Anda di halaman 1dari 17

Referat

SYOK ANAFILAKTIK DALAM ASPEK MEDIKOLEGAL

Oleh

Nusrotud Diniyah
I1A000081

Pembimbing

Dr. Iwan Aflanie, Sp.F, M.Kes

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN KEHAKIMAN


FK UNLAM – RSUD ULIN
BANJARMASIN
Maret, 2008

2
PENDAHULUAN

Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi jika sirkulasi darah arteri

tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Perfusi jaringan

yang adekuat tergantung pada 3 faktor utama, yaitu curah jantung, volume darah,

dan tonus otot vasomotor perifer. Jika salah satu dari ketiga faktor penentu ini

kacau dan faktor lain tidak dapat melakukan kompensasi, maka akan terjadi syok1.

Syok bukan merupakan penyakit dan tidak selalu disertai dengan

kegagalan perfusi jaringan. Syok dapat terjadi karena kehilangan cairan dalam

waktu singkat dari ruang intravaskuler (syok hipovolemik), kegagalan kuncup

jantung (syok kardiogenik), infeksi sistemik berat (syok septic), reaksi imun yang

berlebihan (syok anafilaktik) dan reaksi vasovagal (syok neurogenik). Syok dapat

terajdi setiap waktu pada penderita2.

Anafilaktik merupakan reaksi alergi yang mengancam jiwa, bersifat

umum dan akut, yang terjadi pada 1:10000 orang/tahun dan merupakan penyebab

pada 1 dari 2700 kasus yang masuk Rumah Sakit3,4.

Praktek kedokteran pada prinsipnya merupakan suatu praktek yang

penuh risiko. Dalam melakukan tindakan diagnostik maupun pengobatan, pasien

tidak pernah lepas dari kemungkinan mengalami cedera, syok sampai meninggal.

Selain itu, pada umumnya apa yang akan menjadi hasil dari suatu pengobatan

tidak pernah dapat diramalkan, karena pada prinsipnya reaksi tubuh setiap orang

terhadap pengobatan tidak dapat diramalkan. Dengan demikian suatu hasil

pengobatan yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan belum tentu terjadi

3
akibat kelalaian atau kesalahan dokter. Seorang dokter dikatakan melakukan

malpraktek jika ia melakukan praktek kedokteran sedemikian buruknya, berupa

suatu kelalaian besar (pulpa lata), kecerobohan yang nyata atau kesengajaan yang

tidak mungkin dilakukan oleh dokter pada umumnya, sedemikian sehingga

pasiennya mengalami kerugian karenanya5.

4
ISI

I. Definisi

Syok anafilaktik merupakan suatu risiko pemberian obat baik melalui

suntikan atau cara lain. Reaksi dapat berkembang menjadi suatu kegawatan

berupa syok, gagal nafas, henti jantung dan kematian1,4.

II. Patofisiologi

Anafilaksis terjadi akibat pelepasan sistemik cepat sejumlah besar

mediator aktif biologis dari sel mast dan basofil, yang dipicu oleh interaksi

antara alergen dengan antibody Ig E spesifik yang terikat pada membrane sel.

Aktivasi sel menyebabkan pelepasan mediator yang sebelumnya telah

terbentuk dan disimpan dalam granul (diantaranya histamine, triptase, dan

kimase) serta mediator yang baru terbentuk (diantaranya prostaglandin dan

leukkotrin). Mediator-mediator ini menyebabkan kebocoran kapiler, edem

mukosa dan kontraksi otot polos3.

III. Etiologi

Obat-obat yang sering menimbulkan reaksi anafilaktik adalah golongan

antibiotik penisilin, ampisilin, sefalosporin, neomisin, tetrasiklin,

kloramfenikol, sulfonamide, kanamisin, serum antitetanus, serum antidifteri,

dan antirabies. Alergi terhadap gigitan serangga, kuman-kuman, insulin,

ACTH, zat radiodiagnostik, enzim-enzim, bahan darah, obat bius (prokain,

5
lidokain), vitamin, heparin, makan telur, susu, coklat, kacang, ikan laut,

mangga, kentang, dan lain-lain, juga dapat menyebabkan syok anafilaktik1,3.

