Anda di halaman 1dari 113

Denah Rumah Sakit Dustira

1
LOGO

Warna Merah:
Keberanian, Kekuatan dan Semangat

Warna Putih:
Kesucian dan Kebersihan

Warna Abu-abu:
Keseriusan, Kemandirian dan Tanggung Jawab

Palang Merah:
Simbol Kesehatan

Ceklis:
Menggambarkan motto dari Rumah Sakit Dustira
yaitu Terpesona (Tertib, Professional, Empati, Solid,
Nyaman dan Aman)

Tunas Kelapa/huruf d:
Melambangkan komitmen Rumkit Tk.II 03.05.01
Dustira untuk terus bertumbuh dan berkembang.

Arti Logo melambangkan bahwa Rumah Sakit Dustira


berkomitmen untuk bertumbuh dan berkembang guna
mewujudkan visi dan misi Kesehatan Angkatan Darat
dilandasi dengan sifat keberanian, kekuatan, semangat,
suci, bersih, keseriusan, kemandirian dan tanggung
jawab dengan motto Terpesona (Tertib, Ramah,
Profesional, Empati, Solid, Nyaman dan Aman).
2
MARS DUSTIRA

Con Brio ( berapi api) Cipt /Arr Musik: Paulus Ari Sukamto
Do=F
Lyrik : Susana Agustina
2/4,3/4
| 5 . 5 | 3 1 | 5. 5 6 | 5 . 4 6 | 3/4 5 . 5 . 5|
De rap lang -kah pe tu gas ke se ha tan me nyong
|2/4 7 7 . 1 | 2 7 . 6 | 6 5 | 0 3 . 3 |3 7 . 1 |
song pa si en dan klu ar ga mem be ri kan pe
| 2 . 2 1 . 7 | 2 1 |0 6 . 5 | 4 4 . 5 |6 . 6 7 . 1
la ya nan yg pri ma du ku ngan ke se ha tan yg han
| 7 . | 0 5 . 5 | 3 1 | 5 . 5 6 | 5 . 4 6 |
dal Dus ti ra ku hi jau dan ber

|3/4 5 . 1 . 1 | 2/4 1 7 . 1 | 2 . 2 1 . 7 | 6 . |
sih me mi li ki mo to ter pe so na

| 0 6 . 7 | 1 7 . 1 | 2 . 1 7 . 6 | 5 1 |3/4 3 . 4 . 3|
Ter tib ra mah pro fe si o nal em pa ti So lid

| 2 7 | 5 3 . 2 | 1 . | 0 3 . 3 | 3 7 | 7 1 . 2|
Nya man ser ta a man Se nyum sa pa sa lam sen

3
|1 . |0 6 . 5 | 4 4 | 5 . 5 6 . 6 | 7 . | 0 5|
tuh Su luh sem buh ser ta se - la mat pe

|6 . 6 6 . 7 | 1 . 1 7 . 6 |5 . 5 1 . 3 | 5 0 0 5 | 5 5 . 5|
la ya nan di la ku kan de ngan ha ti sung guh ko mu ni ka

|5 0 0 5 | 5 5 | 5 0 0 5 | 5 4 | 2 . 2 1 . 7 | 1 . |
Si yg e fek tif di sam pai kan dengan hor mat

| 0 5 . 5 | 3 1 | 5 . 5 6 | 5 . 4 6 | 3/4 5 . 5 . 5 |
Bang ga de ngan ru mah sa kit dus ti ra meng ha

|2/4 7 7 . 1 | 2 7 . 6 | 6 5 | 0 3 . 3 |3 7 . 1 |
rum kan na ma Si li wa ngi di si ni lah tem

| 2 . 2 1 . 7 | 2 1 | 0 6 . 5 |4 4 . 5 |6 . 6 7 . 1 |
pat ki ta ber bak ti ta nah per ti wi tem pat me ngab

| 7 . |0 5 . 5 | 3 1 | 5 . 5 6 | 5 . 4 6 |
di de ngan pe la ya nan se pe nuh ha

| 3/4 5 . 1 . 1 | 2/4 1 7 . 1 | 2 1 . 7 | 6 . |
4
ti a gar le bih ber si nar la gi

| 0 6 . 7 | 1 7 . 1 |2 . 1 7 . 6 |5 . 5 1 . 3 |
Di ba wah na u ngan Pan ji Hes ti Wi ra Sak

|5 . |0 4 . 3 | 2 7 . 7 | 5 . 5 3 . 2 |1 . | 0 ||
ti Pe la ya nan te pat ba gi Ne gri

5
HYMNE DUSTIRA
Lambat
Cipt /Arr Musik: Paulus Ari Sukamto
Do=C
Lyrik : Susana Agustina
2/4
| 5 5 5 5 | 6 5 4 3 | 5 3 | 3 2 3| 4 4 4 4
|
Lorong pan jang sam bung kan ra sa pe tu gas hi - lir mu

| 5 4 3 2| 3 5 5 6 |5 0| 1 1 1 2 | 3 3 2 1 |
dik la ku-kan tu gas nya pa si en dan ke lu ar ga

| 2 1 2 3 | 3 5 5 |6 6 6 7| 1 1 7 6 | 7 1 |
te mu kan a sa ha ra pan pe la ya nan pa ri pur

|7 . |5 5 5 5 |6 5 4 3|5 3 | 3 2 3| 4 4 4 4|
na Ra ga dan Ji wa me rin tih pe rih me mi lih da tang se

| 5 4 3 2 | 3 5 5 6 | 5 . | 1 1 1 2 | 3 2 1 |
rah kan ha ra pan ke pa da pe tu gas

|1 1 7 | 1 2 3 | 7 1 |2 3 4 | 3 2 1 7 | 1 . |
Yg ter la tih ce ka tan te pat wak tu dan so pan

|0 7 1 | 2 2 |1 7 1 2 |3 . |0 7 1 | 2 2 |
Se nyum sa pa sa lam sen tuh su luh sem buh

|5 1 2 | 3 .|0 3 3 |3 5 |3 2 |1 7 7 1 2 |
Dan se la mat I tu lah ka mi ru mah sa kit dus ti

|3 4 3 | 2 2 2 |4 4 5 6 |5 5|0 5 | 6 6 6 5 |
Ra me ngab di ke pa da I bu per ti wi Ring kas ra pih re

|4 3 4 | 5 3 |1 . | 2 2 2 3 | 4 4 3 2 | 3 .|
6
Sik ra wat dan ra jin ka mi la ku kan de ngan se nang

| 6 6 6 5 | 4 3 4 | 5 5 5 3 1 | 1 . |0 6 7 1 2 |
Bu da ya I ni sla lu ka mi pli ha ra mes ki pun si

|1 0 6 7 | 1 7 1 | 2 . | 2 0 ||
ang dan ma lam ber ja ga

|5 5 5 5 | 6 5 4 3 | 5 3 |3 2 3 | 4 4 4 4 |
Ji wa ra ga ka mi sla lu u sa ha wu jud kan Vi si Mi

| 5 4 3 2| 3 5 5 6 | 5 0| 1 1 1 2| 3 3 2 1
|
si ru mah sa kit ke bang ga an u ta ma kan ke se la ma

|1 1 7 |1 2 3 | 5 5 4 |3 2 3 |4 6 4|5 5 7 5|
tan ber sa ma ka re na se hat ke ku a tan ne ga ra ki

|1 .|00
ta………

7
KATA PENGANTAR PANGDAM III/SLW

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Salam sejahtera untuk kita semua,

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat


Tuhan Yang Maha Kuasa, Saya menyambut baik dan
memberikan apresiasi yang tinggi atas terbitnya buku
sejarah Rumah Sakit Dustira.

Buku yang mengungkap sejarah berdirinya,


perjalanan dan eksistensi Rumah Sakit Dustira dari masa
ke masa, penting untuk diinformasikan dan diketahui.
Kemudian menjadi salah satu bacaan juga sebagai
referensi tentang keberadaan Rumah Sakit Dustira dalam
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat
dari mulai masa kolonial (VOC) pada abad 16 hingga
masa pembangunan sekarang ini.

Secara historis uraian tentang Rumah Sakit


Dustira,  sesungguhnya tidak hanya bercerita tentang
peninggalan atau warisan Kolonial yang terkait pelayanan
kesehatan semata,  tetapi juga ada sisi lain yang lebih
populer,  yaitu warisan arsitektur yang menjadi ciri khas
bahkan icon yang melekat pada bangunan Rumah Sakit
Dustira telah menjadi salah satu bangunan cagar
budaya yang bersejarah bersama dengan beberapa
bangunan lainnya yang berada di kota Bandung dan
Cimahi,  di mana keberadaannya perlu dilestarikan.

Melihat pentingnya keberadaan Rumah Sakit


Dustira,  baik dalam pelayanan kesehatan maupun
bidang arsitektur, Maka sudah seharusnya semua ini di
dokumentasikan dengan baik,  salah satunya melalui
penyusunan Buku tentang sejarah Rumah Sakit Dustira.
8
Kehadiran buku sejarah ini Tentunya bisa menjadi
referensi aktual dan faktual tentang keberadaan Rumah
Sakit Dustira dalam kiprahnya melayani kesehatan
masyarakat,  sekaligus menjadi media untuk mewariskan
nilai dan ilmu pengetahuan kepada generasi penerus, 
terkait dengan peran dan fungsi rumah sakit Dustira
Berikut arsitektur yang melekat pada bangunannya.

Rumah Sakit Dustira Yang Pada awal berdirinya


diperuntukkan sebagai Rumah Sakit militer, kini telah
banyak berubah peran dan fungsinya,  yaitu juga
melayani masyarakat umum dari berbagai kalangan. 
perubahan peran dan fungsinya tersebut merupakan hal
Yang konstruktif,  mengingat kesehatan merupakan salah
satu aspek penting dan dibutuhkan publik.  Artinya
masyarakatpun sangat membutuhkan pelayanan
kesehatan dari Rumah Sakit Dustira ini.  pada sisi inilah
sesungguhnya peran penting dan signifikan Rumah Sakit
Dustira yang mampu memberikan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat Yang membutuhkan.

