Anda di halaman 1dari 76

TRADISI UPACARA MERTI DUSUN DI DUSUN

MANTUP, BATURETNO, BANGUNTAPAN, BANTUL


(Studi Perspektif Pergeseran Tradisi)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin


Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh:
HAMZAH SAFI’I SAIFUDDIN
NIM: 05520006

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2009
HALAMAN MOTTO

Artinya: “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu


bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya),
jika kamu orang-orang yang beriman” . (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 114)*

*
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Gema
Risalah Press, 1986), hlm. 98.

iv
HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada:


Ibuku yang telah mengaliri darahku dengan cinta kasih,
Bapakku yang telah mengukir jiwaku dengan akal budi,
dan saudara-saudaraku tersayang.

v
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, penulis haturkan kehadirat Ilahi Rabbi yang


telah memberikan karunia berupa kekuatan lahir dan batin sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Agung
Muhammad SAW, kepada kerabatnya, dan sahabat-sahabatnya serta pada umat Islam
lainnya.
Penulis menyadari, bahwa tulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa
adanya bantuan, dorongan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu
penulis hanya mampu menghaturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, beserta stafnya.
2. Dekan dan Para Dosen di lingkungan fakultas Ushuluddin.
3. Bapak Drs. Rahmat Fajri, M.Ag selaku Ketua Jurusan Perbandingan Agama.
4. Bapak Drs. Muhammad Damami, M.Ag. selaku Dosen Pembimbing dalam
penulisan skripsi ini.
5. Segenap aparatur pemerintah desa dan tokoh masyarakat, tokoh agama dan
para informan Dusun Mantup yang telah banyak memberikan data dalam
penulisan skripsi ini.
6. Bapak dan Ibu yang selalu memberikan dorongan sampai terselesaikannya
penulisan skripsi ini.
7. Teman-teman satu jurusan angkatan 2005 dan teman-temanku yang selalu
memberikan semangat dan dorongan sampai terselesaikannya skripsi ini.
Akhirnya penulis hanya mampu berdo’a semoga segala bantuan yang
mereka berikan memperoleh imbalan yang lebih bermakna dari Allah SWT. Amien
ya Rabbal ‘Alamien.
Yogyakarta, 25 Juli 2009
Penulis

Hamzah Safi’i Saifuddin

vi
ABSTRAK

Masyarakat Dusun Mantup yang berada di wilayah Desa Baturetno,


Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, pada umumnya sama dengan
masyarakat Jawa yang kaya akan budaya dan adat istiadat. Masyarakat Dusun
Mantup mayoritas beragama Islam. Walaupun demikian dalam kehidupan
keagamaannya, masih meyakini bahwa desa (bumi) yang dihuni manusia ada roh
yang menjaga dan mengawasinya. Oleh sebab itu setiap satu tahun sekali mereka
mengadakan ritual yaitu tradisi upacara Merti Dusun. Apabila masyarakat Dusun
Mantup tidak melakukan ritual tersebut akan terjadi bencana atau malapetaka di
Dusun tersebut.
Ritual Tradisi Merti Dusun merupakan salah satu dari sekian banyak
ritual yang masih menganut kepercayaan adanya kekuatan gaib dan roh nenek
moyang, yang dalam pelaksanaannya menggunakan symbol-simbol melalui alat-alat
yang digunakan selama jalannya upacara. Benda-benda tersebut merupakan media
dan perantara yang digunakan oleh nenek moyang untuk menyampaikan pesan-
pesan.
Penelitian ini akan membahas mengenai pergeseran makna simbolik
dalam pelaksanaan tradisi Merti Dusun baik itu sebelum adanya pergeseran maupun
sesudah terjadi pergeseran. Penelitian ini merupakan penelitia lapangan dengan
menggunakan pendekatan antropologi, di mana pendekatan ini pendekatan yang
dilakukan terhadap budaya manusia yang meliputi asal-usul, kepercayaan serta ritus.
Dengan pendekatan ini penulis mencoba memaparkan situasi dan kondisi masyarakat
yaitu sistem ekonomi, pendidikan, kondisi lingkungannya dan perilaku budaya
keagamaannya. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu deskripsi,
interpretasi dan analisis. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini yaitu teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi.

vii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………… i

HALAMAN NOTA DINAS …………………………………………………… ii

HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………………. iii

HALAMAN MOTTO ………………………………………………………….. iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ……………………………………………….. v

KATA PENGANTAR …………………………………………………………. vi

ABSTRAK ……………………………………………………………………... vii

DAFTAR ISI ...…………………………………………………………………. viii

DAFTAR TABEL ……………………………………………………………… xi

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………... 1

A. Latar Belakang masalah ……………………………………... 1

B. Rumusan Masalah …………………………………………… 4

C. Tujuan dan kegunaan Penelitian …………………………….. 5

D. Tinjauan Pustaka ……………………………………………... 5

E. Kerangka Teori ... …………………………………………… 7

F. Metode Penelitian …………………………………………… 10

G. Sistematika Pembahasan …………………………………….. 11

viii
BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ……………….. 13

A. Lokasi ……………………………………………………….. 13

B. Kondisi Pendidikan ………………………………………….. 14

C. Kondisi Ekonomi ……………………………………………. 16

D. Kondisi Sosial Budaya ………………………………………. 17

E. Kondisi Keagamaan …………………………………………. 19

BAB III DESKRIPSI TRADISI UPACARA MERTI DUSUN ………….... 25

A. Latar Belakang ………………………………………………. 25

B. Pelaksanaan Upacara Merti Dusun ………………………….. 30

1. Persiapan Upacara ……………………………………… 30

2. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Upacara……………….. 31

3. Pemimpin dan Peserta Upacara ………………………… 32

4. Prosesi Upacara ………………………………………… 33

C. Simbol-simbol Upacara dan Pergeseran Makna Simbolik

Tradisi Merti Dusun …………………………………………. 35

1. Simbol Upacara ………………………………………… 35

2. Pergeseran Makna Simbolik Tradisi Merti Dusun ……... 38

BAB IV FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERGESERAN TRADISI

TENTANG MAKNA SIMBOLIK DALAM TRADISI MERTI

DUSUN …………………………………………………………… 42

A. Faktor Agama ………………………………………………. 42

ix
B. Faktor Pendidikan …………………………………………… 44

C. Faktor Budaya dan Kepercayaan…………………………….. 45

D. Respon Warga Dusun Mantup Terhadap Adanya Pergeseran

Makna Simbolik ....................................................................... 51

BAB V PENUTUP ………………………………………………………... 54

A. Kesimpulan ………………………………………………….. 54

B. Saran-saran ………………………………………………….. 56

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….. 58

LAMPIRAN-LAMPIRAN

CURRICULUM VITAE

x
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 : Tingkat Pendidikan Penduduk ……………………………… 15

Tabel 2 : Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian ……………... 16

Tabel 3 : Jumlah Penduduk Menurut Agama ……………….………… 19

xi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kebudayaan umumnya dikatakan sebagai proses atau hasil dari krida,

cipta, rasa, dan karsa manusia dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang

berasal dari alam sekelilingnya. Alam ini disamping memberikan fasilitas yang

indah, juga menghadirkan tantangan yang harus diatasi.1

Kemampuan otak manusia untuk membentuk gagasan-gagasan dan

konsep-konsep menyebabkan ia mampu membayangkan dirinya sendiri terlepas

dari lingkungannya. Inilah yang menjadi dasar dari kesadaran akan identitas dan

kepribadian dirinya. Akal manusia memiliki kemampuan untuk membayangkan

peristiwa-peristiwa yang mungkin menimpa dirinya, baik yang membaha-

giakannya maupun yang dapat membawa kesengsaraan baginya. Sesuatu hal yang

paling ditakuti manusia adalah apa yang pasti akan dialaminya, yaitu saat manusia

menghadapi maut, yang kemudian merupakan salah satu sebab timbulnya religi.2

Pada pokoknya religi adalah penyerahan diri manusia kepada Tuhan, dalam

keyakinan bahwa manusia itu tergantung dari Tuhan, Dialah Penyelamat sejati

manusia, bahwa manusia dengan kekuatannya sendiri tidak mampu untuk

memperoleh keselamatan dan karena-Nya ia menyerahkan dirinya.3

1
Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa (Yogyakarta : Teraju, 2003), hlm. 1.
2
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I (Jakarta : Rineka Cipta, 1996), hlm. 69.
3
N. Driyarkara S.J., Pancasila dan Religi Mencari Kepribadian Nasional (Bandung:
Jemmars, 1977), hlm. 31.

1
2

Orang Jawa yang mayoritas beragama Islam, ternyata dalam praktek

keagamaan dari sebagian mereka masih diwarnai dengan unsur kejawen

(merupakan kompleks dan keyakinan konsep Hindu-Buddha cenderung ke arah

mistik bercampur menjadi satu), sehingga mereka mencampuradukkan antara

ajaran-ajaran Islam dengan upacara-upacara kejawen. Salah satu upacara

keagamaan yang dilakukan orang Jawa ada yang dinamakan dengan slametan

yang dipimpin oleh modin.4

Menurut orang Jawa, arwah orang-orang tua sebagai nenek moyang yang

telah meninggal dunia berkeliaran sekitar tempat tinggalnya, atau sebagai arwah

leluhur menetap di makam. Mereka masih mempunyai kontak hubungan dengan

keluarga yang masih hidup sehingga suatu saat arwah itu datang ke kediaman

anak keturunan. Roh-roh yang baik yaitu roh nenek moyang atau kerabat disebut

dhanyang, mbahu rekso, atau sing ngemong. Dhanyang ini dipandang sebagai roh

yang menjaga dan mengawasi seluruh masyarakat desa. Dari sinilah kemudian

timbul upacara Bersih Desa.5 Tradisi upacara semacam Bersih Desa ini masih

dilestarikan oleh masyarakat Dusun Mantup, Desa Baturetno, Kecamatan

Banguntapan, Kabupaten Bantul. Namun, masyarakat Dusun Mantup dari dulu

sampai sekarang menggunakan istilah Merti Dusun.

Upacara Merti Dusun di Dusun Mantup ini pada hakekatnya merupakan

upacara Bersih Desa yang merupakan tradisi warisan leluhur yang dilaksanakan

4
Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII (Yogyakarta : Kurnia
Kalam Sejahtera, 1995), hlm. 97.
5
Ridin Sofwan, ”Interelasi Nilai Jawa dan Islam dalam Aspek Kepercayaan dan Ritual”,
dalam Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta : Gama Media, 2002), hlm. 127-
128.
3

oleh warga Dusun Mantup sampai sekarang. Kata merti berasal dari bahasa Jawa

yaitu petri yang berarti memetri atau memelihara. Dengan demikian Merti Dusun

mengandung pengertian memelihara Dusun, menjaga dan melestarikan dengan

sebaik mungkin. Upacara Merti Dusun ini yang menarik untuk dikaji karena

terjadinya pergeseran di kalangan masyarakat Jawa ke arah keyakinan Islam.

Upacara Merti Dusun ini dilaksanakan sekali dalam setahun.

Merti Dusun ini dilakukan oleh sebagian besar masyarakat pendukungnya

dengan do’a bersama di suatu tempat tertentu yang diyakini sebagai makam

dhanyang desa. Masyarakat Jawa, khususnya masyarakat Dusun Mantup, masih

meyakini bahwa desa (bumi) yang dihuni manusia ada roh yang menjaga dan

mengawasinya. Upacara Merti Dusun ini dalam pelaksanaannya disertai juga

dengan ikrar yang disampaikan kepada Dewi Sri, dewi padi karena masyarakat

meyakini bahwa Dewi Sri yang memberikan kesuburan dan keselamatan. Sebagai

perlengkapan upacara ini masyarakat menyediakan sebuah jodang6 yang berisi

nasi beserta lauk pauk, pisang, jajan pasar dan buah-buahan.

Masyarakat Mantup sebagian besar pemeluk agama Islam. Dengan

demikian ajaran yang ada dalam agama Islam secara langsung berpengaruh dalam

prosesi upacara Merti Dusun, akhirnya terjadi pergeseran tradisi dalam upacara

tersebut. Upacara rutinitas yang dilakukan sekali dalam setahun oleh masyarakat

di Dusun Mantup telah mengalami pergeseran tradisi yaitu tentang makna

simboliknya. Dalam tiga tahun ini yaitu tahun 2005 sampai dengan tahun 2008

pelaksanaan tradisi upacara Merti Dusun sudah berubah tujuan, semula

6
Jodang adalah tempat untuk meletakkan hasil-hasil dari bumi untuk dishadaqahkan pada
masyarakat.
4

masyarakat berdo’a untuk kesejahteraan dan ketentraman hidup dengan cara

menyajikan sebuah jodangan atau sesaji yang dipersembahkan pada roh leluhur,

sing mbahu rekso. Karena perkembangan zaman dan banyaknya tokoh Islam yang

menjadi panitia penyelenggara, sehingga dalam prosesi upacara banyak

mengalami pergeseran dan bahkan dalam prosesi upacara tersebut terdapat

praktek-praktek dalam ajaran Islam. Pada waktu pelaksanaan upacara Merti

Dusun ini masyarakat sudah tidak lagi memohon kepada sing mbahu rekso, tetapi

memanjatkan do’a kepada Allah SWT dan mengungkapkan rasa syukur kepada

Allah SWT atas segala rahmat yang dilimpahkan-Nya, karena dalam menanam

hasil-hasil bumi tidak terkena hama sehingga bisa mendapatkan panen dengan

hasil baik. Selain itu, dalam upacara tersebut masyarakat juga memanjatkan do’a

kepada Allah SWT. Dengan keyakinan seluruh warga Dusun Mantup selalu dalam

lindungan-Nya.7

Faktor yang mempengaruhi pergeseran tradisi tentang makna simbolik

dalam tradisi upacara Merti Dusun sangat penting diteliti, karena dalam upacara

tersebut telah terjadi pergeseran baik itu makna maupun tujuannya.

B. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang di atas peneliti merumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana asal-usul dan pelaksanaan upacara Merti Dusun?

7
Wawancara dengan Bapak Subagyo, salah satu pelaku upacara Merti Dusun, Dusun
Mantup, RT 14, Kabupaten Bantul, tanggal 15 April 2009.
5

2. Mengapa terjadi pergeseran tentang makna simbolik dalam upacara Merti

Dusun dan bagaimana respons warga Dusun Mantup dengan adanya

pergeseran makna simbolik tersebut?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah ini dapat diketahui tujuan penelitian ini

yaitu:

1. Menjelaskan asal-usul dan mendeskripsikan pelaksanaan upacara Merti

Dusun.

2. Menganalisis mengenai faktor yang mempengaruhi pergeseran tentang makna

simbolik dalam upacara Merti Dusun.

3. Untuk mengetahui respons masyarakat dari adanya pergeseran makna

simbolik dalam upacara Merti Dusun.

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sebagai pengetahuan bagi masyarakat setempat memahami faktor pergeseran

tradisi tentang makna simbolik dalam upacara Merti Dusun.

2. Memperluas cakrawala tentang wacana sejarah dan budaya tradisional

Indonesia.

D. Tinjauan Pustaka

Sudah banyak yang menulis tentang upacara ritual atau tradisi. Namun

kajian yang membahas secara khusus tentang upacara adat Merti Dusun di Dusun

Mantup (Studi Perspektif Pergeseran Tradisi) belum pernah ada yang


6

membahasnya. Adapun karya tulis yang pernah penulis temukan tentang topik

upacara atau tradisi di antaranya adalah:

Skripsi yang ditulis oleh Andi Oskandar dengan judul “Makna Upacara

Merti Bumi Bagi Masyarakat Dusun Tunggul Arum Desa Wonokerto Kecamatan

Turi Kabupaten Sleman (1999-2004)”. Penulis adalah mahasiswa dari Fakultas

Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2004. Isi dari skripsinya terfokus

tentang makna upacara Merti Bumi bagi masyarakat pendukungnya, yang

mencakup beberapa aspek keagamaan meliputi nilai ibadah dan nilai dakwah,

aspek sosial meliputi interaksi sosial, mengandung makna kegotong-royongan dan

kesetiakawanan, aspek hiburan serta aspek ekonomi.

Pada skripsi yang ditulis oleh Sukiman dengan judul “Upacara Tradisi

Bersih Desa di Desa Kartoharjo Karangmojo Magetan Ditinjau Dari Segi Mite”.

Penulis adalah mahasiswa dari Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta tahun 1998. Skripsinya menguraikan tentang mite dalam

hubungannya dengan upacara bersih Desa di Desa Kartoharjo Karangmojo

Magetan. Mite di sini mengambil peranannya yaitu mengungkapkan dan

memberikan segala informasi yang berhubungan dengan awal mula terbentuknya

Desa Kartoharjo sampai latar belakang upacara bersih Desa dengan segala

ritusnya.

Skripsi Safi’ul Umam dengan judul “Metode Dakwah dalam Menghadapi

Tradisi Kebudayaan Jawa (Studi Kasus Tradisi Sedekah Bumi di Desa

Karangsari, Kecamatan Kluwak, Kabupaten Pati)”. Penulis adalah mahasiswa

dari Fakultas Dakwah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1999. Skripsinya
7

menguraikan Urf Shahih (tradisi baik) dan Urf Fasid (tradisi buruk) yang terdapat

dalam upacara Sedekah Bumi. Pembahasan ini juga meliputi persepsi masyarakat

santri dan abangan serta usaha dakwah dari para da’i dalam menghadapi upacara

Sedekah Bumi yang berkembang di Desa Karangsari.

Berdasarkan beberapa bahan bacaan di atas belum ada penelitian yang

khusus meneliti tentang “Tradisi Upacara Merti Dusun di Dusun Mantup

Baturetno Banguntapan Bantul (Studi Pergeseran Tentang Makna Simbolik)”.

Oleh karena itu penulis mencoba menganalisis penyebab terjadinya pergeseran

tentang makna simbolik dalam upacara Merti Dusun di Dusun Mantup Desa

Baturetno Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul.

E. Kerangka Teori

Untuk mengulas kajian ilmiah ini penulis menggunakan pendekatan

antropologis. Yang dimaksud pendekatan antropologis, yaitu pendekatan yang

dilakukan terhadap budaya manusia yang meliputi asal-usul, kepercayaan serta

ritus.8 Dengan pendekatan ini penulis mencoba memaparkan situasi dan kondisi

masyarakat yaitu sistem ekonomi, pendidikan, kondisi lingkungannya dan

perilaku budaya keagamaannya. Antropologi juga memberi konsep-konsep

tentang kehidupan masyarakat yang dikembangkan oleh kebudayaan yang akan

memberi pengertian untuk mengisi latar belakang dari peristiwa sejarah yang

menjadi bahan pokok penelitian.9

8
Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, Alih Bahasa Imam Khoiri (Yogyakarta
: LKiS, 2002), hlm. 17.
9
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi 1, hlm. 35-36.
8

Tolok ukur mengenai Tradisi Upacara Merti Dusun di Dusun Mantup,

Baturetno, Banguntapan, Bantul (Studi Perspektif Pergeseran Tradisi), penulis

akan menggunakan teori sebagai pedoman atau pegangan dalam suatu penelitian.

Sistem upacara dalam suatu religi berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam

melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh-roh nenek moyang

atau makhluk halus lain yang semua itu merupakan sarana untuk berkomunikasi

dengan Tuhan dan penghuni dunia gaib lainnya. Penulis mengambil teori tentang

ritual yang dikemukakan oleh Victor Turner. Mempelajari ritual berarti

mempelajari simbol-simbol yang digunakan dalam ritus itu. Victor Turner

menegaskan bahwa tanpa mempelajari simbol yang dipakai dalam ritus sulitlah

orang memahami ritus dan masyarakat. Karena bidang penelitian Victor Turner

lebih berpusat pada ritus, maka simbol-simbol yang dipelajari di sini adalah

simbol-simbol ritus seperti dicontohkan pada masyarakat Ndembu10.

Victor Turner dalam mempelajari simbol adalah penemuannya akan tiga

dimensi arti simbol yaitu arti eksegetik, arti operasional, dan posisional.

1. Dimensi Eksegetik

Dimensi ini meliputi penafsiran yang diberikan oleh informan asli kepada

peneliti. Penjelasan-penjelasan / interpretasi harus digolongkan menurut ciri-

ciri sosial dan kualifikasi informan, maka yang dikembangkan adalah

eksegesis terhadap penjelasan masing-masing simbol ritual.

10
Y.W. Wartaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur, Liminitas dan Komunitas
menurut Victor Turner, (Yogyakarta : Kanisius, 1990), hlm. 18.
9

2. Dimensi Operasional

Dimensi ini meliputi tidak hanya penafsiran yang diungkapkan secara verbal,

tetapi apa juga yang ditunjukkan pada pengamat dan peneliti. Dengan melihat

dimensi operasionalnya orang mengenal dalam rangka apa simbol-simbol itu

digunakan.

3. Dimensi Posisional

Sebagian besar simbol-simbol multivokal, artinya simbol-simbol itu

mempunyai banyak arti. Di samping itu simbol-simbol juga mempunyai relasi

satu dengan yang lainnya. Simbol-simbol itu berasal dari relasinya dengan

simbol-simbol lain. Berapa arti simbol, dengan demikian menjadi relevan.

Pada ritus tertentu salah satu simbol ditekankan, sedangkan pada ritus yang

lain tidak ditekankan meski dipakai. Semua ini berhubungan dengan tujuan

ritus diadakan.11 Ditegaskan oleh Victor Turner bahwa ke 3 dimensi simbol

itu harus diambil, kalau mau menganalisa simbol-simbol ritual.

Dengan teori yang telah dikemukakan oleh Victor Turner mengenai ritus

yang apabila mempelajari ritus berarti juga mempelajari simbol-simbol. Dan

apabila tanpa mempelajari simbol-simbol yang dipakai dalam ritus sulitlah orang

memahami ritus dan masyarakatnya. Penulis mencoba untuk memaparkan

pergeseran makna simbolik dalam ritual upacara tradisi Merti Dusun di Dusun

Mantup, Baturetno, Banguntapan Bantul baik dari pelaksanaan upacara dan

tujuannya, makna yang terdapat dalam upacara tersebut bagi masyarakat yang

turut serta dalam pelaksanaan upacara Merti Dusun, sehingga dapat mengetahui

11
Y.W. Wartaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur, Liminitas dan Komunitas
menurut Victor Turner, hlm. 18-20.
10

faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pergeseran tradisi tentang makna

simbolik dalam tradisi Merti Dusun.

F. Metode Penelitian

Metode pada dasarnya berarti cara yang digunakan untuk mencapai tujuan.

Oleh karena tujuan penelitian adalah merupakan suatu pernyataan yang

menggambarkan apa yang hendak dicapai dari suatu aktivitas penelitian.12 Bertitik

tolak dari penelitian ini, maka penelitian mengenai pergeseran tentang makna

simbolik dalam upacara Merti Dusun di Dusun Mantup, Desa Baturetno,

Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul ini dilakukan dengan metode

deskriptif dalam bentuk kualitatif.

Tahapan-tahapan dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Metode Pengumpulan Sumber/Data

Dalam pengumpulan data dilakukan dengan cara interview (wawancara).

Interview yaitu salah satu cara pengumpulan data dengan jalan mengadakan

komunikasi langsung dengan subyek penyelidikan, baik dalam situasi

sebenarnya maupun dalam situasi buatan.13 Adapun Responden yang akan

diwawancarai adalah :

- Tokoh agama / tokoh masyarakat.

- Pelaku dalam upacara.

- Pengamat netral.

12
Sayuthi Ali, Metode Penelitan Agama (Pendekatan, Teori & Praktek) (Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 151.
13
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah (Dasar, Metode dan Teknik)
(Bandung : Tarsito, 1994), hlm. 162.
11

Penulis menjadikan interview sebagai sebuah metode primer dalam

pengumpulan data. Adapun sumber yang lain, seperti dokumentasi, dan

observasi partisipasi.

2. Seleksi Data

Setelah data diperoleh sebagai bahan, selanjutnya penulis membandingkan

data yang satu dengan data yang lain. Penulis menyeleksi data atau sumber

yang ada dengan menyingkirkan data yang tidak akurat dan tidak otentik.

Untuk data yang akurat dan otentik diolah dan disimpulkan untuk dijadikan

dasar dalam penelitian.

3. Analisis Data

Analisis berarti menguraikan atau memisah-misahkan, maka menganalisis

data berarti menguraikan data, sehingga berdasarkan data itu pada gilirannya

dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan

Setelah data penelitian telah terkumpul, peneliti melakukan analisis

terhadap sumber data yang didapatkan, yaitu dari tokoh agama / tokoh

masyarakat, pengamat netral dan pelaku upacara dalam tradisi upacara Merti

Dusun. Pada tahap ini penulis melakukan penafsiran dan analisis data yang

telah diperoleh yang ada hubungannya dengan judul, kemudian melakukan

penyatuan atau sintesis.

G. Sistematika Pembahasan

Penyajian penulisan karya ilmiah dalam bentuk laporan, secara umum

memiliki tiga bagian sistematika, bab yang satu dengan bab yang lainnya saling
12

berkesinambungan. Secara garis besar skripsi ini berisi pendahuluan, isi, dan

penutup.

Untuk itu penulis akan menjelaskan dan membagi bab-bab sebagai berikut:

Bab I merupakan bab pendahuluan, di dalamnya diuraikan latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka,

kerangka teoritik, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab II berisi gambaran umum lokasi Dusun Mantup, Desa Baturetno, yang

mencakup letak geografis, kondisi ekonomi, kondisi sosial budaya, kondisi

keagamaan, dan kondisi tingkat pendidikan masyarakat.

