Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hati adalah organ terbesar dan terpenting dalam tubuh yang terletak di rongga
perut sebelah kanan tepatnya di bawah diafragma. Hati memiliki fungsi sebagai
tempat metabolisme, detoksifikasi, pembentukan dan ekskresi empedu. Hati dapat
mengalami berbagai gangguan yang menyebabkan fungsi hati tidak bekerja
dengan normal (Oliver, 2013). Penyakit hati menyumbang sekitar 2 juta kematian
per tahun di seluruh dunia, 1 juta karena komplikasi sirosis dan 1 juta karena
hepatitis virus dan karsinoma hepatoseluler. Sirosis saat ini merupakan penyebab
kematian tersering ke 11 di dunia dan kanker hati adalah penyebab kematian
nomor 16, dikombinasikan, mereka menyumbang 3,5% dari semua kematian di
seluruh dunia. Sirosis berada dalam 20 penyebab teratas dari tahun-tahun
kehidupan yang disesuaikan dengan kecacatan dan tahun-tahun nyawa yang
hilang, terhitung 1,6% dan 2,1% dari beban dunia (Merli et al., 2019).
Penyakit sirosis hati di Indonesia pada tahun 2012 sebesar 3,2% dan
menempati peringkat ke enam di dunia sebagai penyakit yang menyebabkan
kematian. Kematian yang disebabkan oleh penyakit tersebut dari tahun 2000
sampai dengan 2012 mengalami peningkatan (WHO, 2015). Jumlah orang yang
didiagnosis Hepatitis oleh Tenaga Kesehatan berdasarkan gejala-gejala yang ada,
menunjukan peningkatan 2 kali lipat apabila dibandingkan dengan tahun 2007
(Riskesdas, 2013). Terdapat 1,2 % penduduk di Indonesia mengidap penyakit
Hepatitis, dan kondisi ini meningkat 2 kali lipat dibandingkan tahun 2007, yaitu
sekitar 0,6 %. Apabila dikonversikan ke dalam jumlah absolut penduduk
Indonesia tahun 2013 sekitar 248.422.956 jiwa, maka bisa dikatakan bahwa
2.981.075 jiwa penduduk Indonesia terinfeksi Hepatitis (Riskesdas, 2013).
Salah satu penyebab gangguan atau kerusakan hepar adalah penggunaan obat-
obatan yang bersifat hepatotoksik. Sebanyak 20-40% penyakit hepar fulminan
disebabkan oleh obat-obatan dan 50% penderita hepatitis akut terjadi akibat dari
reaksi obat terhadap hepar (Kemenkes RI, 2019). Obat-obatan yang dapat
2

menyebabkan kerusakan dihepar di antaranya karbon tetraklorida, etanol, dan


asetaminofen atau parasetamol (Eminzade et al., 2008).
Salah satu obat yang dapat menyebabkan kelainan hepar adalah paracetamol.
Paracetamol merupakan salah satu obat golongan analgetik-antipiretik yang
banyak digunakan pada manusia dan hewan. Overdosis paracetamol telah
dilaporkan sebagai penyebab nekrosis hepar. Konsumsi paracetamol yang
berlebihan dapat menyebabkan terbentuknya radikal bebas dalam sel hepar, dan
kerusakan hepar terjadi karena dosis yang berlebihan dan dalam jangka waktu
yang lama. Hasil metabolisme paracetamol berupa N-acetylpara-benzoquinone-
imine (NAPQI) tidak dapat dinetralisir semuanya oleh glutation hepar. N-acetyl-
para-benzoquinone-imine bersifat toksik dan dapat menyebabkan terbentuknya
reaksi rantai radikal bebas (Eric et al., 2016). Pemberian dosis paracetamol
sebesar 250 mg/kg bb dalam jangka waktu 10 hari dapat menyebabkan kerusakan
histologi jaringan hepar berupa kongesti, degenerasi, dan nekrosis (Utami, 2017).
Radikal bebas yang berlebihan akan menimbulkan stres oksidatif yang
memicu proses peroksidasi terhadap lipid, sehingga menimbulkan kerusakan pada
hepar. Kerusakan hepatoseluler akan menyebabkan peningkatan enzim
aminotransferase SGOT dan SGPT (Koch et al., 2007).
Tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat memiliki zat-zat penting yang sangat
berperan dalam menentukan aktivitas kerja tumbuhan obat tersebut, salah satunya
yaitu flavonoid yang umumnya terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida.
Flavonoid termasuk senyawa fenolik alam yang potensial sebagai antioksidan.
Antioksidan menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron
yang dimiliki radikal bebas, dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari
pembentukan radikal bebas. Selain itu, antioksidan juga berguna untuk mengatur
agar tidak terjadi proses oksidasi berkelanjutan di dalam tubuh (Selawa et al.,
2013). Salah satu tumbuhan yang mengandung senyawa fitokimia flavonoid yaitu
pining bawang (Hornstedtia alliacea) (Elim & L. Mapanawang, 2018).
Mekanisme flavonoid berfungsi sebagai hepatoprotektor karena mampu meredam
pembentukan radikal bebas dengan cara direct scavenging radikal bebas dan
3

mampu menghambat kerja sitokrom P450 sehingga menurunkan produksi


metabolit NAPQI (Anindita, 2019).
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti ingin melakukan penelitian
tentang efektivitas pemberian ekstrak etil asetat biji Pining bawang (Hornstedtia
alliacea) terhadap aktivitas SGPT dan SGOT mencit putih jantan galur Wistar
yang telah diinduksi parasetamol dosis tinggi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana efektivitas ekstrak etil asetat biji pining bawang (Hornstedtia
alliacea) terhadap hepar tikus yang diinduksi parasetamol ?
2. Berapakah dosis efektif ekstrak etil asetat biji pining bawang
(Hornstedtia alliacea) yang dapat digunakan sebagai hepatoprotektor ?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Mengetahui efektivitas ekstrak etil asetat biji pining bawang (Hornstedtia
alliacea) terhadap hepar tikus yang diinduksi parasetamol.
2. Mengetahui dosis efektif ekstrak etil asetat biji pining bawang
(Hornstedtia alliacea) yang dapat digunakan sebagai hepatoprotektor.

1.4 Hipotesis
Ekstrak etil asetat biji pining (Hornstedtia alliacea) dapat memberi efek
hepatoprotektor terhadap tikus putih jantan galur wistar yang diinduksi
parasetamol.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pining (Hornstedtia alliacea).

Gambar 2.1 Tanaman pining (Wikipedia, 2019)


2.1.1 Klasifikasi
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Hornstedtia
Spesies : H. alliacea
Nama Latin : Hornstedtia alliacea
(Teijsm. & Binn.) Valeton (1912)
2.1.2 Deskripsi
Pining bawang (Hornstedtia alliacea) adalah sejenis tumbuhan
penghasil buah anggota suku jahe-jahean (Zingiberaceae). Buahnya yang
manis agak masam biasa dimakan dalam keadaan segar. Nama lainnya adalah
ketimbang ketanim (Lampung). Terna tahunan yang ramping, tumbuh hingga
tinggi 3,5 m, membentuk rumpun yang rapat. Rimpang tertanam dangkal atau
mencuat di permukaan tanah. Daun bentuk lanset sempit terbalik, 55–65 × 5–
12 cm, gundul di kedua permukaannya, berujung meruncing seperti ekor
(Heyne, 1987). Bunga dalam tandan berbentuk gelendong, panjang 11 cm
5

termasuk tangkainya. Labellum panjang 3 cm, jauh lebih panjang daripada


mahkota bunga, tengahnya menebal, dengan ujung membundar bertepi
menggelombang. Ketika menjadi buah, tandan kemudian menggembung
serupa bawang besar, berdiameter 4-5 cm; buah buni majemuk tertutupi daun
pelindung berlapis-lapis, bentuk jorong, 3 × 2cm. Biji-biji kecil 2 mm,
kehitaman, terlindung salut biji putih keperakan serupa lendir yang asam
manis rasanya (Heyne, 1987).
Buahnya terutama dimakan dalam keadaan segar, disukai karena salut
bijinya yang mengandung banyak sari buah yang masam manis rasanya. Buah
ini juga bisa dibuat sebagai manisan (Heyne, 1987).
2.1.4 Kandungan
Struktur dasar dari antioksidan non-enzimatik dari flavonoid adalah
flavones, flavonones flavonol, flavanonols, anidins anthocy, aurones,
flavanoid, chromones furan, biflavones, isofavones, isoflavanones,
chaocones, xanthone, dan dihydrocalcones (Elim & L. Mapanawang, 2018).
2.1.5 Khasiat
Buah pining berkhasiat untuk menangani retrovirus seperti virus HIV
dan hepatitis, dan fungsi antikanker seperti obat herbal kemoterapi. Dan juga
manfaanya terhadap hipertensi, diabetes militus, asam urat, pertahanan tubuh,
kolesterol, gangguan fungsi hati dan gangguan fungsi ginjal (Elim & L.
Mapanawang, 2018).
6

