Anda di halaman 1dari 18

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistem Hemopoiesis


Darah memiliki peran untuk menjaga tubuh tetap dalam keadaan
homeostasis. Selain meregulasi pH, temperatur, serta mengatur transport zat-zat
dari dan ke jaringan, darah juga melakukan perlindungan dengan cara melawan
penyakit. Fungsi-fungsi ini dikerjakan secara terbagi-bagi oleh komponen-
komponen darah, yaitu plasma dan sel-sel darah. Plasma darah adalah cairan yang
berada di kompartemen ekstraselular di dalam pembuluh darah yang berperan
sebagai pelarut terhadap sel-sel darah dan substans lainnya. Sedangkan sel darah
merupakan unit yang mempunyai tugas tertentu. Sel-sel darah yang terdiri dari
eritrosit, leukosit dan trombosit dibentuk melalui suatu mekanisme yang sama,
yaitu hemopoiesis.
Hemopoiesis adalah proses pembentukan dan perkembangan sel-sel darah.
Sebelum dilahirkan, proses ini terjadi berpindah-pindah. Pada beberapa minggu
pertama kehamilan, hemopoiesis terjadi di yolk sac. Kemudian hingga fetus
berusia 6-7 bulan, hati dan limpa merupakan organ hemopoietik utama dan akan
terus memproduksi sel-sel darah hingga sekitar dua minggu setelah kelahiran.
Selanjutnya pekerjaan ini diambil alih oleh sumsum tulang dimulai pada masa
kanak-kanak hingga dewasa.
Sumsum tulang atau bone marrow merupakan suatu jaringan ikat dengan
vaskularisasi yang tinggi bertempat di ruang antara trabekula jaringan tulang
spons. Tulang-tulang rangka axial, tulang-tulang melingkar pada pelvis dan
pektoral, serta di bagian epifisis proksimal tulang humerus dan femur adalah
tulang-tulang dengan sumsum tulang terbanyak di tubuh manusia. Terdapat dua
jenis sumsum tulang pada manusia, yaitu sumsum tulang merah dan sumsum
tulang kuning. Pada neonatus, seluruh sumsum tulangnya berwarna merah yang
bermakna sumsum tulang yang bersifat hemopoietik, sedangkan ketika dewasa,
sebagian besar dari sumsum tulang merahnya akan inaktif dan berubah menjadi

Universitas Sumatera Utara


sumsum tulang kuning (fatty marrow) (Tortora, 2009). Hal ini terjadi akibat
adanya pertukaran sumsum menjadi lemak-lemak secara progresif terutama di
tulang-tulang panjang. Bahkan di sumsum hemopoietik sekalipun, 50%
penyusunnya adalah sel-sel lemak (Hoffbrand, 2006). Jadi pada dewasa, proses
hemopoiesis hanya terpusat di tulang-tulang rangka sentral dan ujung proksimal
dari humerus dan femur.
Hemositoblas atau pluripotent stem cells merupakan bagian dari sumsum
tulang yang berasal dari jaringan mesenkim. Jumlah sel ini sangat sedikit,
diperkirakan hanya sekitar 1 sel dari setiap 20 juta sel di sumsum tulang. Sel-sel
ini memiliki kemampuan untuk berkembang menjadi beberapa lineage yang
berbeda melalui proses duplikasi, kemudian berproliferasi serta berdiferensiasi
hingga akhirnya menjadi sel-sel darah, makrofag, sel-sel retikuler, sel mast dan sel
adiposa. Selanjutnya sel darah yang sudah terbentuk ini akan memasuki sirkulasi
general melalui kapiler sinusoid.
Sebelum sel-sel darah secara spesifik terbentuk, sel pluripoten yang berada
di sumsum tulang tersebut membentuk dua jenis stem cell, yaitu myeloid stem cell
dan lymphoid stem cell. Setiap satu stem cell diperkirakan mampu memproduksi
sekitar 106 sel darah matur setelah melalui 20 kali pembelahan sel. Myeloid stem
cell memulai perkembangannya di sumsum tulang dan kemudian membentuk
eritrosit, platelet, monosit, neutrofil, eosinofil dan basofil. Begitu juga dengan
lymphoid stem cell. Sel-sel ini memulai perkembangannya di sumsum tulang
namun proses ini dilanjutkan dan selesai di jaringan limfatik. Limfosit adalah
turunan dari sel-sel tersebut.
Selama proses hemopoiesis, sebagian sel myeloid berdiferensiasi menjadi
sel progenitor. Sel progenitor tidak dapat berkembang membentuk sel namun
membentuk elemen yang lebih spesifik yaitu colony-forming unit (CFU).
Terdapat beberapa jenis CFU yang diberi nama sesuai sel yang akan dibentuknya,
yaitu CFU-E membentuk eritrosit, CFU-Meg membentuk megakariosit, sumber
platelet, dan CFU-GM membentuk granulosit dan monosit.

