File 3 Bab 1-Bab5
File 3 Bab 1-Bab5
PENDAHULUAN
1.4 Hipotesis
Ekstrak etil asetat biji pining (Hornstedtia alliacea) dapat memberi efek
hepatoprotektor terhadap tikus putih jantan galur wistar yang diinduksi
parasetamol.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Hepar
Hati adalah organ penting dari tubuh manusia. Setiap gangguan hati dapat
menghambat fungsi normal tubuh. Oleh karena itu, perlu untuk memahami gejala
kerusakan hati, sehingga tindakan yang diperlukan dapat diambil. Hati
memainkan berbagai peran penting dalam tubuh. Secara aktif berpartisipasi dalam
metabolisme vitamin, mineral, protein, lemak, dan karbohidrat (Sridianti, 2019).
Hepar merupakan organ yang berpotensi mengalami kerusakan akibat
berbagai bahan kimia maupun lingkungan karena fungsinya dalam proses
metabolisme dan detoksifikasi bahan kimia yang masuk ke dalam tubuh.
Pemberian senyawa-senyawa yang bersifat toksik dapat menimbulkan perubahan-
perubahan seperti hemoragi, kongesti, degenerasi sampai nekrosis (Lu, 2010).
2.2.1 Jenis Kerusakan Hati
a. Perlemakan Hati (Steatosis)
Perlemakan hati adalah adanya lemak dalam sel-sel hati (hepatosit),
sebagian besar trigliserida yang melebihi 5% berat hati. Hal ini disebabkan
kegagalan metabolisme lemak di hati yang normal baik karena suatu
kerusakan di dalam sel hatu atau pengiriman lemak, asam lemak, maupun
karbohidrat terhadap kapasitas sekresi lemak sel hati (Lu, 2010).
7
b. Nekrosis
Nekrosis hati adalah interaksi antara radikal bebas hasil metabolisme
obat dan metabolisme tubuh dengan biomolekul penyusun membaran sel hati.
Interaksi radikal bebas ini menyebabkan perubahan dan merusak membran sel
hati. Nekrosis merupakan kelainan sel yang bersifat Irrevesibel (Nazarudin et
al., 2017).
c. Kolestasis
Jenis kerusakan hati ini biasanya bersifat akut, lebih jarang ditemukan
dibandingkan dengan perlemakan hati dan nekrosis. Jenis kerusakan ini juga
lebih sulit diinduksi pada hewan, kecuali dengan steroid. Zat kolestasis
bekerja melalui beberapa mekanisme (Lu, 2010).
d. Fibrosis
Jaringan fibrosis terbentuk sebagai respons terhadap peradangan atau
gangguan toksik langsung ke hepar. Pengendapan kolagen menimbulkan
dampak permanen pada pola aliran darah hepar dan perfusi hepatosit. Pada
tahap awal, fibrosis muncul di dalam atau sekitar saluran porta atau vena
sentralis, atau mengendap langsung di dalam sinusoid. Lambat laun jaringan
fibrosa menghubungkan regio hepar dari porta-ke-porta, porta- ke-sentral,
atau sentral-ke-sentral yang disebut bridging fibrosis (Kumar et al., 2007).
e. Sirosis
Sirosis adalah penyakit kronis hepar yang irreversible yang ditandai oleh
fibrosis, disorganisasi struktur lobulus dan vaskuler, serta nodul regeneratif
dari hepatosit. Penyebabnya sebagian besar akibat penyakit hati alkoholik
maupun infeksi virus kronik (Budhiarta, 2017).
f. Hemocromatosis
Hemokromatosis yaitu keadaan orang yang memiliki penyerapan besi
berlebihan, dapat menyebabkan pengendapan logam dalam pankreas, hati,
jantung, dan organ lainnya. Kelebihan zat besi dapat menjadi racun dan
bahkan fatal (Indrianingrum et al., 2013).
