Anda di halaman 1dari 7

Sepenggal Cerita Tentang Mudia (Kasih Tak

Sampai)
Malam kian larut, suasana begitu sepi, tiada lagi suara langkah kaki yang terdengar,
hanya ada suara butir hujan yang berjatuhan dari langit dan sesekali juga terdengar petir
yang menggelegar. Sejak dari tadi Aku hanya berbaring saja di ranjang kamarku dengan
mata yang masih terbuka, Aku menyetel lagu Tentang Cinta miliknya Ipang, ku terlena dan
Aku terbawa pada suatu masa saat Aku bersama dengan seorang gadis yang ku anggap
sebagai sahabatku sekaligus cinta pertamaku. Dialah yang memberi warna di hidupku, Aku
selalu berharap agar dia menjadi pendamping hidupku kelak, semoga Allah
mengabulkannya.

Gadis itu bernama Mudia Sari, biasanya Aku memanggilnya Mudia, umurnya lebih tua
setahun dariku, orangnya ramah, baik, tapi rada tomboy. Aku mengenalnya lewat perantara
yaitu temanku Fahmi, awal-awalnya Fahmi sering bercerita tentang seorang gadis dan
katanya satu sekolah dengannya, namanya Mudia. Menyadari bahwa Fahmi mempunyai
ketertarikan pada gadis itu, lalu Aku menyarankan Fahmi untuk mengirimkan gadis itu puisi.

“Fahmi, gimana kalo Kamu kirimin dia puisi?”.

“tapi Aku gak tahu kirimin puisi yang gimana buat dia”.

“tenang, puisinya biar Aku yang buat”.

Setelah itu Aku memberikan Fahmi puisi untuk dikirimkan pada Mudia, selang
beberapa saat setelah puisi itu dikirimkan, Fahmi mendapat balasan dari Mudia dan Fahmi
pun berkata;

“gimana ya? Mudia gak suka puisi!”.

“ya udah kalo gitu”.

Dan saat itu Aku semakin penasaran dengan sosok Mudia, apalagi ketika melihat
Fahmi sering SMS-an dengan Mudia. Akhirnya rasa penasaranku terjawab sudah, ketika Hari
Raya Idul Adha tiba, Fahmi mengajakku untuk silaturrahmi kerumah Mudia. Dengan
mengendarai sepeda motorku, kami menyusuri jalan dan di salah satu gang terlihat seorang
gadis berdiri dan melambaikan tangan kearah kami berdua sambil tersenyum, kami pun
berhenti. Aku pun bersalaman dengannya dan dia memperkenalkan diri sebagai Mudia Sari.
Mudia mengajak kami masuk, hampir dua jam kami mengobrol dan bercerita tentang diri
kami masing-masing dan Aku baru tahu kalau Mudia adalah tipe orang yang enak diajak
ngobrol. Lalu, kamipun berpamitan untuk pulang.

Malamnya tanpa sepengetahuan Fahmi, Aku mengambil nomor Mudia di HP-nya


Fahmi, iseng-iseng Aku SMS Mudia dan dia pun membalasnya, begitulah seterusnya sampai
Aku berterus terang pada Fahmi bahwa Aku telah mengambil tanpa izin nomor HP-nya
Mudia.

“sorry ya Fahmi, Aku kemaren nyuri nomer Mudia di ponsel Kamu” kataku.

“gak masalah kok, oh ya Mudia sering nanyain tentang Kamu ”, jawabnya


bersemangat.

“ah masak sih?”, Aku menanggapinya dengan raut wajah tak percaya.

“beneran, kalo gak percaya ya udah!”, Jawab Fahmi ketus.

“tapi Kamu gak marahkan?”, tanyaku. Fahmi hanya menggelengkan kepalanya yang
berarti “tidak”, dia tidak marah padaku, Aku merasa senang dengan jawabannya itu.

