Anda di halaman 1dari 15

TUGAS MATA KULIAH

PENDIDIKAN PANCASILA
“POLITIK PEREMPUAN DI INDONESIA”

DISUSUN OLEH
1) ALFIN FASLAH QORIK
2) CELVIN ANANG ALAMSYAH

FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK MESIN
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
2018
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan
kemampuan, kekuatan, serta keberkahan baik waktu, tenaga, maupun pikiran kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Politik Perempuan di Indonesia” tepat
pada waktunya.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan
akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing yang
selalu memberi dukungan, pengarahan, dan kemudahan yang telah diberikan kepada penulis
dalam pengerjaan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada penulisan makalah ini.
Maka dari itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan dari pembaca
sekalian. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang
membacanya.

Malang,17 November 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................... ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan..........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Politik...........................................................................................3
2.2 Definisi Berpartisipasi................................................................................... 5
2.3 Pentingnya Kehadiran Perempuan dalam Politik.......................................... 6
2.4 Peluang Perempuan dalam Politik................................................................. 8
2.5 Permasalahan Dalam Politik..........................................................................9

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan................................................................................................. 10
3.2 Saran........................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia telah


mengamanatkan bahwa setiap warga negara bersama kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan serta wajib menjungjung hukum dan pemerintah itu dengan tidak ada
kecualinya. Ungkapan “setiap warga Negara” dalam ketentuan tersebut diatas tentu saja
berarti warga negara laki-laki maupun negara perempuan. Walaupan tidak dinyatakan
secara ekspilisit, berdasarkan ketentuan Pasal 27 tersebut dapat diartikan pula bahwa
UUD 1945 sudah menganut prinsip non diskriminatif. Dengan prinsip non diskriminatif
tersebut, maka perempuan sebagai warganegara dapat dikatakan memperoleh peluang
yang sama dengan laki-laki dalam pemerintahan.
Tahun 1978 merupakan tonggak sejarah yang mempunyai arti yang amat penting
bagi kaum perempuan Indonesia, karena pada tahun tersebut tercantum untuk pertama
kali Garis-Garis Besar Hukum Negara (GBHN) dan Pelita III secara ekspilisit memuat
butir-butir tentang peranan perempuan dalam pembangunan dan pembinaan bangsa.
Pada tahun itu juga pada Kabinet Pembangunan III dibentuk suatu lembaga, yaitu
Kantor Menteri Muda Urusan Peranan Wanita. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa
bangsa Indonesia secara sadar mengakui pentingnya peranan perempuan sebagai mitra
sejajar laki-laki dalam pembangunan.
Pada tahun 1984, Pemerintah Indonesia juga telah ikut meratifikasi Konvensi
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Konvensi
Wanita). Lahirnya Undang-undang No. 7 tahun 1984 tentang pengesahan Kovensi
Wanita tersebut juga mempunyai arti yang amat penting bagi perempuan Indonesia,
karena dengan ikut sertanya Negara Indonesia meredifikasi Konvensi tersebut, berarti
pemerintah mempunyai komitmen untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi
terhadap perempuan. Pasala 3 Konvensi tersebut mengesahkan komitmen Negara
peserta untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi melalui peraturan perundang-
undangan, yang dirumuskan sebagai berikut:
“Negara-negara peserta membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk
pembuatan undang-undang di semua bidang, khususnya di bidanng politik,
sosial, ekonomi, dan budaya untuk menjamin perkembangan dan kemajuan
wanita sepenuhnya, dengan tujuan untuk menjamin mereka melaksanakan dan
menikmati hak-hak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok atas dasar
persamaan dengan pria.”
Dalam GBHN 1988, telah dirumuskan pula 7 esensi terkait dengan peranan
perempuan, antara lain disebutkan bahwa perempuan mempunyai hak, kewajiban, dan
kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam pembangunan nasional. Pernyataan ini
menunjukan bahwa perempuan juga merupakan subyek pembangunan yang berarti ikut
menentukan pembangunan itu dalam semua tahapan melalui dari perencanaan,
pelaksanaan, maupun motiroring dan evaluasi. Dalam GBHN-GBHN (Propenas)
selanjutnya, peranan perempuan sangat ditingkatkan, dan dengan Inpres No. 9 tahun
2000 tentang Pengarusutamaan Gendar (PUG) mengisyaratkan bahwa pembangunan
nasional harus berprespektif gendar. Artinya, bahwa setiap kebijakan, program dan
kegiatan pembangunan harus selalu mempertimbangkan dari sisi laki-laki dan
perempuan baik mencangkup partisipasi, akses, kontrol, atau manfaat yang akan

