Anda di halaman 1dari 22

MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN SEPSIS ET CAUSA

PERFORASI HOLLOW VISCUS ET CAUSA PERFORASI


GASTER

Oleh:
Tia Astriana, dr.
130121190514

LAPORAN KASUS

Untuk memenuhi salah satu kewajiban akademik


pada Program Pendidikan Dokter Spesialis I Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2020
MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN SEPSIS ET CAUSA
PERFORASI HOLLOW VISCUS ET CAUSA PERFORASI
GASTER

Oleh:
Tia Astriana, dr.
130121190514

LAPORAN KASUS

Untuk memenuhi salah satu kewajiban akademik


pada Program Pendidikan Dokter Spesialis I Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Telah disetujui oleh pembimbing pada tanggal


Seperti tertera dibawah ini

Bandung, 28 Desember 2020

Muchammad Erias Erlangga., dr., Sp.An., M.Kes


MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN SEPSIS ET CAUSA PERFORASI
HOLLOW VISCUS ET CAUSA PERFORASI GASTER

Abstrak

Pendahuluan : Pasien dengan sepsis memiliki angka mortalitas yang tinggi.


Penanganan infeksi merupakan komponen penting. Resusitasi cairan, terapi
antibiotik dan tindakan source control yang segera merupakan terapi utama untuk
tatalaksana sepsis.
Kasus : Seorang wanita usia 51 tahun mengeluh nyeri perut sejak 2 hari
sebelummasuk rumah sakit. Hasil pemeriksaan didapatkan pasien dengan sepsis,
dilakukan tindakan resusitasi dan tindakan operatif untuk source control.
Diskusi : Manajemen anestesi pada tindakan operatif terkait sepsis memerlukan
perhatian khusus, dimana sepsis menyebabkan abnormalitas pada sirkulasi dan
metabolisme.
Kesimpulan : Pada pasien dengan sepsis dibutuhkan resusitasi dan optimalisasi
keadaan pasien untuk dapat menimalkan risiko-risiko yang bisa terjadi pada pasien.
Mulai dari perencanaan pra-operatif, resusitasi, metode anestesi dan kebutuhan pasca
operatif.

Kata kunci : Sepsis, Source control, Perforasi Gaster, Laparotomy


ANESTHETIC MANAGEMENT FOR SEPSIS ET CAUSA HOLLOW VISCUS
PERFORATION ET CAUSA GASTRIC PERFORATION

Abstract

Introduction: Patients with sepsis have a high mortality rate. Management of


infection is an important component. Fluid resuscitation, antibiotic therapy and
immediate source control measures are the mainstays of treatment for sepsis.
Case: A 51 year old woman complained of abdominal pain 2 days before admission
to the hospital. The results showed that patients with sepsis, performed resuscitation
and operative measures for source control.
Discussion: Anesthetic management in sepsis-related surgery requires special
attention, as sepsis causes abnormalities in circulation and metabolism.
Conclusion: In patients with sepsis it is necessary to resuscitate and optimize the
patient's condition in order to minimize the risks that can occur to the patient.
Starting from pre-operative planning, resuscitation, anesthesia methods and post-
operative needs.

Keywords: Sepsis, Source control, Gastric Perforation, Laparotomy


BAB I
PENDAHULUAN

Definisi sepsis secara konsensus didefinisikan sebagai suatu disfungsi organ yang

mengancam nyawa yang disebabkan oleh respon terhadap infeksi yang tidak

teregulasi dengan baik. Disfungsi organ sendiri didefinisikan sebagai perubahan dari

sequential organ failure assessment (SOFA) score. Syok sepsis didefinisikan

sebagai bagian dari sepsis dimana gengguan sirkulasi dan selular cukup berat

sehingga akan meningkatkan angka mortalitas (67,8% vs 27,8%).1 Sama halnya

dengan kasus multipel trauma, infark miokardial, dan stroke, pengenalan dini serta

tatalaksana segera serta tepat akan memperbaiki luaran pasien sepsis dan syok septik

Penanganan infeksi merupakan komponen penting dalam penanganan

sepsis. Konsensus menyatakan terapi antibiotik yang segera dan sesuai dan tindakan

source control merupakan terapi utama untuk tatalaksana sepsis. Tujuan utama

source control adalah untuk menghilangkan penyebab infeksi dan mengendalikan

kontaminasi yang berlangsung. Source control yang bersifat emergensi dibutuhkan

pada pasien dengan infeksi yang berat dan mengancam nyawa, atau pada pasien

dengan cadangan fisiologis yang rendah karena kondisi sakit sebelumnya.

