Tugas Makalah Pendidikan Pancasila
Tugas Makalah Pendidikan Pancasila
PENDIDIKAN PANCASILA
“POLITIK PEREMPUAN DI INDONESIA”
DISUSUN OLEH
1) ALFIN FASLAH QORIK
2) CELVIN ANANG ALAMSYAH
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK MESIN
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
2018
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan
kemampuan, kekuatan, serta keberkahan baik waktu, tenaga, maupun pikiran kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Politik Perempuan di Indonesia” tepat
pada waktunya.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan
akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing yang
selalu memberi dukungan, pengarahan, dan kemudahan yang telah diberikan kepada penulis
dalam pengerjaan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada penulisan makalah ini.
Maka dari itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan dari pembaca
sekalian. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang
membacanya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................... ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan..........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Politik...........................................................................................3
2.2 Definisi Berpartisipasi................................................................................... 5
2.3 Pentingnya Kehadiran Perempuan dalam Politik.......................................... 6
2.4 Peluang Perempuan dalam Politik................................................................. 8
2.5 Permasalahan Dalam Politik..........................................................................9
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 11
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
diperoleh oleh laki-laki maupun perempuan. Pengarusutamaan Gender (PUG)
merupakan strategi yang ditempuh pemerintah untuk mempercepat tercapainya
kesetaraan dan keadilan gender melalui kebijakan, dalam hal ini tentunya termasukjuga
kebijakan di bidang politik.
Upaya kearah tersebut antara lain telah diwujudkan dengan keluarnya Undang-
Undang No. 12 tahun 2003 yaitu Undang-undang tentang Pemilihan Umum anggota
DPR, DPD, DAN DPRD, yang dalam salah satu pasalnya (Pasal 65) mencantumkan
tentang kuota minimal 30% bagi keterwakilan perempuan. Kelihatannya, dengan
dicantumkan kuota 30% tersebut, peluang bagi perempuan untuk memasuki rana public
khususnya rana politik praktis semakin tebuka, walaupun sebebarnya undang-undang
tersbut masih “setengah hati” memberikan kesempatan kepada perempuan, karena
dalam rumusnya menggunakan kata-kata “dapat” yang berarti “boleh-boleh saja” (tidak
harus) bagi partai politik untuk mengajukan bakal calon perempuan sesuai kota tersebut.
BAB II
2
PEMBAHASAN
Politik (dari bahasa Yunani: politikos, yang berarti dari, untuk, atau yang
berkaitan dengan warga negara), adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan
dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya
dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi
yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun
nonkonstitusional.Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda,
yaitu antara lain:politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan
kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles). Politik merupakan kegiatan yang diarahkan
untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat politik adalah segala
sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik. Dalam konteks
memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik,
legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga
tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai
(politik.https://id.m.wikipedia.org/wiki/Politik)
Partisipasi politik secara harafiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik hal
ini mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik.
Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung
keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau
ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik. Partisipasi politik
adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan
keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta
dalam pelaksanaan keputusan.
Konsep partisipasi politik ini menjadi sangat penting dalam arus pemikiran deliberative
democracy atau demokrasi musawarah. Pemikiran demokrasi musyawarah muncul
antara lain terdorong oleh tingginya tingkat apatisme politik di Barat yang terlihat
dengan rendahnya tingkat pemilih (hanya berkisar 50 - 60 %). Besarnya kelompok yang
tidak puas atau tidak merasa perlu terlibat dalam proses politik perwakilan
menghawatirkan banyak pemikir Barat yang lalu datang dengan konsep deliberative
democracy.
Di Indonesia saat ini penggunaan kata partisipasi (politik) lebih sering mengacu pada
dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang sudah dibuat oleh
para pemimpin politik dan pemerintahan. Misalnya ungkapan pemimpin "Saya
mengharapkan partispasi masyarakat untuk menghemat BBM dengan membatasi
penggunaan listrik di rumah masihng-masing". Sebaliknya jarang kita mendengar
ungkapan yang menempatkan warga sebagai aktor utama dalam pembuatan keputusan.
