Bab I, V, Daftar Pustaka
Bab I, V, Daftar Pustaka
SKRIPSI
Oleh:
HAMZAH SAFI’I SAIFUDDIN
NIM: 05520006
*
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Gema
Risalah Press, 1986), hlm. 98.
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
v
KATA PENGANTAR
vi
ABSTRAK
vii
DAFTAR ISI
Halaman
viii
BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ……………….. 13
A. Lokasi ……………………………………………………….. 13
DUSUN …………………………………………………………… 42
ix
B. Faktor Pendidikan …………………………………………… 44
A. Kesimpulan ………………………………………………….. 54
B. Saran-saran ………………………………………………….. 56
LAMPIRAN-LAMPIRAN
CURRICULUM VITAE
x
DAFTAR TABEL
Halaman
xi
BAB I
PENDAHULUAN
cipta, rasa, dan karsa manusia dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang
berasal dari alam sekelilingnya. Alam ini disamping memberikan fasilitas yang
dari lingkungannya. Inilah yang menjadi dasar dari kesadaran akan identitas dan
giakannya maupun yang dapat membawa kesengsaraan baginya. Sesuatu hal yang
paling ditakuti manusia adalah apa yang pasti akan dialaminya, yaitu saat manusia
menghadapi maut, yang kemudian merupakan salah satu sebab timbulnya religi.2
Pada pokoknya religi adalah penyerahan diri manusia kepada Tuhan, dalam
keyakinan bahwa manusia itu tergantung dari Tuhan, Dialah Penyelamat sejati
1
Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa (Yogyakarta : Teraju, 2003), hlm. 1.
2
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I (Jakarta : Rineka Cipta, 1996), hlm. 69.
3
N. Driyarkara S.J., Pancasila dan Religi Mencari Kepribadian Nasional (Bandung:
Jemmars, 1977), hlm. 31.
1
2
keagamaan yang dilakukan orang Jawa ada yang dinamakan dengan slametan
Menurut orang Jawa, arwah orang-orang tua sebagai nenek moyang yang
telah meninggal dunia berkeliaran sekitar tempat tinggalnya, atau sebagai arwah
keluarga yang masih hidup sehingga suatu saat arwah itu datang ke kediaman
anak keturunan. Roh-roh yang baik yaitu roh nenek moyang atau kerabat disebut
dhanyang, mbahu rekso, atau sing ngemong. Dhanyang ini dipandang sebagai roh
yang menjaga dan mengawasi seluruh masyarakat desa. Dari sinilah kemudian
timbul upacara Bersih Desa.5 Tradisi upacara semacam Bersih Desa ini masih
upacara Bersih Desa yang merupakan tradisi warisan leluhur yang dilaksanakan
4
Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII (Yogyakarta : Kurnia
Kalam Sejahtera, 1995), hlm. 97.
5
Ridin Sofwan, ”Interelasi Nilai Jawa dan Islam dalam Aspek Kepercayaan dan Ritual”,
dalam Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta : Gama Media, 2002), hlm. 127-
128.
3
oleh warga Dusun Mantup sampai sekarang. Kata merti berasal dari bahasa Jawa
yaitu petri yang berarti memetri atau memelihara. Dengan demikian Merti Dusun
sebaik mungkin. Upacara Merti Dusun ini yang menarik untuk dikaji karena
dengan do’a bersama di suatu tempat tertentu yang diyakini sebagai makam
meyakini bahwa desa (bumi) yang dihuni manusia ada roh yang menjaga dan
dengan ikrar yang disampaikan kepada Dewi Sri, dewi padi karena masyarakat
meyakini bahwa Dewi Sri yang memberikan kesuburan dan keselamatan. Sebagai
demikian ajaran yang ada dalam agama Islam secara langsung berpengaruh dalam
prosesi upacara Merti Dusun, akhirnya terjadi pergeseran tradisi dalam upacara
tersebut. Upacara rutinitas yang dilakukan sekali dalam setahun oleh masyarakat
simboliknya. Dalam tiga tahun ini yaitu tahun 2005 sampai dengan tahun 2008
6
Jodang adalah tempat untuk meletakkan hasil-hasil dari bumi untuk dishadaqahkan pada
masyarakat.
4
menyajikan sebuah jodangan atau sesaji yang dipersembahkan pada roh leluhur,
sing mbahu rekso. Karena perkembangan zaman dan banyaknya tokoh Islam yang
Dusun ini masyarakat sudah tidak lagi memohon kepada sing mbahu rekso, tetapi
memanjatkan do’a kepada Allah SWT dan mengungkapkan rasa syukur kepada
Allah SWT atas segala rahmat yang dilimpahkan-Nya, karena dalam menanam
hasil-hasil bumi tidak terkena hama sehingga bisa mendapatkan panen dengan
hasil baik. Selain itu, dalam upacara tersebut masyarakat juga memanjatkan do’a
kepada Allah SWT. Dengan keyakinan seluruh warga Dusun Mantup selalu dalam
lindungan-Nya.7
dalam tradisi upacara Merti Dusun sangat penting diteliti, karena dalam upacara
B. Rumusan Masalah
7
Wawancara dengan Bapak Subagyo, salah satu pelaku upacara Merti Dusun, Dusun
Mantup, RT 14, Kabupaten Bantul, tanggal 15 April 2009.
5
Sesuai dengan rumusan masalah ini dapat diketahui tujuan penelitian ini
yaitu:
Dusun.
Indonesia.
D. Tinjauan Pustaka
Sudah banyak yang menulis tentang upacara ritual atau tradisi. Namun
kajian yang membahas secara khusus tentang upacara adat Merti Dusun di Dusun
membahasnya. Adapun karya tulis yang pernah penulis temukan tentang topik
Skripsi yang ditulis oleh Andi Oskandar dengan judul “Makna Upacara
Merti Bumi Bagi Masyarakat Dusun Tunggul Arum Desa Wonokerto Kecamatan
Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2004. Isi dari skripsinya terfokus
mencakup beberapa aspek keagamaan meliputi nilai ibadah dan nilai dakwah,
Pada skripsi yang ditulis oleh Sukiman dengan judul “Upacara Tradisi
Bersih Desa di Desa Kartoharjo Karangmojo Magetan Ditinjau Dari Segi Mite”.