Surviving Sepsis Campaign merekomendasikan diagnosis segera penyebab

infeksi pada pasien sepsis atau syok sepsis dan setiap tindakan source control yang

diperlukan dikerjakan secepatnya setelah diagnosis ditegakkan. Sumber infeksi

penyebab syok sepsis harus segera dikendalikan segera setelah resusitasi berhasil

dilakukan.
BAB II

LAPORAN KASUS
Nama : Ny. R

Umur : 51 tahun

No RM : 1827xxx

Diagnosa : Sepsis pada pasien peritonitis difuse ec suspek perforasi organ

berongga ec suspek peforasi gaster

Rencana : Laparatomi Eksplorasi

Alergi : Tidak ada

Medikasi : Tidak ada

Anamnesis

Pasien datang dengan keluhan nyeri perut sejak 2 hari yang lalu. Keluhan disertai

dengan mual dan muntah. BAB hitam sejak 1 hari yang lalu. Keluhan demam tidaka

dirasakan. Pasien memiliki Riwayat penyakit nyeri utut sejak 5 tahun terakhir dan

kerap meminum obat Piroxicam untuk keluhannya tersebut. Pasien tidak memiliki

riwayat alergi makanan maupun obat-obatan. Pasien tidak pernah dioperasi dan

dibius sebelumnya. Pasien sudah puasa sejak 12 jam sebelum operasi.

Pemeriksaan Fisik

Kesadaran : Compos mentis, keadaan umum tampak sakit berat

Tanda Vital :

Tekanan darah : 92/50 mmHg

Nadi : 118 kali per menit, isi kurang


Respirasi : 30 kali per menit

Saturasi : 96 – 97% dengan nasal canul 3 liter per menit

Suhu : 37,1oC

Berat Badan : 60 kg Tinggi Badan : 152 cm

Kepala : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Thoraks : Paru-paru : bunyi vesikular kanan sama dengan kiri, tidak ada

ronchi maupun wheezing

Jantung : bunyi jantung S1 S2 murni reguler

Abdomen : Nyeri tekan seluruh lapang perut (+), defans muscular (+)

Ekstremitas : akral hangat, capillary refill time kurang dari 2 detik

Urine output : 0.2 cc/kgbb/jam, warna pekat (150cc selama 8 jam)

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Darah Pre Operasi

Hb Ht Leukosit Trombosit PT APTT INR Ureum Kreatinin

11 33,1 15.380 191.000 12.6 42 1,61 124 5,48

GDS Na K SGOT SGPT Laktat

149 139 4.0 71 32 4,1

pH pCO2 pO2 HCO3 BE Sat O2

7,385 33,9 139,5 20,5 -3,4 97,1

Dari hasil rontgen thoraks didapatkan tidak tampak kardiomegali, tidak tampak

pneumonnia dan bronkhopneumonia


Gambar 1. Rontgen Thoraks Pre Operasi

Pasien didiagnosis sebagai Sepsis pada pasien peritonitis difuse ec suspek perforasi

organ berongga ec suspek peforasi gaster

Penatalaksanaan Anestesi

Saat dilakukan visit praoperasi ditemukan pasien dalam kondisi sakit berat disertai

tanda-tanda sepsis (qSOFA) yaitu hipotensi dan laju pernadasan yang cepat. Selain

itu dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil leukositosis, peningktan

serum ureum, kreatinin dan peningkatan asam laktat.