(https://id.m.wikipedia.org/wiki/Partisipasi_politik)
Lembaga yang ikut berpartisipasi dalam politik di Indonesia :
Pemerintah : Pusat (Presiden, Menteri), Provinsi, Kab/Kota/Desa
Lembaga-lembaga Negara : DPR, DPRD, Pengadilan
Partai Politik
3
Kelompok Kepentingan (Organisasi Perempuan)
Aturan tentang kewajiban kuota 30 persen bagi caleg perempuan adalah salah
satu capaian penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia pascareformasi. Aturan
tersebut tertuang dalam sejumlah UU, yakni UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai
Politik, UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, UU No. 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR-DPRD yang di dalamnya juga memuat aturan terkait Pemilu tahun 2009.
UU No. 2 Tahun 2008 mengamanahkan pada parpol untuk menyertakan keterwakilan
perempuan minimal 30 dalam pendirian maupun kepengurusan di tingkat pusat. Angka
30 persen ini didasarkan pada hasil penelitian PBB yang menyatakan bahwa jumlah
minimum 30 persen memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak
pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga publik.
Kebijakan affirmative 30% bukanlah sebuah tujuan akhir, ini hanyalah sarana
untuk mencapai misi yang lebih besar yaitu masyarakat yang demokratis. Tindakan ini
bagaimanapun masih sangat diperlukan dan ditingkatkan dalam rangka memulihkan
hak-hak politik perempuan sebagai bagian dari transformasi sosial yang merupakan
komponen penting dalam transformasi demokrasi itu sendiri. Politik, jelas merupakan
alat sosial yang paling logis dalam menciptakan ruang kesempatan dan wewenang.
dengan mendorong perempuan memasuki wilayah pengambilan kebijakan, maka
konstitusi dan legislasi kita akan semakin adil, setara dan ramah terhadap kepentingan-
kepentingan perempuan.
Kita tidak boleh pesimis, faktanya sejarah perempuan dan politik di Indonesia
selalu diwarnai oleh kejutan. Pasca kemerdekaan perempuan Indonesia telah mencapai
tingkatan-tingkatan politik yang lebih maju dibanding banyak negara lain. Hak pilih
perempuan sudah diakui sejak tahun 1945 dan bahkan pada masa revolusi kita sudah
memiliki menteri perempuan. Kondisi fluktuatif politik perempuan di Indonesia tak
dapat dilepaskan dari proses demokrasinya yang tidak melalui cara-cara bertahap
(gradual) melainkan melalui lompatan-lompatan (leaps) yang terkadang juga dramatis
(Blackburn, 2004).
Tahun ini kita memasuki tahun politik, partai-partai politik akan mengajukan
bakal caleg DPR, DPD dan DPRD yang akan bertarung dalam pemilu mendatang. Pada
kesempatan ini saya ingin mengajak sekaligus mendorong kepada para perempuan yang
memiliki gagasan dan kompetensi agar jangan ragu dan takut untuk memasuki politik
formal (yang maskulin ini). Kedua, partai politik sebagai instrumen kaderisasi juga
harus berkomitmen dalam menerapkan tindakan affirmative yang tidak hanya menjadi
tindakan prosedural sekedar mengejar angka 30%. Dibutuhkan juga perlindungan lebih
serta peningkatan kualitas calon-calon legislatifnya agar dapat memperbesar peluang
keterpilihan caleg-caleg perempuannya.
Terakhir, saya juga berharap agar pemerintah dapat melakukan terobosan agar isu
perempuan tidak melulu dilihat pada persoalan kesejahteraan (welfare) . Perlu dilakukan
upaya-upaya yang signifikan terhadap pemberdayaan politik perempuan serta
perwujudan keadilan bagi perempuan sebagai arus utama program pemberdayaan
perempuan. Kehadiran negara dalam penyelenggaraan pendidikan politik bagi
perempuan adalah sebuah keniscayaan.