Bab III membahas mengenai upacara Merti Dusun yang meliputi antara

lain: a). asal-usul upacara Merti Dusun; b). pelaksanaan upacara Merti Dusun, di

dalamnya menguraikan waktu dan tempat upacara, persiapan upacara, dan prosesi

upacara; dan c). simbol-simbol upacara dan makna sebelum pergeseran dan

sesudah pergeseran makna simbolik.

Bab IV membahas faktor yang mempengaruhi pergeseran tentang makna

simbolik dalam upacara Merti Dusun. Dalam bab ini meliputi tiga pembahasan

antara lain: a). Faktor agama b). Faktor pendidikan; c) Faktor budaya dan d)

Respon warga Dusun Mantup dalam menyikapi pergeseran makna simbolik dalam

tradisi Merti Dusun.

Bab V merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran dari

hasil penelitian di lapangan.


13

BAB II

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Seperti yang telah diuraikan dalam Bab I, bahwa lokasi daerah penelitian

adalah Dusun Mantup, Desa Baturetno, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten

Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Di dalam Bab II ini akan diuraikan

secara keseluruhan kondisi Dusun Mantup.

A. Lokasi

Lokasi yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah Dusun Mantup

yang terletak di jalan Wonosari Km 7, Dusun Mantup, Desa Baturetno,

Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul. Dusun Mantup merupakan salah

satu dari 8 Dusun yang ada di Desa Baturetno, Kecamatan Banguntapan,

Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jarak pusat (kantor)

pemerintahan desa ke lokasi penelitian (Dusun Mantup) sekitar 200 m ke arah

timur. Sedangkan jarak Dusun Mantup ke arah kecamatan, kabupaten, dan

propinsi sama dengan lokasi Desa Baturetno, karena letak Dusun Mantup

berdampingan dengan pusat (kantor) pemerintahan desa yaitu di Dusun Wiyoro.14

Secara administratif Dusun Mantup sebelah utara di batasi oleh Dusun

Pelem, sebelah selatan Dusun Gilang, sebelah Barat dibatasi Dusun Kalangan dan

Wiyoro, dan sebelah timur di batasi oleh Desa Sendangtirto Sleman. Dusun

Mantup terdiri dari 17 RT dan 2 kampung, yaitu Mantup dan Sampangan dengan

14
Wawancara dengan Kabag Pemerintahan Desa Baturetno, pada tanggal 09 Mei 2009.

13
14

luas wilayahnya 78,5665 ha. Daerah seluas tersebut menurut penggunaannya

meliputi lahan sawah 62,947 ha, untuk pekarangan 12,366 ha, jalan 1,9385 ha,

selokan 0,885 ha, tanah waqaf 900 m2, dan makam 340 m2.15

Secara budaya maraknya aktifitas tradisi seperti Merti Dusun yang ada di

Dusun Mantup ini merupakan bentuk Desentralisasi kebudayaan. Tradisi-tradisi

budaya dan ritual yang dulu selalu datang dari keraton sebagai konsekuensi

keberadaan seni adiluhung, kini mulai tumbuh dan muncul dari masyarakat secara

langsung. Dengan demikian, rakyatlah yang menjadi pemilik langsung dari

budaya tradisi tersebut.

Partisipasi rakyat dalam melaksanakan upacara Merti Dusun dapat

berjalan dengan maksimal karena keberadaan Dusun Mantup secara geografis dan

sosiologis sangatlah berdekatan dengan pusat kota Yogyakarta. Hal inilah yang

mengindikasikan partisipasi masyarakat dalam aksi kultural tersebut.

B. Kondisi Pendidikan

Menurut Dirjen Pembangunan Desa (1983) bahwa tingkat pendidikan

dapat digolongkan menjadi tiga16:

1. Tingkat pendidikan rendah, apabila penduduk yang pendidikannya tamat SD

ke atas kurang dari 30 %.

2. Tingkat pendidikan sedang, apabila penduduk yang pendidikannya tamat SD

ke atas antara 30 % - 60 %.

15
Data Monografi Dusun Mantup, Wawancara dengan Bapak Dukuh Mantup pada
tanggal 15 Mei 2009
16
Depdikbud. Pembinaan Nilai Budaya Melalui Permainan Rakyat. Daerah Istimewa
Yogyakarta. 1998.
15

3. Tingkat pendidikan tinggi, apabila penduduk yang pendidikannya tamat SD ke

atas lebih dari 60 %.

Dengan adanya penggolongan tersebut, maka tingkat pendidikan di Dusun

Mantup termasuk golongan 3 yaitu tingkat pendidikan tinggi, karena jumlahnya

yang mencapai pendidikan SD sebanyak 30, %, sebanyak 10 % tidak tamat SD,

dan 8 % belum sekolah. Tingkat pendidikan yang lain mencapai sekolah lanjutan

masing-masing SLTP sebanyak 12 % dan SLTA sebanyak 27 %. Sedangkan

tingkat pendidikan yang mencapai akademi dan perguruan tinggi hanya 13 %.

Dengan demikian yang tamat SD ke atas sebesar 82 %, sehingga tingkat

pendidikan di Dusun Mantup masuk dalam tingkat tinggi. Untuk lebih jelasnya

dapat dilihat pada tabel I.17

Tabel 1

Tingkat Pendidikan Penduduk

No. Tingkat pendidikan Jumlah Prosentase


1. Belum sekolah 127 8
2. Tidak tamat SD 195 10
3. Tamat SD 478 30
4. Tamat SLTP 191 12
5. Tamat SLTA 429 27
6. Tamat Perguruan Tinggi 207 13
Jumlah 1.627 100,0
Sumber: Data Monografi Dusun Mantup 2008

Tingginya tingkat pendidikan di Dusun Mantup karena kondisi ekonomi

masyarakatnya rata-rata mampu, sehingga orang tua mampu menyekolahkan

17
Data Monografi Dusun Mantup tahun 2008.
16

pendidikan anaknya sampai tingkat SD. Adapun prasarana pendidikan di Dusun

Mantup yang tersedia 1 gedung TK dan 1 gedung SD.

C. Kondisi Ekonomi

Untuk mengetahui tingkat kemajuan dan kemakmuran suatu daerah dapat

dilihat keadaan sosial ekonomi masyarakat. Tingkat kemajuan masyarakat salah

satunya yaitu dengan memperhatikan tingkat pendidikan masyarakat. Dalam

uraian sebelumnya dijelaskan bahwa, tingkat pendidikan Dusun Mantup sudah

tinggi. Sedangkan tingkat kemakmuran masyarakat antara lain dapat diperhatikan

dari terpenuhinya sandang, pangan, dan papan.

Tabel 2

Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian

No. Mata pencaharian pokok Jumlah Prosentase


1. ABRI 22 2
2. PNS 118 11
3. Swasta 149 14
4. Pedagang 277 26
5. Petani 395 37
6. Buruh 85 8
7. Jasa 22 2
Jumlah 1.068 100,00
Sumber: Data Monografi Dusun Mantup Tahun 2008

Pada tabel II terlihat bahwa mayoritas penduduk Dusun Mantup bertani,

karena pertanian merupakan mata pencaharian pokoknya. Pertanian di sini tidak


17

bergantung kepada keadaan musim, akan tetapi bergantung kepada Dam yang

diambilkan dari Dusun Pelem dan dari Dusun Klampok. sehingga dalam setahun

masyarakat petani bisa menanam padi dua sampai tiga kali dalam setahun.18

Salah satu kebutuhan pokok yang menjadi ukuran ekonomi adalah keadaan

rumah. Keadaan rumah di Dusun Mantup menurut bahan bangunannya sudah baik

karena sebagian besar rumah di Dusun Mantup sudah permanen. Dalam kaitannya

dengan lingkungan rumah, sebagian besar memenuhi halaman. Untuk rumah yang

memiliki halaman umumnya ditanami jenis tanaman buah-buahan (jeruk, jambu,

rambutan, mangga, pepaya, dan lain-lain).

Kegiatan ekonomi masyarakat Dusun Mantup selain di bidang pertanian

terdapat juga aktifitas di sektor non pertanian. Berdasarkan tabel II terdapat

beberapa jenis pekerjaan selain pertanian, yaitu: ABRI, PNS, swasta, pedagang,

petani, buruh, dan jasa.

Untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga, anggota keluarga di Dusun

ini banyak yang membantu bekerja sebagai penghasil tambahan. Salah satu sarana

yang paling menonjol adalah banyaknya warung dan toko yang dimiliki oleh

masyarakat.

D. Kondisi Sosial Budaya

Manusia sebagai makhluk sosial hidup berkelompok, mereka saling

membutuhkan dalam berbagai aspek. Dalam kaitannya saling membutuhkan

tersebut, ada suatu kewajiban untuk saling membantu atau saling tolong menolong

18
Data Monografi Dusun Mantup tahun 2008.
18

demi kepentingan bersama. Dengan demikian manusia adalah orang yang terikat

kepada masyarakatnya.

Di Dusun Mantup mempunyai sistem masyarakat yang secara kolektif atau

gotong royong. Kegiatan yang bersifat gotong royong tersebut, pada umumnya

masih terbatas pada lingkungan setempat yaitu di setiap RT. Hubungan sosial

antar warga masyarakat Dusun Mantup ditunjukkan apabila di antara warga

masyarakat punya hajat, kematian atau terkena musibah. Dalam mempererat

hubungan persaudaraan sesama warga terdapat berbagai macam kegiatan sosial

yang terbentuk dalam berbagai wujud organisasi atau perkumpulan, seperti: PKK,

LPMD, Dasa Wisma, Klompen Capir, Kelompok Tani, Karang Taruna, Rismaba,

dan sebagainya.19

Kegiatan budaya yang berupa kesenian tradisional dan masih terlihat aktif

adalah karawitan dan macopat. Untuk melestarikan budaya (kesenian karawitan)

ini, sedikitnya satu tahun sekali dipertunjukkan, yaitu saat diadakan upacara Merti

Dusun. Dalam upaya mengembang kesenian karawitan ini juga diadakan latihan

rutin, untuk bapak-bapak 2 kali seminggu dan ibu-ibu 1 kali seminggu. Kemudian

untuk kesenian macopat dalam pelestariannya dipertunjukkan dalam acara

Selapanan bayi (35 hari lahirnya bayi), Adeg Omah (mendirikan rumah), dan

Wetonan (hari kelahiran seseorang).20

19
Wawancara dengan Bapak Dukuh Mantup tanggal 15 Mei 2009.
20
Wawancara dengan Bapak Subagyo, salah satu warga Dusun Mantup tanggal 20 Mei
2009.
19

E. Kondisi Keagamaan

Agama merupakan suatu sistem norma yang mengatur hubungan manusia

sesama manusia dan hubungan manusia dengan alamnya yang sesuai dan sejalan

dengan tata keimanan serta tata peribadatan. Latar belakang keagamaan

berpengaruh juga terhadap aspek kehidupan. Demikian pula dengan kondisi

keagamaan di Dusun Mantup sebagian besar beragama Islam. Dari jumlah

penduduk 1.672 jiwa, penganut agama Islam sebesar 1.141 jiwa atau 70,15 %.

Sedangkan yang lainnya adalah penganut agama Kristen yaitu sebesar 266 jiwa

atau 16,32 %, dan penganut Katholik sebesar 220 jiwa atau 13,53 %. Sedangkan

yang memeluk agama Hindu dan Budha tidak ada. Untuk melaksanakan

ibadahnya dengan baik, maka dibangunlah Masjid dan Musholla. Di Dusun

Mantup ini ada 3 buah Masjid dan 1 buah Musholla.21

Penduduk yang beragama Kristen jika akan ke Gereja masih harus pergi ke

Dusun Ngentak yang berjarak kurang lebih 1 kilometer ke arah utara. Sedangkan

untuk pemeluk agama Katholik ibadahnya ke Gereja yang ada di Pringgolayan

dengan jarak kurang lebih 2 kilometer ke arah barat.

Tabel 3

Jumlah Penduduk Menurut Agama

21
Data Monografi Dusun Mantup Tahun 2008.
20

No. Agama Jumlah Prosentase


1. Islam 1.141 70,15
2. Kristen 266 16,32
3. Katholik 220 13,53
4. Hindu - -
5. Budha - -

Jumlah 1.627 100,00


Sumber: Data Monografi Dusun Mantup Tahun 2008

Bagi masyarakat Dusun Mantup yang beragama Islam dalam

pembinaannya dengan jalan mengadakan kegiatan-kegiatan keagamaan, antara

lain:

1. Pengajian bapak-bapak dan ibu-ibu

Pengajian untuk bapak-bapak diadakan sekali dalam selapan (35 hari)

yaitu pada malam Jum’at kliwon dengan peserta sekitar 40 orang. Sedangkan

untuk ibu-ibu dengan jumlah peserta sekitar 70 orang diadakan setiap malam

jum’at kecuali malam Jum’at kliwon. Selain kegiatan pengajian Takmir masjid

mengadakan pembinaan agama kepada para jama’ah dengan cara pengajian

akbar di masjid pada waktu hari-hari besar Islam, yaitu pada peringatan nuzul

al-Qur’an, Isra’ Mi’raj, Maulud Nabi, menyambut tahun baru Hijriyyah,

menyambut bulan Ramadhan, dan pada bulan Syawal.