Berdasrkan hasil pemeriksaan tersebut pasien ditemukan dalam kondisi sepsis yang

disebabkan oleh peritonitis difus. Sesuai dengan Sepsis-Bundle 2018, dilakukan

manajemen sepsis pada pasien yaitu dengan :

1. Pemberian cairan 30 cc/kgBB secara cepat


2. Dilakukan pemeriksaan kultur darah

3. Pemberian antibiotik Broad spectrum yaitu Ceftriaxon 2gr dan Metronidazol

1500 mg

4. Memberikan oksigen dengan nonrebreathing mask 10 liter permenit

5. Dilakukan pemeriksaan ulang darah rutin, elektrolit, ureum, kreatinin, AGD

arteri dan laktat post loading cairan

6. Rencana pemberian vasopressor dengan Norepinephrine jika Mean Arterial

Pressure (MAP) < 65 post loading cairan

7. Rencana tindakan dengan general anestesi

8. Rencana postoperasi ruang rawat semi intensif atau intensif

Setelah dilakukan pemberian cairan RL sebanyak 1800 cc tekanan darah menjadi

98/50 mmHg, denyut jantung 105x/menit dengan nadi terisi tetapi tidak kuat.

Produksi urin 10 cc dalam 1 jam. Pasien kemudian diberikan norepinephrine dengan

dosis 0.05 mcg/kgbb/menit setelah resusitasi cairan untuk menjaga dan

meningkatkan MAP diatas 65 mmHg. Maintenance cairan infus dilanjutkan dengan

pemberian cairan Ringer lactate 120 cc/jam. Dilakukan informed consent pada pasien

dan keluarga mengenai operasi yang akan dijalani. Pada keluarga juga dijelaskan

mengenai kondisi/keadaan pasien saat terakhir dan prosedur anestesi serta

komplikasi yang akan dihadapi terutama akibat tindakan anestesi (ASA IV E).

Pasca resusitasi, kesadaran pasien compos mentis, tekanan darah : 112/76 mmHg

dengan topangan norepinephrine 0.05 mcg/kgbb/menit, nadi 109x/menit, isi cukup,


respirasi 28-30 x/menit, suhu : 37,40C, Saturasi oksigen 97-98% dengan non

rebreathing mask 10 L/menit, urine output 50 ml/jam

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Darah Pasca Resusitasi

pH pCO2 pO2 HCO3 BE SaO2 Laktat

7.41 32,6 125,7 21,0 -2,5 95.6 2,7

Durante Operasi

Penatalaksanaan anestesi pada pasien ini menggunakan teknik general anestesi.

Dilakukan induksi dengan Fentanyl 120 mcg, Midazolam 5 mg, dan Atracurium 30

mg. Kemudian dilakukan intubasi dengan ETT no.7. Rumatan dengan Sevofluran

1.5-2 volume % O2 dan Udara, dengan FiO2 50%. Selama operasi dilakukan

monitoring hemodinamik, tekanan darah sistolik berkisar diantara 85 – 128 mmHg,

tekanan darah diastolik 60 – 88 mmHg, pasien mendapatkan norepinephrine dengan

dosis titrasi 0.05mcg/kgBB/menit, nadi 96-100 kali per menit, saturasi oksigen 97 -

99% dengan ventilator mode volume control. Perdarahan selama operasi sebanyak

200 cc dan diuresis 40 cc/jam. Durante operasi ditemukan pneumoperitoneum, cairan

peritoneum bercampur gastric juice sebanyak 300 cc, walling off omentum kearah

gaster, perforasi a.r prepyloric gaster, diameter 1 cm

Pasca Operasi
Selesai operasi pernafasan pasien spontan dengan volum tidal dan respirasi cukup.

Dilakukan pemeriksaan ulang kondisi pasien. Dipastikan kondisi pasien euvolum.

Tekanan darah sistolik berkisar 98-128 mmHg dan tekanan darah diastolik berkisar

60 – 88 mmHg dengan topangan norepinephrine dosis titrasi dinaikkan menjadi 0.2

mcg/kgbb/menit, nadi 96 – 102 kali per menit, frekuensi nafas 22 – 24 x/mnt, dan

Saturasi O2 97-98 % dengan Non Rebreathing Mask 8 liter per menit. Pasien

mendapatkan analgetik intravena Fentanyl 25 mcg/jam. Pasca operasi pasien

dipindahkan ke ruang perawatan intensif untuk mendapatkan penanganan lebih

lanjut.

Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Darah Pasca Operasi

Hb Ht Leukosi Trombosi PT APTT INR Ureu Kreatini

t t m n

10,5 32.6 3010 164.000 14.0 31.90 1.27 72.0 1.20

GDS Na K Laktat

133 138 3,7 4.5

pH pCO pO2 HCO3 BE SatO2

7,265 40,4 67,7 18,5 -7,4 89,1


BAB III

PEMBAHASAN

Definisi sepsis secara konsensus didefinisikan sebagai suatu disfungsi organ yang

mengancam nyawa yang disebabkan oleh respon terhadap infeksi yang tidak

teregulasi dengan baik. Pada tahun 2016, Survival Sepsis Campaign mengeluarkan

konsensus internasional yang ketiga yang bertujuan untuk mengidentifikasi pasien

dengan waktu perawatan di ICU dan risiko kematian yang meningkat. Konsensus ini

menggunakan skor SOFA (Sequential Organ Failure Assesment) dengan

peningkatan angka sebesar 2, dan menambahkan kriteria baru seperti adanya

peningkatan kadar laktat walaupun telah diberikan cairan resusitasi dan penggunaan

vasopressor pada keadaan hipotensi.

Implikasi dari definisi baru ini adalah pengenalan dari respon tubuh yang

berlebihan dalam patogenesis dari sepsis dan syok septik, peningkatan skor SOFA ≥

2 untuk identifikasi keadaan sepsis dan penggunaan quick SOFA (qSOFA) untuk

mengidentifikasi pasien sepsis di luar ICU.2 Walaupun penggunaan qSOFA kurang

lengkap dibandingkan penggunaan skor SOFA di ICU, qSOFA tidak membutuhkan

pemeriksaan laboratorium dan dapat dilakukan secara cepat dan berulang.

Penggunaan qSOFA diharapkan dapat membantu klinisi dalam mengenali kondisi

disfungsi organ dan dapat segera memulai atau mengeskalasi terapi.10

Septik syok didefinisikan sebagai keadaan sepsis dimana abnormalitas

sirkulasi dan selular/ metabolik yang terjadi dapat menyebabkan kematian secara

signifikan. Kriteria klinis untuk mengidentifikasi septik syok adalah adanya sepsis
dengan hipotensi persisten yang membutuhkan vasopressor untuk menjaga mean

arterial pressure (MAP) ≥ 65 mmHg, dengan kadar laktat ≥ 2 mmol/L walaupun

telah diberikan resusitasi cairan yang adekuat.2

Penelitian CIAO (Complicated Intra Abdominal Infection in Europe)

menunjukan mortalitas infeksi intra abdominal rerata 7,7 % bila disertai dengan

syok sepsis akan mmeningkat menjadi 42,3 %. .

3.1 Patofisiologi

Sepsis sekarang dipahami sebagai keadaan yang melibatkan aktivasi awal dari respon

pro-inflamasi dan anti-inflamasi tubuh.10 Bersamaan dengan kondisi ini, abnormalitas

sirkular seperti penurunan volume intravaskular, vasodilatasi pembuluh darah perifer,

depresi miokardial, dan peningkatan metabolisme akan menyebabkan

ketidakseimbangan antara penghantaran oksigen sistemik dengan kebutuhan oksigen

yang akan menyebabkan hipoksia jaringan sistemik atau syok.11 Presentasi pasien

dengan syok dapat berupa penurunan kesadaran, takikardia, dan anuria. Syok

merupakan manifestasi awal dari keadaan patologis yang mendasari. Tingkat

kewaspadaan dan pemeriksaan klinis yang cermat dibutuhkan untuk mengidentifikasi

tanda awal syok dan memulai penanganan awal.12

Patofisiologi keadaan ini dimulai dari adanya reaksi terhadap infeksi. Hal ini

akan memicu respon neurohumoral dengan adanya respon proinflamasi dan

antiinflamasi, dimulai dengan aktivasi selular monosit, makrofag dan neutrofil yang

berinteraksi dengan sel endotelial. Respon tubuh selanjutnya meliputi mobilisasi dari

isi plasma sebagai hasil dari aktivasi selular dan disrupsi endotelial. Isi Plasma ini
meliputi sitokin-sitokin seperti tumor nekrosis faktor, interleukin, caspase, protease,

leukotrien, kinin, reactive oxygen species, nitrit oksida, asam arakidonat, platelet

activating factor, dan eikosanoid.9 Sitokin proinflamasi seperti tumor nekrosis faktor

