Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

DAULAH BANI ABBASYIAH

Mata Kuliah : Sejarah Peradaban Islam

Dosen Pengampu : Ade Abdul Muqit, M.Pd.I.

Disusun oleh :
Naila Nurisma (211310054)
Rina Harfira Akbar (211310067)

INSTITUT PTIQ JAKARTA


FAKULTAS TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulilah kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah menciptakan
seluruh alam beserta seluruh isinya. Shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW. Dengan rahmat Allah SWT, makalah ini kami tulis, semoga dapat
bermanfaat bagi kalangan umat Islam dan khususnya sebagai bekal di masyarakat.

Kajian terhadap sejarah peradaban Islam merupakan suatu hal yang sangat penting
dalam upaya memahami dan mengenali peran umat Islam di dalam kontak sejarah
kemanusiaan. Dengan pemahaman yang objektif akan dapat lebih meningkatkan kecintaan
umat Islam terhadap ajaran Islam, tidak saja dalam aspek ajarannya, tetapi juga menyangkut
terhadap aspek budaya nya yang sangat global dan komplek.

Sehubungan dengan hal tersebut, dalam makalah yang sederhana ini dipaparkan
bagaimana Daulah Bani Abbasiyah. Semoga makalah Daulah Bani Abbasiyah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca dalam upaya meningkatkan dan memperluas wawasan tentang
keilmuan di bidang sejarah.

Jakarta, 1 November 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................ii
BAB I............................................................................................................1
PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................1
C. Tujuan .....................................................................................................2
BAB II...........................................................................................................3
PEMBAHASAN...........................................................................................3
A. Sejarah Berdirinya Abbasiyah.................................................................3
B. Kemajuan masa abbasiyah......................................................................6
C. Kemunduran Dinasti Abbasiyah...........................................................13
D. Sebab-sebab kemunduran dinasti abbasiyah.........................................15
BAB III.......................................................................................................17
PENUTUP..................................................................................................17
A. Kesimpulan............................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA................................................................................18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Peradaban islam mengalami puncak kejayaan pada masa daulah Abbasiyah.
Perkembangan ilmu pengetahuan sangat maju yang diawali dengan penerjemahan naskah
asing terutama yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, pendirian pusat pengembangan
ilmu dan perpustakaan dan terbentuknya mazhab ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai
buah dari kebebasan berfikir. Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang paling
berhasil dalam mengembangkan peradaban Islam. Para ahli sejarah tidak meragukan hasil
kerja para pakar pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah dalam memajukan ilmu
pengetahuan dan peradaban Islam.

Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah adalah melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani


Umayyah. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa Dinasti ini adalah
keturunan Abbas, paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah
al-Saffah Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn al-Abbass. Dia dilahirkan di Humaimah
pada tahun 104 H. Dia dilantik menjadi Khalifah pada tanggal 3 Rabiul awwal 132 H.
Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah berlangsung dari tahun 750-12 H. Pada abad ketujuh
terjadi pemberontakan diseluruh negeri. Pemberontakan yang paling dahsyat dan merupakan
puncak dari segala pemberontakan yakni perang antara pasukan Abbul Abbas melawan
pasukan Marwan Ibn Muhammad (Dinasti Bani Umayyah) yang akhirnya dimenangkan oleh
pasukan Abbul Abbas. Dengan jatuhnya negeri Syiria,berakhirlah riwayat Dinasti Bani
Umayyah dan bersama dengan itu bangkitlah kekuasaan Abbasiyah.Pada masa inilah masa
kejayaan Islam yang mengalami puncak keemasan pada masa itu berbagai kemajuan dalam
segala bidang mengalami peningkatan seperti bidang pendidikan, ekonomi, politik dan sistem
pemerintahannya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Sejarah berdirinya Bani Abbasiyah ?
2. Bagaimana Kemajuan Masa Abbasiyah ?
3. Bagaimana Kemunduran Dinasti Abbasiyah ?

1
4. Apa saja sebab – sebab Kehancuran Dinasti Abbasiyah ?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui Pendirian Bani Abbasiyah.
2. Untuk mengetehui Kemajuan Masa Abbasiyah.
3. Bagaimana Kemunduran dan Dinasti Abbasiyah.
4. Apa saja sebab – sebab Kehancuran Dinasti Abbasiyah.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah berdirinya Daulah Abbasiyah (750-857 M/132-232 H.)


Tonggak berdirinya dinasti Bani Abbas, berawal sejak merapuhnya sistem internal
dan performance penguasa Bani Umayyah yang berujung pada keruntuhan dinasti Umayah di
Damaskus, maka upaya untuk menggantikannya dalam memimpin umat Islam adalah dari
kalangan bani Abbasiyah. Propaganda revolusi Abbasiyah ini banyak mendapat simpati
masyarakat terutama dari kalangan Syi’ah, karena bernuansa keagamaan, dan berjanji akan
menegakkan kembali keadilan seperti yang dipraktikkan oleh khulafaurrasyidin.
Babak ketiga dalam drama besar politik Islam dibuka oleh Abu Al Abbas (750-754) yang
berperan sebagai pelopor nama dinasti Abbasiyah diambil dari nama salah seorang paman
Nabi yang bernama al-Abbas ibn Abd al-Muthalib ibn Hisyam. Dinasti ini didirikan oleh
Abdullah al-Saffah Ibnu Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn al- Abbas. Irak menjadi
panggung drama besar itu. Dalam khotbah penobatannya, yang disampaikan setahun
sebelumnya di masjid Kufah, Khalifah Abbasiyah pertama itu menyebut dirinya as-saffih",
penumpah darah, yang kemudian menjadi julukannya. Julukan itu merupakan pertanda buruk
karena dinasti yang baru muncul ini mengisyaratkan bahwa mereka lebih mengutamakan
kekuatan dalam menjalankan kebijakannya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam, di
sisi singgasana khalifah tergelar karpet yang digunakan sebagai tempat eksekusi. As-Saffah
menjadi pendiri dinasti Arab Islam ketiga -setelah Khulafa Ar-Rasyidun dan Dinasti
Umayah-yang sangat besar dan berusia lama. Dari 750 M. hingga 1258 M., penerus Abu Al-
Abbas memegang pemerintahan, meskipun mereka tidak selalu berkuasa. Orang Abbasiyah
mengklaim dirinya sebagai pengusung konsep sejati kekhalifahan, yaitu gagasan negara
teokrasi, yang menggantikan pemerintahan sekuler (mulk) Dinasti Umayah. Sebagai ciri khas
keagamaan dalam istana kerajaannya, dalam berbagai kesempatan seremonial, seperti ketika
dinobatkan sebagai khalifah dan pada shalat Jumat, khalifah mengenakan jubah (burdah)
yang pernah dikenakan oleh saudara Nabi Muhammad. Akan tetapi, masa pemerintahannya,
begitu singkat. As-Saffah meninggal (754 775 M.) karena penyakit cacar air ketika berusia
30-an1.