IV. Manifestasi Klinis

Pasien datang dengan berbagai macam keluhan utama: sebagian besar

merasakan gatal, kulit kemerahan atau seperti ditusuk-tusuk, dan perubahan

pendengaran dan penglihatan dalam waktu beberapa menit setelah terpapar

pemicu (allergen). Keadaan ini dengan cepat berkembang menjadi urtikaria

generalisata dan angioedema, bronkospasme dan/ stridor, hipotesni, serta

perasaan akan datangnya ajal. Kolik abdomen, mual dan diare bisa Nampak

jelas. Pada wanita bisa terjadi kontraksi uterus. Kematian bisa terjadi akibat

bronkospasme akut, obstruksi laring akut akibat angioedema atau aritmia

kordis4. Manifestasi – manifestasi klinis tersebut dapat dikelompokkan

menjadi1 :

1. Reaksi lokal: biasanya hanya urtikaria dan edem setempat, tidak fatal.

2. Reaksi sistemik : biasanya mengenai saluran nafas bagian atas, system

kardiovaskuler gastrointestinal, dan kulit. Reaksi tersebut bisa timbul

segera atau 30 menit setelah terpapar antigen.

a. Ringan : mata bengkak, hidung tersumbat, gatal-gatal dikulit dan

mukosa, bersin-bersin,biasanya timbul 2 jam setelah terpapar

alergen.

b. Sedang : gejalanya lebih berat selain gejala di atas didapatkan

gejala bronkospasme, edema laring, mual, muntah, biasanya terjadi

dalam 2 jam setelah terpapar allergen.

6
c. Berat : terjadi langsung setelah terpapar allergen, gejala seperti

reaksi tersebut di atas hanya lebih berat yaitu bronkospasme, edem

laring, stridor, napas sesak, sianosis, heni jantung, disfagia, nyeri

perut, diare, muntah-muntah, kejang, hipotensi, aritmia jantung,

syok, dan koma. Kematian disebabkan oleh edema laring dan

aritmia jantung.

Cara pemaparan, jumlah dan cara masuk antigen, selain faktor penyerta

seperti alkohol dan olahraga, menentukan beratnya suatu reaksi. Jika

seseorang mengalami serangan anafilaksis berulang, setiap serangan

cenderung menunjkkan pola yang ssama. Kadang-kadang gejala

anafilaksis timbul kembali setelah beberapa jam, yang disebut reaksi

bifasik, sehingga semua pasien tetap dalam observasi selama > 12 jam

setelah suatu episode anafilaktik4.

V. PENATALAKSANAAN

Adapun penatalaksanaan syok anafilaktik ini tergantung dari tingkat

keparahannya, namun yang terpenting harus segera dilakukan evaluasi jalan

napas, jantung dan respirasi. Bila ada henti jantung paru, lakukan resusitasi

jantung paru. Terapi awal diberikan setelah diagnosis ditegakkan1.

Untuk terapi awal berikan adrenalin 1:1000; 0,3 ml sampai maksimal 0,5

ml, subkutan atau im, dapat diulang 2-3 kali dengan jarak 15 menit. Pasang

turniket pada proksimal dari tempat suntikan infiltrasi dengan 0,1-0,2 ml adrenalin

1:1000. Lepaskan turniket setiap 10-15 menit. Tempat pasien dalam posisi

terlentang dengan elevasi ekstremitas bawah (kecuali kalau pasien sesak). Awasi

7
jalan napas pasien, periksa tanda-tanda vital setiap 15 menit. Bila efek terhadap

adrenalin kurang, berikan difenhidramin hidroklorida 1 mg/Kg BB sampai

maksimal 50 mg im atau iv perlahan-lahan1,6.

Bila terjadi hipotensi (tekana sistolik < 90 mHg), segera berikan cairan iv

yang cukup. Bila tidak respon, berikan dopamine 400 µg (2 ampul) dalam cairan

infuse glukosa 5% atau Ringer laktat atau NaCl 0,9% atau dekstran, untuk

mempertahankan tekanan darah sistolik 90-100 mmHg1,6.