Desa Kartoharjo sampai latar belakang upacara bersih Desa dengan segala
ritusnya.
dari Fakultas Dakwah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1999. Skripsinya
7
menguraikan Urf Shahih (tradisi baik) dan Urf Fasid (tradisi buruk) yang terdapat
dalam upacara Sedekah Bumi. Pembahasan ini juga meliputi persepsi masyarakat
santri dan abangan serta usaha dakwah dari para da’i dalam menghadapi upacara
tentang makna simbolik dalam upacara Merti Dusun di Dusun Mantup Desa
E. Kerangka Teori
ritus.8 Dengan pendekatan ini penulis mencoba memaparkan situasi dan kondisi
memberi pengertian untuk mengisi latar belakang dari peristiwa sejarah yang
8
Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, Alih Bahasa Imam Khoiri (Yogyakarta
: LKiS, 2002), hlm. 17.
9
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi 1, hlm. 35-36.
8
akan menggunakan teori sebagai pedoman atau pegangan dalam suatu penelitian.
Sistem upacara dalam suatu religi berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam
atau makhluk halus lain yang semua itu merupakan sarana untuk berkomunikasi
dengan Tuhan dan penghuni dunia gaib lainnya. Penulis mengambil teori tentang
menegaskan bahwa tanpa mempelajari simbol yang dipakai dalam ritus sulitlah
orang memahami ritus dan masyarakat. Karena bidang penelitian Victor Turner
lebih berpusat pada ritus, maka simbol-simbol yang dipelajari di sini adalah
dimensi arti simbol yaitu arti eksegetik, arti operasional, dan posisional.
1. Dimensi Eksegetik
Dimensi ini meliputi penafsiran yang diberikan oleh informan asli kepada
10
Y.W. Wartaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur, Liminitas dan Komunitas
menurut Victor Turner, (Yogyakarta : Kanisius, 1990), hlm. 18.
9
2. Dimensi Operasional
Dimensi ini meliputi tidak hanya penafsiran yang diungkapkan secara verbal,
tetapi apa juga yang ditunjukkan pada pengamat dan peneliti. Dengan melihat
digunakan.
3. Dimensi Posisional
satu dengan yang lainnya. Simbol-simbol itu berasal dari relasinya dengan
Pada ritus tertentu salah satu simbol ditekankan, sedangkan pada ritus yang
lain tidak ditekankan meski dipakai. Semua ini berhubungan dengan tujuan
Dengan teori yang telah dikemukakan oleh Victor Turner mengenai ritus
apabila tanpa mempelajari simbol-simbol yang dipakai dalam ritus sulitlah orang
pergeseran makna simbolik dalam ritual upacara tradisi Merti Dusun di Dusun
tujuannya, makna yang terdapat dalam upacara tersebut bagi masyarakat yang
turut serta dalam pelaksanaan upacara Merti Dusun, sehingga dapat mengetahui
11
Y.W. Wartaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur, Liminitas dan Komunitas
menurut Victor Turner, hlm. 18-20.
10
F. Metode Penelitian
Metode pada dasarnya berarti cara yang digunakan untuk mencapai tujuan.
menggambarkan apa yang hendak dicapai dari suatu aktivitas penelitian.12 Bertitik
tolak dari penelitian ini, maka penelitian mengenai pergeseran tentang makna
Interview yaitu salah satu cara pengumpulan data dengan jalan mengadakan
diwawancarai adalah :
- Pengamat netral.
12
Sayuthi Ali, Metode Penelitan Agama (Pendekatan, Teori & Praktek) (Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 151.
13
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah (Dasar, Metode dan Teknik)
(Bandung : Tarsito, 1994), hlm. 162.
11
observasi partisipasi.
2. Seleksi Data
data yang satu dengan data yang lain. Penulis menyeleksi data atau sumber
yang ada dengan menyingkirkan data yang tidak akurat dan tidak otentik.
Untuk data yang akurat dan otentik diolah dan disimpulkan untuk dijadikan
3. Analisis Data
data berarti menguraikan data, sehingga berdasarkan data itu pada gilirannya
terhadap sumber data yang didapatkan, yaitu dari tokoh agama / tokoh
masyarakat, pengamat netral dan pelaku upacara dalam tradisi upacara Merti
Dusun. Pada tahap ini penulis melakukan penafsiran dan analisis data yang
G. Sistematika Pembahasan
memiliki tiga bagian sistematika, bab yang satu dengan bab yang lainnya saling
12
berkesinambungan. Secara garis besar skripsi ini berisi pendahuluan, isi, dan
penutup.
Untuk itu penulis akan menjelaskan dan membagi bab-bab sebagai berikut:
Bab II berisi gambaran umum lokasi Dusun Mantup, Desa Baturetno, yang
Bab III membahas mengenai upacara Merti Dusun yang meliputi antara
lain: a). asal-usul upacara Merti Dusun; b). pelaksanaan upacara Merti Dusun, di
dalamnya menguraikan waktu dan tempat upacara, persiapan upacara, dan prosesi
upacara; dan c). simbol-simbol upacara dan makna sebelum pergeseran dan
simbolik dalam upacara Merti Dusun. Dalam bab ini meliputi tiga pembahasan
antara lain: a). Faktor agama b). Faktor pendidikan; c) Faktor budaya dan d)
Respon warga Dusun Mantup dalam menyikapi pergeseran makna simbolik dalam
Bab V merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran dari
BAB II
Seperti yang telah diuraikan dalam Bab I, bahwa lokasi daerah penelitian
Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Di dalam Bab II ini akan diuraikan
A. Lokasi
Lokasi yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah Dusun Mantup
propinsi sama dengan lokasi Desa Baturetno, karena letak Dusun Mantup
Pelem, sebelah selatan Dusun Gilang, sebelah Barat dibatasi Dusun Kalangan dan
Wiyoro, dan sebelah timur di batasi oleh Desa Sendangtirto Sleman. Dusun
Mantup terdiri dari 17 RT dan 2 kampung, yaitu Mantup dan Sampangan dengan
14
Wawancara dengan Kabag Pemerintahan Desa Baturetno, pada tanggal 09 Mei 2009.