4
Kita tak lagi berhadapan dengan rezim yang otoriter sebagaimana dilakukan gerakan
Las Madres de Plaza de Mayo. Tetapi bukan berarti tantangan kita menjadi lebih
mudah. Para perempuan harus bekerja dua kali lipat karena isu perempuan, politik dan
pengambilan keputusan belum menjadi arus utama dari fokus gerakan perempuan. Jalan
masih akan panjang, tetapi sebagai tahun politik, sekarang adalah momentum emas bagi
politik perempuan di republik ini.
5
lokal, perempuan lebih sering diposisikan sebagai objek, alih-alih subjek. Alhasil,
partisipasi politik perempuan pun cenderung rendah.
Lebih dari itu, perempuan desa pada umumnya juga belum sepenuhnya
memahami esensi demokrasi dan pentingnya pemilu sebagai salah satu sarana untuk
membangun masa depan Indonesia yang adil, sejahtera dan demokratis.
(demokratis.https://m.detik.com/news/kolom/4174432/keterwakilan-perempuan-dalam-
politik)
Peluang bagi perempuan untuk masuk ke arena politik praktis selangkah lebih
maju dibandingkan sebelumnya, dapat dilihat dari ketentuan Pasal 53 dan Pasal 55
Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 (Undang-Undang tentang Pemilihan Anggota
DPR, DPD, dan DPRD yang baru. Dalam Pasal 53 ditentukan bahwa daftar bakal calon
membuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan, dan dalam Pasal 55 ayat 2
menentukan bahwa dalam daftar bakal calon yang dimaksud itu, setiap tiga bakal calon
di dalamnya terapat sekurang-kurangnya satu bakal calon perempuan. Pasl ini
menunjukkan adanya peluang yang cukup besar bagi perempuan, asalkan Partai Politik
engan konsekuen dan betul-betul mempunyai komitmen melaksanakan amanat yang
terkandung didalamnya.
Dalam Undang-Undang Partai Politik yang baru, yaitu Undang-Undang No. 2
Tahun 2008 merumuskan dengan lebih tegas daru undang-undang sebelumnya, dan
lebih menjamin keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai. Hal tersebut
ditegaskan dalam Pasal 2 ayat 5 yang menentukan sebagai berikut: “Kepengurusan
Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud dalam ayat 3, disusun dengan
menyertakan paling rendah 30% keterwakilan perempuan.” Dalam pasal 20 juga
ditentukan bahwa : “Kepengurusan Partai Politik tingkat propinsi dan kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan
memperhatikan keterwakilan perempuan rendah 30% yang diatur dalam AD dan ART
Partai Politik masing-masing.
Jika diperhatikan dengan cermat mulai dari Konsitusi, GBHN, Proponas sampai
dengan perundang-undangan di bawahnya sebagaimana telah dipaparkan di atas, dapat
dikatakan bahwa secara normatif peluang bagi perempuan untuk memasuki ranah
publuk, khusunya di bidang politik semakin meningkat. Yang menjadi pertanyaan,
apakah peluang yang cukup besar itu sudah mampu diisi oleh kaum perempuan sendiri?
Dalam kenyataannya ternyata tidak begitu mudah bagi kaum perempuan untuk mengisi
peluang yang telah tersedia itu. Apa yang menjadi penghambtnya? Pertayaan inilah
yang akan dibahas dalam uraian berikutnya, namun sebelumnya, perlu terlebih dahulu
dikemukakan seberapa besar peluang yang telah dapat dicapai dari waktu ke waktu.
6
Walaupun kesempatan atau peluang sebenarnya sudah terbuka lebar bagi kaum
perempuan untuk terjun keduniapolitik, akan tetapi dalam kenyataannya, masih sangat
sedikit perempuan yang terjun kea rah politik dan ikut dalam pengambilan keputusan
terhadap kebijakan publik. Sebagai gambar, persebtase keterwakilan perempuan dalam
keanggotaan legislatif dari perioda dapat dilihat dalam table di bawah ini:
7
kesenjangan gendar masih cukup besar di bidang politik Kenyataan yang cukup menarik
dari angka angka tersebut di atas adalah bahwa keterlibatan perempuan di tingkat pusat
ternyata lebih tinggi dibandingkan di daerah, dan di daerah provinsi lebih tinggi
dibandingkan di tingkat kabupaten/kota. (11,2% : 10% : 8%).