Beberapa hari setelah kejadian itu, Aku ditimpa masalah keluarga, membuatku benar-
benar merasa sulit, Aku tak tahu harus menceritakannya pada siapa. Aku tak sanggup
menyimpan beban ini seorang diri, lalu dengan sedikit keberanian Aku mengirimkan Mudia
SMS dan menceritakan masalah yang sedang kualami, dia pun membalas pesanku itu,
bahkan dia juga menghiburku. Sejak peristiwa itu kami berdua semakin dekat, kami berdua
pun bersahabat, dia juga sering bercerita tentang keluarganya, belakangan baru ku ketahui
ternyata Mudia anak broken home, ayah ibunya bercerai dan dia harus tinggal bersama
Ayahnya. Mendengar kisah sedih itu rasa simpatiku bertambah terhadapnya, Aku tak
menyangka Mudia Sari seorang gadis periang memiliki masalah seberat itu, dan masalah itu
harus dipikulnya sendiri, mulai saat itu Aku bersumpah untuk meringankan beban hidupnya
meski hanya sedikit saja.

Hari berganti hari, bulan pun berganti bulan, hubunganku dengan Mudia makin
dekat saja, Mudia pun mulai menunjukkan gelagat anehnya terhadapku.

Pertama, Aku sering mengirimkan puisi untuknya, dia sangat menyukai puisi
ciptaanku, padahal menurut cerita Fahmi, Mudia tidak menyukai puisi dan puisi yang
dikirimkan Fahmi untuk Mudia tempo hari, juga ciptaanku. Tapi, kenapa dia tidak suka puisi
itu?.

Kedua, dia pernah mengatakan padaku;

“enak ya Zal, kalo misalnya Aku jadi istrimu, pagi-pagi gak usah repot untuk masak-
masak, tinggal nyiapin biskuit dan teh panas aja”. Aku hanya tersenyum ketika
mendengarnnya. Menanggapinya sebagai sebuah canda.
Tanpa kusadari benih-benih cinta terhadap Mudia mulai tumbuh, sepertinya Mudia
pun merasakan hal yang sama denganku. Kami jadi lebih sering SMS-an, telponan dan surat-
suratan, semua itu menjadi kebiasaan kami berdua. Jika sehari saja tidak berkomunikasi
rasanya hambar, ada sesuatu yang hilang, Aku pun tak mengerti kenapa begitu.

Pada suatu malam, tepatnya malam senin 07 Maret 2011, Aku mengirimkan Mudia
puisi yang menceritakan rasa rinduku terhadapnya, karena lama sudah kami tak bertemu.
Tapi, dia membalasnya tidak seperti biasanya.

“Kamu denger ya! Mulai sekarang gak usah hubungi Aku lagi, karena Aku udah ada
yang punya, Aku harap Kamu ngerti”.

Seperti belati menikam hati dan kelu terasa sampai keujung jemari, setelah membaca
pesan itu, Aku tak menyangka Mudia setega itu terhadapku. Dia menyakiti hatiku, Aku
merasa benci terhadapnya, terhadap caranya, kenapa dia tega mempermainkanku. Aku
mencoba untuk menelponnya lagi untuk meminta penjelasan tapi dia tak menghiraukan
panggilanku.

Berhari-hari Aku dirundung kesedihan, Aku mencoba melupakannya, meskipun


sesekali rasa rindu hadir di benakku, ku tepiskan rasa itu, jauh. Aku mengganti nomor HP ku
bermaksud supaya Mudia tak menghubungiku lagi, ku sibukkan diri dengan sekolah dan
menghabiskan waktu bersama teman-teman. Tapi, rasa rindu terus saja mendera kalbuku.

Berbulan-bulan kami Miss Communication, kupikir dia takkan bisa menghubungiku


lagi, tapi Aku keliru ternyata Mudia sudah tahu nomor baruku dari Fahmi. Aku kesal kenapa
Fahmi memberikan nomorku pada Mudia.

“Fahmi napa sih Kamu kasih nomerku ke Mudia?”.