1
Ridjaluddin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta, Pusat Kajian Islam, 2013) hal.189-190

3
Saudaranya yang juga penerusnya, Abu Ja'far (754-775), yang mendapat julukan Al-
Manshur adalah khalifah terbesar Dinasti Abbasiyah. Meskipun bukan seorang muslim yang
saleh, dialah sebenarnya, bukan As-Saffah, yang benar-benar membangun dinasti baru itu.
Seluruh khalifah yang berjumlah 35 orang berasal dari garis keturunannya.
Masa kejayaan Abbasiyah terletak pada khalifah setelah As-Saffah. Penulis mengutip
Philip K. Hitty), bahwa masa keemasan (Golden Prime) Abbasiyah terletak pada 10 khalifah.
Hal ini berbeda dengan Badri Yatim", yang memasukkan 7 khalifah sebagai masa kejayaan
Abbasiyah, Jaih Mubarok, memasukkan 8 khalifah sebagai masa kejayaan Abbasiyah. Begitu
pula, Harun Nasution, hanya memasukkan 6 khalifah ke dalam kategori sebagai khalifah
yang memajukan Abbasiyah.
Kesepuluh khalifah tersebut; As-Saffah (750); Al-Manshur (754); Al Mahdi (775);
Al-Hadi Ar-Rasyid (786); Al-Amin (809); Al-Ma'mun (813); Al-Mu'tashim (833); Al-Watsiq
(842); dan Al-Mutawakkil (847). Harun arrasyid (786-809)
Dinasti Abbasiyah, seperti halnya dinasti lain dalam sejarah Islam, mencapai masa
kejayaan politik dan intelektual mereka segera setelah didirikan. Kekhalifahan Baghdad yang
didirikan oleh As-Saffah dan Al Manshur mencapai masa keemasannya antara masa khalifah
ketiga, Al Mahdi, dan khalifah kesembilan, Al-Watsiq, dan lebih khusus lagi pada masa
Harun Ar-Rasyid dan anaknya, Al-Ma'mun. Karena kehebatan dua khalifah itulah, Dinasti
Abbasiyah memiliki kesan baik dalam ingatan publik, dan menjadi dinasti paling terkenal
dalam sejarah Islam. Diktum yang dikutip oleh seorang penulis antologi, Ats-Tsa'alabi (w.
1038) bahwa dari para khalifah Abbasiyah, "sang pembuka" adalah Al-Manshur, "sang
penengah" adalah Al-Ma'mun, dan "sang penutup" adalah Al-Mu'tadhid (892-902) adalah
benar.
Orang Abbasiyah merasa lebih berhak dari pada bani Umayyah atas kekhalifahan
Islam, sebab mereka adalah dari cabang bani Hasyim yang secara nasab keturunan lebih
dekat dengan Nabi. Menurut mereka, orang Umayyah secara paksa menguasai khilafah
melalui tragedi perang Siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan dinasti Abbasiyah, mereka
mengadakan gerakan yang luar biasa melakukan pemberontakan terhadap dinasti Umayyah.
Di antara yang mempengaruhi berdirinya khilafah bani Abbasiyah adalah adanya beberapa
kelompok umat yang sudah tidak mendukung lagi terhadap kekuasaan imperium bani
Umayah yang notabenenya korupsi, sekuler dan memihak sebagian kelompok diantaranya
adalah kelompok Syiah dan Khawarij (Badri Yatim. 2008:49-50) serta kaum Mawali (orang-
orang yang baru masuk islam yang mayoritas dari Persi).