Selain pengajian, bapak-bapak juga mengadakan yasinan dan tadarusan

yang diadakan sekali dalam seminggu yaitu pada Jum’at malam. Sedangkan

untuk ibu-ibu selain pengajian juga mengadakan kegiatan iqro’ setiap Senin
21

malam dan Rabu malam yang diikuti oleh sekitar 25 orang yang bertempat di

rumah ketua pengajian ibu-ibu.22

Dalam bidang sosial keagamaan pada setiap pengajian akbar yang

diadakan di Masjid, jama’ah pengajian ibu-ibu mengadakan baksos (bakti

sosial) yaitu mengumpulkan sembako berupa beras dan sarimi dari anggota

pengajian yang mampu dan ditambah donatur-donatur untuk dibagikan kepada

masyarakat yang kurang mampu dalam hal ekonomi. Dalam pembagian

sembako ini dibagikan setelah selesai pengajian yang pelaksanaannya dibantu

oleh remaja.

2. Pengajian remaja dan anak-anak

Kegiatan rutinitas keagamaan untuk remaja diadakan setiap bulan tiga kali

yaitu minggu pertama, kedua, dan ketiga pada setiap Kamis malam. Untuk

kegiatannya yaitu minggu pertama tadarus, minggu kedua pengajian, dan

minggu ketiga Bioskop Rismaba. Jumlah peserta dalam acara ini sekitar 35

orang, namun pada waktu acara tadarusan peserta menjadi berkurang hingga

20 % atau menjadi 28 peserta. Hal ini terjadi karena bagi peserta yang belum

bisa membaca al-Qur’an merasa malu untuk berangkat. Dengan adanya

permasalahan ini pengurus Rismaba telah berusaha menggunakan metode

klasikal dalam tadarus, ternyata jumlah peserta tetap seperti semula yaitu

sekitar 28 orang.23

22
Wawancara dengan Pengurus Takmir Masjid Baiturrohim Bapak Heri Saptono tanggal
17 Mei 2009.
23
Wawancara dengan Pengurus Rismaba (Remaja Islam Masjid Baiturrohim) tanggal 20
Mei 2009.
22

Demikian pula untuk anak-anak kegiatan keagamaannya juga berupa

pengajian yang diadakan dua minggu sekali. Adapun tempat untuk pengajian

berada di rumah secara bergiliran. Jumlah peserta pengajian anak-anak

mencapai sekitar 80 anak.

Dari sekian banyak penduduk yang memeluk agama Islam ada sebagian

yang masih percaya akan adanya kekuatan supranatural. Oleh karena itu

masyarakat masih melakukan kebiasaan yang dahulu juga dilakukan oleh

nenek moyangnya. Kebiasaan yang berupa selamatan atau upacara yang sulit

untuk dihilangkan, bahkan acaranya dilaksanakan secara besar-besaran di

antaranya adalah upacara Merti Dusun. Masyarakat masih percaya kalau

upacara Merti Dusun ini tidak diadakan akan terjadi suatu bencana yang luar

biasa di Dusun Mantup.

Masyarakat di Dusun Mantup mayoritas tergabung dalam organisasi

Muhammadiyah, sedangkan yang Nahdlatul Ulama (NU) tidak kelihatan

dalam keorganisasiannya. Dengan demikian masyarakat yang menganut aliran

NU dalam melaksanakan kegiatan keagamaan tetap mengikuti kelompok yang

besar yaitu Muhammadiyah.

Kemudian untuk agama Kristen dan Katholik karena merupakan agama

yang dianut sebagian kecil masyarakat Dusun Mantup, maka dalam

perkembangannya kurang mendapat tempat dalam masyarakat, sehingga

mereka kurang terlihat kiprahnya dalam ritual keagamaan. Meskipun demikian

dalam kehidupan sosial masyarakat antara pemeluk Islam, Kristen dan


23

katholik dapat saling hidup berdampingan serta tolong menolong antar

sesama.

Masyarakat Dusun Mantup mayoritas pemeluk agama Islam, akan tetapi

pemahaman mereka mengenai Islam masih banyak yang kurang mendalami

tentang ajaran Islam itu sendiri. Selain itu di Dusun Mantup juga ada

sekelompok masyarakat yang amat kuat dalam memegang teguh ajaran Islam.

Kelompok inilah yang benar-benar ingin menghilangkan tradisi-tradisi yang

berbau syirik.

Langkah-langkah yang dikembangkan oleh umat Islam di Dusun Manup

dalam pengembangan Islam yaitu dengan mendirikan lembaga pendidikan

keagamaan yaitu berupa TPA (Taman Pendidikan Al-Quran). Lembaga ini

didirikan oleh tokoh Islam sekitar tahun 1990-an yang dalam proses belajar

mengajarnya berada di serambi Masjid Baiturrahim Mantup. Kemudian,

karena banyaknya santri yang mengikuti belajar ke TPA itu maka para tokoh

masyarakat mendirikan gedung tersendiri yang digunakan untuk kegiatan

proses belajar-mengajar. Gedung TPA ini dibangun tingkat satu 6 tahun yang

lalu yaitu tahun 2003 yang lokasinya berada di sebelah kanan masjid.24

Masyarakat Dusun Mantup masih ada yang melakukan adat istiadat

(tradisi) nenek moyang terdahulu. Tradisi yang dilakukan terutama mengenai

kendhuri (selamatan) seperti yang berkaitan dengan upacara Merti Dusun,

selamatan kematian, selamatan punya hajat dan lain-lain. Pada acara kematian

24
Wawancara dengan Pengurus Takmir Masjid Baiturrohim Bapak Heri Saptono.
24

seseorang, masyarakat masih melakukan serangkaian upacara mulai dari

pemakaman, mitung dina, patang puluh dina, nyatus dina, dan nyewu dina.

Bentuk upacara lain yang dilakukan masyarakat Dusun Mantup yang

berkenaan dengan hari-hari besar Islam, di antaranya adalah: pengajian 1

Muharram, maulud Nabi, Isra’ Mi’raj, menyambut bulan puasa (nyadran), nuzul

al-Qur’an, syawalan, dan lain-lain. Sampai sekarang pengajian hari-hari besar

Islam itu masih dilestarikan keberadaannya.


25

BAB III

DESKRIPSI TRADISI UPACARA MERTI DUSUN

A. Asal-usul Tradisi Merti Dusun

Setiap generasi manusia adalah pewaris kebudayaan. Anak manusia lahir

tidak membawa kebudayaan dari alam Garbani,25 tetapi bertumbuh dan

berkembang menjadi dewasa dalam lingkungan budaya tertentu, di mana ia

dilahirkan. Perkembangan manusia dibentuk oleh kebudayaan yang

melingkunginya. Memang dalam batas-batas tertentu manusia mengubah dan

membentuk kebudayaannya, tetapi pada dasarnya manusia lahir dan besar sebagai

penerima kebudayaan dari generasi yang mendahuluinya.26

Berbicara tentang manusia sebagai makhluk membudaya mengandaikan

dua pandangan dasariah tentang manusia. Pertama, manusia adalah salah satu

makhluk di antara makhluk-makhluk yang lain. Kedua, manusia memiliki

keistimewaan yang secara hakiki membedakan dirinya dengan makhluk-makhluk

lain, yaitu manusia membudaya, atau dengan kalimat lain, manusia menciptakan

kebudayaan.27

Seperti halnya yang terjadi pada masyarakat Dusun Mantup, mereka juga

memperoleh warisan dari nenek moyangnya. Hasil budaya yang diwariskan oleh

25
Alam Garbani dipakai untuk menyebut alam kehidupan manusia sebelum ia dilahirkan
ke dunia.
26
Johanes Mardimin, Jangan Tangisi Tradisi: Transformasi Budaya Menuju Masyarakat
Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 12.
27
Johanes Mardimin, Jangan Tangisi Tradisi: Transformasi Budaya Menuju Masyarakat
Indonesia, hlm. 27.

25
26

nenek moyang kepada generasinya yaitu salah satunya berupa tradisi ritual.

Adapun tradisi ritual yang selama ini masih dilestarikan oleh masyarakat Mantup

adalah tradisi upacara Merti Dusun.

Upacara Merti Dusun ini sebenarnya merupakan salah satu bentuk ritual

dari slametan. Masyarakat tidak dapat menceritakan sejak kapan dan siapa yang

membawa tradisi ini. Mereka hanya dapat mengatakan bahwa upacara ini sudah

dilakukan oleh nenek moyang terdahulu, kini mereka tinggal meneruskan tradisi

leluhurnya. Namun, pelaksanaan upacara Merti Dusun ini dari zaman ke zaman

selalu mengalami perubahan dalam hal pelaksanaannya.

Semula masyarakat Dusun Mantup melakukan tradisi Merti Dusun dengan

kenduri biasa yang diadakan di rumahnya sendiri-sendiri. Kemudian tahun 1930-

an tradisi slametan Merti Dusun ini oleh Bekel digabung menjadi satu dalam satu

kampung, sehingga ambengan slametan cukup membuat satu untuk satu

kampung.28 Upacara ini dilaksanakan setelah shalat dhuhur, kemudian untuk

malamnya diadakan pertunjukan wayang kulit. Sejak tahun 1930-an inilah

pelaksanaan upacara Merti Dusun diadakan setahun sekali untuk satu kampung

dengan biaya ditanggung oleh satu kampung. Untuk Kampung Mantup

pelaksanaannya pada bulan Syawal dan Kampung Sampangan Bulan Rajab.

Adapun harinya adalah sama-sama mengambil hari Sabtu Legi malam Minggu

Pahing.

Tradisi ritual Merti Dusun ini tidak lepas dari mitos. Sebagian masyarakat

Mantup dan Sampangan masih meyakini, kalau tradisi upacara Merti Dusun ini

28
Wawancara dengan Bapak Wardi Wiyarjo, salah satu warga Dusun Mantup, tanggal 10
Maret 2009.
27

tidak dilaksanakan akan terjadi suatu bencana dan malapetaka di Dusun Mantup.

Hal ini pernah terjadi ketika sekitar tahun 1947 masehi tidak diadakan upacara

Merti Dusun kebetulan ada kejadian yang luar biasa yaitu pagebluk.29 Pada tahun

itu terjadi bencana, banyak binatang-binatang ternak yang mati dalam waktu yang

singkat. Begitu juga kejadian ini juga menimpa pada manusia dalam waktu yang

tidak begitu lama banyak orang yang meninggal. Kemudian oleh masyarakat

kejadian itu dikait-kaitkan dengan ritual Merti Dusun yang tidak dilaksanakan.

Sebagian mereka meyakini bahwa di Dusun Mantup ini ada yang melindunginya

yaitu Sing Mbau Rekso. Dengan tidak diadakannya ritual Merti Dusun itu Sing

Mbau Rekso marah dan kemudian memberikan bencana kepada manusia.

Dengan kejadian yang menimpa di Dusun Mantup tidak lama kemudian

masyarakat yang masih percaya dengan kepercayaan animisme ini meminta

kepada tokoh masyarakat untuk melaksanakan upacara Merti Dusun dengan

memberikan tebusan berupa kambing hitam. Selanjutnya tokoh masyarakat

melaksanakan apa yang menjadi keinginan dari masyarakat. Kambing yang

menjadi tumbal sebelum disembelih terlebih dahulu dikelilingkan di Kampung

Mantup dan Kampung Sampangan. Kemudian disembelih dan kepalanya

dipendam di pertigaan jalan baru Kampung Sampangan. Tebusan untuk kepala

kambing itu dilaksanakan oleh masyarakat hanya sekali. Selanjutnya untuk tahun-

29
Pagebluk adalah esok loro sore tekane pati, sore loro esok tekane pati (pagi sakit, sore
meninggal, sore sakit pagi meninggal) maksudnya banyak warga Mantup dan Sampangan yang
terserang penyakit, kemudian tidak lama kemudian meninggal.
28

tahun berikutnya dalam pelaksanaan upacara Merti Dusun tidak mengorbankan

kambing lagi sebagai tumbal.30

Atas inisiatif dari pemerintah desa yaitu dari Kabag (Kepala Bagian)

Sosial yang pada waktu itu dijabat oleh Bapak Jumadi Ismintarjo yang sekarang

menjabat sebagai Kepala Desa sekitar tahun 1978 Masehi, pelaksanaan upacara

Merti Dusun di gabung menjadi satu dalam satu Dusun. Hal ini dilakukan untuk

menghemat biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat. Inisiatif ini disetujui oleh

masyarakat. Setelah pelaksanaan upacara Merti Dusun itu gabung antara

Kampung Mantup dan Kampung Sampangan maka untuk pelaksanaannya setiap

tahun bergantian.