“Aku gak tega Zal dia minta dengan raut wajah sedih. ketika ketemu sama Aku,
Kamu orang pertama yang Mudia tanyain, dia butuh Kamu Zal, dia cinta sama Kamu!”.

Dan semenjak saat itu Mudia terus-terusan menghubungiku, meminta maaf padaku,
Aku memang telah memaafkannya, tapi Aku tak ingin lagi hubungan ini terus berlanjut, aku
takut kejadian ini akan terulang. Aku benci terhadap caranya mempermainkanku, tapi
ternyata rasa benciku tak sebesar rasa rinduku terhadapnya, Aku luluh dengan usahanya itu.

“Zal Aku minta maaf, jujur Aku gak pernah ngirimin SMS itu ke Kamu, Kamu harus
percaya sama Aku!”.

“kalo bukan Kamu yang ngirimin, trus siapa?”.

“sebenarnya dia cowok yang pernah Aku ceritain dulu, dia mau di jodohin sama Aku.
Tapi, Aku gak setuju Zal, Aku gak mau. Kalau mang Aku diberi pilihan Aku lebih milih Kamu
ketimbang tu cowok, Aku pernah ngomong ne di depan Ayah sama cowok tu. Kamu ngerti
Aku kan Zal? Kalo bukan Kamu siapa lagi yang bisa ngertiin Aku?”.

Mendengar penjelasan itu, rasa marahku terhadapnya perlahan luntur, Aku pun
berbaikan dengannya. Hubungan kami yang sempat retak kini jadi lengket lagi karenanya,
Aku bahagia saat itu dan Aku tahu Mudia pun merasakan hal yang sama denganku. Jujur ku
akui, hanya dengan melihat senyum yang disunggingkannya saja, aku bisa merasa sangat
bahagia.

Waktu itu, Lebaran kedua Idul Adha menginjak tahun kedua hubungan kami,
paginya ketika Aku sedang duduk di teras rumahku, tiba-tiba HP ku berdering, ku angkat
panggilan itu ternyata Mudia.

“Zal bisa gak Kamu antarin Aku ketempat sodara? Bisa kan?”, pintanya.

“bisa kok, tapi Aku belum mandi nih!”.

“walau belum mandi, tetap ganteng kan?”, candanya.

“ganteng sih, kalo diliat pake mata kaki”, balasku sambil tertawa.

“ya udah Kamu mandi sana, Aku tunggu di rumah, cepat ya!”.

“oke”.

Klik panggilan di putuskan dan Aku bergegas untuk memepersiapkan diriku. Pukul
08:00 WIB Aku siap untuk berangkat menuju rumah Mudia dengan sepeda motorku.
Setengah jam kemudian Aku sudah sampai di depan pintu rumahnya, dia membuka
pintunya, ternyata dia belum juga bersiap-siap, kami ngobrol-ngobrol sebentar, lalu ku
persilahkan dia untuk mandi. Satu jam lebih Aku menunggu dia diruang tamu, bosan. Tapi,
Mudia tak kunjung keluar juga dari kamarnya. “dasar perempuan, kalau giliran dandan
lamanya minta ampun”, pekikku dalam hati.

Jujur, baru kali ini Aku menunggu seorang gadis yang dandan, geli ketika
kubayangkan. Kalau Aku setengah jam saja sudah kelar semuanya, mandi, pakai baju, dan
segalanya. Tanpa ku sadari Mudia muncul juga setelah bosan Aku menunggunya, dia
membuyarkan lamunanku, dengan rasa tak percaya kupandangi dia lama sekali “wow
amazing!!!”, pekikku dalam hati. Aku tak menyangka dengan yang baru saja kualami, Mudia
yang rada tomboy itu kini berubah jadi anggun, dalam balutan gamis yang ia kenakan, dia
benar-benar cantik, Aku merasa tak pantas untuk jalan bareng dia.