Dengan demikian,  Rumah Sakit Dustira juga


menjadi garda terdepan dalam menguatkan Citra TNI
untuk bisa selalu tampil memberikan kontribusi terbaik
kepada masyarakat dan bangsa,  melalui pelayanan
kesehatannya.  oleh karena itu, peran dan kiprahnya dari
masa ke masa perlu didokumentasikan,  sehingga kita
memiliki catatan otentik yang bisa
dipertanggungjawabkan,  terutama terkait fungsi dan
tugas pokok institusi kepada bangsa dan negara secara
objektif dan proporsional.

Saya berharap buku yang membuat perjalanan


Rumah Sakit Dustira bisa menjadi sumber inspirasi dan
motivasi bagi seluruh warga Rumah Sakit Dustira,
Keluarga besar Kodam III/Siliwangi, TNI AD hingga
9
masyarakat untuk mengoptimalkan keberadaan Rumah
Sakit Dustira ini menjadi Garda terdepan dalam
berkontribusi sebagai penjaga dan pelayanan kesehatan
dengan manajemen dan pelayanan prima kepada prajurit
dan juga masyarakat pengguna.

Bandung, Februari 2023


Panglima Kodam III/Slw,

Kunto Arief Wibowo, S.I.P.


Mayor Jendral TNI

10
SAMBUTAN KAKESDAM III/SLW

Alhamdulillah atas kehadirat Allah Swt. Yang telah


melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan buku
“Sejarah berdiri dan beroperasinya rumah sakit Dustira “.

Dengan luas dan jumlah karyawan yang besar serta


prestasi yang di dapatkan selayaknyalah buku ini di terbitkan
sehingga banyak orang yang akan mengetahui seluk beluk
kinerja RS. Dustira dari awal pendirian sampai saat ini.

Saya berharap semoga buku “ Sejarah berdiri dan


beroperasionalnya rumah sakit Dustira ”, bisa diterima siapapun
yang membacanya akan mendapat manfaatnya

11
KATA PENGANTAR KARUMKIT DUSTIRA

Alhamdulillah, puji dan syukur kita panjatkan ke


hadirat Tuhan yang Maha Kuasa yang atas kehendakNya
sehingga buku ini bisa terbit. Buku ini merupakan hadiah yang
sangat istimewa pada peringatan Hari Ulang Tahun ke-126
Rumah Sakit Dustira.
Penulisan buku ini secara umum merupakan bagian dari
upaya untuk turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa dan
secara khusus merupakan bagian dari program rebranding
rumah sakit, termasuk di dalamnya pembuatan masterplan,
logo, mars, hymne maupun inovasi rumah sakit. Terinspirasi
dari pertanyaan tentang sejarah berdirinya rumah sakit Dustira,
tulisan ini berusaha menceritakan perjalanan dan kiprah rumah
sakit Dustira hingga saat ini.
Terima kasih saya ucapkan kepada seluruh penyusun,
para kontributor, tim IT, Pen Dustira yang sudah bekerja keras
sehingga buku ini bisa selesai. Kepada bapak Machmud, ketua
komunitas Cimahi Heritage atas koreksi dan masukannya
sehingga dapat melengkapi khazanah buku ini.

Semoga buku ini dapat memberi manfaat untuk para


pembaca dan dapat menumbuhkan rasa memiliki terhadap

12
rumah sakit Dustira.

Cimahi, Januari 2023


Kepala Rumah Sakit 03.05.01 Dustira

Kolonel CKM dr Bayu Dewanto SpBS

13
DAFTAR ISI

LOGO ............................................................................
MARS DUSTIRA ...........................................................
HYMNE DUSTIRA ........................................................
SAMBUTAN .................................................................
SAMBUTAN ...................................................................
PENGANTAR ...................................................................
DAFTAR ISI ....................................................................
BAB I PENDAHULUAN ................................................... 1
BAB II SEJARAH RUMAH SAKIT DI INDONESIA ......... 9
Masa Kolonial ................................................................. 9
Pelayanan Kesehatan Jaman VOC .............................. 13
Masa Pendudukan Jepang ........................................... 27
Masa Kemerdekaan ...................................................... 29
BAB lll MILITAIR HOSPTAAL TE TJIMAHI .................. 34
BAB IV TRANSFORMASI RS DUSTIRA ...................... 47
DOKUMENTASI MILITAIR HOSPITAAL ...................... 53
KEPALA RUMAH SAKIT DUSTIRA .............................. 61
PENGHARGAAN DAN SERTIFIKAT ............................ 72
DUSTIRA MENUJU VISI KE DEPAN ........................... 76
DAFTAR PUSTAKA ...................................................... 94

14
BAB I
PENDAHULUAN

Rumah Sakit Tk.II 03.05.01 Dustira

Rumah Sakit tingkat ll 03.05.01


Dustira merupakan salah satu bangunan
cagar budaya yang sarat akan nilai sejarah.
Sejak awal pembangunannya di jaman Hindia
Belanda hingga kini fungsinya sebagai rumah
sakit tidak berubah. Bangunan seluas hampir
14 hektar tersebut berada di sebelah selatan
stasiun kota Cimahi, di Jl. dr. Dustira No.1
Kelurahan Baros, Kota Cimahi, Jawa Barat.
Sebuah posisi yang strategis di masa kolonial
untuk memudahkan mobilisasi pasien tentara
yang terluka di pertempuran. Sedemikian
kuatnya image masyarakat terhadap rumah
1
sakit Dustira sehingga bila ada pertanyaan
tentang kota Cimahi, jawaban yang muncul
adalah kota tentara dan rumah sakit Dustira.
Hal ini disebabkan banyaknya instansi dan
pusat pendidikan militer di Cimahi.
Hingga saat ini bangunan rumah sakit
masih kokoh dengan fasad depan khas
arsitektur akhir abad ke-19. Pintu gerbang
jendela-jendela dengan bagian atas lengkung
menjadi ciri penanda rumah sakit ini. Di
pintu gerbang dekat pos penjagaan terdapat
lonceng besar terbuat dari baja yang
merupakan produksi ACW (Artillerie
Constructie Winkel) tahun 1928. Pada saat itu
ACW dikenal sebagai perusahaan produsen
alat perang, seperti Pindad saat ini.
Sementara di dalam, suasana sejuk dan asri
sangat terasa dengan luasnya area terbuka
hijau, adanya taman-taman dan situ-situ yang
tertata dan terawat baik di antara ruang-ruang
perawatan.

2
Lonceng baja Water toren
Selain bagian depan yang menjadi ciri
khasnya, di rumah sakit juga terdapat
sejumlah obyek yang menjadi bagian dari
cagar budaya. Yang menarik adalah adanya
water toren atau sumur bor di sisi timur
kawasan rumah sakit, yang digunakan
sebagai sumber air ruang-ruang perawatan di
sisi timur. Demikian pula 4 empat blok
rumah dinas dokter yang masih aktif
ditempati. Di bagian dalam rumah sakit juga
terdapat ruang-ruang perawatan yang masih
dipertahankan keberadaannya.

3
Rumah dinas RS Dustira

Terlepas dari perannya yang sangat


kuat dalam melaksanakan pelayanan dan
dukungan kesehatan di wilayah Cimahi dan
Bandung Barat, ternyata sejarah berdirinya
rumah sakit Dustira belum banyak diketahui
kalangan militer maupun masyarakat. Hal ini
disebabkan sampai saat ini belum ada data
resmi yang menjelaskan kapan berdirinya
dan perjalanan rumah sakit Dustira dari masa
ke masa.
“Tak kenal maka tak sayang”. Dengan
mengenali sejarah rumah sakit Dustira
diharapkan akan semakin menumbuhkan
ikatan emosional dan rasa memiliki para

4
civitas hospitalia dan masyarakat pada
umumnya. Tulisan ini berupaya memberikan
pemahaman sejarah berdiri maupun
perkembangan rumah sakit Dustira. Upaya
untuk menggali informasi dilakukan dengan
mencari data dari beberapa narasumber
maupun kepustakaan.

5
BAB II
SEJARAH RUMAH SAKIT DI INDONESIA

Masa kolonial

Rumah sakit atau hospital berasal dari


bahasa latin hospitalis yang mempunyai arti
tamu, secara luas kalimat tamu memiliki
makna menjamu para tamu yaitu pasien yang
datang ke rumah sakit. Menurut W.J.S.
Poerwardarminta dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia 2013, rumah sakit memiliki
definisi sebagai rumah tempat merawat orang
yang sakit.
Menurut seorang ahli sejarah ekonomi
(Purwanto, 1996), pelayanan rumah sakit di
Indonesia telah dimulai sejak awal
keberadaan Vereenigde Oostindische
Compagnie (VOC) pada dekade ketiga
abad ke-17, sebagai suatu bagian tidak
terpisahkan dari usaha VOC itu sendiri.
Sementara perumahsakitan di Indonesia
dimulai sekitar abad ke-19, pada waktu
pemerintahan Hindia Belanda membangun
poliklinik dan tempat perawatan bagi anggota

6
angkatan bersenjata yang menderita sakit
atau luka-luka. Hal ini diikuti dengan
berdirinya rumah sakit militer di tempat
pemusatan tentara kolonial seperti Jakarta,
Semarang dan Surabaya.
Terjadinya wabah penyakit di
kalangan rakyat pribumi sangat
mempengaruhi kepentingan penjajah dalam
bidang ekonomi maupun kesehatan
masyarakat, sehingga kemudian banyak
rakyat pribumi yang diobati dan dirawat.
Oleh karena kewalahan, mulailah dididik
mantri-mantri cacar dan dokter pribumi di
rumah sakit militer tersebut. Rumah sakit
militer yang melaksanakan pendidikan
tenaga kesehatan menjadi prototipe dari
Rumah Sakit Pendidikan masa kini. Bahkan
kemudian dengan dibukanya pendidikan
dokter pribumi menjadi STOVIA (School
Tot Opleiding Van Inlandse Artsen) dan
NIAS (Nederlands Indische Artsen School),
rumah sakit pendidikan menjadi berkembang
pula.
Boomgard (1996) menyatakan bahwa