Setelah pelaksanaannya ini gabung, tokoh masyarakat akan melaksanakan

upacara Merti Dusun dua tahun sekali, yaitu mulai pada tahun 1987. Namun,

kebetulan yang terjadi adalah seperti pada tahun 1947 Masehi, yaitu terjadinya

pagebluk lagi, tetapi yang menjadi korban hanya manusia. Kemudian masyarakat

khususnya Kampung Sampangan pokoknya ingin melaksanakan ritual upacara

Merti Dusun sendiri, kalau tokoh masyarakat tidak melaksanakannya. Dengan

demikian, demi persatuan dan kesatuan warga masyarakat Dusun Mantup, tokoh

masyarakat tetap melaksanakan tradisi Merti Dusun ini sampai sekarang.31

Pada pelaksanaan tradisi Merti Dusun sekarang ini unsur-unsur Islam

sudah banyak dimasukkan di dalamnya terutama dalam prosesi dan tujuan dari

30
Wawancara dengan Bapak Suwadi, salah satu warga Dusun Mantup, RT 3, tanggal 27
Maret 2009.
31
Wawancara dengan Bapak Abi Muryanto, selaku Dukuh di Mantup, tanggal 6 Maret
2009.
29

upacara Merti Dusun tersebut. Unsur Islam yang masuk dalam prosesi upacara

Merti Dusun ini dibawa oleh tokoh Islam yang masuk dalam kepanitiaan Merti

Dusun.

Upacara Merti Dusun merupakan upacara tradisi warisan budaya leluhur

yang diwariskan dari generasi ke generasi memiliki maksud-maksud dan tujuan

tertentu. Adapun maksud dan tujuannya di antaranya untuk mengapresiasikan rasa

syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan karunia berupa

keselamatan dan kesejahteraan hidup masyarakat serta memberinya rezeki melalui

hasil tanaman. Oleh karena itu, masyarakat merasa perlu menyajikan sebagian

kecil dari hasil yang diterima untuk dishadaqahkan kepada sesama masyarakat.

Upacara Merti Dusun ini juga sebagai wahana pemersatu antara warga

Kampung Mantup dan Sampangan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab

masyarakat Dusun Mantup terdiri dari beberapa masyarakat yang mempunyai

status sosial, status ekonomi, kepercayaan, agama yang berbeda-beda. Sehingga

dengan adanya upacara Merti Dusun ini seluruh masyarakat Dusun Mantup dapat

berkumpul menjadi satu di suatu tempat tanpa membedakan status sosial, status

ekonomi, kepercayaan, agama, derajat, pangkat, dan lain sebagainya.32 Dalam

acara berkumpul ini masyarakat mengamalkan budi pekerti yang luhur yaitu

berdo’a bersama kepada Tuhan untuk kebaikan semua dan sekaligus mendoakan

leluhur, supaya diampuni dosanya dan diterima amalnya.

Maksud dan tujuan yang lain dari upacara Merti Dusun ini adalah sebagai

pelestarian budaya bangsa yang berakar dari budaya daerah Jawa yang adiluhung,

32
Wawancara dengan Bapak Jumadi Ismintarjo, selaku Lurah Desa Baturetno, tanggal
15 Maret 2009.
30

dengan menyelenggarakan pentas kesenian wayang kulit. Tentu saja dengan

adanya kesenian wayang kulit ini sekaligus sebagai hiburan warga Dusun Mantup

dan sekitarnya.

B. Pelaksanaan Upacara Merti Dusun

1. Persiapan Upacara

Sebelum hari pelaksanaan upacara, terlebih dahulu diadakan

persiapan-persiapan. Persiapan yang pertama yaitu pembentukan panitia Merti

Dusun dilaksanakan oleh LPMD tiga bulan sebelum pelaksanaan Merti

Dusun. Setelah kepanitiaan terbentuk kemudian membentuk agenda kerja.

Agenda itu di antaranya adalah sebulan sebelumnya dilaksanakan kerja bakti

bersih lingkungan di wilayah RT-nya masing-masing dengan batas waktu

pada tanggal 5 Juli 2008 sudah selesai dilaksanakan. Kemudian dilakukan

pula kerja bakti yaitu bersih makam yang ada di Dusun Mantup pada hari

Minggu tanggal 6 Juli 2009. Kerja bakti ini dilakukan oleh semua warga laki-

laki baik tua maupun muda.33

Kemudian sehari sebelum pelaksanaan upacara diadakan kerja bakti

terakhir di lokasi upacara. Pada kerja bakti ini dilakukan oleh perwakilan, per

RT mengirimkan utusan minimal 3 orang. Kegiatan yang dilakukan dalam

kerja bakti ini adalah mempersiapkan tempat untuk pelaksanaan upacara di

antaranya adalah membuat panggung, mencari debog, pemasangan lampu,

soud system, dan sebagainya.

33
Wawancara dengan Bapak Widyo Wibisono (Ketua LPMD) Dusun Mantup
tanggal 13 Mei 2009
31

Untuk perlengkapan dalam upacara Merti Dusun setiap RT membuat

jodang 1 buah yang diisi dengan hasil kebun, hasil sawah, jajan pasar dan

lain-lain. Pembuatan jodang dilakukan 1 hari sebelum pelaksanaan upacara.

Mengenai biaya sesuai dengan kesepakatan bersama setiap RT-nya masing-

masing.34

Selain perlengkapan yang disiapkan oleh masing-masing RT, panitia

Merti Dusun menunjuk beberapa orang yang dianggap mampu yaitu untuk

membuat jodang besar atau gunungan. Persiapan pembuatan gunungan ini

dimulai dari seminggu sebelum pelaksanaan upacara.

2. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Upacara

a. Waktu pelaksanaan upacara

Upacara Merti Dusun dalam pelaksanaannya masih melestarikan

tradisi leluhur. Adapun waktu pelaksanaan upacara untuk masyarakat Dusun

Mantup menggunakan patokan atau perhitungan jawa yaitu bulan Rajab.

Bulan Rajab digunakan sebagai patokan karena pada bulan ini adalah bulan

yang baik sehingga dapat dipastikan semua petani di Dusun Mantup sudah

bisa panen padi semua.

Pelaksanaan upacara Merti Dusun yang diadakan setiap bulan Rajab

ini mengambil hari Sabtu Legi malam Minggu pahing. Sedangkan tanggalnya

tidak ada pedoman, yang pokok adalah mengambil hari Sabtu Legi malam

Minggu Pahing. Mengambil malam Minggu karena pada malam ini diadakan

34
Wawancara dengan Bapak Sukarman salah satu warga Dusun Mantup tanggal 20
Mei 2009
32

pentas seni wayang kulit semalam suntuk. Puncak upacara dilaksanakan pada

siang hari kurang lebih pukul 13.30 WIB dan berakhir pada pukul 17.00 WIB.

Selanjutnya pada pukul 20.30 WIB sampai waktu subuh diadakan pertunjukan

wayang kulit.

b. Tempat Pelaksanaan Upacara

Dusun Mantup adalah terdiri dari 2 perkampungan, yaitu Dusun

Mantup dan Sampangan, sehingga untuk tempat pelaksanaan upacara Merti

Dusun bergantian antara Mantup dan Sampangan. Pada tahun 2008 kemarin

lokasi upacara berada di Kampung Sampangan. Lokasi upacara berada di

ruangan yang luas sehingga bisa diikuti oleh banyak warga baik tua, muda,

dan anak-anak. Untuk tahun 2008 kemarin penyelenggaraan upacara berada

di rumah Bapak Siswoharjono.

3. Pemimpin dan Peserta Upacara

Pada upacara Merti Dusun selaku pemimpin dalam pelaksanaan

upacara adalah panitia Merti Dusun yang diwakili oleh Bapak Jumadi

Ismintarjo selaku sesepuh desa (kepala desa) yang kebetulan bertempat tinggal

di Dusun Mantup. Kemudian pada acara puncak upacara yaitu kendhuri (doa

bersama) dipimpin oleh Rois. Peserta upacara Merti Dusun adalah sebagian

besar dari warga Mantup dan Sampangan.


33

4. Prosesi Upacara

Pada hari Sabtu Legi, tanggal 12 Juli 2008, setelah salat Dhuhur,

jodang-jodang yang berisi hasil-hasil bumi dari berbagai RT di wilayah

Dusun Mantup dibawa berkumpul di lokasi upacara yaitu di halaman rumah

Bapak Siswoharjono. Setiap jodang di bawa oleh 4 orang dan didampingi oleh

2 sampai 4 orang menuju ke lokasi upacara. Kemudian jodang-jodang itu

diletakkan di sebelah utara menghadap ke selatan.

Pada acara upacara Merti Dusun itu yang memberikan sambutan di

antaranya yang pertama yaitu dari kepala Desa Baturetno yang berisi tentang

maksud dan tujuan dari upacara Merti Dusun ini, sebagai ungkapan syukur

kepada Allah SWT yang telah memberikan rezeki kepada masyarakat,

sehingga untuk mewujudkan rasa syukur itu warga membuat sebuah gunungan

untuk di shadaqahkan kepada sesama warga.

Dengan berakhirnya sambutan dari sesepuh desa, selanjutnya

dilaksanakan inti upacara yaitu kenduri tasyakuran doa yang dipimpin oleh

Rois. Namun, sebelum doa dimulai Rois menyampaikan kultum (kuliah tujuh

menit). Inti dari kultum ini adalah Rois menyampaikan ayat-ayat al-Qur’an

yang berkaitan dengan syukur.35 Di antaranya ayat yang dibaca yaitu:

1. Surat Luqman ayat 12

35
Wawancara dengan Kaum / Rois Dusun Mantup Bapak Jumadi, S.Pd., tanggal 4 Mei
2009.
34

Artinya: Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman,

yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur

(kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya

sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya

Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".

2. Surat Ibrahim ayat 7

Artinya: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema`lumkan:

"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah

(ni`mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni`mat-Ku), maka

sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".

Kemudian setelah kultum selesai dilanjutkan dengan doa yang intinya

merupakan puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan dan memohon

perlindungan, keselamatan, dan nikmat yang telah diberikan-Nya selama ini.

Begitu juga doa untuk para leluhur, baik yang sudah hidup maupun yang
35

sudah meninggal agar selalu diberi keselamatan dan ampunan, sehingga dalam

hidup dan kematian selalu mendapat perlindungan-Nya.36

Setelah doa selesai dimulailah pembagian jodang dan gunungan yang

berupa hasil kebun dan hasil sawah kepada masyarakat yang ada di lokasi

tersebut, baik orang tua maupun anak-anak. Setelah mereka mendapatkan apa

yang mereka ambil, kemudian dimakan di tempat, tetapi ada pula yang dibawa

pulang untuk dimakan bersama keluarganya. Acara ini berakhir kurang lebih

pukul 17.00 WIB. Para warga masyarakat Mantup dan Sampangan

meninggalkan lapangan upacara dan kembali ke rumah masing-masing.

Pada malam harinya sebagai lanjutan rasa syukur, masyarakat Mantup

dan Sampangan mementaskan kesenian tradisional Ringgit Purwo (Wayang

Kulit). Pagelaran Wayang Kulit ini berlangsung dari pukul 21.00 WIB sampai

menjelang subuh. Pagelaran wayang kulit ini dibuka dengan sambutan ketua

panitia dan sambutan Lurah Desa Baturetno yang dilanjutkan penyerahan

secara marathon tokoh wayang Bima (Werkudara) dari Ketua Panitia kepada

Lurah Desa Baturetno dan kepada Dalang untuk segera dimulai pagelaran

wayang kulit semalam suntuk.

C. Simbol Upacara dan Pergeseran Makna Simbolik Tradisi Merti Dusun

1. Simbol Upacara

Upacara tradisional warisan para leluhur yang diselenggarakan pada

hari dan bulan tertentu ternyata di dalamnya kaya akan simbol-simbol.

36
Wawancara dengan Rois Dusun Mantup Bapak Jumadi, S.Pd.
36

Simbol-simbol itu biasanya mempunyai maksud tertentu yang ditujukan

kepada masyarakat yang bersangkutan. Melalui simbolis terdapat pesan-pesan

yang terselubung dan memerlukan pemahaman tersendiri sehingga orang bisa

mengetahui apa sebenarnya makna dari simbol-simbol tersebut.

Tindakan-tindakan simbolis yang religius dari orang Jawa dapat

dikelompokkan dalam tiga golongan:37 Pertama, tindakan simbolis religius

yang terbentuk karena pengaruh zaman mitos, atau disebut dengan zaman

kebudayaan asli Jawa. Kedua, tindakan simbolis religius yang terbentuk

karena pengaruh zaman kebudayaan Hindu-Jawa. Ketiga, tindakan simbolis

religius yang terbentuk karena pengaruh zaman mitos, zaman kebudayaan

Hindu-Jawa, dan zaman Jawa Islam. Ketiga golongan tersebut dalam

kenyataan kehidupan orang Jawa sulit untuk dipisah-pisahkan satu dengan

lainnya, karena ketiganya dilaksanakan secara beruntun dan telah menyatu

sebagai adat istiadat dan budaya Jawa.