“kok Kamu liatin Aku gitu? Kamu malu ya? Gue kayak mak-mak”, katanya.
“Aku bakalan malu kalo Kamu kayak bapak-bapak, jujur Kamu cantik banget hari ini”,
jawabku.

“cabut yok!,udah telat nih”.

Kami pun berangkat menyusuri jalan, saat di tengah perjalanan, Aku berbicara
banyak padanya, tentang betapa kesepiannya Aku saat dia tidak ada, tentang bagaimana arti
dia dalam hidupku. Dia juga bercerita tentang betapa sedihnya dia saat Aku tak mau
memberinya kesempatan sekali lagi, dia benar-benar menyesal pernah membuat Aku
kecewa. Tapi , Aku bahagia bisa jalan-jalan bersama dia, Semuanya benar-benar indah
seperti menemukan surga dalam keretakan kaca dunia, Aku takkan pernah bisa
melupakannya, sweet memories.

Tiga bulan pun telah berlalu, hubunganku dengan Mudia makin lengket saja, Mudia
yang dulu rada tomboy kini berubah jadi perempuan tulen. Aku juga heran, kenapa Mudia
bisa milih Aku tuk jadi orang yang ter-spesial di hatinya, padahal diluar sana masih banyak
laki-laki yang lebih dariku, mungkin pertanyaan itu hanya bisa dijawab oleh Mudia sendiri.

Sampai tahap ini Aku masih saja menyimpan rasa cintaku terhadapnya, terhadap
Mudia. Dan suatu ketika Aku tak tahan lagi, Aku pun mencoba mengungkapkan isi hatiku
padanya, Aku tahu dia juga cinta padaku, tapi dia menunggu Aku yang memulainya.

“Mudia, banyak hal yang udah kita lewati bersama, dengan adanya Kamu disini
membuat Aku begitu nyaman dan begitu bahagia, Aku butuh Kamu untuk tetap disini
bersamaku, Aku cinta sama Kamu. Jujur, Aku cinta sama Kamu”, kataku.

“kenapa Kamu gak bilang dari dulu Zal? Aku slalu nunggu moment ini, kenapa gak
dari dulu sih Zal”, balasnya dengan raut wajah kecewa.

“Aku punya dua alasan tentang kenapa Aku nyimpan rasa ini. Pertama, Aku gak ingin
persahabatan kita jadi rusak karena cinta, karena kita kan pernah janji dulu, kita kan jadi
sahabat selamanya. Kedua, Aku masih ingat ketika pertama kali Aku jumpa sama Kamu,
Kamu pernah bilang kalo misalkan ada temen cowok yang suka sama Kamu, Kamu bakal
ngejauhin dia, Aku takut Kamu bakal ngejauhin Aku, Aku gak sanggup”, jelasku.

“Aku gak bakal ngejauhin Kamu, semua yang pernah Aku bilang dulu gak berlaku
buat Kamu. Tapi, Kamu terlambat Zal Aku udah dinikahkan!”, tangisnya.

Aku terdiam, tak tahu harus memintal kata apa lagi. Mendengar itu semua, Aku
kecewa pada diriku sendiri, kenapa tidak dari dulu saja Aku mengungkapkannya?, ternyata
apa yang dikatakan orang-orang tentang “siapa cepat dia dapat”, ada benarnya juga. Ini jadi
masalah baru dalam hubunganku dengan Mudia, Mudia telah Married dengan pemuda
pilihan Ayahnya, Aku kecewa. Tapi, Mudia memberikan kesempatan lagi untukku, dia tidak
ingin mengecewakanku, hubungan ini tetap dilanjutkan dan lama-kelamaan hubunganku
dengan Mudia mulai tercium suaminya.

“Loe Izal kan?, cowok yang mau ngerusak rumah tangga orang. Kalo mang Loe suka,
besok Gue anter Mudia kerumah Loe dan Mudia jadi tanggung jawab Loe”, tantang
suaminya.

“anter aja”, jawabku sinis saat itu.