1
diperoleh oleh laki-laki maupun perempuan. Pengarusutamaan Gender (PUG)
merupakan strategi yang ditempuh pemerintah untuk mempercepat tercapainya
kesetaraan dan keadilan gender melalui kebijakan, dalam hal ini tentunya termasukjuga
kebijakan di bidang politik.
Upaya kearah tersebut antara lain telah diwujudkan dengan keluarnya Undang-
Undang No. 12 tahun 2003 yaitu Undang-undang tentang Pemilihan Umum anggota
DPR, DPD, DAN DPRD, yang dalam salah satu pasalnya (Pasal 65) mencantumkan
tentang kuota minimal 30% bagi keterwakilan perempuan. Kelihatannya, dengan
dicantumkan kuota 30% tersebut, peluang bagi perempuan untuk memasuki rana public
khususnya rana politik praktis semakin tebuka, walaupun sebebarnya undang-undang
tersbut masih “setengah hati” memberikan kesempatan kepada perempuan, karena
dalam rumusnya menggunakan kata-kata “dapat” yang berarti “boleh-boleh saja” (tidak
harus) bagi partai politik untuk mengajukan bakal calon perempuan sesuai kota tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana permasalahan politik perempuan di Indonesia?
2. Bagaimana arti pentingnya kehadiran perempuan dalam politik di Indonesia?
3. Bagaimana upaya perempuan dalam politik di Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini ini adalah
1. Mengetahui permasalahan politik perempuan di Indonesia
2. Mengetahui arti pentingnya kehadiran perempuan dalam politik di Indonesia.
3. Mengetahui upaya perempuan dalam politik di Indonesia.
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah
1. Untuk mengetahui bagaimana permasalahan politik perempuan di Indonesia.
2. Untuk mengetahui bagaimana arti pentingnya kehadiran perempuan dalam
politik di Indonesia.
3. Untuk mengetahui bagaimana upaya perempuan dalam politik di Indonesia.

BAB II

2
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN POLITIK

Politik (dari bahasa Yunani: politikos, yang berarti dari, untuk, atau yang
berkaitan dengan warga negara), adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan
dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya
dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi
yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun
nonkonstitusional.Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda,
yaitu antara lain:politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan
kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles). Politik merupakan kegiatan yang diarahkan
untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat politik adalah segala
sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik. Dalam konteks
memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik,
legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga
tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai
(politik.https://id.m.wikipedia.org/wiki/Politik)

2.2 DEFINISI BERPARTISIPASI

Partisipasi politik secara harafiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik hal
ini mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik.
Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung
keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau
ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik. Partisipasi politik
adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan
keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta
dalam pelaksanaan keputusan.
Konsep partisipasi politik ini menjadi sangat penting dalam arus pemikiran deliberative
democracy atau demokrasi musawarah. Pemikiran demokrasi musyawarah muncul
antara lain terdorong oleh tingginya tingkat apatisme politik di Barat yang terlihat
dengan rendahnya tingkat pemilih (hanya berkisar 50 - 60 %). Besarnya kelompok yang
tidak puas atau tidak merasa perlu terlibat dalam proses politik perwakilan
menghawatirkan banyak pemikir Barat yang lalu datang dengan konsep deliberative
democracy.
Di Indonesia saat ini penggunaan kata partisipasi (politik) lebih sering mengacu pada
dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang sudah dibuat oleh
para pemimpin politik dan pemerintahan. Misalnya ungkapan pemimpin "Saya
mengharapkan partispasi masyarakat untuk menghemat BBM dengan membatasi
penggunaan listrik di rumah masihng-masing". Sebaliknya jarang kita mendengar
ungkapan yang menempatkan warga sebagai aktor utama dalam pembuatan keputusan.
(https://id.m.wikipedia.org/wiki/Partisipasi_politik)
Lembaga yang ikut berpartisipasi dalam politik di Indonesia :
 Pemerintah : Pusat (Presiden, Menteri), Provinsi, Kab/Kota/Desa
 Lembaga-lembaga Negara : DPR, DPRD, Pengadilan
 Partai Politik