7
sejarah rumah sakit di Indonesia tidak dapat
dipisahkan dari perkembangan ilmu
kedokteran Barat di Asia yang berlangsung
sejak tahun 1649, ketika seorang ahli bedah
bernama Caspar Schamberger berada di
Edo (saat ini Tokyo) untuk mengajarkan ilmu
bedah kepada orang Jepang. Masa ini
merupakan awal dari beralihnya sistem
tradisional kesehatan di Asia yang mengacu
pada sistem Cina dan berubah menjadi sistem
Belanda (Akira, 1996). Pengalihan ini
berjalan secara lambat. Patut dicatat bahwa
pelayanan kesehatan Barat sering
diperuntukkan bagi keluarga bangsawan.
Pembangunan rumah sakit merupakan
upaya untuk mengatasi persoalan yang
dihadapi akibat pelayaran yang jauh yaitu
dari Eropa ke Indonesia dan tidak didukung
oleh fasilitas medis yang baik, adaptasi
klimatis, dan ketidakmampuan mengadaptasi
serta mengatasi penyakit tropik. Setelah
VOC mendirikan benteng di Batavia pada
tahun 1612, perawatan pasien baru dimulai
dan pendirian rumah sakit pertama di daerah

8
pantai pada tahun 1626. Bentuk pelayanan
kesehatan ini menyebar ke kepulauan
Nusantara mengikuti meluasnya teritorial
perdagangan VOC.
Bangunan rumah sakit dari bambu dan
batu didirikan di tempat pemukiman atau
markas utama VOC. Dokter dan rumah sakit
mengutamakan pelayanan kesehatan bagi
pegawai VOC yang harus segera
disembuhkan agar dapat bekerja kembali.
Untuk mempergunakan jasa rumah sakit,
pasien harus membayar sendiri kecuali
pegawai VOC yang dibayarkan oleh VOC.
Oleh karena penduduk yang sakit tidak
mampu membayar, maka rumah sakit hanya
dimanfaatkan oleh VOC, sehingga rumah
sakit hanya berlatar belakang ekonomi bukan
kemanusiaan.
Faktor ini merupakan salah satu
penyebab kenapa penduduk belum berobat
ke dokter atau rumah sakit. Pada masa awal
rumah sakit di Indonesia secara eksklusif
hanya diperuntukkan bagi orang-orang
Eropa. Baru pada masa berikutnya orang

9
non-Eropa yang bekerja dengan VOC
mendapat kesempatan untuk menggunakan
rumah sakit, tetapi berbeda tempat, fasilitas,
dan pelayanan.
Sampai akhir abad ke-19, pada
dasarnya rumah sakit di Indonesia
merupakan rumah sakit militer yang secara
eksklusif ditujukan kepada anggota kesatuan
militer dan pegawai VOC atau kemudian
pemerintah baik orang Eropa maupun
pribumi. Sementara itu, orang sipil yang
berhak mendapat pelayanan rumah sakit
hanya orang Eropa atau penduduk non-Eropa
yang secara yuridis formal disamakan dengan
orang Eropa. Hal ini berhubungan dengan
kebijakan kesehatan penguasa pada waktu itu
yang tidak mengindahkan penduduk pribumi.
Apabila penduduk pribumi mendapat
pelayanan kesehatan, hal itu hanya dilakukan
sebagai bagian dari upaya melindungi
kepentingan orang Eropa.
Ketika terjadi pergeseran kebijakan
politik kolonial pada akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20, secara langsung berdampak

10
pula pada kebijakan kesehatan pemerintah
kolonial yang berpengaruh terhadap
perkembangan pelayanan rumah sakit oleh
pemerintah untuk penduduk pribumi.
Menurut Purwanto (1996) pada masa
awal perkembangan rumah sakit masa VOC
sampai awal abad ke-19, pendanaan rumah
sakit diperoleh dari subsidi penguasa yang
diambil dari pasien yang pada dasarnya
adalah pegawai VOC. Pada saat itu juga telah
berkembang pemberian pelayanan rumah
sakit tergantung kepada kebutuhan dan
kemampuan pasien, terutama yang
berhubungan dengan diet yang diterima
pasien. Tinggi atau rendahnya tarif yang
diberlakukan sesuai dengan pelayanan dan
kebutuhan pasien, sehingga secara tidak
langsung kelas dalam rumah sakit sudah
tercipta pada waktu itu.
Pada masa kekuasaan Daendels terjadi
perubahan yang cukup penting. Sejak saat itu
personil militer dibebaskan dari biaya rumah
sakit, sedangkan pegawai sipil baru
menikmati pembebasan biaya rumah sakit.

11
Di kalangan penduduk sipil pribumi ada
delapan kelompok yang dinyatakan bebas
dari biaya rumah sakit, antara lain pelacur
yang ditemukan sakit, orang gila, penghuni
penjara, dan orang sipil yang bekerja pada
kegiatan pemerintah.

Pelayanan Kesehatan Zaman VOC

Perawatan kesehatan Barat di


Indonesia terjadi sekitar empat abad yang
lalu, ketika Vereenigde Oostindische
Compagnie (VOC) mendirikan rumah
sakit “voornamelijk voor schepelingen”,
rumah sakit pelaut. Sejak itu rumah sakit
melanjutkan kehadirannya di Asia Tenggara
untuk kelompok sasaran yang berbeda,
dimulai dengan perawatan dan pengobatan
untuk militer dan personel VOC, terutama
orang Eropa.
Sejak awal tahun 1602, VOC menjaga
kesehatan karyawannya dengan mengangkat
chirurgijns (ahli bedah), menyediakan
produk-produk farmasi dan dengan
mendirikan rumah sakit dan fasilitas

12
kesehatan lainnya. Untuk mendapatkan
gambaran yang tepat tentang peran dan
pentingnya perawatan rumah sakit di Hindia
Timur selama abad ke-17 dan ke-18, harus
memperhitungkan kondisi dan keadaan di
mana pekerja seperti pelaut, tentara dan
pengrajin datang dan ditempatkan di tempat
kerjanya.
Seringkali, orang-orang ini datang di
Batavia setelah perjalanan laut yang panjang
dan melelahkan, sakit dan tidak punya rumah
untuk tempat tinggal. Mereka membutuhkan
setidaknya tempat berlindung untuk
memulihkan dari penyakit yang mereka
derita. Tempat perlindungan seperti itu
disediakan oleh VOC dalam bentuk kapal
rumah sakit, rumah sakit, dan rumah sakit
kota (Zondervan, 2016:21).
Para profesional yang merawat pasien
adalah chirurgijns. Mereka memiliki
pengetahuan medis yang diperoleh dari
pelatihan di daerah asal mereka, tetapi juga
mencoba memanfaatkan pengetahuan medis
lokal, sebagian dari Portugis dan sebagian

13
besar dari pribumi.
Tahun-tahun pertama setelah
berakhirnya era VOC, perawatan kesehatan
memiliki karakteristik yang sama seperti
sebelumnya: sesuai dengan perawatan rumah
sakit, dilaksanakan terutama oleh chirurgijns
dan tersedia terutama untuk pasien Eropa.
Sejauh aspek medis yang bersangkutan,
situasi membaik.
Di Batavia, pelayanan rumah sakit
dibayangi oleh tingginya angka rawat inap
dan kematian. Schoute menyebutkan tahun
1806, sekitar 2.540 pasien dirawat di
Buitenhospitaal. Selama tahun itu 2.175
pasien pulang karena sembuh dan 192 orang
meninggal. Namun, situasi di kota tua belum
membaik, tidak sehat seperti sebelumnya dan
orang-orang memutuskan untuk pergi dan
pindah ke pemukiman selatan, seperti
Weltevreden (Zondervan, 2016:60).
Pada masa kolonial, tingkat
kesejahteraan penduduk bumiputra sangat
memprihatinkan termasuk kondisi kesehatan.
Saat itu cukup berkembang wabah penyakit

14
menular antara lain: malaria, pes, kolera dan
cacar yang menyebabkan angka mortalitas
yang tinggi.
Setelah VOC mendirikan benteng di
Batavia pada tahun 1612, perawatan pasien
baru dimulai dan pendirian rumah sakit
pertama di daerah pantai pada tahun 1626.
Pada tahun 1641, VOC mendirikan bangunan
rumah sakit permanen di kawasan yang
sekarang disebut Jakarta. Rumah sakit juga
dibangun di pos-pos perdagangan di luar
(buitenposten).
Sebelumnya, rumah sakit hanya
menjadi tempat untuk mengisolasi pekerja
yang jatuh sakit dan mendapat cedera. Di
rumah sakit ini tidak ada perawatan dalam
arti sesungguhnya. VOC juga menunjang dan
memberi subsidi guna pembangunan rumah
sakit pertama untuk masyarakat Cina di
Jakarta, terutama untuk menampung mereka
yang terlantar dan para pecandu madat.
Selama abad ke-19, pelayanan
kesehatan di wilayah Hindia Belanda
‘dipercayakan’ sepenuhnya kepada