13
14
meliputi lahan sawah 62,947 ha, untuk pekarangan 12,366 ha, jalan 1,9385 ha,
selokan 0,885 ha, tanah waqaf 900 m2, dan makam 340 m2.15
Secara budaya maraknya aktifitas tradisi seperti Merti Dusun yang ada di
budaya dan ritual yang dulu selalu datang dari keraton sebagai konsekuensi
keberadaan seni adiluhung, kini mulai tumbuh dan muncul dari masyarakat secara
berjalan dengan maksimal karena keberadaan Dusun Mantup secara geografis dan
sosiologis sangatlah berdekatan dengan pusat kota Yogyakarta. Hal inilah yang
B. Kondisi Pendidikan
ke atas antara 30 % - 60 %.
15
Data Monografi Dusun Mantup, Wawancara dengan Bapak Dukuh Mantup pada
tanggal 15 Mei 2009
16
Depdikbud. Pembinaan Nilai Budaya Melalui Permainan Rakyat. Daerah Istimewa
Yogyakarta. 1998.
15
dan 8 % belum sekolah. Tingkat pendidikan yang lain mencapai sekolah lanjutan
pendidikan di Dusun Mantup masuk dalam tingkat tinggi. Untuk lebih jelasnya
Tabel 1
17
Data Monografi Dusun Mantup tahun 2008.
16
C. Kondisi Ekonomi
Tabel 2
bergantung kepada keadaan musim, akan tetapi bergantung kepada Dam yang
diambilkan dari Dusun Pelem dan dari Dusun Klampok. sehingga dalam setahun
masyarakat petani bisa menanam padi dua sampai tiga kali dalam setahun.18
Salah satu kebutuhan pokok yang menjadi ukuran ekonomi adalah keadaan
rumah. Keadaan rumah di Dusun Mantup menurut bahan bangunannya sudah baik
karena sebagian besar rumah di Dusun Mantup sudah permanen. Dalam kaitannya
dengan lingkungan rumah, sebagian besar memenuhi halaman. Untuk rumah yang
beberapa jenis pekerjaan selain pertanian, yaitu: ABRI, PNS, swasta, pedagang,
ini banyak yang membantu bekerja sebagai penghasil tambahan. Salah satu sarana
yang paling menonjol adalah banyaknya warung dan toko yang dimiliki oleh
masyarakat.
tersebut, ada suatu kewajiban untuk saling membantu atau saling tolong menolong
18
Data Monografi Dusun Mantup tahun 2008.
18
demi kepentingan bersama. Dengan demikian manusia adalah orang yang terikat
kepada masyarakatnya.
gotong royong. Kegiatan yang bersifat gotong royong tersebut, pada umumnya
masih terbatas pada lingkungan setempat yaitu di setiap RT. Hubungan sosial
yang terbentuk dalam berbagai wujud organisasi atau perkumpulan, seperti: PKK,
LPMD, Dasa Wisma, Klompen Capir, Kelompok Tani, Karang Taruna, Rismaba,
dan sebagainya.19
Kegiatan budaya yang berupa kesenian tradisional dan masih terlihat aktif
ini, sedikitnya satu tahun sekali dipertunjukkan, yaitu saat diadakan upacara Merti
Dusun. Dalam upaya mengembang kesenian karawitan ini juga diadakan latihan
rutin, untuk bapak-bapak 2 kali seminggu dan ibu-ibu 1 kali seminggu. Kemudian
Selapanan bayi (35 hari lahirnya bayi), Adeg Omah (mendirikan rumah), dan
19
Wawancara dengan Bapak Dukuh Mantup tanggal 15 Mei 2009.
20
Wawancara dengan Bapak Subagyo, salah satu warga Dusun Mantup tanggal 20 Mei
2009.
19
E. Kondisi Keagamaan
sesama manusia dan hubungan manusia dengan alamnya yang sesuai dan sejalan
penduduk 1.672 jiwa, penganut agama Islam sebesar 1.141 jiwa atau 70,15 %.
Sedangkan yang lainnya adalah penganut agama Kristen yaitu sebesar 266 jiwa
atau 16,32 %, dan penganut Katholik sebesar 220 jiwa atau 13,53 %. Sedangkan
yang memeluk agama Hindu dan Budha tidak ada. Untuk melaksanakan
Penduduk yang beragama Kristen jika akan ke Gereja masih harus pergi ke
Dusun Ngentak yang berjarak kurang lebih 1 kilometer ke arah utara. Sedangkan
Tabel 3
21
Data Monografi Dusun Mantup Tahun 2008.
20
lain:
yaitu pada malam Jum’at kliwon dengan peserta sekitar 40 orang. Sedangkan
untuk ibu-ibu dengan jumlah peserta sekitar 70 orang diadakan setiap malam
jum’at kecuali malam Jum’at kliwon. Selain kegiatan pengajian Takmir masjid
akbar di masjid pada waktu hari-hari besar Islam, yaitu pada peringatan nuzul
yang diadakan sekali dalam seminggu yaitu pada Jum’at malam. Sedangkan
untuk ibu-ibu selain pengajian juga mengadakan kegiatan iqro’ setiap Senin
21
malam dan Rabu malam yang diikuti oleh sekitar 25 orang yang bertempat di
sosial) yaitu mengumpulkan sembako berupa beras dan sarimi dari anggota
oleh remaja.
Kegiatan rutinitas keagamaan untuk remaja diadakan setiap bulan tiga kali
yaitu minggu pertama, kedua, dan ketiga pada setiap Kamis malam. Untuk
minggu ketiga Bioskop Rismaba. Jumlah peserta dalam acara ini sekitar 35
orang, namun pada waktu acara tadarusan peserta menjadi berkurang hingga
20 % atau menjadi 28 peserta. Hal ini terjadi karena bagi peserta yang belum
klasikal dalam tadarus, ternyata jumlah peserta tetap seperti semula yaitu
sekitar 28 orang.23
22
Wawancara dengan Pengurus Takmir Masjid Baiturrohim Bapak Heri Saptono tanggal
17 Mei 2009.
23
Wawancara dengan Pengurus Rismaba (Remaja Islam Masjid Baiturrohim) tanggal 20
Mei 2009.