Seperti dalam upacara Merti Dusun yang diadakan oleh masyarakat

Dusun Mantup di dalamnya juga kaya akan simbol-simbol. Contohnya: setiap

dilaksanakan upacara Merti Dusun setiap RT membuat jodang 1 buah. Jodang

yang dibuat ini berisi nasi beserta lauk pauk, pisang, jajan pasar, dan buah-

buahan. Makna dari pembuatan jodang adalah sebagai tanda syukur

masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rezeki

melalui tanaman yang ditanam oleh masyarakat. Ini sebagai bukti dalam

37
Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: PT. Hanindita
Graha Widya, 1987), hlm. 102.
37

mengucapkan syukur, kemudian jodangan itu dishadaqahkan kepada

masyarakat.38

Kemudian selain jodang sebagai simbol upacara Merti Dusun tersebut,

pada pelaksanaan Merti Dusun tahun 2008 kemarin panitia Merti Dusun

bersepakat membuat sebuah gunungan. Adapun gunungan yang ditiru adalah

tradisi Kraton Yogyakarta. Gunungan ini hampir sama dengan jodang karena

isi dari gunungan adalah hampir sama dengan isi yang ada dalam jodang,

namun gunungan dibuat lebih besar dari jodang dan isinyapun juga lebih

lengkap. Bentuk dari gunungan ini dari bawah dibuat besar selanjutnya ke atas

di buat semakin meruncing. Ini memiliki makna bahwa masyarakat Mantup

dan Sampangan yang sekian ini yang terdiri dari bermacam-macam agama,

kepercayaan, tingkat pendidikan, dan status sosialnya misinya tetap satu yaitu

kepada Tuhan Yang Maha Esa.39

Pada acara malam hari setelah pelaksanaan upacara Merti Dusun

dilaksanakan pementasan wayang kulit semalam suntuk. Dalam pewayangan

ini atas permintaan wiyogo harus dibuatkan sesaji. Adapun sesaji tersebut

antara lain:

Degan krambil ijo (kelapa muda), memiliki makna kelapa muda itu

rasanya manis. Ini melambangkan rasa manis bisa dirasakan oleh para warga,

yaitu warga Mantup dan Sampangan. Hal ini dipraktekkan dalam pelaksanaan

Merti Dusun dengan harapan masyarakat bisa hidup dengan sejahtera. Janur

(daun kelapa yang masih muda), merupakan perlambang memohon kepada


38
Wawancara dengan Bapak Subagyo, tanggal 15 Mei 2009.
39
Wawancara dengan Bapak Jumadi Ismintarjo, tanggal 8 Mei 2009.
38

Tuhan Yang maha Esa agar para warga dalam mengarungi kehidupan di dunia

ini di beri nur (cahaya) keselamatan. Jajan Pasar (terdiri dari bermacam-

macam makanan yang dibeli di pasar). Jajan pasar memiliki makna untuk

memberikan gambaran kepada warga yang ada di Dusun Mantup yang dalam

tingkah lakunya bermacam-macam, seperti buah-buahan yang memiliki rasa

asam, tingkah laku / perbuatan yang tidak benar. Kemudian ada buah-buahan

yang memiliki rasa manis perlambang perkataan, perbuatan yang bagus.

Lambang tadi sebagai contoh kepada para warga baik muda maupun tua yaitu

hendaknya dalam tingkah laku / perbuatan hendaknya berkiblat pada agama

Islam. Ingkung (ayam yang dimasak secara utuh). Ingkung melambangkan

manusia yang mengadakan selamatan harus mengikuti ushwah dari Nabi

Muhammad SAW. Kalau diperhatikan, ingkung ini seperti manusia yang

sedang melaksanakan salat, sujud kepada Allah. Ingkung ini sekaligus

melambangkan juga kepasrahan manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Tumpeng (nasi yang di atasnya diberi bawang merah dan cabe merah). Ini

perlambang suatu permohonan manusia yang ikhlas, tegak, seperti tegaknya

bawang merah dan cabe merah yang diletakkan di atas tumpeng.40

2. Pergeseran Makna Simbolik Tradisi Merti Dusun

a. Makna Simbolik Sebelum Pergeseran Tradisi

Merti Dusun mengandung banyak makna dan dianggap penting bagi

masyarakat. Oleh Karena itu, sampai sekarang masyarakat masih

40
Wawancara dengan Bapak Jumadi, Rois Dusun Mantup, tanggal 20 Mei 2009.
39

melaksanakan tradisi upacara Merti Dusun. Makna dari pelaksanaan upacara

Merti Dusun itu bagi masyarakat sebelum masuknya unsur Islam di

dalamnya adalah bahwa masyarakat melaksanakan upacara Merti Dusun itu

bertujuan untuk memohon berkah kepada dhanyang atau Sing Mbau Rekso

kampung, supaya Dusun Mantup terhindar dari malapetaka. Dengan

demikian masyarakat membuat sesaji untuk dipersembahkan kepada leluhur,

kepada penunggu-penunggu di setiap sudut Dusun dan setiap penunggu di

makam. Selain itu sesaji tersebut juga dipersembahkan kepada Dewi Sri

yang menurut kepercayaan mereka, Dewi Sri-lah yang memberikan hasil

panen yang melimpah. Selain itu masyarakat Dusun Mantup masih

melaksanakan kegiatan atau ritual-ritual yang tidak ada di dalam tuntunan

ajaran Islam misalnya kendhuri (selamatan) seperti yang berkaitan dengan

upacara Merti Dusun, selamatan kematian, selamatan punya hajat dan lain-

lain. Pada acara kematian seseorang, masyarakat masih melakukan

serangkaian upacara mulai dari pemakaman, mitung dina, patang puluh

dina, nyatus dina, dan nyewu dina.41

b. Makna Simbolik Setelah Pergeseran Tradisi

Makna dari upacara Merti Dusun banyak mengalami pergeseran dari

asalnya, yaitu mulai dari fase sebelum mengalami pergeseran tradisi dengan

Islam dan fase setelah Islam masuk dalam tradisi upacara Merti Dusun

tersebut. Hasil dari wawancara atau interview dari Bapak Dukuh, Bapak

Lurah, Bapak Rois dan tokoh masyarakat di Dusun Mantup dapat

41
Wawancara dengan Bapak Jumadi, Bapak Lurah, Bapak Dukuh dan Tokoh
Masyarakat.
40

disimpulkan bahwa makna dari upacara Merti Dusun tersebut bagi

masyarakat Dusun Mantup adalah :42

Pertama, sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat terhadap Allah

SWT yang telah melimpahkan rezeki pada umat-Nya, terutama bagi

masyarakat petani dapat menghasilkan panen dengan baik sehingga

masyarakat bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dan masyarakat dapat

menjalankan perintah-Nya.

Kedua, dari segi bahasa, dalam membaca doa telah dipengaruhi oleh

Islam, yakni masa pra-pergeseran sebelum doa dalam pelaksanaan upacara

Merti Dusun itu di dahului dengan ikrar yang disampaikan kepada Dewi Sri.

Namun, setelah adanya pergeseran sebelum doa Rois menyampaikan kultum

(kuliah tujuh menit), yang menguraikan tentang syukur kepada Allah SWT

dan kemudian memohon doa kepada Allah SWT dengan harapan masyarakat

selalu diberikan keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat

yang akan datang. Selain berdoa untuk keselamatan juga mendoakan leluhur

supaya diampuni dosanya dan diterima amalnya oleh Allah SWT.

Ketiga, upacara Merti Dusun itu semula menggunakan sesaji yang

dipersembahkan kepada dhanyang atau sing mbau rekso Dusun Mantup,

kepada leluhur yang sudah meninggal, kepada penunggu-penunggu di setiap

sudut kampung, di setiap penunggu makam baik yang ada di makam segoro

madu Mantup maupun makam tegal polosari Sampangan, dan sebagainya.

Kemudian setelah tiga tahun terakhir ini dengan inisiatif panitia, sesaji ini

42
Wawancara dengan Rois, Bapak Lurah, Bapak Dukuh dan Tokoh Masyarakat.
41

tidak diadakan lagi. Namun panitia masih mengadakan setiap RT membuat

jodangan satu buah. Tujuan dari jodangan itu adalah sebagai suatu

pengumpulan atau wujud nyata dari suatu hasil bumi. Karena rasa syukur

masyarakat kepada Allah SWT, maka hasil dari bumi itu dishadaqahkan

kepada sesama warga sebagai realisasinya dalam mengungkapkan syukur

masyarakat kepada Allah yaitu dengan mengeluarkan shadaqah berupa jodang

yang dibagi-bagikan kepada masyarakat dan sekaligus mempererat tali

silaturrahim antar sesama warga khususnya warga Dusun Mantup.

Keempat, Perubahan yang sangat pesat yaitu dalam prosesi upacara

panitia mengagendakan untuk dilaksanakan salat Asar yang dikerjakan di

lokasi upacara. Hal itu dilakukan oleh panitia karena waktu itu adalah

bertepatan juga dengan waktu salat Asar. Diadakannya salat Asar ini juga

merupakan salah satu tanda syukur warga kepada Allah SWT.


42

BAB IV

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERGESERAN TRADISI

TENTANG MAKNA SIMBOLIK DALAM TRADISI MERTI DUSUN

A. Faktor Agama

Keagamaan sangat berperan dalam menentukan perkembangan masyarakat

dan efeknya terhadap kesejahteraan masyarakat baik di bidang ekonomi, sosial

budaya, politik dan komunikasi. Agama bagi masyarakat merupakan keyakinan

akan sesuatu dan berperan penting dalam kehidupan karena dengan kehidupan

masyarakat akan seimbang antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.

Mengenai kehidupan agama berdasarkan dari wawancara para tokoh

masyarakat, tokoh agama dan pelaku Merti Dusun sendiri dapat disimpulkan

bahwa masyarakat di Dusun Mantup dalam menjalankan agamanya semakin

berkembang. Diantaranya dalam kegiatan ibadah seperti sholat sudah banyak yang

berjamaah di masjid, Mushola. 43

Kehidupan spiritual agama di era modern ini secara umum tampak

mengalami peningkatan, termasuk di kalangan masyarakat di Dusun Mantup.

Oleh sebab itu sesuai dengan tuntutan masyarakat modern, unsur budaya Jawa

dalam beberapa bidang memang memerlukan reinterpretasi agar sesuai dengan

perubahan yang terjadi pada masyarakat. Misalnya ungkapan-ungkapan yang

selama ini ditangkap secara tekstual tidak sesuai lagi, perlu diberi pemaknaan

yang rasional.

43
Wawancara dengan Rois, Bapak Lurah, Bapak Dukuh dan Masyarakat Dusun Mantup.

42
43

Meningkatnya spiritual agama warga Dusun Mantup adalah dipengaruhi

dengan banyaknya kegiatan-kegiatan keagamaan yang dilaksanakan warga,

diantaranya acara pengajian rutin tiap minggu, tadarus, shalat berjamaah,

pengajian rutin maupun pengajian hari-hari besar dan kegiatan-kegiatan lainnya

yang mampu membuat sadar warga Dusun Mantup akan hal-hal yang tidak sesuai

dengan tuntunan ajaran Islam seperti dalam ritual tradisi upacara Merti Dusun.

Maka dari itu masyarakat Dusun Mantup mulai menyadari bahwa dengan

banyaknya hal yang berbau syirik dan musyrik di dalam pelaksanaan tradisi Merti

Dusun, warga Dusun Mantup mulai berfikir realistis. Oleh sebab itu di dalam

Tradisi upacara Merti Dusun tersebut meskipun warga tetap melaksanakan tradisi

setiap tahunnya hal-hal yang berbau syirik dan musyrik mulai dihilangkan, baik

itu dalam pelaksanaan, makna dan tujuan dalam upacara Merti Dusun mengalami

pergeseran. Di antaranya seperti sesaji yang dulu dianggap harus ada di dalam

upacara tersebut sudah tidak digunakan lagi.44

Dalam pergeseran makna simbolik dalam tradisi Merti Dusun yang

dianggap menyekutukan Allah yang paling berperan besar adalah tokoh agama

atau Takmir Masjid Baiturrohim Mantup dan tokoh masyarakat. Salah satu takmir

masjid mengatakan bahwa memang sebagai warga di Dusun Mantup tidak bisa

menghilangkan sepenuhnya tradisi Merti Dusun, secara pelan-pelan menggeser

tradisi yang dahulunya masih banyak hal-hal yang berbau syirik dan musyrik

sedikit demi sedikit dihilangkan.45 Namun ada beberapa hal dalam ritual tradisi

44
Wawancara dengan Dukuh Mantup Bapak Abi Muryanto tanggal 6 April 2009.
45
Wawancara dengan Bapak H. Jumarudin, M.Pd sekretaris takmir masjid Baituttohim
di Dusun Mantup tanggal 29 April 2009.
44

upacara Merti Dusun yang tetap dipertahankan, tetapi maknanya atau tujuannya

yang semula ditujukan kepada para penunggu desa atau roh-roh para leluhur yang

melindungi desa, sekarang sudah dirubah tujuannya dan ditujukan kepada Allah

SWT yang telah memberikan keselamatan, kesuburan dan pekerjaan dan membuat

Dusun Mantup yang makmur sehingga panen dari hasil dari bertani juga

melimpah.46

Dengan demikian faktor agama sangat berpengaruh terhadap pergeseran

makna simbolik dalam tradisi Merti Dusun di Dusun Mantup dan peran dari

Takmir Masjid dan tokoh masyarakat begitu dominan dalam pergeseran tersebut.