15
pelayanan kesehatan militer. Pelayanan ini
dibentuk berdasarkan model yang ada di
negeri Belanda yang dipelopori oleh S.J.
Brugmans, seorang profesor dari Leiden yang
telah berkecimpung dalam organisasi
pelayanan kesehatan militer pada tahun 1795.
Perhatiannya pertama kali ditujukan terhadap
para ahli bedah (surgeons) yang direkrut
dari tukang cukur, tukang patri, dan para
tukang pengebiri babi, sehingga jelas sekali
di sini bahwa para surgeon yang
diperkerjakan sangat terbatas kualifikasinya.
Brugmans kemudian berusaha untuk
memperbaiki pelayanan kesehatan
masyarakat di Hindia Belanda dengan jalan
memasukkan bidang keahlian pada ujian
dalam perekrutan dan meningkatkan gaji dan
status mereka. Dengan tindakan-tindakannya
tersebut kemudian dia membentuk sebuah
institusi khusus yang menangani pelatihan
mereka.
Di Leiden, lembaga pelatihan khusus
ini dibuka pada tahun 1802, sedangkan di
Utrecht pada tahun 1822. Lebih jauh,

16
Brugmans kemudian juga mencurahkan
perhatiannya kepada organisasi rumah sakit.
Ia memformulasikan beberapa peraturan
mengenai hal-hal internal mengenai rumah
sakit, nutrisi, perawatan medis dan
khususnya kesehatan pribadi.
Ide dan model yang dikembangkan
Brugmans inilah yang kemudian diadaptasi,
dibawa, kemudian diterapkan di Hindia
Belanda oleh seorang dokter militer bernama
J. Heppener. Heppener sendiri pernah
menjadi murid Brugmans untuk beberapa
tahun lamanya di militer Belanda, sebelum
dia akhirnya menemani Herman Willem
Daendels bertugas di Hindia Belanda.
Kebangkrutan yang kemudian disusul
dengan pembubaran VOC pada akhir abad
ke-18 telah meninggalkan sebuah kondisi
kesehatan yang sangat memprihatinkan baik
dari segi fasilitas maupun fungsinya. Oleh
karena itulah segera setelah kedatangannya di
Hindia Belanda, Daendels memutuskan
bahwa semua personel militer akan dibiayai
secara gratis dan mereka akan diberi akses

17
yang baik untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan dari rumah sakit. Keputusan
Daendels ini bertolak belakang dengan
peraturan yang ditetapkan oleh VOC pada
masa sebelumnya yang menyatakan bahwa
seorang tentara berhak mendapatkan
pelayanan kesehatan dari rumah sakit dengan
syarat gajinya harus dipotong sebagai biaya
ganti perawatan tersebut.
Kemudian Daendels menempatkan
semua tugas perawatan medis kepada sebuah
organisasi yang dibentuk menjadi subdivisi
dari militer. Pada bulan Juli 1808, keluarlah
sebuah peraturan yang membentuk sebuah
institusi pertama yang khusus menangani
masalah kesehatan di Nusantara yaitu Militair
Geneeskundige Dienst (MGD) atau Dinas
Kesehatan Militer. Semua surgeon non-
militer yang masih tinggal di Hindia Belanda
pada waktu itu dapat masuk kedalam
lembaga ini asalkan mengambil ujian yang
diharuskan dan mendapatkan hasil yang
bagus.
Orientasi kebijakan Daendels di

18
bidang kesehatan yang lebih mementingkan
militer mengakibatkan munculnya peraturan
yang membagi dua macam kelas dalam
rumah sakit. Kelas pertama (the first class)
adalah diperuntukkan sebagai rumah sakit
militer yang hanya merawat para tentara dan
pelaut, orang sipil hanya diterima di tempat
ini jika dia mampu membayar akomodasi
yang ditentukan. Sementara kelas kedua (the
second class) menerima pasien orang Eropa
dan pribumi pada rumah sakit yang sama
hanya tempatnya dipisahkan dengan kelas
pertama.
Lembaga ini sebenarnya menggunakan
model yang ada di negeri Belanda oleh
karena itu tipe tenaga kesehatan yang
dikenalkan dalam lembaga ini juga sama
seperti di Belanda yaitu berdasarkan pada
tiga tingkatan. Tingkat yang paling rendah
merupakan para surgeon yang masih dalam
status magang atau pegawai kesehatan kelas
tiga. Kemudian tingkat menengah ditempati
oleh para asisten surgeon atau pegawai
kesehatan kelas dua sedangkan tingkat yang

19
paling atas ditempati oleh para surgeon
utama atau pegawai kesehatan kelas satu.
Secara keseluruhan, jumlah surgeon yang
dipekerjakan di MGD pada masa Daendels
ini sejumlah 81 surgeon.
Sementara itu rumah sakit dalam
sistem yang dikembangkan ini merupakan
pilar kedua dalam organisasi ini.
Didasarkan pada pemikiran Brugmans,
kemudian diambil keputusan untuk
membentuk sebuah jaringan rumah sakit di
Jawa untuk merawat tentara kolonial yang
sakit atau terluka dalam pertempuran.
Di Jakarta, Semarang, dan Surabaya
dibangun Groot-Militair Hospitalen. Rumah
sakit garnisun dibangun di dalam atau di
dekat tangsi militer di kota-kota lebih kecil di
Jawa, Maluku, dan pos-pos luar lainnya,
dipimpin seorang bintara. Rumah sakit
militer ini dibangun dengan ketentuan:
bangunan luas, mudah dimasuki udara,
ventilasi dan plafon bangsal, jarak
penempatan tempat tidur yang cukup jauh,
baju pasien dan perlengkapan tempat tidur

20
harus sering diganti, bangsal harus bersih,
makanan baik, dan pasien dipisahkan
menurut jenis penyakit.
Jumlah anggota yang harus dilayani
sekitar 18.450 orang. Jumlah tentara itu tidak
hanya terdiri dari orang-orang Belanda saja
melainkan juga tentara Belanda yang berasal
dari orang-orang pribumi seperti dari Jawa,
Madura, Ambon dan Minahasa. Sampai
tahun 1818 hanya dengan izin khusus pejabat
sipil dapat mendapatkan perawatan di rumah
sakit tentara tersebut.
Berbeda dengan kebijakan yang
dilakukan oleh Daendels, Raffles yang
berkuasa di Jawa sejak tahun 1811 tidak
mendasarkan pelayanan kesehatan kepada
kepentingan militer semata. Perbedaan yang
mencolok dibandingkan dengan penguasa
sebelumnya (VOC dan Daendels), Raffles
justru sangat berkepentingan terhadap
kondisi kesehatan penduduk pribumi. Orang
Inggris inilah yang pertama kali mengajukan
usulan mengenai perlunya dilakukan upaya-
upaya kesehatan yang bersifat preventif

21
yaitu vaksinasi. Namun sebelum semua
agenda kesehatannya selesai dilaksanakan,
terjadi pergantian kekuasaan rezim kolonial
pada tahun 1816.
Raja Willem I kemudian mengirimkan
seorang professor botani dari Amsterdam
bernama C.G.C. Reinwardt untuk
mengorganisasi pelayanan medis di Hindia
Belanda. Berbeda dengan Happener, selain
mampu dalam bidang pelayanan medis untuk
kalangan militer, Reinwardt juga mempunyai
perhatian besar terhadap pelayanan kesehatan
untuk rakyat sipil, bahkan lebih dari itu dia
juga mengagendakan untuk melakukan
vaksinasi.
Sementara peraturan pemerintah
pertama yang mengatur tentang masalah
kesehatan sipil dikeluarkan pada tahun 1820.
Pada tahun yang sama reorganisasi institusi
kesehatan dilakukan oleh Prof. C.G.C.
Reinwardt dengan membentuk satu lagi
institusi kesehatan untuk pelayanan
masyarakat sipil yang disebut dengan
Burgelijke Geneeskundige Dienst (BGD)

22
atau Dinas Kesehatan Sipil. Perbedaan dua
institusi kesehatan ini adalah bahwa kalau
MGD dijalankan oleh pegawai kesehatan
militer yang bertanggung jawab terhadap
pengobatan tentara yang sakit dan situasi
higienis di rumah-rumah sakit militer,
sedangkan BGD dijalankan oleh dokter-
dokter kotapraja yang bertugas dan
bertanggung jawab untuk memelihara kondisi
sanitasi umum di kota-kota dan daerah
sekitarnya serta melakukan pengobatan
terhadap pasien sipil di rumah-rumah sakit
sipil yang baru dibangun.
Seiring dengan pembentukan BGD
yang dipelopori oleh Reinwardt, pelayanan
rumah sakit terhadap masyarakat umum
menunjukkan beberapa peningkatan. Pada
waktu itu di Batavia banyak ditemukan orang
sipil yang sakit akibat luka tembak dan tidak
mendapatkan perawatan apapun. Dengan
dasar fakta itu maka Residen Batavia P.H.
van Lawick van Pabst menganggarkan dana
sebesar f1000 untuk mendirikan sebuah
bangsal perawatan yang bisa memuat 15

23
orang sakit akibat luka tembak dari kalangan
sipil.
Bangsal ini kemudian ditempatkan di
bawah administrasi dokter kotapraja dengan
beberapa staf pribumi. Bangsal perawatan ini
jugalah yang kemudian pada perkembangan
selanjutnya berkembang menjadi apa yang
disebut sebagai stadsverbandhuis atau
tempat perawatan luka tembak kotapraja.
Bangsal ini sempat berubah nama menjadi
stadsverband pada tahun 1819. Sementara
stadsverband di Semarang baru didirikan
antara tahun 1840 dan 1850 dan di Surabaya
antara tahun 1820 dan 1823. Bangsal-bangsal
perawatan inilah yang pada abad ke-20
kemudian menjadi cikal bakal dari apa yang
disebut sebagai Centrale Burgelijke
Zikeninrichting atau CBZ) atau rumah sakit
umum pusat.
Pada kenyataannya BGD menjadi
subordinat dari MGD, oleh karena itu tentara
tetap menjadi objek utama dalam pelayanan
kesehatan sampai saat itu. Hal ini kemudian
menyebabkan adanya pengabaian terhadap

