Anda di halaman 1dari 24

Otoritas Internasional Dalam Konservasi dan Pengelolaan Sumber

Daya Perikanan di Laut Lepas Melalui Forum Regional Fisheries


Management Organization (RFMO) dan Implikasi Bagi
Keanggotaan Indonesia”

Rachma Indriyani

ABSTRACT

One of the classic problems facing fisheries resources in the high seas is the old
dictum “freedom of the seas’, whereby global fisheries resources are considered free
to all States. However the application of this freedom has become increasingly
dangerous as the exhaustible nature of fish stocks has been realised. In 2011, the
United Nations Food and Agriculture Organisation (FAO) reported that only 15% of
global marine fish stocks were estimated to be underexploited and moderately
exploited. In this challenging situation, Regional Fisheries Management Organization
(RFMO) appeared as a mechanism through which States that could cooperate in the
interest of conserving and managing marine living resources. As an archipelagic
State, Indonesia has been joint to some of RFMO. How such RFMOs can lead by
their international authorities in managing quotas allocation to all member countries
and whether the implication from the existence of Indonesia through its membership
are main points of this article.

Keywords : RFMO, high seas, fisheries resources, Indonesia membership

1. PENDAHULUAN

Sumber daya perikanan adalah salah satu primadona perekonomian bagi setiap
negara yang memiliki wilayah laut. Sejarah panjang kodifikasi Konvensi Hukum Laut
1982 (the United Nations Convention on The Law of The Sea) pun tak luput dari
kepentingan nasional setiap negara akan sumber daya perikanan dan tuntutan akan
batas laut teritorial. Berkaitan dengan hal tersebut, telah jelas diatur di dalam
Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) bahwa setiap negara pantai
berkedaulatan penuh hingga laut teritorialnya dan memiliki hak berdaulat di Landas
Kontinen, Zona Tambahan serta pengelolaan dan konservasi sumber daya alam di
Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), di luar semua zona tersebut ialah Laut Lepas (high
seas).

1
Disebutkan dalam Konvensi Hukum Laut 1982 bahwa laut lepas merupakan
zona maritim yang berada di luar yurisdiksi nasional. Kebebasan di laut lepas sebagai
perwujudan doktrin dari Grotius “mare liberium” yang menekankan bahwa laut
adalah terbuka untuk semua bangsa dan tidak seorang pun yang berhak melarang
penangkapan ikan di laut.1 Dikarenakan sifat alamiah laut yang begitu dinamis,
potensi persoalan kewenangan ataupun hak untuk bertindak kerapkali muncul
manakala terdapat sumber daya perikanan, yang merupakan “transzonal species”
atau jenis ikan yang bermigrasi jauh dari ZEE suatu negara menuju Laut Lepas (high
seas).

Kepentingan bersama antar negara dalam pengelolaan perikanan lintas batas


tersebut mendorong terbentuknya organisasi perikanan regional yang lebih dikenal
dengan istilah Regional Fisheries Management Organization (RFMO). Saat ini di
setiap samudera sudah ada sejumlah RFMO yang mana aturan-aturan di dalamnya
mengikat terhadap setiap negara yang menjadi anggotanya. Berbagai aturan2 tersebut
dimaksudkan untuk ketertiban dan keharmonisan antara peraturan regional dan
negara-negara. Legitimasi masyarakat internasional membawa RFMOs menjadi
institusi dunia yang memiliki otoritas sah dalam menentukan kebijakan konservasi
dan pengelolaan perikanan di laut lepas.

2. PEMBAHASAN

A. Rezim Hukum Laut Lepas

Invasi kegiatan perikanan di laut lepas ditenggarai semakin meningkat


dalam beberapa dekade terakhir. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor
diantaranya yakni teknologi pelayaran yang semakin mutakhir (seperti
satellite information) sehingga memudahkan penangkapan ikan di laut lepas
yang berdampak pada tidak seimbangnya antara penangkapan dan

1
Melda Kamil Adriano, “Kepentingan Indonesia dalam Pengelolaan Perikanan Laut Bebas”, Jurnal
Hukum Internasional, Volume 1 No. 2, 2005, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional, Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, hlm. 503-504
2
Aturan-aturan tersebut antara lain mencakup penggunaan alat penangkapan ikan, metode
penangkapan ikan, musim yang terbuka untuk penangkapan ikan, moratorium, serta pembebasan
ukuran ikan yang ditangkap

2
perkembangan populasi ikan, semakin tingginya tuntutan dalam negeri suatu
negara yang mengalami over-capacity sehingga mau tidak mau harus
melebarkan zona tangkapan ikan hingga ke laut lepas.3

Pasal 87 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur tentang enam
jenis kebebasan di laut lepas yakni : (a) kebebasan berlayar; (b) kebebasan
untuk melakukan penerbangan di atas laut lepas; (c) kebebasan untuk
memasang kabel dan saluran-saluran pipa di bawah permukaan laut dengan
memperhatikan Bab VI; (d) kebebasan membangun pulau-pulau buatan dan
instalasi-instalasi yang diizinkan menurut hukum internasional dengan
memperhatikan Bab VI; (e) kebebasan menangkap ikan dengan
memperhatikan syarat-syarat yang ditetapkan dalam Bagian 2; dan (f)
kebebasan untuk melakukan penelitian ilmiah dengan memperhatikan Bab VI
dan XIII.

Terutama dalam hal kegiatan perikanan di laut lepas, Pasal 116 mengatur
bahwa semua negara mempunyai hak bagi warga negaranya untuk melakukan
penangkapan ikan di laut lepas dengan tunduk pada : (a) kewajibannya
berdasarkan perjanjian internasional yang diadakan oleh suatu negara dengan
negara lainnya; (b) hak-hak dan kewajiban serta kepentingan negara pantai
yang ditetapkan dalam Pasal 63 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (1) Konvensi, dan
(c) ketentuan-ketentuan mengenai konservasi dan pengelolaan sumber daya
perikanan sebagaimana yang ditetapkan dalam Konvensi.

Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dilihat bahwa kebebasan menangkap


ikan di laut lepas tidak dapat semata-mata ditafsirkan bebas dan mutlak,
karena harus sejalan dengan kewajiban konservasi jenis dan persediaan ikan,
khususnya ikan beruaya terbatas dan beruaya jauh sebagaimana diatur di
dalam Pasal 63 dan Pasal 64 Konvensi. Masih menurut kedua pasal tersebut,
bahwa negara-negara pantai harus bekerjasama dalam organisasi sub-regional
maupun regional dalam mengeksplorasi jenis ikan “transzonal species”.

3
Trade and Agriculture Directorate and Fisheries Committee, 2014, Fishing for Development-
Background paper for session 5, The Role of Fisheries Management Organisations (RFMOs), hlm.4

3
Kewajiban untuk kerjasama tersebut diperkuat dengan ketentuan di dalam
Pasal 118 yang menyatakan :

“States shall cooperate with each other in the conservation and


management of living resources in the area of the high seas. States
whose nationals exploit identical living resources, off different living
resources in the same area, shall enter into negotiations with a view to
taking the measures necessary for the conservation of the living
resources concerned. They shall, as appropriate, cooperate to
establish subregional or regional fisheries organizations to this end.”

Kewajiban kerjasama bagi setiap negara dalam konservasi dan eksploitasi


perikanan sebagaimana diutarakan dalam pasal-pasal di atas, menekankan
peran utama negara terhadap setiap warga negaranya yang melakukan aktifitas
perikanan di laut lepas, yang mana hal ini berarti yurisdiksi negara akan terus
berlaku bagi setiap kapal yang mengibarkan bendera negara tersebut.
Dikarenakan laut lepas tidak tunduk pada yurisdiksi negara manapun, maka
untuk melindungi kepentingan publik, Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur
setiap kapal perikanan untuk memperhatikan tindakan konservasi perikanan di
laut lepas. Pasal 91 Konvensi Hukum Laut memberikan batasan terhadap
setiap kapal yang berlayar di laut lepas tunduk pada negara bendera kapal
dimana kapal tersebut terdaftar, dengan kata lain harus terdapat ‘genuine link’
diantara negara bendera dan kapal tersebut.

Sebuah kapal laut yang berlayar di perairan teritorial dari berbagai negara
dan laut bebas, harus memiliki kebangsaan kapal. Kebangsaan kapal tersebut
seakan-akan adalah pertanda bahwa kapal merupakan bagian dari wilayah
suatu negara itu atau seakan-akan seseorang warga dari negara itu. Di atas
kapal tidak berlaku hukum negara dimana kapal itu berada, namun yang
berlaku adalah hukum negara dari mana kapal tersebut mengibarkan
benderanya.4

Persoalannya adalah Konvensi Hukum Laut 1982 tidak didukung dengan


pengaturan secara rinci terhadap bentuk pengawasan dan penegakan hukum
bagi setiap kapal-kapal perikanan untuk menjalankan langkah-langkah

4
Wartini Soegeng, 2003, Kebangsaan Kapal Indonesia, PT Refika Aditama : Bandung, hlm.7

4
konservasi di laut lepas. Disamping itu, tidak ada aturan rinci mengenai hak
dan kewajiban negara yang memanfaatkan jenis ikan beruaya jauh dan
beruaya terbatas, hal demikian dapat berpotensi menyulut sengketa antara
negara pantai dengan negara pantai maupun antara negara pantai dengan
negara penangkap ikan.

B. Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs)

Status RFMOs yang merupakan amanat dari Konvensi Hukum Laut ialah
sebagai organisasi internasional. Organisasi internasional adalah organisasi
antar pemerintah yang diakui sebagai subjek hukum internasional dan
mempunyai kapasitas untuk membuat perjanjian internasional.5 Dalam
mengkaji sebuah organisasi internasional, perlu dilihat tiga aspek penting
yakni aspek filosofis yang menyangkut nilai-nilai historis dan tema pokok;
aspek administratif yang bersinggungan dengan tingkat personalitas dan
kapasitas; serta aspek hukum yang menitikberatkan pada masalah
konstitusional dan prosedural antara lain seperti wewenang dan pembatasan
baik terhadap organisasi itu sendiri maupun terhadap anggotanya.6

Perkembangan RFMOs didasarkan pada sifat ikan yang bermigrasi dan


melintasi batas wilayah antar negara. Meningkatnya kesadaran bahwa kegiatan
penangkapan ikan di suatu negara akan dapat mempengaruhi status sumber
daya ikan dan kinerja armada perikanan tangkap di negara lain yang
memanfaatkan sumber daya ikan yang sama, turut menjadi faktor utama
dibangunnya kerjasama dalam RFMOs.

Beberapa regulasi internasional yang melegitimasi terbentuknya serta


mengatur peran dan fungsi dari RFMOs dapat dicermati dari elaborasi
sebagaimana berikut :

1) The United Nations Agreement on Management of Straddling and


Highly Migratory Fish Stocks 1995 (UNFSA)

5
Pasal 1 UU No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012).
6
Sumaryo Suryokusumo, 1990, Hukum Organisasi Internasional, UI-Press : Jakarta, hlm. 9

5
Ketentuan konservasi dan pengelolaan perikanan sebagaimana dimaksud
dalam Konvensi Hukum Laut 1982, diadopsi dan diatur lebih rinci di dalam
The United Nations Agreement on Management of Straddling and Highly
Migratory Fish Stocks 1995 atau dikenal dengan Persetujuan PBB
(Perserikatan Bangsa-Bangsa) tentang Persediaan Ikan 1995, yang memuat
kewajiban-kewajiban yang harus ditaati oleh negara peserta persetujuan.7 Pada
Pasal 5 diatur bahwa negara pantai dan negara yang melakukan penangkapan
ikan di laut lepas diwajibkan untuk :

(a) Mengambil langkah-langkah untuk menjamin keberlanjutan atas


persediaan ikan yang beruaya terbatas dan beruaya jauh untuk jangka
waktu yang lama dan memajukan tujuan pemanfaatan persediaan kedua
jenis tersebut secara optimal;