8
kurang berani dalam pengambilan keputusan, apalagi keputusan yang terkait dengan
kebijakan public.
Dalam kedudukannya yang sub-ordinatif, perempuan umumnya menunjukan
sikap yang sub-asertif , yaitu sikap ragu-ragu dalam menge;uarkan pendapat, kurang
berani mengamil resiko, sehingga lebih banyak menunggu dan mengantungkan diri
kepada kaum laki-laki dalam mengamil keputusan sehingga terkesan ikut-ikutan.”
Misalnya terserah ayah,terserah suami,terserah pimpinan, atau hanya ikut-ikutan
teman”. Sikap semacam itu menunjukan bahwa perempuan belum bisa mandiri dalam
pengambilan keputusan. Sikap demikian, sudah tentunya menghambat perempuan untuk
maju memerankan hak politikny. (Astiti, tt)
Dengan melihat kenyataan sekarang sebagaimana telah dipaparkan di atas, maka
ke depan diharapkan lebih banyak perempuan perempuan yang merasa terpanggil untuk
masuk ke arena politik. Untuk itu perlu mempersiapkan dan meninkatkan SDM
perempuan dalam bidang polotik. Terkait dengan hal ini tentu saja peranan partai politik
sangat menetukan dalam memberikan pendidikan politik bagi perempuan sesuai dengan
ketentuan Pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Partai Politik (Undang-Undang No. 2 Tahun
2008 yang menetukan :
“Partai Politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai dengan
ruang lingkup tanggungjawabnya dengan memperhatikan keadilan dan
kesentaraan gender …………..”
Selain itu, penentuan kuota minimal 30% bagi perempuan harus dipahami oleh semua
pihak sebagai tindakan sementara dan di dalamnya mengandung keberpihakan terhadap
perempuan sebagai ditentukan dalam Pasal 4 ayat 1 Konvensi Wanita sebagai berikut :
Pembuatan peraturan-peraturan khusus sementara oleh Negara-negara peserta yang
ditunjukan untuk mempercepat persamaan “de facto” antara pria dan wanita, tidak
danggap seperti diskriminasi sepert ditegskan dalam Konvensi yang sekarang ini dan
sama sekali tidak harus membawa konsenkuensi pemeliharaan norma-norma yang tak
sama atau terpisah, maka peraturan-peraturan ini dihentikan jika tujuan persamaan
kesempatan dan perlakuan telah tercapai.
9
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Kebijakan affirmative 30% bukanlah sebuah tujuan akhir, ini hanyalah sarana
untuk mencapai misi yang lebih besar yaitu masyarakat yang demokratis. Tindakan ini
bagaimanapun masih sangat diperlukan dan ditingkatkan dalam rangka memulihkan
hak-hak politik perempuan sebagai bagian dari transformasi sosial yang merupakan
komponen penting dalam transformasi demokrasi itu sendiri. Politik, jelas merupakan
alat sosial yang paling logis dalam menciptakan ruang kesempatan dan wewenang.
dengan mendorong perempuan memasuki wilayah pengambilan kebijakan, maka
konstitusi dan legislasi kita akan semakin adil, setara dan ramah terhadap kepentingan-
kepentingan perempuan. Untuk itu, diperlukan berbagai upaya untuk memperjuangkan
kesetaraan gender dalam kehidupan politik, yang nantinya diharapkan akan memberikan
perubahan pandangan tentang budaya patriakhi bagi masyarakat, sehingga kemungkinan
terpilihnya peminpin politik perempuan akan sama dengan kemungkinan terpilihnya
peminpin politik laki-laki. Sehingga kesetaraan gender dalam dunia perpolitikan akan
semakin maju dan efek sampingnya untuk kemajuan usaha pemberantasan korupsi bisa
segera dirasakan.
3.2 SARAN
10
DAFTAR PUSTAKA
politik.https://id.m.wikipedia.org/wiki/Politik
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Partisipasi_politik
demokratis.https://m.detik.com/news/kolom/4174432/keterwakilan-perempuan-dalam-
politik
11