RFMO Tuna
RFMO Tuna
Rachma Indriyani
ABSTRACT
One of the classic problems facing fisheries resources in the high seas is the old
dictum “freedom of the seas’, whereby global fisheries resources are considered free
to all States. However the application of this freedom has become increasingly
dangerous as the exhaustible nature of fish stocks has been realised. In 2011, the
United Nations Food and Agriculture Organisation (FAO) reported that only 15% of
global marine fish stocks were estimated to be underexploited and moderately
exploited. In this challenging situation, Regional Fisheries Management Organization
(RFMO) appeared as a mechanism through which States that could cooperate in the
interest of conserving and managing marine living resources. As an archipelagic
State, Indonesia has been joint to some of RFMO. How such RFMOs can lead by
their international authorities in managing quotas allocation to all member countries
and whether the implication from the existence of Indonesia through its membership
are main points of this article.
1. PENDAHULUAN
Sumber daya perikanan adalah salah satu primadona perekonomian bagi setiap
negara yang memiliki wilayah laut. Sejarah panjang kodifikasi Konvensi Hukum Laut
1982 (the United Nations Convention on The Law of The Sea) pun tak luput dari
kepentingan nasional setiap negara akan sumber daya perikanan dan tuntutan akan
batas laut teritorial. Berkaitan dengan hal tersebut, telah jelas diatur di dalam
Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) bahwa setiap negara pantai
berkedaulatan penuh hingga laut teritorialnya dan memiliki hak berdaulat di Landas
Kontinen, Zona Tambahan serta pengelolaan dan konservasi sumber daya alam di
Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), di luar semua zona tersebut ialah Laut Lepas (high
seas).
1
Disebutkan dalam Konvensi Hukum Laut 1982 bahwa laut lepas merupakan
zona maritim yang berada di luar yurisdiksi nasional. Kebebasan di laut lepas sebagai
perwujudan doktrin dari Grotius “mare liberium” yang menekankan bahwa laut
adalah terbuka untuk semua bangsa dan tidak seorang pun yang berhak melarang
penangkapan ikan di laut.1 Dikarenakan sifat alamiah laut yang begitu dinamis,
potensi persoalan kewenangan ataupun hak untuk bertindak kerapkali muncul
manakala terdapat sumber daya perikanan, yang merupakan “transzonal species”
atau jenis ikan yang bermigrasi jauh dari ZEE suatu negara menuju Laut Lepas (high
seas).
2. PEMBAHASAN
1
Melda Kamil Adriano, “Kepentingan Indonesia dalam Pengelolaan Perikanan Laut Bebas”, Jurnal
Hukum Internasional, Volume 1 No. 2, 2005, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional, Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, hlm. 503-504
2
Aturan-aturan tersebut antara lain mencakup penggunaan alat penangkapan ikan, metode
penangkapan ikan, musim yang terbuka untuk penangkapan ikan, moratorium, serta pembebasan
ukuran ikan yang ditangkap
2
perkembangan populasi ikan, semakin tingginya tuntutan dalam negeri suatu
negara yang mengalami over-capacity sehingga mau tidak mau harus
melebarkan zona tangkapan ikan hingga ke laut lepas.3
Pasal 87 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur tentang enam
jenis kebebasan di laut lepas yakni : (a) kebebasan berlayar; (b) kebebasan
untuk melakukan penerbangan di atas laut lepas; (c) kebebasan untuk
memasang kabel dan saluran-saluran pipa di bawah permukaan laut dengan
memperhatikan Bab VI; (d) kebebasan membangun pulau-pulau buatan dan
instalasi-instalasi yang diizinkan menurut hukum internasional dengan
memperhatikan Bab VI; (e) kebebasan menangkap ikan dengan
memperhatikan syarat-syarat yang ditetapkan dalam Bagian 2; dan (f)
kebebasan untuk melakukan penelitian ilmiah dengan memperhatikan Bab VI
dan XIII.
Terutama dalam hal kegiatan perikanan di laut lepas, Pasal 116 mengatur
bahwa semua negara mempunyai hak bagi warga negaranya untuk melakukan
penangkapan ikan di laut lepas dengan tunduk pada : (a) kewajibannya
berdasarkan perjanjian internasional yang diadakan oleh suatu negara dengan
negara lainnya; (b) hak-hak dan kewajiban serta kepentingan negara pantai
yang ditetapkan dalam Pasal 63 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (1) Konvensi, dan
(c) ketentuan-ketentuan mengenai konservasi dan pengelolaan sumber daya
perikanan sebagaimana yang ditetapkan dalam Konvensi.