2.2 Hepar

Gambar 2.2 Anatomi Hepar (Encyclopedia, 2010)

Hati adalah organ penting dari tubuh manusia. Setiap gangguan hati dapat
menghambat fungsi normal tubuh. Oleh karena itu, perlu untuk memahami gejala
kerusakan hati, sehingga tindakan yang diperlukan dapat diambil. Hati
memainkan berbagai peran penting dalam tubuh. Secara aktif berpartisipasi dalam
metabolisme vitamin, mineral, protein, lemak, dan karbohidrat (Sridianti, 2019).
Hepar merupakan organ yang berpotensi mengalami kerusakan akibat
berbagai bahan kimia maupun lingkungan karena fungsinya dalam proses
metabolisme dan detoksifikasi bahan kimia yang masuk ke dalam tubuh.
Pemberian senyawa-senyawa yang bersifat toksik dapat menimbulkan perubahan-
perubahan seperti hemoragi, kongesti, degenerasi sampai nekrosis (Lu, 2010).
2.2.1 Jenis Kerusakan Hati
a. Perlemakan Hati (Steatosis)
Perlemakan hati adalah adanya lemak dalam sel-sel hati (hepatosit),
sebagian besar trigliserida yang melebihi 5% berat hati. Hal ini disebabkan
kegagalan metabolisme lemak di hati yang normal baik karena suatu
kerusakan di dalam sel hatu atau pengiriman lemak, asam lemak, maupun
karbohidrat terhadap kapasitas sekresi lemak sel hati (Lu, 2010).
7

b. Nekrosis
Nekrosis hati adalah interaksi antara radikal bebas hasil metabolisme
obat dan metabolisme tubuh dengan biomolekul penyusun membaran sel hati.
Interaksi radikal bebas ini menyebabkan perubahan dan merusak membran sel
hati. Nekrosis merupakan kelainan sel yang bersifat Irrevesibel (Nazarudin et
al., 2017).
c. Kolestasis
Jenis kerusakan hati ini biasanya bersifat akut, lebih jarang ditemukan
dibandingkan dengan perlemakan hati dan nekrosis. Jenis kerusakan ini juga
lebih sulit diinduksi pada hewan, kecuali dengan steroid. Zat kolestasis
bekerja melalui beberapa mekanisme (Lu, 2010).
d. Fibrosis
Jaringan fibrosis terbentuk sebagai respons terhadap peradangan atau
gangguan toksik langsung ke hepar. Pengendapan kolagen menimbulkan
dampak permanen pada pola aliran darah hepar dan perfusi hepatosit. Pada
tahap awal, fibrosis muncul di dalam atau sekitar saluran porta atau vena
sentralis, atau mengendap langsung di dalam sinusoid. Lambat laun jaringan
fibrosa menghubungkan regio hepar dari porta-ke-porta, porta- ke-sentral,
atau sentral-ke-sentral yang disebut bridging fibrosis (Kumar et al., 2007).
e. Sirosis
Sirosis adalah penyakit kronis hepar yang irreversible yang ditandai oleh
fibrosis, disorganisasi struktur lobulus dan vaskuler, serta nodul regeneratif
dari hepatosit. Penyebabnya sebagian besar akibat penyakit hati alkoholik
maupun infeksi virus kronik (Budhiarta, 2017).
f. Hemocromatosis
Hemokromatosis yaitu keadaan orang yang memiliki penyerapan besi
berlebihan, dapat menyebabkan pengendapan logam dalam pankreas, hati,
jantung, dan organ lainnya. Kelebihan zat besi dapat menjadi racun dan
bahkan fatal (Indrianingrum et al., 2013).
8

g. Hepatitis
Hepatitis A dan E sering muncul, ditularkan secara fecal oral dan
biasanya berhubungan dengan perilaku hidup bersih dan sehat, bersifat akut
dan dapat sembuh dengan baik. Hepatitis B, C, dan D ditularkan secara
parenteral, dapat menjad kronis dan menimbulkan sirosis dan kanker hati
(Pranata et al., 2019)
2.3 SGOT (Serum Glutamic Oxaloasetic Transaminase ) dan SGPT ( Serum
Pyruvic Transaminase)
Pemeriksaan kadar SGPT (Serum Glutamik Piruvit Transaminase) dan
kadar SGOT Serum Glutamik Oksaloasetik Transaminase) adalah salah satu dari
banyaknya tes fungsi hati. Kedua tes ini mengukur kadar enzim yang terdapat
dalam hati, jantung dan otot. SGPT adalah tes yang lebih spesifik untuk kerusakan
hati dibanding SGOT. SGPT adalah enzim yang dibuat dalam sel hati (hepatosit),
jadi lebih spesifik untuk penyakit hati dibandingkan dengan enzim lain. Biasanya
peningkatan SGPT terjadi apabila ada kerusakan pada selaput sel hati. Setiap jenis
peradangan hati dapat menyebabkan peningkatan pada SGPT. Peradangan pada
hati dapat disebabkan oleh virus hepatitis, obat-obatan, penggunaan alkohol, dan
penyakit pada saluran cairan empedu. SGOT adalah enzim mitokondria yang juga
ditemukan dalam jantung, ginjal dan otak. Jadi tes ini kurang spesifik untuk
penyakit hati, namun dalam beberapa kasus peradangan hati, peningkatan SGPT
dan SGOT akan serupa (Reza & Rachmawati, 2017).

2.4 Parasetamol

Gambar 2.3 Struktur Parasetamol


9

Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik


dengan cara kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf
Pusat (SSP). Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam
bentuk sediaan tunggal sebagai analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan
obat lain dalam sediaan obat flu, melalui resep dokter atau yang dijual bebas
(Goodman & Gilman, 2014).
2.4.1 Mekanisme Kerja Parasetamol
Mekanisme kerja parasetamol sebagai efek sentral, parasetamol merupakan
penghambat biosintesis prostaglandin dengan menghambat pelepasan enzim
siklooksigenase (COX) yang merubah asam arakidonat menjadi prostaglandin.
Khusus parasetamol adalah penghambat COX-3 yang hanya ada diotak yaitu
dihipotalamus yang rendah kadar peroksida (Muhammad et al., 2013).
Mekanisme kerja obat antipiretik analgesik adalah dengan menghambat
enzim siklooksigenase yang menyebabkan asam arakidonat menjadi
endoperoksida, sehingga menghambat pembentukkan prostaglandin. Parasetamol
bekerja dengan menekan efek dari pirogen endogen dengan jalan menghambat
sintesis prostaglandin, efek parasetamol langsung ke pusat pengaturan panas di
hipotalamus sehingga terjadi vasodilatasi perifer, keluarnya keringat dan
pembuangan panas (Gunawan, 2007; Tan dan Kirana, 2007).
2.4.2 Hepatotoksisitas Parasetamol
Kerusakan hati akibat acetaminophen terjadi akibat suatu metabolitnya
NAPQI (N-acetyl-p-benzoquinoneimine) yang sangat reaktif. Pada keadaan
normal produk reaktif ini dengan cepat berikatan dengan kadar gluthation di hati,
sehingga menjadi bahan yang tidak toksik. Akan tetapi pada keadaan kelebihan
dosis, atau pemakaian terus menerus yang menyebabkan produksi NAPQI terus
bertambah, dan tidak sebanding dengan kadar gluthathion, maka NAPQI
berikatan membentuk makromolekul dengan sel hati yang mengakibatkan
neksrosis sel hati. Kadar covalent binding yang menentukan kadar pengikatan
dengan makromolekul dalam menyebabkan sel cedera (Yusri, 2015).
Pada manusia dilaporkan efek hepatotoksik terjadi pada dosis tunggal 10-15
gram setelah asupan dosis toksik, sedangkan pada tikus terjadi pada dosis tunggal
10

1.000 mg/kgBB tikus yang ditunjukkan dengan adanya nekrosis pada hati
(Goodman dan Gilman, 2014)