4
Di saat terjadi perpindahan kekuasaan dari Umayyah ke Abbasiyah, wilayah
geografis dunia islam membentang dari timur ke barat, meliputi Mesir, Sudan, Syam, Jazirah
Arab, Iraq, Parsi sampai ke Cina. Kondisi ini mengantarkan terjadinya interaksi intensif
antara daerah satu dengan daerah lainnya. Interaksi ini memungkinkan proses asimilasi
budaya dan peradaban setiap daerah. Nyanyian dan musik menjadi tren dan style kehidupan
bangsawan dan pemuka istana era Abbasiyah. Anak-anak khalifah diberikan les khusus
supaya pintar dan cakap dalam mendendangkan suara mereka. Seniman-seniman terkenal
bermunculan, diantaranya Ibrahim bin Mahdi, Ibrahim al Mosuly dan anaknya Ishaq.
Lingkungan istana berubah dan dipengaruhi nuansa Borjuis mulai dari pakaian, makanan, dan
hadirnya pelayan-pelayan wanita.
Para penguasa Abbasiyah membentuk masyarakat berdasarkan rasa persamaan.
Pendekatan terhadap kaum Malawi dilakukan antara lain dengan mengadopsi sistim
Administrasi dari tradisi setempat (Persia) mengambil beberapa pegawai dan Menteri dari
bangsa Persia dan meletakan ibu kota kerajaannya, Baghdad di wilayah yang dikelilingi oleh
bangsa dan agama yang berlainan seperti bangsa Aria dan Sumit dan agama Islam, Kristen,
dan Majusi.
Pembagian kelas dalam masyarakat Daulat Abbasiyah tidak lagi berdasarkan ras atau
kesukaan, melainkan berdasarkan jabatan, menurut jarzid Zaidan, masyarakat Abbasiyah
terbagi dalam 2 kelompok besar, kelas khusus dan kelas umum. Kelas khusus terdiri dari
khalifah, keluarga khalifah (Bani Hasyim) para pembesar negara (Menteri, gubernur dan
panglima), Kaum bangsawan non Bani Hasyim (Quraisy) pada umumnya. petugas khusus,
tentara dan pembantu Istana. Sedangkan kelas umum terdiri dari para seniman, ulama,
pujangga fukoha, saudagar dan penguasa buruh dan petani. Sebelum daulah Bani Abbasiyah
berdiri, terdapat 3 tempat yang menjadi pusat kegiatan kelompok Bani Abbas, antara satu
dengan yang lain mempunyai kedudukan tersendiri dalam memainkan peranannya untuk
menegakkan kekuasaan keluarga besar paman nabi SAW yaitu Abbas Abdul Mutholib (dari
namanya Dinasti itu disandarkan). Tiga tempat itu adalah Humaimah, Kufah dan Khurasan.
Humaimah merupakan kota kecil tempat keluarga Bani Hasyim bermukim, baik dari
kalangan pendukung Ali maupun pendukung keluarga Abbas. Humaimah terletak berdekatan
dengan Damsyik. Kufah merupakan kota yang penduduknya menganut aliran Syi‘ah
pendukung Ali bin Abi Tholib. Ia bermusuhan secara terang-terangan dengan golongan Bani
Umayyah. Demikian pula dengan Khurasan, kota yang penduduknya mendukung Bani
Hasyim. Ia mempunyai warga yang bertemperamen pemberani, kuat fisiknya, tegap tinggi,
teguh pendirian tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah bingung dengan

5
kepercayaan yang menyimpang. Disinilah diharapkan dakwah kaum Abbassiyah
mendapatkan dukungan.
Selama kekuasaan mereka tersebut, peradaban Islam sangat berkembang. Jika pada
masa Bani Umayyah lebih dikenal dengan upaya ekspansinya, maka pada masa Bani
Abbasiyah yang lebih dikenal adalah berkembangnya peradaban Islam. Kalau dinasti
Umayyah terdiri atas orang-orang ‘Arab Oriented’, dinasti Abbasiyah lebih bersifat
internasional, assimilasi corak pemikiran dan peradaban Persia, Romawi Timur, Mesir dan
sebagainya. Dinasti Abbasiyah memiliki kesan baik dalam ingatan publik, dan menjadi
dinasti paling terkenal dalam sejarah Islam. Diktum dari Tsalabi: ‘ al-Mansur sang pembuka,
al-Ma’mun sang penengah, dan al-Mu’tadhid sang Penutup’ mendekati kebenaran, Setelah
al-Watsiq pemerintahan mulai menurun hingga al-Mu’tashim khalifah ke 37, jatuh dan
mengalami kehancuran di tangan orang Mongol 1258

B. Kemajuan masa Abbasiyah


Masa ini adalah masa keemasan atau masa kejayaan umat Islam seba gai pusat dunia
dalam berbagai aspek peradaban. Kemajuan itu hampir mencakup semua aspek kehidupan:

1. Biro-biro Pemerintahan Abbasiyah


Dalam menjalankan sistem teknis pemerintahan, Dinasti Abbasiyah memiliki kantor
pengawas (dewan az-zimani) yang pertama kali diperke nalkan oleh Al-Mahdi; dewan
korespondensi atau kantor arsip (dewan at tawqi) yang menangani semua surat resmi,
dokumen politik serta instruksi dan ketetapan khalifah; dewan penyelidik keluhan;
departemen kepolisian dan pos. Dewan penyelidik keluhan (dewan an-nazhar fi al-mazhalini)
adalah sejenis pengadilan tingkat banding, atau pengadilan tinggi untuk menangani kasus-
kasus yang diputuskan secara keliru pada departemen administratif dan politik. Cikal bakal
dewan ini dapat dilacak pada masa Dinasti Umayah, karena Al-Mawardi meriwayatkan
bahwa Abd Al Malik adalah khalifah pertama yang menyediakan satu hari khusus untuk
mendengar secara langsung permohonan dan keluhan rakyatnya. Umar II meneruskan praktik
tersebut. Praktik itu kemudian diperkenalkan oleh Al-Mahdi ke dalam pemerintahan Dinasti
Abbasiyah. Penggantinya, Al-Hadi, Harun, Al-Ma'mun, dan khalifah selanjutnya keluhan itu
dalam sebuah dengar publik; Al-Muhtadi (869-870) adalah khalifah terakhir yang
memelihara kebiasaan tersebut. Raja Normandia, Roger II, (1130-1154) memperkenalkan
lembaga tersebut ke Sisilia, yang kemudian mengakar di daratan Eropa.

