1
LOGO
Warna Merah:
Keberanian, Kekuatan dan Semangat
Warna Putih:
Kesucian dan Kebersihan
Warna Abu-abu:
Keseriusan, Kemandirian dan Tanggung Jawab
Palang Merah:
Simbol Kesehatan
Ceklis:
Menggambarkan motto dari Rumah Sakit Dustira
yaitu Terpesona (Tertib, Professional, Empati, Solid,
Nyaman dan Aman)
Tunas Kelapa/huruf d:
Melambangkan komitmen Rumkit Tk.II 03.05.01
Dustira untuk terus bertumbuh dan berkembang.
Con Brio ( berapi api) Cipt /Arr Musik: Paulus Ari Sukamto
Do=F
Lyrik : Susana Agustina
2/4,3/4
| 5 . 5 | 3 1 | 5. 5 6 | 5 . 4 6 | 3/4 5 . 5 . 5|
De rap lang -kah pe tu gas ke se ha tan me nyong
|2/4 7 7 . 1 | 2 7 . 6 | 6 5 | 0 3 . 3 |3 7 . 1 |
song pa si en dan klu ar ga mem be ri kan pe
| 2 . 2 1 . 7 | 2 1 |0 6 . 5 | 4 4 . 5 |6 . 6 7 . 1
la ya nan yg pri ma du ku ngan ke se ha tan yg han
| 7 . | 0 5 . 5 | 3 1 | 5 . 5 6 | 5 . 4 6 |
dal Dus ti ra ku hi jau dan ber
|3/4 5 . 1 . 1 | 2/4 1 7 . 1 | 2 . 2 1 . 7 | 6 . |
sih me mi li ki mo to ter pe so na
| 0 6 . 7 | 1 7 . 1 | 2 . 1 7 . 6 | 5 1 |3/4 3 . 4 . 3|
Ter tib ra mah pro fe si o nal em pa ti So lid
| 2 7 | 5 3 . 2 | 1 . | 0 3 . 3 | 3 7 | 7 1 . 2|
Nya man ser ta a man Se nyum sa pa sa lam sen
3
|1 . |0 6 . 5 | 4 4 | 5 . 5 6 . 6 | 7 . | 0 5|
tuh Su luh sem buh ser ta se - la mat pe
|6 . 6 6 . 7 | 1 . 1 7 . 6 |5 . 5 1 . 3 | 5 0 0 5 | 5 5 . 5|
la ya nan di la ku kan de ngan ha ti sung guh ko mu ni ka
|5 0 0 5 | 5 5 | 5 0 0 5 | 5 4 | 2 . 2 1 . 7 | 1 . |
Si yg e fek tif di sam pai kan dengan hor mat
| 0 5 . 5 | 3 1 | 5 . 5 6 | 5 . 4 6 | 3/4 5 . 5 . 5 |
Bang ga de ngan ru mah sa kit dus ti ra meng ha
|2/4 7 7 . 1 | 2 7 . 6 | 6 5 | 0 3 . 3 |3 7 . 1 |
rum kan na ma Si li wa ngi di si ni lah tem
| 2 . 2 1 . 7 | 2 1 | 0 6 . 5 |4 4 . 5 |6 . 6 7 . 1 |
pat ki ta ber bak ti ta nah per ti wi tem pat me ngab
| 7 . |0 5 . 5 | 3 1 | 5 . 5 6 | 5 . 4 6 |
di de ngan pe la ya nan se pe nuh ha
| 3/4 5 . 1 . 1 | 2/4 1 7 . 1 | 2 1 . 7 | 6 . |
4
ti a gar le bih ber si nar la gi
| 0 6 . 7 | 1 7 . 1 |2 . 1 7 . 6 |5 . 5 1 . 3 |
Di ba wah na u ngan Pan ji Hes ti Wi ra Sak
|5 . |0 4 . 3 | 2 7 . 7 | 5 . 5 3 . 2 |1 . | 0 ||
ti Pe la ya nan te pat ba gi Ne gri
5
HYMNE DUSTIRA
Lambat
Cipt /Arr Musik: Paulus Ari Sukamto
Do=C
Lyrik : Susana Agustina
2/4
| 5 5 5 5 | 6 5 4 3 | 5 3 | 3 2 3| 4 4 4 4
|
Lorong pan jang sam bung kan ra sa pe tu gas hi - lir mu
| 5 4 3 2| 3 5 5 6 |5 0| 1 1 1 2 | 3 3 2 1 |
dik la ku-kan tu gas nya pa si en dan ke lu ar ga
| 2 1 2 3 | 3 5 5 |6 6 6 7| 1 1 7 6 | 7 1 |
te mu kan a sa ha ra pan pe la ya nan pa ri pur
|7 . |5 5 5 5 |6 5 4 3|5 3 | 3 2 3| 4 4 4 4|
na Ra ga dan Ji wa me rin tih pe rih me mi lih da tang se
| 5 4 3 2 | 3 5 5 6 | 5 . | 1 1 1 2 | 3 2 1 |
rah kan ha ra pan ke pa da pe tu gas
|1 1 7 | 1 2 3 | 7 1 |2 3 4 | 3 2 1 7 | 1 . |
Yg ter la tih ce ka tan te pat wak tu dan so pan
|0 7 1 | 2 2 |1 7 1 2 |3 . |0 7 1 | 2 2 |
Se nyum sa pa sa lam sen tuh su luh sem buh
|5 1 2 | 3 .|0 3 3 |3 5 |3 2 |1 7 7 1 2 |
Dan se la mat I tu lah ka mi ru mah sa kit dus ti
|3 4 3 | 2 2 2 |4 4 5 6 |5 5|0 5 | 6 6 6 5 |
Ra me ngab di ke pa da I bu per ti wi Ring kas ra pih re
|4 3 4 | 5 3 |1 . | 2 2 2 3 | 4 4 3 2 | 3 .|
6
Sik ra wat dan ra jin ka mi la ku kan de ngan se nang
| 6 6 6 5 | 4 3 4 | 5 5 5 3 1 | 1 . |0 6 7 1 2 |
Bu da ya I ni sla lu ka mi pli ha ra mes ki pun si
|1 0 6 7 | 1 7 1 | 2 . | 2 0 ||
ang dan ma lam ber ja ga
|5 5 5 5 | 6 5 4 3 | 5 3 |3 2 3 | 4 4 4 4 |
Ji wa ra ga ka mi sla lu u sa ha wu jud kan Vi si Mi
| 5 4 3 2| 3 5 5 6 | 5 0| 1 1 1 2| 3 3 2 1
|
si ru mah sa kit ke bang ga an u ta ma kan ke se la ma
|1 1 7 |1 2 3 | 5 5 4 |3 2 3 |4 6 4|5 5 7 5|
tan ber sa ma ka re na se hat ke ku a tan ne ga ra ki
|1 .|00
ta………
7
KATA PENGANTAR PANGDAM III/SLW
10
SAMBUTAN KAKESDAM III/SLW
11
KATA PENGANTAR KARUMKIT DUSTIRA
12
rumah sakit Dustira.