2.5 Ekstraksi
2.5.1 Definisi Ekstraksi
Ekstraksi adalah penyarian zat-zat berkhasiat atau zat-zat aktif dari bagian
tanaman obat, hewan dan beberapa jenis ikan termasuk biota laut. Zat-zat aktif
terdapat di dalam sel, namun sel tanaman dan hewan berbeda demikian pula
ketebalannya, sehingga diperlukan metode ekstraksi dengan pelarut tertentu dalam
mengekstraksinya. Tujuan ekstraksi bahan alam adalah untuk menarik komponen
kimia yang terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip
perpindahan massa komponen zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan mulai
terjadi pada lapisan antar muka kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut
(Harbone, 1987; Dirjen POM, 1986).
2.5.2 Metode Ekstraksi
Metode ekstraksi bahan alam yang sering dilakukan adalah ekstraksi secara
panas dengan cara refluks dan penyulingan uap air dan ekstraksi secara dingin
dengan cara maserasi, perkolasi dan alat soxhlet.
1. Ekstraksi secara soxhletasi
Ekstraksi dengan cara ini pada dasarnya ekstraksi secara
berkesinambungan. Cairan penyari dipanaskan sampai mendidih. Uap penyari
akan naik melalui pipa samping, kemudian diembunkan lagi oleh pendingin
tegak. Cairan penyari turun untuk menyari zat aktif dalam simplisia.
Selanjutnya bila cairan penyari mencapai sifon, maka seluruh cairan akan
turun ke labu alas bulat dan terjadi proses sirkulasi. Demikian seterusnya
sampai zat aktif yang terdapat dalam simplisia tersari seluruhnya yang
ditandai jernihnya cairan yang lewat pada tabung sifon (Harbone, 1987;
Dirjen POM, 1986).
2. Ekstraksi secara perkolasi
Perkolasi dilakukan dengan cara dibasahkan 10 bagian simplisia dengan
derajat halus yang cocok, menggunakan 2,5 bagian sampai 5 bagian cairan
penyari dimasukkan dalam bejana tertutup sekurang-kurangnya 3 jam. Massa
11

dipindahkan sedikit demi sedikit ke dalam perkolator, ditambahkan cairan


penyari. Perkolator ditutup dibiarkan selama 24 jam, kemudian kran dibuka
dengan kecepatan 1 ml per menit, sehingga simplisia tetap terendam. Filtrat
dipindahkan ke dalam bejana, ditutup dan dibiarkan selama 2 hari pada
tempat terlindung dari cahaya (Harbone, 1987; Dirjen POM, 1986).
3. Ekstraksi secara maserasi
Maserasi dilakukan dengan cara memasukkan 10 bagian simplisia
dengan derajat yang cocok ke dalam bejana, kemudian dituangi dengan
penyari 75 bagian, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari, terlindung dari cahaya
sambil diaduk sekali-kali setiap hari lalu diperas dan ampasnya dimaserasi
kembali dengan cairan penyari. Penyarian diakhiri setelah pelarut tidak
berwarna lagi, lalu dipindahkan ke dalam bejana tertutup, dibiarkan pada
tempat yang tidak bercahaya, setelah dua hari lalu endapan dipisahkan
(Harbone, 1987; Dirjen POM, 1986).
4. Ekstraksi secara refluks
Ekstraksi dengan cara ini pada dasarnya adalah ekstraksi
berkesinambungan. Bahan yang akan diekstraksi direndam dengan cairan
penyari dalam labu alas bulat yang dilengkapi dengan alat pendingin tegak,
lalu dipanaskan sampai mendidih. Cairan penyari akan menguap, uap tersebut
akan diembunkan dengan pendingin tegak dan akan kembali menyari zat aktif
dalam simplisia tersebut, demikian seterusnya. Ekstraksi ini biasanya
dilakukan 3 kali dan setiap kali diekstraksi selama 4 jam (Harbone, 1987;
Dirjen POM, 1986).
5. Ekstraksi secara penyulingan
Penyulingan dapat dipertimbangkan untuk menyari serbuk simplisia yang
mengandung komponen kimia yang mempunyai titik didih yang tinggi pada
tekanan udara normal, yang pada pemanasan biasanya terjadi kerusakan zat
aktifnya. Untuk mencegah hal tersebut, maka penyari dilakukan dengan
penyulingan (Harbone, 1987; Dirjen POM, 1986).

2.6 Kerangka Pemikiran


Penggunaan parasetamol dengan dosis Pining (Hornstedtia
tinggi alliacea)
12

Menyebabkan terbentuknya radikal bebas


dalam hepar dan menyebabkan kerusakan Flavonoid sebagai
hepar Antioksidan.

Hasil metabolisme NAPQI tidak dapat


dinetralisir semuanya oleh glutation hepar Antioksidan menstabilkan
radikal bebas dengan
melengkapi kekurangan

NAPQI bersifat toksisk dan menyebabkan elektron yang dimiliki


terbentuknya reaksi rantai radikal bebas radikal bebas dan
menghambat terjadinya

SGOT SGPT reaksi berantai dari


meningkat meningkat pembentukan radikal
bebas
Bagan 2.1 Kerangka Pemikiran
13

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmakologi STIKes Bakti Tunas
Husada Kota Tasikmalaya dan Herbarium Jatinangor Laboratorium Taksonomi
Tumbuhan Jatinangor Jawa Barat, waktu pelaksanaan penelitian selama 6 bulan
dari bulan Januari sampai dengan Juni 2020.

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu timbangan
analitik, gelas kimia, tabung reaksi, rak tabung reaksi, blender, spatel, cawan
uap, kaca arloji, batang pengaduk, sonde oral, corong gelas, gunting,
centrifuge H-C-12, tabung ependorf, mikro pipet, pipet tetes, fotometer
(Intherma 168).
3.2.2 Bahan
Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah simplisia biji
pining, reagen kit SGOT dan SGPT, etil asetat, CMC 1%, aquadest, kertas
saring, parasetamol p.a, ammonia 10%, kloroform, HCl 1N, NaOH, pereaksi
anisaldehid-asam sulfat atau vanillin-asam sulfat, serbuk magnesium, FeCl 3
1%, larutan gelatin 1%, eter, pereaksi Lieberman-burchard.

3.3 Prosedur Penelitian


3.3.1 Determinasi tanaman
Determinasi tanaman dilakukan untuk mengetahui identitas tanaman
yang akan digunakan pada saat penelitian. Hal ini bertujuan untuk mencegah
terjadinya kesalahan dalam pengumpulan bahan. Determinasi tanaman
dilakukan di Herbarium Jatinangor Laboratorium Taksonomi Tumbuhan
Jatinangor Jawa Barat.
14

3.3.2 Pengumpulan bahan


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tumbuhan pining
(Hornstedtia alliace) yang diperoleh dari desa Lengkongbarang, Kecamatan
Cikatomas, Kabupaten Tasikmalaya.
3.3.3 Pembuatan ekstrak etil asetat biji pining
Sebanyak 500 gram serbuk biji pining diekstraksi secara maserasi
bertingkat dengan 3 pelarut berbeda, yaitu n-heksan, etil asetat, dan etanol
70%. Pertama, simplisia dimasukkan ke dalam botol coklat yang telah berisi
pelarut n-heksan dan direndam selama 24 jam, sambil sesekali dikocok.
Setelah itu, filtrat ditampung dan residu dikeringkan. Residu diekstraksi
kembali dengan pelarut yang sama dengan cara yang sama. Residu kemudian
diekstraksi lebih lanjut dengan pelarut etil asetat dan etanol 70%, masing-
masing dengan dua kali ekstraksi menggunakan cara yang sama. Ketiga
macam ekstrak dengan pelarut yang berbeda lalu diuapkan dengan waterbath
hingga diperoleh ekstrak kental (Indriani et al., 2019). Dihitung rendemen
yang diperoleh yaitu presentase bobot (b/b) antara rendemen dengan bobot
serbuk simplisia yang digunakan dengan penimbangan (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2008).
3.3.4 Penapisan fitokimia
a. Uji Alkaloida.
1) Pereaksi Mayer
Ditimbang 500 mg serbuk simplisia, ditambahkan 1 mL HCl 2N
dan 9 mL air, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit,
dinginkan dan saring. Dipindahkan 3 tetes filtrat pada kaca arloji,
ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer LP terbentuk endapan
menggumpal berwarna putih atau kuning (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 1995).
2) Pereaksi wagner
Ditimbang 2 g ekstrak, lalu dibasakan dengan NH4OH, kemudian
ditambahkan kloroform:air (1:1) 10 mL, kocok dalam tabung
reaksi diamkan sejenak hingga terbentuk 2 lapisan. Dimasukkan 2-
15

3 tetes lapisan kloroform dalam tabung reaksi ditambahkan dengan


3 tetes pereaksi Wagner terbentuk endapan merah kecoklatan
(Harbone, 1987).
b. Uji Flavonoid
Ekstrak 1 mL ditambahkan 2 mL etanol, ditambahkan 0,5 g serbuk
seng dan 2 mL asam klorida 2N, diamkan selama 1 menit,
ditambahkan 10 tetes asam klorida pekat, jika dalam waktu 2 sampai 5
menit terjadi warna merah intensif, maka menunjukkan adanya
flavonoid (DepKes, 1995).
c. Uji Fenol
Ekstrak (50 mg) dilarutkan dalam 5 mL air suling. Ditambahkan 3-4
tetes besi (III) klorida. Senyawa fenol akan memberikan warna hijau
hingga biru hitam dengan penambahan larutan garam besi (III) klorida
(Banu & Cathrine, 2015).
d. Uji Tanin
Penambahan 3 tetes pereaksi ferri klorida kedalam 1 mL ekstrak akan
menghasilkan warna hijau hingga biru hitam (Hanani, 2017).
e. Uji Saponin
Satu mL larutan percobaan ditambahkan dengan 10 mL air dan
dikocok kuat-kuat selama 10 menit. Bila busa yang terbentuk tetap
stabil selama lebih kurang 10 menit, setinggi 1 cm sampai 10 cm. Pada
penambahan 1 tetes HCl 2N, buih tidak hilang, maka ekstrak positif
mengandung saponin (DepKes, 1995).
f. Uji Triterpenoid-Steroid
Satu mL ekstrak tanaman ditambah 2 tetes asam asetat anhidrat dan 1
tetes asam sulfat pekat, perubahan warna ungu atau merah kemudian
menjadi biru hijau menunjukkan adanya terpenoid (Hanani, 2017).
Ditambahkan kloroform dan lihat lapisan yang terbentuk. Lalu
tambahkan 3 tetes H2SO4 P. Maka akan terbentuk warna biru atau hijau
(Hanani, 2017).
16