Bila terjadi bronkospasme persisten, berikan oksigen 4-6 liter/menit. Bila

tidak terjadi hipotensi, berikan aminofilin 6 mgKg iv selama 15-20 menit,

selanjutnya berikan aminofilin dosis 0,5-0,9 mg/Kg BB/jam. Berika aerosol β2-

agonis tiap 2-4 jam, misalnya 0,3 ml setiap 2-4 jam1,6.

Untuk mencegah relaps (reaksi fase lambat), berikan hdrokortison 7-10

mg/Kg BB iv lalu lanjutkan hidrokortison suntikan 5 mg/Kg BB v tiap 6 jam

sampai 48-72 jam1.

Awasi adanya edema laring, jka perlu dilakukan trakeostomi. Bila kondisi

pasien stabil, berikan terapi suportif dengan cairan selama beberapa hari, pasien

harus diawasi karena kemungkinan gejala berulang minimal selama 12-24 jam.

Kematian dapat terjadi dalam 24 jam pertama1,4,6.

Berikut langkah-langkah (protap) penanganan syok anafilaktik yang

digunakan di Puskesmas Banjarangkan II6:

A. Penanganan Utama dan segera :

1. Hentikan pemberian obat / antigen penyebab.

2. Baringkan penderita dengan posisi tungkai lebih tinggi dari kepala.

8
3. Berikan Adrenalin 1 : 1000 ( 1 mg/ml )

Segera secara IM pada otot deltoideus, dengan dosis 0,3 – 0,5

ml (anak : 0,01 ml/kgbb), dapat diulang tiap lima menit,

pada tempat suntikan atau sengatan dapat diberikan 0,1 – 0,3

ml

Pemberian adrenalin IV apabila terjadi tidak ada respon pada

pemberian secara IM, atau terjadi kegagalan sirkulasi dan

syok, dengan dosis ( dewasa) : 0,5 ml adrenalin 1 : 1000 ( 1 mg

/ ml ) diencerkan dalam 10 ml larutan garam faali dan

diberikan selama 10 menit.

4. Bebaskan jalan napas dan awasi vital sign (Tensi, Nadi, Respirasi )

sampai syok teratasi.

5. Pasang infus dengan larutan Glukosa faali bila tekanan darah

systole kurang dari 100 mmHg.

6. Pemberian oksigen 5-10 L/menit

7. Bila diperlukan rujuk pasien ke RSU terdekat dengan pengawasan

tenaga medis.

B. Penanganan Tambahan :

1. Pemberian Antihistamin :

Difenhidramin injeksi 50 mg, dapat diberikan bila timbul urtikaria.

2. Pemberian Kortikosteroid :

9
Hydrokortison inj 7 – 10 mg / kg BB, dilanjutkan 5 mg / kg BB

setiap 6 jam atau deksametason 2-6 mg/kgbb. untuk mencegah

reaksi berulang.

Antihistamin dan Kortikosteroid tidak untuk mengatasi syok

anafilaktik.

3. Pemberian Aminofilin IV, 4-7 mg/kgbb selama 10-20 menit bila

terjadi tanda – tanda bronkospasme, dapat diikuti dengan infuse

0,6 mg /kgbb/jam, atau brokodilatator aerosol (terbutalin,

salbutamol ).

C. Penanganan penunjang :

1. Tenangkan penderita, istirahat dan hindarkan pemanasan.

2. Pantau tanda-tanda vital secara ketat sedikitnya pada jam pertama.

Adapun penanganan lanjutan menurut Davey yaitu: Semua orang

yang pernah mengalami anafilaksis harus dirujuk ke ahli imunologi klinik

untuk mengidentifikasi factor pemicu dan memberikan penyuluhan kepada

pasien dalam penghindaran dan penatalaksanaan episode selanjutnya. Pada

kejadian khusus anafilaksis yang diinduksi oleh tawon, pertimbangkan

pemberian imunoterapi dengan allergen yang sangat diencerkan4.

Tindakan pencegahan syok anafilaktik harus diperhatikan sebelum

melakukan penyuntikan. Bila tidak ada kepastian mengenai kemungkinan

akan terjadi syok anafilaktik, sebaiknya dilakukan tes kulit (skin-prick

test) dan selalu harus disiapkan sediaan adrenalin, hidrokortisond dan

antihistamin4,7.