(b) Menjamin bahwa langkah-langkah tersebut didasarkan atas bukti ilmiah


terbaik yang ada dan dirancang untuk memelihara atau memulihkan
persediaan ikan pada tingkat yang mampu menjamin hasil maksimum
yang lestari;

(c) Menerapkan pendekatan kehati-hatian;

(d) Mengukur dampak-dampak dari penangkapan ikan, kegiatan-kegiatan


manusia lainnya dan faktor-faktor lingkungan;

(e) Mengambil langkah-langkah konservasi dan pengelolaan untuk spesies


dalam ekosistem yang sama atau berhubungan dengan atau bergantung
pada persediaan target tersebut;

(f) Meminimalkan pencemaran;

(g) Melindungi keanekaragaman hayati di dalam lingkungan laut;

(h) Mengambil langkah-langkah untuk mencegah atau mengurangi kegiatan


penangkapan ikan yang berlebihan dan penangkapan yang melebihi
kapasitas;

7
Dikdik Mohamad Sodik, 2011, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia, PT
Refika Aditama, Bandung, hlm. 145

6
(i) Memperhatikan kepentingan nelayan pantai dan subsistensi;

(j) Mengumpulkan dan memberikan data yang lengkap dan akurat mengenai
kegiatan-kegiatan perikanan;

(k) Memajukan dan melaksanakan penelitian ilmiah dan mengembangkan


teknologi yang tepat dalam mendukung konservasi dan pengelolaan
sumber daya ikan;

(l) Melaksanakan dan menegakkan langkah-langkah konservasi dan


pengelolaan melalui pemantauan; pengawasan dan pengendalian yang
efektif.

Selain kewajiban-kewajiban di atas, persetujuan ini memuat ketentuan


mengenai mekanisme kerjasama internasional, baik bilateral maupun multi
lateral, kegiatan perikanan di laut lepas melalui organisasi-organisasi
pengelolaan perikanan sub-regional ataupun regional yang kompeten. Pada
Pasal 8 ayat (3) menetapkan bahwa apabila organisasi pengelolaan perikanan
sub-regional/regional mempunyai kewenangan untuk menetapkan langkah-
langkah konservasi dan pengelolaan persediaan jenis tertentu ikan yang
beruaya terbatas dan beruaya jauh, negara-negara diwajibkan untuk bekerja
sama dengan menjadi anggota organisasi tersebut.

Ketentuan ayat (4) lebih lanjut mengatur tentang pemberian hak akses
kepada negara-negara anggota ataupun negara-negara non-anggota yang telah
menyepakati penaatan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan yang
ditetapkan organisasi tersebut (cooperating non-state parties) dalam bentuk
alokasi kuota terhadap sumber daya ikan. Dengan kata lain, bagi negara-
negara non-anggota yang tidak menyepakati ketentuan, maka tidak boleh
melakukan penangkapan ikan di laut lepas.8

Satu hal yang tidak biasa dari ketentuan Persetujuan tersebut yakni pada
ketentuan Pasal 21 dimana setiap kapal yang berlayar bukan hanya tunduk
pada negara benderanya, tetapi juga dihadapkan pada resiko inspeksi oleh

8
Dikdik Mohamad Sodik, ibid, hlm. 150

7
negara-negara anggota, baik kapal milik sesama negara anggota maupun
negara bukan anggota untuk memastikan penaatan tindakan dan konservasi
yang ditetapkan. Kondisi tersebut dapat berpotensi konflik apabila dilandaskan
pada salah satu asa perjanjian yaitu “pacta tertiis nec nocent nec prosunt”9
yang berarti perjanjian tidak dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi
negara ketiga.

Keikutsertaan negara berkembang merupakan salah satu elemen unik yang


diatur di dalam Pasal 25 dan Pasal 26 tentang “Special Requirement of
Developing States”. Ketentuan tersebut mengamanatkan bantuan khusus
kepada negara berkembang yang merupakan anggota dalam RFMOs, berupa
bantuan dana, pengawasan dan penegakan hukum, alih teknologi, penelitian
ilmiah, hingga bantuan yang bersifat teknis. Hal ini didasarkan pada
pertimbangan banyaknya negara berkembang yang memiliki ketergantungan
tinggi pada sumber daya ikan, nelayan-nelayan subsisten dengan skala
penangkapan kecil, dan para nelayan tradisional yang sudah menangkap ikan
secara turun temurun.10

2) FAO Code of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) 1995

Sejak 31 Oktober 1995, CCRF diadopsi menjadi dokumen resmi FAO,


yang berisikan tentang standar perilaku internasional untuk menjamin
dilaksanakannya secara lebih efektif konservasi dan pengelolaan sumber-
sumber perikanan. Salah satu amanat pembentukan RFMOs sebagai upaya
pengelolaan perikanan, dapat terlihat dari ketentuan di dalam Bagian 7 tentang
Fisheries Management butir 7.1.3, yakni :

“For transboundary fish stocks, straddling fish stocks, highly


migratory fish stocks and high seas fish stocks, where these are
exploited by two or more States, the States concerned, including the
relevant coastal States in the case of straddling and highly migratory
fish stocks, should cooperate to ensure effective conservation and
management of the resources. This should be achieved, where

9
Sumaryo Suryokusumo, 2008, Hukum Perjanjian Internasional, PT Tatanusa : Jakarta, hlm.95
10
Recommended Best Practises for Regional Fisheries Management Organizations, 2007, The Royal
Institute of International Affairs, Chatham House, London, hlm. 90

8
appropriate, through the establishment of a bilateral, subregional or
regional fisheries organization or arrangement.”