Universitas Sumatera Utara


Berikutnya, lymphoid stem cell, sel progenitor dan sebagian sel myeloid
yang belum berdiferensiasi akan menjadi sel-sel prekursor yang dikenal sebagai
blast. Sel-sel ini akan berkembang menjadi sel darah yang sebenarnya. Pada tahap
ini sel-sel prekursor sudah dapat dibedakan berdasarkan tampilan
mikroskopiknya, sedangkan sel-sel di tahap sebelumnya yaitu stem cell dan sel
progenitor hanya bisa dibedakan melalui marker yang terdapat di membran
plasmanya.

Gambar 2.1. Hemopoiesis


(Dikutip dari : Hoffbrand, 2006)

Beberapa hormon yang disebut hemopoietic growth factors bertugas dalam


meregulasi proses diferensiasi dan proliferasi dari sel-sel progenitor tertentu.
Berikut adalah beberapa contohnya :

Universitas Sumatera Utara


1. Erythropoietin atau EPO meningkatkan jumlah prekursor sel darah
merah atau eritrosit. EPO diproduksi oleh sel-sel khusus yang terdapat
di ginjal yaitu peritubular interstitial cells.
2. Thrombopoietin atau TPO merupakan hormon yang diproduksi oleh
hati yang menstimulasi pembentukan platelet atau trombosit.
3. Sitokin adalah glikoprotein yang dibentuk oleh sel, seperti sel sumsum
tulang, sel darah, dan lainnya. Biasanya sitokin bekerja sebagai hormon
lokal, namun disini sitokin bekerja dalam menstimulasi proliferasi sel-
sel progenitor di sumsum tulang. Dua kelompok sitokin yang berperan
adalah colony-stimulating factors dan interleukin.
Selain contoh diatas masih banyak growth factor lainnya yang
mempengaruhi proses hemopoiesis yang berbeda-beda fungsi dan lokasi kerjanya.

2.2. Keganasan Hematologi


Kanker adalah istilah yang merupakan sinonim untuk neoplasma yang
bersifat malignan (Harrison, 2011). Istilah ini tidak digunakan untuk menyebut
tumor yang bersifat jinak. Sistem pembagian kanker disusun berdasarkan asal dan
tipe sel kanker. Kanker jaringan limfatik disebut limfoma dan kanker yang berasal
dari sel hemopoietik disebut dengan leukemia (Virshup, 2010).

2.2.1. Klasifikasi Keganasan Hematologi


Keganasan pada sistem hematologi tidak hanya terbatas pada limfoma dan
leukemia. Secara umum, penyakit keganasan hematologi dikelompokkan
berdasarkan tiga karakteristik utama, yaitu:
a. Berdasarkan “Aggressiveness” – dibedakan menjadi akut dan kronik.
b. Berdasarkan “Lineage” – menurut sel progenitornya, limfoid dan
myeloid.
c. Berdasarkan “Predominant Site of Involvement” – di darah dan bone
marrow atau di jaringan.

Universitas Sumatera Utara


Tiga karakteristik di atas merupakan kerangka dasar dalam menyusun
klasifikasi keganasan hematologi. WHO membagi keganasan hematologi menjadi
enam bagian besar, yaitu:
i. Proposed WHO classification of Myeloid Neoplasms
- Myeloproliferative Disease
- Myelodysplastic/myeloproliferative Diseases
- Myelodysplastic Syndromes
- Acute Myeloid Leukemia
- Acute Biphenotypic Leukemias
ii. Proposed WHO classification of Lymphoid Neoplasms
B-Cell Neoplasms
- Precursor B-cell neoplasm
- Mature (peripheral) B-cell neoplasms
T and NK-Cell Neoplasms
- Precursor T-cell neoplasm
- Mature (peripheral) T-cell neoplasms
Hodgkin’s Lymphoma (Hodgkin’s Disease)
iii. Mast Cell Diseases
iv. Histiocytic and Dendritic-Cell Neoplasms
- Macrophage/histiocytic neoplasm
- Dendritic-Cell Neoplasms
v. Plasma Cell Disorders : Subtypes and Variants
vi. Immunosecretory Disorders (Clinical Manifestations of Diverse
Lymphoid Neoplasms)