3
Trade and Agriculture Directorate and Fisheries Committee, 2014, Fishing for Development-
Background paper for session 5, The Role of Fisheries Management Organisations (RFMOs), hlm.4
3
Kewajiban untuk kerjasama tersebut diperkuat dengan ketentuan di dalam
Pasal 118 yang menyatakan :
Sebuah kapal laut yang berlayar di perairan teritorial dari berbagai negara
dan laut bebas, harus memiliki kebangsaan kapal. Kebangsaan kapal tersebut
seakan-akan adalah pertanda bahwa kapal merupakan bagian dari wilayah
suatu negara itu atau seakan-akan seseorang warga dari negara itu. Di atas
kapal tidak berlaku hukum negara dimana kapal itu berada, namun yang
berlaku adalah hukum negara dari mana kapal tersebut mengibarkan
benderanya.4
4
Wartini Soegeng, 2003, Kebangsaan Kapal Indonesia, PT Refika Aditama : Bandung, hlm.7
4
konservasi di laut lepas. Disamping itu, tidak ada aturan rinci mengenai hak
dan kewajiban negara yang memanfaatkan jenis ikan beruaya jauh dan
beruaya terbatas, hal demikian dapat berpotensi menyulut sengketa antara
negara pantai dengan negara pantai maupun antara negara pantai dengan
negara penangkap ikan.
Status RFMOs yang merupakan amanat dari Konvensi Hukum Laut ialah
sebagai organisasi internasional. Organisasi internasional adalah organisasi
antar pemerintah yang diakui sebagai subjek hukum internasional dan
mempunyai kapasitas untuk membuat perjanjian internasional.5 Dalam
mengkaji sebuah organisasi internasional, perlu dilihat tiga aspek penting
yakni aspek filosofis yang menyangkut nilai-nilai historis dan tema pokok;
aspek administratif yang bersinggungan dengan tingkat personalitas dan
kapasitas; serta aspek hukum yang menitikberatkan pada masalah
konstitusional dan prosedural antara lain seperti wewenang dan pembatasan
baik terhadap organisasi itu sendiri maupun terhadap anggotanya.6
5
Pasal 1 UU No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012).
6
Sumaryo Suryokusumo, 1990, Hukum Organisasi Internasional, UI-Press : Jakarta, hlm. 9
5
Ketentuan konservasi dan pengelolaan perikanan sebagaimana dimaksud
dalam Konvensi Hukum Laut 1982, diadopsi dan diatur lebih rinci di dalam
The United Nations Agreement on Management of Straddling and Highly
Migratory Fish Stocks 1995 atau dikenal dengan Persetujuan PBB
(Perserikatan Bangsa-Bangsa) tentang Persediaan Ikan 1995, yang memuat
kewajiban-kewajiban yang harus ditaati oleh negara peserta persetujuan.7 Pada
Pasal 5 diatur bahwa negara pantai dan negara yang melakukan penangkapan
ikan di laut lepas diwajibkan untuk :
7
Dikdik Mohamad Sodik, 2011, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia, PT
Refika Aditama, Bandung, hlm. 145
6
(i) Memperhatikan kepentingan nelayan pantai dan subsistensi;
(j) Mengumpulkan dan memberikan data yang lengkap dan akurat mengenai
kegiatan-kegiatan perikanan;
Ketentuan ayat (4) lebih lanjut mengatur tentang pemberian hak akses
kepada negara-negara anggota ataupun negara-negara non-anggota yang telah
menyepakati penaatan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan yang
ditetapkan organisasi tersebut (cooperating non-state parties) dalam bentuk
alokasi kuota terhadap sumber daya ikan. Dengan kata lain, bagi negara-
negara non-anggota yang tidak menyepakati ketentuan, maka tidak boleh
melakukan penangkapan ikan di laut lepas.8
Satu hal yang tidak biasa dari ketentuan Persetujuan tersebut yakni pada
ketentuan Pasal 21 dimana setiap kapal yang berlayar bukan hanya tunduk
pada negara benderanya, tetapi juga dihadapkan pada resiko inspeksi oleh
8
Dikdik Mohamad Sodik, ibid, hlm. 150
7
negara-negara anggota, baik kapal milik sesama negara anggota maupun
negara bukan anggota untuk memastikan penaatan tindakan dan konservasi
yang ditetapkan. Kondisi tersebut dapat berpotensi konflik apabila dilandaskan
pada salah satu asa perjanjian yaitu “pacta tertiis nec nocent nec prosunt”9
yang berarti perjanjian tidak dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi
negara ketiga.