B. Faktor Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pergeseran

makna dalam suatu tradisi yang telah berlaku dalam masyarakat. Sehingga tradisi

yang bersifat turun temurun ini akan dimungkinkan terjadinya sosialisasi pada

generasi masyarakat berikutnya.

Pendidikan dapat dijadikan barometer dari kemajuan masyarakat.

Masyarakat di Dusun Mantup mayoritas telah menyadari pentingnya pendidikan.

Hal tersebut dapat dilihat dari tingkat kesadaran yang tinggi dari orang tua untuk

menyekolahkan anak-anaknya. Kesadaran orang tua tersebut merupakan indikasi

bahwa masyarakat telah mempunyai pola pikir yang maju. Pendidikan sangat

diutamakan, meskipun sebagian besar orang tua hidup sebagai petani.

46
Wawancara dengan Sie Dakwah Takmir Masjid Baiturrohim Bapak Supardiyono
tanggal 26 Maret 2009.
45

Dalam pendidikan penduduk yang berkesenjangan tersebut maka sangat

mendukung terjadinya pergeseran makna simbolik dalam tradisi upacara Merti

Dusun yang ada di Dusun Mantup yang disebabkan oleh kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi.47

Kalau dilihat dari tingkat pendidikan masyarakat Dusun Mantup bisa

dikatakan bahwa kesadaran akan arti pentingnya pendidikan sudah cukup tinggi.

Dengan melihat tingginya kesadaran masyarakat akan arti pendidikan, maka ini

berdampak pula terhadap cara berpikir dan bekerja sama antar sesama, sehingga

dengan ilmu yang dimiliki mereka mulai berpikir rasional terhadap tradisi upacara

Merti Dusun. Hal-hal yang tak rasional mulai mereka hilangkan dan hal-hal /

ritual yang dilaksanakan dalam upacara Merti Dusun dirubah sedemikian rupa

menggeser makna dan tujuan yang dianggap tidak rasional menjadi rasional.

C. Faktor Budaya

a. Kebudayaan Jawa (lokal)

Masyarakat Jawa, walaupun mengakui bahwa ada kekuatan gaib

Yang Maha Tinggi dan Maha Kuasa yang sering mereka namakan Sing

Mohokuwoso atau Gusti Allah, mereka tidaklah minta langsung kepada

Sing Mohokuwoso ini. Akan tetapi, mereka minta atau menyuruh roh-roh

(animisme) dan daya kekuatan gaib (dinamisme) dengan cara yang tidak

rasional.

47
Wawancara dengan Bapak H. Jumarudin, M.Pd tanggal 20 Maret 2009.
46

Sebelum kedatangan pengaruh Hinduisme masyarakat Jawa tetap

hidup teratur dengan kepercayaan animisme-dinamisme sebagai akar

spiritualitasnya, dan hukum adat sebagai pranata kehidupan sosial mereka.

Adanya warisan hukum adat menunjukkan bahwa nenek moyang suku

bangsa Indonesia asli telah hidup dalam persekutuan-persekutuan desa

yang teratur dan mungkin di bawah pemerintahan atau kepala adat desa,

walaupun masih dalam bentuk yang cukup sederhana. Kepercayaan

animisme-dinamisme yang merupakan akar budaya asli Indonesia dan

khususnya dalam masyarakat Jawa cukup mengakar dalam, sehingga

punya kemampuan yang kenyal (elastis). Dengan demikian, dapat

bertahan walaupun mendapat pengaruh dan berhadapan dengan

kebudayaan-kebudayaan yang telah berkembang maju.48

Sejarah perkembangan religi orang Jawa telah dimulai sejak zaman

prasejarah, di mana pada waktu itu nenek moyang orang Jawa

beranggapan bahwa semua benda yang ada di sekelilingnya itu bernyawa,

dan semua yang bergerak dianggap hidup dan mempunyai kekuatan gaib

atau mempunyai roh yang berwatak baik maupun jahat. Dengan dasar

yang demikian mereka membayangkan dalam angan-angan, bahwa di

samping segala roh yang ada tentulah ada roh yang paling berkuasa dan

lebih kuat dari manusia. Untuk menghindarkan gangguan dari roh itu dan

48
Anasom, dkk. (ed.), Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa (Yogyakarta: Gama
Media, 2004), hlm. 18.
47

untuk mendapatkan keselamatan salah satunya dengan mengadakan ritual

upacara-upacara yang disesuaikan dengan kebutuhannya.49

Kalau dilihat dalam prosesi pelaksanaan tradisi upacara Merti Dusun

oleh masyarakat Dusun Mantup, terdapat unsur-unsur animisme-

dinamisme-nya, yaitu dari cara berpikir dan sikap mereka dalam

mendekati dunia gaib, mereka berpikir dalam pelaksanaan upacara Merti

Dusun adalah untuk keselamatan Dusun, baik itu masyarakatnya,

binatang-binatang, dan lain sebagainya. Karena pada acara ritual upacara

Merti Dusun menyajikan sebuah sesaji yang dipersembahkan kepada roh-

roh dan kekuatan gaib yang telah menjaga Dusun.

Mereka meyakini apabila upacara Merti Dusun itu tidak

dilaksanakan maka akan terjadi semacam musibah atau suatu pagebluk

yang diterima oleh masyarakat. Namun sebaliknya dengan melaksanakan

tradisi upacara Merti Dusun tersebut, khususnya masyarakat Mantup akan

terhindar dari bencana yang akan menimpa mereka.50 Dengan adanya

keyakinan masyarakat yang demikian keberadaan tradisi upacara Merti

Dusun harus diadakan setiap tahun sekali.

b. Kebudayaan Islam

Islam adalah agama yang bersifat universal yang disebarkan oleh

Nabi Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia di dunia. Agama

49
Budiono, Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa, hlm. 98.
50
Wawancara dengan Bapak Siswoharsono, tanggal 6 Maret 2006.
48

yang diterima oleh nabi dari Allah SWT ini adalah Islam yang murni, yang

belum diwarnai oleh unsur-unsur budaya lokal.

Tegaknya Islam didasarkan atas wahyu Allah, maksudnya Islam

adalah agama yang ada karena Allah telah menurunkannya untuk seluruh

umat manusia melalui para Nabi-Nya, terutama Nabi Muhammad SAW

untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu

Islam disebut sebagai agama yang paripurna yang sangat komprehensif

yang diridhoi Allah SWT.

Islam sebagai agama memiliki tujuan yaitu untuk membangun

manusia seutuhnya, agar manusia sejahtera lahir dan batin. Dalam

penyebaran agama Islam di Jawa melalui berbagai macam cara, seperti

melalui media kesenian, tradisi, dan ritual-ritual upacara keagamaan.

Sistem peribadatan Islam bertitik tolak dari tugas pokok penciptaan

manusia oleh Tuhan, yaitu untuk beribadah hanya kepada-Nya. Dalam

bentuk yang lebih teknis, keyakinan pokok Islam dirumuskan dalam enam

unsur yang disebut Rukun Iman, yaitu: Iman kepada Allah, malaikat,

kitab-kitab, para rasul, hari kiamat, dan takdir. Sedangkan peribadatan

pokok Islam tercakup dalam lima unsur, yang disebut Rukun Islam, yaitu

syahadatain, salat, puasa, zakat, dan haji.

Dengan demikian tradisi Merti Dusun pada awalnya adalah sebagai

wujud penghormatan kepada dhanyang atau yang menunggu kampung dan yang

tampak hanyalah nilai-nilai religius, sehingga pengaruh yang dirasakan oleh

masyarakat Mantup hanya dalam keagamaan. Kemudian pada perkembangan


49

zaman tradisi Merti Dusun digabung menjadi satu dalam satu kampung. Dengan

demikian terjadilah hubungan sosial antar sesama warga Mantup.

Tradisi upacara Merti Dusun di Dusun Mantup mempunyai faktor

budaya yang sangat tinggi, sehingga masyarakat perlu untuk melestarikan budaya

tersebut. Pelaksanaan upacara ini dilaksanakan dengan saling bekerjasama, baik

oleh masyarakat, pelaku upacara, maupun aparat pemerintah setempat. Hal ini

terlihat dengan adanya partisipasi dari semua pihak dalam pelaksanaan upacara

tersebut.51

Dengan demikian pelaksanaan upacara Merti Dusun sekaligus juga bisa

menjadi sarana hiburan bagi masyarakat. Pelestarian kebudayaan upacara Merti

Dusun yang sangat menarik khususnya di masyarakat Jawa adalah pakaian adat

Jawa Ngayogyakarta Hadiningrat pertunjukan wayang kulit semalam suntuk.

Wayang kulit ini selain sebagai hiburan atau tontonan secara simbolis juga bisa

dijadikan sebagai tuntunan dalam hidup manusia karena dalam wayang itu

mengungkapkan gambaran hidup alam semesta.52

Upacara Merti Dusun yang dilaksanakan oleh warga Dusun Mantup

merupakan salah satu kebudayaan daerah yang selalu dilestarikan dan sekaligus

menjadi aset wisata budaya. Begitu juga pada pertunjukan wayang kulit dari dulu

sampai sekarang masih tetap merupakan media komunikasi tradisional yang

populer dalam masyarakat.

Demikianlah faktor-faktor yang mempengaruhi pergeseran tradisi dalam

upacara Merti Dusun di Dusun Mantup, Baturetno, Banguntapan, Bantul.


51
Wawancara dengan Bapak Abi Muryanto, tanggal 6 April 2009.
52
Wawancara dengan Bapak H. Jumarudin, M.Pd tanggal 20 Maret 2009.
50

Meskipun faktor yang mempengaruhi pergeserannya sedikit sesuai dengan

perkembangan masyarakatnya, ritual dalam tradisi upacara Merti Dusun yang

pada mulanya ditujukan kepada Sing Mbau Rekso sudah berubah tujuan dan

ditujukan kepada Allah SWT dengan harapan masyarakat selalu diberikan

keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat yang akan datang.

Selain berdoa untuk keselamatan juga mendoakan leluhur supaya diampuni

dosanya dan diterima amalnya oleh Allah SWT, selain itu adanya unsur-unsur

Islam baik itu dalam pelaksanaan, makna dan tujuan dari tradisi Merti Dusun

tersebut. Dan tradisi Merti Dusun adalah merupakan salah satu sarana yang bisa

menyatukan warga Dusun Mantup serta sebagai wujud dalam melestarikan

khasanah budaya Indonesia umumnya dan khususnya di Daerah Istimewa

Yogyakarta.

Dengan demikian ritual tradisi upacara Merti Dusun dapat mengalami

pergeseran dan perkembangan bagi masyarakat. Victor Turner mengatakan bahwa

masyarakat itu dilihat sebagai suatu proses yang senantiasa berubah dan

berkembang dari satu tahap ke tahap berikutnya. Ritus mempunyai makna dan

nilai dalam masyarakat dan dengan ritus tersebut masyarakat diperbaharui

berkembang terus menerus.53 Dengan demikian yang terjadi dalam Masyarakat

Dusun Mantup juga mengalami perubahan dan perkembangan sacara bertahap,

oleh karena itu mereka dalam memaknai ritual dalam pelaksanaan upacara Merti

Dusun pun juga mengalami pergeseran mengikuti perkembangan perkembangan

yang terjadi.

53
Y.W. Wartaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur, Liminitas dan Komunitas
menurut Victor Turner, hlm. 72.
51

D. Respon Warga Dusun Mantup Terhadap Adanya Pergeseran Makna

Simbolik

Warga masyarakat Dusun Mantup adalah sebagian besar memeluk agama

Islam, dengan melaksanakan kewajibannya selaku hamba Tuhan yang selalu taat

kepada-Nya, namun sebagian dari umat Islam itu sendiri masih kurangnya

pemahaman mengenai ajaran Islam yang sesungguhnya. Hal ini dapat terlihat dari

cara berpikir dan bersikap masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya

sebagian dari mereka masih meyakini bahwa di kampung mereka ada yang

menjaganya yaitu makhluk-makhluk halus seperti Sing Mbau Rekso. 54

Dalam upacara Merti Dusun ini tidak semua masyarakat menganggap itu

sebagai hal yang sakral, akan tetapi masyarakat melaksanakan upacara ini adalah

sebagai upaya melestarikan budaya yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya.

Selain melestarikan budaya leluhur dalam pelaksanaan upacara Merti Dusun ini

juga melestarikan budaya bangsa yang berakar dari budaya Jawa khususnya

budaya Jawa Ngayogyakarta.

Pelaksanaan upacara untuk sekarang ini sudah banyak dipengaruhi oleh

Islam. Hal ini karena sebagian tokoh agama ikut dalam melestarikan tradisi

upacara Merti Dusun dan masuk sebagai panitia Merti Dusun. Sedikit demi

sedikit tradisi upacara Merti Dusun dalam pelaksanaannya dikemas dalam ajaran

Islam oleh panitia Merti Dusun, Dengan demikian, prosesi dan tujuan dari

upacara mengalami pergeseran dari yang semula.