6
2. Sistem Militer
Sistem militer terorganisasi dengan baik, berdisiplin tinggi, serta mendapat pelatihan dan
pengajaran secara reguler. Pasukan pengawal khalifah (hams) mungkin merupakan satu-
satunya pasukan tetap yang masing-masing mengepalai sekelompok pasukan. Selain mereka,
ada juga pasukan bayaran dan sukarelawan, serta sejumlah pasukan dari berbagai suku dan
distrik. Pasukan tetap (jund) yang bertugas aktif disebut murtaziqah (pasukan yang dibayar
secara berkala oleh pemerintah). Unit pasukan lainnya disebut muta-thawwi'ah
(sukarelawan), yang hanya menerima gaji ketika bertugas. Kelompok sukarelawan ini
direkrut dari orang badui, para petani, dan orang kota. Pasukan pengawal istana memperoleh
bayaran lebih tinggi, bersenjata lengkap, dan berseragam. Pada masa-masa awal
pemerintahan khalifah Dinasti Abbasiyah, rata-rata gaji pasukan infanteri, di samping gaji
dan santunan rutin sekitar 960 dirham per tahun, pasukan kavaleri menerima dua kali lipat
dari itu.

3. Wilayah Pemerintahan
Pembagian wilayah kerajaan Umayah ke dalam provinsi yang dipimpin oleh seorang
gubernur (tunggal amir atau 'amil) sama dengan pola pemerintahan pada kekuasaan
Bizantium dan Persia. Pembagian ini tidak mengalami perubahan berarti pada masa Dinasti
Abbasiyah. Provinsi Dinasti Abbasiyah mengalami perubahan dari masa ke masa, dan
klasifikasi politik juga tidak selalu terkait dengan klasifikasi geografis, seperti yang terekam
dalam karya Al-Ishthakhri, Ibn Hawqal, Ibn Al-Faqih, dan karya karya sejenis. Berikut ini
merupakan provinsi-provinsi utama pada masa awal kekhalifahan Baghdad: 1) Afrika di
sebelah barat Gurun Libya bersama dengan Sisilia; 2) Mesir; 3) Suriah dan Palestina, yang
terkadang dipisahkan; 4) Hijaz dan Yamamah (Arab Tengah); 5) Yaman dan Arab Selatan; 6)
Bahrain dan Oman, dengan Bashrah dan Irak sebagai ibukotanya; 7) Sawad atau Irak
(Mesopotamia bawah), dengan kota utamanya setelah Baghdad, yaitu Kufah dan Wash; 8)
Jazirah (yaitu kawasan Assyiria Kuno, bukan Semenanjung Arab), dengan ibukota Mosul; 9)
Azerbaijan, dengan kota-kota besarnya, seperti Ardabil, Tibriz, dan Maraghah; 10) Jibal
(perbukitan, Media Kuno), kemudian dikenal dengan Irak Ajami (Iraknya orang Persia),
dengan kota utamanya adalah Ramadan.

4. Perdagangan dan Industri

7
Sejak masa khalifah kedua Abbasiyah, Al-Manshur, sumber Arab paling awal yang
menyinggung tentang hubungan maritim Arab dan Persia dengan India dan Cina berasal dari
laporan perjalanan Sulaiman At-Tajir dan para pedagang muslim lainnya pada abad ke-3
Hijriah. Tulang punggung perdagangan ini adalah sutra, kontribusi terbesar orang Cina
kepada barat. Biasanya, jalur perdagangan yang disebut "jalan sutra", menyusuri Samarkand
dan Turkistan Cina, sebuah wilayah yang kini tidak banyak dilalui dibanding wilayah-
wilayah dunia lainnya yang sudah dihuni dan berperadaban. Barang-barang dagangan
biasanya. diangkut secara estafet; hanya sedikit khafilah yang menempuh sendiri perjalanan
sejauh itu. Akan tetapi, hubungan diplomatik telah dibangun sebelum orang Arab terjun ke
dunia perdagangan. Diriwayatkan bahwa Sa'd Ibn Abi Waqqash, penakluk Persia, menjadi
duta yang dikirim Nabi ke Cina. "Makara" Sa'd masih bisa ditemukan di Kanton. Tulisan-
tulisan tertentu pada momen Cina lama tentang agama Islam di Cina jelas merupakan tulisan
palsu yang dibuat oleh para tokoh agama. Pada pertengahan abad ke-8 telah dilakukan
pertukaran duta. Dalam catatan Cina abad itu, kata amir al-muminin diucapkan dengan hanmi
mo mo ni oleh Abu Al-Abbas, khalifah Dinasti Abbasiyah pertama, A bo lo ba; dan Harun, A
lun. Pada masa khalifah-khalifah itu terdapat sejumlah orang Islam yang menetap di Cina.
Pada mulanya, orang Islam itu dikenal dengan sebutan Ta syih dan kemudian Hui Hui
(pengikut Muhammad).
Di sebelah barat, para pedagang Islam telah mencapai Maroko dan Spanyol. Seribu tahun
sebelum de Lesseps, Khalifah Harun mengemuka kan gagasan tentang menggali kanal di
sepanjang Ists-mus di Suez. Namun, perdagangan di Mediterania Arab tidak pernah mencapai
kemaju an yang berarti. Laut Hitam juga tidak bisa mendukung perdagangan maritim,
meskipun pada abad ke-10 telah dilakukan perdagangan singkat melalui jalur darat ke utara
dengan orang yang tinggal di kawasan Valda. Namun, karena jaraknya yang dekat dengan
pusat kota Persia dan kota kota makmur Samarkand dan Bukhara, Laut Kaspia menjadi titik
pertemuan dagang yang favorit. Para pedagang muslim membawa kurma, gula, kapas, dan
kain wol, juga peralatan dari baja dan gelas.
Pada masa Abbasiyah, orang-orang justru mampu mengimpor barang dagangan, seperti
rempah-rempah kapur barus, dan sutra dari kawasan asia yang lebih jauh, juga mengimpor
gading, kayu eboni, dan budak kulit hitam dari Afrika. Gambaran tentang jumlah keuntungan
yang diperoleh Rothschild dan Rockefeller pada abad tersebut mungkin juga telah diraih oleh
seorang penjual permata dari Baghdad, Ibn Al Jashshashi, yang tetap kaya meskipun Al-
Muqtadir telah menyita hartanya sebesar 16 juta dinar, dan menjadi keluarga pertama yang
dikenal sebagai pengusaha permata. Para pengusaha dari Bashrah yang membawa