2.2.2. Etiologi dan Faktor Predisposisi Keganasan Hematologi


Keganasan hematologi merupakan penyakit-penyakit klonal yang berasal
dari satu sel tunggal di sumsum tulang atau jaringan limfoid perifer yang telah
mengalami perubahan genetik. Sel-sel yang mengalami perubahan ini akan
berproliferasi secara berlebihan atau resisten terhadap apoptosis. Penyebabnya
masih belum diketahui secara pasti, namun faktor-faktor yang mungkin dapat

Universitas Sumatera Utara


mencetuskannya sudah banyak diteliti. Kombinasi antara latar belakang genetik
dan pengaruh lingkungan merupakan resiko terbesar menuju keganasan. Akan
tetapi pada beberapa kasus, bahkan kedua resiko tersebut bisa saja tidak
ditemukan sama sekali.
a. Faktor Keturunan
Kejadian leukemia meningkat secara signifikan pada beberapa penyakit
genetik, terutama Down’s Syndrome. Penyakit-penyakit lain seperti Bloom’s
Syndrome, Fanconi’s Anemia, Klinefelter’s Syndrome dan lainnya. Namun gen
yang menghubungkan penyakit ini dengan keganasan masih belum diketahui.
b. Pengaruh Lingkungan
- Bahan Kimia
Paparan kronis bahan tertentu seperti benzene dapat menyebabkan
terjadinya abnormalitas bone marrow.
- Obat-obatan
Alkylating agents, radioterapi, bahkan obat-obatan antileukemik pun
juga dapat mencetuskan terjadinya kanker.
- Radiasi
Semua jenis radiasi bersifat leukemogenik. Hal ini terlihat pada
peningkatan insidensi leukemia pada korban selamat ledakan bom
atom di Jepang.
- Infeksi

Tabel 2.1. Infeksi Yang Berhubungan dengan Keganasan Hematologi


Infeksi Tumor
Virus
HTLV-1 Adult T-cell leukemia/lymphoma
Epstein-Barr Virus Burkitt’s dan Hodgkin’s Lymphomas; PTLD
HHV-8 Primary Effusion Lymphoma ; multicentric Castleman’s disease
HIV-1 High-grade B-cell lymphoma
Bakteri
Helicobacter pylori Gastric lymphoma (MALT)
Protozoa
Malaria Burkitt’s lymphoma
(Dikutip dari : Hoffbrand, 2006)

Universitas Sumatera Utara


2.3. Leukemia
Leukemia, berasal dari bahasa Yunani, leukos yang berarti putih dan
haima yang berarti darah, adalah kanker darah ataupun bone marrow yang
ditandai dengan peningkatan abnormal sel darah putih imatur yang disebut „blast‟
(Mosby, 1994). Sel abnormal ini menimbulkan gejala karena kegagalan bone
marrow serta infiltrasi ke berbagai organ.
Kegagalan bone marrow ini mengakibatkan dua proses penyakit. Pertama,
produksi sel darah normal akan menurun secara signifikan. Oleh karena itu
terjadilah anemia, trombositopenia dan neutropenia dalam derajat yang bervariasi.
Kedua, proliferasi yang cepat dari sel-sel tersebut, diikuti dengan penurunan
kemampuan untuk mencetuskan apoptosis, mengakibatkan penumpukan di bone
marrow, darah, serta limpa dan hati. Darah yang berfungsi sebagai organ
transportasi kemudian akan membawa sel-sel ini ke tempat lain seperti meningen,
otak, kulit, testis, dan lainnya.

2.3.1. Klasifikasi
Klasifikasi utama leukemia adalah dengan membaginya menjadi empat
tipe yaitu leukemia akut dan kronik yang masing-masing dibagi lagi menjadi
limfoid dan myeloid.
Tabel 2.2. Klasifikasi Leukemia
Akut Kronik
Limfoid Acute Lymphoblastic Leukemia Chronic Lmphocytic Leukemia
Myeloid Acute Myelogenous Leukemia Chronic Myelogenous Leukemia

2.4. Leukemia Akut


Leukemia akut biasanya bersifat agresif, dimana proses keganasan terjadi
di hemopoietic stem cell atau sel progenitor awal. Perubahan genetika diduga
berperan pada sistem biokimia yang menyebabkan peningkatan laju proliferasi,
mengurangi apoptosis dan menghalangi proses diferensiasi selular. Jika tidak
ditangani, penyakit ini bersifat fatal namun lebih mudah untuk diobati dari pada
leukemia kronik. Selanjutnya, leukemia akut dikelompokkan menjadi acute

Universitas Sumatera Utara


myelogenous leukemia dan acute lymphoblastic leukemia berdasarkan jenis sel
blast yang ditemukan.