3.3.5 Penetapan Kadar Air


Ekstrak ditimbang seksama 5 gram, dimasukkan ke dalam labu kering.
Dimasukkan lebih kurang 200 mL toluen jenuh air ke dalam labu, pasang
rangkaian alat. Dimasukkan toluen jenuh air ke dalam tabung penerima
melalui pendingin sampai leher alat penampung. Labu dipanaskan hati-hati
selama 15 menit. Setelah toluen mulai mendidih, atur penyulingan dengan
kecepatan lebih kurang dari 2 tetes tiap detik, hingga sebagian besar air
tersuling, kemudian naikkan kecepatan penyulingan hingga 4 tetes tiap detik.
Penyulingan dilanjutkan selama 5 menit. Tabung penerima didinginkan
sampai suhu ruang. Volume air dibaca setelah air dan toluen memisah
sempurna. Kadar air dihitung dalam % v/b (Zainab et al., 2016).
3.3.6 Penetapan Kadar Abu Total
Ekstrak ditimbang 2 gram dimasukkan ke dalam krus silikat yang
telah dipijar pada suhu 600°C dan telah ditara. Ekstrak dipijarkan perlahan-
lahan hingga arang habis, didinginkan dan ditimbang. Jika dengan cara ini
arang tidak dapat dihilangkan, ditambahkan air panas, diaduk, disaring
melalui kertas saring bebas abu. Kertas saring dipijarkan beserta sisa
penyaringan dalam krus yang sama. Filtrat dimasukkan kedalam krus,
diuapkan dan dipijarkan hingga bobot tetap. Kadar abu total dihitung terhadap
berat bahan uji, dinyatakan dalam % b/b (Zainab et al., 2016).
3.3.7 Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam
Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu total dididihkan dengan
25 mL asam klorida encer selama 5 menit, kemudian dikumpulkan bagian
yang tidak larut dalam asam, saring melalui kertas saring bebas abu, dicuci
dengan air panas, dipijarkan dalam krus hingga bobot tetap/ konstan. Kadar
abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan uji dinyatakan
dalam % b/b (Zainab et al., 2016).
3.3.8 Penetapan Susut Pengeringan Simplisia.
Sebanyak kurang lebih 0,8 gram serbuk kering biji pining bawang
dimasukkan ke dalam alat Halogen Moisturizer Analyzer (MC) dan diukur
nilai MC selama 15 menit pada suhu 105ºC (Guntarti et al., 2015).
17

3.3.9 Penetapan Jumlah Sampel


Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dengan
menggunakan rumus Federer :
(t-1)(n-1) ≥ 15
(5-1)(n-1) ≥ 15
(4)(n-1) ≥ 15
4n – 4 ≥ 15
4n ≥ 15 + 4
4n ≥ 19
n ≥ 4,75
n≥5
Keterangan :
t = Jumlah perlakuan
n = Jumlah tikus
Jumlah sampel hewan uji yang dibutuhkan dalam penelitian kali ini
yaitu 5 ekor untuk masing-masing kelompok perlakuan.
3.3.10 Hewan percobaan dan penyiapannya
Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus putih jantan galur
wistar yang berumur 2-3 bulan dengan berat rata-rata 200-250 gram. Tikus
yang digunakan pada percobaan sebanyak 25 ekor yang dibagi dalam 5
kelompok dengan berbagai perlakuan, yang masing-masing kelompok terdiri
dari 5 ekor tikus, diantaranya :
a. Kelompok pertama, tikus sebagai kelompok kontrol normal
b. Kelompok kedua, tikus sebagai kelompok kontrol negatif
c. Kelompok ketiga, tikus sebagai kelompok dosis uji 1
d. Kelompok keempat, tikus sebagai kelompok dosis uji 2
e. Kelompok kelima, tikus sebagai kelompok dosis uji 3
Tikus yang digunakan untuk percobaan ialah tikus yang sehat, yang
selama proses pemeliharaannya bobotnya tetap atau berubah tidak lebih dari
10%, secara visual keadaannya normal yaitu matanya tetap merah, tidak
18

terlihat sakit, tidak cacat bawaan, dan tidak menunjukkan adanya kelainan
tingkah laku serta tidak ada penyimpangan lainnya.
3.3.11 Penentuan Dosis Ekstrak biji Pining
Berdasarkan data uji aktivitas antioksidan ekstrak etil asetat biji pining
(Hornstedtia alliacea) menghasilkan konsentrasi antioksidan sebesar 23,43
ppm. Sehingga untuk penentuan dosis ekstrak etil asetat biji pining
(Hornstedtia alliacea) diambil data dari uji aktivitas antioksidan ekstrak etil
asetat biji pining (Hornstedtia alliacea). Berikut adalah perhitungannya :

1) Perhitungan ekstrak

23,43 ppm

mg
ppm=
L

mg
23,43=
1000 mL

¿ 23,43 mg

= 25mg

2) Penentuan dosis

Dosis 1 : 25mg/ 200 gram BB tikus

Dosis 2 : 50mg/ 200 gram BB tikus

Dosis 3 : 75mg/ 200 gram BB tikus

3.3.12 Penentuan dosis Parasetamol


19

Dosis toksik parasetamol pada manusia terjadi pada pemberian dosis


tunggal 10-15 gram (Goodman dan Gilman, 2014). Konversi manusia ke
tikus : 10000mg x 0,018 = 180mg/200 gram BB tikus. Hasil dari konversi
manusia ke tikus, dosis parasetamol yang digunakan adalah 180mg/200 gram
BB tikus. Pemberian kepada tikus secara peroral, dalam bentuk suspensi
dengan CMC 1%.

3.3.13 Prosedur Pengujian


Sebelum percobaan tikus diadaptasikan dalam kandang selama 6 hari.
Adaptasi dilakukan untuk menghindari resiko timbulnya stress yang dapat
mempengaruhi kandungan serum darah. Selama masa adaptasi, tikus jantan
hanya diberi pakan standar dan belum diberi perlakuan apa-apa. Tikus dibagi
menjadi 5 kelompok, tiap kelompok terdiri dari 5 ekor. Masing-masing
kelompok mendapat perlakuan sebagai berikut :
20

25 tikus

KN : KN : induksi D1 : CMC + D2 : CMC + D3 : CMC +


diberi parasetamol ekstrak etil ekstrak etil ekstrak etil
pakan + dalam CMC asetat biji asetat biji asetat biji
aquadest 1% (hari 1- pining pining pining
(hari 1- 7). dengan dengan dengan
7). dosis 25mg/ dosis 50mg/ dosis 75mg/
200 gram 200 gram 200 gram
BB tikus + BB tikus + BB tikus +
diinduksi diinduksi diinduksi
parasetamol parasetamol parasetamol
(hari 1-7). (hari 1-7). (hari 1-7).

Pada hari ke-8 tikus diambil darah dibagian vena ekor

SGOT SGPT Histopatologi


Analisis hasil
Keterangan : KN : Kontrol Normal ; KN : Kontrol Negatif; D1 : Dosis uji 1; D2 :
Dosis uji 2; D3 : Dosis uji 3.

Bagan 3.1 Prosedur Pengujian


21

3.3.14 Prosedur Pengujian Hepatoprotektor


Ekstrak biji pining diberikan dengan menggunakan sonde oral dengan
dosis yang telah ditentukan untuk masing-masing dosis selama 7 hari,
kelompok kontrol normal tidak diberikan perlakuan apapun dan kontrol
negatif diberi induksi parasetamol dalam CMC 1%. Semua kelompok
diinduksi dengan parasetamol, induksi diberikan secara peroral. Sebelum
diinduksi tikus dipuasakan selama 2 jam, 24 jam setelah diinduksi dengan
parasetamol dilakukan pengambilan sampel serum darah tikus. Tahapan ini
dilakukan dengan cara mengambil darah dibagian vena ekor, lalu ditampung
dengan tabung effendrop kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm
selama 15 menit sehingga didapatkan serum. Lalu dilakukan pengukuran
terhadap aktivitas enzim SGOT dan SGPT.
3.3.15 Pengukuran kadar enzim SGOT
1. Pembuatan Monoreagen
Tabel 3.1 Pembuatan Monoreagen SGOT
R1 (Perbandingan 4 bagian) R2 (Perbandingan 1 bagian)
400 µL 100 µL
L-aspartat 2-oxoglutarat
MDH NADH

Dicampurkan R1 dan R2 dengan perbandingan 4:1 yaitu R1 sebanyak


400 µL dan R2 sebanyak 100 µL.
22

2. Penentuan Kadar SGOT/AST


Disiapkan larutan blanko, standar, dan sampel seperti pada Tabel 3.2
dibawah ini (atau sesuai dengan reagen kit yang digunakan).