α, interleukin-1β, dan interleukin-6 akan mengaktifkan rantai koagulasi dan

menghambat fibrinolisis. Sedangkan Protein C yang teraktivasi (APC) adalah

modulator penting dari rantai koagulasi dan inflamasi yang akan meningkatkan

proses fibrinolisis dan menghambat proses trombosis dan inflamasi.8

Aktivasi komplemen dan rantai koagulasi akan turut memperkuat proses

tersebut. Endotelium vaskular merupakan tempat interaksi yang paling dominan

terjadi dan sebagai hasilnya akan terjadi cedera mikrovaskular, trombosis, dan

kebocoran kapiler. Semua hal ini akan menyebabkan terjadinya iskemia jaringan.

Gangguan endotelial ini memegang peranan dalam terjadinya disfungsi organ dan

hipoksia jaringan global.9

3.2 Manajemen Sepsis

Karena infeksi menyebabkan sepsis, penanganan infeksi merupakan komponen

penting dalam penanganan sepsis. Tingkat kematian akan meningkat dengan adanya

penundaan penggunaan antimikroba. Untuk meningkatkan keefektifitas penggunaan

antibiotik, penggunaan antibiotik berspektrum luas sebaiknya disertai dengan kultur

dan identifikasi sumber penularan kuman.14 Hal ini sebaiknya dilakukan sesegera

mungkin. Protokol terbaru merekomendasikan bahwa penggunaan antibiotik harus

diberikan maksimal dalam waktu 1 jam. Rekomendasi ini berdasarkan berbagai

penelitian yang meunjukkan bahwa penundaan dalam penggunaan antibiotik

berhubungan dengan peningkatan risiko kematian.13


Penggunaan vasopressor yang direkomendasikan adalah norepinefrin untuk

mencapai target MAP ≥ 65 mmHg. Penggunaan cairan yang direkomendasikan

adalah cairan kristaloid dengan dosis 30 ml/kgBB dan diberikan dengan melakukan

fluid challenge selama didapatkan peningkatan status hemodinamik berdasarkan

variabel dinamis (perubahan tekanan nadi, variasi volume sekuncup) atau statik

(tekanan nadi, laju nadi).7 Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Bernard et al ,

penggunaan drotrecogin α (Human Activated Protein C) menurunkan tingkat

kematian pada pasien dengan sepsis. Protein C yang teraktivasi akan menghambat

pembentukan thrombin dengan menginaktifasi faktor Va, VIIIa dan akan

menurunkan respon inflamasi.8

3.3 Manajemen Anestesi Pada Pasien

Pada pemeriksaan pre-operatif pasien ini didapatkan dalam kondisi sepsis,

ditandai dengan qSOFA 2, yaitu hipotensi dan pernapasan yang cepat kemudian

pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil leukositosis, peningkatan serum

ureum, kreatinin, dan peningkatan asam laktat.

Berdasarkan pemeriksaan tersebut pasien ditemukan dalam kondisi sepsis

yang disebabkan. Sesuai dengan Sepsis-Bundle 2018, maka dilakukan resusitasi

cairan dengan pemberian cairan kristaloid 30 ml/kgBB/jam, pemeriksaan kultur

darah, pemberian antibiotik spektrum luas, support dengan norepinephrine dan

dievaluasi dalam waktu 1 jam.

Pada pasien ini setelah dilakukan pemberian cairan didapatkan hasil

peningkatan tekanan darah serta penurunan laju nadi dan laju napas. Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil penurunan kadar laktat. Pasien

kemudian dilakukan tindakan operasi laparotomy dengan general anesthesia sebagai

tindakan source control.