24
pelayanan kesehatan masyarakat sipil karena
adanya anggapan bahwa pelayanan kesehatan
sipil adalah kepentingan sekunder.
Pada tahun 1827, Dinas Kesehatan
Sipil dan Militer digabung dalam satu atap
Dinas Kesehatan di bawah pimpinan Kepala
Dinas Kesehatan Militer. Hanya di Kota
Batavia, Surabaya dan Semarang saja yang
tetap mempertahankan dokter kotapraja
walaupun posisinya berada di bawah pejabat
kesehatan militer setempat. Walaupun pada
waktu itu pelayanan kesehatan sipil sudah
mulai dirintis keberadaannya, tetapi petugas
atau paramedis yang melakukan pelayanan
sebagian besar masih berasal dari dokter-
dokter militer.
Selama periode 1850-1880, rumah
sakit militer di Hindia Belanda dibagi
menjadi 3 kelompok dan beberapa kelas.
Pembagian ini didasarkan pada jumlah rata-
rata pasien setiap hari di rumah sakit
tersebut.
Menurut pembagian tersebut rumah
sakit militer di Batavia, Surabaya dan

25
Semarang merupakan rumah sakit militer
kelompok pertama dengan jumlah rata-rata
pasien setiap hari masing-masing sebanyak
743, 434, dan 424 pasien. Rumah sakit
militer Batavia dalam kelompok ini
merupakan kelas satu sementara rumah sakit
militer Semarang dan Surabaya adalah kelas
dua.
Rumah sakit garnisun yang tersebar di
seluruh wilayah Hindia Belanda merupakan
rumah sakit militer kelompok kedua. Pada
kelompok dua ini terdapat tiga kelas rumah
sakit berdasarkan jumlah rata-rata pasien
setiap hari. Pada kelompok kedua ini terdapat
34 rumah sakit garnisun dengan jumlah rata-
rata pasien setiap hari terendah 21 orang (di
rumah sakit Garnisun Martapura) dan
tertinggi mencapai 160 orang (di
Plantungan).
Sementara kelompok ketiga
merupakan rumah/bangsal pengobatan yang
biasanya terletak di dalam benteng dengan
maksimal jumlah rata-rata pasien setiap hari
paling tinggi 20 pasien (di Siak) dan

26
minimal 3 pasien (terjadi di beberapa
tempat). Pada kelompok ketiga ini terdapat
empat kelas bangsal pengobatan. Di
seluruh wilayah Hindia Belanda, rumah
sakit militer pada kurun waktu itu jumlah
pasien rata-rata setiap tahunnya mencapai
4000 pasien, baik pasien yang diakibatkan
oleh penyakit ataupun pasien korban perang,
yang didistribusikan mencakup 80 rumah
sakit.
Sementara dari segi fisik bangunan,
pada periode ini terdapat perbaikan dengan
adanya pembangunan rumah sakit militer
dengan menggunakan sistem paviliun. Selain
hanya menggunakan satu tingkat bangunan
rumah sakit ini juga dihubungkan dengan
koridor yang beratap antara bangunan satu
dengan bangunan yang lain.
Rumah sakit ini juga dilengkapi
dengan taman yang luas, seperti yang
tergambar pada rumah sakit garnisun di
Malang. Namun kondisi bangunan rumah
sakit militer yang lebih modern baik dari segi
pertimbangan kesehatan bangunan maupun

27
fasilitasnya terdapat di rumah sakit militer
Weltevreden, Semarang, dan Surabaya.
MGD pada tanggal 1 September 1922
dilakukan reorganisasi internal dengan tujuan
untuk memperluas dan mengintensifkan
pelayanan kesehatan kepada para anggota
militer dalam rangka mendukung perang.
Perluasan ini dengan jalan membentuk
semacam seksi pelayanan kesehatan pada
setiap tingkat batalion yang disebut dengan
hulpverbandplaatsen.
Perkembangan rumah sakit sebagai
fasilitas kesehatan utama pada masa kolonial
paling tidak dapat dikategorikan dalam tiga
periode yaitu:
a. Periode 1890 – 1910
Merupakan masa transisi supremasi militer dalam
pelayanan kesehatan oleh Militair Geneeskundige Dienst
(MGD) yang mulai digantikan oleh pelayanan kesehatan
sipil oleh Burgerlijke Geneeskundige Dienst (BGD).
Pemisahan yang nyata di antara kedua institusi kesehatan
ini baru terjadi pada tahun 1911 yang diatur dalam
Staatsblad tahun 1910 Nomor 648. BGD kemudian
dijadikan bagian tersendiri di bawah Departement van

28
Onderwijs en Eerendienst. Periode ini juga dicirikan
dari kebijakan batig slot ke politik etis, sehingga
memunculkan fenomena baru dimana rumah sakit mulai
banyak dikelola swasta terutama perkebunan dan
misionaris.
b. Periode 1910 – 1930
Setelah terjadi perubahan dan BGD mulai
tertata, perkembangan rumah sakit sipil berkembang
pesat. Politik etis cukup berpengaruh dan pemerintah
Hindia Belanda cukup terlibat aktif dalam pendirian dan
pendanaan rumah sakit umum maupun memberikan
subsidi pada rumah sakit swasta. Sejumlah usaha
dilakukan dalam melakukan pelatihan terhadap pegawai
rumah sakit. Periode ini dicirikan perkembangan yang
pesat dalam jumlah rumah sakit umum negeri maupun
swasta.
c. Periode 1930 - 1942
Depresi ekonomi mendorong pemerintah
memotong anggaran pendanaan publik. Terdapat usaha
untuk melakukan desentralisasi perawatan rumah sakit
dimana perusahaan swasta maupun yayasan mengambil
alih beban finansial pelayanan kesehatan. Pemerintah
mengurangi subsidi terhadap rumah sakit. Sebagai
konsekuensi logis atas hal ini, jumlah rumah sakit

29
menurun dan beberapa organisasi atau yayasan
mengalami masalah dana.

Masa pendudukan Jepang

Ketika Jepang mulai menguasai


Indonesia, terjadilah penggantian status
rumah sakit yang ada, dimana seluruhnya
diambil alih. Tenaga Belanda digantikan
tenaga medis dan paramedis Indonesia tetapi
jabatan kepala rumah sakit dipegang oleh
dokter Jepang. Penanganan, pemilikan dan
pengelolaan semua rumah sakit beralih
menjadi satu jenis yaitu Rumah Sakit
Pemerintahan Pendudukan. Pendidikan
kedokteran ditutup, tetapi tahun 1943 dibuka
kembali, pendidikan perawatan diperpendek.
Pada masa Pendudukan Jepang,
rumah sakit hanya difungsikan sebagai
tempat perawatan bagi tawanan yang berasal
dari Belanda dan negara-negara Eropa
lainnya, juga perawatan tentara Jepang.
Rumah sakit ini hanya digunakan bagi
kepentingan perang dan ekonomi pemerintah
Pendudukan Jepang. Bangunannya tidak

30
banyak mengalami perubahan baik secara
fisik maupun fungsinya.
Seperti juga pada masa pemerintah
Hindia Belanda, pada masa pemerintah
Pendudukan Jepang rumah sakit tidak
dipergunakan untuk kepentingan
masyarakat pribumi.

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/mkn/bertemu-
dengan-saudara-kembar-museum-kebangkitan- nasional-
di-cimahi/

Pada era Jepang, pelayanan kesehatan


kepada rakyat jauh lebih buruk daripada
sebelumnya, dikarenakan situasi perang dan
kelangkaan sumber daya di segala bidang.
Pada masa perang kemerdekaan masih
dalam situasi konflik sehingga masalah
kesehatan belum terlalu mendapatkan
perhatian.
Di daerah-daerah yang dikuasai
republik kesulitan utama rumah sakit adalah
kelangkaan dokter, kekurangan perawat,
kekurangan sumber dana, dan kekurangan

31
perbekalan kesehatan secara umum.

Masa Kemerdekaan

Salah satu perkembangan penting di


bidang kesehatan pada masa kemerdekaan
adalah konsep Bandung (Bandung Plan)
pada tahun 1951 oleh dr. J. Leimena dan dr.
Patah. Konsep ini memperkenalkan bahwa
dalam pelayanan kesehatan masyarakat,
aspek kuratif dan rehabilitatif tidak bisa
dipisahkan. Tahun 1956, dr. J. Sulianti
mengembangkan konsep baru dalam upaya
pengembangan kesehatan masyarakat, yaitu
model pelayanan bagai pengembangan
kesehatan masyarakat pedesaan di Indonesia.
Konsep ini memadukan antara pelayanan
medis dengan pelayanan kesehatan
masyarakat pedesaan yang sekarang dikenal
dengan nama pusat kesehatan masyarakat
(puskesmas).
Rumah sakit secara umum dapat
diklasifikasikan sebagai berikut; dilihat dari
sudut pemiliknya dibagi menjadi rumah sakit
pemerintah (government hospital) dan

32
swasta (private hospital). Menurut jenis
pelayanan yang diselenggarakan, dibedakan
menjadi rumah sakit umum (general
hospital) jika semua jenis pelayanan
diselenggarakan dan rumah sakit khusus
(speciality hospital) jika hanya satu jenis
pelayanan kesehatan. Sebelum mengalami
perkembangan seperti saat sekarang,
pembedaan antara rumah sakit umum
(sipil/publik) dan militer pada masa
kolonial juga mengacu pada pembagian ini.
Semua jenis rumah sakit pada awal
abad ke-20 secara kuantitas mengalami
pertambahan yang signifikan. Pada tahun
1910 di seluruh wilayah Hindia Belanda
terdapat 22 rumah sakit militer, kemudian
163 rumah sakit milik pemerintah dan 78
rumah sakit milik swasta. Pada tahun 1922
sudah terdapat 61 rumah sakit militer, 181
rumah sakit negara (Burgelijke dan
Centrale Burgelijke Ziekeninrichtingen).
Rumah Sakit pada jaman kolonial yang
tercatat antara lain seperti pada tabel dibawah
ini:

33
Military Hospitals Place Island Founded Closed
Infirmary Bengkulu Benkoelen Sumatra South 1867
(Benkoelen)
Infirmary Besuki Bezoeki Java East 1867
(Bezoeki)
Military Hospital Bodjong Java Central 1867
Bojong
(Semarang)
Infirmary Bantaeng Bonthain Celebes SW 1867
Infirmary Bogor Buitenzorg Java West 1867
(Batavia)
Military hospital Djambi Sumatra South 1867
Jambi
Infirmary Lubuk Loeboek Sumatra 1890
Sikaping
Sikaping West
Military hospital Djatingaleh Java Central 1921
Semarang
(Semarang)
Garrison hospital Djokjakarta Java Central
Yogyakarta
Garrison hospital Fort de Cock Sumatra West
Bukittinggi
Military hospital Serang Java West
Serang
(Bantam)
Infirmary Siak Siak Sumatra East
(Bengkalis)
Garrison hospital Sibolga Sumatra West
Sibolga
Military hospital Sigli (Noord- Sumatra North 1917
Sigli
Atjeh)
Garrison hospital Singkawang Borneo West
Singkawang
Infirmary Singkel Singkel Sumatra North
(Atjeh)

34
Military Hospitals Place Island Founded Closed
Garrison hospital Sintang Borneo West
Sintang
Infirmary Loeboek Loeboek Sumatra West 1890
Sikaping
Sikaping
Military hospital Soerabaya Java East 1867 1923
Surabaya
(Simpang)
Garrison hospital Soerakarta Java Central 1867
Surakarta
Infirmary Solok Solok Sumatra West
Infirmary Talang Talang Sumatra West
Padang
Padang
Infirmary Tanjung Tandjong Borneo SE
Military hospital Tandjong Riouw
Tanjung Pinang
Pinang
(Riouw)
Garrison hospital Tebing Tinggi Sumatra South 1839 1907
Tebing Tinggi
Garrison hospital Telok-Betung Sumatra South
Teluk Betung
(Lampongse
Districten)
Garrison hospital Ternate Moluccas
Ternate
Garrison hospital Tjilatjap Java Central 1830 1894
Cilacap
(Banjoemas)
Military hospital Tjimahi Java West 1897
Cimahi
(Preanger)
Garrison hospital Toboali Banka 1867
Toboali
(Banka)
Military hospital Weltevreden Java West 1797
Weltevreden
(Batavia)

35
Dari tabel di atas, termasuk juga Militair Hospitaal Te
Tjimahi yang tercatat operasional penggunaannya pada tahun
1897.

https://www.google.com/maps/d/u/0/viewer?mid=17_N
6UJPD78qEVVHBxmcJk2rDQfo&hl=en_US&ll=-
10.682857651341896%2C118.78808274140621&z=4
https://historicalhospitals.com/maps/

36
BAB III
MILITAIR HOSPITAAL TE TJIMAHI

Sebagai salah satu rumah sakit tertua di Indonesia yang


saat ini masih beroperasi, RS Dustira memiliki sejarah yang
panjang. Rumah sakit yang awalnya bernama Militair
Hospitaal te Tjimahi dulunya diperuntukkan untuk merawat
tentara-tentara Belanda yang bertugas di daerah Cimahi dan
sekitarnya.
Dr Nina Herlina Lubis dan kawan-kawan dalam bukunya
Sejarah Kota Cimahi tahun 2004 maupun edisi revisi tahun
2014 menuliskan bahwa rumah sakit Dustira didirikan tahun
1887 dengan nama Militair Hospitaal Tjimahi. Hal ini
memunculkan anggapan bahwa rumah sakit Dustira merupakan
37
rumah sakit tertua di Indonesia yang masih berfungsi.
Hasil riset terhadap sejumlah arsip koran terbitan 1895-
1898, majalah militer Hindia Belanda, serta arsip peta denah
pembangunan Militair Hospitaal te Tjimahi, menunjukkan
pembangunan rumah sakit militer tersebut dimulai pada 1896.
Sumber arsip peta yang diperoleh Arsip Nasional menunjukkan
terdapat beberapa denah pembangunan Militair Hospitaal te
Tjimahi. Arsip denah dengan judul Ontwerp Voor Een Militair
Hospitaal 2e Kl.Te Tjimahi, dengan skala 1:500 menunjukkan
bahwa denah itu disetujui oleh Perwira Pertama Genie, JCH
Fischer, sebagai pemimpin pembangunan Garnisun Cimahi
pada tanggal 28 Mei 1896. Selanjutnya denah itu disetujui oleh
Perwira Pertama Genie, AJJ Staal sebagai komandan Afdeling
Militer 1 Jawa, Bengkulu, Lampung dan Distrik Bangka. Denah
pembangunan Militair Hospitaal itu selanjutnya dikukuhkan
dengan Besluit (surat keputusan) no 18 tanggal 4 September
1896 yang ditandatangani Sekretaris Gubernur Jendral JWCH
Stuart Cohen.

38
Denah Rumah Sakit Dustira pada awal Pembuatannya. (KITLV)

Surat kabar Batavia nieuwsblad edisi 11 Desember 1896


memberitakan bahwa pemerintah telah memberikan otorisasi
untuk membangun rumah sakit militer di Cimahi dengan
perkiraan anggaran sebesar 245.000 gulden. Anggaran yang
sama juga diberitakan De Preanger Bode, surat kabar yang
terbit di Bandung, edisi 21 Desember 1896. Berita sejenis juga
muncul di surat kabar De Locomotief edisi 5 September 1896
tentang pembangunan rumah sakit kelas dua di Cimahi, dengan
biaya diperkirakan mencapai 237.428 gulden.
Dari situs https://historicalhospitals.com mengutip
Kolonial Verslag tahun 1898 menyebutkan bahwa rumah sakit
39
garnisun di Cimahi dibuka pada 1897. Laporan Kolonial tahun
1898 itu menyebutkan bahwa penyelesaian bagian dari rumah
sakit militer kelas dua diperlukan untuk memenuhi kapasitas
pada akhir 1897. Laporan yang dibuat JCH Fischer yang dimuat
dalam Tijdschrift van Het Koninklijk Instituut van Inginieurs,
Notulen der Vergaderigen, Verhandelingen Enz, Instituutjaar
1898-1899, “Het Militair Etablissement te Tjimahi”,
menyebutkan pembangunan rumah sakit militer kelas dua itu
selesai pada pertengahan 1898.
Sejumlah foto yang dikeluarkan KITLV (Koninklijk
Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde) dan kini dikelola
secara digital oleh Universitas Leiden melalui situs
https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/ menunjukkan
perayaan peringatan 30 tahun Militair Hospitaal te Tjimahi
(Januari). Salah satu foto memperlihatkan maket rumah sakit
dengan tampilan depan bertuliskan 1897-1927 yang merupakan
peringatan 30 tahun rumah sakit. Ini menunjukkan titi mangsa
rumah sakit tersebut jatuh pada tahun 1897, yang diperkirakan
mengacu pada mulai beroperasinya rumah sakit untuk merawat
pasien.

40
Peringatan 30 tahun Militair Hospitaal te Tjimahi

Tahun 1905 rumah sakit mengalami perluasan sayap kiri


dan kanan. Di sebelah timur dibangun Water Toren atau menara
air, untuk memenuhi kebutuhan air rumah sakit. Perluasan ini
terkait dengan semakin banyaknya jumlah tentara yang tinggal
di Cimahi. Sampai masa Perang Dunia ll, rumah sakit ini
tumbuh menjadi rumah sakit terbesar dan termodern dengan
peralatan sangat lengkap untuk berbagai perawatan, juga untuk
wanita dan anak-anak (Voskuil, 2017:52).

41
Maket rumah sakit 1897-1927

Cimahi mulai dikenal pada masa pemerintahan Gubernur


Jenderal Herman Willem Daendels tahun 1811. Kala itu saat
membangun jalan Anyer-Panarukan, dibangun pos penjagaan
(loji) yang posisinya berada di alun-alun Cimahi saat ini.
Puluhan tahun kemudian, pasukan militer Belanda berencana
untuk membentuk sebuah pangkalan militer di daerah yang
agak pelosok. Belanda memilih Cimahi dengan pertimbangan
letaknya dianggap strategis. Tahun 1874-1893 dilaksanakan
pembuatan jalan kereta api Bandung- Cianjur sekaligus
pembuatan stasiun kereta api Cimahi.
Setelah jalur Bandung-Cianjur selesai dibangun, pada
1900, jalur kereta lain juga dibuat, yakni dari Batavia-Bandung
yang melewati Cimahi. Dengan dibukanya jalur tersebut, maka
mobilitas pasukan Belanda bisa bergerak jauh lebih cepat.
42
Selain sebagai pangkalan militer, di Cimahi juga dibangun
sebagai gerbang pertahanan untuk melindungi Pangkalan Udara
Militer di Andir, Bandung.
Hal ini disebabkan pada saat itu hampir separuh
kekuatan Angkatan Perang/Militer Hindia Belanda berada di
Cimahi. Hal inilah yang membuat Cimahi menjadi daerah yang
penting, terutama karena keberadaan Rumah Sakit Militernya.
Keberadaan Cimahi yang demikian penting dengan
dijadikannya sebagai pusat militer pemerintah kolonial dan
keberadaan rumah sakit militernya tidak lepas dari rencana
pemerintah Hindia Belanda yang akan menjadikan kota
Bandung sebagai ibukota pemerintahan kolonial menggantikan
Batavia.