54
Wawancara dengan Rois Dusun Mantup, tanggal 20 Maret 2009.
52

Masyarakat Dusun Mantup sebagian besar masih menganggap bahwa

upacara Merti Dusun ini tetap dilaksanakan karena upacara Merti Dusun

merupakan suatu tradisi kebudayaan hasil dari warisan leluhur, yang sekarang

sudah langka sehingga perlu dilestarikan. Secara garis besar masyarakat Dusun

Mantup ada tiga kelompok yang menyikapi upacara Merti Dusun ini: Pertama,

kelompok pemeluk agama Islam yang kuat (kaum santri). Kaum ini menganggap

positif dengan adanya pergeseran makna simbolik, karena dengan adanya

pergeseran makna simbolik ini masyarakat masih tetap melaksanakan tradisi

nenek moyang mereka tanpa adanya suatu pelanggaran agama, walaupun sedikit

ada pelanggaran agama, namun tidak bermasalah karena pelanggaran agama itu

dilakukan oleh perorangan bukan atas nama panitia. Mereka yang masih

melaksanakan pelanggaran ajaran Islam adalah para orang tua yang masih kental

dengan kejawennya. Salah satu contohnya mereka masih mengadakan suatu

sesajen.55

Kedua, kelompok pemeluk agama Islam tetapi masih kental dengan ajaran

ke-Jawen (kaum abangan). Masyarakat kelompok ini sebagian menganggap

positif. Bagi masyarakat yang penting upacara ritual itu tetap dilaksanakan, akan

tetapi sebagian yang lain merespon dengan negatif. Hal ini karena mereka masih

adanya suatu kepercayaan dengan makhluk-makhluk halus yang menjaga dan

melindungi kampung. Mereka masih meyakini kalau perlengkapan dari upacara,

seperti sesajen itu kurang lengkap, maka di Dusun Mantup akan ada suatu

bencana atau terjadi banyak orang yang meninggal dalam waktu yang dekat.

55
Wawancara dengan Bapak Muh. Soeb warga Dusun Mantup, tanggal 3 Juni 2009.
53

Adapun yang merespon positif adalah kaum abangan yang masih muda,

sedangkan kaum yang tua sebagian meresponnya negatif.

Ketiga, kelompok non-Islam (Kristen dan Katholik). Kelompok ini

merespon dengan positif karena tujuan mereka juga ingin menghilangkan

kepercayaan-kepercayaan animisme. Walaupun dalam prosesi dan doa dalam

upacara itu diwarnai dalam Islam tetapi bagi kaum Kristiani tetap mengikuti

upacara itu bersama-sama dengan kaum Muslim. Akan tetapi ketika acara doa

dibacakan oleh Rois bagi kaum non-Muslim bersikap diam dan berdoa menurut

agama mereka masing-masing.56

Dari ketiga kelompok masyarakat yang merespon adanya upacara tersebut

tidak ada suatu sikap perpecahan pada masyarakat walaupun respon mereka

berbeda. Perbedaan ini cuma dalam keyakinan saja tetapi dalam lahirnya mereka

tetap bersikap hidup damai, sikap gotong royong, membangun kerukunan antar

warga masyarakat, antar agama dalam rangka melestarikan budaya masyarakat

yaitu budaya Jawa Ngayogyakarta.

56
Wawancara dengan Bapak FX. Sutopo salah satu warga yang beragama Kristen di
Dusun Mantup tanggal 2 Mei 2006.
54

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data di muka dapat disimpulkan bahwa:

1. Upacara Merti Dusun dilakukan oleh masyarakat Dusun Mantup, memiliki

tujuan untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang

telah melimpahkan rezeki melalui tanaman yang ditanam oleh masyarakat dan

memohon keselamatan, ketentraman, serta kesejahteraan dalam hidup.

Pelaksanaan upacara Merti Dusun di Dusun Mantup ini berdasarkan pada

keyakinan atau dorongan naluri yang kuat atau karena adanya perasaan

khawatir akan hal-hal yang tidak diinginkan (mara bahaya), tetapi kadang-

kadang juga merupakan kebiasaan rutin saja untuk melestarikan tradisi yang

lalu.

Upacara Merti Dusun ini juga sebagai wahana pemersatu antara warga

Kampung Mantup dan Sampangan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab

masyarakat Dusun Mantup terdiri dari beberapa masyarakat yang mempunyai

status sosial, status ekonomi, kepercayaan, agama yang berbeda-beda.

Sehingga dengan adanya upacara Merti Dusun ini seluruh masyarakat Dusun

Mantup dapat berkumpul menjadi satu di suatu tempat tanpa membedakan

status sosial, status ekonomi, kepercayaan, agama, derajat, pangkat, dan lain

sebagainya.

54
55

Pelaksanaan upacara Merti Dusun yang diadakan setiap bulan Rajab

ini mengambil hari Sabtu Legi malam Minggu pahing. Sedangkan tanggalnya

tidak ada pedoman, yang pokok adalah mengambil hari Sabtu Legi malam

Minggu Pahing. Mengambil malam Minggu karena pada malam ini diadakan

pentas seni wayang kulit semalam suntuk. Puncak upacara dilaksanakan pada

siang hari kurang lebih pukul 13.30 WIB dan berakhir pada pukul 17.00 WIB.

Selanjutnya pada pukul 20.30 WIB sampai waktu subuh diadakan pertunjukan

wayang kulit.

2. Pergeseran makna simbolik dalam upacara Merti Dusun di Dusun Mantup di

antaranya yaitu:

a. Tujuan dari pelaksanaan upacara Merti Dusun yang dahulunya ditujukan

kepada roh para leluhur sekarang ditujukan sebagai ungkapan rasa syukur

kepada Tuhan Yang Maha Esa.

b. Perlengkapan upacara Merti Dusun yaitu berupa jodang yang berisi dari

bumi untuk dishadaqahkan kepada warga.

c. Sesaji yang dulunya dalam pelaksanaan harus diletakkan di setiap sudut

dusun sudah tidak digunakan lagi dalam tradisi Merti Dusun.

d. Bahasa (ikrar) yang dulunya disampaikan kepada Sing Mbau Rekso

sekarang disampaikan kepada Allah SWT.

e. Dalam prosesi upacara Merti Dusun dilaksanakan salat Asar.

Faktor yang mempengaruhi pergeseran makna simbolik dalam tradisi Merti

Dusun ada tiga faktor yaitu faktor agama, faktor pendidikan dan faktor

budaya. Dengan demikian yang terjadi dalam Masyarakat Dusun Mantup juga
56

mengalami perubahan dan perkembangan sacara bertahap, oleh karena itu

mereka dalam memaknai ritual dalam pelaksanaan upacara Merti Dusun pun

juga mengalami pergeseran mengikuti perkembangan. Sedangkan Masyarakat

Mantup yang merespon adanya pergeseran makna simbolik dalam upacara

Merti Dusun tersebut ada tiga kelompok, yaitu: kelompok santri, abangan, dan

non-Islam. Ketiga kelompok ini menyikapinya dengan positif. Walaupun

demikian, tetap ada sebagian kecil masyarakat yang meresponnya dengan

negatif. Kelompok yang merespon negatif ini adalah warga masyarakat yang

masih percaya dengan adanya animisme, mereka itu adalah warga masyarakat

Mantup yang sudah berusia tua.

B. Saran-saran

Setelah selesai dan mengungkapkan tentang upacara Merti Dusun

sedikitnya ada tiga hal yang bisa diambil pelajaran.

1. Pemerintah setempat yang bersangkutan hendaknya dapat melestarikan tradisi

upacara Merti Dusun, karena dalam upacara tersebut terdapat nilai-nilai luhur

yang terkandung di dalamnya yang dapat dijadikan cermin yang mampu

memberikan akses positif terhadap perilaku masyarakat dalam aktifitas sehari-

hari dan sekaligus sebagai upaya melestarikan seni dan budaya daerah untuk

memperkaya kebudayaan nasional.

2. Dengan adanya pergeseran makna simbolik dalam upacara Merti Dusun, maka

perlu dilakukan upaya-upaya maksimal. Dalam hal ini terutama tokoh

masyarakat dan tokoh agama setempat hendaknya memberikan penjelasan


57

pada masyarakat tentang batas-batas syirik. Dengan demikian pada

penyelenggaraan dan pelaksanaan adat istiadat yang ada di dalam masyarakat

termasuk upacara adat Merti Dusun tidak membawa masyarakat pada

kemusyrikan dengan alasan untuk melestarikan warisan budaya dari leluhur.

3. Bagi Dinas Kebudayaan diharapkan peran sertanya dalam membina dan

menjaga kelestarian budaya Jawa. Karena kebudayaan Jawa merupakan aset

budaya bangsa yang harus diperhatikan dan dilestarikan keberadaannya.

4. Bagi Departemen Pariwisata diharapkan penyelenggaraan tradisi dan ritual

semacam Merti Dusun ini lebih bisa digarap secara sinergis, sehingga bisa

dimasukkan dalam kalender event pariwisata khususnya di Kabupaten Bantul.


58

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Sayuti. Metode Penelitian Agama (Pendekatan, Teori & Praktek). Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada. 2002. (SR 200.72 ALI m)

Connoly, Peter. Aneka Pendekatan Study Agama. Alih Bahasa Imam Khoiri.
Yogyakarta : LKIS. 2002. (SR 200.1 ANE a)

Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung:


Gema Risalah Press. 1986.

Depdikbud. Pembinaan Nilai Budaya Melalui Permainan Rakyat. Daerah


Istimewa Yogyakarta. 1998. (SR 394.3 DEP p)

Driyarkara S.J., N. Pancasila dan Religi Mencari Kepribadian Nasional.


Bandung: Jemmers. 1977.

Harun, Yahya. Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII. Yogyakarta:
Kurnia kalam Sejahtera, 1995. (SR 2x9. 6598 JAH j)

Herusatoto, Budiono. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT.


Hanindita Graha Widya. 1987. (SR 900 HER s)

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi I. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 1996.

-------------------- Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: UII-Press, 1990.

Mardimin, Johanes. Jangan Tangisi Tradisi: Transformasi Budaya Menuju


Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Kanisius 1994. (SR 307 WIN m)

Simuh. Islam dan Pergumulan Budaya Jawa. Yogyakarta : Teraju, 2003. (SR
2x6.709 SIM i)

58
59

Surakhmad, Winarno. Pengangtar Penelitian Ilmiah (Dasar, Metode dan Teknik).


Bandung : Tarsito, 1994. (SR 001.4 SUR p)

Sofwan, Ridin. Interelasi Nilai Jawa dan Islam dalam Aspek Kepercayaan dan
Ritual. Dalam Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta :
Gama Media, 2002.

Winangun, Y.W. Wartaya. Masyarakat Bebas Struktur, Liminitas dan Komunitas


menurut Victor Turner. Yogyakarta : Kanisius. 1990
CURRICULUM VITAE

Nama : Hamzah Safi’i Saifuddin


Tempat,Tanggal Lahir : Bantul, 7 Desember 1983
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Kebangsaan : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Dusun Mantup RT 11 Desa Baturetno,
Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul,
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Riwayat Pendidikan : SD Negeri Wiyoro lulus tahun 1996
MTs Negeri Piyungan lulus tahun 1999
SMK Negeri 3 Yogyakarta lulus tahun 2002
UIN Sunan Kalijaga masuk tahun 2005.
Nama Orang Tua
Ayah : Jumadi, SPd.
Ibu : Sarmiyah
Pekerjaan Orang tua
Ayah : PNS
Ibu :-
Alamat Orang tua : Dusun Mantup RT 11 Desa Baturetno,
Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul,
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
DENAH DUSUN MANTUP
DOKUMENTASI
PERINGATAN MERTI DUSUN TAHUN 2008
DI DUSUN MANTUP, BATURETNO, BANGUNTAPAN, BANTUL

TEMA PERINGATAN MERTI DUSUN TAHUN 2008

JODHANG YANG DIBUAT OLEH SALAH SATU RT DI DUSUN MANTUP


SELURUH PESERTA PERINGATAN MERTI DUSUN DARI RT 01 – RT 15

BERKUMPUL DI TEMPAT YANG TELAH DITENTUKAN OLEH PANITIA

ROIS YANG MEMIMPIN DOA DALAM UPACARA

PERINGATAN MERTI DUSUN


KARAWITAN OLEH PAGUYUBAN IBU-IBU DI DUSUN MANTUP

PENYERAHAN TOKOH WAYANG BIMA (WERKUDARA) DARI KEPALA

DESA BATURETNO KEPADA DALANG UNTUK DIMULAI

PEGELARAN WAYANG KULIT SEMALAM SUNTUK


PENONTON DALAM PAGELARAN WAYANG KULIT

PAGELARAN WAYANG KULIT SEMALAM SUNTUK

OLEH DALANG KI LURAH CERMO SUTEDJO

Anda mungkin juga menyukai