13
DAFTAR ISI
LOGO ............................................................................
MARS DUSTIRA ...........................................................
HYMNE DUSTIRA ........................................................
SAMBUTAN .................................................................
SAMBUTAN ...................................................................
PENGANTAR ...................................................................
DAFTAR ISI ....................................................................
BAB I PENDAHULUAN ................................................... 1
BAB II SEJARAH RUMAH SAKIT DI INDONESIA ......... 9
Masa Kolonial ................................................................. 9
Pelayanan Kesehatan Jaman VOC .............................. 13
Masa Pendudukan Jepang ........................................... 27
Masa Kemerdekaan ...................................................... 29
BAB lll MILITAIR HOSPTAAL TE TJIMAHI .................. 34
BAB IV TRANSFORMASI RS DUSTIRA ...................... 47
DOKUMENTASI MILITAIR HOSPITAAL ...................... 53
KEPALA RUMAH SAKIT DUSTIRA .............................. 61
PENGHARGAAN DAN SERTIFIKAT ............................ 72
DUSTIRA MENUJU VISI KE DEPAN ........................... 76
DAFTAR PUSTAKA ...................................................... 94
14
BAB I
PENDAHULUAN
2
Lonceng baja Water toren
Selain bagian depan yang menjadi ciri
khasnya, di rumah sakit juga terdapat
sejumlah obyek yang menjadi bagian dari
cagar budaya. Yang menarik adalah adanya
water toren atau sumur bor di sisi timur
kawasan rumah sakit, yang digunakan
sebagai sumber air ruang-ruang perawatan di
sisi timur. Demikian pula 4 empat blok
rumah dinas dokter yang masih aktif
ditempati. Di bagian dalam rumah sakit juga
terdapat ruang-ruang perawatan yang masih
dipertahankan keberadaannya.
3
Rumah dinas RS Dustira
4
civitas hospitalia dan masyarakat pada
umumnya. Tulisan ini berupaya memberikan
pemahaman sejarah berdiri maupun
perkembangan rumah sakit Dustira. Upaya
untuk menggali informasi dilakukan dengan
mencari data dari beberapa narasumber
maupun kepustakaan.
5
BAB II
SEJARAH RUMAH SAKIT DI INDONESIA
Masa kolonial
6
angkatan bersenjata yang menderita sakit
atau luka-luka. Hal ini diikuti dengan
berdirinya rumah sakit militer di tempat
pemusatan tentara kolonial seperti Jakarta,
Semarang dan Surabaya.
Terjadinya wabah penyakit di
kalangan rakyat pribumi sangat
mempengaruhi kepentingan penjajah dalam
bidang ekonomi maupun kesehatan
masyarakat, sehingga kemudian banyak
rakyat pribumi yang diobati dan dirawat.
Oleh karena kewalahan, mulailah dididik
mantri-mantri cacar dan dokter pribumi di
rumah sakit militer tersebut. Rumah sakit
militer yang melaksanakan pendidikan
tenaga kesehatan menjadi prototipe dari
Rumah Sakit Pendidikan masa kini. Bahkan
kemudian dengan dibukanya pendidikan
dokter pribumi menjadi STOVIA (School
Tot Opleiding Van Inlandse Artsen) dan
NIAS (Nederlands Indische Artsen School),
rumah sakit pendidikan menjadi berkembang
pula.
Boomgard (1996) menyatakan bahwa
7
sejarah rumah sakit di Indonesia tidak dapat
dipisahkan dari perkembangan ilmu
kedokteran Barat di Asia yang berlangsung
sejak tahun 1649, ketika seorang ahli bedah
bernama Caspar Schamberger berada di
Edo (saat ini Tokyo) untuk mengajarkan ilmu
bedah kepada orang Jepang. Masa ini
merupakan awal dari beralihnya sistem
tradisional kesehatan di Asia yang mengacu
pada sistem Cina dan berubah menjadi sistem
Belanda (Akira, 1996). Pengalihan ini
berjalan secara lambat. Patut dicatat bahwa
pelayanan kesehatan Barat sering
diperuntukkan bagi keluarga bangsawan.
Pembangunan rumah sakit merupakan
upaya untuk mengatasi persoalan yang
dihadapi akibat pelayaran yang jauh yaitu
dari Eropa ke Indonesia dan tidak didukung
oleh fasilitas medis yang baik, adaptasi
klimatis, dan ketidakmampuan mengadaptasi
serta mengatasi penyakit tropik. Setelah
VOC mendirikan benteng di Batavia pada
tahun 1612, perawatan pasien baru dimulai
dan pendirian rumah sakit pertama di daerah
8
pantai pada tahun 1626. Bentuk pelayanan
kesehatan ini menyebar ke kepulauan
Nusantara mengikuti meluasnya teritorial
perdagangan VOC.
Bangunan rumah sakit dari bambu dan
batu didirikan di tempat pemukiman atau
markas utama VOC. Dokter dan rumah sakit
mengutamakan pelayanan kesehatan bagi
pegawai VOC yang harus segera
disembuhkan agar dapat bekerja kembali.
Untuk mempergunakan jasa rumah sakit,
pasien harus membayar sendiri kecuali
pegawai VOC yang dibayarkan oleh VOC.