Dan malam itu, Aku tak bisa tidur, selalu memikirkan Mudia, memikirkan bagaimana
nanti nasibnya dan apa yang sedang terjadi dengannya. Aku menangis saat itu, Aku merasa
bersalah dan Aku kasihan terhadap Mudia. Lelaki yang sekarang jadi suaminya itu telah
banyak membantu Mudia, bagaimana jika ia meninggalkan Mudia. Aku juga cemas jika
memang omongan suaminya itu terbukti, apa yang harus ku katakan pada ibuku besok jika
memang Mudia diantar kerumahku, aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku benar-benar stress
saat itu, cinta yang dulu indah kini berubah menjadi simalakama, Aku gila.

Setelah rindu menyiksa jiwa dan rindu membuatku sulit berkata-kata, Mudia datang
menemuiku lagi, tepatnya hari minggu pagi ketika aku sedang bersantai di depan rumahku.
Aku terkejut, dia tersenyum padaku senyum yang persis seperti dulu ketika kami pertama
kali dipertemukan oleh takdir, senyum yang mampu membuatku seakan terbang
menyentuh plafon kamarku, aku bahagia saat itu, tapi aku menjadi takut untuk bahagia
karena kecewa mulai menari-nari lagi di pelupuk mata.

Aku membuka percakapan, karena kulihat Mudia hanya diam saja.

“Aku kira kita gak akan ketemu lagi”, kataku sambil menjabat tangannya.

“takdir yang mempertemukan kita, takdir juga yang bakalan misahin kita”, jawabnya.

Dan selebihnya seperti biasa kami berbicara banyak saat itu tentang rindu, tentang
jarak yang membelenggu, tentang takdir yang tak sejalan dengan ingin Mudia juga inginku.
Lalu aku mengantarnya pulang kami berpisah dijalan, itulah terakhir kali aku menatap Mudia,
last moment.

Berat memang saat harus berpisah dengan orang yang paling diharapkan dalam
hidup ini, sepulang dari mengantar Mudia, rasa rindu mulai menyiksa kalbu ini saat
menyadari bahwa dia tak bisa lagi kumiliki.

Semenjak itu, Aku berusaha untuk menerima kenyataan pahit bahwa Mudia bukan
milikku lagi, Aku bukanlah siapa-siapa baginya. Kenyataan ini benar-benar berat, tapi Aku
harus menerimanya, selalu Aku camkan dalam hatiku “kalau jodoh gak akan kemana”. Kalau
memang Mudia berjodoh denganku, dia pasti akan jadi milikku.

Tak ada yang bisa kulakukan lagi untuk merubah kenyataan ini saat ini, kalaupun Aku
meminta Mudia untuk bercerai dengan suaminya, apa yang bisa kulakukan?, Aku masih
terlalu muda untuk mengenal pernikahan dan Aku belum punya apa-apa untuknya selain
cinta. Aku hanya bisa mengikhlaskannya sambil membujuk-bujuk hatiku, meski aku tak
pernah memilikinya, paling tidak aku pernah mengenalnya dan dia menjadikanku hal
terindah di hidupnya.

Aku tersadar dari lamunan panjangku tentang Mudia Sari; sahabat sekaligus cinta
pertamaku. Aku berdo’a semoga Mudia bahagia dengan kehidupan barunya dan berharap
dia baik-baik saja. Aku hanya ingin dia tahu bahwa disini Aku selalu merindukannya, rinduku
padanya seperti banyaknya butir hujan malam ini, Aku akan selalu mengingatnya, mengingat
sebuah cerita tentang kasih tak sampai, tentang cinta yang tak dapat ku gapai. Aku berharap
masih ada ruang kosong di hati Mudia untuk menyimpan sedikit ingatan tentangku, tentang
kisah kami dulu.

Penulis; Nurfitriani & Yusrizal Yusuf

terinspirasi dari sebuah kisah nyata cerita cinta Yusrizal Yusuf & Mudia Sari.

Anda mungkin juga menyukai