8
dagangannya dengan kapal laut ke berbagai negeri yang jauh, masing-masing membawa
muatan bernilai lebih dari satu juta dirham. Seorang pemilik penggilingan di Bashrah dan
Baghdad yang tidak berpendidikan mampu berderma untuk orang miskin sebesar seratus
dinar per hari, dan kemudian diangkat oleh Al Mu'tashim menjadi wazirnya.

Tingkat aktivitas perdagangan semacam itu didukung pula oleh pengembangan industri
rumah tangga dan pertanian yang maju. Industri kerajinan tangan menjamur di berbagai
pelosok kerajaan. Daerah Asia Barat menjadi pusat industri karpet, sutra, kapas, dan kain
wol, satin dan brokat (dibaj), sofa (dari bahasa Arab, suffah) dan kain pembungkus bantal,
juga perlengkapan dapur dan rumah tangga lainnya. Mesin penganyam Persia dan Irak
membuat karpet dan kain berkualitas tinggi. Ibu Al-Musta'in memiliki sehelai karpet yang
dipesan khusus seharga 130 juta dirham dengan corak berbagai jenis burung dari emas yang
dihiasi batu rubi dan batu-batuan indah lainnya. Sebuah pusat industri di Baghdad yang
namanya diambil dari nama seorang pangeran Umayyah, Attab, memberi merek kain
buatannya dengan 'attabi yang pertama kali dibuat di sana pada abad ke-12. Kain tersebut
ditiru oleh perajin Arab di Spanyol, dan terkenal di Perancis, Italia, dan negara lainnya
dengan nama tabi. Istilah tersebut kemudian berubah menjadi tabby, yang merujuk pada
seekor kucing yang unik dan berwarna. Kufah memproduksi kain sutra atau separuh sutra
untuk penutup kepala yang masih digunakan hingga sekarang dengan nama kuftyah. Tawwaj,
Fasa, dan kota kota lainnya di Paris memiliki sejumlah pabrik kelas satu yang membuat
karpet, sulaman, brokat, dan gaun panjang untuk kalangan atas. Barang barang semacam itu
dikenal sebagai thiraz (dari bahasa Persia) yang memuat nama atau kode sultan.

5. Perkembangan Bidang Pertanian


Bidang pertanian maju pesat pada awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah karena pusat
pemerintahannya berada di daerah yang sangat subur, ditepian sungai yang dikenal dengan
nama Sawad. Pertanian merupakan sumber utama pemasukan negara dan pengolahan tanah
hampir sepenuhnya dikerjakan oleh penduduk asli, yang statusnya mengalami peningkatan
pada masa rezim baru. Lahan-lahan pertanian yang terlantar, dan desa desa yang hancur di
berbagai wilayah kerajaan diperbaiki dan dibangun kembali secara bertahap. Daerah rendah
di lembah Tigris-Efrat, yang merupakan daerah terkaya setelah Mesir, dan dipandang sebagai
surga Aden, mendapat perhatian khusus dari pemerintah pusat. Mereka membuka kembali
saluran irigasi yang lama dari sungai Efrat, dan membuat saluran irigasi baru sehingga
membentuk sebuah "jaringan yang sempurna". Ada 113 Kanal besar pertama, yang disebut

9
Nahr 'Isa setelah digali kembali oleh keluarga Al-Manshur, menghubungkan aliran sungai
Efrat di Anbar sebelah barat laut dengan sungai Tigris di Baghdad. Salah satu cabang utama
Nahr 'Isa adalah Sharah. Kanal terbesar kedua adalah Nahr Sharshar, yang bertemu dengan
sungai Tigris di daerah Madain. Kanal ketiga adalah Nahr Al-Malik ("sungai raja"), yang
tersambung ke sungai Tigris di bawah Madain. Di bawah dua sungai itu terdapat Nahr Kutsa
dan Sharah Besar, yang mengairi sejumlah saluran. Kanal lainnya, Dujayl (sungai yang lebih
kecil dari Diljah, Tigris), yang awalnya menghubungkan Tigris dengan Efrat, semakin
dangkal pada abad ke-10, dan nama itu kemudian menjadi nama kanal baru berbentuk oval,
yang merupakan cabang dari sungai Tigris di bawah Kadisiyah dan membuat beberapa
cabang lain sebelum akhirnya bertemu kembali dengan sungai Tigris. Kanal lainnya yang
kurang penting adalah Nahr Ash-Shilah yang digali di Wash oleh Al-Mahdi. Para ahli
geografi Arab menyebutkan beberapa khalifah yang "menggali" atau "membuka" "saluran",
yang dalam kebanyakan kasus, sebenarnya hanya menggali dan membuka kembali kanal-
kanal yang pernah ada sebelumnya sejak masa Babilonia. Di Irak dan Mesir, yang dilakukan
adalah mengaktifkan kembali jaringan kanal lama. Bahkan, sebelum Perang Dunia Pertama,
Sir William Willcock yang ditugaskan oleh pemerintahan Utsmani untuk mengkaji persoalan
irigasi di Irak, merekomendasikan untuk membuka lagi aliran sungai yang lama, daripada
membangun kanal-kanal baru.
Tanaman asli Irak terdiri atas gandum, padi, kurma, wijen, kapas, dan rami. Daerah yang
sangat subur berada di bantaran tepian sungai ke selatan, Sawad, yang menumbuhkan
berbagai jenis buah dan sayuran, yang tumbuh di daerah panas maupun dingin. Kacang,
jeruk, terong, tebu, dan beragam bunga, seperti bunga mawar dan violet juga tumbuh subur.