3
 Kelompok Kepentingan (Organisasi Perempuan)

2.3 KEHADIRAN DALAM POLITIK

Aturan tentang kewajiban kuota 30 persen bagi caleg perempuan adalah salah
satu capaian penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia pascareformasi. Aturan
tersebut tertuang dalam sejumlah UU, yakni UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai
Politik, UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, UU No. 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR-DPRD yang di dalamnya juga memuat aturan terkait Pemilu tahun 2009.
UU No. 2 Tahun 2008 mengamanahkan pada parpol untuk menyertakan keterwakilan
perempuan minimal 30 dalam pendirian maupun kepengurusan di tingkat pusat. Angka
30 persen ini didasarkan pada hasil penelitian PBB yang menyatakan bahwa jumlah
minimum 30 persen memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak
pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga publik.
Kebijakan affirmative 30% bukanlah sebuah tujuan akhir, ini hanyalah sarana
untuk mencapai misi yang lebih besar yaitu masyarakat yang demokratis. Tindakan ini
bagaimanapun masih sangat diperlukan dan ditingkatkan dalam rangka memulihkan
hak-hak politik perempuan sebagai bagian dari transformasi sosial yang merupakan
komponen penting dalam transformasi demokrasi itu sendiri. Politik, jelas merupakan
alat sosial yang paling logis dalam menciptakan ruang kesempatan dan wewenang.
dengan mendorong perempuan memasuki wilayah pengambilan kebijakan, maka
konstitusi dan legislasi kita akan semakin adil, setara dan ramah terhadap kepentingan-
kepentingan perempuan.
Kita tidak boleh pesimis, faktanya sejarah perempuan dan politik di Indonesia
selalu diwarnai oleh kejutan. Pasca kemerdekaan perempuan Indonesia telah mencapai
tingkatan-tingkatan politik yang lebih maju dibanding banyak negara lain. Hak pilih
perempuan sudah diakui sejak tahun 1945 dan bahkan pada masa revolusi kita sudah
memiliki menteri perempuan. Kondisi fluktuatif politik perempuan di Indonesia tak
dapat dilepaskan dari proses demokrasinya yang tidak melalui cara-cara bertahap
(gradual) melainkan melalui lompatan-lompatan (leaps) yang terkadang juga dramatis
(Blackburn, 2004).
Tahun ini kita memasuki tahun politik, partai-partai politik akan mengajukan
bakal caleg DPR, DPD dan DPRD yang akan bertarung dalam pemilu mendatang. Pada
kesempatan ini saya ingin mengajak sekaligus mendorong kepada para perempuan yang
memiliki gagasan dan kompetensi agar jangan ragu dan takut untuk memasuki politik
formal (yang maskulin ini). Kedua, partai politik sebagai instrumen kaderisasi juga
harus berkomitmen dalam menerapkan tindakan affirmative yang tidak hanya menjadi
tindakan prosedural sekedar mengejar angka 30%. Dibutuhkan juga perlindungan lebih
serta peningkatan kualitas calon-calon legislatifnya agar dapat memperbesar peluang
keterpilihan caleg-caleg perempuannya.
Terakhir, saya juga berharap agar pemerintah dapat melakukan terobosan agar isu
perempuan tidak melulu dilihat pada persoalan kesejahteraan (welfare) . Perlu dilakukan
upaya-upaya yang signifikan terhadap pemberdayaan politik perempuan serta
perwujudan keadilan bagi perempuan sebagai arus utama program pemberdayaan
perempuan. Kehadiran negara dalam penyelenggaraan pendidikan politik bagi
perempuan adalah sebuah keniscayaan.

4
Kita tak lagi berhadapan dengan rezim yang otoriter sebagaimana dilakukan gerakan
Las Madres de Plaza de Mayo. Tetapi bukan berarti tantangan kita menjadi lebih
mudah. Para perempuan harus bekerja dua kali lipat karena isu perempuan, politik dan
pengambilan keputusan belum menjadi arus utama dari fokus gerakan perempuan. Jalan
masih akan panjang, tetapi sebagai tahun politik, sekarang adalah momentum emas bagi
politik perempuan di republik ini.