9
Sumaryo Suryokusumo, 2008, Hukum Perjanjian Internasional, PT Tatanusa : Jakarta, hlm.95
10
Recommended Best Practises for Regional Fisheries Management Organizations, 2007, The Royal
Institute of International Affairs, Chatham House, London, hlm. 90
8
appropriate, through the establishment of a bilateral, subregional or
regional fisheries organization or arrangement.”
Regulasi lain dari FAO yakni IPOA for Illegal, Unreported, and
Unregulated (IUU) Fishing yang memberikan definisi bagi RFMOs yakni :
“intergovernmental fisheries organisations or arrangements, as appropriate
that have the competence to establish fisheries conservation and management
measures”.11 Di dalam IPOA ini juga diatur mengenai kewajiban untuk
bekerjasama dalam mencegah, mengurangi, dan menghilangkan IUU Fishing.
Bentuk kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 9, yang berupa :
11
Pasal 6 c International of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported, Unregulated
Fishing (Rome : FAO, 2001)
9
(3) Pendekatan yang komprehensif dan terintegrasi, dengan memasukkan
faktor-faktor yang mempengaruhi penangkapan ikan. Pendekatan ini
mencakup Flag State, Port State Measures, Coastal State Measures, dan
Market Related Measures.
12
Trade and Agriculture Directorate and Fisheries Committee, 2014, Fishing forDevelopment-
Background paper for session 5, The Role of FisheriesManagement Organisations (RFMOs), hlm.12
10
pelabuhan, diskriminasi terhadap kapal dari negara-negara tertentu, hingga
pelarangan impor. Meskipun dapat digolongkan sebagai pengecualian yang
diatur dalam Pasal XX GATT,13 namun hingga saat ini masih belum ada
penyelesaian terhadap potensi konflik tersebut.14
13
Pasal XX mengatur pengecualian umum (general exeptions), yakni pengecualian-pengecualian yang
dimungkinkan untuk menanggalkan aturan-aturan atau kewajiban-kewajiban suatu negara terhadap
GATT, khususnya dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan
yang diperlukan untuk:
(a) melindungi moral masyarakat;
(b) melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, tanaman, hewan
(c) kaitannya dengan impor atau ekspor emas atau perak;
(d) perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual;
(e) produk-produk yang berasal dari hasil kerja para narapidana;
(f) perlindungan kekayaan nasional, kesenian, sejarah atau purbakala;
(g) konservasi kekayaan alam yang dapat habis;
(h) dalam kaitannya dengan adanya kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian-perjanjian
komoditi antar pemerintah
14
Cathy Roheim and Jon G. Sutinen, Trade and Marketplece Measures to Promote Sustainable Fshing
Practices, hlm. vii, diunduh dari http://ictsd.org/i/publications/11838/.
11
selayaknya memiliki mekanisme alokasi kuota secara transparan yang
disetujui oleh semua anggotanya dan tidak harus terpaksa untuk
menambahkan kuota pada stok perikanan yang sudah oversubscribed.15
Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa doktrin kebebasan laut atau
dikenal dengan ‘Mare Liberum’ yang dicetuskan oleh Hugo Grotius, kini
sudah tidak berlaku lagi di laut lepas. Mengatasnamakan konservasi, kini laut
lepas tengah memiliki zona-zonanya tersendiri yang mana sangat besar
kemungkinan terjadi kapal ikan suatu negara yang menangkap ikan di laut
lepas dikategorikan ilegal, unreported, dan unregulated jika memasuki zona
milik suatu organisasi sub-regional/regional. Sama halnya yang akan terjadi
pada negara anggota suatu organisasi sub-regional/regional yang melakukan
kegiatan perikanan di dalam zona organisasi lain dimana ia bukan merupakan
cooperating non-state parties pada organisasi tersebut.