8
g. Hepatitis
Hepatitis A dan E sering muncul, ditularkan secara fecal oral dan
biasanya berhubungan dengan perilaku hidup bersih dan sehat, bersifat akut
dan dapat sembuh dengan baik. Hepatitis B, C, dan D ditularkan secara
parenteral, dapat menjad kronis dan menimbulkan sirosis dan kanker hati
(Pranata et al., 2019)
2.3 SGOT (Serum Glutamic Oxaloasetic Transaminase ) dan SGPT ( Serum
Pyruvic Transaminase)
Pemeriksaan kadar SGPT (Serum Glutamik Piruvit Transaminase) dan
kadar SGOT Serum Glutamik Oksaloasetik Transaminase) adalah salah satu dari
banyaknya tes fungsi hati. Kedua tes ini mengukur kadar enzim yang terdapat
dalam hati, jantung dan otot. SGPT adalah tes yang lebih spesifik untuk kerusakan
hati dibanding SGOT. SGPT adalah enzim yang dibuat dalam sel hati (hepatosit),
jadi lebih spesifik untuk penyakit hati dibandingkan dengan enzim lain. Biasanya
peningkatan SGPT terjadi apabila ada kerusakan pada selaput sel hati. Setiap jenis
peradangan hati dapat menyebabkan peningkatan pada SGPT. Peradangan pada
hati dapat disebabkan oleh virus hepatitis, obat-obatan, penggunaan alkohol, dan
penyakit pada saluran cairan empedu. SGOT adalah enzim mitokondria yang juga
ditemukan dalam jantung, ginjal dan otak. Jadi tes ini kurang spesifik untuk
penyakit hati, namun dalam beberapa kasus peradangan hati, peningkatan SGPT
dan SGOT akan serupa (Reza & Rachmawati, 2017).
2.4 Parasetamol
1.000 mg/kgBB tikus yang ditunjukkan dengan adanya nekrosis pada hati
(Goodman dan Gilman, 2014)
2.5 Ekstraksi
2.5.1 Definisi Ekstraksi
Ekstraksi adalah penyarian zat-zat berkhasiat atau zat-zat aktif dari bagian
tanaman obat, hewan dan beberapa jenis ikan termasuk biota laut. Zat-zat aktif
terdapat di dalam sel, namun sel tanaman dan hewan berbeda demikian pula
ketebalannya, sehingga diperlukan metode ekstraksi dengan pelarut tertentu dalam
mengekstraksinya. Tujuan ekstraksi bahan alam adalah untuk menarik komponen
kimia yang terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip
perpindahan massa komponen zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan mulai
terjadi pada lapisan antar muka kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut
(Harbone, 1987; Dirjen POM, 1986).
2.5.2 Metode Ekstraksi
Metode ekstraksi bahan alam yang sering dilakukan adalah ekstraksi secara
panas dengan cara refluks dan penyulingan uap air dan ekstraksi secara dingin
dengan cara maserasi, perkolasi dan alat soxhlet.
1. Ekstraksi secara soxhletasi
Ekstraksi dengan cara ini pada dasarnya ekstraksi secara
berkesinambungan. Cairan penyari dipanaskan sampai mendidih. Uap penyari
akan naik melalui pipa samping, kemudian diembunkan lagi oleh pendingin
tegak. Cairan penyari turun untuk menyari zat aktif dalam simplisia.
Selanjutnya bila cairan penyari mencapai sifon, maka seluruh cairan akan
turun ke labu alas bulat dan terjadi proses sirkulasi. Demikian seterusnya
sampai zat aktif yang terdapat dalam simplisia tersari seluruhnya yang
ditandai jernihnya cairan yang lewat pada tabung sifon (Harbone, 1987;
Dirjen POM, 1986).
2. Ekstraksi secara perkolasi
Perkolasi dilakukan dengan cara dibasahkan 10 bagian simplisia dengan
derajat halus yang cocok, menggunakan 2,5 bagian sampai 5 bagian cairan
penyari dimasukkan dalam bejana tertutup sekurang-kurangnya 3 jam. Massa
11
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
terlihat sakit, tidak cacat bawaan, dan tidak menunjukkan adanya kelainan
tingkah laku serta tidak ada penyimpangan lainnya.
3.3.11 Penentuan Dosis Ekstrak biji Pining
Berdasarkan data uji aktivitas antioksidan ekstrak etil asetat biji pining
(Hornstedtia alliacea) menghasilkan konsentrasi antioksidan sebesar 23,43
ppm. Sehingga untuk penentuan dosis ekstrak etil asetat biji pining
(Hornstedtia alliacea) diambil data dari uji aktivitas antioksidan ekstrak etil
asetat biji pining (Hornstedtia alliacea). Berikut adalah perhitungannya :
1) Perhitungan ekstrak
23,43 ppm
mg
ppm=
L
mg
23,43=
1000 mL
¿ 23,43 mg
= 25mg
2) Penentuan dosis
25 tikus
3.4 Histopatologi
Gambaran kerusakan hepatosit tikus dilihat dengan melakukan pengamatan
sediaan histopatologi menggunakan mikroskop dengan perbesaran 400x pada 5
lapangan pandang yang setiap lapangan pandang diamati berupa degenerasi
bengkak keruh yang terjadi pada hepatosit. Skala degenerasi bengkak keruh
kemudian dihitung secara semikuantitatif dalam 5 lapang pandang berbeda.