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/mkn/bertemu-
dengan-saudara-kembar-museum-kebangkitan- nasional-
di-cimahi/

Dari sumber lain dikatakan pembangunan rumah sakit


dimulai pada tahun 1886 bersamaan dengan pembangunan
pusat pendidikan militer dan rumah tahanan militer. Dalam
kurun waktu yang sama, sudah ada tiga batalion yang berdiri di
Cimahi, yaitu Infanteri, Genie (Zeni) dan Artileri. Rumah Sakit
militer ini mulanya dipersiapkan untuk menunjang aktivitas

43
tentara Belanda di wilayah Cimahi dan sekitarnya. Saat itu
Cimahi yang tengah dipersiapkan sebagai kota militer
membutuhkan infrastruktur kesehatan yang mumpuni. Selain
itu, pendiriannya juga dijalankan sebagai penunjang
pengamanan, dimana ketika itu Gubernur Jenderal berniat
memindahkan ibukota Hindia Belanda dari Batavia ke
Bandung.
Pada 4 September 1896 diresmikan Garnisun Militer
Cimahi yang meliputi 3 batalyon, pusat pendidikan militer,
rumah tahanan militer dan rumah sakit dengan nama Militair
Hospitaal Te Tjimahi. Pada masa itu garnisun Cimahi
merupakan garnisun militer terbesar di Indonesia, berkekuatan
sekitar 10.000 tentara. Tercatat terdapat pangkalan militer
dengan fasilitas lengkap terdiri dari Batalijon Infanterie 4e dan
9e, Batalijon Bergartillerie, Batalijon Infanterie 6, Batalijon
Genie Tropen. Selain itu, di Cimahi ditempatkan beberapa
kamp sipil, kamp bantuan dan kamp tawanan perang, termasuk
perkemahan Depot Artileri Bergerak di Barosweg dan
Willemstraat, Pertanian Zonnehoeve, Pertanian Vredesteijn
Leuwigadjah dan berbagai perkemahan KNIL.
https://www.oorlogsbronnen.nl/thema/Tjimahi

44
Peta Garnisun Cimahi

Rumah sakit garnisun Tjimahi (Preanger) dibuka pada


Januari tahun 1897. Dalam Verslag Koloniaal tahun 1898,
adendum A menyebutkan bahwa rumah sakit tersebut pada
tahun 1897 menerima sejumlah pasien sebanyak 323 pasien
Eropa dan 887 orang pribumi. Sejak itu rumah sakit Tjimahi
terus melakukan pelayanan dan menerima pasien baik warga
eropa maupun pribumi.

45
Foto udara Militair Hospitaal Tjimahi

Sisi belakang Militair Hospitaal Tjimahi

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) rumah


sakit ini juga menjadi rujukan bagi tawanan tentara
Belanda dan perawatan tentara Jepang. Selain sebagai tempat
perawatan, beberapa bangunan rumah sakit juga dijadikan

46
sebagai kamp konsentrasi tawanan tentara Belanda. Pada tahun
1945-1947, bangunan ini kembali dikuasai oleh Pemerintah
Sipil Hindia Belanda (NICA).

Lukisan yang menunjukkan kamp konsentrasi tawanan tentara


Belanda (Tjimahi kamp, 1942)

Setelah pengakuan kedaulatan RI oleh pemerintah


Kerajaan Belanda pada 1949, maka pada 30 Mei 1950 Militair
Hospitaal diserahkan oleh militer Belanda kepada Tentara
Nasional Indonesia (TNI) yang diwakili oleh Letnan Kolonel
Dokter Rd Kornel Singawinata. Sejak saat itu rumah sakit
ini berganti namanya menjadi Rumah Sakit Territorium III
dengan Letkol Dokter Kornel Singawinata sebagai kepala
rumah sakit yang pertama ubis, 2004: 197).

47
Pada saat perayaan Hari Ulang Tahun Territorium
III/Siliwangi yang ke-10 tanggal 19 Mei 1956, Panglima
Territorium III/Siliwangi Kolonel Kawilarang menetapkan
nama rumah sakit ini dengan nama Rumah Sakit Dustira,
diambil dari nama Mayor dr. Dustira Prawiraamidjaja. Hal ini
sebagai wujud penghargaan terhadap jasa-jasa Mayor dr.
Dustira Prawiraamidjaya sebagai pejuang di medan perang dan
memberikan pertolongan para korban peperangan terutama
untuk wilayah Padalarang.
Dr. Mayor Dustira Prawiraamidjaya adalah satu di antara
sekian banyak manusia Indonesia yang turut berjuang
mempertahankan Negara Republik Indonesia hasil proklamasi
tanggal 17 Agustus 1945. Dilahirkan pada 25 Juli 1919 sebagai anak
dari Rd S Prawiraamidjaya. Ia memulai pendidikan di Europeesche
Lagere School (ELS) dilanjutkan ke Hogere Burger School (HBS),
keduanya di Bandung. Selanjutnya Dustira menempuh pendidikan di
Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta (Geneeskundige Hogeschool, di
jaman Jepang disebut Ika Daigaku). Setelah lulus menjadi dokter,
Dustira ikut dilatih kemiliteran di Tasikmalaya. Selesai
pendidikan kemiliteran, dr Dustira ditugaskan ke Resimen 9
Divisi Siliwangi yang menguasai front Padalarang, Cililin dan
Batujajar. langsung terjun ke medan perang. Terbatasnya
sumber daya manusia dan obat-obatan membuat dr. Dustira
bekerja siang malam memberikan dukungan kesehatan.

48
Banyaknya korban sipil maupun pejuang selama peperangan,
ditambah dengan kecelakaan kereta api di Padalarang yang
menimbulkan korban ratusan penumpang membuat dr. Dustira
mengalami kelelahan fisik dan tekanan psikis yang luar biasa
sehingga menyebabkan jatuh sakit. Setelah menjalani
perawatan, dr. Dustira meninggal pada 17 Maret 1947.
Pada perkembangan selanjutnya Rumah Sakit Dustira,
bukan saja menerima pasien dari kalangan militer tetapi
masyarakat umum. Saat ini Rumah Sakit Dustira mampu
menjalankan pelayanan kesehatan kuratif dan rehabilitatif yang
terpadu dengan pelaksanaan kegiatan kesehatan promotif dan
preventif dan menjadi rumah sakit rujukan tertinggi untuk TNI
di wilayah Jawa Barat.

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/mkn/bertemu-
dengan-saudara-kembar-museum-kebangkitan- nasional-
di-cimahi/

49
BAB IV
TRANSFORMASI RS DUSTIRA

Dalam rangka mencapai visi dan misi kesehatan


Angkatan Darat, RS Dustira melakukan transformasi secara
masif. Langkah awal transformasi RS Dustira dimulai dengan
menentukan zonasi dan masterplan rumah sakit. Dalam kurun
waktu yang cukup lama, penambahan kapasitas layanan dan
fasilitas pendukung RS Dustira belum mengacu pada kaidah
pelayanan rumah sakit yang modern. Permasalahan utama
adalah tidak adanya zonasi yang terstandar maupun masterplan
rumah sakit. Akibatnya alur pelayanan menjadi tidak sistematis
dan membingungkan. Penetapan zonasi pelayanan, perkantoran,
sarana umum, sosial dan lain-lain dilakukan bersamaan dengan
pembuatan masterplan rumah sakit jangka panjang. Setelah itu
diikuti dengan melakukan pemindahan area pelayanan,
perkantoran, dan lain-lain sesuai zonanya. Pembangunan baik
sumber daya manusia, alat kesehatan, bangunan, sistem maupun
fasilitas dilakukan secara bertahap sesuai urutan prioritas.
Langkah berikutnya adalah melakukan rebranding rumah
sakit. Kesan rumah sakit yang militersentris, eksklusif, kaku,
menakutkan dihilangkan dengan cara melakukan kampanye
positif tentang prestasi dan kemampuan rumah sakit. Setiap
kegiatan pelayanan, edukasi dan inovasi disosialisasikan dan
dipublikasikan melalui media sosial elektronik secara terus
50
menerus. Kegiatan selanjutnya adalah menetapkan logo rumah
sakit, pembuatan mars maupun hymne Dustira.
Peningkatan mutu dilakukan dengan melakukan
standarisasi pelayanan dan akreditasi pelayanan, meningkatkan
kualitas sumber daya manusia maupun pengadaan alat-alat
kesehatan canggih. Sistem informasi rumah sakit disusun
internal bersifat taylor made, sesuai tuntutan kebutuhan rumah
sakit.
Inovasi rumah sakit Dustira dilakukan dengan
tujuan untuk mencapai pelayanan prima. Ide inovasi
terutama untuk menjawab keluhan masyarakat pengguna
jasa layanan, selain juga untuk meningkatkan performa
kinerja rumah sakit. Sasaran inovasi yang dikerjakan
meliputi internal (untuk meningkatkan pelayanan staf
rumah sakit) maupun eksternal (untuk meningkatkan
pelayanan masyarakat pengguna jasa layanan). Inovasi
layanan internal antara lain meliputi:
1. Layanan e-medical record dan e-resep
2. Digitalisasi dokumen rumah sakit
3. Sistem belanja/pengadaan barang secara elektronik
4. Sistem penilaian kinerja personil elektronik
5. Absensi online
6. Digitalisasi dokumen rumah sakit
7. Sistem belanja/pengadaan barang secara elektronik

51
8. Sistem penilaian kinerja personil elektronik

Inovasi layanan eksternal antara lain meliputi:


1. Pendaftaran online dan onsite
2. Pelayanan terpadu
3. Pelayanan home visit
4. Pelayanan antar obat
5. Pelayanan antar jemput pasien
6. Pelayanan berbasis web/hotline
7. Sistem informasi terpadu

Aplikasi Mobile Dustira di Playstore

52
Tampilan aplikasi Mobile Dustira (MO-DUS)

Selain inovasi, di atas, rumah sakit juga


mengembangkan konsep green hospital dengan mulai
mengembangkan:
1. Solar cell sebagai sumber listrik rumah sakit
2. Pengolahan limbah cair rumah sakit yang aman
lingkungan
3. Pengolahan limbah organik menjadi pupuk kompos
4. Pembatasan pemakaian bahan plastik
5. Less paper menuju pengurangan pemakaian kertas
dan daur ulang kertas
6. Pengolahan air siap minum

53
Panel surya atau solar cell RS Dustira

Tempat pengolahan air siap minum

54
Semua langkah dan strategi tersebut di atas
dilakukan monitoring dan evaluasi rutin berdasar survei
kepuasan masyarakat. Perbaikan maupun penyusunan
strategi baru terus dikembangkan, termasuk merubah
indikator mutu yang sudah tercapai dan mengganti
dengan indikator baru. Tercapainya peningkatan
pelayanan publik bisa dilihat dengan naiknya indeks
persepsi pelayanan masyarakat pengguna jasa layanan
Dustira. Data dalam 1 tahun (2022) inovasi menunjukkan
peningkatan indeks kepuasan masyarakat dari angka 3,9
menjadi 4,4 (skala 5).

