;
e) Jasa ekosistem pengatur pencegahan dan perlindungan dari bencana;
f) Jasa ekosistem pengatur pemurnian air;
g) Jasa ekosistem pengatur pengolahan dan penguraian limbah;
h) Jasa ekosistem pengatur pemeliharaan kualitas udara;
i) Jasa ekosistem budaya fungsi tempat tinggal dan ruang hidup;
j) Jasa ekosistem budaya fungsi rekreasi dan ekowisata;
k) Jasa ekosistem budaya fungsi estetika;
l) Jasa ekosistmen pendukung biodiversitas.
139
2) Indikator Kualitas Lingkungan Hidup
Indikator kualitas lingkungan hidup dapat mengacu pada Kementrian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan yang menggunakan indeks lingkungan berbasi wilayah
(Kabupaten kota/ provinsi). Indeks ini dapat memberi kesimpulan dari suatu kondisi
lingkungan hidup pada periode tertentu. Pemangku kepentingan ( Stack holder ) dapat
menggunakan hasil indeks kualitas lingkungan ini sebagai dasar penyusunan maupun
pelaksanaan program dan kegiatan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup. Indeks ini juga disusun sebagai Indikator Kinerja Utama (IKU) untuk memenuhi
salah satu sasaran pembangunan berkelanjutan. IKLH (Indeks Kualitas Lingkungan
Hidup) mempunyai fungsi sebagai pendukung kebijakan dalam melakukan penentuan
deraja permasalahan lingkungan dan sumbersumber permasalahan dalam
pengelolaan lingkungan hidup. Indikator dari IKLH terdiri dari :
a) Indikator kualitas air;
b) Indikator kualitas air udara;
c) Indikator kualitas tutupan hutan kota.
140
Daftar isu strategis juga diperoleh melalui forum masyawarah antar para pemangku
kepentingan untuk menyepakati isu strategis. Dalam menetapkan isu strategis
nantinya akan mempertimbangkan pengaruh antara elemen pendorong, tekanan,
kondisi, dampak dan repson atau yang dikenal dengan isitilah analisis DPSIR.
Berdasarkan tahapan diatas melalui pengolahan data dan informasi hasil inventarisasi
lingkungan hidup, forum masyawarah antar para pemangku kepentingan dan analisis
DPSIR yang dilakukan dalam penyusunan laporan maka ditetapkan sebelas isu
strategis lingkungan yaitu:
a) Sampah;
b) Pencemaran Air;
c) Kelangkaan Air/Penurunan Muka Air Tanah/Kekeringan;
d) Banjir/Genangan;
e) Penurunan Kualitas Udara;
f) Ruang Terbuka Hijau;
g) Limbah Domestik;
h) Permukiman Kumuh;
i) Perubahan Iklim;
j) Alih Fungsi Lahan Pertanian/ Jalur Hijau;
k) Perilaku Peduli Lingkungan.
141
3.2. Diagram Alir Penelitian
Mulai
Studi Pustaka
Pengumpulan Data
Tidak
Data Cukup
Ya
Analisis Data
1. Pengolahan data primer dan sekunder dengan metode pengolahan data kualitatif dan metode kuantitatif.
2. Melaksanakan konsultasi publik hasil pekerjaan (FGD).
3. Pengolahan Data Daya Tampung dan Daya Dukung Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung Barat
4. Analisa Penyusunan Rencana Data Daya Tampung dan Daya Dukung Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung
Barat
5. Penyusunan dan Verifikasi Basis Data Spasial Daya Tampung dan Daya Dukung Lingkungan Hidup Kabupaten
Bandung Barat dengan Instansi Terkait
6. Album Peta format Spasial Daya Tampung dan Daya Dukung Lingkungan Hidup
Kesimpulan
Selesai
142
3.3. Jangka Waktu Pelaksanaan
Jangka Waktu Pekerjaan Kajian Daya Tampung Dan Daya Dukung Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung Barat adalah 120 (Seratus
Dua Puluh) hari kalender dengan rencana lini masa sebagai berikut:
143
3.4. Daftar Hasil Kegiatan
Keluaran yang diharapkan dari kegiatan Inventarisasi Daya Dukung dan Daya
Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH) Berbasis Jasa Ekosistem di Kabupaten Bandung Barat
Tahun 2022 adalah sebagai berikut:
1) Tersedianya Peta Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH) Berbasis
Jasa Ekosistem di Kabupaten Bandung Barat dengan kedalaman analisis skala 1 : 50.000,
sebagai dasar pemanfaatan sumberdaya alam yang memperhatian:
a) Keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup;
b) Keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup;
c) Keselamatan, mutu hidup dan kesejahteraab masyarakat.