Selanjutnya pada butir 7.1.4A dimuat tentang kewajiban bagi negara


pantai untuk turut berpartisipasi aktif dalam upaya konservasi dan pengelolaan
perikanan dengan menjadi anggota RFMOs, sedangkan bagi negara yang
bukan merupakan anggota, ketentuan butir 7.1.5A mewajibkan adanya sikap
kerjasama dan mengambil tindakan yang harmonis dengan setiap ketentuan
yang diadopsi oleh RFMOs terkait. Namun karena sifatnya yang berupa
rujukan perilaku, regulasi ini bersifat sukarela dan lebih mengandalkan etiket
baik dari setiap negara anggota.

3) FAO International Plan of Action (IPOA)

Tindak lanjut dari tujuan di dalam CCRF, FAO mengeluarkan regulasi


yakni International Plan of Action for The Management of Fishing Capacity
yang mana pada Bagian III regulasi ini berisikan mandat untuk mendorong
keanggotaan negara-negara dalam forum RFMOs demi meningkatkan
pengelolaan kapasitas perikanan di tingkat regional dan global.

Regulasi lain dari FAO yakni IPOA for Illegal, Unreported, and
Unregulated (IUU) Fishing yang memberikan definisi bagi RFMOs yakni :
“intergovernmental fisheries organisations or arrangements, as appropriate
that have the competence to establish fisheries conservation and management
measures”.11 Di dalam IPOA ini juga diatur mengenai kewajiban untuk
bekerjasama dalam mencegah, mengurangi, dan menghilangkan IUU Fishing.
Bentuk kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 9, yang berupa :

(1) Partisipasi dan koordinasi serta pertukaran informasi untuk mengurangi


IUU fishing

(2) Fase implementasi, dimana National Plans of Action (NPOA) turut


berpengaruh pada kecepatan implementasi

11
Pasal 6 c International of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported, Unregulated
Fishing (Rome : FAO, 2001)

9
(3) Pendekatan yang komprehensif dan terintegrasi, dengan memasukkan
faktor-faktor yang mempengaruhi penangkapan ikan. Pendekatan ini
mencakup Flag State, Port State Measures, Coastal State Measures, dan
Market Related Measures.

(4) Konservasi dan penggunaan berkelanjutan jangka panjang dari sediaan


ikan dan perlindungan lingkungan

(5) Implementasi yang transparan

(6) IPOA harus diterapkan dan dikembangkan tanpa non diskriminasi


terhadap setiap negara maupun kapal penangkap ikan.

Terlihat bahwa RFMOs memiliki peran penting dalam sistem perikanan


global, terutama dalam konservasi dan pengelolaan perikanan. Dalam
operasionalnya, RFMOs memiliki pendekatan yang berbeda-beda, antara lain
berdasarkan pendekatan kawasan (region) dimana pengelolaan dan konservasi
tersebut dilakukan dalam suatu kawasan tertentu; atau RFMOs yang
melakukan pengelolaan dan konservasi melalui pendekatan spesies.

Dalam menentukan siapa yang dapat menjadi negara anggota, RFMOs


memberikan keanggotaan terhadap setiap negara yang akan bergabung dengan
didasarkan pada ‘real interest’ dalam perikanan. Tidak ada penjelasan lebih
rinci mengenai hal ini, namun pada prakteknya penentuan besarnya alokasi
tangkapan turut ditentukan oleh ‘catch history’. Apabila suatu negara
memiliki riwayat jumlah tangkapan yang sedikit maka kemungkinan akan
mendapat kuota tangkapan yang kecil, begitu juga sebaliknya. Ironinya, setiap
negara anggota memiliki besaran kuota tangkap yang berbeda satu sama lain
namun sama-sama wajib menyumbang sejumlah iuran untuk organisasi.12

RFMOs juga mempertimbangkan sanksi perdagangan (trade sanction)


sebagai salah satu jalan untuk memaksakan tindakan pengelolaan dan
konservasi perikanan. Sanksi perdagangan diberikan antara lain melalui
penolakan pendaratan dan transhipments, penolakan pemberian fasilitas

12
Trade and Agriculture Directorate and Fisheries Committee, 2014, Fishing forDevelopment-
Background paper for session 5, The Role of FisheriesManagement Organisations (RFMOs), hlm.12

10
pelabuhan, diskriminasi terhadap kapal dari negara-negara tertentu, hingga
pelarangan impor. Meskipun dapat digolongkan sebagai pengecualian yang
diatur dalam Pasal XX GATT,13 namun hingga saat ini masih belum ada
penyelesaian terhadap potensi konflik tersebut.14

Persoalannya adalah bagaimana dengan negara-negara berkembang yang


menjadi anggota RFMO dan memiliki ‘real interest’ dalam perikanan serta
bermaksud untuk mengembangkan perikanan dalam negerinya, namun tidak
memiliki riwayat tangkapan dalam jumlah besar? Ketentuan dalam UNFSA
tidak secara jelas mengatur tentang alokasi kuota. Hal ini selalu akan menjadi
kesulitan bagi negara-negara, terutama negara berkembang, yang baru
bergabung dalam RFMOs karena pemberian kuota akan tergantung pada
kemauan negara anggota yang sudah ada untuk berbagi kuotanya dengan yang
lain. Persepsi alokasi hak akses ini akan semakin kompleks tatkala
cooperating non-state parties dapat turut menikmati sejumlah kuota
perikanan. Nampaknya sistem kuota telah bergeser jauh dari hak perikanan
sesungguhnya.

Sehingga ekuilibrium adalah hal yang sulit diwujudkan dalam


keanggotaan RFMOs. Ketika suatu negara anggota mendapat jumlah kuota
tangkapan yang tidak besar sedangkan di sisi lain mereka harus tetap
membayar sejumlah iuran untuk organisasi, maka keanggotaan dalam suatu
RFMO merupakan hal yang dilematis. Berdasarkan hal tersebut, RFMOs

13
Pasal XX mengatur pengecualian umum (general exeptions), yakni pengecualian-pengecualian yang
dimungkinkan untuk menanggalkan aturan-aturan atau kewajiban-kewajiban suatu negara terhadap
GATT, khususnya dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan
yang diperlukan untuk:
(a) melindungi moral masyarakat;
(b) melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, tanaman, hewan
(c) kaitannya dengan impor atau ekspor emas atau perak;
(d) perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual;
(e) produk-produk yang berasal dari hasil kerja para narapidana;
(f) perlindungan kekayaan nasional, kesenian, sejarah atau purbakala;
(g) konservasi kekayaan alam yang dapat habis;
(h) dalam kaitannya dengan adanya kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian-perjanjian
komoditi antar pemerintah

14
Cathy Roheim and Jon G. Sutinen, Trade and Marketplece Measures to Promote Sustainable Fshing
Practices, hlm. vii, diunduh dari http://ictsd.org/i/publications/11838/.