Oleh karena penduduk yang sakit tidak
mampu membayar, maka rumah sakit hanya
dimanfaatkan oleh VOC, sehingga rumah
sakit hanya berlatar belakang ekonomi bukan
kemanusiaan.
Faktor ini merupakan salah satu
penyebab kenapa penduduk belum berobat
ke dokter atau rumah sakit. Pada masa awal
rumah sakit di Indonesia secara eksklusif
hanya diperuntukkan bagi orang-orang
Eropa. Baru pada masa berikutnya orang
9
non-Eropa yang bekerja dengan VOC
mendapat kesempatan untuk menggunakan
rumah sakit, tetapi berbeda tempat, fasilitas,
dan pelayanan.
Sampai akhir abad ke-19, pada
dasarnya rumah sakit di Indonesia
merupakan rumah sakit militer yang secara
eksklusif ditujukan kepada anggota kesatuan
militer dan pegawai VOC atau kemudian
pemerintah baik orang Eropa maupun
pribumi. Sementara itu, orang sipil yang
berhak mendapat pelayanan rumah sakit
hanya orang Eropa atau penduduk non-Eropa
yang secara yuridis formal disamakan dengan
orang Eropa. Hal ini berhubungan dengan
kebijakan kesehatan penguasa pada waktu itu
yang tidak mengindahkan penduduk pribumi.
Apabila penduduk pribumi mendapat
pelayanan kesehatan, hal itu hanya dilakukan
sebagai bagian dari upaya melindungi
kepentingan orang Eropa.
Ketika terjadi pergeseran kebijakan
politik kolonial pada akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20, secara langsung berdampak
10
pula pada kebijakan kesehatan pemerintah
kolonial yang berpengaruh terhadap
perkembangan pelayanan rumah sakit oleh
pemerintah untuk penduduk pribumi.
Menurut Purwanto (1996) pada masa
awal perkembangan rumah sakit masa VOC
sampai awal abad ke-19, pendanaan rumah
sakit diperoleh dari subsidi penguasa yang
diambil dari pasien yang pada dasarnya
adalah pegawai VOC. Pada saat itu juga telah
berkembang pemberian pelayanan rumah
sakit tergantung kepada kebutuhan dan
kemampuan pasien, terutama yang
berhubungan dengan diet yang diterima
pasien. Tinggi atau rendahnya tarif yang
diberlakukan sesuai dengan pelayanan dan
kebutuhan pasien, sehingga secara tidak
langsung kelas dalam rumah sakit sudah
tercipta pada waktu itu.
Pada masa kekuasaan Daendels terjadi
perubahan yang cukup penting. Sejak saat itu
personil militer dibebaskan dari biaya rumah
sakit, sedangkan pegawai sipil baru
menikmati pembebasan biaya rumah sakit.
11
Di kalangan penduduk sipil pribumi ada
delapan kelompok yang dinyatakan bebas
dari biaya rumah sakit, antara lain pelacur
yang ditemukan sakit, orang gila, penghuni
penjara, dan orang sipil yang bekerja pada
kegiatan pemerintah.
12
kesehatan lainnya. Untuk mendapatkan
gambaran yang tepat tentang peran dan
pentingnya perawatan rumah sakit di Hindia
Timur selama abad ke-17 dan ke-18, harus
memperhitungkan kondisi dan keadaan di
mana pekerja seperti pelaut, tentara dan
pengrajin datang dan ditempatkan di tempat
kerjanya.
Seringkali, orang-orang ini datang di
Batavia setelah perjalanan laut yang panjang
dan melelahkan, sakit dan tidak punya rumah
untuk tempat tinggal. Mereka membutuhkan
setidaknya tempat berlindung untuk
memulihkan dari penyakit yang mereka
derita. Tempat perlindungan seperti itu
disediakan oleh VOC dalam bentuk kapal
rumah sakit, rumah sakit, dan rumah sakit
kota (Zondervan, 2016:21).
Para profesional yang merawat pasien
adalah chirurgijns. Mereka memiliki
pengetahuan medis yang diperoleh dari
pelatihan di daerah asal mereka, tetapi juga
mencoba memanfaatkan pengetahuan medis
lokal, sebagian dari Portugis dan sebagian
13
besar dari pribumi.
Tahun-tahun pertama setelah
berakhirnya era VOC, perawatan kesehatan
memiliki karakteristik yang sama seperti
sebelumnya: sesuai dengan perawatan rumah
sakit, dilaksanakan terutama oleh chirurgijns
dan tersedia terutama untuk pasien Eropa.
Sejauh aspek medis yang bersangkutan,
situasi membaik.
Di Batavia, pelayanan rumah sakit
dibayangi oleh tingginya angka rawat inap
dan kematian. Schoute menyebutkan tahun
1806, sekitar 2.540 pasien dirawat di
Buitenhospitaal. Selama tahun itu 2.175
pasien pulang karena sembuh dan 192 orang
meninggal. Namun, situasi di kota tua belum
membaik, tidak sehat seperti sebelumnya dan
orang-orang memutuskan untuk pergi dan
pindah ke pemukiman selatan, seperti
Weltevreden (Zondervan, 2016:60).
Pada masa kolonial, tingkat
kesejahteraan penduduk bumiputra sangat
memprihatinkan termasuk kondisi kesehatan.
Saat itu cukup berkembang wabah penyakit
14
menular antara lain: malaria, pes, kolera dan
cacar yang menyebabkan angka mortalitas
yang tinggi.
Setelah VOC mendirikan benteng di
Batavia pada tahun 1612, perawatan pasien
baru dimulai dan pendirian rumah sakit
pertama di daerah pantai pada tahun 1626.
Pada tahun 1641, VOC mendirikan bangunan
rumah sakit permanen di kawasan yang
sekarang disebut Jakarta. Rumah sakit juga
dibangun di pos-pos perdagangan di luar
(buitenposten).
Sebelumnya, rumah sakit hanya
menjadi tempat untuk mengisolasi pekerja
yang jatuh sakit dan mendapat cedera. Di
rumah sakit ini tidak ada perawatan dalam
arti sesungguhnya. VOC juga menunjang dan
memberi subsidi guna pembangunan rumah
sakit pertama untuk masyarakat Cina di
Jakarta, terutama untuk menampung mereka
yang terlantar dan para pecandu madat.