Tabel 3.2 Penyiapan larutan blanko, standar dan sampel SGOT


Blanko Sampel/Standar
Sampel/Standar - 50 µL
Monoreagen 500 µL 500 µL

Serum sebanyak 50 µL dicampurkan dengan 50 µL monoreagen 500 µL


dan dimasukkan kedalam tabung reaksi.

Diinkubasi selama 1 menit.

Diukur konsentrasinya dengan fotometer dibaca terhadap reagen blanko


pada panjang gelombang 340 nm dengan faktor 1745.

Dicatat konsentrasi SGOT.

Bagan 3.2 Pengukuran kadar enzim SGOT

3.3.16 Pengukuran kadar enzim SGPT


1. Pembuatan Monoreagen
Tabel 3.3 Pembuatan Monoreagen SGPT
R1 (Perbandingan 4 bagian) R2 (Perbandingan 1 bagian)
400 µL 100 µL
L-alanin 2-oxoglutarat
LDH NADH
23

Dicampurkan R1 dan R2 dengan perbandingan 4:1 yaitu R1 sebanyak


400 µL dan R2 sebanyak 100 µL.

2. Penentuan Kadar SGPT


Disiapkan larutan blanko, standar, dan sampel seperti pada tabel
dibawah ini (atau sesuai dengan reagen kit yang digunakan).

Tabel 3.4 penyiapan larutan blanko, standar dan sampel SGPT


Blanko Sampel/Standar
Sampel/Standar - 50 µL
Monoreagen 500 µL 500 µL

Serum sebanyak 50 µL dicampurkan dengan 50 µL monoreagen 500 µL


dan dimasukkan kedalam tabung reaksi.

Diinkubasi selama 1 menit.

Diukur konsentrasinya dengan fotometer dibaca terhadap reagen blanko


pada panjang gelombang 340 nm dengan faktor 1745.

Dicatat konsentrasi SGPT.

Bagan 3.3 Pengukuran kadar enzim SGPT

3.4 Histopatologi
Gambaran kerusakan hepatosit tikus dilihat dengan melakukan pengamatan
sediaan histopatologi menggunakan mikroskop dengan perbesaran 400x pada 5
lapangan pandang yang setiap lapangan pandang diamati berupa degenerasi
bengkak keruh yang terjadi pada hepatosit. Skala degenerasi bengkak keruh
kemudian dihitung secara semikuantitatif dalam 5 lapang pandang berbeda.
24

Tabel 3.5 Skor Penilaian Derajat Degenerasi Bengkak Keruh

Tingkat Perubahan Skor


Tidak ada perubahan yang mengalami 0
degenerasi bengkak keruh
1-10% hepatosit yang mengalami 1
degenerasi bengkak keruh
10-33% hepatosit yang mengalami 2
degenerasi bengkak keruh
34%-66% hepatosit yang mengalami 3
degenerasi bengkak keruh
67%-100% hepatosit yang mengalami 4
degenerasi bengkak keruh

3.5 Analisis Data


Data yang diperoleh dianalisis statistik dengan One Way ANOVA
menggunakan program SPSS. Sebelum melakukan analisis data dengan One
Way ANOVA terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan homogenitas
menggunakan SPSS.
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah kedua data berdistribusi
normal atau tidak. Statistik uji yang digunakan adalah kolmogorov-smirnov
normality test. Hipotesis uji normalitasnya sebagai berikut :
Ho : Data berdistribusi normal, p > 0,05.
H1 : Data tidak berdistribusi normal, p < 0,05.
Setelah uji normalitas, dilakukan uji homogenitas untuk mengetahui apakah
varians hasil akhir sama atau tidak. Statistik uji yang digunakan adalah
homogenitas of varian. Hipotesis uji homogenitasnya sebagai berikut :
Ho : kedua kelompok memiliki varians yang homogen, p > 0,05.
H1 : kedua kelompok memiliki varians yang tidak homogen, p < 0,05.
Setelah diketahui data berdistribusi normal dan memiliki varians yang
homogen dilakukan uji One Way ANOVA. Hipotesis uji ANOVA sebagai
berikut:
Ho : terdapat perbedaan yang signifikan antar kelompok., p < 0,05
H1 : tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar kelompok, p > 0,05
dan jika terdapat perbedaan signifikan dilanjut dengan uji LSD untuk
membandingkan rata-rata perlakuan dengan kontrol.
25

3.6 Jadwal Penelitian


Tabel 3.6 Jadwal Penelitian
Bulan
No Kegiatan Januari Februari Maret April Mei
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Persiapan alat dan
bahan
2. Preparasi ekstrak
biji pining bawang
(Hornstedtia
alliacea)

3. Uji Fitokimia
4. Uji Efektivitas
SGOT dan SGPT
5. Analisis data
26

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Determinasi Tanaman


Determinasi tanaman dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan
kebenaran bahan yang digunakan pada penelitian. Identifikasi tanaman dilakukan
di Herbarium Jatinangor Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Jatinangor Jawa
Barat. Hasil identifikasi diketahui bahwa tanaman yang digunakan adalah benar
tumbuhan Pining (Hornstedtia alliacea (K.Schum.) Valeton). Hasil identifikasi
tanaman pining (Hornstedtia alliacea) disajikan pada Lampiran 1.
4.2 Etik Penelitian
Pengujian protokol etik hewan uji dilakukan di KEPK STIKes Bakti Tunas
Husada Tasikmalaya telah disetujui dan layak untuk dilakukan penelitian. Nomor
etik penelitian No. 023/kepk-bth/06/2020. Terdapat pada Lampiran 2.
4.3 Pengumpulan Sampel
Bahan baku simplisia yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari Desa
Lengkongbarang, Kecamatan Cikatomas, Kabupaten Tasikmalaya. Biji pining
yang dipilih dalam keadaan baik dan tidak cacat. Pada proses pembuatan
simplisia, dilakukan proses sortasi basah dengan tujuan meminimalkan dan
memisahkan bahan uji dari kotoran yang menempel. Biji pining dicuci dengan air
mengalir kemudian dikeringkan dengan cara dijemur dibawah sinar matahari.
Tujuan dari pengeringan ini adalah untuk menghentikan proses enzimatis yang
mungkin masih bisa terjadi sehingga dapat mengurangi degradasi zat aktif. Selain
itu proses pengeringan juga berguna untuk mengurangi kandungan air dari
simplisia, sehingga tidak dapat ditumbuhi jamur. Keberadaan air dalam jumlah
yang tinggi akan mempengaruhi polaritas pelarut (Suhendi et al, 2007).
Sebanyak 1,25 kg biji pining yang telah dikeringkan kemudian dihaluskan
dengan ditumbuk dan diblender untuk mendapatkan partikel yang jauh lebih kecil
sehingga lebih mudah kontak dengan bahan dan berdifusi lebih banyak ke dalam
partikel sehingga proses ekstraksi berlangsung lebih baik. Partikel sampel yang
halus akan memperluas daya pelarutan sehingga pelarutan komponen pada sampel
27

dapat lebih merata (Suhendi et al., 2007). Serbuk biji pining yang dihasilkan
sebanyak 1 kg yang kemudian akan diekstraksi menggunakan metode maserasi.
4.4 Pembuatan Ekstrak
Ekstraksi adalah proses pemisahan komponen-komponen terlarut dari
komponen yang tidak larut dari suatu campuran dengan pelarut yang sesuai
(Depkes, 2000). Ekstraksi biji pining dilakukan dengan metode maserasi.
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan beberapa kali pengocokan
atau pengadukan pada temperatur ruangan. Maserasi dilakukan selama 24 jam
dilakukan dengan remaserasi selama 2 hari. Remaserasi berarti dilakukan
pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama
dan selanjutnya (Depkes, 2000). Pemilihan metode maserasi berdasarkan
pertimbangan kesederhanaan prosedur dan peralatan yang digunakan. Metode
maserasi tidak menggunakan pemanasan, sehingga pengaruh negatif akibat
pemanasan terhadap senyawa termolabil yang mungkin terdapat dalam biji pining
dapat dihindari (Patel, 2013).
Metode maserasi yang digunakan pada penelitian ini yaitu maserasi
bertingkat menggunakan tiga jenis pelarut dengan kepolaran yang berbeda secara
berturut-turut adalah n-heksan, etil asetat dan etanol 70%. Diharapkan pada
metode maserasi bertingkat mendapatkan hasil ekstrak cair yang berkualitas
dibandingkan metode maserasi tidak bertingkat karena metode maserasi
bertingkat senyawa kimia golongan lain selain flavonoid dapat teristribusi
berdasarkan kepolaran pelarut yang digunakan. Pelarut n-heksan akan menarik
senyawa non-polar begitupun dengan etil asetat menarik senyawa semi polar
sehingga dengan mudah etanol 70% menarik senyawa polar tanpa ada gangguan
yang ikut terekstrak dari senyawa golongan lain.
Filtrat hasil ekstraksi diuapkan menggunakan rotary evaporator pada suhu
70˚C dan kecepatan putaran 90 rpm. Penguapan ini bertujuan untuk memisahkan
pelarut dari senyawanya. Untuk mendapat ekstrak kental dilakukan penguapan
kembali menggunakan penangas air, hal ini bertujuan untuk menjaga agar suhu
tetap di bawah titik didih air kemudian dihitung rendemen dapat dilihat pada Tabel
4.1.
28