2) Deskripsi kondisi Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH) Berbasis
Jasa Ekosistem dengan unit satuan ekoregion dan administratif, khususnya Profil D3TLH
Berbasis Jasa Ekosistem di Kabupaten Bandung Barat.
3) Tersusunnya Basis Data Spasial dalam bentuk Album Peta Daya Dukung dan Daya
Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH) Berbasis Jasa Ekosistem, yang meliputi 2 jenis Peta
Input dan Peta Output Jasa Ekosistem.
144
3.5. Usulan Struktur dan Penugasan Personel
Team Leader Ahli Sarjana Strata 2 (S2) Team Leader • Tenaga Ahli
Teknik Lingkungan, S1 Bidang Teknik Ahli Teknik berkewajiban dan
Teknik Lingkungan, Lingkungan, memiliki Lingkungan bertanggungjawab
memiliki SKA Ahli SKA Ahli Madya sepenuhnya terhadap
Madya Teknik Teknik Lingkungan, pelaksanaan
Lingkungan, dengan berpengalaman lebih penyusunan rencana
pengalaman kerja di dari 10 tahun sesuai dengan
minimal 1 tahun (Team ketentuan perjanjian
Leader); kerjasama yang
disepakati.
• Bertanggung jawab
atas pelaksanaan
pekerjaan mulai dari
awal pekerjaan sampai
dengan selesai.
• Mengkoordinasikan
dan melakukan analisis
pekerjaan yang
145
berkaitan dengan
penilaian nilai daya
dukung dan daya
tampung lingkungan
hidup.
Ahli Hidrogeologi, S1 Sarjana Strata 2 (S2) Ahli Hidrogeologi • Tenaga Ahli
Sipil / Geologi, Bidang Sipil / Geologi, berkewajiban dan
pengalaman kerja di memiliki SKA Ahli bertanggungjawab
minimal 1 tahun; Madya Sipil / Geologi, sepenuhnya terhadap
berpengalaman lebih pelaksanaan
dari 5 tahun. penyusunan rencana
sesuai dengan
ketentuan perjanjian
kerjasama yang
disepakati.
• Tenaga Ahli wajib
mengikuti ketentuan
teknis yang ditentukan
sesuai dengan
Kerangka Acuan Kerja
(KAK);
• Melakukan analisis
yang berkaitan dengan
kondisi air tanah dan air
permukaan.
Ahli GIS, S1 Geodesi, Sarjana Strata 2 (S2) Ahli GIS • Tenaga Ahli
dengan minimal Bidang Geodesi, berkewajiban dan
pengalaman 1 tahun. memiliki SKA Ahli bertanggungjawab
Madya GIS, sepenuhnya terhadap
berpengalaman lebih pelaksanaan
dari 5 tahun. penyusunan rencana
sesuai dengan
ketentuan perjanjian
kerjasama yang
disepakati.
• Tenaga Ahli wajib
146
mengikuti ketentuan
teknis yang ditentukan
sesuai dengan
Kerangka Acuan Kerja
(KAK);
• Tenaga Ahli dalam
melaksanakan
pekerjaannya
dinyatakan berakhir
sampai dengan
selesainya semua
kewajiban yang harus
dipenuhi sesuai
dengan perjanjian
pekerjaan yang
disepakati;
• Melakukan analisis
spasial dan membuat
peta hasil kajian.
147
Tenaga Administrasi Sarjana Strata 1 (S1) Administrasi • Membantu team leader
dan Keuangan, Semua Jurusan, dalam mengetik segala
SMK/D3 Semua dengan pengalaman bentuk administrasi
Jurusan, dengan lebih dari 5 tahun. yang dibutuhkan untuk
pengalaman minimal 1 pelaporan kegiatan.
tahun • Melakukan tugas
administrasi yang
berkaitan dengan
korespondensi/surat
menyurat, notulen
rapat, dokumen
kontrak, dokumen
pencairan dan
administrasi lainnya.
• Membantu dalam hal
pengadministrasian
keuangan.
148