Selama abad ke-19, pelayanan
kesehatan di wilayah Hindia Belanda
‘dipercayakan’ sepenuhnya kepada
15
pelayanan kesehatan militer. Pelayanan ini
dibentuk berdasarkan model yang ada di
negeri Belanda yang dipelopori oleh S.J.
Brugmans, seorang profesor dari Leiden yang
telah berkecimpung dalam organisasi
pelayanan kesehatan militer pada tahun 1795.
Perhatiannya pertama kali ditujukan terhadap
para ahli bedah (surgeons) yang direkrut
dari tukang cukur, tukang patri, dan para
tukang pengebiri babi, sehingga jelas sekali
di sini bahwa para surgeon yang
diperkerjakan sangat terbatas kualifikasinya.
Brugmans kemudian berusaha untuk
memperbaiki pelayanan kesehatan
masyarakat di Hindia Belanda dengan jalan
memasukkan bidang keahlian pada ujian
dalam perekrutan dan meningkatkan gaji dan
status mereka. Dengan tindakan-tindakannya
tersebut kemudian dia membentuk sebuah
institusi khusus yang menangani pelatihan
mereka.
Di Leiden, lembaga pelatihan khusus
ini dibuka pada tahun 1802, sedangkan di
Utrecht pada tahun 1822. Lebih jauh,
16
Brugmans kemudian juga mencurahkan
perhatiannya kepada organisasi rumah sakit.
Ia memformulasikan beberapa peraturan
mengenai hal-hal internal mengenai rumah
sakit, nutrisi, perawatan medis dan
khususnya kesehatan pribadi.
Ide dan model yang dikembangkan
Brugmans inilah yang kemudian diadaptasi,
dibawa, kemudian diterapkan di Hindia
Belanda oleh seorang dokter militer bernama
J. Heppener. Heppener sendiri pernah
menjadi murid Brugmans untuk beberapa
tahun lamanya di militer Belanda, sebelum
dia akhirnya menemani Herman Willem
Daendels bertugas di Hindia Belanda.
Kebangkrutan yang kemudian disusul
dengan pembubaran VOC pada akhir abad
ke-18 telah meninggalkan sebuah kondisi
kesehatan yang sangat memprihatinkan baik
dari segi fasilitas maupun fungsinya. Oleh
karena itulah segera setelah kedatangannya di
Hindia Belanda, Daendels memutuskan
bahwa semua personel militer akan dibiayai
secara gratis dan mereka akan diberi akses
17
yang baik untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan dari rumah sakit. Keputusan
Daendels ini bertolak belakang dengan
peraturan yang ditetapkan oleh VOC pada
masa sebelumnya yang menyatakan bahwa
seorang tentara berhak mendapatkan
pelayanan kesehatan dari rumah sakit dengan
syarat gajinya harus dipotong sebagai biaya
ganti perawatan tersebut.
Kemudian Daendels menempatkan
semua tugas perawatan medis kepada sebuah
organisasi yang dibentuk menjadi subdivisi
dari militer. Pada bulan Juli 1808, keluarlah
sebuah peraturan yang membentuk sebuah
institusi pertama yang khusus menangani
masalah kesehatan di Nusantara yaitu Militair
Geneeskundige Dienst (MGD) atau Dinas
Kesehatan Militer. Semua surgeon non-
militer yang masih tinggal di Hindia Belanda
pada waktu itu dapat masuk kedalam
lembaga ini asalkan mengambil ujian yang
diharuskan dan mendapatkan hasil yang
bagus.
Orientasi kebijakan Daendels di
18
bidang kesehatan yang lebih mementingkan
militer mengakibatkan munculnya peraturan
yang membagi dua macam kelas dalam
rumah sakit. Kelas pertama (the first class)
adalah diperuntukkan sebagai rumah sakit
militer yang hanya merawat para tentara dan
pelaut, orang sipil hanya diterima di tempat
ini jika dia mampu membayar akomodasi
yang ditentukan. Sementara kelas kedua (the
second class) menerima pasien orang Eropa
dan pribumi pada rumah sakit yang sama
hanya tempatnya dipisahkan dengan kelas
pertama.
Lembaga ini sebenarnya menggunakan
model yang ada di negeri Belanda oleh
karena itu tipe tenaga kesehatan yang
dikenalkan dalam lembaga ini juga sama
seperti di Belanda yaitu berdasarkan pada
tiga tingkatan. Tingkat yang paling rendah
merupakan para surgeon yang masih dalam
status magang atau pegawai kesehatan kelas
tiga. Kemudian tingkat menengah ditempati
oleh para asisten surgeon atau pegawai
kesehatan kelas dua sedangkan tingkat yang
19
paling atas ditempati oleh para surgeon
utama atau pegawai kesehatan kelas satu.
Secara keseluruhan, jumlah surgeon yang
dipekerjakan di MGD pada masa Daendels
ini sejumlah 81 surgeon.
Sementara itu rumah sakit dalam
sistem yang dikembangkan ini merupakan
pilar kedua dalam organisasi ini.
Didasarkan pada pemikiran Brugmans,
kemudian diambil keputusan untuk
membentuk sebuah jaringan rumah sakit di
Jawa untuk merawat tentara kolonial yang
sakit atau terluka dalam pertempuran.
Di Jakarta, Semarang, dan Surabaya
dibangun Groot-Militair Hospitalen. Rumah
sakit garnisun dibangun di dalam atau di
dekat tangsi militer di kota-kota lebih kecil di
Jawa, Maluku, dan pos-pos luar lainnya,
dipimpin seorang bintara. Rumah sakit
militer ini dibangun dengan ketentuan:
bangunan luas, mudah dimasuki udara,
ventilasi dan plafon bangsal, jarak
penempatan tempat tidur yang cukup jauh,
baju pasien dan perlengkapan tempat tidur
20
harus sering diganti, bangsal harus bersih,
makanan baik, dan pasien dipisahkan
menurut jenis penyakit.