1) Landasan Praktis
15
Recommended Best Practises for Regional Fisheries Management Organizations, hlm.4
12
Hindia dan Samudera Pasifik menjadikan wilayah laut Indonesia memiliki
sumber daya tuna yang cukup melimpah terutama Tuna Sirip Biru Selatan
(Southern Bluefin Tuna/SBT).16 Jenis ikan tersebut memiliki tempat berpijah
(spawning ground) terutama di perairan selatan Pulau Jawa. Untuk
menerapkan konservasi terhadap spesies ini, pada tanggal 10 Mei 1993 telah
dibentuk Konvensi tentang Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan beserta Komisi
yang akan menentukan kuota tangkap dan mengatur keanggotaan yakni
Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT). Selain
itu, terdapat spesies tuna lainnya seperti Atlantik Blufin Tuna yang dikelola
oleh International Commission For The Conservation of Atlantic Tuna
(ICCAT) dan Pacific Bluefin Tuna yang dikelola oleh Western and Central
Pacific Fisheries Commission (WCPFC).
2) Landasan Hukum
16 Lihat di http://www.ccsbt.org/docs/about.
13
menentukan arah tindakan yang akan diambil dan dicapai dalam urusan
internasional.17
c. Mendapatkan alokasi sumber daya perikanan untuk jenis ikan beruaya dan
beruaya terbatas
17
Nicholas Tandi Dammen, 2005, Kewenangan Perwakilan RI di Luar Negeri, Indonesian Journal of
Internasional Law, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta, hlm.710
14
e. Memperkuat posisi Indonesia dan mempertegas hak berdaulat terhadap
pengelolaan sumber daya ikan di ZEE Indonesia
3) Status Keanggotaan
18
Full member sejak 9 Juli 2007, disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2007 tentang
persetujuan pembentukan IOTC
19
Full member sejak 8 April 2008, disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 109 tahun 2007
tentang pengesahan Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (SBT)
20
Full member sejak 29 November 2013, disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2013
tentang Pengesahan Convention On The Conservation and Management of Highly Migratory Fish
Stocks in The Western and Central Pacific Ocean
21
Erni Widjajanti, Pengelolaan Perikanan Tuna Indonesia dan Peran Kerjasama Indonesia dalam
RFMO, Kementrian Kelautan dan Perikanan, disampaikan pada Seminar Nasional Hukum Laut, 2013,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta
15
(6) Menghadiri pertemuan tahunan, compliance, dan working group yang
relevan.
22
Erni Widjajanti, ibid.
23
Hasil tangkapan sampingan (bycatch) yang secara ekologis terkait dengan perikanan tuna berupa
burung laut, penyu laut, mamalia laut termasuk paus dan hiu monyet, atau bukan hiu juvenille dan hiu
dalam kondisi hamil dimana hiu tersebut harus didaratkan secara utuh
16
memindahkan hasil tangkapan dari kapal penangkap ikan ke kapal
pengangkut, diperbolehkan menurut Pasal 30 dalam peraturan ini, baik
dilakukan di laut lepas maupun di pelabuhan negara lain yang menjadi
anggota RFMO pada wilayah RFMO yang sama. Kapal yang akan melakukan
transhipment disaksikan oleh pemantau di atas kapal pengangkut ikan
(observer on board) serta kapal diwajibkan untuk mengaktifkan transmitter
Vessel Monitoring System (VMS)24 agar dapat dipantau. Apabila, suatu kapal
tidak dapat melaksanakan kepatuhan sesuai dengan persyaratan dan standar
RFMO maka tindakan kapal tersebut dapat dikategorikan dalam Illegal,
Unreported, dan Unregulated (IUU) Fishing dan selanjutnya dapat
dicantumkan dalam IUU Vessels List.