Tabel 4.1 Rendemen ekstrak


Ekstrak Berat ekstrak (g) Rendemen (%)
n-heksan 26,4923 2,64
Etil asetat 40,3464 4,03
Etanol 70% 135,2277 13,52

4.5 Penapisan Fitokimia


Hasil penapisan fitokimia dari simplisia biji pining dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Hasil penapisan fitokimia simplisia dan ekstrak biji pining
Golongan Simplisia N-heksan Etil asetat Etanol 70%
Tanin + + - -
Flavonoid + + + +
Steroid - + - +
Triterpenoid + + + -
Saponin + + - +
Alkaloid + + - +
Keterangan : (+) Terdapat senyawa, (-) Tidak terdapat senyawa
Berdasarkan Tabel 4.2 hasil identifikasi kandungan senyawa secara
kualitatif simplisia biji pining, ekstrak n-heksan, etil asetat dan etanol 70% dari
biji pining menunjukkan bahwa simplisia biji pining mengandung golongan
senyawa tanin, flavonoid, triterpenoid, saponin dan alkaloid. Ekstrak n-heksan
mengandung golongan senyawa tanin, flavonoid, steroid, triterpenoid, saponin
dan alkaloid, lalu ekstrak etil asetat mengandung golongan senyawa flavonoid,
triterpenoid dan ekstrak etanol 70% mengandung golongan senyawa flavonoid,
steroid, saponin, dan alkaloid.
Tanin merupakan komponen zat organik yang sangat kompleks, terdiri dari
senyawa fenolik yang sukar dipisahkan dan sukar mengkristal, mengendapkan
protein dari larutannya dan bersenyawa dengan protein tersebut. Tanin
mempunyai beberapa khasiat yaitu sebagai astringen, antidiare, antibakteri dan
antioksidan (Malanggia et al., 2012).
Flavonoid memiliki struktur polifenolik dan banyak ditemukan dalam
buah-buahan, sayuran dan minuman tertentu (Ovando et al., 2009). Flavonoid
memiliki beragam keuntungan efek biokimia dan antioksidan yang terkait dengan
berbagai penyakit seperti kanker, penyakit alzheimer (AD), aterosklerosis, dan
lain-lain (Lee et al., 2009). Flavonoid memiliki beragam aktivitas seperti
29

antioksidan, antiinflamasi, antimutagenik dan sifat antikarsinogenik ditambah


dengan kapasitasnya untuk memodulasi seluler kunci fungsi enzim (Handayani et
al., 2013)
Steroid merupakan senyawa metabolit sekuder dengan berbagai fungsi
biologis yang penting dan tersebar luas dalam jaringan tumbuhan maupun hewan.
Steroid yang terdapat pada hewan umumnya bertindak sebagai hormon,
sedangkan steroid sintetik digunakan secara luas sebagai bahan obat (Fessenden,
R.J & Fessenden, J.S, 1997). Senyawa golongan steroid digunakan dalam dunia
pengobatan dan kontrasepsi yaitu, androgen yang merupakan hormon steroid yang
dapat menstimulasi organ seksual betina, asrenokortikonoid dapat mencegah
peradangan dan rematik (Nogrady, T, 1992).
Senyawa golongan triterpenoid mempunyai aktivitas farmakologi yang
signifikan seperti antiviral, antibakteri, antiinflamasi, sebagai inhibisi terhadap
sintesis kolesterol dan sebagai antikanker (Nassar et al., 2010). Bagi tumbuhan
yang mengandung triterpenoid terdapat nilai ekologi karena senyawa ini bekerja
sebagai antifungus, insektisida, antibakteri dan antivirus (Widiyati, 2006).
Alkaloid merupakan senyawa yang mengandung nitrogen yang bersifat
basa dan mempunyai aktifitas farmakologis (Lumbanjara, 2009). Bagi tumbuhan,
alkaloid berfungsi sebagai senyawa racun yang melindungi tumbuhan dari
serangga atau herbivora (hama dan penyakit), pengatur tumbuh atau sebagai basa
mineral untuk mempertahankan keseimbangan ion (Sudarma, 2014). Senyawa
alkaloid dalam bidang kesehatan memiliki efek berupa pemicu sistem syaraf,
menaikan tekanan darah, mengurangi rasa sakit, antimikroba, obat penenang, obat
penyakit jantung dan lainnya (Robinson, 1995).
Saponin dikarakterisasi dari rasa pahit dan kemampuannya untuk
menghemolisa pada sel darah merah. Saponin larut dalam air membentuk buih
seperti buih sabun, hal ini disebabkan karena saponin mempunyai amphiphilik
(Sudarma, 2014). Saponin untuk obat luar biasanya bersifat untuk membersihkan.
Saponin juga sering dimanfaatkan untuk meracuni ikan karena dapat menghambat
pembuluh darah ikan mengikat oksigen (Rohyani et al., 2015).
4.6 Hasil Uji Kadar Air
30

Serbuk simplisia biji pining dilakukan uji penetapan kadar air dengan
menggunakan metode Azeotrop (destilasi toluen). Uji penetapan kadar air
dilakukan untuk mengetahui persentase kadar air yang terkandung dalam serbuk
biji pining. Persentase kadar air yang baik adalah kurang dari 10%. Perhitungan
uji penetapan kadar air dapat dilihat pada Lampiran 3. Persentase rata-rata yang
didapat dari uji penetapan kadar air pada serbuk simplisia biji pining yaitu 6%,
sehingga telah dinyatakan bahwa serbuk dari simplisia biji pining memenuhi
syarat yang telah ditentukan yaitu kurang dari 10% (Voight, 1994). Kadar air yang
tinggi dapat mempermudah pertumbuhan jamur begitu juga mikroorganisme
lainnya sehingga dapat menyebabkan perubahan kimiawi yang dapat merusak dan
menurunkan mutu dari serbuk (Saifuddin et al., 2011).
4.7 Hasil Uji Kadar Abu Total
Penentuan kadar abu total bertujuan untuk memberikan gambaran tingkat
pengotoran oleh kontaminan berupa senyawa anorganik seperti logam alkali (Na +,
Kalium, Lithium), logam alkali tanah (Ca +, Ba+) dan logam berat (Fe+, Pb+, Hg+).
Hasil uji penetapan kadar abu total dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Penetapan Kadar Abu total simplisia biji pining
No Hasil
1. 2,45 %
2. 2,6 %
3. 2,55 %
Rata-rata 2,53 %
Syarat < 9 % (FHI, 2008)
Perhitungan uji penetapan kadar abu total dapat dilihat pada Lampiran 4.
Persentase rata-rata yang didapat dari uji penentuan kadar abu total pada serbuk
simplisia biji pining yaitu 2,53%, sehingga telah dinyatakan bahwa serbuk dari
simplisia biji pining memenuhi syarat yang telah ditentukan yaitu kurang dari 9%.