UU No. 10 Tahun 2008 mewajibkan parpol untuk menyertakan 30 persen


keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat pusat. Syarat tersebut harus
dipenuhi parpol agar dapat ikut serta dalam Pemilu. Peraturan lainnya terkait
keterwakilan perempuan tertuang dalam UU No. 10 Tahun 2008 Pasal ayat 2 yang
mengatur tentang penerapan zipper system, yakni setiap 3 bakal calon legislatif,
terdapat minimal satu bacaleg perempuan.
Kehadiran perempuan di ranah politik praktis yang dibuktikan dengan
keterwakilan perempuan di parlemen menjadi syarat mutlak bagi terciptanya kultur
pengambilan kebijakan publik yang ramah dan sensitif pada kepentingan perempuan.
Tanpa keterwakilan perempuan di parlemen dalam jumlah yang memadai,
kecenderungan untuk menempatkan kepentingan laki-laki sebagai pusat dari
pengambilan kebijakan akan sulit dibendung.
Rendahnya keterwakilan perempuan di ranah politik dapat dijelaskan ke dalam
setidaknya dua pembacaan. Pertama, masih mengakar kuatnya paradigma patriarki di
sebagian besar masyarakat Indonesia. Pola pikir patriarki cenderung menempatkan
perempuan di bawah kekuasaan laki-laki. Perempuan dicitrakan sekaligus diposisikan
sebagai pihak yang tidak memiliki otonomi dan kemandirian di semua bidang, termasuk
politik.
Praktik politik patriarkis ini tumbuh subur dan cenderung ditanggapi secara
permisif lantaran dilatari oleh sejumlah hal. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia,
patriarkisme kadung menjadi tradisi dan budaya yang diwariskan turun-temurun, lalu
dianggap sebagai sesuatu yang wajar belaka. Bahkan, perempuan yang nyaris selalu
menjadi pihak pesakitan alias korban atas budaya patriarki tersebut pun lebih sering
hanya menerimanya sebagai kodrat.Budaya patriarki kian mendapat pembenarannya
ketika penafsiran ajaran agama pun dalam banyak hal lebih berpihak pada kepentingan
laki-laki.
Kelindan antara tradisi-budaya dan penafsiran agama inilah yang
memungkinkan patriarkisme langgeng dan mewarnai hampir seluruh ranah kehidupan
masyarakat Indonesia, tidak terkecuali ranah politik. Kedua, institusi politik pada
umumnya tidak benar-benar memiliki komitmen penuh pada pemberdayaan perempuan.
Misalnya, dalam hal pengajuan bakal calon legislatif perempuan oleh parpol yang
kerapkali hanya dilakukan demi memenuhi persyaratan pemilu. Selama ini, nyaris tidak
ada langkah berarti yang menunjukkan komitmen parpol pada pemberdayaan politik
perempuan.
Di level rekrutmen anggota dan kaderisasi, perempuan tetap masih menjadi
pilihan kedua bagi parpol. Pada umumnya, parpol masih kurang yakin perempuan
mampu menjadi vote getter dan menaikkan elektabilitas parpol. Asumsi ini tentu
berkaitan dengan keterbatasan perempuan dalam kapital, baik finansial maupun sosial.
Rantai marjinalisasi yang terus berulang inilah yang menjadikan perempuan cenderung
tidak memiliki kemandirian politik. Dalam panggung politik baik nasional maupun

5
lokal, perempuan lebih sering diposisikan sebagai objek, alih-alih subjek. Alhasil,
partisipasi politik perempuan pun cenderung rendah.

Menurut Siti Musdah Mulia (2010), rendahnya partisipasi politik perempuan


juga dilatari oleh adanya pemahaman dikotomistik tentang ruang publik dan ruang
domestik. Bagi sebagian besar perempuan, terutama di level akar rumput dan pedesaan
di mana mayoritas perempuan hidup, politik kerap dipersepsikan sebagai ruang publik
yang tabu bagi perempuan. Politik juga kerap diidentikkan dengan kemandirian,
kebebasan berpendapat dan agresivitas yang umumnya lekat dengan citra maskulin.