11
selayaknya memiliki mekanisme alokasi kuota secara transparan yang
disetujui oleh semua anggotanya dan tidak harus terpaksa untuk
menambahkan kuota pada stok perikanan yang sudah oversubscribed.15

Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa doktrin kebebasan laut atau
dikenal dengan ‘Mare Liberum’ yang dicetuskan oleh Hugo Grotius, kini
sudah tidak berlaku lagi di laut lepas. Mengatasnamakan konservasi, kini laut
lepas tengah memiliki zona-zonanya tersendiri yang mana sangat besar
kemungkinan terjadi kapal ikan suatu negara yang menangkap ikan di laut
lepas dikategorikan ilegal, unreported, dan unregulated jika memasuki zona
milik suatu organisasi sub-regional/regional. Sama halnya yang akan terjadi
pada negara anggota suatu organisasi sub-regional/regional yang melakukan
kegiatan perikanan di dalam zona organisasi lain dimana ia bukan merupakan
cooperating non-state parties pada organisasi tersebut.

C. Keanggotaan Indonesia Dalam RFMOs

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, keanggotaan di dalam RFMOs


bukan semata-mata terkait kondisi geografis suatu negara, tetapi lebih kepada
daerah tangkapan ikan dari suatu negara. Umumnya, status keanggotaan dari
RFMOs terdiri dari dua yaitu member country dan cooperating non-
contracting party. Member country merupakan anggota penuh dam
mempunyai kewajiban membayar iuran anggota dan memiliki hak untuk
mengeluarkan pendapat di setiap forum pertemuan RFMO serta memperoleh
kuota penangkapan. Cooperating non-contracting party merupakan negara
yang kooperatif dengan RFMO, tidak membayar iuran, namun datang ke
pertemuan RFMO dan mendapatkan kuota penangkapan dengan jumlah yang
lebih kecil.

1) Landasan Praktis

Untuk melihat bagaimana posisi Indonesia dalam keanggotaan RFMOs,


perlu diketahui beberapa latar belakang keterlibatan Indonesia. Satu hal yang
paling mendasar yakni wilayah Indonesia yang berada di antara Samudera

15
Recommended Best Practises for Regional Fisheries Management Organizations, hlm.4

12
Hindia dan Samudera Pasifik menjadikan wilayah laut Indonesia memiliki
sumber daya tuna yang cukup melimpah terutama Tuna Sirip Biru Selatan
(Southern Bluefin Tuna/SBT).16 Jenis ikan tersebut memiliki tempat berpijah
(spawning ground) terutama di perairan selatan Pulau Jawa. Untuk
menerapkan konservasi terhadap spesies ini, pada tanggal 10 Mei 1993 telah
dibentuk Konvensi tentang Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan beserta Komisi
yang akan menentukan kuota tangkap dan mengatur keanggotaan yakni
Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT). Selain
itu, terdapat spesies tuna lainnya seperti Atlantik Blufin Tuna yang dikelola
oleh International Commission For The Conservation of Atlantic Tuna
(ICCAT) dan Pacific Bluefin Tuna yang dikelola oleh Western and Central
Pacific Fisheries Commission (WCPFC).

Dengan demikian, landasan praktis Indonesia terkait sumber daya tuna


yakni kebutuhan nelayan Indonesia untuk memanfaatkan spesies tuna di laut
lepas secara legal. Selain itu, tuna merupakan salah satu komoditas ekspor
Indonesia, agar tidak mendapatkan sanksi perdagangan dalam ekspor produk
tuna ke negara anggota RFMOs, maka Indonesia perlu bergabung dalam
keanggotaan RFMOs.

2) Landasan Hukum

Pengelolaan dan konservasi dumber daya perikanan di Indonesia di atur


dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang pada
perkembangannya telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun
2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan. Guna pemanfaatan sumber daya perikanan lintas batas di laut
lepas, Indonesia perlu membuat skala prioritas dalam politik hukum luar
negeri. Untuk melindungi dan memajukan kepentingan nasional, setiap
bangsa harus menentukan sikapnya terhadap bangsa lain dan juga harus

16 Lihat di http://www.ccsbt.org/docs/about.

13
menentukan arah tindakan yang akan diambil dan dicapai dalam urusan
internasional.17

Cerminan politik hukum Indonesia untuk terlibat dalam RFMOs dapat


dilihat dalam ketentuan pasal 10 ayat (2) yakni : Pemerintah ikut serta secara
aktif dalam keanggotaan badan/lembaga/organisasi regional dan internasional
dalam rangka kerjasama pengelolaan perikanan regional dan internasional.

Dorongan untuk terlibat dalam RFMOs turut diamanatkan dalam Undang-


Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan pada Pasal 11 ayat (2) huruf
f disebutkan salah satu kewajiban Pemerintah yakni berpartisipasi dalam
pengelolaan perikanan melalui forum pengelolaan perikanan regional dan
internasional.

Langkah efektif oleh Indonesia dalam konservasi jangka panjang dan


pemanfaatan secara berkelanjutan atas jenis ikan beruaya terbatas dan beruaya
jauh turut diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2009 tentang
Pengesahan Agreement for the implementation of the provisions of the
UNCLOS of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management
of Straddling Fish Stock and Highly Migratory Fish Stock.