24
3. Uji Fitokimia
4. Uji Efektivitas
SGOT dan SGPT
5. Analisis data
26
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
dapat lebih merata (Suhendi et al., 2007). Serbuk biji pining yang dihasilkan
sebanyak 1 kg yang kemudian akan diekstraksi menggunakan metode maserasi.
4.4 Pembuatan Ekstrak
Ekstraksi adalah proses pemisahan komponen-komponen terlarut dari
komponen yang tidak larut dari suatu campuran dengan pelarut yang sesuai
(Depkes, 2000). Ekstraksi biji pining dilakukan dengan metode maserasi.
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan beberapa kali pengocokan
atau pengadukan pada temperatur ruangan. Maserasi dilakukan selama 24 jam
dilakukan dengan remaserasi selama 2 hari. Remaserasi berarti dilakukan
pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama
dan selanjutnya (Depkes, 2000). Pemilihan metode maserasi berdasarkan
pertimbangan kesederhanaan prosedur dan peralatan yang digunakan. Metode
maserasi tidak menggunakan pemanasan, sehingga pengaruh negatif akibat
pemanasan terhadap senyawa termolabil yang mungkin terdapat dalam biji pining
dapat dihindari (Patel, 2013).
Metode maserasi yang digunakan pada penelitian ini yaitu maserasi
bertingkat menggunakan tiga jenis pelarut dengan kepolaran yang berbeda secara
berturut-turut adalah n-heksan, etil asetat dan etanol 70%. Diharapkan pada
metode maserasi bertingkat mendapatkan hasil ekstrak cair yang berkualitas
dibandingkan metode maserasi tidak bertingkat karena metode maserasi
bertingkat senyawa kimia golongan lain selain flavonoid dapat teristribusi
berdasarkan kepolaran pelarut yang digunakan. Pelarut n-heksan akan menarik
senyawa non-polar begitupun dengan etil asetat menarik senyawa semi polar
sehingga dengan mudah etanol 70% menarik senyawa polar tanpa ada gangguan
yang ikut terekstrak dari senyawa golongan lain.
Filtrat hasil ekstraksi diuapkan menggunakan rotary evaporator pada suhu
70˚C dan kecepatan putaran 90 rpm. Penguapan ini bertujuan untuk memisahkan
pelarut dari senyawanya. Untuk mendapat ekstrak kental dilakukan penguapan
kembali menggunakan penangas air, hal ini bertujuan untuk menjaga agar suhu
tetap di bawah titik didih air kemudian dihitung rendemen dapat dilihat pada Tabel
4.1.
28
Serbuk simplisia biji pining dilakukan uji penetapan kadar air dengan
menggunakan metode Azeotrop (destilasi toluen). Uji penetapan kadar air
dilakukan untuk mengetahui persentase kadar air yang terkandung dalam serbuk
biji pining. Persentase kadar air yang baik adalah kurang dari 10%. Perhitungan
uji penetapan kadar air dapat dilihat pada Lampiran 3. Persentase rata-rata yang
didapat dari uji penetapan kadar air pada serbuk simplisia biji pining yaitu 6%,
sehingga telah dinyatakan bahwa serbuk dari simplisia biji pining memenuhi
syarat yang telah ditentukan yaitu kurang dari 10% (Voight, 1994). Kadar air yang
tinggi dapat mempermudah pertumbuhan jamur begitu juga mikroorganisme
lainnya sehingga dapat menyebabkan perubahan kimiawi yang dapat merusak dan
menurunkan mutu dari serbuk (Saifuddin et al., 2011).
4.7 Hasil Uji Kadar Abu Total
Penentuan kadar abu total bertujuan untuk memberikan gambaran tingkat
pengotoran oleh kontaminan berupa senyawa anorganik seperti logam alkali (Na +,
Kalium, Lithium), logam alkali tanah (Ca +, Ba+) dan logam berat (Fe+, Pb+, Hg+).
Hasil uji penetapan kadar abu total dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Penetapan Kadar Abu total simplisia biji pining
No Hasil
1. 2,45 %
2. 2,6 %
3. 2,55 %
Rata-rata 2,53 %
Syarat < 9 % (FHI, 2008)
Perhitungan uji penetapan kadar abu total dapat dilihat pada Lampiran 4.