Lebih dari itu, perempuan desa pada umumnya juga belum sepenuhnya
memahami esensi demokrasi dan pentingnya pemilu sebagai salah satu sarana untuk
membangun masa depan Indonesia yang adil, sejahtera dan demokratis.
(demokratis.https://m.detik.com/news/kolom/4174432/keterwakilan-perempuan-dalam-
politik)

2.4 PELUANG DALAM POLITIK

Peluang bagi perempuan untuk masuk ke arena politik praktis selangkah lebih
maju dibandingkan sebelumnya, dapat dilihat dari ketentuan Pasal 53 dan Pasal 55
Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 (Undang-Undang tentang Pemilihan Anggota
DPR, DPD, dan DPRD yang baru. Dalam Pasal 53 ditentukan bahwa daftar bakal calon
membuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan, dan dalam Pasal 55 ayat 2
menentukan bahwa dalam daftar bakal calon yang dimaksud itu, setiap tiga bakal calon
di dalamnya terapat sekurang-kurangnya satu bakal calon perempuan. Pasl ini
menunjukkan adanya peluang yang cukup besar bagi perempuan, asalkan Partai Politik
engan konsekuen dan betul-betul mempunyai komitmen melaksanakan amanat yang
terkandung didalamnya.
Dalam Undang-Undang Partai Politik yang baru, yaitu Undang-Undang No. 2
Tahun 2008 merumuskan dengan lebih tegas daru undang-undang sebelumnya, dan
lebih menjamin keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai. Hal tersebut
ditegaskan dalam Pasal 2 ayat 5 yang menentukan sebagai berikut: “Kepengurusan
Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud dalam ayat 3, disusun dengan
menyertakan paling rendah 30% keterwakilan perempuan.” Dalam pasal 20 juga
ditentukan bahwa : “Kepengurusan Partai Politik tingkat propinsi dan kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan
memperhatikan keterwakilan perempuan rendah 30% yang diatur dalam AD dan ART
Partai Politik masing-masing.
Jika diperhatikan dengan cermat mulai dari Konsitusi, GBHN, Proponas sampai
dengan perundang-undangan di bawahnya sebagaimana telah dipaparkan di atas, dapat
dikatakan bahwa secara normatif peluang bagi perempuan untuk memasuki ranah
publuk, khusunya di bidang politik semakin meningkat. Yang menjadi pertanyaan,
apakah peluang yang cukup besar itu sudah mampu diisi oleh kaum perempuan sendiri?
Dalam kenyataannya ternyata tidak begitu mudah bagi kaum perempuan untuk mengisi
peluang yang telah tersedia itu. Apa yang menjadi penghambtnya? Pertayaan inilah
yang akan dibahas dalam uraian berikutnya, namun sebelumnya, perlu terlebih dahulu
dikemukakan seberapa besar peluang yang telah dapat dicapai dari waktu ke waktu.

6
Walaupun kesempatan atau peluang sebenarnya sudah terbuka lebar bagi kaum
perempuan untuk terjun keduniapolitik, akan tetapi dalam kenyataannya, masih sangat
sedikit perempuan yang terjun kea rah politik dan ikut dalam pengambilan keputusan
terhadap kebijakan publik. Sebagai gambar, persebtase keterwakilan perempuan dalam
keanggotaan legislatif dari perioda dapat dilihat dalam table di bawah ini:

Persentase Kertewakilan Perempuan


Dalam Keanggotaan Lembaga Legislatif ( DPR-RI)
Dari Tahun 1971 – 2009

Periode Tahun Keterlibatan Perempuan (%) Keterlibatan laki-laki (%)


1971 – 1977 7,8 92,2
1977 – 1982 6,3 93,7
1982 – 1987 8,3 91,7
1987 – 1992 13 87
1992 – 1997 12,5 87,5
1997 – 1999 10,8 89,2
1999 – 2004 9 91
2004 – 2009 11,8 88,2
Sumber : Riniti, 2007

Selain ketertiban perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,


pada Pemilu 2004, sebanyak 27 orang (21,1%) dari jumlah 128 Dewan Perwakilan
Daerah adalah perempuan. Pada tingkat provinsi, keterwakilan perempuan mencapai
10% (188 dari jumlah 1850), dan ditingkat kabupaten/kota hanya mencapai 8% (1090
dari jumlah 13125).
Di Provinsi Bali sendiri, keterlibatan perempuan di DPRD 1 hanya berkisar 1-5
orang dari tahun 1971 – sekarang. Secara rinci, jumlah perempuan yang terlibat sebagai
anggota dewan dapat dilihat dalam table di bawah ini.