22
pengajian yang diadakan dua minggu sekali. Adapun tempat untuk pengajian
Dari sekian banyak penduduk yang memeluk agama Islam ada sebagian
yang masih percaya akan adanya kekuatan supranatural. Oleh karena itu
nenek moyangnya. Kebiasaan yang berupa selamatan atau upacara yang sulit
upacara Merti Dusun ini tidak diadakan akan terjadi suatu bencana yang luar
sesama.
tentang ajaran Islam itu sendiri. Selain itu di Dusun Mantup juga ada
sekelompok masyarakat yang amat kuat dalam memegang teguh ajaran Islam.
berbau syirik.
didirikan oleh tokoh Islam sekitar tahun 1990-an yang dalam proses belajar
karena banyaknya santri yang mengikuti belajar ke TPA itu maka para tokoh
proses belajar-mengajar. Gedung TPA ini dibangun tingkat satu 6 tahun yang
lalu yaitu tahun 2003 yang lokasinya berada di sebelah kanan masjid.24
selamatan kematian, selamatan punya hajat dan lain-lain. Pada acara kematian
24
Wawancara dengan Pengurus Takmir Masjid Baiturrohim Bapak Heri Saptono.
24
pemakaman, mitung dina, patang puluh dina, nyatus dina, dan nyewu dina.
Muharram, maulud Nabi, Isra’ Mi’raj, menyambut bulan puasa (nyadran), nuzul
BAB III
membentuk kebudayaannya, tetapi pada dasarnya manusia lahir dan besar sebagai
dua pandangan dasariah tentang manusia. Pertama, manusia adalah salah satu
lain, yaitu manusia membudaya, atau dengan kalimat lain, manusia menciptakan
kebudayaan.27
Seperti halnya yang terjadi pada masyarakat Dusun Mantup, mereka juga
memperoleh warisan dari nenek moyangnya. Hasil budaya yang diwariskan oleh
25
Alam Garbani dipakai untuk menyebut alam kehidupan manusia sebelum ia dilahirkan
ke dunia.
26
Johanes Mardimin, Jangan Tangisi Tradisi: Transformasi Budaya Menuju Masyarakat
Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 12.
27
Johanes Mardimin, Jangan Tangisi Tradisi: Transformasi Budaya Menuju Masyarakat
Indonesia, hlm. 27.
25
26
nenek moyang kepada generasinya yaitu salah satunya berupa tradisi ritual.
Adapun tradisi ritual yang selama ini masih dilestarikan oleh masyarakat Mantup
Upacara Merti Dusun ini sebenarnya merupakan salah satu bentuk ritual
dari slametan. Masyarakat tidak dapat menceritakan sejak kapan dan siapa yang
membawa tradisi ini. Mereka hanya dapat mengatakan bahwa upacara ini sudah
dilakukan oleh nenek moyang terdahulu, kini mereka tinggal meneruskan tradisi
leluhurnya. Namun, pelaksanaan upacara Merti Dusun ini dari zaman ke zaman
an tradisi slametan Merti Dusun ini oleh Bekel digabung menjadi satu dalam satu
pelaksanaan upacara Merti Dusun diadakan setahun sekali untuk satu kampung
Adapun harinya adalah sama-sama mengambil hari Sabtu Legi malam Minggu
Pahing.
Tradisi ritual Merti Dusun ini tidak lepas dari mitos. Sebagian masyarakat
Mantup dan Sampangan masih meyakini, kalau tradisi upacara Merti Dusun ini
28
Wawancara dengan Bapak Wardi Wiyarjo, salah satu warga Dusun Mantup, tanggal 10
Maret 2009.
27
tidak dilaksanakan akan terjadi suatu bencana dan malapetaka di Dusun Mantup.
Hal ini pernah terjadi ketika sekitar tahun 1947 masehi tidak diadakan upacara
Merti Dusun kebetulan ada kejadian yang luar biasa yaitu pagebluk.29 Pada tahun
itu terjadi bencana, banyak binatang-binatang ternak yang mati dalam waktu yang
singkat. Begitu juga kejadian ini juga menimpa pada manusia dalam waktu yang
tidak begitu lama banyak orang yang meninggal. Kemudian oleh masyarakat
kejadian itu dikait-kaitkan dengan ritual Merti Dusun yang tidak dilaksanakan.
Sebagian mereka meyakini bahwa di Dusun Mantup ini ada yang melindunginya
yaitu Sing Mbau Rekso. Dengan tidak diadakannya ritual Merti Dusun itu Sing
kambing itu dilaksanakan oleh masyarakat hanya sekali. Selanjutnya untuk tahun-
29
Pagebluk adalah esok loro sore tekane pati, sore loro esok tekane pati (pagi sakit, sore
meninggal, sore sakit pagi meninggal) maksudnya banyak warga Mantup dan Sampangan yang
terserang penyakit, kemudian tidak lama kemudian meninggal.
28
Atas inisiatif dari pemerintah desa yaitu dari Kabag (Kepala Bagian)
Sosial yang pada waktu itu dijabat oleh Bapak Jumadi Ismintarjo yang sekarang
menjabat sebagai Kepala Desa sekitar tahun 1978 Masehi, pelaksanaan upacara
Merti Dusun di gabung menjadi satu dalam satu Dusun. Hal ini dilakukan untuk
menghemat biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat. Inisiatif ini disetujui oleh
tahun bergantian.
upacara Merti Dusun dua tahun sekali, yaitu mulai pada tahun 1987. Namun,
kebetulan yang terjadi adalah seperti pada tahun 1947 Masehi, yaitu terjadinya
pagebluk lagi, tetapi yang menjadi korban hanya manusia. Kemudian masyarakat
demikian, demi persatuan dan kesatuan warga masyarakat Dusun Mantup, tokoh
sudah banyak dimasukkan di dalamnya terutama dalam prosesi dan tujuan dari
30
Wawancara dengan Bapak Suwadi, salah satu warga Dusun Mantup, RT 3, tanggal 27
Maret 2009.