4.8 Hasil Uji Kadar Abu Tidak Larut Asam


Penentuan kadar abu tidak larut asam bertujuan untuk menentukan tingkat
pengotoran oleh pasir dan kotoran lain. Hasil uji penetapan kadar abu tidak larut
asam dapat dilihat pada Tabel 4.5.
31

Tabel 4.5 Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam simplisia biji pining
No Hasil
1. 0,65 %
2. 0,75 %
3. 0,65 %
Rata-rata 0,68 %
Syarat <0,9 % (Depkes RI 1978)

Perhitungan uji kadar abu tidak larut asam dapat dilihat pada Lampiran 5.
Persentase rata-rata yang didapat dari uji kadar abu tidak larut asam pada serbuk
simplisia biji pining yaitu 0,68%, sehingga telah dinyatakan bahwa serbuk dari
simplisia biji pining memenuhi syarat yang telah ditentukan yaitu kurang dari
0,9%.
4.9 Hasil Uji Susut Pengeringan
Penentuan susut pengeringan bertujuan untuk mengetahui kandungan air
dan zat lain yang mudah menguap dalam serbuk simplisia biji pining. Hasil uji
susut pengeringan dapat dilihat pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6 Penetapan Susut Pengeringan Simlpisia Biji Pining
No Hasil
1. 7,9 %
2. 7,9 %
3. 8,2 %
Rata-rata 8%
Syarat < 10% (Depkes RI 1995)

Perhitungan susut pengeringan dapat dilihat pada Lampiran 6. Persentase


rata-rata yang didapat dari susut pengeringan pada serbuk simplisia biji pining
yaitu 8%, sehingga telah dinyatakan bahwa serbuk dari simplisia biji pining
memenuhi syarat yang telah ditentukan yaitu kurang dari 10%.
4.10 Data Hasil Penelitian
a. SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase)
Tabel 4.7 Kadar SGPT Tikus Ekstrak Etil Asetat Biji Pining
Kelompok Perlakuan Kadar rata-rata SGPT (U/L) Sig (p < 0,05)
Normal 90,8
Negatif 110,02
Dosis 1 36,24 p = 0,00
Dosis 2 47,52
Dosis 3 37,5
32

Hasil yang diperoleh diolah menggunakan One Way ANOVA. Hasil uji
normalitas menunjukkan data berdistribusi normal p > 0,05 dan hasil uji
homogenitas p > 0,05 (p = 0,126). Berdasarkan hasil uji ANOVA diperoleh p < 0,05 (p
= 0,00), Ho diterima H1 ditolak, menandakan terdapat perbedaan yang signifikan
antar kelompok. Berdasarkan pengujian LSD, terdapat perbedaan yang signifikan
antara kelompok normal dengan kelompok negatif, antara kelompok normal
dengan kelompok dosis, dan antara kelompok negatif dengan kelompok dosis, p
< 0,05 (p = 0,00). Efektivitas yang ditujukkan oleh ekstrak etil asetat biji pining
kemungkinan disebabkan oleh adanya aktivitas antioksidan dalam tanaman
tersebut. Dilihat dari rata-rata kadar SGPT dosis 125 mg/kg BB memiliki kadar
paling kecil dibandingkan dengan kelompok perlakuan lain. Hal ini membuktikan
bahwa ekstrak pining dosis 125 mg/kg BB memberikan efek proteksi lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok dosis yang lain. Kadar SGPT normal yaitu
sebesar 18-45 U/L (Giknis dan Clifford, 2008). Hasil pengamatan secara
kuantitatif terdapat peningkatan kadar SGPT diatas kadar normal yaitu sebesar
90,8 U/L. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor makanan, faktor
tinggi karbohidrat, stress dan hewan percobaan yang tidak specific pathogen free
(SPF) (Rahman et al., 2017).

b. SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transminase)


Tabel 4.8 Kadar SGOT tikus
Kelompok Perlakuan Kadar rata-rata SGOT Sig (p < 0,05)
Normal 47,22
Negatif 102
Dosis 1 40,36 p = 0,00
Dosis 2 57,62
Dosis 3 57,98

Hasil uji normalitas menunjukkan data berdistribusi normal p > 0,05 dan
hasil uji homogenitas p > 0,05 (p = 0,423). Ho diterima yang menandakan data
berdistribusi normal dan kedua kelompok memiliki varian yang homogen. Dilihat
33

dari rata-rata hasil dosis 1 memiliki kadar paling kecil dibandingkan dengan
kelompok perlakuan lain. Berdasarkan uji ANOVA diperoleh p < 0,05 (p = 0,00),
Ho diterima menandakan terdapat perbedaan yang signifikan antar kelompok.
Berdasarkan uji LSD terdapat perbedaan antara kelompok normal dengan
kelompok negatif, kelompok normal dengan dosis 250 mg/kg BB dan dosis 375
mg/kg BB, dan kelomok negatif dengan kelompok dosis 125 mg/kg BB, 250
mg/kg BB dan 375 mg/kg BB. Dilihat dari rata-rata kadar SGOT dosis 125 mg/kg
BB memiliki kadar paling kecil dibandingkan dengan kelompok perlakuan lain.
Kadar SGOT normal yaitu sebesar 45,7 – 80,8 U/L (Mangkoewidjojo, 1988).
4.10 Histopatologi
Pada hewan tikus, hati terletak di bagian kanan pada region epigastrikus,
tepat di belakang dari diafragma. Hati terdiri atas lobus-lobus dan setiap lobus
terbagi menjadi lobulus-lobulus (Rogers dan Dintzis 2012). Setiap lobulus
merupakan badan heksagonal dengan ukuran 0,7 x 2 mm yang terdiri atas sel-sel
parenkim hati (hepatosit), vena sentralis, sinusoid, cabang-cabang vena porta,
cabang-cabang arteri hepatika, sel Kupffer, duktus empedu, buluh darah limfatik,
dan saraf (Dancygier 2010).
Pengamatan histolopatologi hati dilakukan untuk memberikan informasi
mengenai perubahan mikroskopis hati yang ditimbulkan akibat pemberian ekstrak
etil asetat biji pining terhadap hati yang diinduksi parasetamol. NAPQI yang
dihasilkan dari biotransformasi parasetamol dengan sistem enzim sitokrom P450
akan bereaksi dengan molekul penyusun membran sel hepatosit sehingga
menyebabkan kerusakan hati. Perubahan mikroskopis dapat meliputi perubahan
inti sel, sitoplasma, dan sel secara keseluruhan (Ikawati, 2010). Berdasarkan
pengamatan histopatologi pada kelompok kontrol dan ditemukan adanya sel
normal dan sel yang mengalami perubahan sublethal serta lethal pada hepatosit.
Perubahan ini diskoring menggunakan program software ImageJ® dan
dibandingkan antara vena porta dan vena sentralis untuk melihat efek
hepatoprotektif dari ekstrak etil asetat biji pining. Skoring dilakukan terhadap
lima bidang pengamatan pada hepatosit di sekitar vena porta dan vena sentralis
untuk menggambarkan derajat keparahan jaringan hati (Kumala, 2017).
34

Perubahan sublethal yang terlihat pada bidang pengamatan adalah


degenerasi hidropis dan degenerasi lemak. Degenerasi hidropis umumnya dimulai
dari daerah porta yang meluas menuju sentralis karena daerah porta merupakan
daerah yang pertama kali menerima suplai darah dari saluran pencernaan. Darah
yang mengandung toksin dibawa dari usus, masuk ke hati melewati vena porta
kemudian melewati sinusoid menuju vena sentralis (Price dan Wilson 2003).
Secara makroskopis, organ yang mengalami degenerasi hidropis terlihat lebih
besar, warnanya opaque, konsistensinya lunak dan rapuh, serta kurang memiliki
bentuk lagi. Sedangkan secara mikroskopis, ukuran sel meningkat disertai batas
sel yang tidak jelas, sebagian organela sel akan berubah menjadi kantong air,
sitoplasma terlihat seperti bervakuola, opaque, dan lebih granuler. Hal ini terjadi
karena metabolit reaktif NAPQI merusak membran sel sehingga keseimbangan
ion natrium dan kalium terganggu dan terjadilah peningkatan jumlah air ke dalam
sel (Mugera 2000).
Degenerasi lemak, secara makroskopis hati akan terlihat pucat atau coklat
kekuningan, licin, dan biasanya perlemakan menyebar ke seluruh bagian.
Sedangkan secara mikroskopis, tampak jaringan hati sudah tidak teratur, adanya
lemak dalam bentuk droplet kecil atau besar yang mengisi ruang sitoplasma sel
hati sehingga komponen dan inti sel hati akan terdesak ke tepi. Hal ini terjadi
karena metabolit reaktif NAPQI mengganggu sintesis dan pematangan protein di
ribosom pada retikulum endoplasma kasar sehingga tidak terbentuknya apoprotein
dan lipoprotein yang akan membawa trigliserida keluar ke plasma untuk
dimetabolisme. Hal inilah yang menyebabkan asam lemak tidak dapat
disekresikan sehingga menjadi terakumulasi dalam sel hati (Cheville, 2006).
Perubahan lethal yang terlihat pada bidang pengamatan adalah nekrosa.
Perubahan nekrosa meliputi perubahan nukleus yaitu piknosis, karioreksis,
kariolisis, dan sel yang hilang (Haschek dan Rousseaux 1998). Nekrosa yang
terjadi akibat parasetamol adalah nekrosa sentrilobular yang ditandai kerusakan
terutama di hepatosit sekitar daerah vena sentralis. Hal ini dikaitkan dengan
terbentuknya metabolit sangat reaktif setelah parasetamol dimetabolisme di hati
(Cooper 2010). Histopatologi hati tikus dapat dilihat dari Tabel 4.9.
35

Tabel 4.9 Histopatologi hati tikus


Kelompok Jumlah Sel Normal Jumlah Sel Nekrosis %
Normal 943 57 6,04
Negatif 891 109 12,2
Dosis 1 932 68 7,29
Dosis 2 925 75 8,1
Dosis 3 929 71 7,64