6. Islamisasi Masyarakat
Sebanyak 5.000 orang Kristen Banu Tanukh di dekat Alleppo meng ikuti perintah
Khalifah Al-Mahdi untuk masuk Islam. Proses konversi secara normal berjalan lebih gradual,
damai, dan bersifat pasti. Keba nyakan konversi yang dilakukan oleh penduduk taklukan
didorong oleh motif kepentingan individu, agar terhindar dari pajak dan sejumlah aturan lain
yang membatasi, agar mendapat prestise sosial dan pengaruh politik, serta menikmati
kebebasan dan keamanan yang lebih besar. Penduduk Persia baru beralih ke agama Islam
pada abad ketiga setelah wilayah itu dikuasai Islam. Sebelumnya mereka menganut
Zoroaster.

10
7. Bidang Kedokteran
Dari tulisan Ibn Maskawayh, kita mendapatkan sebuah risalah sis tematik berbahasa Arab
paling tua tentang optalmologi. Belakangan ini, sebuah buku berjudul Al-'Asyr Maqalat fi
Al-'Ayn (Sepuluh Risalah tentang Mata) yang dianggap sebagai karya muridnya, Hunayn ibn
Ishaq, telah diterbitkan dalam bahasa Inggris sebagai buku teks tentang optalmologi paling
awal yang kita miliki. Minat orang Arab terhadap ilmu kedokteran oleh hadis Nabi yang
membagi pengetahuan ke dalam dua kelom pok: teologi dan kedokteran. Dengan demikian,
seorang dokter sekaligus merupakan seorang teolog.
Ali ibn Al-Abbas (Haly Abbas, w. 994), yang awalnya menganut ajaran Zoroaster,
sebagaimana terlihat dari namanya, Al-Majusi, dikenal sebagai penulis buku Al-Kitab Al-
Maliki (buku raja, Liber regius), yang ia tulis untuk Raja Buwayhi, Adhud Ad-Dawlah Fanna
Khusraw, yang memerintah antara 949 hingga 983. Karya ini yang disebut juga Kamil Ash
Shind'ah Ath-Thibbiyah, sebuah "kamus penting yang meliputi pengetahuan dan praktik
kedokteran".
Nama paling terkenal dalam catatan kedokteran Arab setelah Ar-Razi adalah Ibn Sina
(Avicenna, yang masuk ke bahasa Latin melalui bahasa Ibrani, Aven Sina, 980-1037), yang
disebut oleh orang Arab sebagai Asy Syaikh Ar-Ra'is, "pemimpin" (orang terpelajar) dan
"pangeran" (para pejabat). Ar-Razi lebih menguasai kedokteran daripada Ibn Sina, sedangkan
Ibn Sina lebih menguasai filsafat daripada Ar-Razi. Dalam diri seorang dokter, filosof, dan
penyair inilah, ilmu pengetahuan Arab mencapai titik puncaknya dan berinkarnasi.Di antara
karya-karya ilmiahnya, dua buku yang paling unggul adalah Kitab Asy-Syifa' (buku tentang
penyembuhan), sebuah buku ensiklopedia filsafat yang didasarkan atas tradisi Aristotelian
yang telah dipengaruhi oleh neo-Platonisme dan teologi Islam, serta Al-Qanun fi Ath-Thibb,
yang merupakan kodifikasi pemikiran kedokteran Yunani-Arab. Teks berbahasa Arab dari
buku Al-Qanun diterbitkan di Roma pada 1593, dan kemudian menjadi salah satu buku
berbahasa Arab tertua yang pernah diterbitkan. Diterjemahkan ke bahasa Latin oleh Gerard
dari Cremona pada abad ke 12, buku tersebut, dengan seluruh kandungan ensiklopedisnya,
susunannya yang sistematis, dan penuturannya yang filosofis, segera menempati posisi
penting dalam literatur kedokteran masa itu, menggantikan karya-karya Galen, Ar-Razi, dan
Al-Majusi, serta menjadi buku teks pendidikan ke dokteran di sekolah-sekolah Eropa.