24
Merupakan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan untuk pengawasan dan pengendalian di bidang
penangkapan dan/atau pengangkutan ikan, dengan menggunakan satelit dan peralatan transmitter yang
ditempatkan pada kapal perikanan; untuk mendapatkan informasi tentang posisi kapal, kecepatan, pola
gerakan kapal dan rekaman data terdahulu maupun near real time,
17
kapal sangat bergantung pada transmitter yang wajib dihidupkan. Jika tidak
ada sanksi yang tegas, maka responsibilitas kapal perikanan untuk tujuan
konservasi dan pengelolaan perikanan sangatlah rawan, karena kapal
kemungkinan memasang atau mengaktivasi trasmitter hanya untuk memenuhi
persyaratan formal perizinan. Hal ini turut memicu maraknya illegal
transhipment maupun penggunaan bendera kapal kepada pihak lain (flags of
convenience) demi keuntungan ekonomi semata. Ketiga, kapal perikanan
Indonesia dalam sebuah RFMO dapat terancam melakukan pelanggaran di
overlaping area antara satu RFMO dengan RFMO lainnya. Disamping itu,
armada kapal Indonesia yang belum sepenuhnya dilengkapi dengan
perlengkapan untuk mencegah tertangkapnya hiu, burung laut, kura-kura
maupun spesies yang diwajibkan konservasi, maka aktifitas kapal perikanan
akan rentan diklasifikasikan sebagai IUU fishing berdasarkan ketentuan
masing-masing RFMO.
Meski demikian, keputusan Pemerintah untuk bergabung dan ambil bagian
dalam RFMOs tentunya bukan tanpa pertimbangan strategis. Sebagai negara
kepulauan, Indonesia harus bisa mengambil peluang dari keanggotaannya
dengan ikut memanfaatkan sumber daya perikanan di perairan internasional.
Data dari Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) menunjukkan selama
tahun 2008 dan 2009 merupakan ekspor tuna terbesar yakni sebesar 11.620
ton pada tahun 2008 dan 13.049 pada tahun 2009. Hal ini disebabkan
bertambahnya jumlah kapal Indonesia yang didaftarkan di IOTC, sehingga
upaya penangkapan ikan disinyalir menjadi lebih optimal karena nelayan
Indonesia dapat memanfaatkan kuota sebagai full member. Dengan
bergabungnya Indonesia ke dalam IOTC maka posisi tawar Indonesia akan
semakin kuat di dalam akses pasar perikanan tuna terutama di antara sesama
negara anggota. Berkaitan dengan spesies tuna yang ada di Samudera Hindia,
Indonesia juga merupakan daerah pemijahan jenis Southern bluefin tuna
(SBT) yang memiliki nilai yang paling tinggi. Jumlahnya yang sangat terbatas,
menyebabkan banyak pengusaha perikanan tuna menjadikan SBT sebagai
target utama penangkapan terutama oleh Taiwan, Jepang, Korea, Selandia
Baru dan Australia. Hal demikian dapat memperkokoh posisi Indonesia
18
sebagai pelaku utama perikanan dan dapat meningkatkan ekspor perikanan
nasional.25
Kuota di CCSBT
Kuota di WCPFC
a. Kuota bigeye longline
2008 2009 2010 2011 2012 2013
(satuan ton)
(satuan ton)
Hal yang tidak kalah penting dari perolehan kuota perikanan di laut lepas
yakni bagaimana keberlanjutan dari pemanfaatan sumber daya perikanan
tersebut bagi kepentingan nasional. Pasal 25B ayat (2) Undang-Undang No.
25
Mardia, 2011, Manfaat Keanggotaan Indonesia Dalam Indian Ocean Tuna Commission (IOCT),
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, hlm. 39
26
Erni Widjajanti, op.cit
19
45 Tahun 2009 tentang Perikanan mewajibkan kepada pemerintah untuk
memprioritaskan produksi dan pasokan ke dalam negeri untuk mencukupi
kebutuhan konsumsi nasional. Pasal ini merupakan kebijakan penting
mengenai “domestic obligation“ untuk memprioritaskan konsumsi protein
bagi setiap warga negara Indonesia. Mengingat keanggotaan dalam RFMOs
tidak semata-mata didasarkan pada kondisi geografis suatu negara, maka
sesungguhnya Indonesia sebagai negara pantai dan penghasil tuna merupakan
negara yang paling berkepentingan baik dari sisi sumber daya, habitat dan
perdagangan, jika dibandingkan dengan posisi ‘distance-water fishing state’,
seperti Korea misalnya, yang perairannya jauh dari Samudera Hindia ataupun
Samudera Pasifik, walaupun pada kenyataannya negara-negara tersebut sangat
berpartisipasi aktif dalam rangka untuk melindungi kepentingannya.