31
Wawancara dengan Bapak Abi Muryanto, selaku Dukuh di Mantup, tanggal 6 Maret
2009.
29
upacara Merti Dusun tersebut. Unsur Islam yang masuk dalam prosesi upacara
Merti Dusun ini dibawa oleh tokoh Islam yang masuk dalam kepanitiaan Merti
Dusun.
syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan karunia berupa
hasil tanaman. Oleh karena itu, masyarakat merasa perlu menyajikan sebagian
kecil dari hasil yang diterima untuk dishadaqahkan kepada sesama masyarakat.
Upacara Merti Dusun ini juga sebagai wahana pemersatu antara warga
dengan adanya upacara Merti Dusun ini seluruh masyarakat Dusun Mantup dapat
berkumpul menjadi satu di suatu tempat tanpa membedakan status sosial, status
acara berkumpul ini masyarakat mengamalkan budi pekerti yang luhur yaitu
berdo’a bersama kepada Tuhan untuk kebaikan semua dan sekaligus mendoakan
Maksud dan tujuan yang lain dari upacara Merti Dusun ini adalah sebagai
pelestarian budaya bangsa yang berakar dari budaya daerah Jawa yang adiluhung,
32
Wawancara dengan Bapak Jumadi Ismintarjo, selaku Lurah Desa Baturetno, tanggal
15 Maret 2009.
30
adanya kesenian wayang kulit ini sekaligus sebagai hiburan warga Dusun Mantup
dan sekitarnya.
1. Persiapan Upacara
pula kerja bakti yaitu bersih makam yang ada di Dusun Mantup pada hari
Minggu tanggal 6 Juli 2009. Kerja bakti ini dilakukan oleh semua warga laki-
terakhir di lokasi upacara. Pada kerja bakti ini dilakukan oleh perwakilan, per
33
Wawancara dengan Bapak Widyo Wibisono (Ketua LPMD) Dusun Mantup
tanggal 13 Mei 2009
31
jodang 1 buah yang diisi dengan hasil kebun, hasil sawah, jajan pasar dan
masing.34
Merti Dusun menunjuk beberapa orang yang dianggap mampu yaitu untuk
Bulan Rajab digunakan sebagai patokan karena pada bulan ini adalah bulan
yang baik sehingga dapat dipastikan semua petani di Dusun Mantup sudah
ini mengambil hari Sabtu Legi malam Minggu pahing. Sedangkan tanggalnya
tidak ada pedoman, yang pokok adalah mengambil hari Sabtu Legi malam
Minggu Pahing. Mengambil malam Minggu karena pada malam ini diadakan
34
Wawancara dengan Bapak Sukarman salah satu warga Dusun Mantup tanggal 20
Mei 2009
32
pentas seni wayang kulit semalam suntuk. Puncak upacara dilaksanakan pada
siang hari kurang lebih pukul 13.30 WIB dan berakhir pada pukul 17.00 WIB.
Selanjutnya pada pukul 20.30 WIB sampai waktu subuh diadakan pertunjukan
wayang kulit.
Dusun bergantian antara Mantup dan Sampangan. Pada tahun 2008 kemarin
ruangan yang luas sehingga bisa diikuti oleh banyak warga baik tua, muda,
upacara adalah panitia Merti Dusun yang diwakili oleh Bapak Jumadi
Ismintarjo selaku sesepuh desa (kepala desa) yang kebetulan bertempat tinggal
di Dusun Mantup. Kemudian pada acara puncak upacara yaitu kendhuri (doa
bersama) dipimpin oleh Rois. Peserta upacara Merti Dusun adalah sebagian
4. Prosesi Upacara
Pada hari Sabtu Legi, tanggal 12 Juli 2008, setelah salat Dhuhur,
Bapak Siswoharjono. Setiap jodang di bawa oleh 4 orang dan didampingi oleh
antaranya yang pertama yaitu dari kepala Desa Baturetno yang berisi tentang
maksud dan tujuan dari upacara Merti Dusun ini, sebagai ungkapan syukur
sehingga untuk mewujudkan rasa syukur itu warga membuat sebuah gunungan
dilaksanakan inti upacara yaitu kenduri tasyakuran doa yang dipimpin oleh
Rois. Namun, sebelum doa dimulai Rois menyampaikan kultum (kuliah tujuh
menit). Inti dari kultum ini adalah Rois menyampaikan ayat-ayat al-Qur’an
35
Wawancara dengan Kaum / Rois Dusun Mantup Bapak Jumadi, S.Pd., tanggal 4 Mei
2009.
34
Begitu juga doa untuk para leluhur, baik yang sudah hidup maupun yang
35
sudah meninggal agar selalu diberi keselamatan dan ampunan, sehingga dalam
berupa hasil kebun dan hasil sawah kepada masyarakat yang ada di lokasi
tersebut, baik orang tua maupun anak-anak. Setelah mereka mendapatkan apa
yang mereka ambil, kemudian dimakan di tempat, tetapi ada pula yang dibawa
pulang untuk dimakan bersama keluarganya. Acara ini berakhir kurang lebih
Kulit). Pagelaran Wayang Kulit ini berlangsung dari pukul 21.00 WIB sampai
menjelang subuh. Pagelaran wayang kulit ini dibuka dengan sambutan ketua
secara marathon tokoh wayang Bima (Werkudara) dari Ketua Panitia kepada
Lurah Desa Baturetno dan kepada Dalang untuk segera dimulai pagelaran
1. Simbol Upacara
36
Wawancara dengan Rois Dusun Mantup Bapak Jumadi, S.Pd.