Persentase rata-rata yang didapat dari uji penentuan kadar abu total pada serbuk
simplisia biji pining yaitu 2,53%, sehingga telah dinyatakan bahwa serbuk dari
simplisia biji pining memenuhi syarat yang telah ditentukan yaitu kurang dari 9%.
Tabel 4.5 Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam simplisia biji pining
No Hasil
1. 0,65 %
2. 0,75 %
3. 0,65 %
Rata-rata 0,68 %
Syarat <0,9 % (Depkes RI 1978)
Perhitungan uji kadar abu tidak larut asam dapat dilihat pada Lampiran 5.
Persentase rata-rata yang didapat dari uji kadar abu tidak larut asam pada serbuk
simplisia biji pining yaitu 0,68%, sehingga telah dinyatakan bahwa serbuk dari
simplisia biji pining memenuhi syarat yang telah ditentukan yaitu kurang dari
0,9%.
4.9 Hasil Uji Susut Pengeringan
Penentuan susut pengeringan bertujuan untuk mengetahui kandungan air
dan zat lain yang mudah menguap dalam serbuk simplisia biji pining. Hasil uji
susut pengeringan dapat dilihat pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6 Penetapan Susut Pengeringan Simlpisia Biji Pining
No Hasil
1. 7,9 %
2. 7,9 %
3. 8,2 %
Rata-rata 8%
Syarat < 10% (Depkes RI 1995)
Hasil yang diperoleh diolah menggunakan One Way ANOVA. Hasil uji
normalitas menunjukkan data berdistribusi normal p > 0,05 dan hasil uji
homogenitas p > 0,05 (p = 0,126). Berdasarkan hasil uji ANOVA diperoleh p < 0,05 (p
= 0,00), Ho diterima H1 ditolak, menandakan terdapat perbedaan yang signifikan
antar kelompok. Berdasarkan pengujian LSD, terdapat perbedaan yang signifikan
antara kelompok normal dengan kelompok negatif, antara kelompok normal
dengan kelompok dosis, dan antara kelompok negatif dengan kelompok dosis, p
< 0,05 (p = 0,00). Efektivitas yang ditujukkan oleh ekstrak etil asetat biji pining
kemungkinan disebabkan oleh adanya aktivitas antioksidan dalam tanaman
tersebut. Dilihat dari rata-rata kadar SGPT dosis 125 mg/kg BB memiliki kadar
paling kecil dibandingkan dengan kelompok perlakuan lain. Hal ini membuktikan
bahwa ekstrak pining dosis 125 mg/kg BB memberikan efek proteksi lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok dosis yang lain. Kadar SGPT normal yaitu
sebesar 18-45 U/L (Giknis dan Clifford, 2008). Hasil pengamatan secara
kuantitatif terdapat peningkatan kadar SGPT diatas kadar normal yaitu sebesar
90,8 U/L. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor makanan, faktor
tinggi karbohidrat, stress dan hewan percobaan yang tidak specific pathogen free
(SPF) (Rahman et al., 2017).
Hasil uji normalitas menunjukkan data berdistribusi normal p > 0,05 dan
hasil uji homogenitas p > 0,05 (p = 0,423). Ho diterima yang menandakan data
berdistribusi normal dan kedua kelompok memiliki varian yang homogen. Dilihat
33
dari rata-rata hasil dosis 1 memiliki kadar paling kecil dibandingkan dengan
kelompok perlakuan lain. Berdasarkan uji ANOVA diperoleh p < 0,05 (p = 0,00),
Ho diterima menandakan terdapat perbedaan yang signifikan antar kelompok.
Berdasarkan uji LSD terdapat perbedaan antara kelompok normal dengan
kelompok negatif, kelompok normal dengan dosis 250 mg/kg BB dan dosis 375
mg/kg BB, dan kelomok negatif dengan kelompok dosis 125 mg/kg BB, 250
mg/kg BB dan 375 mg/kg BB. Dilihat dari rata-rata kadar SGOT dosis 125 mg/kg
BB memiliki kadar paling kecil dibandingkan dengan kelompok perlakuan lain.
Kadar SGOT normal yaitu sebesar 45,7 – 80,8 U/L (Mangkoewidjojo, 1988).