2.4.1. Acute Myelogenous Leukemia


Acute myelogenous leukemia (AML) atau leukemia myeloid akut adalah
penyakit keganasan bone marrow dimana sel-sel prekursor hemopoietik
terperangkap di fase awal perkembangannya. Kebanyakan subtipe dari AML
dibedakan dari kelainan darah lainnya berdasarkan jumlah blast yang berada di
bone marrow, yaitu sebanyak lebih dari 20%.
Patofisiologi yang mendasari AML adalah kegagalan maturasi sel-sel bone
marrow di fase awal perkembangan. Mekanismenya masih diteliti, namun pada
beberapa kasus, hal ini melibatkan aktivasi gen-gen abnormal melalui translokasi
kromosom dan kelainan genetik lainnya.
Gejala klinis yang muncul pada pasien AML berakibat dari kegagalan
bone marrow dan atau akibat infiltrasi sel-sel leukemik pada berbagai organ.
Durasi perjalanan penyakit bervariasi. Beberapa pasien, khususnya anak-anak
mengalami gejala akut selama beberapa hari hingga 1-2 minggu. Pasien lain
mengalami durasi penyakit yang lebih panjang hingga berbulan-bulan.
Anemia, neutropenia dan trombositopenia muncul akibat kegagalan bone
marrow mempertahankan fungsinya. Gejala anemia yang paling sering adalah
fatigue. Penurunan kadar neutrofil menyebabkan pasien rentan terkena infeksi.
Perdarahan gusi dan ekimosis merupakan manifestasi akibat trombositopenia. Jika
perdarahan terjadi di paru-paru, saluran cerna dan sistem saraf pusat, hal ini
sangat membahayakan jiwa pasien (Seiter, 2012).
Limpa, hati, gusi dan kulit adalah tempat-tempat yang sering disinggahi
akibat infiltrasi sel-sel leukemik. Pasien dapat mengalami splenomegali, gingivitis
dan gejala lainnya (Seiter, 2012).
Selain pemeriksaan fisik, pemeriksaan yang harus dilakukan antara lain
adalah pemeriksaan darah, pemeriksaan bone marrow, yang merupakan tes
diagnostik defenitif, analisis kelainan genetik dan pencitraan.

Universitas Sumatera Utara


Pada pemeriksaan hasil aspirasi bone marrow, dapat dihitung jumlah sel
blast. Menurut FAB, AML adalah ketika terdapat lebih dari 30% sel blast di bone
marrow. Menurut klasifikasi terbaru WHO, AML sudah tegak jika terdapat lebih
dari 20% sel blast di bone marrow.

Tabel 2.3. Klasifikasi Acute Myelogenous Leukemia


i. Klasifikasi AML menurut FAB adalah sebagai berikut :
M0 Undifferentiated leukemia
M1 Myeloblastic without differentiation
M2 Myeloblastic with differentiation
M3 Promyelocytic
M4 Myelomonocytic; M4eo – Myelomonocytic with eosinophilia
M5 Monoblastic leukemia; M5a – Monoblastic without differentiation;
M5b – Monocytic with differentiation
M6 Eryhtroleukemia
M7 Megakaryoblstic leukemia
ii. Klasifikasi WHO - 2002 mengenai AML adalah sebagai berikut :
- AML with recurrent genetic abnormalities
- AML with multilineage dysplasia
- AML and MDS, therapy related
- AML, not otherwise classified – AML, minimally differentiated; AML,
without maturation; AML, with maturation; acute myelomonocytic
leukemia; acute monoblastic or monocytic leukemia; acute erythroid
leukemia; acute megakaryoblastic leukemia; acute basophilic leukemia;
acute panmyelosis and myelofibrosis; myeloid sarcoma

2.4.2. Acute Lymphoblastic Leukemia


Leukemia Limfoblastik akut adalah penyakit keganasan klonal bone
marrow dimana prekursor awal limfoid berproliferasi dan menggantikan
kedudukan sel-sel hemopoietik di marrow (Seiter, 2012).

Universitas Sumatera Utara


Hal ini akibat ekspresi gen abnormal, paling sering akibat translokasi
kromosom. Karena limfoblast menggantikan posisi komponen-komponen marrow
normal, terjadi peningkatan signifikan terhadap produksi sel-sel darah normal.
Selain di marrow, sel-sel ini juga berproliferasi di hati, limpa dan nodus limfe.
Gejala klinis ALL tersering adalah demam tanpa adanya bukti terjadinya
infeksi. Namun, setiap demam yang terjadi pada pasien ALL tetap harus diduga
sebagai infeksi hingga ada bukti yang menyangkalnya, karena kegagalan
mengobati infeksi secara cepat dan tepat dapat berakibat fatal. Infeksi merupakan
penyebab kematian tersering pada pasien ALL (Seiter, 2012).
Pada pemeriksaan bone marrow, menurut FAB, harus ditemui setidaknya
30% sel limfoblast atau ditemukannya 20% sel limfoblast di darah dan atau di
bone marrow (WHO, 2002) untuk menegakkan diagnosis ALL.