Berdasarkan penjelasan Undang-undang tersebut, manfaat yang ingin


dicapai ialah :

a. Memantapkan kebijakan Pemerintah Indonesia dalam memberantas IUU


fishing

b. Mendapat informasi perikanan secara akurat

c. Mendapatkan alokasi sumber daya perikanan untuk jenis ikan beruaya dan
beruaya terbatas

d. Memperoleh bantuan dan perlakuan khusus sebagai negara berkembang

17
Nicholas Tandi Dammen, 2005, Kewenangan Perwakilan RI di Luar Negeri, Indonesian Journal of
Internasional Law, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta, hlm.710

14
e. Memperkuat posisi Indonesia dan mempertegas hak berdaulat terhadap
pengelolaan sumber daya ikan di ZEE Indonesia

3) Status Keanggotaan

Saat ini Indonesia telah menjadi anggota di beberapa RFMO seperti :


IOTC (Indian Ocean Tuna Commission),18 CCSBT (Commission for the
Conservation of Southern Bluefin Tuna ),19 dan WCPFC (Western and Central
Fisheries Pacific Commission).20 Dari ketiga RFMOs tersebut nampak bahwa
perikanan jenis tuna merupakan komoditas penting bagi perekonomian
nasional.

4) Kewajiban Negara Anggota

Beberapa kewajiban negara anggota RFMOs ialah :21

(1) Mematuhi semua resolusi dan conservation management measures


(CMM) yang sudah diadosi oleh masing-masing RFMOs;

(2) Mengadopsi semua resolusi dan conservation management measures


(CMM) yang aplikatif ke dalam legislasi nasional;

(3) Membuat laporan tahunan

(4) Melaporkan data dan informasi yang dipersyaratkan oleh resolusi


seperti pendataan Ecologicaly Related Species (ERS)

(5) Mendaftarkan kapal-kapal yang menangkap tuna dan spesies seperti


tuna ke RFMOs terkait

18
Full member sejak 9 Juli 2007, disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2007 tentang
persetujuan pembentukan IOTC
19
Full member sejak 8 April 2008, disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 109 tahun 2007
tentang pengesahan Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (SBT)
20
Full member sejak 29 November 2013, disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2013
tentang Pengesahan Convention On The Conservation and Management of Highly Migratory Fish
Stocks in The Western and Central Pacific Ocean
21
Erni Widjajanti, Pengelolaan Perikanan Tuna Indonesia dan Peran Kerjasama Indonesia dalam
RFMO, Kementrian Kelautan dan Perikanan, disampaikan pada Seminar Nasional Hukum Laut, 2013,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta

15
(6) Menghadiri pertemuan tahunan, compliance, dan working group yang
relevan.

5) Implikasi bagi Indonesia

Pada tahun 2009 diterbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan


(selanjutnya disebut Permen KP) Nomor PER.03/MEN/2009 tentang
Penangkapan Ikan dan/atau Pengangkutan Ikan di Laut Lepas. Pasal 1 angka 3
memberikan pengertian RFMO secara sederhana yakni organisasi perikanan
yang mengelola perikanan di laut lepas. Selanjutnya, pada tahun 2012
dikeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.12/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Laut Lepas yang
menggantikan Peraturan Menteri tahun 2009. Dalam peraturan ini, RFMO
didefinisikan sebagai organisasi perikanan regional yang mengelola sediaan
ikan yang beruaya jauh dan beruaya terbatas di ZEE dan laut lepas.

Pendaftaran kapal-kapal Indonesia pada Record of Fishing Vessels di


setiap RFMOs, berdasarkan Pasal 14 Permen KP di atas, dilaksanakan oleh
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementrian Kelautan dan Perikanan.
Untuk teknis dan operasional setiap kapal berbendera Indonesia, peraturan ini
mensyaratkan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan
Ikan (SIPI), dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI). Untuk jenis alat
tangkapan yang dipergunakan, mengacu pada ketentuan pada masing-masing
RFMO. Data pada 21 November 2012, jumlah kapal Indonesia yang
tercantum dalam record RFMOs yakni 1.275 unit (IOTC), 194 unit (CCSBT),
dan 430 unit (WCPFC).22

Di dalam Permen KP turut diatur mengenai kewajiban untuk tindakan


konservasi dan pengelolaan terkait dengan hasil tangkapan sampingan23 dan
larangan untuk menangkap ikan selama musim ditutup dan/atau di dalam
wilayah penangkapan ikan yang ditutup. Transhipment atau kegiatan

22
Erni Widjajanti, ibid.
23
Hasil tangkapan sampingan (bycatch) yang secara ekologis terkait dengan perikanan tuna berupa
burung laut, penyu laut, mamalia laut termasuk paus dan hiu monyet, atau bukan hiu juvenille dan hiu
dalam kondisi hamil dimana hiu tersebut harus didaratkan secara utuh

16
memindahkan hasil tangkapan dari kapal penangkap ikan ke kapal
pengangkut, diperbolehkan menurut Pasal 30 dalam peraturan ini, baik
dilakukan di laut lepas maupun di pelabuhan negara lain yang menjadi
anggota RFMO pada wilayah RFMO yang sama. Kapal yang akan melakukan
transhipment disaksikan oleh pemantau di atas kapal pengangkut ikan
(observer on board) serta kapal diwajibkan untuk mengaktifkan transmitter
Vessel Monitoring System (VMS)24 agar dapat dipantau. Apabila, suatu kapal
tidak dapat melaksanakan kepatuhan sesuai dengan persyaratan dan standar
RFMO maka tindakan kapal tersebut dapat dikategorikan dalam Illegal,
Unreported, dan Unregulated (IUU) Fishing dan selanjutnya dapat
dicantumkan dalam IUU Vessels List.