Pada vena porta, sel hepatosit normal pada kelompok memperlihatkan


persentase sel normal yang lebih tinggi disertai degenerasi lemak dan nekrosa
yang lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini menandakan ekstrak
etil asetat biji pining berperan dalam mencegah kerusakan sel hati sehingga
persentase nekrosa lebih rendah apabila dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Nekrosis ditandai dengan perubahan morfologi, inti sel yang mati dapat terlihat
lebih kecil. Secara mikroskopis terjadi perubahan intinya yaitu hilangnya
gambaran kromatin, inti menjadi keriput, tidak vasikuler, inti tampak lebih padat,
warnanya gelap hitam (piknosis), inti terbagi atas fragmen-fragmen, robek
(karioreksis, inti tidak lagi mengambil warna banyak karena itu pucat tidak nyata
(kariolisis) (Himawan, 1992).
Degenerasi yang berlangsung terus-menerus akan menyebabkan kematian sel.
Kematian sel merupkan kerusakan yang bersifat irreversible (menetap), sehingga
hepatosit tidak dapat kembali ke bentuk normal. Kematian sel dapat terjadi melalui
proses apoptosis dan nekrosa sel. Apoptosis merupakan proses kematian sel yang
terencana atau terprogram yang dipicu oleh fragmen deoxyribonucleic acid (DNA),
sedangkan nekrosis dapat bersifat lokal atau difus, yang disebabkan oleh keadaan
iskemia, anemia, kekurangan oksigen, bahan-bahan radikal bebas, gangguan
sintesis DA, dan peptida (Lu, 1995).
36

Gambar 4.1 Histopatologi Hepar Tikus N (Normal), Ne (Negatif), D1 (Dosis 1), D2


(Dosis 2), D3 (Dosis 3).
Keterangan : VC (Vena Centralis), S (Sinusoid), * (Pendarahan), (Nekrosis),
(Degenerasi hidropik), (Degenerasi Lemak).

Gambaran histopatologi hepar tikus yang diinduksi parasetamol selama 14


hari dengan dosis 900 mg/kg BB tikus, pada penelitian ini ditemukan adanya
peradangan yang banyak, bintik-bintik hitam yang tersebar dan terkonsentrasi pada
sekitar dan dekat segitiga Kiernan dan ada banyak nekrosis dimana sel kehilangan
intinya. Kerusakan hepar yang terjadi karena proses stres oksidatif akibat
menumpuknya metabolit N-asetil-p-benzoquinone (NAPQI) yang merusak
mitokondria dan menghambat pembentukan energi sel hepatosit sehingga
mengakibatkan kerusakan pada hepar (Kumala, 2017).
Hasil pengamatan pada preparat perlakuan kelompok dosis 125 mg/kg BB,
dosis 250 mg/kg BB, dan dosis 375 mg/kg BB, didapatkan adanya penurunan rerata
skor kerusakan hepar yaitu sebesar 7,29 %, 8,1 %, dan 7,64 %. Hasil skoring pada
histopatologi hati ini selaras dengan hasil pengukuran kadar enzim SGPT dan
SGOT. Hal ini ditunjukkan melalui penurunan jumlah sel nekrosa pada hepatosit di
sekitar vena porta dan vena sentralis pada kelompok dosis dibandingkan kelompok
kontrol. Penurunan jumlah sel nekrosa pada kelompok dosis akibat perlindungan
dari ekstrak etil asetat biji pining menyebabkan penurunan pelepasan enzim SGPT
37

dan SGOT ke dalam aliran darah sehingga kadar enzim SGPT dan SGOT yang
terukur pun menurun dibandingkan kelompok kontrol (Sulistiyani, 2010).
Pada vena sentralis, persentasi hepatosit normal pada kelompok dosis juga
lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini diikuti dengan persentasi
nekrosa pada kelompok dosis yang lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol.
Nilai persentase degenerasi hidropis dan degenerasi lemak sama dengan kelompok
kontrol. Kelompok dosis memiliki kemampuan meningkatkan daya tahan sel dan
menjaga kelangsungan sel normal serta memulihkan sel yang mengalami perubahan
degenerasi bersifat sementara akibat metabolit reaktif parasetamol menjadi sel
normal kembali. Hal ini disebabkan oleh senyawa flavonoid yang merupakan
kandungan dari biji pining yang mampu meningkatkan efek enzim antioksidan
sehingga mampu menghambat radikal bebas NAPQI (metabolit reaktif) untuk
menetap dan merusak membran sel hepatosit (Eric et al., 2016). Total glukosida
dari ekstrak juga efektif untuk menghambat perubahan degenerasi lemak pada
hepatosit. Persembuhan juga semakin cepat terjadi karena kandungan triterpenoid
saponin seperti madekasosida dan asam madekasat yang memiliki aktivitas
antiinflamasi dan imunomodulator (Vohra et al. 2011).
Pada kelompok dosis 250 mg/ kg BB dan dosis 375 mg/ kg BB didapatkan
adanya sel hati yang mengalami nekrosis dengan skor rata-rata kerusakan sel hati
tikus yang lebih tinggi dari kelompok dosis 125 mg/ kg BB tetapi masih lebih
rendah jika dibandingkan dengan kelompok normal. Hal ini juga selaras dengan
kadar hasil SGOT dan SGPT dimana dosis 1 merupakan dosis yang memiliki kadar
paling kecil diantara kelompok perlakuan lain. Faktor yang menyebabkan hal
tersebut adalah efek toksik dan efek antiproliferatif yang dimiliki oleh biji pining
pada pemberian dosis tinggi. Biji pining mengandung senyawa aktif seperti
flavonoid yang apabila kadarnya berlebih dapat menginduksi terbentuknya radikal
2+
bebas dengan mereduksi ion logam seperti Cu menjadi Cu+ dan Fe3+ menjadi Fe2+
(Gustaman et al.
, 2020). Ion tersebut akan mengkatalisis pembentukan radikal hidroksil
dari hidrogen peroksida yang dapat menyebabkan reaksi berantai radikal bebas
yang bersifat merusak. Radikal hidroksil ini juga dapat menyebabkan kerusakan
38

membran mitokondria sehingga mengaktifkan pelepasan sitokrom c yang berperan


dalam proses apoptosis (Kusuma et al., 2017).
Serum Glutamic Oxsaloasetic Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamic
Pyruvic Transaminase (SGPT) merupakan enzim yang keberadaan dan kadarnya
dalam darah dijadikan penanda terjadinya gangguan fungsi hati. Enzim tersebut
normalnya berada pada sel-sel hati. Kerusakan pada hati akan menyebabkan enzim-
enzim hati tersebut lepas ke dalam aliran darah sehingga kadarnya dalam darah
meningkat dan menandakan adanya gangguan fungsi hati (Tsani et al., 2017).
Kadar SGOT pada pemeriksaan laboratoris dapat digunakan untuk menilai seberapa
luas kerusakan hati namun SGOT juga banyak ditemukan pada jaringan selain hati
namun tidak menutup kemungkinan perubahan SGOT juga terjadi akibat penyakit
jantung (Qodriyati et al., 2016).
Setelah pemberian parasetamol mengalami kenaikan kadar SGOT hal ini
dikarenakan tikus yang diinduksi parasetamol, terkena ROS (Reactive Oxygen
Species) dari parasetamol. ROS dapat merusak komponen sel yang sangat penting
karena ROS dapat bereaksi dengan lemak, protein, dan DNA. Reaksi antar ROS
dengan lemak tak jenuh pada membran sel dapat menghasilkan senyawa peroksida
yang berpotensi menyebabkan kerusakan pada membran sel sehingga enzim-enzim
sitoplasma keluar ke dalam peredaran darah (Patrick, 2006). ROS yang sangat
reaktif ini dapat berikatan dengan DNA pada mitokondria sehingga menyebabkan
nekrosis sel. Nekrosis sel yang terjadi pada sel hepatosit akan menyebabkan enzim
keluar ke peredaran darah sehingga dapat menyebabkan peningkatan kadar SGOT
dan SGPT (Maslachah et al., 2008).

BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
1. Ekstrak etil asetat biji pining memiliki efektivitas hepatoprotektor
yang baik dalam menjaga kelangsungan hepatosit normal dan
memulihkan hepatosit yang mengalami kerusakan sementara,
39

dilihat dari nilai SGOT, SGPT, dan histopatologi dibandingkan


dengan kontrol negatif.
2. Dosis efektif dari ekstrak etil asetat biji pining (Horstedtia
alliacea) terhadap hepar tikus yang diinduksi parasetamol terdapat
pada dosis 125 mg/kg BB dibandingkan dengan dosis 250 mg/kg
BB dan dosis 375 mg/kg BB yang dilihat dari penurunan kadar
SGOT, SGPT dan hasil histopatologi.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai toksisitas dari
ekstrak etil asetat biji pining.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengujian kadar
antioksidan dalam tikus hepatotoksik yang diberi ekstrak etil asetat
biji pining (Hornstedtia alliacea).

Anda mungkin juga menyukai