Jumlah anggota yang harus dilayani
sekitar 18.450 orang. Jumlah tentara itu tidak
hanya terdiri dari orang-orang Belanda saja
melainkan juga tentara Belanda yang berasal
dari orang-orang pribumi seperti dari Jawa,
Madura, Ambon dan Minahasa. Sampai
tahun 1818 hanya dengan izin khusus pejabat
sipil dapat mendapatkan perawatan di rumah
sakit tentara tersebut.
Berbeda dengan kebijakan yang
dilakukan oleh Daendels, Raffles yang
berkuasa di Jawa sejak tahun 1811 tidak
mendasarkan pelayanan kesehatan kepada
kepentingan militer semata. Perbedaan yang
mencolok dibandingkan dengan penguasa
sebelumnya (VOC dan Daendels), Raffles
justru sangat berkepentingan terhadap
kondisi kesehatan penduduk pribumi. Orang
Inggris inilah yang pertama kali mengajukan
usulan mengenai perlunya dilakukan upaya-
upaya kesehatan yang bersifat preventif
21
yaitu vaksinasi. Namun sebelum semua
agenda kesehatannya selesai dilaksanakan,
terjadi pergantian kekuasaan rezim kolonial
pada tahun 1816.
Raja Willem I kemudian mengirimkan
seorang professor botani dari Amsterdam
bernama C.G.C. Reinwardt untuk
mengorganisasi pelayanan medis di Hindia
Belanda. Berbeda dengan Happener, selain
mampu dalam bidang pelayanan medis untuk
kalangan militer, Reinwardt juga mempunyai
perhatian besar terhadap pelayanan kesehatan
untuk rakyat sipil, bahkan lebih dari itu dia
juga mengagendakan untuk melakukan
vaksinasi.
Sementara peraturan pemerintah
pertama yang mengatur tentang masalah
kesehatan sipil dikeluarkan pada tahun 1820.
Pada tahun yang sama reorganisasi institusi
kesehatan dilakukan oleh Prof. C.G.C.
Reinwardt dengan membentuk satu lagi
institusi kesehatan untuk pelayanan
masyarakat sipil yang disebut dengan
Burgelijke Geneeskundige Dienst (BGD)
22
atau Dinas Kesehatan Sipil. Perbedaan dua
institusi kesehatan ini adalah bahwa kalau
MGD dijalankan oleh pegawai kesehatan
militer yang bertanggung jawab terhadap
pengobatan tentara yang sakit dan situasi
higienis di rumah-rumah sakit militer,
sedangkan BGD dijalankan oleh dokter-
dokter kotapraja yang bertugas dan
bertanggung jawab untuk memelihara kondisi
sanitasi umum di kota-kota dan daerah
sekitarnya serta melakukan pengobatan
terhadap pasien sipil di rumah-rumah sakit
sipil yang baru dibangun.
Seiring dengan pembentukan BGD
yang dipelopori oleh Reinwardt, pelayanan
rumah sakit terhadap masyarakat umum
menunjukkan beberapa peningkatan. Pada
waktu itu di Batavia banyak ditemukan orang
sipil yang sakit akibat luka tembak dan tidak
mendapatkan perawatan apapun. Dengan
dasar fakta itu maka Residen Batavia P.H.
van Lawick van Pabst menganggarkan dana
sebesar f1000 untuk mendirikan sebuah
bangsal perawatan yang bisa memuat 15
23
orang sakit akibat luka tembak dari kalangan
sipil.
Bangsal ini kemudian ditempatkan di
bawah administrasi dokter kotapraja dengan
beberapa staf pribumi. Bangsal perawatan ini
jugalah yang kemudian pada perkembangan
selanjutnya berkembang menjadi apa yang
disebut sebagai stadsverbandhuis atau
tempat perawatan luka tembak kotapraja.
Bangsal ini sempat berubah nama menjadi
stadsverband pada tahun 1819. Sementara
stadsverband di Semarang baru didirikan
antara tahun 1840 dan 1850 dan di Surabaya
antara tahun 1820 dan 1823. Bangsal-bangsal
perawatan inilah yang pada abad ke-20
kemudian menjadi cikal bakal dari apa yang
disebut sebagai Centrale Burgelijke
Zikeninrichting atau CBZ) atau rumah sakit
umum pusat.
Pada kenyataannya BGD menjadi
subordinat dari MGD, oleh karena itu tentara
tetap menjadi objek utama dalam pelayanan
kesehatan sampai saat itu. Hal ini kemudian
menyebabkan adanya pengabaian terhadap
24
pelayanan kesehatan masyarakat sipil karena
adanya anggapan bahwa pelayanan kesehatan
sipil adalah kepentingan sekunder.
Pada tahun 1827, Dinas Kesehatan
Sipil dan Militer digabung dalam satu atap
Dinas Kesehatan di bawah pimpinan Kepala
Dinas Kesehatan Militer. Hanya di Kota
Batavia, Surabaya dan Semarang saja yang
tetap mempertahankan dokter kotapraja
walaupun posisinya berada di bawah pejabat
kesehatan militer setempat. Walaupun pada
waktu itu pelayanan kesehatan sipil sudah
mulai dirintis keberadaannya, tetapi petugas
atau paramedis yang melakukan pelayanan
sebagian besar masih berasal dari dokter-
dokter militer.
Selama periode 1850-1880, rumah
sakit militer di Hindia Belanda dibagi
menjadi 3 kelompok dan beberapa kelas.
Pembagian ini didasarkan pada jumlah rata-
rata pasien setiap hari di rumah sakit
tersebut.
Menurut pembagian tersebut rumah
sakit militer di Batavia, Surabaya dan
25
Semarang merupakan rumah sakit militer
kelompok pertama dengan jumlah rata-rata
pasien setiap hari masing-masing sebanyak
743, 434, dan 424 pasien. Rumah sakit
militer Batavia dalam kelompok ini
merupakan kelas satu sementara rumah sakit
militer Semarang dan Surabaya adalah kelas
dua.