Pilihan untuk obat induksi diantaranya ketamin, etomidat, pemberian

propofol secara lambat, atau dosis natrium tiopenton yang dititrasi. Sebagian besar

agen anestesi intravena atau inhalasi menyebabkan vasodilatasi atau gangguan

kontraktilitas ventrikel, sehingga induksi anestesi menjadi langkah yang harus

dipertimbangkan secara matang. Ketamin atau midazolam dapat digunakan pada

pasien dengan gangguan hemodinamik atau sakit kritis. Opioid kerja pendek seperti

fentanyl, alfentanil atau remifentanil akan memungkinkan pengurangan dosis agen

induksi anestesi. Resusitasi volume lanjutan dan infus vasopressor sangat membantu

untuk menetralkan efek hipotensi agen anestesi dan ventilasi tekanan positif.

Ada pasien ini digunakan midazolam sebagai agen sedasi, analgetik dengan

dosis 2 mcg/kgBB. Kemudian diberikan muscle relaxant, atracurium, dengan dosis

0.5 mg/kgbb. Pada durante operasi terjadi hipotensi, diberikan fluid challenge dan

pasien berespon, dosis Norepinephrine dititrasi dalam dosisi 0,1-0.2

mcg/kgbb/menit.

Setelah dilakukan operasi, kesadaran pasien compos mentis, tekanan darah

pasien stabil dengan pemberian vasopressor 0.1 mcg/kgbb/menit, nadi 96 – 100 kali

per menit, respirasi 20 – 22 per menit dengan saturasi oksigen 97-98% dengan Non

rebreathing mask 10 liter per menit. Dilakukan pemeriksaan laboratorium ulang.

Didapatkan hasil leukositosis, penurunan serum ureum, kreatinin, dan laktat. Pasien
mendapatkan terapi analgetik dengan Fentanyl 25 mcg/jam. Pasien kemudian di

rawat di ruang Intensive Care Unit.


BAB IV

KESIMPULAN

Pada Pasien dengan sepsis dibutuhkan resusitasi dan optimalisasi keadaan pasien

untuk dapat meminimalkan risiko-risiko yang bisa terjadi pada pasien. Source

control dapat bersifat emergensi, pada kondisi ini dan harus segera dilakukan

sekalipun tindakan resusitasi belum selesai, Tindakan resusitasi sebisa mungkin

dapat dilanjutkan di kamar operasi.

Risiko pada pasien dapat diminimalisir dengan memperhatikan riwayat

penyakit pasien, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang juga dengan

perencanaan yang matang baik pra-operatif, resusitasi, metode anestesi, dan

kebutuhan pasca operatif.


DAFTAR PUSTAKA

1. Matta BF, Menon DK, Turner JM. Textbook of neuroanaesthesia and critical

care. Cambridge University Press; 2000.

2. Komala TAK, Suarjaya IPP, Sinardja IK. Manajemen Anestesi pada Pasien

dengan Cedera Medula Spinalis Segmen Cervicalis. J Neuroanestesi Indones.

2014;3(2):88–95.

3. Bao F, Zhang H, Zhu S. Anesthetic considerations for patients with acute

cervical spinal cord injury. Neural Regen Res. 2017;12(3):499.

4. Furlan JC, Noonan V, Cadotte DW, Fehlings MG. Timing of decompressive

surgery of spinal cord after traumatic spinal cord injury: an evidence-based

examination of pre-clinical and clinical studies. J Neurotrauma.

2011;28(8):1371–99.

5. Samantaray A. Anesthesia for spine surgery. In: INDIAN ANAESTHETISTS

FORUM. C/O PRADEEP BHATIA, ED, ROOM NO 33, OPD-B BLOCK,

AIIMS, JODHPUR, 342005, INDIA; 2006.

6. Cottrell JE, Young WL. Cottrell and Young’s neuroanesthesia. Elsevier Health

Sciences; 2016.

7. Young W. Acute Spinal Cord Injury. 2003;

8. Omi A, Satomi K. Anesthetic Management of Spinal Cord Injury (Unstable

Cervical Spine). In: Neuroanesthesia and Cerebrospinal Protection. Springer;

2015. p. 405–14.

9. Licina P, Nowitzke AM. Approach and considerations regarding the patient


with spinal injury. Injury. 2005;36(2):S2–12.

10. Rao GSU. Anaesthetic and intensive care management of traumatic cervical

spine injury. Indian J Anaesth. 2008;52(1):13.

Anda mungkin juga menyukai