Jumlah Perempuan yang Terlibat sebagai Anggota DPRD I


Di Provinsi Bali dari tahun 1971 sampai sekarang

Periode Tahunan Anggota DPRD Bali Keterwakilan Perempuan


1971 – 1977 45 2
1977 – 1982 45 2
1982 – 1987 45 4
1987 – 1992 45 5
1992 – 1997 45 5
1997 – 1999 45 5
1999 – 2004 55 1 (PAW)
2004 – 2009 55 4
Sumber : Riniti, 2007

Dalam seleksi KPUD provinsi, dan kabupaten/kota se Bali (kecuali


Kelungkung) baru-baru ini (Agustus-September 2008), keterwakilan perempuan
mencapai 11 bulan orang (Agustus-September 2008), keterwakilan perempuan
mencapai 11 orang (24, 5%) Angka-angka tersebut di atas menunjukan bahwa

7
kesenjangan gendar masih cukup besar di bidang politik Kenyataan yang cukup menarik
dari angka angka tersebut di atas adalah bahwa keterlibatan perempuan di tingkat pusat
ternyata lebih tinggi dibandingkan di daerah, dan di daerah provinsi lebih tinggi
dibandingkan di tingkat kabupaten/kota. (11,2% : 10% : 8%).

2.5 PERMASALAHAN DALAM POLITIK

Rendahnya keterlibatan perempuan dibidang politik sampai saat ini tidak


terlepas dari adanya berbagai hambatan. Pada garis besarnya, hambatan tersebut berasal
dari luar (eksternal) maupun dari dalam (internal) perempuan itu sendiri. Terkait dengan
faktor ekternal, dalam booklet yang dikeluarkan oleh Yayasan Internasional untuk
Sistem Pemilu Tahun 2001 dikemukaakan adanya tiga faktor utama yang memiliki
pengaruh paling signifikan terhadap keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga
yang anggotanya dipilih, yaitu : 1) sistem Pemilu, 2) Perana dari Partai Politik, 3)
penerimaan kultural.
Sitem pemilu ada banyak jenisnya, antara lain sitem pluralisme/mayoritas, sitem
representative (sistem perwakilan berimbang), juga sistem proporsional. Berdasarkan
catatan Pippa Norris tentang Keterwakilan Perempuan dan sistem pemilu, dalam
Insiklopidia Pemilu, tercatat bahwa perbandingan rata-rata keterwakilan perempuan
dalam berbagai sistem Pemilu tersebut adalah sebagai berikut : Sistem
pluralisme/mayoritas (10,8 %), Sistem campuran dan seni proporsionalisme(15,1%),
dan sistem Representasi Proporsional mencapai 19,8%. Sistem campuran dan semi
proporsionalisme ( 15,1%), dan sistem Representasi Proposional mencapai 19,8%. (Ayu
Nantri, tt). Berdasarkan angka-angka tersebut dan pendapatan dari ilmuwan politik
bahwa sistem representattif Proporsional memberikan kesempatan terbaik bagi
perempuan untuk keterwakilnya dalam badan legislatif.
Partai Politik tidak kalah pentingnya dalam penentuannya dalam penentuan
tingkat keterwakilan perempaun pada lembaga legislatif. Terkait dengan masalah partai
politik, faktor-faktor yang berpengaruh antara lain struktur organisasinya, misalnya
struktur kepengurusannya apakah memperhatikan adanya perempuan, atauran partainya
apakah memungkinkan bagi perempuan untuk masuk sebagai anggota ataupun pengurus
partai, ideology partainya apakah menerima idiologi gender, dan aktifitas partainya
apakah melibatkan perempuan untuk ikut berpartisipasi.
Faktor yang ketiga adalah kultur masyarakat, apakah cenderung menerima
ataukah menolak keterwakilan perempuan di bidang politik. Terkait dengan faktor yang
terakhir ini, umumnya kondisi sosial budaya masyarakat belum sepenuhnya dapat
menerima keterlibatan perempuan dalam politik, karena selama ini masih ada kesan
bahwa persoalan politik tersebut merupakan urusan laki-laki, karena politik merupakan
arena keras dan “permainan kotor” yang dianggapnya tidak cocok dengan karakter
perempuan. (Astiti, tt)
Selain faktor-faktor tersebut diatas yang berasal dari luar, faktor-faktor dari
dalam diri perempauan juga tidak kalah pentingnya mempengaruhi rendahnya
keterwakilan perempuan dalam bidang politik. Tidak dapat di pungkiri bahwa SDM
perempuan di bidang politik memang masih rendah karena kurang pendidikan politik
bagi perempuan. Kurangnya pengalaman dan partisipasi perempuan dalam
berogranisasi, karena kebanyakan perempuan lebih suka menyibukkan diri dengan
peran domenstiknya Secara umum kaum perempuan juga kurang percaya diri dan