4.10 Histopatologi
Pada hewan tikus, hati terletak di bagian kanan pada region epigastrikus,
tepat di belakang dari diafragma. Hati terdiri atas lobus-lobus dan setiap lobus
terbagi menjadi lobulus-lobulus (Rogers dan Dintzis 2012). Setiap lobulus
merupakan badan heksagonal dengan ukuran 0,7 x 2 mm yang terdiri atas sel-sel
parenkim hati (hepatosit), vena sentralis, sinusoid, cabang-cabang vena porta,
cabang-cabang arteri hepatika, sel Kupffer, duktus empedu, buluh darah limfatik,
dan saraf (Dancygier 2010).
Pengamatan histolopatologi hati dilakukan untuk memberikan informasi
mengenai perubahan mikroskopis hati yang ditimbulkan akibat pemberian ekstrak
etil asetat biji pining terhadap hati yang diinduksi parasetamol. NAPQI yang
dihasilkan dari biotransformasi parasetamol dengan sistem enzim sitokrom P450
akan bereaksi dengan molekul penyusun membran sel hepatosit sehingga
menyebabkan kerusakan hati. Perubahan mikroskopis dapat meliputi perubahan
inti sel, sitoplasma, dan sel secara keseluruhan (Ikawati, 2010). Berdasarkan
pengamatan histopatologi pada kelompok kontrol dan ditemukan adanya sel
normal dan sel yang mengalami perubahan sublethal serta lethal pada hepatosit.
Perubahan ini diskoring menggunakan program software ImageJ® dan
dibandingkan antara vena porta dan vena sentralis untuk melihat efek
hepatoprotektif dari ekstrak etil asetat biji pining. Skoring dilakukan terhadap
lima bidang pengamatan pada hepatosit di sekitar vena porta dan vena sentralis
untuk menggambarkan derajat keparahan jaringan hati (Kumala, 2017).
34
dan SGOT ke dalam aliran darah sehingga kadar enzim SGPT dan SGOT yang
terukur pun menurun dibandingkan kelompok kontrol (Sulistiyani, 2010).
Pada vena sentralis, persentasi hepatosit normal pada kelompok dosis juga
lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini diikuti dengan persentasi
nekrosa pada kelompok dosis yang lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol.
Nilai persentase degenerasi hidropis dan degenerasi lemak sama dengan kelompok
kontrol. Kelompok dosis memiliki kemampuan meningkatkan daya tahan sel dan
menjaga kelangsungan sel normal serta memulihkan sel yang mengalami perubahan
degenerasi bersifat sementara akibat metabolit reaktif parasetamol menjadi sel
normal kembali. Hal ini disebabkan oleh senyawa flavonoid yang merupakan
kandungan dari biji pining yang mampu meningkatkan efek enzim antioksidan
sehingga mampu menghambat radikal bebas NAPQI (metabolit reaktif) untuk
menetap dan merusak membran sel hepatosit (Eric et al., 2016). Total glukosida
dari ekstrak juga efektif untuk menghambat perubahan degenerasi lemak pada
hepatosit. Persembuhan juga semakin cepat terjadi karena kandungan triterpenoid
saponin seperti madekasosida dan asam madekasat yang memiliki aktivitas
antiinflamasi dan imunomodulator (Vohra et al. 2011).
Pada kelompok dosis 250 mg/ kg BB dan dosis 375 mg/ kg BB didapatkan
adanya sel hati yang mengalami nekrosis dengan skor rata-rata kerusakan sel hati
tikus yang lebih tinggi dari kelompok dosis 125 mg/ kg BB tetapi masih lebih
rendah jika dibandingkan dengan kelompok normal. Hal ini juga selaras dengan
kadar hasil SGOT dan SGPT dimana dosis 1 merupakan dosis yang memiliki kadar
paling kecil diantara kelompok perlakuan lain. Faktor yang menyebabkan hal
tersebut adalah efek toksik dan efek antiproliferatif yang dimiliki oleh biji pining
pada pemberian dosis tinggi. Biji pining mengandung senyawa aktif seperti
flavonoid yang apabila kadarnya berlebih dapat menginduksi terbentuknya radikal
2+
bebas dengan mereduksi ion logam seperti Cu menjadi Cu+ dan Fe3+ menjadi Fe2+
(Gustaman et al.
, 2020). Ion tersebut akan mengkatalisis pembentukan radikal hidroksil
dari hidrogen peroksida yang dapat menyebabkan reaksi berantai radikal bebas
yang bersifat merusak. Radikal hidroksil ini juga dapat menyebabkan kerusakan
38
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
1. Ekstrak etil asetat biji pining memiliki efektivitas hepatoprotektor
yang baik dalam menjaga kelangsungan hepatosit normal dan
memulihkan hepatosit yang mengalami kerusakan sementara,
39