Tabel 2.4. Klasifikasi ALL


Klasifikasi ALL menurut FAB adalah sebagai berikut :
L1 Small cells with homogenous chromatin, regular
nuclear shape, small or absent nucleolus, and scanty
cytoplasm; subtype represents 25-30% of adult cases
L2 Large and heterogenous cells, heterogenous
chromatin, irregular nuclear shape and nucleolus
often large; subtype represents 70% of cases
L3 Large and homogenous cells with multiple nucleoli,
moderate deep blue cytoplasm and cytoplasmic
vacuolization that often overlies the nucleus (most
prominent feature); subtype represents 1-2% of adult
cases

Sistem pengklasifikasian WHO, mengelompokkan subtipe L1 dan L2 ALL


sebagai precursor B lymphoblastic leukemia/lymphoblastic lymphoma atau
precursor T lymphoblastic leukemia/lymphoblastic lymphoma tergantung asal

Universitas Sumatera Utara


selnya. Subtipe L3 ALL dikelompokkan kedalam grup mature B-cell neoplasms
sebagai subtipe dari Burkitt lymphoma/leukemia.

2.5. Leukemia Kronik


2.5.1. Chronic Myelogenous Leukemia
Leukemia myeloid kronis atau Chronic Myelogenous Leukemia (CML)
adalah salah satu myeloproliferative disorder yang ditandai dengan peningkatan
proliferasi sel-sel granulositik tanpa kehilangan kemampuan berdiferensiasi.
Selain itu, gambaran darah perifer menunjukkan peningkatan jumlah granulosit
dan prekursor imaturnya termasuk beberapa jenis sel blast.
CML merupakan satu dari beberapa kanker yang disebabkan oleh mutasi
genetik tunggal. Lebih dari 90% kasus, muncul akibat aberasi sitogenetik yang
dikenal dengan sebutan Philadelphia chromosome.
CML berkembang melewati tiga fase: chronic, accelerated, dan blast.
Pada fase kronik, sel-sel matur berproliferasi; pada fase accelerated, terjadi
kelainan sitogenetik tambahan; pada fase blast, terjadi proliferasi cepat sel-sel
imatur. Sekitar 85% pasien terdiagnosa pada fase kronik yang kemudian berlanjut
ke fase accelerated dan i dalam waktu 3-5 tahun. Diagnosis CML ditegakkan
berdasarkan temuan histopatologi di darah perifer dan Philadelphia chromosome
di sel-sel bone marrow.
Kejadian CML berkisar 20% dari seluruh leukemia yang mengenai orang
dewasa, khususnya individu berusia separuh baya. Hanya sedikit yang terjadi
pada pasien-pasien yang lebih muda. CML yang terjadi pada pasien yang lebih
muda biasanya lebih agresif terutama pada fase accelerated atau saat blast crisis.
Manifestasi klinis CML bersifat insidious, artinya muncul perlahan dengan
gejala tersamar namun dengan efek yang besar. Biasanya penyakit ini ditemukan
pada fase kronis, ketika terlihat peningkatan jumlah sel darah putih pada
pemeriksaan darah rutin atau ketika limpa yang membesar teraba pada saat
pemeriksaan fisik umum.

Universitas Sumatera Utara


Gejala non-spesifik seperti fatigue dan penurunan berat badan biasanya
timbul cukup lama setelah onset penyakit. Kehilangan tenaga dan menurunnya
toleransi kegiatan fisik terjadi beberapa bulan setelah fase kronik.
Pasien biasanya mengalami gejala-gejala akibat pembesaran limpa, hati
atau keduanya. Pembesaran limpa mendesak lambung sehingga pasien merasa
cepat kenyang yang berakibat pada menurunnya asupan makanan. Nyeri abdomen
pada bagian kuadran kanan atas menunjukkan kemungkinan adanya infark pada
limpa. Pembesaran limpa juga mungkin berhubungan dengan keadaan
hipermetabolik, demam, penurunan berat badan dan keletihan yang berlebihan.
Beberapa pasien CML menderita low grade fever dan keringat berlebihan akibat
keadaan hipermetabolik.
Pasien yang datang dalam keadaan fase accelerated atau fase akut dari
CML, gejala yang paling khas adalah ditemukannya perdarahan, peteki, dan
ekimosis. Apabila terjadi demam pada fase ini, maka penyebab paling mungkin
adalah infeksi. Sedangkan gejala khas fase blast adalah nyeri tulang dan demam
serta peningkatan fibrosis pada bone marrow.