11
8. Pendidikan, Perpustakaan, dan Toko Buku
Lembaga pendidikan Islam pertama untuk pengajaran yang lebih tinggi tingkatannya
adalah Bait Al-Hikmah (Rumah Kebijakan) yang didirikan oleh Al-Ma'mun (830 M.) di
Baghdad, ibukota negara. Selain berfungsi sebagai biro penerjemahan, lembaga ini juga
dikenal sebagai pusat kajian akademis dan perpustakaan umum, serta memiliki sebuah
observatorium. Pada saat itu, observatorium-observatorium yang banyak bermunculan juga
berfungsi sebagai pusat-pusat pembelajaran astronomi. Fungsi lembaga itu persis sama
dengan rumah sakit, yang pada awal kemunculannya sekaligus berfungsi sebagai pusat
pendidikan kedokteran. Akan tetapi, akademi pertama yang menyediakan berbagai kebutuhan
fisik untuk mahasiswanya, dan menjadi model bagi pembangunan akademi-akademi lainnya
adalah Nizhamiyah yang didirikan pada tahun 10651-1067 oleh Nizham Al-Mulk, seorang
menteri dari Persia pada kekhalifahan Bani Saljuk, Sultan Alp Arslan, dan Maliksyah, yang
juga merupakan penyokong Umar Al-Khayyam. Dinasti Saljuk, sebagaimana Dinasti
Buwaihiyah dan sultan-sultan non-Arab lainnya yang mengemban kekuasaan besar atas
kehidupan umat Islam, bersaing satu sama lain dalam hal pengembangan seni dan pendidikan
yang lebih tinggi.
Perpustakaan (khizanat al-kutub) dibangun di Syiraz oleh penguasa Buwaihi, Adud Ad-
Dawlah (977-982) yang semua buku-bukunya disusun di atas lemari-lemari, didaftar dalam
katalog, dan diatur dengan baik oleh staf administrator yang berjaga secara bergiliran. Pada
abad yang sama, kota Bashrah memiliki sebuah perpustakaan yang di dalamnya para sarjana
bekerja dan mendapatkan upah dari pendiri perpustakaan. Dan kota Rayy terdapat sebuah
tempat yang disebut Rumah Buku. Dikatakan bahwa tempat itu menyimpan ribuan manuskrip
yang diangkut oleh lebih dari empat ratus ekor unta. Seluruh naskah itu kemudian didaftar
dalam sepuluh jilid katalog.
Selain perpustakaan, gambaran tentang budaya baca pada periode ini bisa juga dilihat dari
banyaknya toko buku. Toko-toko itu, yang juga berfungsi sebagai agen pendidikan, mulai
muncul sejak awal kekhalifahan Abbasiyah. Al-Ya'qub meriwayatkan bahwa pada masanya
(sekitar 891) ibukota negara diramaikan oleh lebih dari seratus toko buku yang berderet di
satu ruas jalan yang sama. Sebagian toko tersebut, sebagaimana toko-toko yang muncul di
Damaskus dan Kairo.

12
C. Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Faktor-faktor Penyebab Kemunduran dan kehancuran :
a. Faktor intern
1). Kemewahan hidup di kalangan penguasa
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Dinasti
Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah,
bahkan cenderung mencolok. Setiap khalifah cenderung ingin lebih mewah daripada
pendahulunya. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional asal Turki untuk
mengambil alih kendali pemerintahan.

2) Perebutan kekuasaan antara keluarga Bani Abbasiyah


Perebutan kekuasaan dimulai sejak masa Al-Ma'mun dengan Al Amin. Ditambah
dengan masuknya unsur Turki dan Parsi. Setelah Al Mutawakkil wafat, pergantian khalifah
terjadi secara tidak wajar. Dari kedua belas khalifah pada periode kedua Dinasti Abbasiyah,
hanya empat orang khalifah yang wafat dengan wajar. Selebihnya, para khalifah itu wafat
karena dibunuh atau diracun dan diturunkan secara paksa.

3) Konflik keagamaan
Sejak terjadinya konflik antara Muawiyah dan Khalifah Ali yang berakhir dengan
lahirnya tiga kelompok umat: pengikut Muawiyah, Syi'ah, dan Khawarij, ketiga kelompok ini
senantiasa berebut pengaruh. Yang senantiasa berpengaruh pada masa kekhalifahan
Muawiyah maupun masa kekhalifahan Abbasiyah adalah kelompok Sunni dan kelompok
Syi'ah. Walupun pada masa-masa tertentu antara kelompok Sunni dan Syi'ah saling
mendukung, misalnya pada masa pemerintahan Buwaihi, antara kedua kelompok tak pernah
ada satu kesepakatan.

b.Faktor ekstern
1) Banyaknya pemberontakan
Banyaknya daerah yang tidak dikuasai oleh khalifah, akibat kebijakan yang lebih
menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam, secara real, daerah-daerah itu
berada di bawah kekuasaan gubernur-gubernur yang bersangkutan. Akibatnya, provinsi-
provinsi tersebut banyak yang melepaskan diri dari genggaman penguasa Bani Abbas.
Adapun cara provinsi-provinsi tersebut melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad adalah:

13
Pertama, seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh
kemerdekaan penuh, seperti Daulah Umayah di Spanyol dan Idrisiyah di Maroko. Kedua,
seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah, kedudukannya semakin bertambah
kuat, kemudian melepaskan diri, seperti daulat Aglabiyah di Tunisia dan Thahiriyah di
Kurasan.

2) Dominasi Bangsa Turki


Sejak kesembilan, kekuatan militer Abbasiyah mulai mengalami kemunduran.
Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah mempe kerjakan orang-orang profesional di
bidang kemiliteran, khususnya tentara Turki, kemudian mengangkatnya menjadi panglima-
panglima. Pengangkatan anggota militer inilah, dalam perkembangan selanjut nya, yang
mengancam kekuasaan khalifah. Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut.
Walaupun khalifah dipegang oleh Bani Abbas, di tangan mereka, khalifah bagaikan boneka
yang tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan, merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah
yang sesuai dengan politik mereka.
Khalifah Dinasti Abbasiyah yang berkuasa pada masa kekuasaan Bangsa Turki 1.
mulai khalifah ke-10, Khalifah Al-Mutawwakil (tahun 232 H.) hingga Khalifah ke-22,
Khalifah Al-Mustaqfi Billah (Abdullah Suni-Qasim tahun 334 H). Pada masa kekuasaan
bangsa Turki II (Banu Saljuk), mulai dari khalifah ke-27, Khalifah Muqtadie bin Muhammad
(tahun 467 H.) hingga khalifah ke-37, Khalifah Musta'shim bin Mustanshir (tahun 656 H.).