36
yang terbentuk karena pengaruh zaman mitos, atau disebut dengan zaman
yang dibuat ini berisi nasi beserta lauk pauk, pisang, jajan pasar, dan buah-
masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rezeki
melalui tanaman yang ditanam oleh masyarakat. Ini sebagai bukti dalam
37
Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: PT. Hanindita
Graha Widya, 1987), hlm. 102.
37
masyarakat.38
pada pelaksanaan Merti Dusun tahun 2008 kemarin panitia Merti Dusun
tradisi Kraton Yogyakarta. Gunungan ini hampir sama dengan jodang karena
isi dari gunungan adalah hampir sama dengan isi yang ada dalam jodang,
namun gunungan dibuat lebih besar dari jodang dan isinyapun juga lebih
lengkap. Bentuk dari gunungan ini dari bawah dibuat besar selanjutnya ke atas
dan Sampangan yang sekian ini yang terdiri dari bermacam-macam agama,
kepercayaan, tingkat pendidikan, dan status sosialnya misinya tetap satu yaitu
ini atas permintaan wiyogo harus dibuatkan sesaji. Adapun sesaji tersebut
antara lain:
Degan krambil ijo (kelapa muda), memiliki makna kelapa muda itu
rasanya manis. Ini melambangkan rasa manis bisa dirasakan oleh para warga,
yaitu warga Mantup dan Sampangan. Hal ini dipraktekkan dalam pelaksanaan
Merti Dusun dengan harapan masyarakat bisa hidup dengan sejahtera. Janur
Tuhan Yang maha Esa agar para warga dalam mengarungi kehidupan di dunia
ini di beri nur (cahaya) keselamatan. Jajan Pasar (terdiri dari bermacam-
macam makanan yang dibeli di pasar). Jajan pasar memiliki makna untuk
memberikan gambaran kepada warga yang ada di Dusun Mantup yang dalam
asam, tingkah laku / perbuatan yang tidak benar. Kemudian ada buah-buahan
Lambang tadi sebagai contoh kepada para warga baik muda maupun tua yaitu
Tumpeng (nasi yang di atasnya diberi bawang merah dan cabe merah). Ini
40
Wawancara dengan Bapak Jumadi, Rois Dusun Mantup, tanggal 20 Mei 2009.
39
bertujuan untuk memohon berkah kepada dhanyang atau Sing Mbau Rekso
makam. Selain itu sesaji tersebut juga dipersembahkan kepada Dewi Sri
upacara Merti Dusun, selamatan kematian, selamatan punya hajat dan lain-
asalnya, yaitu mulai dari fase sebelum mengalami pergeseran tradisi dengan
Islam dan fase setelah Islam masuk dalam tradisi upacara Merti Dusun
tersebut. Hasil dari wawancara atau interview dari Bapak Dukuh, Bapak
41
Wawancara dengan Bapak Jumadi, Bapak Lurah, Bapak Dukuh dan Tokoh
Masyarakat.
40
menjalankan perintah-Nya.
Kedua, dari segi bahasa, dalam membaca doa telah dipengaruhi oleh
Merti Dusun itu di dahului dengan ikrar yang disampaikan kepada Dewi Sri.
(kuliah tujuh menit), yang menguraikan tentang syukur kepada Allah SWT
dan kemudian memohon doa kepada Allah SWT dengan harapan masyarakat
yang akan datang. Selain berdoa untuk keselamatan juga mendoakan leluhur
sudut kampung, di setiap penunggu makam baik yang ada di makam segoro
Kemudian setelah tiga tahun terakhir ini dengan inisiatif panitia, sesaji ini
42
Wawancara dengan Rois, Bapak Lurah, Bapak Dukuh dan Tokoh Masyarakat.
41
jodangan satu buah. Tujuan dari jodangan itu adalah sebagai suatu
pengumpulan atau wujud nyata dari suatu hasil bumi. Karena rasa syukur
masyarakat kepada Allah SWT, maka hasil dari bumi itu dishadaqahkan
lokasi upacara. Hal itu dilakukan oleh panitia karena waktu itu adalah
bertepatan juga dengan waktu salat Asar. Diadakannya salat Asar ini juga
BAB IV
A. Faktor Agama
akan sesuatu dan berperan penting dalam kehidupan karena dengan kehidupan
masyarakat, tokoh agama dan pelaku Merti Dusun sendiri dapat disimpulkan
berkembang. Diantaranya dalam kegiatan ibadah seperti sholat sudah banyak yang
Oleh sebab itu sesuai dengan tuntutan masyarakat modern, unsur budaya Jawa
selama ini ditangkap secara tekstual tidak sesuai lagi, perlu diberi pemaknaan
yang rasional.
43
Wawancara dengan Rois, Bapak Lurah, Bapak Dukuh dan Masyarakat Dusun Mantup.
42
43
yang mampu membuat sadar warga Dusun Mantup akan hal-hal yang tidak sesuai
dengan tuntunan ajaran Islam seperti dalam ritual tradisi upacara Merti Dusun.
Maka dari itu masyarakat Dusun Mantup mulai menyadari bahwa dengan
banyaknya hal yang berbau syirik dan musyrik di dalam pelaksanaan tradisi Merti
Dusun, warga Dusun Mantup mulai berfikir realistis. Oleh sebab itu di dalam
Tradisi upacara Merti Dusun tersebut meskipun warga tetap melaksanakan tradisi
setiap tahunnya hal-hal yang berbau syirik dan musyrik mulai dihilangkan, baik
itu dalam pelaksanaan, makna dan tujuan dalam upacara Merti Dusun mengalami
pergeseran. Di antaranya seperti sesaji yang dulu dianggap harus ada di dalam
dianggap menyekutukan Allah yang paling berperan besar adalah tokoh agama
atau Takmir Masjid Baiturrohim Mantup dan tokoh masyarakat. Salah satu takmir
masjid mengatakan bahwa memang sebagai warga di Dusun Mantup tidak bisa
tradisi yang dahulunya masih banyak hal-hal yang berbau syirik dan musyrik
sedikit demi sedikit dihilangkan.45 Namun ada beberapa hal dalam ritual tradisi
44
Wawancara dengan Dukuh Mantup Bapak Abi Muryanto tanggal 6 April 2009.