2.5.2. Chronic Lymphocytic Leukemia


Leukemia Limfoblastik Kronik atau Chronic Lymphocytic Leukemia
(CLL) adalah kelainan monoklonal yang ditandai dengan akumulasi limfosit yang
inkompeten secara fungsional secara progresif. Menurut Elter pada tahun 2006,
CLL merupakan bentuk leukemia paling umum yang ditemukan pada dewasa di
negara-negara Barat. Seperti kasus malignansi lainnya, penyebab pasti CLL
belum diketahui. Penyakit ini merupakan penyakit yang didapat, jarang sekali
ditemukan kasus familial (Slager, 2009).
Onsetnya perlahan, dalam bentuk tersamar namun dengan hasil yang
berbahaya dan jarang ditemukan secara tidak sengaja pada pemeriksaan hitung
jenis sel darah untuk tujuan lain. Sebanyak 25-50% pasien CLL tidak
menunjukkan gejala. Pembesaran nodus limfe merupakan gambaran klinis yang
paling umum terjadi. Namun pasien dengan CLL bisa saja menunjukkan gejala
yang sangat beragam.

Universitas Sumatera Utara


Sel-sel B klonal yang merupakan sel asal kanker pada pasien CLL,
terperangkap di jalur diferensiasi sel B yaitu diantara pre sel-B dan sel-B matur.
Secara morfologis, sel-sel ini menyerupai bentuk limfosit matur di darah perifer.
Pada pasien CLL, pemeriksaan darah lengkap (CBC) menunjukkan
limfositosis absolut dengan lebih dari 5000 Sel-B/μl yang persisten selama lebih
dari tiga bulan. Klonalitas harus dipastikan dengan flow cytometry. Sitopenia yang
disebabkan oleh keterlibatan sel klonal di bone marrow juga dapat menegakkan
diagnosis CLL tanpa memperhatikan jumlah sel-B perifer.
Pemeriksaan apusan darah tepi dilakukan untuk melihat limfositosis.
Biasanya ditemukan smudge cells yang merupakan artifak limfosit akibat
kerusakan selama pembuatan slide apusan. Sel-sel atipikal besar, cleaved cells dan
sel prolimfositik juga sering ditemukan dan bisa mencapai 55% dari total limfosit
perifer.
Flow cytometry darah perifer merupakan pemeriksaan paling baik untuk
memastikan diagnosis CLL. Melalui pemeriksaan ini, tampak sel-B klonal yang
mengekspresikan CD5, CD19, CD20(dim), CD 23 dan hilangnya FMC-7 staining.

2.6. Miscellanous Leukemia


2.6.1. Hairy Cell Leukemia
Hairy-Cell Leukemia adalah penyakit sel-B dengan sel abnormal memiliki
proyeksi sitoplasma yang menyerupai rambut pada permukaannya. Penyakit ini
merupakan salah satu leukemia limfoid kronis yang pertama kali dijelaskan oleh
Bouroncle dkk pada tahun 1958.
Penyakit keganasan sel-B ini dikenal berdasarkan susunan ulang gen
immunoglobulin yang berakibat pada ekspresi fenotip sel-B terhadap antigen
permukaan, dimana menunjukkan perbedaan antara sel-B imatur pada CLL dan
sel plasma dari penyakit multiple myeloma.
Sel-B klonal abnormal ini menginfiltrasi sistem retikuloendotelial
penderita dan mengganggu fungsi dari bone marrow. Hal ini menyebabkan
kegagalan bone marrow atau pansitopenia. Sel-sel ini juga menginfiltrasi hati dan
limpa yang mengakibatkan organomegali.

Universitas Sumatera Utara


Etiologi masih belum diketahui, walaupun beberapa peneliti menduga
bahawa paparan terhadap benzena, racun serangga organofosfat atau bahan-bahan
lainnya mungkin berkaitan dengan perkembangan penyakit ini. Adanya
overexpression dari protein cyclin D1, yang merupakan regulator siklus sel
penting, ditemukan pada penderita hairy-cell leukemia dan mungkin saja berperan
pada patogenesis molekuler penyakit ini.
Penyakit ini biasanya jarang, hanya berkisar 2% dari seluruh kejadian
leukemia dengan 600-800 pasien terdiagnosis setiap tahunnya. Orang kulit putih
lebih sering menderita penyakit ini. Laki-laki lebih sering ditemukan menderita
hairy-cell leukemia dengan rasio 4-5:1. Predominasi penyakit ini terjadi pada
lelaki paruh baya dengan rata-rata umur 52 tahun.
Proses aspirasi bone marrow biasanya tidak dapat dilakukan secara
sempurna karena „dry tap‟. Infiltrasi sel-sel leukemik pada bone marrow
menyebabkan sel-sel yang akan diaspirasi sulit melewati jarum aspirasi.
Gambaran hasil biopsi terhadap bone marrow menunjukkan pola infiltrasi hairy
cell dengan nukleus tunggal berbentuk bulat atau oval yang terpisah oleh sejumlah
sitoplasma yang membentuk jaring-jaring fibrin.