Rumah sakit garnisun yang tersebar di
seluruh wilayah Hindia Belanda merupakan
rumah sakit militer kelompok kedua. Pada
kelompok dua ini terdapat tiga kelas rumah
sakit berdasarkan jumlah rata-rata pasien
setiap hari. Pada kelompok kedua ini terdapat
34 rumah sakit garnisun dengan jumlah rata-
rata pasien setiap hari terendah 21 orang (di
rumah sakit Garnisun Martapura) dan
tertinggi mencapai 160 orang (di
Plantungan).
Sementara kelompok ketiga
merupakan rumah/bangsal pengobatan yang
biasanya terletak di dalam benteng dengan
maksimal jumlah rata-rata pasien setiap hari
paling tinggi 20 pasien (di Siak) dan
26
minimal 3 pasien (terjadi di beberapa
tempat). Pada kelompok ketiga ini terdapat
empat kelas bangsal pengobatan. Di
seluruh wilayah Hindia Belanda, rumah
sakit militer pada kurun waktu itu jumlah
pasien rata-rata setiap tahunnya mencapai
4000 pasien, baik pasien yang diakibatkan
oleh penyakit ataupun pasien korban perang,
yang didistribusikan mencakup 80 rumah
sakit.
Sementara dari segi fisik bangunan,
pada periode ini terdapat perbaikan dengan
adanya pembangunan rumah sakit militer
dengan menggunakan sistem paviliun. Selain
hanya menggunakan satu tingkat bangunan
rumah sakit ini juga dihubungkan dengan
koridor yang beratap antara bangunan satu
dengan bangunan yang lain.
Rumah sakit ini juga dilengkapi
dengan taman yang luas, seperti yang
tergambar pada rumah sakit garnisun di
Malang. Namun kondisi bangunan rumah
sakit militer yang lebih modern baik dari segi
pertimbangan kesehatan bangunan maupun
27
fasilitasnya terdapat di rumah sakit militer
Weltevreden, Semarang, dan Surabaya.
MGD pada tanggal 1 September 1922
dilakukan reorganisasi internal dengan tujuan
untuk memperluas dan mengintensifkan
pelayanan kesehatan kepada para anggota
militer dalam rangka mendukung perang.
Perluasan ini dengan jalan membentuk
semacam seksi pelayanan kesehatan pada
setiap tingkat batalion yang disebut dengan
hulpverbandplaatsen.
Perkembangan rumah sakit sebagai
fasilitas kesehatan utama pada masa kolonial
paling tidak dapat dikategorikan dalam tiga
periode yaitu:
a. Periode 1890 – 1910
Merupakan masa transisi supremasi militer dalam
pelayanan kesehatan oleh Militair Geneeskundige Dienst
(MGD) yang mulai digantikan oleh pelayanan kesehatan
sipil oleh Burgerlijke Geneeskundige Dienst (BGD).
Pemisahan yang nyata di antara kedua institusi kesehatan
ini baru terjadi pada tahun 1911 yang diatur dalam
Staatsblad tahun 1910 Nomor 648. BGD kemudian
dijadikan bagian tersendiri di bawah Departement van
28
Onderwijs en Eerendienst. Periode ini juga dicirikan
dari kebijakan batig slot ke politik etis, sehingga
memunculkan fenomena baru dimana rumah sakit mulai
banyak dikelola swasta terutama perkebunan dan
misionaris.
b. Periode 1910 – 1930
Setelah terjadi perubahan dan BGD mulai
tertata, perkembangan rumah sakit sipil berkembang
pesat. Politik etis cukup berpengaruh dan pemerintah
Hindia Belanda cukup terlibat aktif dalam pendirian dan
pendanaan rumah sakit umum maupun memberikan
subsidi pada rumah sakit swasta. Sejumlah usaha
dilakukan dalam melakukan pelatihan terhadap pegawai
rumah sakit. Periode ini dicirikan perkembangan yang
pesat dalam jumlah rumah sakit umum negeri maupun
swasta.
c. Periode 1930 - 1942
Depresi ekonomi mendorong pemerintah
memotong anggaran pendanaan publik. Terdapat usaha
untuk melakukan desentralisasi perawatan rumah sakit
dimana perusahaan swasta maupun yayasan mengambil
alih beban finansial pelayanan kesehatan. Pemerintah
mengurangi subsidi terhadap rumah sakit. Sebagai
konsekuensi logis atas hal ini, jumlah rumah sakit
29
menurun dan beberapa organisasi atau yayasan
mengalami masalah dana.
30
banyak mengalami perubahan baik secara
fisik maupun fungsinya.
Seperti juga pada masa pemerintah
Hindia Belanda, pada masa pemerintah
Pendudukan Jepang rumah sakit tidak
dipergunakan untuk kepentingan
masyarakat pribumi.
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/mkn/bertemu-
dengan-saudara-kembar-museum-kebangkitan- nasional-
di-cimahi/
31
perbekalan kesehatan secara umum.
Masa Kemerdekaan
32
swasta (private hospital). Menurut jenis
pelayanan yang diselenggarakan, dibedakan
menjadi rumah sakit umum (general
hospital) jika semua jenis pelayanan
diselenggarakan dan rumah sakit khusus
(speciality hospital) jika hanya satu jenis
pelayanan kesehatan. Sebelum mengalami
perkembangan seperti saat sekarang,
pembedaan antara rumah sakit umum
(sipil/publik) dan militer pada masa
kolonial juga mengacu pada pembagian ini.
Semua jenis rumah sakit pada awal
abad ke-20 secara kuantitas mengalami
pertambahan yang signifikan. Pada tahun
1910 di seluruh wilayah Hindia Belanda
terdapat 22 rumah sakit militer, kemudian
163 rumah sakit milik pemerintah dan 78
rumah sakit milik swasta. Pada tahun 1922
sudah terdapat 61 rumah sakit militer, 181
rumah sakit negara (Burgelijke dan
Centrale Burgelijke Ziekeninrichtingen).