Terhadap kapal yang diberikan sanksi demikian, Pasal 38 Permen KP


menyebutkan larangan-larangan yang diberlakukan yakni :
(a) Melakukan pemindahan ikan hasil tangkapan dari dan/atau kepada kapal
penangkap ikan maupun kapal pengankut ikan baik di laut lepas negara
anggota RFMO maupun di wilayah Indonesia
(b) Melakukan pendaratan hasil tangkapan, mengisi bahan bahar dan logistik
ataupun terlibat dalam transaksi perdagangan
(c) Menyewakan kapal penangkap ikan atau kapal pengangkut ikan
(d) Menjual ataupun mengekspor ikan
(e) Merubah nama kapal penangkap ataupun pengangkut ikan

Mencermati beberapa ketentuan hukum yang telah diuraikan sebelumnya,


terdapat beberapa isu yang dapat berpotensi terjadi dalam tataran
implementasi. Pertama, persyaratan dokumen perizinan bagi setiap kapal
perikanan guna pendataan akurat kapal-kapal yang dapat menangkap ikan
secara sah di laut lepas. Saat kapal tidak memperpanjang dokumen perizinan,
maka kemungkinan pergerakan atau posisi kapal tidak diketahui termasuk apa
yang sedang dikerjakan kapal tersebut. Kedua, untuk pendeteksian pergerakan

24
Merupakan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan untuk pengawasan dan pengendalian di bidang
penangkapan dan/atau pengangkutan ikan, dengan menggunakan satelit dan peralatan transmitter yang
ditempatkan pada kapal perikanan; untuk mendapatkan informasi tentang posisi kapal, kecepatan, pola
gerakan kapal dan rekaman data terdahulu maupun near real time,

17
kapal sangat bergantung pada transmitter yang wajib dihidupkan. Jika tidak
ada sanksi yang tegas, maka responsibilitas kapal perikanan untuk tujuan
konservasi dan pengelolaan perikanan sangatlah rawan, karena kapal
kemungkinan memasang atau mengaktivasi trasmitter hanya untuk memenuhi
persyaratan formal perizinan. Hal ini turut memicu maraknya illegal
transhipment maupun penggunaan bendera kapal kepada pihak lain (flags of
convenience) demi keuntungan ekonomi semata. Ketiga, kapal perikanan
Indonesia dalam sebuah RFMO dapat terancam melakukan pelanggaran di
overlaping area antara satu RFMO dengan RFMO lainnya. Disamping itu,
armada kapal Indonesia yang belum sepenuhnya dilengkapi dengan
perlengkapan untuk mencegah tertangkapnya hiu, burung laut, kura-kura
maupun spesies yang diwajibkan konservasi, maka aktifitas kapal perikanan
akan rentan diklasifikasikan sebagai IUU fishing berdasarkan ketentuan
masing-masing RFMO.
Meski demikian, keputusan Pemerintah untuk bergabung dan ambil bagian
dalam RFMOs tentunya bukan tanpa pertimbangan strategis. Sebagai negara
kepulauan, Indonesia harus bisa mengambil peluang dari keanggotaannya
dengan ikut memanfaatkan sumber daya perikanan di perairan internasional.
Data dari Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) menunjukkan selama
tahun 2008 dan 2009 merupakan ekspor tuna terbesar yakni sebesar 11.620
ton pada tahun 2008 dan 13.049 pada tahun 2009. Hal ini disebabkan
bertambahnya jumlah kapal Indonesia yang didaftarkan di IOTC, sehingga
upaya penangkapan ikan disinyalir menjadi lebih optimal karena nelayan
Indonesia dapat memanfaatkan kuota sebagai full member. Dengan
bergabungnya Indonesia ke dalam IOTC maka posisi tawar Indonesia akan
semakin kuat di dalam akses pasar perikanan tuna terutama di antara sesama
negara anggota. Berkaitan dengan spesies tuna yang ada di Samudera Hindia,
Indonesia juga merupakan daerah pemijahan jenis Southern bluefin tuna
(SBT) yang memiliki nilai yang paling tinggi. Jumlahnya yang sangat terbatas,
menyebabkan banyak pengusaha perikanan tuna menjadikan SBT sebagai
target utama penangkapan terutama oleh Taiwan, Jepang, Korea, Selandia
Baru dan Australia. Hal demikian dapat memperkokoh posisi Indonesia

18
sebagai pelaku utama perikanan dan dapat meningkatkan ekspor perikanan
nasional.25

Keanggotaan di dalam RFMOs membuat Indonesia mendapatkan alokasi


sumber daya ikan untuk jenis ikan yang beruaya terbatas dan beruaya jauh
melalui penetapan kuota internasional. Berikut adalah penerapan kuota hasil
tangkapan untuk Indonesia26 :

Kuota di CCSBT

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

800 800 750 750 651 651 685 707 750

Kuota di WCPFC
a. Kuota bigeye longline
2008 2009 2010 2011 2012 2013

8.413 7.571 6.814 5.889 5.889 5.889

(satuan ton)

b. Kuota Yellowfin longline

2009 2010 2011 2012 2013

7.192 7.192 7.192 7.192 7.192

(satuan ton)

Hal yang tidak kalah penting dari perolehan kuota perikanan di laut lepas
yakni bagaimana keberlanjutan dari pemanfaatan sumber daya perikanan
tersebut bagi kepentingan nasional. Pasal 25B ayat (2) Undang-Undang No.

25
Mardia, 2011, Manfaat Keanggotaan Indonesia Dalam Indian Ocean Tuna Commission (IOCT),
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, hlm. 39
26
Erni Widjajanti, op.cit

19
45 Tahun 2009 tentang Perikanan mewajibkan kepada pemerintah untuk
memprioritaskan produksi dan pasokan ke dalam negeri untuk mencukupi
kebutuhan konsumsi nasional. Pasal ini merupakan kebijakan penting
mengenai “domestic obligation“ untuk memprioritaskan konsumsi protein
bagi setiap warga negara Indonesia. Mengingat keanggotaan dalam RFMOs
tidak semata-mata didasarkan pada kondisi geografis suatu negara, maka
sesungguhnya Indonesia sebagai negara pantai dan penghasil tuna merupakan
negara yang paling berkepentingan baik dari sisi sumber daya, habitat dan
perdagangan, jika dibandingkan dengan posisi ‘distance-water fishing state’,
seperti Korea misalnya, yang perairannya jauh dari Samudera Hindia ataupun
Samudera Pasifik, walaupun pada kenyataannya negara-negara tersebut sangat
berpartisipasi aktif dalam rangka untuk melindungi kepentingannya.