2.6.2. Large Granular Lymphocytic Leukemia


Kelainan klonal dari limfosit besar bergranul dapat berasal dari sel T
ataupun sel NK (Natural Killer). Walaupun sel-sel T-LGL dan NK-LGL mirip
secara morfologi, sel-sel ini dapat dibedakan berdasarkan fenotip antigen
permukaan dan menunjukkan dua penyakit terpisah dengan gejala klinis yang
berbeda.
Penyakit ini pertama kali dipaparkan pada tahun 1977 untuk
menggambarkan keadaan klinis akibat neutropenia dengan peningkatan sel LGL
yang nyata, dan pada studi sitogenetik ditemukan bahwa hal ini berasal dari suatu
sistem neoplastik. Nama lain yang digunakan untuk menyebut kelainan ini adalah
Tg-lymphoproliferative disease dan lymphoproliferative disease of granular
lymphocytes.

Universitas Sumatera Utara


Large granular lymphocytic leukemia meyumbang sekitar 10-15% dari
seluruh sel mononuklear pada darah normal, dapat berupa sel NK atau sel-T. Oleh
karena itu pengklasifikasiannya dibagi menjadi dua, yaitu T – LGL leukemia dan
NK- LGL leukemia.
Leukemia T-LGL didefenisikan sebagai proliferasi klonal dari CD3+ LGL.
Untuk mengkonfirmasi klonalitas dari kelainan ini, dilakukan pemeriksaan
terhadap penyusunan ulang gen reseptor sel-T. NK-LGL adalah proliferasi klonal
dari CD3- LGL. Berbeda dengan T-LGL, studi yang digunakan untuk konfirmasi
adalah melalui pemeriksaan sitogenetik, karena mengandung hanya sedikit marka
klonal sehingga sulit dilakukan pemeriksaan penyusunan ulang gen reseptor
antigen.
Beberapa kasus T-LGL leukemia menyerang limpa, dimana temuan
khasnya adalah infiltrasi sel-sel leukemik pada sinus dan korda pulpa merah,
hiperplasia sel plasma dan pusat germinal yang prominent. Sinusoid dan area
portal di hati juga terinfiltrasi oleh LGL. Biopsi marrow dapat terdiri dari nodul-
nodul limfosit B dan LGL yang berserakan. Hal ini lebih terlihat jelas pada
sampel marrow yang didapat melalui proses aspirasi. Selain itu kegagalan
maturasi dari granulosit serta aplasia sel merah murni juga dapat ditemukan.

2.7. Pemeriksaan Bone marrow


Pemeriksaan bone marrow merujuk kepada suatu analisis patologi
terhadap sampel bone marrow yang didapat melalui bone marrow biopsy atau
yang biasa disebut dengan trephine biopsy dan bone marrow aspiration.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendiagnosa beberapa keadaan, seperti
leukemia, multiple myeloma, lymphoma, anemia dan pancytopenia. Hal ini
penting dilakukan karena informasi yang didapat akan lebih memuaskan
mengingat yang diperiksa adalah sumber dari sel-sel darah yang menggambarkan
hemopoiesis. Dewasa ini pemeriksaan bone marrow merupakan salah satu uji
diagnostik paling diperhitungkan dalam menegakkan diagnosis kelainan-kelainan
hematologi.

Universitas Sumatera Utara


2.7.1. Bone marrow Aspiration
Proses aspirasi bone marrow bertujuan mengambil sampel bone marrow
yang bersifat semi-liquid dan kemudian diperiksa. Sampel ini digunakan untuk
pemeriksaan sitologis dengan analisa lainnya yang ditujukan khusus terhadap
morfologi serta hitung jenis. Selanjutnya sampel dapat digunakan untuk
pemeriksaan sitogenetik, studi molekuler, kultur mikrobiologis,
immunohistokimia, dan flow cytometry.
Peralatan yang digunakan adalah syringe 20 mL yang dapat mengambil
sekitar 300 µL bone marrow. Jika lebih dari itu, maka dapat terjadi dilusi antara
sampel bone marrow dengan darah perifer.