Rating Ulasan Google RS Dustira

Sesuai dengan makna pada logo, RS Dustira


55
berkomitmen untuk terus bertumbuh dan berkembang
dalam mewujudkan visi dan misi Kesehatan Angkatan
Darat dengan dilandasi motto dan nilai-nilai tertib, ramah,
profesional, empati, solid, nyaman dan aman.
DOKUMENTASI MILITAIR HOSPITAAL TE TJIMAHI

Gerbang Utama Rumah Sakit Militer Cimahi (KITLV A899)

56
Taman Rumah Sakit Militer Cimahi

Rumah sakit militer Cimahi.

57
KITLV A899 - Rumah sakit militer Cimahi

Model skala di taman rumah sakit militer di Cimahi

Ruang mesin departemen sinar-X di rumah sakit militer di Cimahi

58
Ruang operasi di rumah sakit militer Cimahi

Paviliun 1a rumah sakit militer Cimahi

Paviliun rumah sakit militer Cimahi

59
Alat tembikar di departemen X-ray di rumah sakit militer Cimahi

Bagian rontgen rumah sakit militer Cimahi

60
Taman rumah sakit militer Cimahi

Ruang ganti di pusat rumah sakit militer Cimahi

Ruang ---- rumah sakit militer Cimahi

61
Ruang jaga petugas kesehatan rumah sakit militer Cimahi

Bangsal di rumah sakit militer Cimahi

Model di taman rumah sakit militer Cimahi

62
Tampak depan rumah sakit militer Cimahi

Tenaga kesehatan rumah sakit Cimahi

63
Apotek di sayap kanan gedung (KITLV)

64
KEPALA RUMAH SAKIT DUSTIRA
DARI MASA KE MASA

Dr. Rd. KORNEL SINGAWINATA KOLONEL CDM


TH 1950 – 1953

Dr. SUPIT LETKOL CDM


TH 1953 – 1954

65
Dr. PARTOMO LETKOL CDM
TH 1954 – 1955

Dr. SOEPARTO YARMAN KOLONEL CDM


TH 1955 – 1956

Dr. SOEPARTO YARMAN KOLONEL CDM


TH 1956 – 1961

66
Dr. SOEDARSO LETKOL CDM
TH 1961 – 1963

Dr. AGUSNI LETKOL CDM


TH 1963 – 1968

Dr. SOEHIRMAN HARDJO SUGITO BRIGJEN TNI


TH 1968 – 1971

67
Prof. Dr. SOEMARTONO BRIGJEN TNI
TH 1971 – 1972

Dr. KURNIA NATADISASTRA LETKOL CDM


TH 1972 – 1974

Dr. SULAEMAN AH KOLONEL CDM


TH 1974 – 1980

68
Dr. HIDAYAT HP KOLONEL CDM
TH 1980 – 1983

Dr. SOEMARDI KOLONEL CDM


TH 1983 – 1987

Dr. HINDARTO JOESMAN BRIGJEN TNI


TH 1987 – 1992
69
Dr. JOJO R. NOOR KOLONEL CKM
TH 1992 – 1993

Dr. HADISAPOETRA KOLONEL CKM


TH 1993 – 1995

Dr. SURYO SUBIYANTO,Sp.B KOLONEL CKM


TH 1995 – 1999
70
Dr. TOMMY JOESOEF, Nts, MM KOLONEL CKM
TH 1999 – 2002

Dr. DEDI S. DJAMHURI, Sp.B KOLONEL CKM


TH 2002 – 2005

Dr. PRIATNA, Sp.R KOLONEL CKM


TH 2005 – 2006

71
Dr. CHERIE L. RUMANTIR, Sp.R KOLONEL CKM (K)
TH 2006 – 2007

Dr. SYAFFARMAN RUSLI KOLONEL CKM


TH 2007 – 2009

dr. SUTRISNO, MARS KOLONEL CKM


TH 2009 – 2010
72
Dr. MADE ASTIYA, MM KOLONEL CKM
TH 2010 – 2012

dr. AKHMAD KHOTIB KOLONEL CKM


TH 2012 – 2013

dr. BASUKI TRIANTORO, Sp.An KOLONEL CKM


APRIL 2013 – SEPTEMBER 2014

73
dr. SETIA BUDHI, M.M., MARS KOLONEL CKM
SEPTEMBER 2014 – OKTOBER 2016

dr. ASEP USMANTO SUKARSA, Sp.B KOLONEL CKM


OKTOBER 2016 – DESEMBER 2017

dr. AGUS RIDHO UTAMA, Sp.THT-KL, MARS KOLONEL CKM


DESEMBER 2017 – OKTOBER 2020

74
dr. ALFATHAH BANIA LUBIS, Sp.An, MMRS KOLONEL CKM
OKTOBER 2020 – NOVEMBER 2021

dr. BAYU DEWANTO, Sp.BS KOLONEL CKM


NOVEMBER 2021 - SEKARANG

75
PENGHARGAAN DAN SERTIFIKAT

Sertifikat Rumah Sakit Pendidikan

Piagam penghargaan PERSI 2020

76
Penghargaan PERSI Tahun 2021

77
Satker Terbaik Ke II Penilaian Laporan Keuangan
BLU TA.2022

78
Piagam Penghargaan Kementerian Pertahanan RI
Sekretariat Jenderal atas opini Wajar Tanpa Pengecualian
dari BPK

Akreditasi Rumah Sakit

79
DUSTIRA MENUJU VISI KE DEPAN

80
Visi Misi dan Motto Rumah Sakit Dustira

81
LAYANAN UNGGULAN

 Unit Medical Check Up

 Unit Ginjal Terpadu (UGT)

 Klinik Kecantikan Griya Geulis

 Klinik Akupunktur dan Hipnoterapi


 Nicu/Picu
 Poliklinik Tumbuh Kembang

 Poliklinik Talasemia
 Cath Lab
 Rehabilitasi Medik
 Lab Biomolekuler
 CT SCAN & MRI
 Rumah Singgah “Mess Papandayan”

 Rumah Duka
 Duras (Dustira Puas)

82
83
84
NICU/PICU

85
INSTALASI REHAB MEDIK

86
87
88
INOVASI
RUMAH SAKIT TK II DUSTIRA

PELAYANAN PUBLIK

 Antar jemput pasien

 5 Pelayanan terpadu

(UGT, REHAB MEDIK, MCU, THALASEMI dan UGD)

 LANTARO (Pelayanan Antar Obat)

 MODUS (pendaftaran on line, konsultasi dokter

on line, jadwal dokter, ketersediaan tempat tidur,


galeri kegiatan, perpustakaan digital, master plan)

89
SOLAR CELL

PENGOLAHAN KOMPOS

90
E-MEDREC

SITU DUSTIRA

91
KOLAM IKAN

GAZEBO

92
RUANG TAMAN HIJAU

BANK SAMPAH

93
TAMAN ANGGREK

94
AIR BERSIH

95
KOLAM

TAMAN FITNESS

96
97
DAFTAR PUSTAKA

Koran
Bataviaaschnieuwsblad edisi 1 Desember 1896, halaman 2
De locomotief: Samarangsch handels-en advertentie-blad, edisi
5 September 1896; halaman 3
De Preanger-bode, edisi 21 Desember 1896 halaman 2
Java-bode: nieuws, handels-en advertientieblad voor
Nederlandsch-Indie, edisi 25 September 1896, halaman 3

Majalah
Indisch Militair Tijdschrift, 1 Juli 1895. Artikel “De Militair
Vestiging in de Preanger Regentschappen”
Tijdschrift van Het Koninklijk Instituut van Ingenieurs, Notulen
der Vergaderingen, Verhandelingen Enz, Instituutjaar 1898-
1899, “Het Militair Establishmentte Tjimahi”. Batavia Jav
Boekh & Drukkerij, 1899

Peta Denah
Arsip Nasional. Ontwerp voor Een Militair Hospitaal 2 Kl te
Tjimahi

Buku dan Artikel


98
Dewi, Ailenn Kartiana, 2017. Makalah. Wajah Militair
Hospitaal dan kota Militer Cimahi
Handinoto, 2012. Arsitektur dan Kota-kota di Jawa Tengah
Pada Masa Kolonial, Yogyakarta; Graha Ilmu, cetakan kedua.
Lubis, Lina Herlina dkk. 2004. Sejarah Kota Cimahi. Pusat
Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga
Penelitian Universitas Padjadjaran, Bandung.
Sumayo, Yulianto. Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia,
Gajah Mada University press, Yogyakarta. 1995

Website
KITLV/https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/
https://www.oorlogsbronnen.nl/thema/Tjimahi
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/mkn/bertemu-
dengan-saudara-kembar-museum-kebangkitan- nasional-
di-cimahi/

99

Anda mungkin juga menyukai