Rumah Sakit pada jaman kolonial yang
tercatat antara lain seperti pada tabel dibawah
ini:
33
Military Hospitals Place Island Founded Closed
Infirmary Bengkulu Benkoelen Sumatra South 1867
(Benkoelen)
Infirmary Besuki Bezoeki Java East 1867
(Bezoeki)
Military Hospital Bodjong Java Central 1867
Bojong
(Semarang)
Infirmary Bantaeng Bonthain Celebes SW 1867
Infirmary Bogor Buitenzorg Java West 1867
(Batavia)
Military hospital Djambi Sumatra South 1867
Jambi
Infirmary Lubuk Loeboek Sumatra 1890
Sikaping
Sikaping West
Military hospital Djatingaleh Java Central 1921
Semarang
(Semarang)
Garrison hospital Djokjakarta Java Central
Yogyakarta
Garrison hospital Fort de Cock Sumatra West
Bukittinggi
Military hospital Serang Java West
Serang
(Bantam)
Infirmary Siak Siak Sumatra East
(Bengkalis)
Garrison hospital Sibolga Sumatra West
Sibolga
Military hospital Sigli (Noord- Sumatra North 1917
Sigli
Atjeh)
Garrison hospital Singkawang Borneo West
Singkawang
Infirmary Singkel Singkel Sumatra North
(Atjeh)
34
Military Hospitals Place Island Founded Closed
Garrison hospital Sintang Borneo West
Sintang
Infirmary Loeboek Loeboek Sumatra West 1890
Sikaping
Sikaping
Military hospital Soerabaya Java East 1867 1923
Surabaya
(Simpang)
Garrison hospital Soerakarta Java Central 1867
Surakarta
Infirmary Solok Solok Sumatra West
Infirmary Talang Talang Sumatra West
Padang
Padang
Infirmary Tanjung Tandjong Borneo SE
Military hospital Tandjong Riouw
Tanjung Pinang
Pinang
(Riouw)
Garrison hospital Tebing Tinggi Sumatra South 1839 1907
Tebing Tinggi
Garrison hospital Telok-Betung Sumatra South
Teluk Betung
(Lampongse
Districten)
Garrison hospital Ternate Moluccas
Ternate
Garrison hospital Tjilatjap Java Central 1830 1894
Cilacap
(Banjoemas)
Military hospital Tjimahi Java West 1897
Cimahi
(Preanger)
Garrison hospital Toboali Banka 1867
Toboali
(Banka)
Military hospital Weltevreden Java West 1797
Weltevreden
(Batavia)
35
Dari tabel di atas, termasuk juga Militair Hospitaal Te
Tjimahi yang tercatat operasional penggunaannya pada tahun
1897.
https://www.google.com/maps/d/u/0/viewer?mid=17_N
6UJPD78qEVVHBxmcJk2rDQfo&hl=en_US&ll=-
10.682857651341896%2C118.78808274140621&z=4
https://historicalhospitals.com/maps/
36
BAB III
MILITAIR HOSPITAAL TE TJIMAHI
38
Denah Rumah Sakit Dustira pada awal Pembuatannya. (KITLV)
40
Peringatan 30 tahun Militair Hospitaal te Tjimahi
41
Maket rumah sakit 1897-1927
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/mkn/bertemu-
dengan-saudara-kembar-museum-kebangkitan- nasional-
di-cimahi/
43
tentara Belanda di wilayah Cimahi dan sekitarnya. Saat itu
Cimahi yang tengah dipersiapkan sebagai kota militer
membutuhkan infrastruktur kesehatan yang mumpuni. Selain
itu, pendiriannya juga dijalankan sebagai penunjang
pengamanan, dimana ketika itu Gubernur Jenderal berniat
memindahkan ibukota Hindia Belanda dari Batavia ke
Bandung.
Pada 4 September 1896 diresmikan Garnisun Militer
Cimahi yang meliputi 3 batalyon, pusat pendidikan militer,
rumah tahanan militer dan rumah sakit dengan nama Militair
Hospitaal Te Tjimahi. Pada masa itu garnisun Cimahi
merupakan garnisun militer terbesar di Indonesia, berkekuatan
sekitar 10.000 tentara. Tercatat terdapat pangkalan militer
dengan fasilitas lengkap terdiri dari Batalijon Infanterie 4e dan
9e, Batalijon Bergartillerie, Batalijon Infanterie 6, Batalijon
Genie Tropen. Selain itu, di Cimahi ditempatkan beberapa
kamp sipil, kamp bantuan dan kamp tawanan perang, termasuk
perkemahan Depot Artileri Bergerak di Barosweg dan
Willemstraat, Pertanian Zonnehoeve, Pertanian Vredesteijn
Leuwigadjah dan berbagai perkemahan KNIL.
https://www.oorlogsbronnen.nl/thema/Tjimahi
44
Peta Garnisun Cimahi
45
Foto udara Militair Hospitaal Tjimahi
46
sebagai kamp konsentrasi tawanan tentara Belanda. Pada tahun
1945-1947, bangunan ini kembali dikuasai oleh Pemerintah
Sipil Hindia Belanda (NICA).
47
Pada saat perayaan Hari Ulang Tahun Territorium
III/Siliwangi yang ke-10 tanggal 19 Mei 1956, Panglima
Territorium III/Siliwangi Kolonel Kawilarang menetapkan
nama rumah sakit ini dengan nama Rumah Sakit Dustira,
diambil dari nama Mayor dr. Dustira Prawiraamidjaja. Hal ini
sebagai wujud penghargaan terhadap jasa-jasa Mayor dr.
Dustira Prawiraamidjaya sebagai pejuang di medan perang dan
memberikan pertolongan para korban peperangan terutama
untuk wilayah Padalarang.
Dr. Mayor Dustira Prawiraamidjaya adalah satu di antara
sekian banyak manusia Indonesia yang turut berjuang
mempertahankan Negara Republik Indonesia hasil proklamasi
tanggal 17 Agustus 1945. Dilahirkan pada 25 Juli 1919 sebagai anak
dari Rd S Prawiraamidjaya. Ia memulai pendidikan di Europeesche
Lagere School (ELS) dilanjutkan ke Hogere Burger School (HBS),
keduanya di Bandung. Selanjutnya Dustira menempuh pendidikan di
Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta (Geneeskundige Hogeschool, di
jaman Jepang disebut Ika Daigaku). Setelah lulus menjadi dokter,
Dustira ikut dilatih kemiliteran di Tasikmalaya. Selesai
pendidikan kemiliteran, dr Dustira ditugaskan ke Resimen 9
Divisi Siliwangi yang menguasai front Padalarang, Cililin dan
Batujajar. langsung terjun ke medan perang. Terbatasnya
sumber daya manusia dan obat-obatan membuat dr. Dustira
bekerja siang malam memberikan dukungan kesehatan.