3) Dominasi Bangsa Persia


Masa kekuasaan Bangsa Parsi (Banu Buyah) berjalan lebih dari 150 tahun. Pada masa
ini, kekuasaan pusat di Baghdad dilucuti dan di ber bagai daerah muncul negara-negara baru
yang berkuasa dan membuat kemajuan dan perkembangan baru.
Pada awal pemerintahan Bani Abbasiyah, keturunan Parsi bekerja sama dalam mengelola
pemerintahan dan Dinasti Abbasiyah meng alami kemajuan yang cukup pesat dalam berbagai
bidang. Pada periode kedua, saat kekhalifahan Bani Abbasiyah sedang mengadakan
pergantian khalifah, yaitu dari Khalifah Muttaqi (khalifah ke-22) kepada Khalifah Muthie'
(khalifah ke-23) tahun 334 H., Banu Buyah (Parsi) berhasil merebut kekuasaan.
Pada mulanya mereka berkhidmat kepada pembesar-pembesar dari para khalifah,
sehingga banyak dari mereka yang menjadi panglima tentara, di antaranya menjadi panglima
besar. Setelah mereka memiliki kedudukan yang kuat, para Khalifah Abbasiyah berada di
bawah telunjuk mereka dan seluruh pemerintahan berada di tangan mereka. Khalifah

14
Abbasiyah hanya tinggal namanya saja, hanya disebut dalam doa-doa di atas mimbar,
bertanda tangan di dalam peraturan dan pengumuman resmi dan nama mereka ditulis atas
mata uang, dinar, dan dirham.

D. Sebab – sebab kehancuran Dinasti Abbasiyah


a. faktor Intern
1. Lemahnya semangat patriotisme negara, menyebabkan jiwa jihad yang diajarkan
Islam tidak berdaya lagi menahan segala amukan yang datang, baik dari dalam
maupun dari luar.
2. Hilangnya sifat amanah dalam segala perjanjian yang dibuat, sehingga kerusakan
moral dan kerendahan budi menghancurkan sifat-sifat baik yang mendukung negara
selama ini. Tidak percaya pada kekuatan sendiri. Dalam mengatasi berbagai
3. Pemberontakan, khalifah mengundang kekuatan asing. Akibatnya, kekuatan asing
tersebut memanfaatkan kelemahan khalifah.
4. Fanatik madzhab persaingan dan perebutan yang tiada henti antara Abbasiyah dan
Alawiyah menyebabkan kekuatan umat Islam menjadi lemah, bahkan hancur
berkeping-keping.
Perang ideologi antara Syi'ah dari Fatimiah melawan Ahlu Sunnah dari
Abbasiyah, banyak menimbulkan korban. Aliran Qaramithah yang sangat ektrem
dalam tindakan-tindakannya yang dapat menimbulkan bentrokan di masyarakat.
Kelompok Hashshashin yang dipimpin oleh Hasan bin Shabah yang berasal dari Thus
di Parsi merupakan aliran Ismailiyah, salah satu sekte Syi'ah adalah kelompok yang
sangat dikenal kekejamannya, yang sering melakukan pembunuhan terhadap
penguasa Bani Abbasiyah yang beraliran Sunni. Pada saat terakhir dari hayatnya
Abbasiyah, Tentara Tartar yang datang dari luar dibantu dari dalam dan dibukakan
jalannya oleh golongan Awaliyin yang dipimpin oleh Alqamiy.
5. Kemorosotan ekonomi terjadi karena banyaknya biaya yang digunakan untuk
anggaran tentara, banyaknya pemberontakan dan kebiasaan. para penguasa untuk
berfoya-foya, kehidupan para khalifah dan keluarganya serta pejabat-pejabat ncgara
yang hidup mewah, jenis pengeluaran yang makin beragam, serta pejabat yang
korupsi, dan semakin sempitnya wilayah kekuasaan khalifah karena telah banyak
provinsi yang telah memisahkan diri.

15
b. faktor Ekstern
Disintegrasi, akibat kebijakan untuk lebih mengutamakan pembinaan peradaban dan
kebudayaan Islam daripada politik, provinsi-provinsi tertentu di pinggiran mulai melepaskan
dari genggaman penguasa Bani Abbasiyah. Mereka bukan sekadar memisahkan diri dari
kekuasaan khalifah, tetapi memberontak dan berusaha merebut pusat kekuasaan di Baghdad.
Hal ini dimanfaatkan oleh pihak luar dan banyak mengorbankan umat, yang berarti juga
menghancurkan Sumber Daya Manusia (SDM).
(Provinsi provinsi yang melepaskan diri dari Dinasti Abbasiyah, dijelaskan selanjutnya).
Yang paling membahayakan adalah pemerintahan tandingan Fatimiah di Mesir walaupun
pemerintahan lainnya pun cukup menjadi perhitungan para khalifah di Baghdad. Pada
akhirnya, pemerintah pemerintah tandingan ini dapat ditaklukkan atas bantuan Bani Saljuk
atau Buyah2.

2
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2008) hal.127-141

16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Zaman pemerintahan bani abbasiyah yang pertama merupakan puncak
keemasan dinasti ini. Secara politis, para khalifah juga merupakan sosok yang sangat
berkuasa sekaligus pusat kekuasaan politik dan agama. Di sisi lain kemakmuran
masyarakat berada pada level tertinggi.
Dinasti abbasiyah juga merupakan dinasti yang menciptakan konsep emas islam
dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan. Kemajuan bani abbasiyah disegala
bidang lebih baik dari bani umuayyah selain banyak tokoh-tokoh muslim yang cukup
berpengaruh sampai saat ini.

17
DAFTAR PUSTAKA

Ridjaluddin. (2013). Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Pusta Kajian Islam.


Supriyadi, Dedi. (2008). Sejarah Peradaban Islam. Bandung : Pustaka Setia.

18

Anda mungkin juga menyukai