45
Wawancara dengan Bapak H. Jumarudin, M.Pd sekretaris takmir masjid Baituttohim
di Dusun Mantup tanggal 29 April 2009.
44
upacara Merti Dusun yang tetap dipertahankan, tetapi maknanya atau tujuannya
yang semula ditujukan kepada para penunggu desa atau roh-roh para leluhur yang
melindungi desa, sekarang sudah dirubah tujuannya dan ditujukan kepada Allah
SWT yang telah memberikan keselamatan, kesuburan dan pekerjaan dan membuat
Dusun Mantup yang makmur sehingga panen dari hasil dari bertani juga
melimpah.46
makna simbolik dalam tradisi Merti Dusun di Dusun Mantup dan peran dari
Takmir Masjid dan tokoh masyarakat begitu dominan dalam pergeseran tersebut.
B. Faktor Pendidikan
makna dalam suatu tradisi yang telah berlaku dalam masyarakat. Sehingga tradisi
yang bersifat turun temurun ini akan dimungkinkan terjadinya sosialisasi pada
Hal tersebut dapat dilihat dari tingkat kesadaran yang tinggi dari orang tua untuk
bahwa masyarakat telah mempunyai pola pikir yang maju. Pendidikan sangat
46
Wawancara dengan Sie Dakwah Takmir Masjid Baiturrohim Bapak Supardiyono
tanggal 26 Maret 2009.
45
Dusun yang ada di Dusun Mantup yang disebabkan oleh kemajuan ilmu
dikatakan bahwa kesadaran akan arti pentingnya pendidikan sudah cukup tinggi.
Dengan melihat tingginya kesadaran masyarakat akan arti pendidikan, maka ini
berdampak pula terhadap cara berpikir dan bekerja sama antar sesama, sehingga
dengan ilmu yang dimiliki mereka mulai berpikir rasional terhadap tradisi upacara
Merti Dusun. Hal-hal yang tak rasional mulai mereka hilangkan dan hal-hal /
ritual yang dilaksanakan dalam upacara Merti Dusun dirubah sedemikian rupa
menggeser makna dan tujuan yang dianggap tidak rasional menjadi rasional.
C. Faktor Budaya
Yang Maha Tinggi dan Maha Kuasa yang sering mereka namakan Sing
Sing Mohokuwoso ini. Akan tetapi, mereka minta atau menyuruh roh-roh
(animisme) dan daya kekuatan gaib (dinamisme) dengan cara yang tidak
rasional.
47
Wawancara dengan Bapak H. Jumarudin, M.Pd tanggal 20 Maret 2009.
46
yang teratur dan mungkin di bawah pemerintahan atau kepala adat desa,
dan semua yang bergerak dianggap hidup dan mempunyai kekuatan gaib
atau mempunyai roh yang berwatak baik maupun jahat. Dengan dasar
samping segala roh yang ada tentulah ada roh yang paling berkuasa dan
lebih kuat dari manusia. Untuk menghindarkan gangguan dari roh itu dan
48
Anasom, dkk. (ed.), Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa (Yogyakarta: Gama
Media, 2004), hlm. 18.
47
b. Kebudayaan Islam
49
Budiono, Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa, hlm. 98.
50
Wawancara dengan Bapak Siswoharsono, tanggal 6 Maret 2006.
48
yang diterima oleh nabi dari Allah SWT ini adalah Islam yang murni, yang
adalah agama yang ada karena Allah telah menurunkannya untuk seluruh
untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu
bentuk yang lebih teknis, keyakinan pokok Islam dirumuskan dalam enam
unsur yang disebut Rukun Iman, yaitu: Iman kepada Allah, malaikat,
pokok Islam tercakup dalam lima unsur, yang disebut Rukun Islam, yaitu
wujud penghormatan kepada dhanyang atau yang menunggu kampung dan yang
zaman tradisi Merti Dusun digabung menjadi satu dalam satu kampung. Dengan
budaya yang sangat tinggi, sehingga masyarakat perlu untuk melestarikan budaya
oleh masyarakat, pelaku upacara, maupun aparat pemerintah setempat. Hal ini
terlihat dengan adanya partisipasi dari semua pihak dalam pelaksanaan upacara
tersebut.51
Dusun yang sangat menarik khususnya di masyarakat Jawa adalah pakaian adat
Wayang kulit ini selain sebagai hiburan atau tontonan secara simbolis juga bisa
dijadikan sebagai tuntunan dalam hidup manusia karena dalam wayang itu
merupakan salah satu kebudayaan daerah yang selalu dilestarikan dan sekaligus
menjadi aset wisata budaya. Begitu juga pada pertunjukan wayang kulit dari dulu
pada mulanya ditujukan kepada Sing Mbau Rekso sudah berubah tujuan dan
keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat yang akan datang.
dosanya dan diterima amalnya oleh Allah SWT, selain itu adanya unsur-unsur
Islam baik itu dalam pelaksanaan, makna dan tujuan dari tradisi Merti Dusun
tersebut. Dan tradisi Merti Dusun adalah merupakan salah satu sarana yang bisa
Yogyakarta.
masyarakat itu dilihat sebagai suatu proses yang senantiasa berubah dan
berkembang dari satu tahap ke tahap berikutnya. Ritus mempunyai makna dan
oleh karena itu mereka dalam memaknai ritual dalam pelaksanaan upacara Merti
yang terjadi.
53
Y.W. Wartaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur, Liminitas dan Komunitas
menurut Victor Turner, hlm. 72.
51
Simbolik
Islam, dengan melaksanakan kewajibannya selaku hamba Tuhan yang selalu taat
kepada-Nya, namun sebagian dari umat Islam itu sendiri masih kurangnya
pemahaman mengenai ajaran Islam yang sesungguhnya. Hal ini dapat terlihat dari
sebagian dari mereka masih meyakini bahwa di kampung mereka ada yang
Dalam upacara Merti Dusun ini tidak semua masyarakat menganggap itu
sebagai hal yang sakral, akan tetapi masyarakat melaksanakan upacara ini adalah
sebagai upaya melestarikan budaya yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya.