48
Banyaknya korban sipil maupun pejuang selama peperangan,
ditambah dengan kecelakaan kereta api di Padalarang yang
menimbulkan korban ratusan penumpang membuat dr. Dustira
mengalami kelelahan fisik dan tekanan psikis yang luar biasa
sehingga menyebabkan jatuh sakit. Setelah menjalani
perawatan, dr. Dustira meninggal pada 17 Maret 1947.
Pada perkembangan selanjutnya Rumah Sakit Dustira,
bukan saja menerima pasien dari kalangan militer tetapi
masyarakat umum. Saat ini Rumah Sakit Dustira mampu
menjalankan pelayanan kesehatan kuratif dan rehabilitatif yang
terpadu dengan pelaksanaan kegiatan kesehatan promotif dan
preventif dan menjadi rumah sakit rujukan tertinggi untuk TNI
di wilayah Jawa Barat.
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/mkn/bertemu-
dengan-saudara-kembar-museum-kebangkitan- nasional-
di-cimahi/
49
BAB IV
TRANSFORMASI RS DUSTIRA
51
8. Sistem penilaian kinerja personil elektronik
52
Tampilan aplikasi Mobile Dustira (MO-DUS)
53
Panel surya atau solar cell RS Dustira
54
Semua langkah dan strategi tersebut di atas
dilakukan monitoring dan evaluasi rutin berdasar survei
kepuasan masyarakat. Perbaikan maupun penyusunan
strategi baru terus dikembangkan, termasuk merubah
indikator mutu yang sudah tercapai dan mengganti
dengan indikator baru. Tercapainya peningkatan
pelayanan publik bisa dilihat dengan naiknya indeks
persepsi pelayanan masyarakat pengguna jasa layanan
Dustira. Data dalam 1 tahun (2022) inovasi menunjukkan
peningkatan indeks kepuasan masyarakat dari angka 3,9
menjadi 4,4 (skala 5).
56
Taman Rumah Sakit Militer Cimahi
57
KITLV A899 - Rumah sakit militer Cimahi
58
Ruang operasi di rumah sakit militer Cimahi
59
Alat tembikar di departemen X-ray di rumah sakit militer Cimahi
60
Taman rumah sakit militer Cimahi
61
Ruang jaga petugas kesehatan rumah sakit militer Cimahi
62
Tampak depan rumah sakit militer Cimahi
63
Apotek di sayap kanan gedung (KITLV)
64
KEPALA RUMAH SAKIT DUSTIRA
DARI MASA KE MASA
65
Dr. PARTOMO LETKOL CDM
TH 1954 – 1955
66
Dr. SOEDARSO LETKOL CDM
TH 1961 – 1963
67
Prof. Dr. SOEMARTONO BRIGJEN TNI
TH 1971 – 1972
68
Dr. HIDAYAT HP KOLONEL CDM
TH 1980 – 1983
71
Dr. CHERIE L. RUMANTIR, Sp.R KOLONEL CKM (K)
TH 2006 – 2007
73
dr. SETIA BUDHI, M.M., MARS KOLONEL CKM
SEPTEMBER 2014 – OKTOBER 2016
74
dr. ALFATHAH BANIA LUBIS, Sp.An, MMRS KOLONEL CKM
OKTOBER 2020 – NOVEMBER 2021
75
PENGHARGAAN DAN SERTIFIKAT
76
Penghargaan PERSI Tahun 2021
77
Satker Terbaik Ke II Penilaian Laporan Keuangan
BLU TA.2022
78
Piagam Penghargaan Kementerian Pertahanan RI
Sekretariat Jenderal atas opini Wajar Tanpa Pengecualian
dari BPK
79
DUSTIRA MENUJU VISI KE DEPAN
80
Visi Misi dan Motto Rumah Sakit Dustira
81
LAYANAN UNGGULAN
Poliklinik Talasemia
Cath Lab
Rehabilitasi Medik
Lab Biomolekuler
CT SCAN & MRI
Rumah Singgah “Mess Papandayan”
Rumah Duka
Duras (Dustira Puas)
82
83
84
NICU/PICU
85
INSTALASI REHAB MEDIK
86
87
88
INOVASI
RUMAH SAKIT TK II DUSTIRA
PELAYANAN PUBLIK
5 Pelayanan terpadu
89
SOLAR CELL
PENGOLAHAN KOMPOS
90
E-MEDREC
SITU DUSTIRA
91
KOLAM IKAN
GAZEBO
92
RUANG TAMAN HIJAU
BANK SAMPAH
93
TAMAN ANGGREK
94
AIR BERSIH
95
KOLAM
TAMAN FITNESS
96
97
DAFTAR PUSTAKA
Koran
Bataviaaschnieuwsblad edisi 1 Desember 1896, halaman 2
De locomotief: Samarangsch handels-en advertentie-blad, edisi
5 September 1896; halaman 3
De Preanger-bode, edisi 21 Desember 1896 halaman 2
Java-bode: nieuws, handels-en advertientieblad voor
Nederlandsch-Indie, edisi 25 September 1896, halaman 3
Majalah
Indisch Militair Tijdschrift, 1 Juli 1895. Artikel “De Militair
Vestiging in de Preanger Regentschappen”
Tijdschrift van Het Koninklijk Instituut van Ingenieurs, Notulen
der Vergaderingen, Verhandelingen Enz, Instituutjaar 1898-
1899, “Het Militair Establishmentte Tjimahi”. Batavia Jav
Boekh & Drukkerij, 1899
Peta Denah
Arsip Nasional. Ontwerp voor Een Militair Hospitaal 2 Kl te
Tjimahi
Website
KITLV/https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/
https://www.oorlogsbronnen.nl/thema/Tjimahi
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/mkn/bertemu-
dengan-saudara-kembar-museum-kebangkitan- nasional-
di-cimahi/
99