10
VI. Prognosis

Perjalanan penyakit da prognosis anafilaksis bervariasi. Predictor

terpenting bagi reaksi selanjutnya adalah riwayat reaksi terhadap makanan

tertentu, sengatan serangga atau obat-obatan. Jika factor pemicu tidak dapat

diidentifikasi atau tidak dapat dihindari, rekurensi dapat sering terjadi sehingga

harus diantisipasi. Banyak anak yang setelah beranjak dewasa tidak lagi

mengalami reaksi akibat makanan, walaupun sensitivitas terhadap kacang

biasanya menetap seumur hidup4.

VII. Hubungan Aspek Medikolegal

Dalam melaksanakan kewajibannya terhadap pasien, dokter harus

melakukannya terhadap pasien yang telah ditetapkan oleh profesi. Pada saat ini

kita mengenal berbagai standar pelayanan, diantaranya standar pelayanan rumah

sakit, standar pelayanan medis, standar perilaku profesional serta standar prosedur

operasional (SOP). Berbagai standar ini telah dilakukan untuk dijadikan pedoman

perilaku dan tindakan bagi para dokter dalam memberikan pelayanan yang terbaik

bagi pasien. Adanya standar ini juga bermanfat dalam menciptakan kseragaman,

kejelasan pola tindak, kemudahan penilaian (evaluasi) pelayanan serta untuk

pembuktian pada dugan adanya malpraktek medis. Pada prinsipnya adanya

beberapa standar ini, merupakan upaya profesi untuk mempertahankan mutu

pelayanan yang sebaik mungkin sambil menjaga agar dokter tetap berada pada rel

ang baik dan benar5.

Manakala seorag dokter dituduh oleh pasiennya telah melakukan

malpraktek, maka tugas sejawatnya adalah untuk memberikan dukungan moral

11
karena dokter ini belum tentu bersalah. Selanjutnya Komisi Etika Rumah Sakit

harus membahas kasus ini untuk melihat permasalahannya dan menempatkan

dokter pada posisinya yang sebenarnya pada kasus ini. Komisi ini harus bersikap

jujur dan netral dalam memutuskan ada tidaknya pelanggaran etika atau hokum

yang dilakuakn dokter tersebut. Selanjutnya mereka juga harus mengupayakan

rekonsiliasi antara dokter dengan pasiennya, supaya sebisanya ditempuh jalan

damai secara kekeluargan (non litigasi). Jika upaya ini tidak berhasil, maka

kasusnya sebaiknya dilimpahkan ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI

Wilayah untuk diselesaikan lebih lanjut. Jika dokter yang digugat adalah dokter

praktek swasta, maka ia sendiri yang harus segera melaporkan kasusnya ke

MKEK IDI Wilayah untuk dimintakan pendapatnya5.

Dalam pembuktian kasus dugan malpraktek, harus dibuktikan bahwa

dokter bertindak di bawah standar profesi. Untuk menilai apakah tindakan medis

yang dilakukan seorang dokter di bawah sandar atau tidak, penilaian dilakukan

dengan standar keahlian yang sama dengan dokter yang dinilai. Ini artinya untuk

menilai tindakan dokter umum, digunakan adalah standar dokter umum juga dan

tidak boleh digunakan standar dokter spesialis. Di Indonesia standar pelayanan

medis diatur oleh perangkat peraturan perundang-undangan. Misalnya, standar

pelayanan medis yang telah disusun oleh IDI telah disahkan oleh Menteri

Kesehatan melalui Kepmenkes No.593 tahun 19935.

Seorang dokter dikatakan melakukan malpraktek jika dokter tersebut

melaksanakan tindakan dan atau pelayanan medis di bawah standar pelayanan

medis. Penentuan standar pelayanan medis pada kasus malpraktek harus pula

12
memperhatikan situasi dan kondisi tempat terjadinya kasus tersebut. Pihak yang

berwenang menentukan ada tidaknya pelanggaran standar profesi medis telah

disepakati adalah kalangan medis sendiri (peer group), karena sejawat dokter

inilah yang dianggap paling mengetahui benar tidaknya tindakan yang dilakukan

rekan sejawatnya. Untuk itu ia dapat dipanggil untuk memberikan kesaksiannya

dalam siding profesi ataupun keaksian ahli di pengadilan. Tugas sejawat dokter ini

adalah untuk mengatakan apa adanya, karena dipundakna dibebankan kewajiban

untk menjaga keluhuran profesi kedokteran. Ini artinya, pembelaan sejawat hanya

wajib dilakukan sejauh upaya agar sejawat ini diperlakukan secara adil, dan bukan

untuk membelanya secara mati-matian walaupun sesungguhnya ia telah

melakukan kesalahan. Jika hal terakhir ini yang dilakukan maka tindakan itu sama

artinya dengan merusak citra luhur profesi kedokteran sendiri6.

Seorang dokter yang melakukan pelayanan kesehatan terhadap seorang

pasien sebenarnya telah mengikatkan dirinya pada suatu kotrak terapeutik, yang

merupakan suatu perjanjian. Perjanjian ini akan melahirkan adanya perikatan pada

para pihak untuk melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing. Kegagalan

salah satu pihak lainnya dapat berakhir pada gugatan hukum di pengadilan4.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, kasus gugatan pasien terhadap

dokternya atas dasar adanya dugaan malpraktek semakin banyak dan menjadi

perhatian publik. Pada umumnya sebagian besar kasus kemuadian ditutup karena

ternyata hanya merupakan kesalahpahaman belaka, sebagian lainnya diselesaikan

secara kekeluargaan dan hanya sebagian kecil saja yang kasusnya terus melanjut

ke pengadilan. Dalam pembahasan yang ada di media massa tampak bahwa

13
banyak sekali kesalahan dalam pengertian dan penyikapan terhadap malpraktek.

Setiap kali ada hasil pengobatan dokter yang tidak seperti yang diharapkan pasien

(berupa kecacatan, penyakit atau kematian), selalu dikatakan dokter telah

melakukan malpraktek dan dipersalahkan. Padahal jika diteliti lebih lanjut

kasusnya, kasustersebut mungkin saja bukan merupakan kasus malpraktek,

misalnya jika kerugian tersebut terjadi karena kelambatan pengobatan, reaksi

tubuh pasien sendiri yang tidak dapat diramalkan (misalnya alergi), kegagalan

pasien menurut nasihat dokter, atau akibat suatu komplikasi penyakit atau risiko

tindakan yang tidak dapat diramalkan7.

Kasus-kasus kematian pasien yang diduga ada hubungan langsung dengan

pemberian obat sesungguhnya sudah terjadi sejak beberapa waktu yang lalu.

Misalnya pemberian obat suntik antibiotic, seperti penicillin. Obat itu sendiri

sebenarna untuk menyembuhkan infeksi, namun ada sementara orang-orang yang

tidak tahan terhadap obat-obat tertentu. Gejala ini termasuk golongan alergi yang

pada hakikatnya adalah suatu ekspresi yang sangat berlebihan dari reaksi

immunitas. Respon dari protein asing menjadi sangat merugikan terhadap tubuh

tertentu. Suatu alergi bisa sudah ada sejak dilahirkan atau timbul sesudah

berhubungan dengan suatu allergen. Contoh dari alam adalah misalnya pollen dari

bunga – bunga tertentu, atau yang lebih serius sifatnya adalah sengatan antuk

tawon, laba-laba dan serangga tertentu. Tubuh manusia umumnya bisa bertahan

terhadap serangan demikian, namun reaksi hebat bisa timbul pada seseorang yang

sangat sensitive terhadap suatu allergen tentu atau sebagai akibat suatu dosis

allergen yang sangat besar. Syok anafilaktik adalah salah satu contoh dari respon

14
perpindahan cairan intravascular, dengan mnyebabkan edem. Kadang-kadang

syoknya sedemikian heat sehingga bisa mengakibatkan sampai orang tersebut

jatuh pingsan dan bisa juga kematian sebagai akibat dari penurunan tekanan darah

sangat tiba-tiba(Mason-McCall Smith,28)8.

Dahulu masyarakat masih menganggap bahwa peristiwa itu tidak ada

hubungannya dengan kemungkinan kesalahan atau kelalaian dokter. Masyarakat

menganggap bahwa kematian adlah kehendakNya yang harus direlakan. Dewasa

ini masyarakat kita bertambah kritis dan tidak begitu saja menerima suatu

tindakan medik yang mengakibatkan kematian. Apalagi jika sebelum dilakukan

tindakan tersebut orangnya masih segar bugar dan tidak menderita penyakit lain

apa-apa8.

Timbul pertanyaan: apakah dokter yang menyuntikkan tersebut dianggap

laali? Sebenarnya gejala syok anafilaktik jarang terjadi, namun pada prinsipnya

reaksi dari tubuh berlebihan ini tidak bisa diketahui sebelumnya, sehingga dalam

situasi demikian dokternya tidak bisa dipersalahkan. Dokter di dalam peristiwa ini

tidak bisa dikatakan lalai, asalkan ia sudah memberikan antidotumnya (adrenalin).

Jika sampai tidak berhasil ditolong, ia tidak dapat dipersalahkan. Dokter yang

menghadapi peristiwa semacam ini akan memperoleh perlindungan hukum, yaitu

dengan ketentuan yang terdapat di dalam Surat Edaran Menteri Kesehatan R.I No.

105/Yankes/HHM-I/82 tangal 25 Januari 1982 tentang “Petunjuk Cara Pelaporan

Kasus-kasus Shock Anafilaktik sesudah meninggal dunia”. Laporan tentang

kasus-kasus syok anafilaktik yang sampai menyebabkan kematian hanya perlu

dilaporkan kepada Kakanwil Depkes.Kecuali tentunya apabila terdapat unsur

15
kelaaian. Sewaktu memeriksa pasien, seharusnya sang dokter menanyakan tentang

riwayat alerginya terhadap obat apa. Misalnya apakah pernah dapt suntikan

penisilin atau tidak. Kalau tidak diketahui, harus dimulai dengan mengikuti

prosedur yang dianjurkan, yaitu prick-test (Iwan Darmansjah: Deswarte, 1980).

Jika sudah dilakukan uji tersebut, maka kelak ia tidak dapat dipersalahkan jika

terjadi syok anafilaktik. Namun harus diakui pula bahwa pasien itu tidak selalu

akan tahu jika ditanyakan hal-hal yang demikian8.

Selain itu ada pula beberapa obat anestesi lokal yang bisa menimbulkan

reaksi alergi yang hebat atau syok anafilaktik pada pasien – pasien tertentu. Oleh

karenanya untuk pengamanan maka uji di permukaan kulit dilakukan sebelum

obat anestesi itu diberikan. Suatu perangkat obat emergensi harus sudah siap sedia

yang memuat jarum hipodermik, syringe dan ampul-ampul berisikan stimulant

seperti epinefrin apabila dipakai anestesi lokal (Miller-Keane, 47).obat-obat KB

pun ada beberapa kasus yang sampai menimbulkan syok anafilaktik8.

Secara umum dapat dikatakan bahwa timbulnya syok anfilaktik tidak

dapat dipersalahkan kepada dokternya, karena merupakan suatu akibat yang tidak

dapat diketahui sebelumnya. Bukan kelalaian dokter kecuali dalam beberapa hal

sehingga tidak perlu dilaporkan ke pihak Polisi, karena tidak terdapat unsur untuk

penuntutan (no case)8.

16
PENUTUP

Syok anafilaktik merupakan suatu risiko pemberian obat baik melalui

suntikan atau cara lain. Reaksi dapat berkembang menjadi suatu kegawatan

berupa syok, gagal nafas, henti jantung dan kematian1,5

Pada prinsipnya reaksi tubuh setiap orang terhadap pengobatan tidak dapat

diramalkan. Dengan demikian suatu hasil pengobatan yang tidak sesuai dengan

apa yang diharapkan belum tentu terjadi akibat kelalaian atau kesalahan dokter8.

Timbulnya syok anfilaktik tidak dapat dipersalahkan kepada dokternya,

karena merupakan suatu akibat yang tidak dapat diketahui sebelumnya. Bukan

kelalaian dokter asalkan ia sudah memberikan antidotumnya (adrenalin). Dokter

di dalam peristiwa ini tidak bisa dikatakan lalai, sehingga tidak perlu dilaporkan

ke pihak Polisi8.

17

Anda mungkin juga menyukai