Selain melestarikan budaya leluhur dalam pelaksanaan upacara Merti Dusun ini
juga melestarikan budaya bangsa yang berakar dari budaya Jawa khususnya
Islam. Hal ini karena sebagian tokoh agama ikut dalam melestarikan tradisi
upacara Merti Dusun dan masuk sebagai panitia Merti Dusun. Sedikit demi
sedikit tradisi upacara Merti Dusun dalam pelaksanaannya dikemas dalam ajaran
Islam oleh panitia Merti Dusun, Dengan demikian, prosesi dan tujuan dari
54
Wawancara dengan Rois Dusun Mantup, tanggal 20 Maret 2009.
52
upacara Merti Dusun ini tetap dilaksanakan karena upacara Merti Dusun
merupakan suatu tradisi kebudayaan hasil dari warisan leluhur, yang sekarang
sudah langka sehingga perlu dilestarikan. Secara garis besar masyarakat Dusun
Mantup ada tiga kelompok yang menyikapi upacara Merti Dusun ini: Pertama,
kelompok pemeluk agama Islam yang kuat (kaum santri). Kaum ini menganggap
nenek moyang mereka tanpa adanya suatu pelanggaran agama, walaupun sedikit
ada pelanggaran agama, namun tidak bermasalah karena pelanggaran agama itu
dilakukan oleh perorangan bukan atas nama panitia. Mereka yang masih
melaksanakan pelanggaran ajaran Islam adalah para orang tua yang masih kental
sesajen.55
Kedua, kelompok pemeluk agama Islam tetapi masih kental dengan ajaran
positif. Bagi masyarakat yang penting upacara ritual itu tetap dilaksanakan, akan
tetapi sebagian yang lain merespon dengan negatif. Hal ini karena mereka masih
seperti sesajen itu kurang lengkap, maka di Dusun Mantup akan ada suatu
bencana atau terjadi banyak orang yang meninggal dalam waktu yang dekat.
55
Wawancara dengan Bapak Muh. Soeb warga Dusun Mantup, tanggal 3 Juni 2009.
53
Adapun yang merespon positif adalah kaum abangan yang masih muda,
upacara itu diwarnai dalam Islam tetapi bagi kaum Kristiani tetap mengikuti
upacara itu bersama-sama dengan kaum Muslim. Akan tetapi ketika acara doa
dibacakan oleh Rois bagi kaum non-Muslim bersikap diam dan berdoa menurut
tidak ada suatu sikap perpecahan pada masyarakat walaupun respon mereka
berbeda. Perbedaan ini cuma dalam keyakinan saja tetapi dalam lahirnya mereka
tetap bersikap hidup damai, sikap gotong royong, membangun kerukunan antar
56
Wawancara dengan Bapak FX. Sutopo salah satu warga yang beragama Kristen di
Dusun Mantup tanggal 2 Mei 2006.
54
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
tujuan untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rezeki melalui tanaman yang ditanam oleh masyarakat dan
keyakinan atau dorongan naluri yang kuat atau karena adanya perasaan
khawatir akan hal-hal yang tidak diinginkan (mara bahaya), tetapi kadang-
kadang juga merupakan kebiasaan rutin saja untuk melestarikan tradisi yang
lalu.
Upacara Merti Dusun ini juga sebagai wahana pemersatu antara warga
Sehingga dengan adanya upacara Merti Dusun ini seluruh masyarakat Dusun
status sosial, status ekonomi, kepercayaan, agama, derajat, pangkat, dan lain
sebagainya.
54
55
ini mengambil hari Sabtu Legi malam Minggu pahing. Sedangkan tanggalnya
tidak ada pedoman, yang pokok adalah mengambil hari Sabtu Legi malam
Minggu Pahing. Mengambil malam Minggu karena pada malam ini diadakan
pentas seni wayang kulit semalam suntuk. Puncak upacara dilaksanakan pada
siang hari kurang lebih pukul 13.30 WIB dan berakhir pada pukul 17.00 WIB.
Selanjutnya pada pukul 20.30 WIB sampai waktu subuh diadakan pertunjukan
wayang kulit.
antaranya yaitu:
kepada roh para leluhur sekarang ditujukan sebagai ungkapan rasa syukur
b. Perlengkapan upacara Merti Dusun yaitu berupa jodang yang berisi dari
Dusun ada tiga faktor yaitu faktor agama, faktor pendidikan dan faktor
budaya. Dengan demikian yang terjadi dalam Masyarakat Dusun Mantup juga
56
mereka dalam memaknai ritual dalam pelaksanaan upacara Merti Dusun pun
Merti Dusun tersebut ada tiga kelompok, yaitu: kelompok santri, abangan, dan
negatif. Kelompok yang merespon negatif ini adalah warga masyarakat yang
masih percaya dengan adanya animisme, mereka itu adalah warga masyarakat
B. Saran-saran
upacara Merti Dusun, karena dalam upacara tersebut terdapat nilai-nilai luhur
hari dan sekaligus sebagai upaya melestarikan seni dan budaya daerah untuk
2. Dengan adanya pergeseran makna simbolik dalam upacara Merti Dusun, maka
semacam Merti Dusun ini lebih bisa digarap secara sinergis, sehingga bisa
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Sayuti. Metode Penelitian Agama (Pendekatan, Teori & Praktek). Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada. 2002. (SR 200.72 ALI m)
Connoly, Peter. Aneka Pendekatan Study Agama. Alih Bahasa Imam Khoiri.
Yogyakarta : LKIS. 2002. (SR 200.1 ANE a)
Harun, Yahya. Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII. Yogyakarta:
Kurnia kalam Sejahtera, 1995. (SR 2x9. 6598 JAH j)
Simuh. Islam dan Pergumulan Budaya Jawa. Yogyakarta : Teraju, 2003. (SR
2x6.709 SIM i)
58
59
Sofwan, Ridin. Interelasi Nilai Jawa dan Islam dalam Aspek Kepercayaan dan
Ritual. Dalam Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta :
Gama Media, 2002.