Keanggotaan pada suatu RFMO yang pada dasarnya bertolak dari ‘real
interest’ suatu negara, sangat mungkin keanggotaan tersebut terus bertambah
jumlahnya. Secara logika hal ini berarti akan turut berdampak pada
pemberian alokasi kuota perikanan. Anggota yang sudah bergabung akan
berbagi kuota dengan anggota yang baru terdaftar dalam RFMO. Semakin
besar catch history suatu negara maka akan semakin besar perolehan
kuotanya, di sisi lain, bisa diasumsikan kuota negara lain akan ikut berkurang
setiap kali anggota baru ikut bergabung. Kemungkinan lain, jika RFMOs
memperluas daerah penangkapannya hingga semakin jauh ke laut lepas, akan
turut berdampak pada armada kapal yang dibutuhkan akan semakin besar
dengan pemakaian bahan bakar yang semakin banyak. Sebagai negara
berkembang, dalam suatu forum RFMO Indonesia dituntut untuk siap dengan
kecukupan anggaran dan personal capacity dalam peran sertanya untuk
memanfaatkan sumber daya perikanan di laut lepas.

3. PENUTUP

Kebutuhan setiap negara terhadap pemanfaatan sumber daya perikanan di Laut


Lepas telah mendorong terbentuknya Regional Fisheries Management Organizations
(RFMOs) yang merupakan organisasi internasional untuk konservasi dan pengelolaan
sumber daya ikan beruaya jauh dan beruaya terbatas. Otoritas RFMOs berlaku bagi

20
seluruh negara anggota dan cooperating non-state parties. Problematika yang belum
dapat sepenuhnya diselesaikan oleh RFMOs yakni menjembatani ‘real interests’ guna
alokasi kuota diantara coastal states, yang secara geografis lebih dekat dengan zona
perikanan, distance water fishing states, yang merupakan negara-negara pemancing
jarak jauh, serta cooperating non-state parties. Untuk mewujudkan hak akses
perikanan yang adil proporsional serta seiris dengan tujuan konservasi dan
pengelolaan, RFMOs selayaknya memiliki mekanisme alokasi kuota yang transparan
dan penegakah hukum serta penguatan sanksi terhadap setiap negara anggotanya
yang melakukan pelanggaran.

Sebagai negara yang turut bergabung dalam CCSBT, IOTC, dan WCPFC, ,
Indonesia telah mengadopsi berbagai ketentuan RFMOs dalam peraturan perundang-
undangan nasional. Implikasinya, setiap kapal perikanan Indonesia wajib memenuhi
standar dan persyaratan yang berlaku pada masing-masing RFMOs. Melalui
keanggotaannya, Indonesia dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan
organisasi dan dapat terhindar dari sanksi embargo produk perikanan di negara
sesama anggota. Meski demikian, Indonesia perlu melaksanakan secara penuh dari
seluruh Revolusi/regulasi yang dikeluarkan oleh RFMO untuk mencegah terjadinya
tindakan yang dikategorikan dalam IUU fishing pada masing-masing RFMO.

21
REFERENSI

Buku dan Jurnal

Cathy Roheim and Jon G. Sutinen, Trade and Marketplece Measures to Promote
Sustainable Fshing Practices, diunduh dari
http://ictsd.org/i/publications/11838/.

Dikdik Mohamad Sodik, 2011, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di


Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung

Erni Widjajanti, 2013, Pengelolaan Perikanan Tuna Indonesia dan Peran Kerjasama
Indonesia dalam RFMO, Kementrian Kelautan dan Perikanan, disampaikan
pada Seminar Nasional Hukum Laut, 2013, Universitas Sebelas Maret,
Surakarta
Mardia, 2011, Manfaat Keanggotaan Indonesia Dalam Indian Ocean Tuna
Commission (IOCT), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor
Melda Kamil Adriano, Kepentingan Indonesia dalam Pengelolaan Perikanan Laut
Bebas, Jurnal Hukum Internasional, Volume 1 No. 2, 2005, Lembaga
Pengkajian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Nicholas Tandi Dammen, 2005, Kewenangan Perwakilan RI di Luar Negeri,
Indonesian Journal of Internasional Law, Lembaga Pengkajian Hukum
Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta
Recommended Best Practises for Regional Fisheries Management Organizations,
2007, Chatham House, The Royal Institute of International Affairs, London
Sumaryo Suryokusumo, 1990, Hukum Organisasi Internasional, UI-Press : Jakarta
Sumaryo Suryokusumo, 2008, Hukum Perjanjian Internasional, PT Tatanusa :Jakarta
Trade and Agriculture Directorate and Fisheries Committee, 2014, Fishing for
Development-Background paper for session 5, The Role of Fisheries
Management Organisations (RFMOs)
Wartini Soegeng, 2003, Kebangsaan Kapal Indonesia, PT Refika Aditama : Bandung

Regulasi Internasional

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982 Tentang Hukum Laut

FAO Code of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) 1995

22
FAO International Plan of Action (IPOA)

The United Nations Agreement on Management of Straddling and Highly Migratory


Fish Stocks 1995 (UNFSA)

Regulasi Nasional

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional


Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan Agreement for the
implementation of the provisions of the UNCLOS of 10 December 1982 relating to
the Conservation and Management of Straddling Fish Stock and Highly Migratory
Fish Stock.
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2007 tentang Pengesahan Agreement For The
Establishment of The Indian Ocean Tuna Commision
Peraturan Presiden Nomor 109 tahun 2007 tentang Pengesahan Convention for the
Conservation of Southern Bluefin Tuna (SBT)
Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2013 tentang Pengesahan Convention On The
Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stocks in The Western and
Central Pacific Ocean
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2012 tentang Usaha
Perikanan Tangkap di Laut Lepas

23
24

Anda mungkin juga menyukai