Keanggotaan pada suatu RFMO yang pada dasarnya bertolak dari ‘real
interest’ suatu negara, sangat mungkin keanggotaan tersebut terus bertambah
jumlahnya. Secara logika hal ini berarti akan turut berdampak pada
pemberian alokasi kuota perikanan. Anggota yang sudah bergabung akan
berbagi kuota dengan anggota yang baru terdaftar dalam RFMO. Semakin
besar catch history suatu negara maka akan semakin besar perolehan
kuotanya, di sisi lain, bisa diasumsikan kuota negara lain akan ikut berkurang
setiap kali anggota baru ikut bergabung. Kemungkinan lain, jika RFMOs
memperluas daerah penangkapannya hingga semakin jauh ke laut lepas, akan
turut berdampak pada armada kapal yang dibutuhkan akan semakin besar
dengan pemakaian bahan bakar yang semakin banyak. Sebagai negara
berkembang, dalam suatu forum RFMO Indonesia dituntut untuk siap dengan
kecukupan anggaran dan personal capacity dalam peran sertanya untuk
memanfaatkan sumber daya perikanan di laut lepas.
3. PENUTUP
20
seluruh negara anggota dan cooperating non-state parties. Problematika yang belum
dapat sepenuhnya diselesaikan oleh RFMOs yakni menjembatani ‘real interests’ guna
alokasi kuota diantara coastal states, yang secara geografis lebih dekat dengan zona
perikanan, distance water fishing states, yang merupakan negara-negara pemancing
jarak jauh, serta cooperating non-state parties. Untuk mewujudkan hak akses
perikanan yang adil proporsional serta seiris dengan tujuan konservasi dan
pengelolaan, RFMOs selayaknya memiliki mekanisme alokasi kuota yang transparan
dan penegakah hukum serta penguatan sanksi terhadap setiap negara anggotanya
yang melakukan pelanggaran.
Sebagai negara yang turut bergabung dalam CCSBT, IOTC, dan WCPFC, ,
Indonesia telah mengadopsi berbagai ketentuan RFMOs dalam peraturan perundang-
undangan nasional. Implikasinya, setiap kapal perikanan Indonesia wajib memenuhi
standar dan persyaratan yang berlaku pada masing-masing RFMOs. Melalui
keanggotaannya, Indonesia dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan
organisasi dan dapat terhindar dari sanksi embargo produk perikanan di negara
sesama anggota. Meski demikian, Indonesia perlu melaksanakan secara penuh dari
seluruh Revolusi/regulasi yang dikeluarkan oleh RFMO untuk mencegah terjadinya
tindakan yang dikategorikan dalam IUU fishing pada masing-masing RFMO.
21
REFERENSI
Cathy Roheim and Jon G. Sutinen, Trade and Marketplece Measures to Promote
Sustainable Fshing Practices, diunduh dari
http://ictsd.org/i/publications/11838/.
Erni Widjajanti, 2013, Pengelolaan Perikanan Tuna Indonesia dan Peran Kerjasama
Indonesia dalam RFMO, Kementrian Kelautan dan Perikanan, disampaikan
pada Seminar Nasional Hukum Laut, 2013, Universitas Sebelas Maret,
Surakarta
Mardia, 2011, Manfaat Keanggotaan Indonesia Dalam Indian Ocean Tuna
Commission (IOCT), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor
Melda Kamil Adriano, Kepentingan Indonesia dalam Pengelolaan Perikanan Laut
Bebas, Jurnal Hukum Internasional, Volume 1 No. 2, 2005, Lembaga
Pengkajian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Nicholas Tandi Dammen, 2005, Kewenangan Perwakilan RI di Luar Negeri,
Indonesian Journal of Internasional Law, Lembaga Pengkajian Hukum
Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta
Recommended Best Practises for Regional Fisheries Management Organizations,
2007, Chatham House, The Royal Institute of International Affairs, London
Sumaryo Suryokusumo, 1990, Hukum Organisasi Internasional, UI-Press : Jakarta
Sumaryo Suryokusumo, 2008, Hukum Perjanjian Internasional, PT Tatanusa :Jakarta
Trade and Agriculture Directorate and Fisheries Committee, 2014, Fishing for
Development-Background paper for session 5, The Role of Fisheries
Management Organisations (RFMOs)
Wartini Soegeng, 2003, Kebangsaan Kapal Indonesia, PT Refika Aditama : Bandung
Regulasi Internasional
22
FAO International Plan of Action (IPOA)
Regulasi Nasional
23
24