8
kurang berani dalam pengambilan keputusan, apalagi keputusan yang terkait dengan
kebijakan public.
Dalam kedudukannya yang sub-ordinatif, perempuan umumnya menunjukan
sikap yang sub-asertif , yaitu sikap ragu-ragu dalam menge;uarkan pendapat, kurang
berani mengamil resiko, sehingga lebih banyak menunggu dan mengantungkan diri
kepada kaum laki-laki dalam mengamil keputusan sehingga terkesan ikut-ikutan.”
Misalnya terserah ayah,terserah suami,terserah pimpinan, atau hanya ikut-ikutan
teman”. Sikap semacam itu menunjukan bahwa perempuan belum bisa mandiri dalam
pengambilan keputusan. Sikap demikian, sudah tentunya menghambat perempuan untuk
maju memerankan hak politikny. (Astiti, tt)
Dengan melihat kenyataan sekarang sebagaimana telah dipaparkan di atas, maka
ke depan diharapkan lebih banyak perempuan perempuan yang merasa terpanggil untuk
masuk ke arena politik. Untuk itu perlu mempersiapkan dan meninkatkan SDM
perempuan dalam bidang polotik. Terkait dengan hal ini tentu saja peranan partai politik
sangat menetukan dalam memberikan pendidikan politik bagi perempuan sesuai dengan
ketentuan Pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Partai Politik (Undang-Undang No. 2 Tahun
2008 yang menetukan :
“Partai Politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai dengan
ruang lingkup tanggungjawabnya dengan memperhatikan keadilan dan
kesentaraan gender …………..”
Selain itu, penentuan kuota minimal 30% bagi perempuan harus dipahami oleh semua
pihak sebagai tindakan sementara dan di dalamnya mengandung keberpihakan terhadap
perempuan sebagai ditentukan dalam Pasal 4 ayat 1 Konvensi Wanita sebagai berikut :
Pembuatan peraturan-peraturan khusus sementara oleh Negara-negara peserta yang
ditunjukan untuk mempercepat persamaan “de facto” antara pria dan wanita, tidak
danggap seperti diskriminasi sepert ditegskan dalam Konvensi yang sekarang ini dan
sama sekali tidak harus membawa konsenkuensi pemeliharaan norma-norma yang tak
sama atau terpisah, maka peraturan-peraturan ini dihentikan jika tujuan persamaan
kesempatan dan perlakuan telah tercapai.

9
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Kebijakan affirmative 30% bukanlah sebuah tujuan akhir, ini hanyalah sarana
untuk mencapai misi yang lebih besar yaitu masyarakat yang demokratis. Tindakan ini
bagaimanapun masih sangat diperlukan dan ditingkatkan dalam rangka memulihkan
hak-hak politik perempuan sebagai bagian dari transformasi sosial yang merupakan
komponen penting dalam transformasi demokrasi itu sendiri. Politik, jelas merupakan
alat sosial yang paling logis dalam menciptakan ruang kesempatan dan wewenang.
dengan mendorong perempuan memasuki wilayah pengambilan kebijakan, maka
konstitusi dan legislasi kita akan semakin adil, setara dan ramah terhadap kepentingan-
kepentingan perempuan. Untuk itu, diperlukan berbagai upaya untuk memperjuangkan
kesetaraan gender dalam kehidupan politik, yang nantinya diharapkan akan memberikan
perubahan pandangan tentang budaya patriakhi bagi masyarakat, sehingga kemungkinan
terpilihnya peminpin politik perempuan akan sama dengan kemungkinan terpilihnya
peminpin politik laki-laki. Sehingga kesetaraan gender dalam dunia perpolitikan akan
semakin maju dan efek sampingnya untuk kemajuan usaha pemberantasan korupsi bisa
segera dirasakan.

3.2 SARAN

Dalam upaya kesetaran gender di Indonesia, khususnya dalam dunia politik,


perlu adanya upaya yang sinergis dan berkesinambungan, dengan melibatkan semua
pihak yang menjadi pelaku politik khususnya partai politik, organisasi kemasyarakatan
dan pemerintah melalui instansi terkait dalam penyelenggaraan pendidikan politik bagi
perempuan.

10
DAFTAR PUSTAKA

politik.https://id.m.wikipedia.org/wiki/Politik

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Partisipasi_politik

demokratis.https://m.detik.com/news/kolom/4174432/keterwakilan-perempuan-dalam-
politik

11

Anda mungkin juga menyukai