a. Lokasi Prosedur
Lokasi utama prosedur ini adalah di tulang panggul atau spina iliaka
posterior. Selain mudah dicapai, lokasi ini dipilih karena resiko sakit tidak begitu
besar. Lokasi lain adalah spina iliaka anterior. Lokasi ini dipilih jika spina iliaka
posterior tidak dapat dicapai atau tidak memungkinkan untuk ditusuk akibat
infeksi lokal, trauma atau obesitas parah. Namun, prosedurnya lebih sulit karena
ruang yang lebih kecil, dan sampel yang didapat lebih sedikit. Selain itu resiko
sakit lebih hebat dari daerah posterior. Lokasi lain yang memungkinkan adalah
tulang sternum dan tibia.

b. Langkah-langkah Prosedur
Pasien diposisikan dalam keadaan pronasi atau posisi lateral decubitus
dengan bagian atas tunkai bawah difleksikan sedangkan bagian bawah diluruskan.
Kemudian palpasi spina iliaka dan diberi tanda. Setelah itu melakukan tindakan
asepsis dan antiseptik dimana kulit pada daerah yang akan diaspirasi di bersihkan.
Selanjutnya kulit dan jaringan di bawahnya diberikan anestesi lokal misalnya
lidocaine secara injeksi. Pasien juga dapat diberikan obat-obatan anti ansietas atau
analgetik sebelumnya, namun hal ini tidak termasuk dalam prosedur rutin.
Jarum aspirasi ditembuskan ke kulit dengan tekanan hingga mencapai
tulang. Kemudian dengan gerakan memutar dari tangan dan pergelangan tangan

Universitas Sumatera Utara


dari operator, jarum akan terus menembus hingga bagian luar yang keras dari
tulang yang disebut dengan bony cortex hingga kemudian sampai di ruang
marrow dengan jarak tidak lebih dari 1cm. Setelah itu syringe dipasang pada
jarum dan digunakan untuk mengaspirasi cairan bone marrow.

c. Pembuatan Apusan
Slide apusan bone marrow yang didapat melalui proses aspirasi dibuat
oleh mereka yang ahli dibidangnya seperti teknisi hematopatologis. Tetesan kecil
dari sampel diletakkan pada kaca slide selanjutnya dapat dipersiapkan dalam
berbagai cara namun tetap dengan tujuan yang sama yaitu mengevaluasi bone
marrow.
Apusan bone marrow adalah pembuatan sediaan paling sederhana yang
mirip dengan pembuatan apusan darah tepi. Satu tetes sampel diletakkan 1cm dari
ujung kaca slide yang sudah diberi label diujungnya yang berlawanan. Kemudian
ambil kaca slide kedua yang diposisikan membentuk sudut 30o dari kaca slide
pertama lalu didorong hingga ujung berlawanan secara mulus dan cepat.
Cara lainnya adalah dengan metode squash preparation, cover slip
method, dan touch prints dengan indikasi dan tampilan yang berbeda-beda.
Pewarnaan standard yang digunakan untuk evaluasi awal adalah Wright
atau May-Grunwald-Giemsa staining yang menonjolkan detail sitologis.
Pewarnaan lainnya dapat digunakan untuk berbagai tujuan. Seperti Prussian blue
untuk besi pada kasus yang dicurigai sebagai hemosiderosis. Sudan Black B dan
leukocyte alkaline phosphatase digunakan dalam kategorisasi AML.

2.7.2. Bone marrow Biopsy (Trephine Biopsy)


Biopsi bone marrow dilakukan dengan mengambil jaringan lunak yang
disebut marrow dari dalam tulang. Sama seperti aspirasi bone marrow, sampel
yang biasa dipakai adalah marrow yang berasal dari tulang pinggul. Namun
pengambilan marrow dari sternum tidak dilakukan pada proses biopsi karena
resiko terhadap kerusakan pembuluh darah, paru-paru dan jantung sangat besar.

Universitas Sumatera Utara


Berbeda dengan sampel bone marrow yang didapat melalui proses
aspirasi, jaringan bone marrow yang didapat melalui proses biopsi digunakan
dalam studi mengenai selularitas keseluruhan dari marrow, deteksi lesi-lesi fokal,
dan peningkatan infiltrasi oleh berbagai sumber patologi lainnya.
Biopsi dilakukan dengan prosedur yang sama dengan proses aspirasi bone
marrow hanya saja dengan ukuran jarum yang lebih besar. Jarum yang digunakan
disebut dengan trephine needle. Jarum ditembuskan dan tertahan di bony cortex.
Dengan cara yang sama yaitu gerakan memutar, jarum akan mampu mendapatkan
sampel berupa bagian padat dari bone marrow.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai