Anda di halaman 1dari 252

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/371943398

SURVEILANS KESEHATAN MASYARAKAT

Book · June 2023

CITATIONS READS

0 265

1 author:

I Made Dwi Mertha Adnyana


Airlangga University
30 PUBLICATIONS 68 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Medicinal plants (herbs) as anti-HBV agents View project

All content following this page was uploaded by I Made Dwi Mertha Adnyana on 05 July 2023.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


COVER
BUNGA RAMPAI

SURVEILANS KESEHATAN MASYARAKAT


UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta
Fungsi dan sifat hak cipta Pasal 4
Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf
a merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral
dan hak ekonomi.
Pembatasan Pelindungan Pasal 26
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23,
Pasal 24, dan Pasal 25 tidak berlaku terhadap:
i Penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau
produk Hak Terkait untuk pelaporan peristiwa aktual
yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan
informasi aktual;
ii Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait
hanya untuk kepentingan penelitian ilmu
pengetahuan;
iii Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait
hanya untuk keperluan pengajaran, kecuali
pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan
Pengumuman sebagai bahan ajar; dan
iv Penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan
pengembangan ilmu pengetahuan yang
memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak
Terkait dapat digunakan tanpa izin Pelaku
Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga
Penyiaran.

Sanksi Pelanggaran Pasal 113


1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan
pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa
izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d,
huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
SURVEILANS KESEHATAN MASYARAKAT
Agung Sutriyawan
Krisnita Dwi Jayanti
Dwi Handayani
Iskandar Arfan
I Made Dwi Mertha Adnyana
Kuuni Ulfah Naila El Muna
R. Melda Indri Purnama
Denny Indra Setiawan
Dedes Handayani
Tating Nuraeni
Diah Adni Fauziah
Ari Susanti
Irwandi Rachman

Penerbit

CV. MEDIA SAINS INDONESIA


Melong Asih Regency B40 - Cijerah
Kota Bandung - Jawa Barat
www.medsan.co.id

Anggota IKAPI
No. 370/JBA/2020
SURVEILANS KESEHATAN MASYARAKAT

Agung Sutriyawan
Krisnita Dwi Jayanti
Dwi Handayani
Iskandar Arfan
I Made Dwi Mertha Adnyana
Kuuni Ulfah Naila El Muna
R. Melda Indri Purnama
Denny Indra Setiawan
Dedes Handayani
Tating Nuraeni
Diah Adni Fauziah
Ari Susanti
Irwandi Rachman
Editor:
Hairil Akbar

Tata Letak:
Anjar Rahman
Desain Cover:
Nathanael
Ukuran:
A5 Unesco: 15,5 x 23 cm
Halaman:
vi, 239
ISBN:
978-623-195-331-5
Terbit Pada:
Juni 2023

Hak Cipta 2023 @ Media Sains Indonesia dan Penulis

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang keras menerjemahkan,


memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit atau Penulis.

PENERBIT MEDIA SAINS INDONESIA


(CV. MEDIA SAINS INDONESIA)
Melong Asih Regency B40 - Cijerah
Kota Bandung - Jawa Barat
www.medsan.co.id
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha


Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga
buku kolaborasi dalam bentuk buku dapat dipublikasikan
dan dapat sampai di hadapan pembaca. Buku ini disusun
oleh sejumlah dosen dan praktisi sesuai dengan
kepakarannya masing-masing. Buku ini diharapkan
dapat hadir dan memberi kontribusi positif dalam ilmu
pengetahuan khususnya terkait dengan “Surveilans
Kesehatan Masyarakat”, buku ini memberikan nuansa
berbeda yang saling menyempurnakan dari setiap
pembahasannya, bukan hanya dari segi konsep yang
tertuang dengan detail, melainkan contoh yang sesuai dan
mudah dipahami terkait surveilans kesehatan
masyarakat.
Sistematika buku ini dengan judul “Surveilans Kesehatan
Masyarakat”, mengacu pada konsep dan pembahasan hal
yang terkait. Buku ini terdiri atas 13 bab yang dijelaskan
secara rinci dalam pembahasan antara lain mengenai
Prinsip Umum Surveilans Kesehatan Masyarakat;
Perencanaan Sistem Surveilans; Sumber Data Sistem
Surveilans; Analisis dan Interpretasi Data Surveilans;
Evaluasi Sistem Surveilans; Pelaksanaan Sistem
Surveilans; Sistem Surveilans K3; Sistem Surveilans Gizi;
Sistem Surveilans Kesehatan Lingkungan; Sistem
Surveilans Kesehatan Reproduksi; Sistem Surveilans
Kesehatan Matra; Sistem Surveilans Penyakit Menular;
Serta Sistem Surveilans Penyakit Tidak Menular.
Buku ini memberikan nuansa yang berbeda dengan buku
lainnya, karena membahas berbagai surveilans kesehatan
masyarakat sesuai dengan update keilmuan. Akhirnya
kami mengucapkan terima kasih yang tak terhingga
kepada semua pihak yang telah mendukung dalam proses
penyusunan dan penerbitan buku ini, secara khusus

i
kepada Penerbit Media Sains Indonesia sebagai inisiator
buku ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi
pembaca sekalian.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................i
DAFTAR ISI .................................................................... iii
1 PRINSIP UMUM SURVEILANS
KESEHATAN MASYARAKAT ....................................1
Pendahuluan ..........................................................1
Definisi Surveilans ..................................................2
Tujuan Surveilans ..................................................4
Jenis Surveilans .....................................................4
Fungsi Surveilans ...................................................5
Pekembangan Sejarah Surveilans ...........................6
Pengembangan Konsep Surveilans ........................10
Surveilans dalam Praktek
Kesehatan Masyarakat ..........................................12
2 PERENCANAAN SISTEM SURVEILANS ................17
Langkah-Langkah dalam Perencanaan
Surveilans Kesehatan Masyarakat ........................17
Rasional dari Setiap Langkah Perencanaan ..........19
Kegiatan-Kegiatan pada Setiap
Langkah Perencanaan...........................................24
3 SUMBER DATA SISTEM SURVEILANS.................35
Pencatatan Kematian ............................................36
Data Morbiditas ....................................................36
Data Laboratorium ...............................................38
Laporan KLB atau Epidemi ...................................38
Data Surveilans Makanan .....................................39
Data Surveilans Lingkungan .................................39
Data Surveilans Digital .........................................40

iii
Data Sistem Pemantauan Kesehatan Hewan .........40
Survei Kesehatan pada Masyarakat Umum...........40
Sistem Sentinel .....................................................41
Data Demografis ...................................................42
4 ANALISIS DAN INTERPRETASI
DATA SURVEILANS ..............................................45
Pendahuluan ........................................................45
Analisis Data Surveilans .......................................46
Interpretasi Data Surveilans .................................56
5 EVALUASI SISTEM SURVEILANS .........................63
Pengantar Evaluasi Sistem Surveilans ..................63
Pelaksanaan Evaluasi Sistem Surveilans
Kesehatan Masyarakat ..........................................65
Atribut Evaluasi Sistem Surveilans
Kesehatan Masyarakat ..........................................73
Upaya Peningkatan Kualitas Sistem
Surveilans Kesehatan Masyarakat ........................86
Upaya Penguatan Sistem Surveilans
Kesehatan Masyarakat ..........................................87
Penutup ................................................................89
6 PELAKSANAAN SISTEM SURVEILANS .................95
Sistem Surveilans .................................................95
Jenis Pelaksanaan Kegiatan Surveilans ................98
Tahapan Pelaksanaan Surveilans Kesehatan ......103
Aplikasi Sistem Surveilans di Indonesia ..............107
Masalah Etika pada Surveilans Kesehatan
Masyarakat .........................................................110
7 SURVEILANS KESELAMATAN DAN
KESEHATAN KERJA ...........................................115
Defenisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja ........115

iv
Definisi Kecelakaan Kerja ...................................118
Kesehatan dan Keselamatan Kerja di
Rumah Sakit .......................................................119
Keselamatan dan Kesehatan Kerja di
Rumah Sakit .......................................................119
Standar K3 Perbekalan Rumah Sakit ..................120
Pengelolaan Bahan B3 ........................................130
8 SISTEM SURVEILANS GIZI .................................135
Surveilans ........................................................... 135
Surveilans Gizi ....................................................137
Pengumpulan Data pada Surveilans Gizi ............138
Analisis Data pada Surveilans Gizi .....................140
Pelaporan dan Pemantauan Status Gizi ..............143
Tindak Lanjut Surveilans Gizi ............................. 146
9 SISTEM SURVEILANS
KESEHATAN LINGKUNGAN ................................ 153
Pengertian Surveilans Kesehatan Lingkungan ....153
Ruang Lingkup Surveilans
Kesehatan Lingkungan .......................................155
Surveilans Penyakit Berbasis Lingkungan ..........165
10 SISTEM SURVEILANS
KESEHATAN REPRODUKSI ................................ 173
Surveilans Kesehatan Reproduksi .......................173
Pentingnya Sistem Surveilans Kesehatan
Reproduksi .........................................................174
Komponen Sistem Surveilans
Kesehatan Reproduksi ........................................175
Keuntungan Sistem Surveilans
Kesehatan Reproduksi ........................................177

v
Tantangan Implementasi Sistem
Surveilans Kesehatan Reproduksi .......................179
Manfaat Pengembangan dan Implementasi
Sistem Surveilans Kesehatan Reproduksi ...........180
11 SISTEM SURVEILANS KESEHATAN MATRA .......187
Pengertian .......................................................... 187
Tujuan Kesehatan Matra ....................................187
Penyelenggaraan Kesehatan Matra .....................188
Jenis Kesehatan Matra .......................................188
12 SISTEM SURVEILANS PENYAKIT MENULAR .....205
Pengertian .......................................................... 205
Definisi Operasional Penyakit Menular ...............208
Tujuan Sistem Surveilans Penyakit Menular .......209
Tahapan Surveilans Penyakit Menular ................210
13 SISTEM SURVEILANS PENYAKIT
TIDAK MENULAR ................................................219
Konsep Survailans Penyakit Tidak Menular ........219
Kriteria Survailans Penyakit Tidak Menular ........220
Manfaat Surveilans Penyakit Tidak Menular .......221
Tujuan Surveilans Penyakit Tidak Menular ........223
Atribut Survailans Penyakit Tidak Menular ........225
Sistem Survailans Penyakit Tidak Menular
di Indonesia ........................................................226
Survailans Penyakit Jantung Koroner .................230
Survailans Penyakit Diabetes .............................. 232
Survailans Penyakit Kanker ................................ 233

vi
1
PRINSIP UMUM SURVEILANS
KESEHATAN MASYARAKAT

Agung Sutriyawan, S.K.M., M.Kes


Universitas Bhakti Kencana

Pendahuluan
Kesehatan masyarakat sangat beragam, seperti penyakit
menular, penyakit kronis, keadaan darurat, cidera,
masalah kesehatan lingkungan, dan lainnya yang
berhubungan dengan ancaman kesehatan lainnya.
Ilustrasi pendekatan kesehatan masyarakat dapat dilihat
pada gambar dibawah ini:

Gambar 1.1 Ilustrasi Pendekatan Kesehatan Masyarakat


(Sumber: CDC)

1
Pendekatan yang digunakan untuk masalah kesehatan
masyarakat dengan mengikuti empat Langkah umum:
1. Apa masalahnya?
Mengidentifikasi masalah ini dapat menggunakan
surveilans, yang digunakan untuk memantau
kejadian dan perilaku kesehatan yang terjadi pada
suatu populasi.
2. Apa Penyebeabnya?
Apa yang dapat menyebabkan suatu populasi menjadi
rentan terhadap penyakit atau masalah kesehatan
lainnya?
3. Intervensi apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi
masalah ini?
Intervensi dapat dilakukan dengan melihat perjalanan
program yang sudah dilakukan sebelumnya
kemudian dapat menentukan intervensi yang tepat
untuk mengatasi permasalahan pada suatu populasi.
4. Mengimpelentasikan intervensi?
Intervensi dapat dilakukan dapat disesuaikan pada
populasi yang terdampak
Definisi Surveilans
Alexander Langmuir (1963), Surveilans merupakan suatu
kegiatan penelitian yang terus menerus atas distribusi
dan trend dari insiden, melalui pengumpulan data secara
sistematik, konsolidasi (penggabungan) dan evaluasi pada
laporan kesakitan dan kematian serta data lain yang
terkait secara bersamaan dengan diseminasi informasi
yang regular dan tepat waktu kepada stakeholder yang
membutuhkan.
John M. Last (1988), Surveilans merupakan pengawasan
secara terus menerus pada faktor–faktor (determinan)

2
yang terjadi dan penyebaran (distribusi) penyakit serta
kondisi lain dari sakit.
WHO (1968), Surveilans didefinisikan sebagai kegiatan
pengumpulan, pengolahan, analisa dan interprestasi data
secara sitematis dan terus rutin untuk menghasilkan
informasi yang berguna untuk manajemen termasuk
perencanaan, pelaksanaan, pelayanan/program
kesehatan pemantauan dan penilaian.
Sedangkan menurut Centers for Disease Control and
Prevention (CDC), Surveilans adalah pengumpulan,
analisis, dan interpretasi data terkait kesehatan yang
berkelanjutan dan sistematis yang penting untuk
perencanaan, implementasi, dan evaluasi praktik
kesehatan masyarakat, terintegrasi erat dengan
diseminasi data ini secara tepat waktu kepada mereka
yang bertanggung jawab untuk pencegahan dan
pengendalian.
Surveillance kesehatan masyarakat adalah pengumpulan,
analisis, interpretasi, dan penyebaran data yang
berkelanjutan dan sistematis mengenai kejadian yang
berhubungan dengan kesehatan untuk digunakan dalam
tindakan kesehatan masyarakat untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas dan untuk meningkatkan
kesehatan.
Surveilans berbeda dengan pemantauan (monitoring)
biasa. Surveilans dilakukan secara terus menerus tanpa
terputus (kontinu), sedang pemantauan dilakukan
intermiten atau episodik. Dengan mengamati secara
terus-menerus dan sistematis maka
perubahanperubahan kecenderungan penyakit dan faktor
yang mempengaruhinya dapat diamati atau diantisipasi,
sehingga dapat dilakukan langkahlangkah investigasi dan
pengendalian penyakit dengan tepat.

3
Tujuan Surveilans
Secara umum surveilans bertujuan untuk pencegahan
dan pengendalian penyakit dalam masyarakat sebagai
upaya deteksi dini terhadap kemungkinan terjadinya
kejadian luar biasa (KLB), memperoleh informasi yang
diperlukan bagi perencanaan dalam hal pencegahan,
penanggulangan maupun pemberantasannya pada
berbagai tingkat administrasi.
Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu
tentang masalah kesehatanpopulasi, sehingga penyakit
dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapatdilakukan
respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif.
Tujuan khusus surveilans, antara lain:
1. Memonitor kecenderungan (trends) penyakit
2. Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit,
untuk mendeteksi dini outbreak
3. Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya
beban penyakit (disease burden) pada populasi
4. Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas,
membantu perencanaan, implementasi, monitoring,
dan evaluasi program kesehatan
5. Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program
kesehatan
6. Mengidentifikasi kebutuhan riset.
Jenis Surveilans
Sistem surveilans sendiri, walaupun pada dasarnya terdiri
dari empat proses, yaitu pengumpulan data, analisis,
interpretasi, serta diseminasi dan feedback, memiliki
fleksibilitas dalam penerapannya. Berdasarkan cara
pengumpulan data, sistem surveilans dapat dibagi
menjadi:

4
1. Surveilans Aktif
Pada sistem surveilans ini dituntut keaktivan dari
petugas surveilans dalam mengumpulkan data, baik
dari masyarakat maupun ke unit-unit pelayanan
kesehatan. Sistem surveilans ini memberikan data
yang paling akurat serta sesuai dengan kondisi waktu
saat itu. Namun kekurangannya, sistem ini
memerlukan biaya lebih besar dibandingkan
surveilans pasif.
2. Surveilans Pasif
Dasar dari sistem surveilans ini adalah pelaporan.
Dimana dalam suatu sistem kesehatan ada sistem
pelaporan yang dibangun dari unit pelayanan
kesehatan di masyarakat sampai ke pusat, ke
pemegang kebijakan. Pelaporan ini meliputi pelaporan
laporan rutin program serta laporan rutin manajerial
yang meliputi logistik, administrasi dan finansial
program (laporan manajerial program).
Fungsi Surveilans
Pada dasarnya data yang dihasilkan dalam suatu sistem
surveilans, digunakan untuk:
1. Mengetahui gambaran kesehatan suatu populasi
masyarakat
2. Mengambil kebijakan yang dapat diterapkan dalam
populasi tersebut, baik mengenai pola perilaku
maupun pencegahan suatu penyakit.
3. Monitor dan evaluasi program kesehatan yang
dijalankan di masyarakat
4. Melakukan penelitian lebih lanjut berkaitan dengan
data surveilans
5. Identifikasi masalah yang ada di populasi

5
Cakupan kegiatan surveilans sendiri cukup luas, mulai
dari deteksi dini kejadian luar biasa/wabah, pencegahan
penyakit menular, sampai kepada pencegahan penyakit
kronik (tidak menular) yang dapat dilakukan dalam
jangka waktu perubahan pola perilaku sampai kepada
timbulnya penyakit tersebut. Surveilans dapat digunakan
untuk mengumpulkan data berbagai elemen rantai
penyakit, mulai dari faktor resiko perilaku, tindakan
preventif, maupun evaluasi program dan cost unit. Dengan
kata lain, sistem surveilans diperlikan untuk
mendapatkan gambaran beban penyakit suatu
komunitas, termasuk jumlah kasus, insidensi, prevalensi,
case-fatality rate, rate mortalitas dan morbiditas, biaya
pengobatan, pencegahan, potensi epidemik dan informasi
mengenai timbulnya penyakit baru.
Pekembangan Sejarah Surveilans
Konsep modern surveilans kesehatan masyarakat telah
berkembang dari kegiatan kesehatan masyarakat yang
dikembangkan untuk mengendalikan dan mencegah
penyakit di masyarakat. Pada akhir Abad Pertengahan,
pemerintah di Eropa Barat memikul tanggung jawab
untuk perlindungan kesehatan dan perawatan kesehatan
penduduk kota-kota mereka. Sistem pemantauan
penyakit yang belum sempurna menghasilkan peraturan
yang melarang jalan-jalan dan air umum yang mencemari,
konstruksi untuk penguburan dan penanganan
makanan, dan penyediaan jenis perawatan tertentu. Pada
tahun 1766, Johann Peter Frank menganjurkan bentuk
pengawasan kesehatan masyarakat yang lebih
komprehensif dengan sistem kedokteran polisi di Jerman.
Ini mencakup kesehatan sekolah, pencegahan cedera,
kesehatan ibu dan anak, serta air dan limbah umum.
Selain itu, Frank menguraikan langkah-langkah
pemerintah untuk melindungi kesehatan masyarakat.

6
Akar analisis data surveilans juga dapat ditelusuri hingga
abad ke-17. Pada tahun 1680-an, Gottfried Wilhelm von
Leibniz menyerukan pembentukan dewan kesehatan dan
penerapan analisis numerik dalam statistik kematian
untuk perencanaan kesehatan. Kira-kira pada waktu yang
sama di London, John Graunt menerbitkan sebuah buku,
Natural and Political Observations Made Upon the Bills of
Mortality, di mana dia berusaha untuk mendefinisikan
hukum dasar kelahiran dan kematian. Dalam karyanya,
Graunt mengembangkan prinsip dasar tertentu dari
pengawasan kesehatan masyarakat, termasuk jumlah
kematian spesifik penyakit, angka kematian, dan konsep
pola penyakit. Pada abad berikutnya, Achenwall
memperkenalkan istilah statistik, dan selama beberapa
dekade berikutnya, statistik vital menjadi lebih tersebar
luas di Eropa. Seabad kemudian, pada tahun 1845,
Thurnam menerbitkan laporan ekstensif pertama statistik
kesehatan mental di London.
Lemuel Shattuck dan William Farr adalah dua nama
terkemuka dalam pengembangan konsep kegiatan
surveilans kesehatan masyarakat. Laporan Shattuck
tahun 1850 dari Komisi Sanitasi Massachusetts adalah
publikasi penting yang menghubungkan kematian,
kematian bayi dan ibu, dan penyakit menular dengan
kondisi kehidupan. Shattuck merekomendasikan sensus
sepuluh tahun, standarisasi nomenklatur penyebab
penyakit dan kematian, dan kumpulan data kesehatan
berdasarkan usia, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat sosial
ekonomi, dan lokalitas. Dia menerapkan konsep ini untuk
kegiatan program di bidang imunisasi, kesehatan sekolah,
merokok, dan penyalahgunaan alkohol dan
memperkenalkan konsep terkait ke dalam pengajaran
pengobatan pencegahan.

7
William Farr (1807–1883) diakui sebagai salah satu
pendiri konsep surveilans modern. Sebagai pengawas
departemen statistik kantor Panitera Jenderal Inggris dan
Wales selama tahun 1839 hingga 1879, Farr memusatkan
upayanya untuk mengumpulkan statistik vital,
mengumpulkan dan mengevaluasi data tersebut, dan
melaporkan baik kepada otoritas kesehatan yang
bertanggung jawab maupun masyarakat umum. Di
Amerika Serikat, pengawasan kesehatan masyarakat
secara historis berfokus pada penyakit menular. Elemen
dasar pengawasan terlihat jelas di Rhode Island pada
tahun 1741, ketika koloni mengeluarkan undang-undang
yang mewajibkan penjaga kedai untuk melaporkan
penyakit menular di antara pelanggan mereka. Dua tahun
kemudian, koloni mengesahkan undang-undang yang
lebih luas yang mewajibkan pelaporan cacar, demam
kuning, dan kolera.
Kegiatan yang terkait dengan pelaporan penyakit di
tingkat nasional tidak dimulai di Amerika Serikat hingga
tahun 1850, ketika statistik mortalitas berdasarkan
pendaftaran kematian dan sensus sepuluh tahun pertama
kali diterbitkan oleh pemerintah federal untuk seluruh
negara. Pelaporan sistematis penyakit di Amerika Serikat
dimulai pada tahun 1874, ketika Dewan Kesehatan
Negara Bagian Massachusetts melembagakan rencana
sukarela bagi dokter untuk memberikan laporan
mingguan tentang penyakit umum, menggunakan format
pelaporan kartu pos standar. Pada tahun 1878, Kongres
mengizinkan pelopor ke Public Health Service (PHS) untuk
mengumpulkan data morbiditas untuk digunakan dalam
tindakan karantina terhadap penyakit sampar seperti
kolera, cacar, wabah, dan demam kuning.
Di Eropa, wajib lapor penyakit menular dimulai di Italia
pada tahun 1881; di Inggris Raya, itu dimulai pada tahun
1890. Pada tahun 1893, Michigan menjadi yurisdiksi AS

8
pertama yang mewajibkan pelaporan penyakit menular
tertentu. Juga pada tahun 1893, undang-undang
diberlakukan yang menyediakan pengumpulan informasi
setiap minggu dari otoritas negara bagian dan kota di
seluruh Amerika Serikat. Pada tahun 1901, semua
undang-undang negara bagian dan kota memerlukan
pemberitahuan (yaitu, pelaporan) kepada otoritas lokal
tentang penyakit menular tertentu, termasuk cacar,
tuberkulosis, dan kolera. Pada tahun 1914, personel PHS
ditunjuk sebagai kolaborator ahli epidemiologi untuk
bertugas di departemen kesehatan negara bagian dan
mengirimkan laporan penyakit mingguan ke PHS.
Di Amerika Serikat, bagaimanapun, semua negara bagian
tidak mulai berpartisipasi dalam pelaporan morbiditas
nasional sampai tahun 1925, setelah itu peningkatan
pelaporan terjadi terkait dengan epidemi poliomielitis yang
parah pada tahun 1916 dan pandemi influenza tahun
1918 hingga 1919. Survei kesehatan nasional warga AS
pertama kali dilakukan pada tahun 1935. Setelah studi
PHS tahun 1948 mengarah pada revisi prosedur
pelaporan morbiditas, Kantor Statistik Vital Nasional
mengambil tanggung jawab untuk melaporkan
morbiditas. Pada tahun 1949, statistik mingguan yang
muncul selama bertahun-tahun dalam Laporan
Kesehatan Masyarakat mulai diterbitkan oleh Kantor
Statistik Vital Nasional. Pada tahun 1952, data kematian
ditambahkan ke publikasi yang merupakan cikal bakal
Morbidity and Mortality Weekly Report (MMWR). Pada
tahun 1961, tanggung jawab atas publikasi ini dan isinya
dipindahkan ke Communicable Disease Center (sekarang
Disease Control and Prevention). Di Amerika Serikat,
wewenang untuk meminta pemberitahuan kasus penyakit
berada pada badan legislatif negara bagian. Di negara-
negara tertentu, wewenang disebutkan dalam ketentuan
undang-undang; di tempat lain, wewenang untuk

9
meminta pelaporan telah diberikan kepada dewan
kesehatan negara bagian; masih negara bagian lain
memerlukan laporan baik di bawah undang-undang dan
peraturan departemen kesehatan. Kondisi dan penyakit
yang akan dilaporkan bervariasi dari satu negara bagian
ke negara bagian lainnya, seperti kerangka waktu
pelaporan, lembaga yang menerima laporan, orang yang
wajib melapor, dan kondisi di mana laporan diperlukan.
Pengembangan Konsep Surveilans
Sampai tahun 1950, istilah surveilans dibatasi dalam
praktik kesehatan masyarakat untuk memantau kontak
orang dengan penyakit menular yang serius (misalnya,
cacar) untuk mendeteksi gejala awal sehingga isolasi
segera dapat dilakukan. Demonstrasi kritis di Amerika
Serikat tentang pentingnya pandangan surveilans
berbasis populasi yang lebih luas dibuat setelah Francis
Field Trial vaksin poliomielitis pada tahun 1955. Dalam
waktu 2 minggu setelah pengumuman hasil uji coba
lapangan dan inisiasi program vaksinasi nasional, enam
kasus poliomielitis paralitik dilaporkan melalui sistem
pelaporan penyakit yang dapat dilaporkan ke departemen
kesehatan negara bagian dan lokal; pengawasan ini
mengarah pada penyelidikan epidemiologi, yang
mengungkapkan bahwa anak-anak ini telah menerima
vaksin yang diproduksi oleh satu produsen.
Pengawasan intensif dan penyelidikan epidemiologis yang
tepat oleh departemen kesehatan federal, negara bagian,
dan lokal mengidentifikasi 141 kasus penyakit paralitik
terkait vaksin, 80 di antaranya mewakili kontak keluarga
penerima vaksin. Laporan pengawasan harian
didistribusikan oleh CDC ke semua orang yang terlibat
dalam investigasi ini. Epidemi sumber umum nasional ini
pada akhirnya terkait dengan banyak vaksin tertentu yang
telah terkontaminasi dengan virus polio hidup. Surgeon
General meminta pabrikan menarik kembali semua

10
vaksin yang beredar dan mengarahkan agar program
poliomielitis nasional didirikan di CDC. Seandainya
program surveilans tidak ada, banyak, dan mungkin
semua, produsen vaksin akan menghentikan produksi
vaksin polio.
Pada tahun 1963, Alexander Langmuir menganjurkan
untuk membatasi penggunaan istilah pengawasan pada
pengumpulan, analisis, dan penyebaran data. Langmuir,
kepala ahli epidemiologi di CDC selama lebih dari 20
tahun, memberikan kontribusi penting untuk
pengawasan kesehatan masyarakat yang pada akhirnya
menentukan praktik modern di seluruh dunia. Konstruk
ini tidak mencakup tanggung jawab langsung untuk
aktivitas pengendalian. Pada tahun 1965, Direktur
Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membentuk
unit surveilans epidemiologi di Divisi Penyakit Menular
WHO. Direktur Divisi, Karel Raska, mendefinisikan
surveilans jauh lebih luas daripada Langmuir, termasuk
“studi epidemiologi penyakit sebagai proses yang
dinamis”. Dalam kasus malaria, dia melihat surveilans
epidemiologis sebagai kegiatan pengendalian dan
pencegahan. Memang, definisi WHO tentang surveilans
malaria tidak hanya mencakup deteksi kasus tetapi juga
pengambilan apusan darah, perawatan obat, investigasi
epidemiologi, dan tindak lanjut, mirip dengan apa yang
saat ini didefinisikan sebagai biosurveilans.
Pada tahun 1968, Majelis Kesehatan Dunia ke-21
berfokus pada pengawasan nasional dan global terhadap
penyakit menular, menerapkan istilah penyakit itu sendiri
daripada pemantauan orang dengan penyakit menular.
Setelah mendapat undangan dari Direktur Jenderal WHO
dan dengan konsultasi dari Raska, Langmuir
mengembangkan sebuah kertas kerja, dan pada tahun
sebelum Sidang 1968, dia memperoleh komentar dari
seluruh dunia mengenai konsep dan praktik yang

11
dianjurkan dalam makalah tersebut. Di Majelis, dengan
delegasi dari sekitar 100 negara, kertas kerja disahkan,
dan diskusi tentang surveilans nasional dan global
penyakit menular mengidentifikasi tiga ciri utama
surveilans yang dijelaskan Langmuir pada tahun 1963: (a)
pengumpulan sistematis data terkait, (b) konsolidasi dan
evaluasi data ini secara teratur, dan (c) diseminasi hasil
secara cepat kepada mereka yang perlu mengetahui—
khususnya mereka yang berada dalam posisi untuk
mengambil tindakan.
Diskusi Majelis Kesehatan Dunia tahun 1968
mencerminkan konsep surveilans epidemiologi yang
diperluas dan membahas penerapan konsep tersebut
pada masalah kesehatan masyarakat selain penyakit
menular. Selain itu, surveilans epidemiologi dikatakan
menyiratkan "...tanggung jawab untuk menindaklanjuti
untuk melihat bahwa tindakan efektif telah diambil."
Sejak saat itu, berbagai peristiwa kesehatan (misalnya,
keracunan timbal di kalangan anak-anak, leukemia,
kelainan bawaan, aborsi, cedera, reaksi merugikan
terhadap vaksin, dan faktor risiko perilaku) telah
ditempatkan di bawah pengawasan. Pada tahun 1976,
pengakuan luasnya kegiatan surveilans di seluruh dunia
dibuktikan dengan diterbitkannya edisi khusus
International Journal of Epidemiology yang ditujukan
untuk surveilans.
Surveilans dalam Praktek Kesehatan Masyarakat
Fungsi utama penerapan istilah epidemiologi untuk
surveilans, yang pertama kali muncul pada tahun 1960-
an terkait dengan unit WHO yang baru dibuat dengan
nama tersebut, adalah untuk membedakan aktivitas ini
dari bentuk surveilans lainnya (misalnya, intelijen militer)
dan untuk mencerminkan penerapannya yang lebih luas.
Akan tetapi, penggunaan termepidemiologi menimbulkan

12
kebingungan dan kontroversi. Pada tahun 1971,
Langmuir mencatat bahwa ahli epidemiologi tertentu
cenderung menyamakan pengawasan dengan
epidemiologi dalam arti luas, termasuk penyelidikan dan
penelitian epidemiologi. Dia menemukan ini "baik secara
epidemiologis maupun administratif tidak bijaksana",
mendukung deskripsi pengawasan sebagai "kecerdasan
epidemiologis".
Apa batas-batas praktik surveilans? Apakah epidemiologi
merupakan pengubah surveilans yang tepat dalam
konteks praktik kesehatan masyarakat? Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini, pertama-tama kita harus
memeriksa struktur praktik kesehatan masyarakat.
Seseorang dapat membagi praktik kesehatan masyarakat
secara luas menjadi pengawasan; epidemiologi, perilaku,
dan penelitian laboratorium; penyampaian layanan
(termasuk evaluasi program); dan pelatihan. Informasi
surveilans harus digunakan untuk mengidentifikasi
kebutuhan penelitian dan layanan, yang, pada gilirannya,
membantu menentukan kebutuhan pelatihan. Kecuali
jika informasi ini diberikan kepada mereka yang
menetapkan kebijakan dan melaksanakan program,
penggunaannya terbatas pada arsip dan pengejaran
akademik, dan materi yang ada untuk dianggap sebagai
informasi kesehatan daripada informasi pengawasan.
Namun, surveilans tidak mencakup penelitian atau
layanan epidemiologi, yang terkait tetapi kegiatan
kesehatan masyarakat independen yang mungkin tidak
didasarkan pada surveilans. Dengan demikian, batasan
praktik surveilans tidak termasuk penelitian aktual dan
implementasi program penyampaian.

13
Daftar Pustaka
Centers for Disease Control. 1986. Comprehensive Plan for
Epidemiologic Surveillance. Atlanta: US Department of
Health and Human Services, Public Health Service.
Choi, B. C. (2012). The past, present, and future of public
health surveillance. Scientifica, 2012.
Depkes RI, 2004., Keputusan Menteri Kesehatan RI
No.1116/MENKES/SK/VIII/2003: Tentang
penyelengaraan system surveilans epidemiologi
kesehatan, Dirjen Pemberantasan penyakit dan
penyehatan lingkungan, Jakarta.
Hartgerink MJ. 1976. Health surveillance and planning for
healthcare in the Netherlands. Int J Epidemiol. 5:87–
91.
Langmuir AD. William Farr. 1976. founder of modern
concepts of surveillance. Int J Epidemiol. 5:13–18.
Lee, L. M. (2010). Principles and practice of public health
surveillance. Oxford University Press, USA.
Moro ML, McCormick A. 1988. Surveillance for
communicabledisease. In: Eylenbosch WJ, Noah ND,
eds. Surveillance in Health and Disease. Oxford:
Oxford University Press. 166–182.
Thacker SB, Berkelman RL. 1988. Public health
surveillance in the United States. Epidemiol Rev.
10:164–190.

14
Profil Penulis
Agung Sutriyawan, S.K.M., M.Kes
Lahir di Desa Ujung Padang, Kecamatan Semidang
Alas Maras, Kabupaten Seluma, Provinsi
Bengkulu, pada tanggal 06 Desember 1992. Agung
Sutriyawan adalah dosen tetap Universitas Bhakti
Kencana. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Kesehatan
Masyarakat di STIKes Tri Mandiri Sakti Bengkulu (2010–2014),
Mendapatkan gelar Megister Kesehatan Masyarakat di program
pascasarjana Univeristas Respati indonesia (2015-2017). Saat
ini sedang menempu pendidikan Magister Epidemiologi di
Universitas Diponegoro. Aktif menjadi dosen sejak tahun 2018,
dan ditugaskan menjadi Ketua Program Studi S1 Kesehatan
Masyarakat sejak tahun 2019 sampai dengan sekarang.
Berbagai mata kuliah yang diampuh adalah bidang ilmu
epidemiologi dan biostatistik, temasuk metodologi penelitian
dan manajemen data, baik di program Diploma maupun
Sarjana. Buku yang sudah ditulis adalah Metodologi Penelitian
Kedokteran dan Kesehatan: Dilengkapi Tuntunan Membuat
Proposal Penelitian dan Book Chapter Epidemiologi Penyakit
Menular, dan Analisis Data Penelitian Kuantitatif Bidang
Kesehatan. Selain melakukan pengajaran dan pengabdian
kepada masyarakat, juga aktif dalam dalam melakukan
penelitian baik secara lokal maupun nasional, aktif dalam
publikasi hasil penelitian di jurnal Nasional terakreditasi dan
Jurnal Internasional bereputasi Terindeks SCOPUS dan Web of
Sciences (WoS). Selain melaksanakan tri dharma perguruan
tinggi, juga aktif dalam kegiatan organisasi profesi Ikatan Alhi
Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) sebagai pengurus
daerah Jawa Barat dan Kota Bandung.
Email Penulis: agung.epid@gmail.com

15
16
2
PERENCANAAN
SISTEM SURVEILANS

Krisnita Dwi Jayanti, S.KM., M.Epid


Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri

Langkah-Langkah dalam Perencanaan Surveilans


Kesehatan Masyarakat
Surveilans Kesehatan didefinisikan sebagai kegiatan
pengamatan yang sistematis dan terus menerus terhadap
data serta informasi tentang kejadian penyakit atau
masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi
terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau
masalah kesehatan untuk memperoleh dan memberikan
informasi guna mengarahkan tindakan penanggulangan
secara efektif dan efisien. Surveilans Kesehatan
diselenggarakan untuk dapat melakukan tindakan
penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses
pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, dan
diseminasi kepada pihak-pihak terkait yang
membutuhkan.
Surveilans Kesehatan mengedepankan kegiatan analisis
atau kajian epidemiologi serta pemanfaatan informasi
epidemiologi, tanpa melupakan pentingnya kegiatan
pengumpulan data dan pengolahan data.
Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan harus mampu
memberikan gambaran epidemiologi antara lain
komponen pejamu, agen penyakit, dan lingkungan yang

17
tepat berdasarkan dimensi waktu, tempat dan orang.
Karakteristik pejamu, agen penyakit, dan lingkungan
mempunyai peranan dalam menentukan cara pencegahan
dan penanggulangan jika terjadi gangguan keseimbangan
yang menyebabkan sakit.
Perencanaan merupakan salah satu fungsi manajemen.
Salah satu teori menjelaskan bahwa fungsi manajemen
yaitu Planning, Organizing, Actuating, Controling serta
Evaluating yang disingkat POAC/E. Terdapat beberapa
pengertian perencanaan yaitu sebagai berikut:
1. Perencanaan merupakan proses sistematis untuk
menentukan tujuan dan menyusun kegiatan
sistematis yang perlu dilakukan dalam mencapai
tujuan tersebut (P2KT-Ascobat G).
2. Perencanaan merupakan proses dalam menentukan
tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan
pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang
tersedia dalam mewujudkan derajat kesehatan
masyarakat yang optimal (Pedoman RPJMN)
3. Planning is a systematic process of identifying and
specifying desirable future goal. And outlining
appropriate courses of action and determining the
resources required to achieved them. (Planning and
Implementation DHS-WHO)
Perencanaan merupakan:
a. Suatu peta, suatu persiapan, suatu arrangement,
arah untuk menentukan tujuan, cara mencapai
tujuan dan table waktu perjalanan
b. Identifikasi tujuan perjalanan the journey’s
milestones. Melengkapinya dengan penilaian
kemajuan dan cara untuk mengukur tujuan
terkait biaya yang digunakan

18
c. Berupa bagan kegiatan, mengendalikan dan
memelihara semua bagian perencanaan adalah
bagian perencanaan yang baik. (The Health
Planner toolkit, health system intelligence Project-
2006)
Definisi perencanaan kesehatan merupakan proses untuk
menciptakan kesehatan untuk mencapai berbagai
kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan dan sumber
daya, dimana penyusunan tergantung pada waktu yang
tersedia, jumlah pertanyaan yang dapat dijawab, sumber
daya yang tersedia untuk mendukung proses, serta
kondisi politik dan lingkungan sosial. Langkah -langkah
Dalam Perencanaan Surveilans yaitu
1. Spesifikasi tujuan surveilans
2. Definisikan Data surveilans untuk dikumpulkan
3. Seleksi Metode Surveilans
4. Kembangkan prosedur pengumpulan data
5. Kumpulkan dan tabulasikan data
6. Analisis data
7. Pengambilan tindakan
8. Persiapkan dan sajikan laporan
Rasional dari Setiap Langkah Perencanaan
Perencanaan merupakan suatu rangkaian persiapan
tindakan untuk mencapai tujuan. Perencanaan
merupakan pedoman, garis besar, atau petunjuk yang
harus dijaankan untuk mendapatkan hasil terbaik.
Bintoro Tjokroaminoto dalam Husaini Usman (2008)
menyebutkan, perencanaan adalah proses
mempersiapkan kegiatan-kegiatan secara sistematis yang
akan dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu. Prajudi
Atmosudirjo dalam Husaini Usman (2008) juga

19
berpendapat bahwa perencanaan adalah perhitungan dan
penentuan tentang sesuatu yang akan dijalankan dalam
rangka mencapai tujuan tertentu, siapa yang melakukan,
bilamana, di mana, dan bagaimana cara melakukannya.
Menurut George R. Terry perencanaan adalah: “planning
is the selecting and relating of fact and the making and
using of assumption regarding the future in the visualization
and formulating of proposed activities believed necessary to
achieve desired result”. Menurut Wilson, perencanaan
merupakan salah satu proses lain, atau merubah suatu
keadaan untuk mencapai maksud yang dituju oleh
perencanaan atau oleh orang/badan yang di wakili oleh
perencanaan itu. Perencanaan itu meliputi: Analisis,
kebijakan dan rancangan. Ciri-ciri pokok dari
perencanaan umum mencakup serangkaian tindakan
berurutan yang ditujukan pada pemecahan persoalan-
persoalan pada masa datang dan semua perencanaan
mencakup suatu proses yang berurutan yang dapat di
wujudkan sebagai konsep dalam sejumlah tahapan.
1. Syarat-Syarat perencanaan yang baik:
2. Logis, masuk akal
3. Realistik, nyata
4. Sederhana
5. Sistematik dan ilmiah
6. Obyektif
7. Fleksibel
8. Manfaat
9. Optimasi dan efisiensi

20
Perencanaan juga harus memiliki tujuan, seperti:
1. Standar pengawasan, yaitu mencocokkan
pelaksanaan dengan perencanaannya
2. Mengetahui kapan pelaksanaan dan selesainya suatu
kegiatan
3. Mengetahiu siapa saja yang terlibat (struktur
organisasinya), baik kualifikasinya maupun
kuantitasnya
4. Mendapatkan kegiatan yang sistematis termasuk
biaya dan kualitas pekerjaan
5. Meminimalkan kegiatan-kegiatan yang tidak produktif
dan menghemat biaya, tenaga dan waktu
6. Memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai
kegiatan pekerjaan
7. Menyerasikan dan memadukan beberapa sub
kegiatan
8. Mendeteksi hambatan kesulitan yang bakal ditemui
9. Mengarahkan pada pencapaian tujuan
Suatu perencanaan yang lengkap dan sempurna harus
memuat enam unsur, yang meliputi lima pertanyaan
yaitu:
5 W + 1 H, yaitu:
1. What - Tindakan apa yang harus dikerjakan? Dalam
hal ini haruslah dijelaskan dan diperinci aktivitas
yang diperlukan, faktor-faktor yang diperlukan untuk
melaksanakan kegiatan tersebut supaya tujuan dapat
tercapai.
2. Why - Apakah sebabnya tindakan itu dikerjakan? Di
sini diperlukan penjelasan dan ketegasan mengapa
kegiatan itu harus dikerjakan dan mengapa tujuan itu
harus dicapai.

21
3. Where - Di manakah tindakan itu akan dilaksanakan?
Dalam planning harus memuat di mana lokasi
pekerjaan itu akan diselesaikan. Hal ini diperlukan
untuk menyediakan sarana dan fasilitas untuk
mengerjakan pekerjaan itu.
4. When - Kapankah tindakan tersebuut dilaksanakan?
Diperlukan adanya jadwal waktu dan kapan
dimulainya pekerjaan dampai berakhirnya pekerjaan
itu.
5. Who - Siapakah yang akan mengerjakan itu? Dalam
perencanaan tersebut harus dimuat tentang para
pekerja yang mengerjakan pekerjaan itu. Di samping
itu juga diperlukan kejelasan wewenang dan tanggung
jawab para perugas.
6. How - Bagaimana cara melaksanakan pekerjaan itu?
Dalam planning harus dijelaskan tekhnik, metode dan
sistem mengerjakan pekerjaan yang dimaksud.
Elemen kunci kerangka siklus perencanaan yaitu:
1. Determinan kesehatan
Pada tahap ini mencakup identifikasi, analisis,
manajemen determinan kesehatan kurang atau
kondisi kesehatan baik sangat penting untuk
menentukan kegiatan yang efektif. Analisis
determinan diperlukan dalam hal untuk mengetahui
efek langsung atau pendukung.
2. Risiko kesehatan dan manfaat
Pada tahap ini penentuan risiko dan manfaat
berhubungan dengan determinan utama yang penting
untuk pengambilan keputusan determinan yang perlu
untuk dikendfalikan.

22
3. Domain kesehatan masyarakat dan area kegiatan
Analisis determinan individu amat penting untuk
menentukan determinan yang akan ditanggulangi
teridentifikasi dengan benar. Konsep domain
kesehatan masyarakat berarti pengelompokan secara
luas isu isu kesehatan masyarakat. Pengelompokan
umumnya berdasarkan penyebab atau factor lain,
Bersama dengan tipe respons kesehatan masyarakat
yang dibutuhkan dalam mengatasi masalah.
4. Intervensi kesehatan masyarakat
Intervensi merujuk kepada semua kemungkinan aksi
yang dapat mengidentifikasi pemecahan isu
kesehatan. Intervensi dibuat spesifik, minimal
rumusan kegiatan, populasi target, konteks dan cara
pemberian, serta kualitas.
5. Intervention portofolio = Portofolio Intervensi
Pernyataan tujuan dan intervensi yang diperlukan
untuk pelaksanaan disebut intervention portofolio.
intervention portofolio sangat baik dikembangkan
melalui proses pengambilan keputusan kolaboratif
oleh pengambil keputusan yang relevan dan
pemangku kepentingan.
6. Pemeliharaan = custodianship
Meliputi peran “caretaking atau Guardian” dalam
melaksanakan framework developing a portofolio
untuk kesehatan masyarakat. Peran dari pemeliharan
ini dapat bertanggung jawab untuk pooling, analiysing
dan reviewing information dalam kesehatan
masyarakat, selain itu dapat memberikan instrument
manajemen yang dapat digunakan untuk evaluasi
sistem.

23
Langkah perencanaan yang dilakukan yaitu:
a. Analisis situasi, identifikasi masalah
b. Prioritas masalah dan analisis masalah
c. Penentuan tujuan umum, tujuan khusus, target
dan strategi
d. Penentuan program, kegiatan
e. Penentuan sumber daya, biaya dan penyusunan
rencana operasional
f. Integrase kegiatan dan biaya
g. Rencana monitoring dan evaluasi
Kegiatan-Kegiatan pada Setiap Langkah Perencanaan
Kegiatan dalam Langkah-langkah untuk Perencanaan
Surveilans yaitu
1. Spesifikasi Tujuan Surveilans
Tujuan sistem surveilans sebaiknya spesifik, dapat
diukur (measurable), orientasi terhadap tindakan
(action oriented), realistis, dan terdapat kerangka wakt
(time frame). Berikut beberapa tujuan sistem
surveilans:
a. Monitoring kecenderungan dan memperhatikan
perubahan (deteksi KLB) untuk dapat melakukan
intervensi
b. Melakukan evaluasi terhadap program
pencegahan
c. Untuk memproyeksikan perencanaan pelayanan
kesehatan
d. Eliminasi atau eradikasi penyakit
e. Membuat hipotesis cara transmisi penyakit

24
f. Mengumpulkan informasi untuk keperluan studi
lebih lanjut
Kegiatan untuk merancang suatu system surveilans
dimulai dengan menentukan kejelasan tentang
apakah sebaiknya dilakukan terhadap suatu sistem.
Kegiatan surveilans untuk menentukan tujuan
surveilans yaitu:
a. Menyebutkan Kegunaan surveilans
Pada kegunaan surveilans ini dapat dilakukan
untuk mengidentifikasi kasus kasu mortalitas
atau morbiditas saja atau juga melihat penyebab-
penyebab mortalitas dan atau morbiditas periode
waktu yang akan dijangkau oleh surveilans yang
diusulkan apakah satu tahun, lima tahun, tiga
bulan dan seberapa sering akan mengumpulkan
serta memproses data surveilans tersebut.
b. Pengguna informasi yang dihasilkan oleh sistem;
c. Ruang lingkup surveilans
d. Kelompok sasaran yang akan diamati
Upaya pengembangan tujuan surveilans ini dilakukan
dengan mendiskusikan dengan kelompok atau tim
kerja sehingga keseluruhan poin penting dari berbagai
sudut pandang kepentingan dapat terangkum
menjadi satu tujuan yang sama. Kegunaan dari
menentukan tujuan surveilans yaitu:
a. Dapat memperkirakan kebutuhan
b. Dapat mengidentifikasi faktor faktor risiko
c. Dapat mengidentifikasi wabah
d. Dapat mengidentifikasi kejadian luar biasa
e. Dapat mengamati trend
f. Dapat mengevaluasi dampak

25
g. Dapat menjelaskan penyebab-penyebab masalah
kesehatan
2. Mendefinisikan Data Surveilans Untuk Dikumpulkan
Pada langkah ini merupakan lanjutan dari tujuan
yang sudah ditentukan oleh suatu system surveilans.
Data surveilans yang dibutuhkan dalam suatu system
akan dideskripsikan lebih rinci dan akan menentukan
kapan data tersbut dikumpulkan oleh suatu system
surveilans dan menentukan darimana sumber data
dan prosedur dalam pengumpulan datanya.
3. Menyeleksi Metode Surveilans
Pada tahap ini dilakukan seleksi terhadap prosedur
penggumpulan data untuk tiap tiap indicator
surveilans yang sudah ditetapkan. Metode metode
dalam surveilans yaitu:
a. Sistem pelaporan rutin yaitu berupa informasi
secara rutin dikumpulkan dan dilaporkan oleh
staf pelayanan kesehatan
b. Sistem pelaporan sentinel yaitu sejumlah kecil
unit pelaporan (biasanya puskesmas atau rumah
sakit) secara teliti mengumpulkan dan
melaporkan data yang dibutuhkan
c. Pengujian kasus atau wabah yaitu pegujian
khusus terhadap satu atau lebih kasus penyakit
dan kematian untuk menentukan penyebabnya
serta merekomendasikan tindakan untuk
mencegah atau penjangkitan kembali
d. Sistem registrasi vital yaitu penyedia layanan
masyarakat dan swasta melaporkan kelahiran,
kematian, dan data pilihan lainnya kepada system
pusat

26
e. Sensus yaitu julah keseluruhan dari suatu
populasi terkadang melibatkan pertanyaan
perilaku kesehatan dan penyakit-penyakit.
4. Mengembangkan Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara: aktif; dan
pasif. Pengumpulan data secara aktif dilakukan
dengan cara mendapatkan data secara langsung dari
Fasilitas Pelayanan Kesehatan, masyarakat atau
sumber data lainnya, melalui kegiatan Penyelidikan
Epidemiologi, surveilans aktif puskesmas/rumah
sakit, survei khusus, dan kegiatan lainnya.
Pengumpulan data secara pasif dilakukan dengan
cara menerima data dari Fasilitas Pelayanan
Kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya,
dalam bentuk rekam medis, buku register pasien,
laporan data kesakitan/kematian, laporan kegiatan,
laporan masyarakat dan bentuk lainnya. Tahap ini
memuat tiga langkah yaitu:
a. Mengembangkan definisi operasional kasus
Satu “kasus” didefinisikan sebagai suatu situasi
atau kejadian individual. Satu kasus biasanya
terjadi pada satu orang secara individu yang
menderita penyakit tertentu. Kegunaan definsii ini
untuk masing maisng penyakit yang rencananya
akan diamati betujuan untuk menyakinkan
bahwa semua petugas kesehatan menggunakan
definisi dan kriteria yang sama untuk
mendiagnosis suatu penyakit spesifik dan
bertujuan untuk menghindari perhitungan ganda.
b. Mengembangkan atau memperbaiki perlengkapan
penumpulan dan pencatatan data
Terdapat tiga jenis perlengkapan yang dapat
digunakan di dalam surveilans rutin dan sentinel

27
yaitu registrasi, kuesioner survei, dan protocol
pengujian kasus.
c. Pengujian perlengkapan
5. Mengumpulkan Dan Tabulasikan Data
Fungsi dasar Surveilans Kesehatan tidak hanya untuk
kewaspadaan dini penyakit yang berpotensi terjadinya
Kejadian Luar Biasa (KLB), tetapi juga sebagai dasar
perencanaan dan pengambilan keputusan program
kesehatan jangka menengah dan jangka panjang.
Untuk itu hendaknya pelaksanaan Surveilans
Kesehatan mencakup seluruh pelaksanaan program
di bidang kesehatan yang membutuhkan pengamatan
terus menerus, analisis dan diseminasi informasi. Hal
ini sejalan dengan kebutuhan data dan informasi yang
terpercaya dan mempunyai aspek kekinian.
Surveilans Kesehatan yang mengandalkan kecepatan,
ketepatan dan kualitas data dan informasi perlu
menyesuaikan dengan kemajuan teknologi informasi.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara aktif dan
pasif. Jenis data Surveilans Kesehatan dapat berupa
data kesakitan, kematian, dan faktor risiko.
Pengumpulan data dapat diperoleh dari berbagai
sumber antara lain individu, Fasilitas Pelayanan
Kesehatan, unit statistik dan demografi, dan
sebagainya. Metode pengumpulan data dapat
dilakukan melalui wawancara, pengamatan,
pengukuran, dan pemeriksaan terhadap sasaran.
Dalam melaksanakan kegiatan pengumpulan data,
diperlukan instrumen sebagai alat bantu. Instrumen
dibuat sesuai dengan tujuan surveilans yang akan
dilakukan dan memuat semua variabel data yang
diperlukan.

28
6. Menganalisis Data
Sebelum data diolah dilakukan pembersihan koreksi
dan cek ulang, selanjutnya data diolah dengan cara
perekaman data, validasi, pengkodean, alih bentuk
(transform) dan pengelompokan berdasarkan variabel
tempat, waktu, dan orang. Hasil pengolahan dapat
berbentuk tabel, grafik, dan peta menurut variabel
golongan umur, jenis kelamin, tempat dan waktu,
atau berdasarkan faktor risiko tertentu. Setiap
variabel tersebut disajikan dalam bentuk ukuran
epidemiologi yang tepat (rate, rasio dan proporsi).
Pengolahan data yang baik akan memberikan
informasi spesifik suatu penyakit dan atau masalah
kesehatan. Selanjutnya adalah penyajian hasil olahan
data dalam bentuk yang informatif, dan menarik. Hal
ini akan membantu pengguna data untuk memahami
keadaan yang disajikan.
Analisis data dilakukan dengan metode eoideiologi
destriktif dan atau analitik untuk menghasilkan
informasi yang sesuai dengan tujuan surveilans yang
ditetapkan. Analisis dengan metode epidemiologi
deskriptif dilakukan untuk mendapat gambaran
tentang distribusi penyakit atau masalah kesehatan
serta faktor-faktor yang mempengaruhinya menurut
waktu, tempat dan orang. Sedangkan analisis dengan
metode epidemiologi analitik dilakukan untuk
mengetahui hubungan antar variable yang dapat
mempengaruhi peningkatan kejadian kesakitan atau
masalah kesehatan. Untuk mempermudah
melakukan analisis dengan metode epidemiologi
analitik dapat menggunakan alat bantu statistik.
Hasil analisis akan memberikan arah dalam
menentukan besaran masalah, kecenderungan suatu
keadaan, sebab akibat suatu kejadian, dan penarikan
kesimpulan. Penarikan kesimpulan hasil analisis

29
harus didukung dengan teori dan kajian ilmiah yang
sudah ada.
7. Pengambilan Tindakan
Surveilans Kesehatan sangat penting artinya bagi
pengambil keputusan di bidang kesehatan dalam
rangka upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya. Untuk
terselenggaranya Surveilans Kesehatan yang optimal
diperlukan peran serta semua sektor, terutama
seluruh fasilitas pelayanan kesehatan milik
pemerintah ataupun masyarakat, instansi kesehatan
baik di daerah maupun di pusat. Demikian pula
daerah diharapkan dapat mengembangkan surveilans
berdasarkan kemampuan dan sumber daya yang
dimiliki dengan berpedoman pada pengaturan
Surveilans Kesehatan yang ditetapkan di tingkat
pusat. Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan
dilakukan melalui pengumpulan data, pengolahan
data, analisis data, dan diseminasi sebagai satu
kesatuan yang tidak terpisahkan untuk menghasilkan
informasi yang objektif, terukur, dapat
diperbandingkan antar waktu, antar wilayah, dan
antar kelompok masyarakat sebagai bahan
pengambilan keputusan. Surveilans sebagai pedoman
untuk pengambilan keputusan, meliputi: besaran
masalah; faktor risiko; endemisitas; patogenitas,
virulensi dan mutasi; status KLB/Wabah; kualitas
pelayanan; kinerja program; dan/atau dampak
program. Pengambilan keputusan sebagaimana dapat
berbentuk kebijakan teknis, penetapan keputusan,
atau pengaturan. Dalam proses pengambilan
keputusan dapat mempertimbangkan situasi dan
kondisi: sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat;
politik, keamanan, dan pertahanan; potensi dampak
yang dapat terjadi.

30
8. Persiapkan Dan Sajikan Laporan
Diseminasi informasi dapat disampaikan dalam
bentuk buletin, surat edaran, laporan berkala, forum
pertemuan, termasuk publikasi ilmiah. Diseminasi
informasi dilakukan dengan memanfaatkan sarana
teknologi informasi yang mudah diakses. Diseminasi
informasi dapat juga dilakukan apabila petugas
surveilans secara aktif terlibat dalam perencanaan,
pelaksanaan dan monitoring evaluasi program
kesehatan, dengan menyampaikan hasil analisis.
Laporan sebaiknya ditulis dengan gaya yang sesuai
dengan sasaran dari pembaca laporan. Laporan yang
diberikan kepada pengelola program yang bukan dari
epidemiologi maka dibuat sederhana dan dapat
langsung dipahami tanpa menggunakan Bahasa yang
terlalu ilmiah. Jila laporan hasil ditulis untuk
kalangan akademis, maka laporan dibuat lebih
mendetail.

31
Daftar Pustaka
Amiruddin, Ridwan. (2013). Surveilans Kesehatan
Masyarakat. Bogor: IPBPress.
Peraturan Menteri Kesehatan RI, No 45 tahun 2014
tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan.
Permatasari, Putri dan Widodo, Sri. (2021). Perencanaan
dan Evaluasi Kesehatan. Sleman: Deeppublish.
Toufiqurokhman. (2008). Konsep dan kajian ilmu
Perencanaan. Jakarta: Faklutas Ilmu Sosial dan ilmu
Politik Universitas Prof. Dr. Moestopo Beragama.

32
Profil Penulis
Krisnita Dwi Jayanti, S.KM., M.Epid
Lahir di Tulungagung, pada 18 Oktober 1988.
Merupakan anak pertama dari pasangan Kristian
dan Sulistiyanti Muji Rahayu. Ketertarikan penulis
terhadap Epidemiologi Penyakit Menular terutama
dalam minat epidemiologi dimulai pada tahun
2006. Hal tersebut membuat penulis memutuskan
untuk masuk ke Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1
Rejotangan Kabupaten Tulungagung dengan memilih Jurusan
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan berhasil lulus pada tahun
2006. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke Perguruan
Tinggi dan berhasil menyelesaikan studi Sarjana Kesehatan
Masyarakat di prodi Kesehehatan Masyarakat Universitas
Negeri Jember pada tahun 2010. Kemudian mendapat beasiswa
dari institusi tempat bekerja pada tahun 2016, penulis
menyelesaikan studi pasca sarjana di program studi
Epidemiologi Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga
Surabaya. Penulis memiliki kepakaran dibidang Epidemiologi.
Saat ini mendapatkan Amanah untuk menjadi dosen di Institut
Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri dan berhomebase di Prodi
Rekam Medis dan Informasi Kesehatan. Sebagai dosen, penulis
melaksanakan tri dharma perguruan tinggi dengan berperan
aktif sebagai pengajar, peneliti dan melakukan pengabdian
kepada masyarakat dibidang epidemiologi. Beberapa penelitian
yang telah dilakukan didanai oleh internal perguruan tinggi dan
juga Kemenristek DIKTI.
Email Penulis: krisnita.jayanti@iik.ac.id

33
34
3
SUMBER DATA
SISTEM SURVEILANS

Dwi Handayani, S.KM., M.Epid


Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya

Sumber data sistem surveilans merupakan sumber-


sumber data yang diperlukan dalam kegiatan surveilans.
Sumber data kesehatan dapat diperoleh dari tiga sumber
utama, yaitu bersumber pada fasilitas kesehatan (facility
base), bersumber dari masyarakat (community base) dan
bersumber dari sektor-sektor luar kesehatan
(kependudukan, BMKG, peternakan, dll) (Kemenkes RI,
2018). Sedangkan jenis data dapat dikelompokkan
menjadi dua jenis, yaitu data primer yang dikumpulkan
secara langsung oleh petugas surveilans dan data
sekunder yang telah tersedia atau data yang dimiliki oleh
pihak tertentu yang dapat diakses oleh petugas
surveilans. Maka penting bagi petugas surveilans untuk
bisa memilih data yang paling tepat dan memahami
kelebihan dan kelemahan sumber data yang berbeda,
tergantung masalah yang dihadapi. Jika data tidak
tersedia, maka petugas surveilans dapat melakukan
survei atau pengumpulan data secara langsung (Gregg,
2008).
Sumber data sistem surveilans beragam tergantung pada
jenis surveilans yang dilakukan. Menurut Langmuir
dalam Amiruddin (2013), data-data yang dikumpulkan

35
dalam suatu kegiatan surveilans epidemiologi dapat
berasal dari berbagai sumber, selain itu berbeda juga tiap
jenis penyakitnya. Namun, beberapa sumber data yang
umum digunakan dalam sistem surveilans adalah:
Pencatatan Kematian
Data mortalitas tersedia secara rutin di tingkat lokal dan
nasional. Di Indonesia beberapa daerah sudah
menjalankan pencatatan kematian dengan baik. Hal ini
karena adanya aturan atau hukum pemakaman.
Ketersediaan data mortalitas berguna untuk
mengidentifikasi besarnya masalah kesehatan tertentu
dan pengaruhnya pada tingkat lokal, daerah dan nasional.
Data mortalitas yang tersedia di tingkat daerah atau
provinsi mencantumkan informasi detil terkait sebab
kematian yang ada di surat keterangan kematian. Data
tersebut sangat penting untuk surveilans seperti
surveilans kecelakaan intensional maupun non-
intensional seperti halnya kematian mendadak yang tidak
diketahui sebabnya. Terkadang surat keterangan
kematian memiliki keterbatasan, diantaranya kurangnya
standardisasi penentuan dan pencantuman sebab
kematian oleh dokter dan terbatasnya informasi tentang
keadaan kematian. Meskipun demikian, surat keterangan
kematian dapat digunakan untuk menghubungi dokter
dan menunjukkan lokasi rekam medis pasien untuk
memperoleh data yang lebih spesifik. Kualitas surat
keterangan kematian cukup beragam di setiap daerah.
Penilaian yang dilakukan dokter tentang penyebab
kematian selalu divergen setiap waktu dan banyak variasi
akan definisi kematian.
Data Morbiditas
Data morbiditas merupakan sumber data yang terpenting
dalam sistem surveilans, sehingga di berbagai negara
mengharuskan adanya pelaporan penyakit. Seperti di

36
Amerika Serikat, ada 50-130 daftar penyakit yang harus
dilaporkan sebagai kejadian kesehatan (Gregg, 2008).
Data ini didiseminasikan secara rutin untuk tujuan
surveilans di tingkat lokal hingga nasional. Data
morbiditas dilaporkan oleh dokter atau penyedia layanan
kesehatan lain (rumah sakit, klinik, puskesmas, dll). Data
dari penyedia layanan kesehatan yang diperlukan dalam
sistem surveilans mencakup diagnosa, tanggal mulai
sakit, perawatan, dan hasil tes. Data medis ini juga dapat
mencakup informasi identitas pasien (nama, alamat
lengkap, umur, jenis kelamin, dll) sehingga perlu
dilindungi dengan baik untuk menjaga privasi pasien.
Meskipun penyakit yang tidak dikenal dan tidak
terdiagnosa tidak masuk ke dalam laporan, sensitifitas
dan spesifisitas laporan untuk kondisi penyakit infeksi
maupun non infeksi cenderung meningkatkan keparahan
dan kelangkaan penyakit. Dalam kasus seperti ini,
seorang dokter lebih berwenang untuk melaporkan
karena bisa mendapatkan manfaat langsung dari laporan
tersebut. Manfaat tidak hanya untuk kepentingan
kesehatan masyarakat, tetapi juga agar tenaga ahli medis
dapat menegakkan diagnosa dan meningkatkan akses
agar dapat melakukan tindakan yang tepat. Sumber data
morbiditas lainnya yang sangat bermanfaat untuk sistem
surveilans yang sedang berjalan maupun untuk situasi
lapangan adalah dari survei-survei kesehatan. Survei-
survei tersebut dilakukan dalam jangkauan geografis yang
luas namun sering tidak tepat waktu sehingga lebih cocok
jika diimplementasikan pada penyelidikan lapangan lokal.
Penyediaan data yang lebih cepat pada umumnya
mencakup daerah geografis yang tidak luas, karena
melihat perkembangan penyakit baru yang sedang
diperhatikan dalam jangka waktu pendek, seperti
surveilans pada kondisi KLB.

37
Data Laboratorium
Sumber data dari hasil laboratorium sangat bermanfaat
untuk mendeteksi penyakit terutama infeksius dan juga
dapat memberikan informasi tentang jenis patogen serta
melacak penyebarannya. Data tersebut diperoleh dari
laboratorium yang menguji sampel dari pasien, seperti
darah, air kencing, swab hidung, dll. Saat ini beberapa
laboratorium telah berbasis komputerisasi data secara
universal. Hal ini dapat meningkatkan kegunaan
laboratorium dalam memenuhi data sistem surveilans,
karena mampu menyediakan laporan rutin bahkan harian
dari laboratorium klinis yang besar kepada
institusi/lembaga kesehatan di tiap tingkat wilayah.
Ketersediaan data yang rutin akan menjamin bahwa
laporan lengkap dari laboratorium tentang kasus yang
sudah didiagnosa. Peningkatan kebutuhan akan fasilitas
laboratorium dapat menyediakan data penting untuk
mendeteksi dan penyelidikan epidemi yang disebabkan
oleh agen infeksius, sehingga dapat dilakukan tindakan
pencegahan dan pengendalian. Selain itu, dengan
semakin canggih alat-alat laboratorium akan berperan
penting dalam memberikan informasi yang tepat dan
akurat.
Laporan KLB atau Epidemi
Laporan KLB atau Epidemi pada umumnya terdiri dari
laporan penyakit dari fasilitas kesehatan, laporan kasus
dari dokter dan data dari sistem pelaporan wabah. Dari
data surveilans KLB atau epidemi ini digunakan untuk
memahami pola dan tren dalam penyakit dan mencegah
penyebaran penyakit. Terkadang lebih mudah dan praktis
untuk mengukur epidemi daripada mengukur satu kasus
penyakit pada individu. Jika yang diukur adalah penyakit
yang mempunyai potensi epidemi, memang ada
keterbatasan dalam tindakan kesehatan masyarakat
untuk merespons kasus individual, terutama pada kasus

38
yang tidak dilaporkan secara lengkap dan dalam beberapa
hal penyakit yang memiliki spektrum yang sangat luas.
Contoh penyakit influenza yang menggunakan metode
pelacakan yang menghemat waktu yang dilakukan oleh
Center for Disease Control and Prevention (CDC) dengan
melibatkan beberapa tingkat penilaian oleh negara
bagian. Metode tersebut menjelaskan tingkat keparahan
influenza sebagai kasus yang harus diisolasi, KLB
sporadik, KLB yang mempengaruhi kurang dari satu
setengah bagian dari satu negara bagian dan KLB yang
mempengaruhi lebih dari satu setengah bagian dari satu
negara bagian. Metode tersebut bukan merupakan ilmu
yang kaku, tapi dapat bermanfaat, karena dapat dinilai
menurut perhitungan kasar, terutama sebagai informasi
publik sebagai upaya menentukan sasaran tindakan
pencegahan dan pengendalian (Khan et.al, 2009).
Data Surveilans Makanan
Data yang diperoleh dari surveilans makanan
dikumpulkan dari berbagai sumber seperti produsen
makanan, pemasok, dan lembaga pengawas makanan.
Pada surveilans makanan terdapat kegiatan seperti
pemantauan produksi, distribusi, dan konsumsi
makanan. Data dari surveilans makanan ini digunakan
untuk mendeteksi dan mencegah penyakit yang terkait
dengan makanan, seperti keracunan makanan.
Data Surveilans Lingkungan
Surveilans lingkungan melibatkan pengumpulan data
tentang lingkungan dan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kesehatan manusia, seperti kualitas
udara, air, dan tanah, iklim, suhu, kelembaban, dll. Data
dari surveilans lingkungan ini dapat membantu
mendeteksi dan mencegah penyakit yang terkait dengan
lingkungan. Di Indonesia data-data tersebut dapat

39
diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan
Geofisika (BMKG)
Data Surveilans Digital
Sumber data surveilans digital mencakup data dari
berbagai perangkat digital, seperti aplikasi kesehatan,
sensor kesehatan pintar, dan sistem informasi geografis.
Data dari surveilans digital ini dapat membantu
mengidentifikasi pola dan tren dalam kesehatan
masyarakat dan membantu dalam penentuan kebijakan
kesehatan (Brownstein et al., 2009). Pemanfaatan sistem
surveilans digital akan membantu dalam ketersediaan
data secara cepat dan akurat serta penyimpanan data
yang terdokumentasi dengan baik (Handayani et al, 2019).
Data Sistem Pemantauan Kesehatan Hewan
Data terkait kesehatan hewan perlu dikumpulkan untuk
menilai risiko penyakit zoonosis. Penyakit pada manusia
berperan tidak terlalu siginifikan terhadap penyakit-
penyakit pada spesies zoonosis, dan surveilans manusia
terhadap penyakit-penyakit tersebut biasanya tidak
berjalan dengan baik atau bahkan tidak ada surveilans.
Penyakit pada hewan dapat menunjukkan paparan
terhadap toksin lingkungan sebelum penyakit klinis
muncul pada populasi manusia. Ketika keadaan paparan
toksin dianggap meningkat, dibutuhkan komunikasi rutin
antara petugas kesehatan, komunitas dokter hewan dan
pihak yang bertanggung jawab memantau populasi
hewan.
Survei Kesehatan pada Masyarakat Umum
Untuk melengkapi gambaran epidemiologi dari suatu
penyakit, maka diperlukan keterangan-keterangan
mengenai masyarakat serta faktor-faktor lain yang
bekaitan dengan penyakit yang sedang terjadi untuk
membantu menilai pentingnya sebuah persolan yang

40
sedang diteliti, seperti data perilaku berisiko dalam
masyarakat. Contoh salah satu jenis survei tentang
promosi kesehatan dan perilaku berisiko dalam populasi
yang dilakukan setiap tahun oleh semua negara bagian
adalah The Behaviour Risk Factor Surveillance System
(BRFSS). Data yang dikumpulkan digunakan untuk
memberi standar pada pentingnya data tren perilaku
sebagai bahan penelitian kesehatan masyarakat (misal:
perilaku merokok), dan untuk mengukur pengaruh
program kesehatan masyarakat.
CDC menyediakan akses untuk database yang
bermanfaat dalam memenuhi tujuan surveilans, seperti
The National Health and Nutrition Examination Survey
(NHAES) merupakan survei yang dilakukan secara
periodik yang meliputi pemeriksaan klinis, kumpulan dari
specimen laboratorium dan catatan/historis medis. The
National Health Interview Survey adalah survei
berkelanjutan pada masyarakat sipil terkait pengumpulan
data penyakit, kecacatan, penyediaan peralatan pada
layanan kesehatan dan batasan aktivitas (CDC, 2012).
Beberapa survei yang berskala nasional yang lain seperti
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) dan lainnya akan sangat berguna
dalam sistem surveilans.
Sistem Sentinel
Sistem yang telah tersedia tentang data morbiditas harus
cukup sensitif dan spesifik untuk mendeteksi awal
kemunculan masalah kesehatan. Namun pada
kenyataannya tidak semua sistem seefektif itu dan
beberapa penyakit yang penting untuk kesehatan
masyarakat tidak semua dapat dilaporkan. Maka dari itu
diperlukan sebuah sistem yang relatif sensitif untuk
melakukan deteksi dan pengawasan awal. Aktivitas dalam
surveilans sentinel berfokus pada pemantauan indikator
kunci kesehatan pada populasi umum atau populasi

41
khusus. Menurut Rutstein dalam Moore (2004) kejadian
sentinel kesehatan merupakan penyakit, kecacatan atau
kematian yang kejadiannya merupakan suatu tanda
peringatan bahwa kualitas pencegahan atau pelayanan
medis harus ditingkatkan. Sedangkan menurut Lacey et
al (2011) menyebutkan bahwa surveilans sentinel
merupakan usaha untuk menemukan suatu sistem yang
dapat menyediakan ukuran insiden penyakit di suatu
wilayah yang belum memiliki institusi surveilans yang
luas tanpa harus mengeluarkan biaya survei yang besar.
Sentinel merujuk pada peristiwa-peristiwa kunci
kesehatan, klinik atau tempat peristiwa kesehatan
dipantau dan pelapor yang melaporkan peristiwa
kesehatan spesifik. Lokasi sentinel berperan memantau
kondisi dalam ras atau populasi yang rentan daripada
populasi umum. Petugas sentinel berperan dalam
melaporkan data surveilans, meningkatkan mutu data,
menghitung dan mengestimasi morbiditas penyakit.
Data Demografis
Pada sistem surveilans, karakteristik demografis dasar
yang menyangkut populasi berisiko merupakan salah
satu data penting yang harus tersedia. Jika data
demografis tidak tersedia maka akan sulit menghitung
besaran masalah kesehatan (prevalensi atau insidens).
Dengan kata lain harus ada denominator untuk
menghitung prevalensi atau insidens sebagai langkah
analisis data pada sistem surveilans. Selain itu
pentingnya ketersediaan data demografis untuk
mendapatkan perbandingan yang valid antara populasi
dan paparan. Data demografis dapat diperoleh dari Badan
Pusat Statistik (BPS) atau kantor daerah setempat seperti
kelurahan dan kecamatan untuk tingkat lokal.

42
Daftar Pustaka
Amiruddin, R. (2013). Surveilans Kesehatan Masyarakat.
Bogor: IPB press
Brownstein, J. S., Freifeld, C. C., & Madoff, L. C. (2009).
Digital Disease Detection - Harnessing the Web for
Public Health Surveillance. The New England Journal
of Medicine, 360(21), 2153–2157
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). (2012).
Principles of Epidemiology in Public Health Practice.
Atlanta, GA: Centers for Disease Control and
Prevention.
Gregg, M. (2008). Field Epidemiology Third Edition. New
York: Oxford University
Handayani, D., Sunaryo, M., & Wulan, T.D. (2019). Buku
Petunjuk Penggunaan Aplikasi Sistem Informasi Survei
Kesehatan Pondok Pesantren (SISKESTREN).
Surabaya: Unusa press
Kemenkes RI. (2018). Modul Pelatihan Surveilans
Epidemiologi Bagi Petugas Puskesmas. Jakarta: Pusat
Pelatihan SDM Kesehatan
Khan, K., Arino, J., Hu, W., Raposo, P., Sears, J.,
Calderon, F., ... & Heidebrecht, C. (2009). Spread of a
novel influenza A (H1N1) virus via global airline
transportation. New England Journal of Medicine,
361(2), 212-214
Lacey C., Woodhall S., Wikstrom A., Ross J. (2011).
European Guideline for The Management of Anogenital
Warts. Int Union Against Sex Transm Infect
Moore S. (2004). Infecundty, Infertility, and Childlessnes in
Developing Countries. USA: ORC Macro and the World
Health Organization.

43
Profil Penulis
Dwi Handayani, S.KM., M.Epid
Penulis dilahirkan di Kota Denpasar, Bali pada
tanggal 03 Mei 1992. Penulis telah menyelesaikan
studi Strata satu pada Program Studi Kesehatan
Masyarakat, Universitas Udayana (2010-2014) dan
menyelesaikan studi Magister pada Program Studi Epidemiologi,
Universitas Airlangga (2014-2016). Penulis pernah bekerja di
Center of Public Health Innovation (CPHI) dibawah naungan
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Penulis saat ini
bekerja sebagai dosen tetap di Program Studi Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Kesehatan, Universitas Nahdlatul Ulama
Surabaya (UNUSA) (2017-sekarang). Penulis juga aktif dalam
kegiatan ilmiah dan organisasi keprofesian yaitu Perhimpunan
Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) dan Ikatan Ahli Kesehatan
Masyarakat Indonesia (IAKMI). Bidang ilmu yang dimiliki adalah
Epidemiologi dan mata kuliah yang diampu adalah Dasar
Epidemiologi, Epidemiologi Penyakit, Surveilans Kesehatan
Masyarakat, Rancangan Investigasi Wabah, Riset Epidemiologi
dan Skrining. Hasil karya yang telah dihasilkan dari kegiatan
penelitian adalah aplikasi yang diberi nama Siskestren (Sistem
Informasi Survei Kesehatan Pondok Pesantren) dan telah
memperoleh Hak Cipta di tahun 2019 dengan nomor pencatatan
000154092.
Email Penulis: handayni.dwi@gmail.com

44
4
ANALISIS DAN INTERPRETASI
DATA SURVEILANS

Iskandar Arfan, S.K.M., M.Kes.(Epid)


Universitas Muhammadiyah Pontianak

Pendahuluan
Surveilans adalah salah satu aspek penting dari
epidemiologi dan kesehatan masyarakat yang berfokus
pada pengumpulan, analisis, dan interpretasi data untuk
memahami dan mengendalikan penyakit dan masalah
kesehatan. Analisis dan interpretasi data surveilans
adalah proses kritis untuk memahami tren dan pola yang
terkait dengan masalah kesehatan masyarakat, seperti
penyakit menular, penyakit kronis, perilaku yang berisiko,
dan faktor risiko kesehatan lainnya.
Dalam analisis dan interpretasi data surveilans, data yang
dikumpulkan dari berbagai sumber dianalisis dan diolah
menjadi informasi yang dapat digunakan untuk
memahami dan mengendalikan masalah kesehatan
masyarakat. Setelah data dianalisis, hasilnya kemudian
diinterpretasikan agar dapat memberikan wawasan yang
berharga untuk mengembangkan strategi intervensi yang
efektif dan memantau keberhasilan program intervensi
yang sudah ada. Dalam bab ini penulis akan menjelaskan
secara rinci terkait analisis dan interpretasi data dalam
surveilans.

45
Analisis Data Surveilans
1. Pengertian Analisis Data Surveilans
Analisis data surveilans merupakan proses yang
penting dalam bidang kesehatan masyarakat. Proses
ini melibatkan pengolahan data yang diperoleh dari
berbagai sumber untuk mendapatkan informasi yang
lebih sistematis dan terus-menerus terhadap semua
aspek kesehatan. Hal ini berguna untuk memahami
situasi kesehatan masyarakat secara lebih mendalam,
termasuk prevalensi penyakit, gejala, dan faktor risiko
yang mempengaruhi kesehatan. Kemampuan dalam
melakukan analisis data surveilans sangat penting
bagi para petugas surveilans, karena dari hasil
analisis data ini akan menghasilkan informasi yang
berguna untuk tindakan dan pengambilan keputusan
yang lebih tepat. Dengan demikian, hasil analisis data
surveilans dapat digunakan untuk merumuskan
kebijakan kesehatan masyarakat yang lebih efektif
dan efisien (Lisa M. Lee et al., 2010).
2. Tujuan analisis data surveilans
Surveilans atau pengawasan kesehatan adalah suatu
sistem yang dirancang untuk memantau dan
mendeteksi masalah kesehatan di masyarakat. Dalam
praktiknya, surveilans memerlukan analisis data yang
efektif untuk mengidentifikasi tren dan pola dalam
kasus penyakit dan masalah kesehatan lainnya.
Tujuan utama dari analisis data surveilans adalah
untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik
tentang masalah kesehatan dan mengembangkan
tindakan yang tepat dalam menangani masalah
tersebut. Analisis data surveilans yang baik dapat
memberikan informasi yang berguna untuk
menentukan langkah-langkah yang perlu dilakukan
untuk mencegah, mengontrol, dan mengurangi kasus

46
penyakit di masyarakat. Dibawah ini adalah beberapa
tujuan dari analisis surveilans:
a. Mendapatkan gambaran yang jelas tentang
masalah kesehatan yang sedang dipantau;
b. Menentukan kecenderungan atau tren masalah
kesehatan yang sedang dipantau;
c. Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi
timbulnya masalah kesehatan yang sedang
dipantau;
d. Mengidentifikasi dan mengevaluasi program
kesehatan yang sudah berjalan;
e. Memberikan rekomendasi atau saran yang
berguna dalam pengambilan keputusan terkait
dengan penanggulangan masalah kesehatan yang
sedang dipantau.
f. Menginformasikan kepada masyarakat, tenaga
kesehatan, dan pemangku kepentingan lainnya
tentang masalah kesehatan yang sedang dipantau
dan tindakan yang dapat dilakukan untuk
mengatasinya (CDC, 2012; Ridwan Amiruddin,
2012).
3. Penyajian Hasil Analisis
Penyajian disesuaikan dengan tujuan surveilans,
maka analisis data harus dapat menyajikan informasi
tentang:
a. Besaran masalah saat ini
b. Besaran masalah yang terkait dengan indikator
output dari dari pengelolaan program
c. Besaran masalah yang terkait dengan outcome
(indikator program)

47
d. Kecenderungan (trend) dari indikator-indikator
tersebut poin a, b, c
e. Analisis hubungan berbagai situasi
f. Analisis situasi masalah untuk memahami
karakteristik permasalahannya dan faktor-faktor
atau penyebab yang terkait (Kemenkes RI, 2019).
Hasil-hasil dari analisis tersebut di atas dapat
disajikan dalam bentuk:
1) Tabel;
2) Grafik antara lain grafik batang, lingkaran,
garis, histogram, poligon
3) Peta dan lain-lain (Ridwan Amiruddin, 2012).
4. Metode analisis data surveilans
Dalam surveilans, analisis data dilakukan dengan
menggunakan metode epidemiologi deskriptif dan
analitik untuk mendapatkan informasi yang sesuai
dengan tujuan surveilans yang telah ditetapkan. Hasil
analisis data surveilans akan memberikan arah dalam
menentukan besaran masalah, kecenderungan suatu
keadaan, sebab akibat suatu kejadian, dan penarikan
kesimpulan. Namun, penarikan kesimpulan harus
didukung dengan teori dan kajian ilmiah yang telah
ada agar hasil analisis dapat dijadikan dasar untuk
pengambilan keputusan dan perencanaan program
kesehatan yang lebih efektif (Kemenkes RI, 2014).
a. Metode Deskriptif
Analisis dengan metode epidemiologi deskriptif
bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang
distribusi penyakit atau masalah kesehatan serta
faktor-faktor yang mempengaruhinya menurut
orang, tempat, dan waktu (CDC, 2012; Nsubuga
et al., 2006).

48
1) Berdasarkan Orang
Analisis berdasarkan orang adalah proses
mempelajari distribusi penyakit atau masalah
kesehatan pada kelompok orang tertentu.
Tujuannya adalah untuk mengetahui
karakteristik kelompok orang yang rentan
terhadap penyakit atau masalah kesehatan
tertentu, seperti usia, jenis kelamin, status
imunisasi, riwayat kesehatan, dan faktor
risiko lainnya. Analisis berdasarkan orang
dapat membantu mengidentifikasi populasi
yang paling membutuhkan intervensi
kesehatan yang efektif. Adapun contoh
analisis berdasarkan orang dapat melihat
gambar dibawah ini yang disajikan dalam
bentuk grafik batang yakni mengenai status
pengobatan diabetes beserta alasan tidak
rutin minum obat anti diabetes atau suntik
insulin.

Sumber: (Kemenkes RI, 2018a)

Gambar 4.1.
Contoh analisis data berdasarkan orang

49
Contoh lain analisis berdasarkan orang
adalah mempelajari penyebaran penyakit
campak pada anak-anak usia 5-12 tahun di
wilayah tertentu. Dalam analisis ini, dapat
ditemukan karakteristik kelompok anak-anak
tersebut yang paling rentan terhadap penyakit
campak, seperti kurangnya imunitas atau
tidak mendapat vaksinasi, pola perilaku yang
meningkatkan risiko penularan, dan kondisi
sosial ekonomi yang mempengaruhi akses
terhadap perawatan kesehatan.
2) Berdasarkan Tempat
Analisis berdasarkan tempat adalah suatu
bentuk analisis yang dilakukan dalam
surveilans kesehatan untuk mengetahui
distribusi suatu penyakit atau masalah
kesehatan di suatu wilayah atau tempat
tertentu. Analisis ini dilakukan dengan
memetakan data penyakit atau masalah
kesehatan yang terjadi di suatu wilayah atau
tempat, sehingga dapat diketahui daerah
mana yang paling banyak terdampak dan
daerah mana yang masih minim terdampak.
Analisis berdasarkan tempat sangat penting
untuk membantu menentukan tindakan atau
intervensi yang tepat untuk mengatasi
masalah kesehatan yang terjadi di suatu
wilayah atau tempat tertentu. Dengan
mengetahui daerah mana yang terdampak
paling banyak, dapat ditentukan prioritas
tindakan atau intervensi yang harus
dilakukan di daerah tersebut. Berikut
dibawah ini contoh analisis berdasarkan
tempat mengenai peta cakupan imunisasi dan
sebaran kasus difteri yang dapat memberikan

50
gambaran wilayah terdampak dan rentan
kasus difteri berdasarkan cakupan
imunisasinya yang dilakukan dengan program
pemetaan.

Sumber: (Kemenkes RI, 2018b)

Gambar 4.2.
Contoh analisis data berdasarkan tempat
Contoh lain analisis berdasarkan tempat
adalah dalam analisis penyebaran penyakit
seperti malaria di suatu wilayah atau negara
tertentu. Dengan memetakan wilayah yang
paling banyak terdampak, dapat dilakukan
tindakan seperti pengendalian vektor,
kampanye pemberantasan sarang nyamuk,
atau pembagian obat-obatan profilaksis
secara selektif di wilayah tersebut. Hal ini
dapat membantu mengurangi kasus malaria
di daerah yang terdampak.

51
3) Berdasarkan Waktu
Analisis berdasarkan waktu dalam surveilans
kesehatan digunakan untuk memahami
perubahan dan tren dalam distribusi penyakit
atau masalah kesehatan seiring waktu. Hal ini
dapat membantu dalam mengidentifikasi
faktor risiko dan memprediksi potensi
kejadian masalah kesehatan di masa depan.
Analisis berdasarkan waktu dapat dilakukan
dengan menggunakan beberapa metode
seperti grafik, diagram batang, atau diagram
garis untuk memvisualisasikan perubahan
seiring waktu. Selain itu, dapat juga
dilakukan analisis dengan membagi waktu ke
dalam periode tertentu, seperti bulanan,
tahunan, atau musiman, untuk mempelajari
trend atau pola kejadian penyakit atau
masalah kesehatan. Berikut dibawah ini
contoh analisis data berdasarkan waktu yang
disajikan dalam bentuk grafik garis.

Sumber: (CDC, 2004)

Gambar 4.3.
Contoh analisis data berdasarkan waktu

52
Grafik ini untuk menilai arah kejadian
penyakit yang ada (meningkat, menurun, atau
pada dasarnya datar), membantu untuk
mengevaluasi program atau membuat
keputusan kebijakan, dan gunakan tren masa
lalu sebagai prediktor kejadian penyakit di
masa depan.
b. Metode Analitik
Analisis dengan metode epidemiologi analitik
dilakukan untuk mengetahui hubungan antar
variabel yang dapat mempengaruhi peningkatan
kejadian kesakitan atau masalah kesehatan.
Untuk memudahkan analisis dengan metode
epidemiologi analitik, dapat menggunakan alat
bantu statistik. Analisis yang dapat digunakan
antara lain analisis bivariat, atau multivariat.
Hasil analisis dapat membantu dalam
perencanaan dan implementasi program
kesehatan yang lebih efektif dan tepat sasaran
(CDC, 2012).
5. Cara Melakukan Analisis Data
Berikut dibawah ini cara melakukan analisa data
/menarik kesimpulan (Ridwan Amiruddin, 2012).
a. Analisis Perbandingan
Analisis perbandingan dilaksanakan dengan
membandingkan data/capaian yang dimiliki
dengan data yang sama di tahun berbeda untuk
melihat penurunan dan kenaikan atau dengan
membandingkan dengan indikator program
/target yang ingin dicapai. Sebagai contoh terkait
data/capaian yang tidak sesuai target yakni
penyakit DBD suatu kabupaten/kota memiliki
target “menurunkan” incidence rate (IR) dengue
≤49/100.000 penduduk. Apabila kabupaten/kota
tersebut memiliki IR ≥49/100.000 misalnya IR

53
56/100.000 penduduk maka dapat dimaknai
bahwa ada permasalahan atau IR kabupaten/kota
tidak mencapai target atau kinerja/capaian tidak
baik yang harus segera diidentifikasi penyebabnya
dan mengembangkan intervensi yang efektif
untuk meningkatkan kinerja atau capaian
tersebut. Adapun contoh lain dapat dilihat pada
tabel dibawah ini berdasarkan beberapa contoh
capaian/target/indikator program:
Tabel 4.1 Indikator Kinerja Program Kesehatan
Masyarakat dalam Renstra Kemenkes 2020-2024

Target
No Indikator
2020 2021 2022 2023 2024

1 Persentase 87 89 91 93 95
persalinan di
fasilitas
pelayanan
kesehatan
(PF)
2 Persentase 40 50 60 70 90
desa/kelura
han dengan
Stop Buang
air besar
Sembaranga
n (SBS)
3 Persentase Ibu 16 14.5 13 11.5 10
hamil Kurang
Energi Kronis
(KEK)
4 Persentase 30 35 40 45 50
kabupaten/k
ota yang
menerapkan
kebijakan
gerakan
masyarakat
hidup sehat
Sumber: (Kemenkes RI, 2020)

54
b. Analisis Pola, Kecenderungan dan trend
Pola mengacu pada gambaran umum data yang
berulang dalam suatu periode tertentu, seperti
pola musiman atau pola mingguan dalam jumlah
kasus suatu penyakit. Kecenderungan mengacu
pada arah atau pola perubahan yang terlihat dari
data seiring waktu atau variabel lainnya.
Kecenderungan dapat berupa peningkatan atau
penurunan jumlah kasus penyakit dalam
beberapa tahun terakhir, atau perubahan dalam
karakteristik kasus tertentu seperti usia atau
jenis kelamin. Sedangkan trend mengacu pada
pola perubahan yang terlihat dalam jangka waktu
yang lebih panjang. Analisis pola, kecenderungan
atau trend bertujuan untuk memperoleh
informasi tentang perubahan yang terjadi pada
suatu masalah kesehatan, apakah semakin
membaik atau memburuk, sehingga dapat
diketahui penyebabnya dan dapat dilakukan
tindakan yang tepat untuk mengatasi masalah
tersebut.
c. Analisis Hubungan
Analisis hubungan dapat membantu petugas
surveilans dalam pengambilan keputusan terkait
langkah-langkah intervensi yang perlu dilakukan.
Dengan cara mengidentifikasi faktor-faktor risiko
yang terkait dengan suatu masalah kesehatan,
petugas surveilans dapat mengambil tindakan
pencegahan atau pengendalian yang lebih tepat
sasaran untuk menanggulangi masalah
kesehatan tersebut. Dalam analisis hubungan ini
dapat dilakukan dengan bantuan tools statistik
yang disesuaikan dengan tujuan dan jenis data
yang dianalisis.

55
Interpretasi Data Surveilans
1. Pengertian
Interpretasi data adalah adalah proses memahami
dan menafsirkan makna atau informasi yang
terkandung dalam data. Tujuan dari interpretasi data
adalah untuk mendapatkan pemahaman yang lebih
baik tentang masalah atau fenomena yang diamati,
serta untuk membuat keputusan berdasarkan
informasi tersebut. Proses interpretasi data
melibatkan analisis data yang telah dilakukan
sebelumnya, serta pemahaman yang mendalam
tentang konteks data dan tujuan surveilans.
Interpretasi data adalah langkah terakhir dalam
proses analisis data dan melibatkan pengambilan
kesimpulan dari hasil analisis data serta menarik
kesimpulan dan implikasi yang relevan (Lisa M.Lee et
al., 2010).
2. Hambatan dalam interpretasi data
Beberapa hambatan yang dapat terjadi dalam
interpretasi data surveilans antara lain:
a. Keterbatasan data yang tersedia: Data surveilans
yang tidak lengkap, tidak akurat atau tidak
terkumpul dengan konsisten dapat menghambat
interpretasi data yang benar.
b. Bias: Bias dapat terjadi pada saat pengumpulan
data atau pada saat analisis data. Bias ini dapat
menghasilkan kesalahan dalam interpretasi data.
c. Kesalahan dalam pemrosesan data: Kesalahan
dalam memasukkan atau memproses data dapat
menghasilkan kesalahan dalam interpretasi data.
d. Kesalahan dalam analisis: Kesalahan dalam
memilih atau menerapkan teknik analisis dapat
menghasilkan kesalahan dalam interpretasi data.

56
e. Kesulitan dalam mengatasi kompleksitas data:
Data yang kompleks dapat mempersulit
interpretasi data, terutama jika data berasal dari
sumber yang berbeda atau memiliki keterkaitan
yang kompleks.
f. Kesulitan dalam memahami konteks data: Tanpa
memahami konteks data, interpretasi data dapat
menghasilkan kesimpulan yang salah atau tidak
akurat.
g. Kurangnya keahlian analisis data:
Ketidakmampuan atau kurangnya pengalaman
dalam menganalisis data dapat menghambat
interpretasi data yang benar.
h. Tidak adanya informasi tentang metode
pengumpulan data: Tanpa informasi yang jelas
tentang metode pengumpulan data, interpretasi
data dapat menjadi sulit dan tidak akurat.
i. Perbedaan definisi: Perbedaan definisi dalam
surveilans kesehatan dapat menghasilkan
kesulitan dalam interpretasi data antara wilayah,
negara, atau bahkan antara program surveilans
yang berbeda.
j. Ketidaksesuaian atau ketidakcocokan data:
Ketidaksesuaian atau ketidakcocokan data yang
dihasilkan dari berbagai sumber dapat
menghambat interpretasi data yang akurat (CDC,
2012; Lisa M. Lee et al., 2010; Ridwan Amiruddin,
2012).

57
3. Contoh interpretasi data surveilans
Tabel 4.2. Contoh Rekapan SKDN di Posyandu X Bulan
Maret Tahun 2017

No Uraian Jumlah
1 Sasaran Balita (S) 100
2 Jumlah balita ditimbang (D) 90
3 Jumlah balita punya buku KIA/KMS (K) 98
4 Jumlah balita baru (B) 2
5 Jumlah balita tidak ditimbang bulan lalu (O) 5
4 Jumlah balita naik berat badannya (N) 70
6 Jumlah balita tidak naik berat badannya (T) 7
Jumlah balita tidak naik 2 kali berat
7 6
badannya (2T)

Interpretasi: Berdasarkan rekapitulasi tabel diatas


mengenai SKDN Dari 100 balita di posyandu X, masih
ada sebanyak 2 balita yang belum mempunyai buku
KIA/KMS. 2 balita tersebut merupakan balita yang
baru saja ditimbang di posyandu tersebut. Hanya ada
90 balita yang ditimbang pada bulan Maret dan yang
naik berat badannya sebanyak 70 balita dengan 2
balita baru ditimbang bulan ini dan 5 balita tidak
ditimbang bulan lalu. Balita yang tidak naik 2 kali
berat badannya ada 13 anak, terdiri dari 7 balita tidak
naik dibandingkan bulan lalu dan 6 anak tidak naik 2
bulan berturut-turut. Namun seluruhnya sudah
dirujuk ke puskesmas (Kemenkes RI, 2019).

58
Gambar 4.4. Contoh grafik analisis SKDN Menurut Desa
di Puskesmas Y, Bulan Maret Tahun 2017

Sumber: (Kemenkes RI, 2019)


Interpretasi: Berdasarkan grafik diatas mengenai
SKDN Menurut Desa di Puskesmas Y, Bulan Maret
Tahun 2017. Bahwa Cakupan D/S tertinggi di Desa A
sedangkan yang terendah di Desa D. Di Desa D, ada
beberapa rumah tangga yang sulit untuk akses ke
Posyandu. Di Desa C sebagian besar ibu tidak ada
waktu membawa anaknya ke posyandu karena harus
bekerja ke ladang. Di Desa C masih banyak yang
belum mempunyai buku KIA/KMS. Balita yang naik
berat badannya di Desa D ada 80% namun hanya
berasal dari 70% balita yang ditimbang. Balita yang
tidak naik berat badannya 2 kali berturut-turut
terbanyak di Desa B dan Desa D (Kemenkes RI, 2019).

59
Daftar Pustaka
CDC. (2004). Summary of Notifiable -- Diseases United
States 2002.
https://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/m
m5153a1.htm
CDC. (2012). Principles of Epidemiology in Public Health
Practice, Third Edition: An Introduction.
Kemenkes RI. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2014 Tentang
Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan.
https://infeksiemerging.kemkes.go.id/download/PE
RMENKES_45_2014_Penyelenggaraan_Surveilans_Ke
sehatan.pdf
Kemenkes RI. (2018a). Hasil Utama Riskesdas 2018.
Kemenkes RI. (2018b). Pedoman Surveilans dan
Penanggulangan Difteri.
Kemenkes RI. (2019). Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2019 Tentang
Pelaksanaan Teknis Surveilans Gizi.
Kemenkes RI. (2020). Pedoman Indikator Program
Kesehatan Masyarakat Dalam RPJMN Dan Renstra
Kementerian Kesehatan Tahun 2020-2024.
Lisa M. Lee, Steven M. Teutsch, Stephen B. Thacker, &
Michael E. St Louis. (2010). Principles and Practice of
Public Health Surveillance Third Edition. Oxford
University Press.
Nsubuga, P., White, M. E., Thacker, S. B., Anderson, M.
A., Blount, S. B., Broome, C. V., Chiller, T. M., Espitia,
V., Imtiaz, R., Sosin, D., Stroup, D. F., Tauxe, R. V.,
Vijayaraghavan, M., & Trostle, M. (2006). Public
Health Surveillance: A Tool for Targeting and
Monitoring Interventions. Disease Control Priorities in
Developing Countries, 997–1015.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK11770/
Ridwan Amiruddin. (2012). Surveilans Kesehatan
Masyarakat. IPB Press.

60
Profil Penulis
Iskandar Arfan, S.K.M., M.Kes.(Epid)
Penulis dilahirkan di Kota Pontianak Provinsi
Kalimantan Barat pada Tanggal 29 Oktober 1986.
Merupakan anak ke-dua dari pasangan H.
Suparman, S.Pdi (Alm) dan Hj. Sartini, A.md
Penulis menyelesaikan program S1 di Program
Studi Kesehatan Masyarakat Peminatan Ilmu Perilaku Prodi
Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Pontianak
angkatan 2005 dan menyelesaikan program S2 di Program
Magister Epidemiologi Universitas Diponogoro angkatan tahun
2012 dengan beasiswa BPPDN (Beasiswa Pendidikan Pasca
Sarjana Dalam Negeri). Saat ini penulis sedang melanjutkan
pendidikan S3 di Program Studi Kesehatan Masyarakat
Universitas Airlangga angkatan 2022 dengan beasiswa BPI
(Beasiswa Pendidikan Indonesia). Penulis merupakan dosen di
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Pontianak, Selain sebagai dosen
penulis aktif sebagai editor in chief dan reviewer dibeberapa
jurnal. Penulis juga aktif dalam kegiatan ilmiah dan organisasi
keprofesian yaitu Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia
(PAEI). Sehari-harinya bekerja sebagai dosen pengampu mata
kuliah dasar epidemiologi, epidemiologi penyakit menular,
epidemiologi penyakit tidak menular, surveilans kesehatan
masyarakat, sistem informasi geografis kesehatan, managemen
data epid, dll. Selain itu penulis juga aktif dalam menulis jurnal
nasional maupun internasional serta aktif menulis buku ajar
dan book chapter.
Email Penulis: iskandar.arfan@unmuhpnk.ac.id

61
62
5
EVALUASI SISTEM SURVEILANS

I Made Dwi Mertha Adnyana., S.Si., M.Ked.Trop (c)., CMIE., FRSPH

Universitas Airlangga

Pengantar Evaluasi Sistem Surveilans


Sistem surveilans kesehatan merupakan sistem kompleks
yang kegiatannya dilakukan secara terus menerus dan
sistematis berkaitan dengan data disertai informasi
tentang kejadian suatu penyakit atau pemasalahan
kesehatan di masyarakat yang mampu mengakibatkan
peningkatan morbiditas dan mortalitas di tingkat wilayah.
Sistem surveilans digunakan untuk mengawasi dan
merumuskan kebijakan kesehatan terbaik guna
memperoleh upaya preventif dan eradikasi secara efektif
dan efisien. Pemantauan kesehatan masyarakat adalah
komponen penting dari sistem perawatan kesehatan
modern yang membantu memantau dan mengendalikan
penyebaran penyakit menular dan tidak menular,
mengidentifikasi ancaman kesehatan yang muncul di
masyarakat, dan menilai efektivitas intervensi kesehatan
yang diberikan oleh tenaga kesehatan. Sistem surveilans
kesehatan masyarakat mengumpulkan dan menganalisis
data dari berbagai sumber, termasuk rumah sakit, klinik,
laboratorium, dan fasilitas kesehatan lainnya untuk
memberikan informasi yang tepat waktu berkaitan dengan
kejadian, prevalensi, dan distribusi penyakit dan kejadian
kesehatan lainnya di masyarakat.

63
Evaluasi sistem surveilans kesehatan masyarakat sangat
penting untuk memastikan bahwa sistem tersebut efektif,
efisien, dan berkelanjutan. Ada beberapa elemen kunci
yang perlu dipertimbangkan saat mengevaluasi sistem
surveilans mencakup kualitas data, ketepatan waktu,
kelengkapan, keterwakilan, dan kegunaannya. Pada bab
ini, akan membahas masing-masing elemen ini secara
lebih rinci dan menjelaskan kemampuan elemen tersebut
dapat digunakan untuk mengevaluasi sistem surveilans
kesehatan masyarakat. Pelaksanaan evaluasi sistem
surveilans harus memenuhi standar yang ditetapkan
guna memperoleh data yang valid serta rujukan untuk
pertimbangan lebih lanjut (Groseclose & Buckeridge,
2017; Ng’etich et al., 2021)
Lima unsur yang harus terpenuhi dalam pelaksanaan
evaluasi sistem surveilans yakni kualitas data yang
dikumpulkan dapat mempengaruhi keakuratan dan
keandalan informasi yang diberikan, dan karenanya
menjadi bagian penilaian dalam efektivitas sistem
surveilans. Selain itu, ketepatan waktu adalah elemen
penting lain dari pengawasan kesehatan masyarakat.
Pelaporan data yang tepat waktu sangat penting untuk
mendeteksi dan merespons wabah penyakit dengan cepat.
Ketepatan waktu dapat dinilai melalui interval waktu
antara timbulnya gejala dan pelaporan kasus ke sistem
surveilans (Alemu et al., 2019). Selanjutnya, kelengkapan
mengacu pada proporsi kasus atau kejadian yang
dilaporkan ke sistem surveilans relatif terhadap jumlah
total kasus atau kejadian yang terjadi di populasi.
Kelengkapan pengumpulan data sangat penting untuk
memastikan bahwa sistem surveilans menangkap semua
kasus dan kejadian yang relevan. (ECDC, 2014). Lebih
lanjut, keterwakilan sangat penting untuk memastikan
bahwa sistem surveilans memberikan pandangan
komprehensif tentang tren penyakit dan hasil kesehatan
di berbagai populasi dan wilayah. Terakhir, kegunaan
64
adalah elemen terakhir dari evaluasi surveilans kesehatan
masyarakat. Sistem surveilans yang berguna harus
memberikan informasi yang relevan dan dapat
ditindaklanjuti untuk pengambilan keputusan kesehatan
masyarakat (WHO, 1997). Kegunaan sistem surveilans
dapat dievaluasi melalui umpan balik dari profesional
kesehatan masyarakat dan pemangku kepentingan
lainnya yang menggunakan informasi yang disediakan
oleh sistem tersebut
Selain unsur-unsur tersebut, ada beberapa faktor lain
yang harus dipertimbangkan saat mengevaluasi sistem
surveilans kesehatan masyarakat, termasuk efektivitas
biaya sistem, keberlanjutannya, dan kemampuan
beradaptasi terhadap perubahan kebutuhan dan
teknologi kesehatan. Evaluasi sistem surveilans
kesehatan masyarakat juga harus mempertimbangkan
masalah etika, seperti masalah privasi dan perlindungan
hak dan kebebasan individu. Mengevaluasi sistem
surveilans kesehatan masyarakat sangat penting untuk
memastikan bahwa sistem tersebut efektif, efisien, dan
berkelanjutan (Adnyana et al., 2022). Dengan
mengevaluasi sistem surveilans kesehatan masyarakat
secara teratur, kita dapat memastikan perencanaan dan
tindakan yang ditegakkan untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat (Groseclose & Buckeridge, 2017;
Rojanaworarit, 2015)
Pelaksanaan Evaluasi Sistem Surveilans
Kesehatan Masyarakat
Pelaksanaan evaluasi sistem surveilans kesehatan
masyarakat sebagian besar berpedoman pada atribut
sistem surveilans sebagai dasar keseragaman, ketepatan
dan objektivitas hasil yang diperoleh di lapangan. Data
hasil kegiatan surveilans kesehatan dapat digunakan
untuk tindakan kesehatan masyarakat segera,
perencanaan dan evaluasi program, dan merumuskan

65
hipotesis penelitian. Misalnya, data hasil dari
pelaksanaan sistem surveilans kesehatan masyarakat
dapat digunakan antara lain.
1. Memandu tindakan segera untuk kasus-kasus
kepentingan kesehatan masyarakat;
2. Mengukur beban penyakit (atau kejadian terkait
kesehatan lainnya), termasuk perubahan faktor
terkait, identifikasi populasi berisiko tinggi, dan
identifikasi masalah kesehatan baru atau yang
muncul;
3. Memantau tren beban penyakit (atau peristiwa terkait
kesehatan lainnya), termasuk deteksi epidemi (wabah)
dan pandemi;
4. Memandu perencanaan, implementasi, dan evaluasi
program untuk mencegah dan mengendalikan
penyakit, cedera, atau paparan yang merugikan;
5. Mengevaluasi kebijakan publik;
6. Mendeteksi perubahan dalam praktik kesehatan dan
dampak dari perubahan tersebut;
7. Memprioritaskan alokasi sumber daya kesehatan;
8. Menggambarkan perjalanan klinis penyakit; dan
9. Memberikan dasar untuk penelitian epidemiologi.
Evaluasi sistem surveilans kesehatan masyarakat
memastikan bahwa masalah kesehatan masyarakat yang
vital dipantau secara efisien dan efektif. Secara berkala,
sistem pemantauan kesehatan masyarakat harus
diperiksa termasuk memberikan rekomendasi untuk
meningkatkan kualitas, efisiensi, dan kegunaan. Dengan
menggunakan standar pelaksanaan surveilans, evaluasi
standar sistem surveilans kesehatan masyarakat
dilakukan. Evaluasi sistem pemantauan kesehatan

66
masyarakat berfokus pada efisiensi dengan mana sistem
memenuhi tujuannya (WHO, 2013).
Evaluasi sistem surveilans kesehatan masyarakat harus
mencakup evaluasi karakteristik sistem seperti
kesederhanaan, kemampuan beradaptasi, kualitas data,
penerimaan, sensitivitas, nilai prediktif positif,
keterwakilan, ketepatan waktu, dan stabilitas. Karena
fakta bahwa sistem pemantauan kesehatan masyarakat
berbeda dalam pendekatan, ruang lingkup, tujuan, dan
sasaran, karakteristik yang paling penting berdasarkan
skala prioritas pembangunan diperlukan. Sistem
surveilans kesehatan masyarakat harus menekankan
atribut yang paling penting untuk tujuan sistem. Upaya
untuk meningkatkan atribut tertentu mungkin
mengurangi atribut lainnya tetapi tidak mengubah hasils
ecara substansial. Oleh karena itu, evaluasi sistem
surveilans harus mempertimbangkan sifat-sifat yang
menjadi prioritas tertinggi untuk sistem tertentu dan
tujuannya.
Pelaksanaan evaluasi sistem surveilans kesehatan
masyarakat dilakukan dengan enam tahapan yang
diuraikan sebagai berikut (CDC, 2013; Groseclose et al.,
2010)
1. Melibatkan Pemangku Kepentingan dalam Evaluasi
Pemangku kepentingan dapat memberikan masukan
untuk memastikan bahwa evaluasi sistem surveilans
kesehatan masyarakat menjawab pertanyaan yang
tepat dan menilai atribut terkait dan bahwa
temuannya dapat diterima dan berguna. Dalam
konteks itu, pemangku kepentingan didefinisikan
sebagai orang atau organisasi yang menggunakan
data untuk mempromosikan gaya hidup sehat dan
pencegahan serta pengendalian penyakit, cedera, atau
paparan yang merugikan masyarakat. Pemangku

67
kepentingan yang tertarik untuk menentukan
pertanyaan yang akan dijawab oleh evaluasi sistem
surveilans dan selanjutnya menggunakan temuan
tersebut adalah praktisi kesehatan masyarakat;
penyedia layanan kesehatan; penyedia dan pengguna
data; perwakilan masyarakat yang terkena dampak;
pemerintah di tingkat lokal, negara bagian, dan
federal.
2. Mendeskripsikan Sistem Surveilans yang akan
dievaluasi
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan untuk
menjelaskan pentingnya kesehatan masyarakat dari
peristiwa yang berhubungan dengan kesehatan di
bawah pengawasan; menjelaskan tujuan dan
pengoperasian sistem dan menjelaskan sumber daya
yang digunakan untuk mengoperasikan sistem.
Untuk membangun deskripsi sistem yang seimbang
dan andal, berbagai sumber informasi diperlukan.
Deskripsi sistem dapat diperbaiki dengan
berkonsultasi dengan berbagai orang yang terlibat
dengan sistem dan dengan memeriksa deskripsi
sistem yang dilaporkan melalui observasi langsung.
Parameter untuk mengukur pentingnya peristiwa
yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat
dan karena sistem pengawasan kesehatan
masyarakat untuk melaksanakan pemantauan
mencakup indeks frekuensi; dan ukuran ringkasan
status kesehatan populasi; perbedaan atau
ketidaksetaraan yang terkait dengan peristiwa yang
berhubungan dengan kesehatan; biaya yang terkait
dengan acara terkait kesehatan; komponen yang
dapat dicegah; perjalanan klinis potensial dengan
tidak adanya intervensi atau kepentingan umum.
Dalam kasus lain, perhatian publik mungkin
memusatkan perhatian pada peristiwa terkait

68
kesehatan tertentu, menciptakan atau meningkatkan
pentingnya sistem evaluasi. Pentingnya kesehatan
masyarakat dari peristiwa yang berhubungan dengan
kesehatan dipengaruhi oleh tingkat pencegahannya.
Berdasarkan atribut yang mewakili status kesehatan
dan harapan hidup, QALY, YHL, dan DALY
memberikan ukuran satu dimensi dari kesehatan
secara keseluruhan. Dari perspektif surveilans,
pencegahan mencerminkan potensi intervensi
kesehatan masyarakat yang efektif berbasis sumber
masalah. Lebih lanjut, penjelasan berkaitan dengan
tujuan dan pengoperasian sistem surveilans
diperlukan untuk menggambarkan pengoperasian
sistem yang baik. Merampingkan sistem terkait ke
dalam jaringan surveilans kesehatan masyarakat
yang terintegrasi memungkinkan sistem individu
untuk memenuhi kebutuhan pengumpulan data
tertentu sambil menghindari duplikasi upaya dan
kurangnya standarisasi yang dapat timbul dari sistem
independen. Sistem terintegrasi dapat mengatasi
masalah komorbiditas; mengidentifikasi faktor risiko
yang sebelumnya tidak diketahui; dan menyediakan
sarana untuk memantau hasil tambahan dari
peristiwa yang berhubungan dengan kesehatan. Pada
tahap terakhir, diperlukan penjelasan berkaitan
dengan sumber daya yang digunakan untuk
mengoperasikan sistem surveilans. Poin ini
digunakan untuk menilai sumber daya secara
langsung diperlukan untuk mengoperasikan sistem
surveilans kesehatan masyarakat.
Dalam mendeskripsikan sumber daya ini
pertimbangkan hal berikut: (1) Sumber pendanaan:
Tentukan sumber pendanaan untuk sistem
surveilans. (2) Persyaratan personil: Perkirakan
waktu yang diperlukan untuk mengoperasikan
sistem, termasuk pengumpulan, pengeditan, analisis,
69
dan penyebaran data (misalnya, waktu kerja yang
dihabiskan per tahun operasi). (3) Sumber daya lain:
Tentukan biaya sumber daya lain, termasuk
perjalanan, pelatihan, perbekalan, komputer dan
peralatan lainnya, serta layanan terkait. Pendekatan
untuk menilai sumber daya ini hanya mencakup
personal dan sumber daya material yang diperlukan
untuk operasi surveilans dan tidak memasukkan
definisi biaya yang lebih luas yang mungkin
dipertimbangkan dalam evaluasi yang lebih
komprehensif. Penilaian sumber daya operasional
sistem tidak boleh dilakukan secara terpisah dari
program yang bergantung pada sistem surveilans
kesehatan.
3. Memfokuskan Desain Evaluasi
Arah dan proses evaluasi harus difokuskan untuk
memastikan bahwa waktu dan sumber daya
digunakan seefisien mungkin. Memfokuskan desain
evaluasi untuk sistem surveilans kesehatan
masyarakat melibatkan penentuan tujuan khusus
dari evaluasi; mengidentifikasi pemangku
kepentingan yang akan menerima temuan dan
rekomendasi evaluasi; mempertimbangkan pekerjaan
yang akan dilakukan dengan informasi yang
dihasilkan dari evaluasi; menentukan pertanyaan
yang akan dijawab oleh evaluasi; dan menentukan
standar untuk menilai kinerja sistem. Kinerja sistem
surveilans kesehatan masyarakat menetapkan
capaian yang harus dicapai agar dianggap berhasil
dalam memenuhi tujuannya
4. Mengumpulkan Bukti Valid Mengenai Kinerja Sistem
Pengawasan
Bukti kinerja sistem harus dipandang kredibel. Ada
banyak sumber bukti potensial mengenai kinerja

70
sistem, termasuk konsultasi dengan dokter, ahli
epidemiologi, ahli statistik, ilmuwan perilaku, praktisi
kesehatan masyarakat, direktur laboratorium,
manajer program, penyedia data, dan pengguna data.
Kegiatan pengumpulan bukti mempertimbangkan
tingkat kegunaan dengan menggambarkan tindakan
yang akan diambil sebagai hasil analisis dan
interpretasi data dari sistem surveilans kesehatan
masyarakat. Pengumpulan bukti dilakukan dengan
mengidentifikasi setiap komponen yang mencakup
kesederhanaan, fleksibilitas, kualitas data,
penerimaan, sensitivitas, nilai prediktif positif,
keterwakilan, ketepatan waktu, stabilitas. Sistem
pemantauan kesehatan masyarakat bermanfaat jika
membantu dalam pencegahan dan pengelolaan
kejadian kesehatan yang merugikan. Meninjau tujuan
sistem harus menjadi langkah pertama dalam
mengevaluasi kemanjuran sistem surveilans
kesehatan masyarakat, yang juga harus
mempertimbangkan pengaruh sistem pada keputusan
tentang program dan kebijakan pengendalian
penyakit. Sistem surveilans dianggap membantu jika
memenuhi setidaknya satu dari banyaknya atribut.
5. Membenarkan dan Menyatakan Kesimpulan, dan
Membuat Rekomendasi
Kesimpulan dari evaluasi dapat dibenarkan melalui
analisis, sintesis, interpretasi, dan penilaian yang
tepat dari bukti yang dikumpulkan mengenai kinerja
sistem surveilans kesehatan masyarakat. Keberadaan
pemangku kepentingan harus mampu memberikan
interpretasi, validitas data temuan dan pengumpulan
data yang valid dalam progres evaluasi kesehatan
masyarakat yang dilakukan. Kesimpulan yang
dibentuk harus mempu memberikan jawaban dari
pertanyaan yang diajukan serta menjawab

71
permasalahan di masyarakat. Rekomendasi harus
membahas modifikasi dan/atau kelanjutan dari
sistem surveilans kesehatan masyarakat. Sebelum
merekomendasikan modifikasi pada sistem, evaluasi
harus mempertimbangkan saling ketergantungan
biaya sistem dan atribut yang dievaluasi. Memperkuat
satu atribut sistem dapat berdampak buruk pada
atribut lain dengan prioritas lebih tinggi. Pemangku
kepentingan dalam evaluasi harus
mempertimbangkan kesehatan masyarakat yang
relevan dengan konsekuensi lain.
6. Memastikan Penggunaan Temuan Evaluasi dan
Berbagi Pengetahuan
Penggunaan temuan evaluasi sistem surveilans
kesehatan masyarakat sangat penting untuk
digunakan sebagai pedoman dan bahan pembelajaran
dan peningkatan pengetahuan berkaitan dengan
masalah. Pengetahuan dan pembelajaran diperoleh
saat desain evaluasi surveilans difokuskan secara
detail berdasarkan masalah, pemangku kepentingan
yang memberikan komentar serta keputusan yang
mungkin memengaruhi pengumpulan bukti yang
kredibel terkait kinerja sistem. Selama pelaksanaan
evaluasi perlu mempertimbangkan temuan potensial
yang dapat mempengaruhi keputusan yang dibuat
tentang sistem surveilans. Ketika kesimpulan dari
evaluasi dan rekomendasi disusun maka diperlukan
tindak lanjut untuk mengingatkan pengguna yang
dituju terkait penggunaan yang direncanakan dan
untuk mencegah pengetahuan yang dipetik. Strategi
untuk mengkomunikasikan temuan dari evaluasi dan
rekomendasi harus disesuaikan dengan audiens yang
relevan, termasuk orang yang menyediakan data yang
digunakan untuk evaluasi. Dalam komunitas
kesehatan masyarakat untuk mengkomunikasikan

72
temuan dan rekomendasi yang diperoleh dapat
melalui policy brief, laporan penelitian yang ditulis
dalam buku akademik, jurnal peer review atau dalam
bentuk lain yang dpaat diterima oleh khalayak umum.
Atribut Evaluasi Sistem Surveilans
Kesehatan Masyarakat
Sistem pengawasan kesehatan masyarakat sangat penting
untuk memantau dan menanggapi masalah kesehatan
masyarakat. Ada berbagai indikator untuk mengevaluasi
sistem surveilans kesehatan masyarakat. The Centers for
Disease Control and Prevention (CDC) telah
mengembangkan pedoman untuk mengevaluasi sistem
surveilans yang mencakup sepuluh atribut termasuk
kegunaan, kesederhanaan, fleksibilitas, penerimaan,
sensitivitas, nilai prediksi positif, keterwakilan, kualitas
data, stabilitas, dan ketepatan waktu. Atribut ini dapat
dinilai dengan menggunakan survei, kuesioner, dan
wawancara dengan personel kunci dan pemangku
kepentingan. Atribut lain yang telah dievaluasi dalam
sistem surveilans meliputi deteksi kasus, pencatatan dan
pelaporan data, konfirmasi wabah, kesiapsiagaan,
respons, dan umpan balik. Kegiatan evaluasi sistem
surveilans kesehatan masyarakat dapat mengidentifikasi
area untuk perbaikan dan memberikan rekomendasi
untuk meningkatkan sistem surveilans. Penting untuk
dicatat bahwa atribut yang dievaluasi dapat bervariasi
tergantung pada sistem surveilans spesifik dan
tujuannya. Atribut evaluasi sistem surveilans kesehatan
masyarakat disajikan pada tabel 5.1.

73
Tabel 5.1.
Atribut Evaluasi Sistem Surveilans Kesehatan Masyarakat

Atribut Komponen
Kesederhanaan Definisi Struktur dan
(simplicity) kegunaan sistem
pemantauan
kesehatan
masyarakat
dianggap
sederhana. Sistem
surveilans harus
sesederhana
mungkin.
Metode Kesederhanaan
sistem dapat
dipertimbangkan
melalui:
 kuantitas dan
jenis informasi
yang
diperlukan
untuk
membuktikan
hubungan
dengan
kesehatan yang
telah terjadi;
 jumlah
tambahan data
berbasis kasus;
 jumlah yang
mendapatkan
laporan kasus;
 seberapa
terintegrasi
penuh suatu
sistem dengan
sistem lain;
 jumlah dan
sifat sumber
pelaporan,
serta waktu
untuk

74
Atribut Komponen
pengumpulan
data;
 berapa banyak
tindak lanjut
yang
diperlukan
untuk
memperbarui
data kasus;
 strategi untuk
mengelola data;
 teknik untuk
analisis dan
diseminasi
data,;
 pelatihan staf
yang
diperlukan; dan
 Waktu yang
dikhususkan
untuk
pemeliharaan
sistem.
Hasil/uraian Kesederhanaan
terkait erat dengan
penerimaan dan
ketepatan waktu.
Sumber daya yang
diperlukan untuk
menjalankan
sistem akan
tergantung pada
tingkat
kesederhanaannya;
semakin baik
sistem
pengawasan,
semakin cepat
semua
komponennya
berfungsi.
Definisi Sistem untuk
surveilans

75
Atribut Komponen
Fleksibilitas kesehatan
(flexibility) masyarakat dapat
disesuaikan
dengan mudah
serta dapat
berubah untuk
memenuhi
tuntutan informasi
atau persyaratan
operasional dengan
upaya ekstra
minimum, staf,
atau pendanaan.
Metode Menilai fleksibilitas
melalui fakta
dengan melihat
penanganan
permintaan baru
oleh sistem
surveilans.
Hasil/uraian Sistem yang
menggunakan
format data umum
untuk pertukaran
data elektronik
mudah berinteraksi
dengan sistem lain,
membuatnya
mudah
beradaptasi.
Kualitas data Definisi Kelengkapan dan
(data quality) validitas data
tercermin dalam
sistem surveilans
untuk kualitas data
kesehatan
masyarakat.
Metode Proporsi jawaban
"tidak diketahui"
atau "kosong"
untuk pertanyaan
pada formulir
surveilans. Nilai

76
Atribut Komponen
"aktual" dan nilai
data yang
ditangkap oleh
sistem pengawasan
dapat
dibandingkan
dengan nilai
rujukan.
Hasil/uraian Sebagian besar
sistem surveilans
mengandalkan
lebih dari sekedar
jumlah kasus
sederhana.
Keaslian dan
kelengkapan data
ini menentukan
kualitasnya.
Kualitas data
berdampak pada
adopsi dan
keterwakilan
sistem pemantauan
kesehatan
masyarakat.
Penerimaan Definisi Acceptability
(acceptability) mengukur
seberapa terbuka
individu dan
kelompok untuk
menggunakan
teknologi
surveilans.
Akseptabilitas
dinyatakan dalam
hal akurasi dan
ketepatan waktu
pelaporan data dan
kelengkapan
formulir laporan.
Metode Acceptability
mengacu pada
kemampuan sistem

77
Atribut Komponen
untuk digunakan
oleh kedua
operator sistem
dalam lembaga
sponsor dan
pengguna.
Indikator
kuantitatif
penerimaan
mencakup:
 tingkat
keterlibatan
subjek atau
lembaga;
 jika sistem
menggunakan
wawancara,
persentase
pertanyaan
yang dijawab
positif dan
negatif;
 keakuratan
formulir
laporan dan
tingkat
ketepatan
waktu dalam
pelaporan;
Hasil/uraian Akseptabilitas
sebagian besar
merupakan atribut
subyektif yang
mencakup
kesediaan orang-
orang yang
bergantung pada
sistem surveilans
kesehatan
masyarakat untuk
memberikan data
yang akurat,

78
Atribut Komponen
konsisten, utuh,
dan tepat waktu.
Sensitivitas Definisi Sensitivitas dinilai
(sensitivity) melalui 2 cara.
Pertama, tingkat
pelaporan kasus,
yakni persentase
kasus penyakit
(atau kejadian
terkait kesehatan
lainnya) yang dapat
diidentifikasi oleh
sistem surveilans.
Kedua, kapasitas
untuk mengenali
wabah, untuk
melacak variasi
dalam jumlah
kasus dari waktu
ke waktu.
Metode Beberapa faktor
dapat
mempengaruhi
seberapa sensitif
sistem surveilans
diukur dengan:
 penyakit spesifik
atau proporsi
pada populasi
yang diamati;
 kasus insiden
terkait
kesehatan
tertentu yang
sedang dirawat
secara medis,
menjalani
pengujian
laboratorium,
atau dibawa ke
perhatian
organisasi yang

79
Atribut Komponen
harus
melaporkannya;
 Kasus ini akan
dilaporkan ke
sistem.
Sensitivitas suatu
sistem dapat
ditingkatkan
dengan cara antara
lain.
 Melakukan
surveilans aktif;
 Menggunakan
standar
eksternal untuk
memantau
kualitas
pelaporan kasus;
 Mengidentifikasi
kasus impor;
 Melacak jumlah
kasus dugaan
penyakit yang
dilaporkan,
diselidiki, dan
dikesampingkan
;
 Memantau
upaya
diagnostik; dan
 Pemantauan
sirkulasi agen
yang
menyebabkan
penyakit.
Hasil/uraian Penilaian
sensitivitas
dilakukan pada
setiap sumber data.
Sistem surveilans
yang tidak memiliki
sensitivitas tinggi
masih dapat

80
Atribut Komponen
berguna dalam
memantau tren
selama
sensitivitasnya
tetap konstan dari
waktu ke waktu
dan dianggap valid.
Nilai prediktif Definisi Persentase kasus
positif (predictive yang dilaporkan
value positive) yang benar-benar
mengalami
peristiwa terkait
kesehatan pada
penyintas disebut
nilai prediksi
positif.
Metode Dalam surveilans
berbasis kasus,
nilai prediktif
positif (PPV) adalah
rasio kasus asli (A,
"kasus positif
sejati") yang dicatat
oleh sistem
surveilans
kesehatan
masyarakat
menggunakan
rumus PPV = a /(a
+ b).
Hasil/uraian PVP mencerminkan
sensitivitas dan
spesifisitas definisi
kasus dan
prevalensi kejadian
terkait kesehatan
dalam populasi
yang diawasi. PVP
dapat meningkat
dengan
meningkatnya
spesifisitas. Sistem
surveilans dengan

81
Atribut Komponen
PVP yang tinggi
akan menyebabkan
lebih sedikit
sumber daya yang
salah arah.
Nilai prediktif Definisi, Istilah "nilai
negatif (predictive hasil/interpretas prediktif negatif"
value negative) i (NPV) mengacu
pada rasio jumlah
minggu di mana
sistem surveilans
dengan benar
mengklasifikasikan
wabah yang tidak
terjadi (true
negative) dengan
jumlah minggu di
mana tidak ada
wabah yang
terdeteksi (true
negative + false).
Keterwakilan Definisi Sistem
(representativeness pemantauan
) kesehatan
masyarakat yang
representatif
dengan tepat
menggambarkan
distribusi kejadian
terkait kesehatan
di antara populasi
dari waktu, tempat,
dan individu.
Metode Keterwakilan
dinilai dengan
membandingkan
karakteristik
peristiwa yang
dilaporkan dengan
semua peristiwa
aktual tersebut.
Hasil/uraian Proses evaluasi ini
memungkinkan

82
Atribut Komponen
modifikasi
prosedur
pengumpulan data
yang tepat dan
proyeksi kejadian
yang berhubungan
dengan kesehatan
yang lebih akurat
pada populasi
sasaran.
Keterwakilan
dinilai dari
seberapa besar sub
kelompok yang
diikutsertakan
dalam sistem
surveilans di
masyarakat.
Ketepatan waktu Definisi Ketepatan waktu
(timeliness) menunjukkan
seberapa cepat
prosedur tertentu
diselesaikan.
Metode Verifikasi durasi
melalui dua tahap
yakni periode
waktu antara
dimulainya
kejadian yang
berhubungan
dengan kesehatan
dan pelaporan
peristiwa tersebut
kepada organisasi
kesehatan, serta
waktu yang
diperlukan untuk
memperhatikan
pola, dampak
pengendalian dan
upaya pencegahan.
Hasil/uraian Meningkatnya
penggunaan

83
Atribut Komponen
pengumpulan data
elektronik dari
sumber pelaporan
dan melalui
Internet serta
penggunaan
pertukaran data
elektronik oleh
sistem surveilans,
dapat mendorong
ketepatan waktu.
Semakin tepat
waktu kegiatan dan
layanan yang
diberikan maka
poin ini akan
mengalami
peningkatan.
Stabilitas Definisi Stabilitas sistem
(stability) surveilans
ditentukan oleh
keandalannya
(yaitu, kapasitas
untuk
mengumpulkan,
menangani, dan
menyebarkan data
secara andal tanpa
kesalahan) dan
ketersediaan data
berbasis sumber.
Metode Ukuran stabilitas
sistem dapat
mencakup
 Jumlah
pemadaman
dan waktu henti
yang tidak
terjadwal untuk
komputer
sistem;
 Biaya yang
terkait dengan

84
Atribut Komponen
perbaikan
komputer
sistem
 Waktu yang
dibutuhkan
sistem untuk
berfungsi
sepenuhnya;
 durasi yang
diantisipasi dan
aktual dari
operasi
manajemen
data sistem dan
perbedaan
antara waktu
rilis data yang
dimaksudkan
dan aktual
sistem.
Hasil/uraian Stabilitas sistem
surveilans
kesehatan
masyarakat
ditentukan oleh
keandalannya
(kemampuan
untuk
mengumpulkan,
menangani, dan
mendistribusikan
data secara andal
tanpa kesalahan)
dan ketersediaan
(kemampuan
untuk berfungsi
bila diperlukan).
Penilaian stabilitas
sistem yang lebih
formal dapat
dilakukan melalui
prosedur
pemodelan.

85
Upaya Peningkatan Kualitas Sistem Surveilans
Kesehatan Masyarakat
Peningkatan sistem surveilans merupakan proses yang
melibatkan pengkajian, perencanaan tindakan,
implementasi, serta pemantauan dan evaluasi. Kualitas
sistem surveilans penyakit tergantung pada perbaikan
terus-menerus. Agar perubahan nyata dapat terjadi,
semua orang yang terlibat dalam pengawasan harus
bersedia meningkatkan keterampilan dan menerima
perubahan (Calba et al., 2015). Penyedia data maupun
masyarakat perlu berkomitmen untuk tujuan
meningkatkan sistem surveilans. Menerapkan proses
pemantauan berkelanjutan adalah cara yang baik untuk
meninjau proses pengawasan secara teratur. Menilai
kualitas sistem surveilans lebih mudah jika dilakukan
secara komputerisasi dan berbasis website atau
elektronik (Shakeri Hossein Abad et al., 2021). Tindakan
berikut dapat memperkuat komitmen atau memotivasi
penyedia data untuk meningkatkan sistem surveilans
kesehatan masyarakat yang diuraikan sebagai berikut.
1. Mengenali manfaat peningkatan pengawasan,
penyedia data mungkin perlu dibujuk untuk
melakukan penilaian terhadap sistem surveilans atau
proses pengumpulan data. Penting untuk membantu
memahami pentingnya sistem surveilans yang baik
dengan melakukan penilaian merupakan langkah
awal untuk meningkatkan kualitas sistem surveilans.
2. Mendapatkan tim yang tepat, tim penilai lokal
memainkan peran sentral dalam melakukan penilaian
dan beralih dari hasil penilaian ke perencanaan
tindakan dan implementasi. Memiliki orang-orang
yang terampil dan kompeten yang terlibat sejak awal
akan membantu membuka jalan untuk implementasi
serta perbaikan sistem surveilans yang lebih baik.

86
3. Mengubah anggota tim penilai menjadi pendukung
surveilans, anggota tim penilai lokal dapat dilatih
untuk mengadvokasi peningkatan sistem pengawasan
kepada khalayak kritis rekan kerja. Mereka harus
memperkuat rasa kepemilikan penyedia data mereka
dengan menjelaskan penilaian, bagaimana ini
merupakan bagian dari proses untuk meningkatkan
pengawasan nasional, dan menjelaskan manfaat dari
sistem yang berfungsi dengan baik.
4. Mempertimbangkan dengan cermat semua umpan
balik, anggota tim penilai harus dengan hati-hati
mempertimbangkan umpan balik yang diterima dari
penyedia data lokal saat meninjau data penilaian,
menarik kesimpulan, dan membuat rekomendasi.
Memasukkan ide-ide semacam itu membantu
membangun kepemilikan rekomendasi penilaian oleh
penyedia data.
5. Mengidentifikasi peluang untuk meningkatkan
sistem surveilans nasional, dalam menyajikan
temuan awal kepada sekelompok besar pemangku
kepentingan pada lokakarya pasca penilaian, anggota
tim penilai harus menunjukkan kepada audiens
masalah spesifik yang terungkap melalui penilaian
dan peluang untuk perbaikan berdasarkan bukti yang
diperoleh saat evaluasi sistem surveilans.
6. Mengamankan komitmen untuk bertindak, selama
lokakarya pasca-penilaian, aktor kunci dalam sistem
surveilans harus didorong untuk berkomitmen pada
tindakan yang mendukung peningkatan sistem
surveilans.
Upaya Penguatan Sistem Surveilans
Kesehatan Masyarakat
Pemantauan sistem surveilans dapat diperkuat dengan
menerapkan proses surveilans berkelanjutan yang

87
membutuhkan biaya dan waktu tetapi pada akhirnya
akan menghasilkan pertanyaan penelitian yang pada
gilirannya akan membawa perbaikan dalam sistem
surveilans pada suatu wilayah. Proses yang memperkuat
pemantauan sistem surveilans terdiri dari enam langkah
yang disajikan pada gambar 5.1.

Gambar 5.1.
Upaya penguatan sistem surveilans kesehatan masyarakat.
Penguatan kegaiatan surveilans kesehatan masyarakat
dilakukan dengan menggunakan komponen pada gambar
5.1 antara lain.
1. Penilaian Risiko, pada tahap ini ketersediaan data
harus ditinjau secara berkala. Data mencerminkan
seberapa baik program bekerja. Dengan meninjau
risiko dan data secara kritis maka operator sistem
dapat mengidentifikasi kekurangan sistem.

88
2. Prioritas, masalah harus diidentifikasi terlebih
dahulu dan kemudian diprioritaskan sesuai dengan
tingkat masalah, risiko yang terjadi dan kemungkinan
pelaksanaan.
3. Sistem pengawasan (surveilans), isu-isu yang perlu
ditangani harus diperlakukan seolah-olah merupakan
proyek penelitian; dam pertanyaan penelitian dengan
hasil yang terukur harus dikembangkan. Hal ini akan
memastikan bahwa perubahan prosedur benar-benar
mengarah pada hasil yang diinginkan. Sistem
surveilans harus dievaluasi menggunakan atribut
sumber disetiap komponen.
4. Rencana aksi, analisis data harus dikembangkan
untuk memantau efek modifikasi.
5. Penerapan, rencana implementasi harus mencakup
sumber daya, staf, dan perubahan prosedur yang
diperlukan untuk implementasi.
6. Pemantauan dan evaluasi, mengumpulkan lebih
banyak data dan meninjau ulang data setelah
modifikasi sangat penting untuk menilai perubahan
dalam program. Interpretasi keberhasilan akan
muncul setelah evaluasi hasil lapangan ditentukan.
Penutup
Evaluasi sistem surveilans kesehatan masyarakat harus
dilakukan secara berkala dan sistematis. Surveilans
kesehatan masyarakat merupakan komponen penting
dari sistem perawatan kesehatan modern yang
memberikan informasi penting untuk memantau dan
mengendalikan penyebaran penyakit menular,
mengidentifikasi ancaman kesehatan yang muncul, dan
menilai efektivitas intervensi kesehatan. Mengevaluasi
sistem surveilans kesehatan masyarakat sangat penting
untuk memastikan bahwa sistem tersebut efektif, efisien,
dan berkelanjutan. Evaluasi harus mempertimbangkan
beberapa elemen kunci, termasuk kesederhanaan,

89
fleksibilitas, kualitas data, penerimaan, sensitivitas, nilai
prediktif positif, keterwakilan, ketepatan waktu, stabilitas.
Selain itu, evaluasi harus mempertimbangkan faktor-
faktor lain, seperti efektivitas biaya, keberlanjutan, dan
masalah etika. Evaluasi sistem surveilans kesehatan
masyarakat dapat mengidentifikasi area untuk perbaikan
dan memberikan rekomendasi untuk meningkatkan
sistem surveilans guna meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat.

90
Daftar Pustaka
Adnyana, I. M. D. M., Paramata, Y., Asrianti, T., Silalahi,
L. E., Ulfa, M., Gunasari, L. F. V, K, S. B., & Pakaya,
R. (2022). Epidemiologi Penyakit Menular (Annisa
Ishmat Asir, Ed.; 1st ed.). CV. Media Sains Indonesia.
Alemu, T., Gutema, H., Legesse, S., Nigussie, T., Yenew,
Y., & Gashe, K. (2019). Evaluation of public health
surveillance system performance in Dangila district,
Northwest Ethiopia: a concurrent embedded mixed
quantitative/qualitative facility-based cross-sectional
study. BMC Public Health, 19(1), 1343.
https://doi.org/10.1186/s12889-019-7724-y
Calba, C., Goutard, F. L., Hoinville, L., Hendrikx, P.,
Lindberg, A., Saegerman, C., & Peyre, M. (2015).
Surveillance systems evaluation: a systematic review
of the existing approaches. BMC Public Health, 15(1),
448. https://doi.org/10.1186/s12889-015-1791-5
CDC. (2013). Overview of Evaluating Surveillance Systems.
ECDC. (2014). Data quality monitoring and surveillance
system evaluation - A handbook of methods and
applications. In ECDC Technical Document. European
Centre for Disease Prevention and Control (ECDC)
was. https://doi.org/10.2900/35329
Groseclose, S. L., & Buckeridge, D. L. (2017). Public Health
Surveillance Systems: Recent Advances in Their Use
and Evaluation. Annual Review of Public Health, 38(1),
57–79. https://doi.org/10.1146/annurev-publhealth-
031816-044348
Groseclose, S. L., German, R. R., & Nsubuga, P. (2010).
Evaluating Public Health Surveillance. In Principles &
Practice of Public Health Surveillance (pp. 166–197).
Oxford University Press.
https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780195372922
.003.0008

91
Ng’etich, A. K. S., Voyi, K., & Mutero, C. M. (2021).
Evaluation of health surveillance system attributes:
the case of neglected tropical diseases in Kenya. BMC
Public Health, 21(1), 396.
https://doi.org/10.1186/s12889-021-10443-2
Rojanaworarit, C. (2015). Principles of public health
surveillance: a revisit to fundamental concepts.
Journal of Public Health and Development, 13(1), 69–
86.
Shakeri Hossein Abad, Z., Kline, A., Sultana, M., Noaeen,
M., Nurmambetova, E., Lucini, F., Al-Jefri, M., & Lee,
J. (2021). Digital public health surveillance: a
systematic scoping review. Npj Digital Medicine, 4(1),
41. https://doi.org/10.1038/s41746-021-00407-6
WHO. (1997). Protocol for the Evaluation of Epidemiological
Surveillance Systems.
https://doi.org/10.1039/AD9781500321
WHO. (2013). Evaluating a national surveillance system.
https://apps.who.int/iris/handle/10665/94321

92
Profil Penulis
I Made Dwi Mertha Adnyana., S.Si., M.Ked.Trop (c).,
CMIE., FRSPH
Dilahirkan di Negara 30 Juli 1998. Menyelesaikan
studi di Program Strata 1 Biologi dengan Predikat
Cumlaude dan sebagai lulusan Terbaik pada tahun
2021. Saat ini penulis melanjutkan dan menempuh studi di
Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Tropis, Fakultas
Kedokteran, Universitas Airlangga dengan minat
studi/konsentrasi Epidemiologi Kedokteran Tropis. Penulis
memperoleh sertifikasi internasional dari Microsoft (Certified
Microsoft Innovatif Educator) pada tahun 2021. Aktif
berkontribusi dalam riset bidang epidemiologi penyakit tropis,
penyakit tular vektor, eco-epidemiology, bioecology dan
Neglected Tropical Disease (NTDs). Prestasi utama yang pernah
diraih yakni penghargaan 17 kali di tingkat internasional dan
46 Kali di tingkat Nasional dalam bidang karya tulis ilmiah,
poster dan essay ilmiah. Aktif melaksanakan riset dan publikasi
jurnal Internasional Bereputasi terindeks Scopus (ID
57725073100/Web of Science (ID AAC-8778-2022) dan jurnal
nasional terindeks SINTA 1-4. Telah menghasilkan beberapa
book chapter dan sebagai editor dan reviewer buku dan jurnal
nasional dan internasional bereputasi. Telah menyelesaikan
menyelesaikan Short Course di London School of Hygiene &
Tropical Medicine (United Kingdom) – 2021 dan Taipei Medical
University (2022). Saat ini aktif sebagai Fellowship Royal Society
for Public Health (FRSPH) UK. Aktif sebagai narasumber dalam
acara seminar, workshop, dan sejenisnya.
Email Penulis : dwikmertha13@gmail.com
i.made.dwi.mertha-2021@fk.unair.ac.id

93
94
6
PELAKSANAAN
SISTEM SURVEILANS

Kuuni Ulfah Naila El Muna, S.KM., M.Epid


Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya

Sistem Surveilans
Surveilans kesehatan masyarakat merupakan pondasi
dasar yang bisa digunakan untuk menginisiasi promosi
kesehatan atau pembuatan kebijakan terkait kesehatan
pada level masyarakat bukan individu, sehingga
pelaksanaan sistem surveilans ini memiliki peran kritis
dalam pelaksanaan sistem kesehatan nasional. Hal ini
diwajibkan oleh IHR (International Health Regulation)
kepada seluruh negara anggotanya termasuk Negara
Indonesia yang bertujuan untuk mencegah, mengontrol
dan merespon penyebaran penyakit pada level antar
negara/internasional. Pada awalnya surveilans hanya
ditujukan untuk penyakit menular tertentu, namun sejak
adanya new emerging disease pada tahun 2003 yaitu
SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome), jenis
penyakitnya tidak dispesifikkan bersifat fleksibel pada
seluruh jenis penyakit yang berpotensi menyebabkan
masalah kesehatan masyarakat.
World Health Organization menyampaikan fungsi inti (core
functions) daripada pelaksanaan sistem surveilans
kesehatan masyarakat adalah deteksi kasus, pelaporan,
investigasi dan konfirmasi, analisis dan interpretasi

95
hingga intervensi atau aksi yang dilakukan bisa berupa
upaya untuk mengontrol, kebijakan atau hanya sekedar
masukan saja. Kegiatan surveilans ini wajib dilakukan
oleh Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi,
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Instansi Kesehatan
Pemerintah lainnya serta fasilitas pelayanan kesehatan.
Tenaga surveilans yang memiliki tugas melakukan
surveilans di setiap instansi di atas merupakan ahli
epidemiologi. Pada umumnya algoritma pelaporan
informasi surveilans dapat dilihat pada ilustrasi di bawah
ini:

Gambar 6.1
Alur Informasi kegiatan Surveilans diadopsi dari WHO (1999)
Tugas dan peran setiap tingkatan berbeda, mulai dari
tingkat dasar hingga tingkat regional/internasional.
Berikut rincian tugas dan perannya:
1. Tingkat Dasar – berperan untuk melakukan
diagnosis, penatalaksanaan penyakit atau kasus,
melaporkan kasus, dan analisis data dalam bentuk
tabel dan grafik sederhana.

96
2. Tingkat intermediet – berperan untuk
menatalaksana kasus yang tidak bisa diatasi pada
tingkat dasar, analisis data (hubungan epidemiologi,
tren, capaian program mengontrol masalah
kesehatan), menyediakan data laboratorium
penunjang. Termasuk melakukan investigasi dugaan
KLB, memberi masukan pada tingkat dasar dan
melaporkan data ke tingkat pusat.
3. Tingkat Pusat – pada umumnya berperan untuk
melakukan koordinasi dan mendukung seluruh
kegiatan surveilans secara nasional. Selain itu
perannya yakni menyediakan data lab penunjang,
analisis data pada tingkat nasional, mendukung
kegiatan penanggulangan KLB baik secara
tatalaksana kasus, lab, epidemiologi, pendidikan dan
logistik. Tingkat pusat wajib memberi feedback pada
tingkat intermediet dan melaporkan ke WHO seperti
yang dipersyaratkan di International Health Regulation
(IHR).
4. Tingkat Regional/Internasional – mendukung
kegiatan surveilans di berbagai negara, memberikan
feedback terhadap tingkat pusat, menganalisis data
pada tingkat regional/internasional.
Agar dapat memperkuat kapasitas surveilans,
mendapatkan data yang komprehensif dan meningkatkan
kemampuan respon cepat pada setiap masalah kesehatan
yang ada di Indonesia, maka dalam pelaksanaan kegiatan
surveilans melibatkan mitra dalam jejaring surveilans.
Kemitraan yang dimaksud yakni perguruan tinggi, Badan
Pusat Statistik (BPS), Badan Mereorologi, Klimatologi dan
Geofisika (BMKG), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
Organisasi Profesi, Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM), Kementerian terkait, dsb.

97
Jenis Pelaksanaan Kegiatan Surveilans
Pelaksanaan kegiatan surveilans penyakit di satu negara
dengan negara lain bisa berbeda, bergantung dari
penyakit yang sedang menjangkit dan menjadi prioritas di
Negara tersebut. Jenis pelaksanaan surveilans secara
general dibagi menjadi tiga yakni surveilans berdasarkan
bidangnya, bentuk penyelenggaraannya dan sistem
pelaporannya. Jenis surveilans berdasarkan bidang dibagi
menjadi 5 yakni:
1. Surveilans penyakit menular
Surveilans penyakit menular bisa dibilang merupakan
pencetus adanya kegiatan surveilans di bidang
kesehatan. Berbagai jenis penyakit menular yang
merenggut nyawa jutaan manusia mendorong seluruh
negara untuk menjalankan kegiatan surveilans, guna
mengontrol penyakit menular secara efektif. Tujuan
dari pelaksanaan surveilans penyakit menular ini
untuk memantau penyakit dengan beban tinggi,
mendeteksi kejadian luar biasa (KLB) dari penyakit
baru atau penyakit endemis serta memonitor progres
capaian target mengontrol atau eradikasi penyakit di
tingkat nasional maupun internasional.
Jenis surveilans penyakit menular yang diterapkan di
Indonesia yakni: surveilans penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi; surveilans penyakit
demam berdarah; surveilans malaria; surveilans
penyakit zoonosis; surveilans penyakit filariasis;
surveilans penyakit tuberkulosis; surveilans penyakit
diare; surveilans penyakit tifoid; surveilans penyakit
kecacingan dan penyakit perut lainnya; surveilans
penyakit kusta; surveilans penyakit frambusia;
surveilans penyakit HIV/AIDS; surveilans hepatitis;
surveilans penyakit menular seksual; dan surveilans
penyakit pneumonia, termasuk penyakit infeksi

98
saluran pernafasan akut berat (severe acute
respiratory infection).
2. Surveilans penyakit tidak menular
WHO menerbikan STEPwise Approach to Surveillance
merupakan pedoman pengambilan data, pengukuran
hingga analisis surveilans penyakit tidak menular
yang disebarluaskan untuk bisa secara bebas
diadopsi oleh berbagai negara. Pelaksanaan
surveilans penyakit tidak menular (PTM) di Indonesia
sendiri difasilitasi oleh 2 yakni surveilans faktor risiko
berbasis POSBINDU (Pos Binaan Terpadu) PTM dan
surveilans PTM berbasis fasilitas kesehatan tingkat
pertama (FKTP). Sedangkan jenis surveilans penyakit
tidak menular di Indonesia setidaknya ada: surveilans
penyakit jantung dan pembuluh darah; surveilans
diabetes melitus dan penyakit metabolik; surveilans
penyakit kanker; surveilans penyakit kronis dan
degeneratif; surveilans gangguan mental; dan
surveilans gangguan akibat kecelakaan dan tindak
kekerasan.
3. Surveilans kesehatan lingkungan
Jenis surveilans kesehatan lingkungan yang
dilakukan di Negara Indonesia yakni: surveilans
sarana air bersih; surveilans tempat-tempat umum;
surveilans pemukiman dan lingkungan perumahan;
surveilans limbah industri, rumah sakit dan kegiatan
lainnya; surveilans vektor dan binatang pembawa
penyakit; surveilans kesehatan dan keselamatan
kerja; dan surveilans infeksi yang berhubungan
dengan Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
4. Surveilans kesehatan matra
Berbeda dengan jenis surveilans lainnya yang
biasanya dilaksanakan oleh fasilitas puskesmas dan

99
dinas kesehatan, surveilans kesehatan matra ini
merupakan tanggung jawab fasilitas yang berada di
borderline (batas darat/laut) yang bertugas
melakukan skrining agar tidak terjadi penularan
penyakit lain yang akan menambah beban di Negara
Indonesia. Beberapa fasilitas kesehatan yang bertugas
seperti Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) baik di
pelabuhan atau bandara, Dinas Kesehatan, dan
Pelayanan Kesehatan khusus lainnya yang
menangani kesehatan matra. Jenis surveilans matra
yang dilaksanakan di Indonesia setidaknya berupa:
surveilans kesehatan haji; surveilans bencana dan
masalah sosial; dan surveilans kesehatan matra laut
dan udara.
5. Surveilans masalah kesehatan
Surveilans masalah kesehatan merupakan jenis
surveilans kesehatan lainnya yang mana
pelaksanaannya di Indonesia terdiri dari: surveilans
kesehatan dalam rangka kekarantinaan; surveilans
gizi dan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG);
surveilans gizi mikro kurang yodium, anemia gizi besi,
kekurangan vitamin A; surveilans gizi lebih;
surveilans kesehatan ibu dan anak termasuk
reproduksi; surveilans kesehatan lanjut usia;
surveilans penyalahgunaan obat, narkotika,
psikotropika, zat adiktif dan bahan berbahaya;
surveilans penggunaan obat, obat tradisional,
kosmetika, alat kesehatan, serta perbekalan
kesehatan rumah tangga; dan surveilans kualitas
makanan dan bahan tambahan makanan.
Meskipun 5 jenis tersebut dibuat oleh kementerian
kesehatan pada tahun 2014, Menteri dapat menetapkan
jenis Surveilans Kesehatan lain sesuai dengan kebutuhan
masalah kesehatan yang ada. Salah satu jenis kegiatan
surveilans terbaru yang belum tercantum yakni

100
surveilans COVID-19, akibat adanya dari pandemi tahun
2020 lalu.
Berdasarkan bentuk penyelenggaraannya, jenis
surveilans dibagi menjadi dua yakni surveilans berbasis
indikator dan kejadian, berikut rinciannya:
1. Surveilans berbasis indikator
Surveilans berbasis indikator ini dilakukan untuk
menggambarkan penyakit, faktor risiko masalah
kesehatan yang berdampak pada kesehatan sekaligus
menjadi indikator program yang ada, sehingga
surveilans jenis ini menggunakan data terstruktur.
Data yang terstruktur dalam hal ini contohnya adalah:
kunjungan ibu hamil, kunjungan neonatus, cakupan
imunisasi, laporan bulanan kasus tuberkulosis,
campak, dsb.
2. Surveilans berbasis kejadian
Surveilans berbasis kejadian dilakukan untuk
menggambarkan masalah kesehatan secara cepat dan
biasanya tidak bisa didapatkan dari kegiatan
surveilans berbasis indikator. Contohnya: Data yang
didapatkan saat melakukan investigasi KLB Malaria,
tidak akan tertangkap melalui surveilans malaria.
Jenis surveilans yang terakhir yakni berdasarkan Sistem
Pelaporannya dibagi menjadi tiga yakni surveilans rutin,
khusus dan sentinel, dengan rincian sebagai berikut:
a. Rutin
Surveilans dengan sistem pelaporan rutin ini
merupakan surveilans yang mengumpulkan data
berdasakan laporan rutin seperti bagian dari proses
skrining dan diagnosis selama kunjungan ke
pelayanan kesehatan. Surveilans jenis ini mudah
dilakukan karena pada umumnya pengambilan data
dilakukan di puskesmas, rumah sakit atau pelayanan

101
kesehatan lainnya. Namun, mayoritas data surveilans
yang didapatkan underreported, dengan data
seadanya atau tidak lengkap. Sehingga jika ingin
mengetahui informasi lainnya maka dianjurkan untuk
melakukan investigasi atau kunjungan lapangan atau
surveilans aktif.
b. Khusus
Surveilans dengan sistem pelaporan khusus ini
merupakan kegiatan survei sampel yang dilakukan
secara periodik memperkirakan tren dan gambaran
morbiditas dan mortalitas yang dikhususkan untuk
membuat rekomendasi tindakan pencegahan dan
penanggulangan terhadap masalah kesehatan
tersebut. Contoh dari surveilans khusus ini adalah
Riset Kesehatan Dasar yang dilaksanakan oleh
Kementerian Kesehatan secara periodik 5 tahun
sekali, begitupula dengan Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SKDI) dilaksanakan oleh
BKKBN juga dilaksanakan setiap 5 tahun sekali.
c. Sentinel
Pada kondisi tertentu, Surveilans Kesehatan dapat
tidak dilakukan pada seluruh populasi dan wilayah
atau dilakukan secara sentinel. Surveilans Kesehatan
secara sentinel dilakukan terhadap populasi, wilayah,
dan kejadian tertentu dan kebutuhan/kondisi
tertentu dengan mempertimbangkan beberapa hal
yakni kebutuhan program; perkembangan
epidemiologi; keterbatasan sumber daya; dan kondisi
matra.
Berbeda dengan jenis rutin dan khusus, surveilans
sentinel ini diterapkan saat jenis dan kualitas data
surveilans mengenai masalah kesehatan yang
dibutuhkan tidak didapatkan secara pasif. Tenaga
Surveilans untuk surveilans sentinel biasanya

102
direkrut baru terpisah dengan surveilans biasa karena
kecenderungan mengambil data secara aktif dan
merupakan masalah kesehatan yang penting. Selain
itu pusat kesehatan yang dijadikan pusat sentinel
harus memenuhi kriteria mampu melayani populasi
yang luas, memiliki sumber daya yang bisa
melakukan diagnosis, merawat kasus dan
melaporankan kasus yang ditemukan dengan cepat,
tepat dan memiliki kualitas yang baik. Contoh
surveilans sentinel yang dilakukan di Indonesia
seperti surveilans sentinel HIV dan surveilans sentinel
pes.
Tahapan Pelaksanaan Surveilans Kesehatan
Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan dilakukan melalui
pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, dan
diseminasi sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan
untuk menghasilkan informasi yang objektif, terukur,
dapat diperbandingkan antar waktu, antar wilayah, dan
antar kelompok masyarakat sebagai bahan pengambilan
keputusan. Berikut rincian tahapan pelaksanaannya:
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan tahapan paling
penting dalam memulai kegiatan surveilans. Apabila
tahapan pengumpulan data yang dilaksanakan tidak
tepat baik data yang diambil tidak penting untuk
dikumpulkan, metode pengumpulan data yang keliru,
bisa menyebabkan data yang didapatkan
dipertanyakan kebenarannya dan tidak berguna.
Berikut informasi yang dikumpulkan saat melakukan
proses surveilans yakni: besaran masalah (kesakitan
dan kematian); faktor risiko; endemisitas; patogenitas,
virulensi dan mutasi; data laboratorium; status
KLB/Wabah; kualitas pelayanan; kinerja program;
dan/atau dampak program.

103
Data yang akan dikumpulkan harus dipertimbangkan
kepentingan dan urgensinya, berdasarkan sifat
pengumpulan datanya surveilans dibagi menjadi dua
yakni surveilans aktif dan pasif.
a. Surveilans Aktif
Surveilans aktif merupakan serangkaian kegiatan
surveilans yang dilakukan oleh petugas
epidemiologi khusus yang akan melaksanakan
kunjungan lapangan secara berkala ke Fasilitas
Pelayanan Kesehatan, masyarakat atau sumber
data lainnya, melalui kegiatan Penyelidikan
Epidemiologi, surveilans aktif puskesmas/rumah
sakit, survei khusus, dan kegiatan lainnya.
Tujuan dari surveilans aktif ini adalah
mengidentifikasi kasus baru (penyakit/kematian)
atau active case finding. Surveilans aktif ini lebih
akurat dibandingkan dengan surveilans pasif,
selain itu surveilans dengan jenis ini juga sensitive
terhadap peningkatan kasus atau KLB. Namun
dibandingkan dengan sekian banyak kelebihan
yang ada, surveilans ini memiliki kelemahan yakni
waktu dan tenaga sehingga membutuhkan biaya
operasional yang lebih tinggi dibandingkan
surveilans pasif.
b. Surveilans Pasif
Surveilans Pasif merupakan serangkaian
pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
menerima data dari unit surveilas mulai dari
puskesmas hingga pusat, Fasilitas Pelayanan
Kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya,
dalam bentuk rekam medis, buku register pasien,
laporan data kesakitan/kematian, laporan
kegiatan, laporan masyarakat dan bentuk lainnya.

104
Tujuan dari kegiatan surveilans ini adalah
pemantauan trend penyakit atau masalah
kesehatan yang ada. Apabila terdapat KLB maka
akan ditindaklanjuti pelaksanaan investigasi atau
pengamatan khusus. Surveilans jenis ini mudah
dan murah untuk diaplikasikan dan
memudahkan suatu negara untuk melaporkan
jenis penyakit tertentu yang wajib secara rutin
dilaporkan ke WHO seperti TBC. Kekurangan dari
surveilans ini adalah data yang kurang lengkap,
akurat serta underreported karena jika pasien
tidak ke pelayanan kesehatan maka tidak akan
terhitung sebagai kasus sehingga cenderung
kurang sensitive dalam menggambarkan tren
masalah kesehatan.
2. Pengolahan Data
Data yang sudah terkumpul dari tahap sebelumnya
kemudian dilakukan manajemen dengan cara
perekaman data, validasi, cleaning pengkodean,
transformasi dan pengelompokan berdasarkan
tempat, waktu, dan orang. Tahapan ini berungsi
untuk menyiapkan data agar siap untuk dianalisis
artinya sudah minim eror.
3. Analisis Data
Analisis data surveilans pada umumnya bervariasi di
setiap tingkatan unit surveilans dari tingkat dasar
hingga ke pusat. Semakin tinggi tingkatnya maka
semakin kompleks analisisnya. Secara umum analisis
data dilakukan dengan metode epidemiologi deskriptif
dan/atau analitik untuk menghasilkan informasi
yang sesuai dengan tujuan surveilans yang
ditetapkan. Hasil dari analisis data bisa berupa
paragraf, tabel dan grafik (batang, histogram, pie,
garis, spot map dan campuran) yang menunjukkan

105
masalah kesehatan berdasarkan orang, tempat dan
waktu. Kemudian petugas mengambil kesimpulan
yang biasanya menggambarkan kecenderungan dan
perbandingan dari hasil yang didapatkan. Petugas
juga berfikir kritis memberi tanggapan dan masukan
mencari solusi terbaik dalam menghadapi masalah
kesehatan, sehingga output dari tahapan ini ialah
informasi mengenai hasil dan alternatif solusi.
4. Diseminasi
Diseminasi ini merupakan tahapan pembeda yang
khas dari kegiatan surveilans dibandingkan dengan
penelitian pada umumnya. Diseminasi merupakan
penyebarluasan informasi ke seluruh pihak yang
berwenang atas informasi tersebut dalam rangka
meningkatkan pengetahuan terkait kondisi masalah
kesehatan yang ada sebagai upaya tidak langsung
untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Diseminasi ini bisa dilakukan dengan beberapa cara
yakni:
a. menyampaikan informasi kepada unit yang
membutuhkan untuk dilaksanakan tindak lanjut;
b. menyampaikan informasi kepada Pengelola
Program sebagai sumber data/laporan surveilans
sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan;
c. memberikan umpan balik kepada sumber data
dalam rangka perbaikan kualitas data atau
menyampaikan hasil analisis dari data yang
sudah diberikan
Bentuk diseminasi informasi bisa berbagai macam
seperti laporan, publikasi ilmiah, seminar, diskusi,
artikel di media masa, buletin, dashboard di aplikasi,
dsb. Begitupula dengan Bahasa dan kedalaman

106
informasi yang disampaikan bisa beragam sesuai
audience yang kita hadapi. Apabila ke masyarakat
bisa menggunakan bahas yang mudah dipahami dan
sampaikan informasi yang singkat dan jelas.
Sedangkan apabila ke pimpinan maka bisa
menggunakan Bahasa ilmiah dan pembahasan yang
lebih mendalam.
Aplikasi Sistem Surveilans di Indonesia
Aplikasi pelaksanaan sistem surveilans yang
dimanfaatkan oleh pemerintah Indonesia sebenarnya
sudah sangat banyak, mengingat dengan adanya aplikasi
ini artinya menghilangkan permasalahan pelaporan yang
membutuhkan waktu yang lama karena dilaporkan secara
bertahap dari pelaksana surveilans paling dasar hingga
pusat. Selain itu, Indonesia merupakan Negara yang
terdiri dari banyak pulau dan wilayah yang cukup luas,
namun adanya aplikasi ini membuat pelaporan lebih
efektif karena tidak perlu laporan secara manual lagi agar
bisa merespon dengan lebih cepat. Berikut beberapa
aplikasinya adalah:
1. EWARS (Early Warning Alert and Response System)
EWARS ini merupakan pengembangan dari sistem
kewaspadaan dini dan respon (SKDR) dalam rangka
menurunkan kejadian luar biasa penyakit menular.
Jenis penyakit yang diawasi dalam EWARS ini adalah
jenis penyakit potensial KLB, berdasarkan Permenkes
No 1501/Menkes/Per/X/2010 terdapat 17 jenis
penyakit menular potensial KLB, namun menteri
kesehatan bisa menetapkan jenis penyakit lainnya di
masa depan.
Data penyakit menular yang dilaporkan secara
mingguan dengan berbasis komputer, yang dapat
menampilkan alert atau sinyal peringatan dini adanya
peningkatan kasus penyakit melebihi nilai ambang

107
batas di suatu wilayah, dan Alert atau sinyal
peringatan dini yang muncul pada sistem bukan
berarti sudah terjadi KLB tetapi merupakan pra-KLB
yang mengharuskan petugas untuk melakukan
respon cepat agar tidak terjadi KLB. Kegiatan SKDR
ini dilakukan oleh puskesmas, rumah sakit, dinas
kesehatan, kantor kesehatan pelabuhan,
laboratorium kesehatan masyarakat dan kementerian
kesehatan.
Kasus yang dimasukkan informasinya ke dalam
EWARS merupakan kasus baru yakni orang yang
sakit datang ke fasilitas kesehatan dalam periode 1
minggu dengan diagnosis baru. Indikator yang ingin
dicapai dalam EWARS ini adalah ketepatan,
kelengkapan dan response alert dalam waktu 24 jam
dengan target 80%. Pada tingkat nasional
(kementerian kesehatan) memiliki target 75%
kabupaten/kota merespon setidaknya 80% dari
seluruh peringatan dini KLB yang muncul dari sistem.
2. SITB (Sistem Informasi Tuberkulosis)
Sebagai Negara dengan kasus TBC terbanyak kedua
di dunia berdasarkan Global TB Report 2022,
meskipun begitu di Indonesia masih banyak kasus
TBC yang tidak dilaporkan. Hal ini dikarenakan
pasien tidak mengunjungi fasilitas kesehatan
pemerintah atau tidak pernah diperiksa dahaknya
untuk didiagnosis. SITB ini merupakan jembatan
solusi pada permasalahan tsb, SITB merupakan big
data penyakit TBC terintegrasi dengan berbagai pihak
terkait di Indonesia. SITB ini bisa diakses oleh seluruh
faskes kesehatan pemerintah maupun swasta seperti
dokter praktik mandiri, klinik, lab swasta, dsb.
Data yang tercatat yakni kasus terduga TBC, TBC
resisten obat, TBC sensitive obat, pengobatan, dan

108
pemeriksaan laboratorium. Meskipun banyaknya
tantangan seperti cuaca tropis, penduduk yang padat,
masih banyak warga yang tergolong kurang sejahtera
secara ekonomi di Indonesia menyebabkan kasus TBC
sulit untuk diturunkan, namun diharapkan dengan
adanya surveilans TBC yang berjalan dengan baik
Indonesia dapat menemukan underreported cases,
mengobati dengan tuntas sehingga dapat memutus
rantai penularan TBC dan mengakhiri TBC sesuai
target pada tahun 2030.
SITB ini merupakan pelaporan versi online dari
seluruh form TBC yang biasanya diisi secara manual
oleh tenaga surveilans puskesmas. Berdasarkan
pengalaman penulis, sistem ini masih perlu diperbaiki
dikarenakan laporan yang harus dibuat puskesmas
tetap 2 bentuk secara manual dan online melalui
SITB, kemudian jumlah tenaga surveilans yang
terbatas setiap puskesmas menyebabkan laporan di
SITB tidak up to date karena double reporting tsb.
3. SIPTM (Sistem Informasi Penyakit Tidak Menular)
Indonesia saat ini sedang dilanda triple burden of
disease salah satunya adalah semakin tinggi angka
harapan hidup masyarakat di Indonesia serta pola
hidup yang tidak sehat menyebabkan banyaknya
penyakit tidak menular menjadi jenis penyakit dengan
prevalensi tertinggi di Indonesia. SIPTM merupakan
aplikasi yang mendukung pelaksanaan kegiatan
surveilans penyakit tidak menular di Indonesia.
Informasi yang dilaporkan dalam SIPTM ialah kasus
PTM (hipertensi, jantung koroner, diabetes mellitus,
hipertiroid, hipotiroid, stroke, asma, PPOK,
osteoporosis, ginjal kronik, thalassemia, lupus,
kanker payudara, kanker serviks, kanker leukemia,
kanker mata, dan cedera); Faktor risiko PTM
(merokok, aktivitas fisik, konsumsi sayur dan buah,

109
konsumsi alkohol, stres, obesitas, tekanan darah,
gula darah, kolesterol dalam darah, gangguan fungsi
paru, IVA, alkohol dalam pernafasan) serta sesi
penyuluhan. SIPTM ini bisa diakses oleh petugas
Posbindu PTM, Petugas Surveilans Puskesmas,
Pengelola Program Pengendalian PTM di Kota, Provinsi
dan Pusat.
Masalah Etika pada Surveilans Kesehatan Masyarakat
Setelah mengetahui pelaksanaan sistem surveilans
kesehatan masyarakat di atas, dapat disimpulkan bahwa
kegiatan surveilans merupakan upaya kesehatan
masyarakat dan menghasilkan intervensi pada level
masyarakat, namun data yang diambil tetap informasi
setiap individu. Surveilans merupakan salah satu
tanggung jawab kesehatan masyarakat diakui pada tahun
1991 oleh CIOMS, surveilans dalam situasi wabah darurat
jelas membutuhkan pengecualian. Surveilans pada
situasi wabah tidak bisa menunggu persetujuan formal
dari komite peninjau etik. Seperti keadaan pandemic
COVID-10 pada tahun 2020, kegiatan surveilans berupa
testing, tracing dan treatment diwajibkan kepada seluruh
masyarakat tanpa terkecuali. Pelaksanaan surveilans ini
membutuhkan identitas pribadi yang bersangkutan
untuk dicatat semata-mata untuk memutus rantai
penularan COVID-19 di Indonesia. Namun untuk kegiatan
surveilans yang berlangsung jangka panjang maka tetap
diperlukan persetujuan tertulis dari pihak yang
berwenang/terkait. Sistem surveilans yang
mengumpulkan data dari setiap masyarakat dapat
dilakukan asalkan memenuhi asas sukarela dan tidak
dapat dipaksa apabila masyarakat tidak
menginginkannya.
Tidak hanya identitas pribadi yang menjadi masalah etika
di dalam pelaksanaan kegiatan surveilans, berikut

110
beberapa hal yang patut dipertimbangkan dari segi etik
dalam pelaksanaan surveilans yakni:
1. Common good (Kepentingan Bersama)
Surveilans merupakan kegiatan yang diketahui
bermanfaat untuk masyarakat, yang keuntungan
kegiatannya tidak dapat diberikan terkhusus untuk
setiap individu. Surveilans dibenarkan, secara
fundamental, sebagai persyaratan untuk kebaikan
semua. Tanpa kegiatan surveilans yang memadai oleh
institusi kesehatan masyarakat dan partisipasi dari
individu dan masyarakat, dapat mengurangi manfaat
dari surveilans.
2. Equity (Kesetaraan)
Surveilans kesehatan masyarakat merupakan salah
satu upaya meningkatkan kesetaraan di masyarakat
khususnya di bidang kesehatan. Kegiatan surveilans
akan mendeteksi faktor risiko penyebab populasi
tertentu yang terjangkit sebuah masalah kesehatan,
dengan begitu hasil dari kegiatan surveilans bisa
menimbulkan aksi untuk melakukan pencegahan dan
penanggulangan masalah kesehatan tersebut. Namun
disisi lain, surveilans juga bisa bersifat tidak adil,
contohnya tidak semua lapisan masyarakat bisa
terjangkau, sehingga dalam hal ini pemerintah wajib
mengupayakan kesetaraan dalam surveilans seperti
menyediakan akses ke seluruh lapisan masyarakat.
3. Respect for persons (Menghormati orang)
Menghormati setiap pasien atau subjek dalam
kegiatan surveilans, artinya setiap individu memiliki
hak dalam pengambilan keputusan yang dapat
mempengaruhi mereka secara bebas. Khusus untuk
anak dan remaja yang belum dewasa dan belum bisa
mengambil keputusan secara mandiri, maka dalam

111
pelibatan di kegiatan surveilans harus memenuhi izin
dari orang tua atau wali yang bersangkutan. Selain itu
untuk memastikan data individu dan kelompok
terlindungi dengan baik dari segala bahaya harus
diupayakan semaksimal mungkin dalam pelaksanaan
surveilans.
4. Good governance (Manajemen yang baik)
Manajemen yang baik secara etik ialah tindakan
kesehatan masyarakat yang ditangani secara
sistematis dan adil, sehingga pemerintah harus
memiliki makenisme yang akuntabel dan terbuka
sehingga masyarakat bisa megetahui mekanisme,
mengambil keputusan dan melihat laporan dari
kegiatan surveilans.
Pada intinya pelaksanaan surveilans kesehatan
masyarakat di satu sisi dapat dapat merugikan
kepentingan individu, namun disisi lain memberikan hasil
yang sangat bermanfaat untuk meningkatkan derajat
kesehatan kelompok masyarakat luas. Hal ini
memberikan justifikasi yang seimbang antara
kepentingan individu dan kelompok.

112
Daftar Pustaka
Amiruddin, Ridwan (2017). Surveilans Kesehatan
Masyarakat. Jakarta: CV. Trans Info Media.
CMAJ 2017 July 24;189:E977. doi:
10.1503/cmaj.1095453
Gregg, Michael G., (2013) Field Epidemiology 3rd (Third
Edition). UK: Oxford University Press.
Kemenkes RI (2021). Pedoman Sistem Kewaspadaan Dini
dan Respon (SKDR) Penyakit Potensial KLB/Wabah
Edisi Revisi Tahun 2021. Jakarta: Direktorat
Surveilans dan Karantina Kesehatan Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
45 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Surveilans
Kesehatan.
Najmah (2016). Epidemiologi untuk Mahasiswa Kesehatan
Masyarakat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
WHO (1999). WHO Recommended Surveillance Standards
WHO/CDS/CSR/ISR/99.2. Second Edition. Geneva:
World Health Organization.
WHO (2017). WHO Guidelines on Ethical Issues in Public
Health Surveillance. Geneva: World Health
Organization.
Wiyono, Sugeng (2018). Surveilans Penyakit dan Gizi.
Jakarta: CV. Sagung Seto.

113
Profil Penulis
Kuuni Ulfah Naila El Muna, S.KM., M.Epid
Penulis yang akrab dipanggil Kuuni, dilahirkan di
Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah pada
tanggal 23 Maret 1995. Merupakan anak terakhir
dari tiga bersaudara lahir dari pasangan Bapak
Chusaini Mustas dan Ibu Siti Nasihah (Alm).
Penulis menyelesaikan program S1 di Program
Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Airlangga lulus tahun 2016 dan menyelesaikan
program S2 di Program Studi Field Epidemiology Training
Program (FETP), Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia lulus tahun 2021. Saat ini penulis sedang bekerja
sebagai dosen di Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Kesehatan, Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya.
Penulis juga pernah bekerja di bidang penelitian di Research
Center for Care and Control of Infectious Disease Universitas
Padjadjaran. Sehari-harinya penulis bekerja sebagai dosen
pengampu mata kuliah dasar epidemiologi, epidemiologi
penyakit, riset epidemiologi, rancangan investigasi wabah,
manajemen data, biostatistik parametrik, pencegahan dan
penanggulangan masalah kesehatan, dasar kependudukan,
fertilitas dan keluarga berencana, dan perilaku kesehatan
santri. Selain itu penulis juga aktif dalam menulis jurnal
nasional maupun internasional serta mulai aktif menulis buku.
Book chapter ini merupakan karya buku pertama penulis,
diharapkan buku ini dapat memberi pemahaman sedikit
khususnya terkait surveilans yang kerap dilakukan oleh
petugas kesehatan diberbagai level mulai dari nasional, regional
hingga internasional dan terkhusus kepada para mahasiswa
kesehatan yang sedang menempuh kuliah. Semoga bermanfaat.
Email Penulis: kuuniulfah@unusa.ac.id

114
7
SURVEILANS KESELAMATAN
DAN KESEHATAN KERJA

dr. R. Melda Indri Purnama, M.M


Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Pekanbaru

Defenisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja


Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah bentuk upaya
untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan dari
pekerja dan masyarakat umumnya baik secara jasmani
ataupun rohani untuk mencapai masyarakat makmur
dan sejahtera. Sedangkan secara keilmuan, keselamatan
dan kesehatan kerja memiliki definisi yaitu suatu ilmu
pengetahuan dan penerapannya dalam upaya mencegah
terjadinya kemungkinan kecelakaan dan penyakit akibat
kerja. Keselamatan dan kesehatan kerja dikenal sebagai
K3, tidak dapat terlepas dari proses produksi baik jasa
ataupun industri.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam
Kepmenkes RI No.1116 tahun 2003 tentang menyebutkan
bahwa surveilans adalah proses pengumpulan,
pengolahan, analisis, interpretasi data secara sistematik
dan terus menerus serta melakukan penyebaran
informasi kepada unit yang membutuhkan sebagai
pertimbangan dalam pengambilan keputusan atau
kebijakan.

115
1. Keselamatan Kerja
Keselamatan kerja yaitu keselamatan yang
berhubungan dengan mesin, alat kerja, bahan,
landasan tempat kerja, pengolahan dan lingkungan
disekitar tempat kerja serta cara melakukan suatu
pekerjaan. Keselamatan kerja memiliki dua sifat,
yaitu:
a. Lingkungan kerja merupakan sasarannya.
b. Bersifat teknik.
Terdapat berbagai istilah lainnya untuk Keselamatan
dan Kesehatan Kerja seperti Hygene Perusahaan dan
Kesehatan Kerja (Hyperkes), K3, serta Occupational
Safety and Health yang merupakan istilah
Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam bahasa
internasional.
2. Kesehatan Kerja
Sehat merupakan suatu kondisi dimana fisik, mental
dan sosial seseorang bebas dari penyakit serta
gangguan dan juga memiliki kemampuan untuk dapat
berinteraksi dengan lingkungan dan pekerjaannya.
Paradigma baru dalam aspek kesehatan yaitu bukan
hanya sekedar mengobati dan menyembuhkan
gangguan atau penyakit tetapi juga mengupayakan
dalam hal pencegahan sehingga yang sehat tetaplah
sehat.
Kesehatan pekerja dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor pekerjaan yang memiliki resikonya masing-
masing seperti kondisi dan situasi kerja, tempat atau
lokasi kerja, ruang dalam bekerja serta material-
material yang digunakan dalam bekerja. Pengetahuan
tentang substansi yang digunakan dalam pekerjaan
serta cara substansi tersebut masuk ke dalam tubuh
merupakan pengetahuan penting bagi pekerja.

116
Dengan pengetahuan tersebut, pekerja dapat
mengetahui reaksi tubuh terhadap substansi kimia
tersebut sehingga dapat meminimasi timbulnya
penyakit. Ridley (2008) menyebutkan ada beberapa
cara substansi berbahaya dapat masuk ke dalam
tubuh seperti berikut:
a. Asupan makanan; yang masuk melalui mulut,
kemudian menuju usus.
b. Hirupan pernafasan; yang masuk melalui organ
pernafasan menuju paru-paru.
c. Penyerapan; yang masuk melalui pori-pori kulit.
d. Masuk melalui luka dan sayatan terbuka.
Berdasarkan jalur masuk substansi tersebut, Ridley
(2008) juga menyebutkan tindakan-tindakan
pencegahan sederhana untuk mencegah masuknya
substansi berbahaya ke dalam tubuh pekerja:
a. Asupan makanan
1) Dilarang makan di tempat kerja.
2) Menjaga kebersihan diri dengan mencuci
tangan sebelum makan.
3) Dilarang merokok di tempat kerja.

b. Hirupan pernafasan
1) Menggunakan pelindung pernafasan yang
sesuai untuk substansi-substansi tertentu.
2) Menyediakan ventilasi keluar (exhaust
ventilation).
3) Ekstraksi uap dan debu.

117
c. Penyerapan
1) Menggunakan sarung tangan.
2) Membersihkan area terkontaminasi dengan
air sabun.
3) Menggunakan krim pelindung kulit.
d. Masukkan langsung
1) Mengobati seluruh luka dan sayatan.
2) Menutupi seluruh luka dan sayatan ketika
bekerja.
Definisi Kecelakaan Kerja
Sumamur (1967) memberikan definisi tentang bahaya dan
resiko. Bahaya adalah suatu hak yang memiliki potensi
untuk menyebabkan terjadinya luka atau cedera.
Sedangkan resiko memiliki definisi yaitu kemungkinan
terjadinya kecelakaan dan dapat menyebabkan
kerusakan. Kecelakaan adalah suatu kejadian tidak
terduga yang dapat mengakibatkan terjadinya cedera atau
kerusakan. Kecelakaan kerja dapat disebabkan karena
kelalaian dari pekerja, perusahaan, ataupun keduanya
dan dapat menimbulkan trauma untuk kedua pihak.
Trauma yang dialami pekerja seperti cedera akibat
kecelakaan dan akan berpengaruh terhadap
kehidupannya baik pada diri pekerja sendiri, keluarga dan
kualitas hidup pekerja tersebut. Sedangkan perusahaan
akan mengalami kerugian dalam produksi karena waktu
yang terbuang untuk melakukan penyelidikan tentang
kecelakaan tersebut dan kerugian dalam biaya untuk
proses hukum kecelakaan kerja (Ridley, 2008). Tujuan
dari pencegahan kecelakaan yaitu untuk menurunkan
kemungkinan terjadinya kecelakaan hingga batas mutlak
minimum serta mengurangi bahaya dan resiko yang
dihasilkan dalam suatu kegiatan pekerjaan (Kesehatan
dan Keselamatan Kerja, Pusdik SDM kes).

118
Kecelakaan dibagi menjadi dua jenis yaitu kecelakaan
langsung dan kecelakaan tidak langsung. Kecelakaan
langsung dibedakan menjadi dua kembali yaitu kejadian
kecelakaan sesungguhnya dan kejadian nyaris/hampir
celaka. Kejadian nyaris celaka adalah kejadian yang
hampir menyebabkan terjadinya cedera atau kerusakan
dan memiliki perbedaan waktu yang sangat singkat.
Menurut Ridley (2008) nyaris celaka dan kecelakaan
dibedakan dari terjadi atau tidaknya kerusakan. Nyaris
celaka tidak mengakibatkan terjadinya kerusakan
sedangkan kecelakaan pasti terjadi kerusakan.
Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit
Tenaga kesehatan bekerja dalam memberikan pelayanan
dan pemeriksaan kesehatan, dalam kegiatannya tersebut
tenaga kesehatan memiliki resiko terhadap kehidupan,
keselamatan dan kesejahteraannya sebagai pekerja yang
disebabkan karena resiko pekerjaannya seperti bahaya
biologis, kimia, fisik, psikologis, ergonomis, kebakaran,
ledakan dan listrik. Untuk itu tenaga kesehatan perlu
memperhatikan perlindungan pribadi selama bekerja
dalam diagnosis, perawatan, pemeriksaan ataupun
pembedahan agar tidak mudah untuk cedera atau terluka
oleh bahaya di tempat kerjanya. (Sri Rejeki, 2016).
Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit
Rumah Sakit merupakan suatu industri jasa yang padat
karya, padat pakar, padat modal dan padat teknologi
sehingga risiko terjadinya Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan
Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) sangat tinggi. Oleh karena
itu, upaya K3 sudah menjadi suatu keharusan.
Disamping itu, rumah sakit harus menjadi patient dan
provider safety (hospital safety) sehingga mampu
melindungi pasien, pengunjung, pekerja, dan masyarakat
sekitar rumah sakit dari berbagai potensi bahaya di
rumah sakit.

119
Standar K3 Perbekalan Rumah Sakit
Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan
yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya
kesehatan. Alat kesehatan adalah instrument, apparatus,
mesin yang tidak mengandung obat yang digunakan
untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan
meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan
kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk struktur
dan memperbaiki fungsi tubuh.
Standar K3 sarana, prasarana, dan peralatan harus
meliputi:
1. Standar Teknis Sarana
a. Lokasi dan bangunan
Lokasi rumah sakit atau fasilitas kesehatan
lainnya hendaknya berlokasi pada daerah yang
mudah dijangkau oleh masyarakat, bebas banjir
dan pencemaran serta berjauhan dari pabrik
industri, limbah pabrik, rel kereta api dan tempat
bongkar muat barang. Luas tanah untuk gedung
rumah sakit tidak bertingkat minimal 1,5 kali luas
bangunan sedangkan untuk gedung rumah sakit
bertingkat memiliki luas tanah minimal 2 kali luas
bangunan lantai dasar. Untuk luas bangunan
disesuaikan dengan jumlah tempat tidur dan
klasifikasi dari rumah sakit tersebut. Bangunan
minimal 50 m2 untuk tiap tempat tidurnya.
b. Lantai
1) Lantai ruangan dibuat dengan bahan yang
kuat, rata, kedap air, tidak licin, berwarna
terang dan mudah dibersihkan.

120
2) Lantai toilet/kamar mandi dibuat dengan
bahan yang kuat, tidak licin, kedap air,
mudah dibersihkan, memiliki kemiringan
yang cukup, dan tidak terdapat genangan air.
3) terkhusus untuk ruang operasi lantai harus
rata, tidak mempunyai pori atau lubang
untuk berkembang biaknya bakteri,
menggunakan bahan vynil, anti elektrostatik
dan tidak mudah terbakar.
c. Dinding
1) Dinding berwarna terang, rata, cat tidak
luntur, dan tidak mengandung logam berat.
2) Sudut dinding dengan dinding, dinding
dengan lantai, dinding dengan langit-langit,
membentuk konus atau tidak membentuk
siku
3) Dinding toilet/kamar mandi dibuat dengan
bahan yang kuat dan kedap air.
4) Permukaan dinding keramik harus rata,
rapih, dan sisa dari permukaan keramik
dibagi sama ke kanan dan ke kiri.
5) Terkhusus ruang radiologi dinding dilapisi Pb
minimal 2 mm atau setara dinding bata
ketebalan 30 cm serta dilengkapi jendela kaca
anti radiasi.
6) Dinding ruang laboratorium dibuat dari
porselin atau keramik setinggi 1,5 m dari
lantai.
d. Pintu/Jendela
1) Tinggi pintu minimal 270 cm dan lebar
minimal 120 cm.

121
2) Pintu dapat dibuka dari luar.
3) Pintu darurat dibuat menggunakan panic
handle, automatic door closer dan membuka
ke arah tangga darurat/arah evakuasi dengan
bahan tahan api minimal 2 jam.
4) Ambang bawah jendela minimal 1 m dari
lantai,
5) Jendela yang berhubungan langsung keluar
harus memakai jeruji,
6) Terkhusus ruang operasi, pintu terdiri dari
dua daun, mudah dibuka tetapi harus dapat
menutup sendiri (dipasang door close),
7) Terkhusus ruang radiologi, pintu terdiri dari
dua daun pintu dan dilapisi Pb minimal 2 mm
atau setara dinding bata ketebalan 30 cm
dilengkapi dengan lampu merah tanda bahaya
radiasi serta dilengkapi jendela kaca anti
radiasi.
e. Plafond
1) Rangka palfond kuat dan anti rayap.
2) Permukaan plafond berwarna terang, mudah
dibersihkan, tidak menggunakan berbahan
abses.
3) Langit-langit dengan ketinggian minimal 2,8
m dari lantai.
4) Langit-langit menggunakan cat anti jamur.
5) Khusus ruang operasi harus disediakan
gelagar (gantungan) lampu bedah dengan
profil baja double INP 20 yang dipasang
sebelum pemasangan langit-langit.

122
f. Ventilasi
1) Luas minimal ventilasi alamiah 15%dari luas
lantai. Pemasangan ventilasi alamiah dapat
memberikan sirkulasi udara yang cukup.
2) Ventilasi mekanik disesuaikan dengan
peruntukkan ruangan, untuk ruangan
operasi kombinasi antara fan, exhauster dan
AC harus dapat memberikan sirkulasi udara
dengan tekanan positif.
3) Ventilasi AC dilengkapi dengan filter bakteri.
g. Atap
1) Atap kuat, tidak bocor, tidak menjadi
perindukan serangga, tikus, dan binatang
pengganggu lain.
2) Atap dengan ketinggian lebih dari 10 m harus
menggunakan penangkal petir.
h. Sanitasi
1) Closet, urinoir, westafel, dan bak mandi dari
bahan kualitas baik, utuh, dan tidak cacat
serta mudah dibersihkan.
2) Urinoir dipasang/ditempel pada dinding,
kuat, berfungsi dengan baik.
3) Westafel dipasang rata, tegak lurus dinding,
kuat, tidak menimbulkan bau, dilengkapi
disinfektan dan dilengkapi disposable tissue.
4) Bak mandi tidak berujung lancip, tidak
menjadi sarang nyamuk, dan mudah
dibersihkan.
5) Indek perbandingan jumlah tempat tidur
pasien dengan jumlah toilet dan kamar mandi
10:1

123
6) Indek perbandingan jumlah pekerja dengan
jumlah toilet dan kamar mandi 20:1
7) Air untuk keperluan sanitair seperti mandi,
cuci, urinoir, westafel, closet, ke luar dengan
lancer dan jumlahnya cukup.
i. Air bersih
1) Kapasitas reservoir sesuai dengan kebutuhan
Rumah Sakit (250-500 liter/tempat tidur)
2) Sistem penyediaan air bersih menggunakan
jaringan PAM atau sumur dalam (artesis)
3) Air bersih dilakukan pemeriksaan fisik, kimia,
dan biologi setiap 6 bulan sekali.
4) Sumber air bersih dimungkinkan dapat
digunakan sebagai sumber air dalam
penanggulangan kebakaran.
j. Plumbing
1) Sistem perpipaan menggunakan kode warna
biru untuk perpipaan air bersih dan merah
untuk perpipaan air kebakaran.
2) Pipa air bersih tidak boleh bersilangan dengan
pipa air kotor.
3) Instalasi perpipaan tidak boleh berdekatan
atau berdampingan dengan instalasi listrik.
k. Drainage
1) Saluran keliling bangunan drainage dari
bahan yang kuat, kedap air dan berkualitas
baik dengan dasar mempunyai kemiringan
yang cukup ke arah aliran pembuangan.
2) Saluran air hujan tertutup telah dilengkapi
bak kontrol dalam jarak tertentu dan ditiap
sudut pertemuan, bak kontrol dilengkapi

124
penutup yang mudah dibuka/ditutup
memenuhi syarat teknis, serta berfungsi
dengan baik.
l. Ramp
1) Kemiringan rata-rata 10-15 derajat.
2) Ramp untuk evakuasi harus satu arah dengan
lebar minimum 140 cm, khusus ramp koridor
dapat dibuat dua arah dengan lebar minimal
240 cm, kedua ramp tersebut dilengkapi
pegangan rambatan, kuat, ketinggian 80 cm.
3) Area awal dan akhir ramp harus bebas dan
datar, mudah untuk berputar, tidak licin.
4) Setiap ramp dilengkapi lampu penerangan
darurat, khusus ramp evakuasi dilengkapi
dengan pressure fan untuk membuat tekanan
udara positif.
m. Tangga
1) Lebar tangga minimum 120 cm jalan searah
dan 160 cm jalan dua arah.
2) Lebar injakan minimum 28 cm.
3) Tinggi injakan maksimum 21 cm.
4) Tidak berbentuk spiral/bulat.
5) Memiliki dimensi pijakan dan tanjakan yang
seragam.
6) Memiliki kemiringan injakan < 90 derajat.
7) Dilengkapi pegangan, minimum pada salah
satu sisinya. Pegangan rambat mudah
dipegang, ketinggian 60-80 cm dari lantai,
bebas dari segala instalasi.

125
8) Tangga di luar bangunan dirancang ada
penutup tidak kena air hujan.
n. Pendestrian
1) Tersedia jalur kursi roda dengan permukaan
keras/stabil, kuat, dan tidak licin
2) Hindari sambungan atau gundukan
permukaan.
3) Kemiringan 7 derajat, setiap jarak 9 meter ada
border.
4) Drainase searah jalur.
5) Ukuran minimum 120 cm (jalur searah), 160
(jalur 2 arah).
6) Tepi jalur pasang pengaman.
o. Area parkir
1) Area parkir harus tertata dengan baik.
2) Mempunyai ruang bebas disekitarnya.
3) Untuk penyandang cacat disediakan ramp
trotoar.
4) Diberi rambu penyandang cacat yang bisa
membedakan untuk mempermudah dan
membedakan dengan fasilitas parkir bagi
umum.
5) Parkir basement dilengkapi dengan exhauster
yang memadai untuk menghilangkan udara
tercemar di dalam ruang basement, dilengkapi
petunjuk arah, dan disediakan tempat
sampah yang memadai serta pemadam
kebakaran.

126
p. Landscape: Jalan, Taman
1) Akses jalan harus lancar dengan rambu-
rambu yang jelas.
2) Saluran pembuangan yang melewati jalan
harus tertutup dengan baik dan tidak
menimbulkan bau.
3) Tanam-tanaman tertata dengan baik dan
tidak menutupi rambu-rambu yang ada.
4) Jalan dalam area rumah sakit pada kedua
belah tepinya dilengkapi dengan kansten dan
dirawat.
5) Harus tersedia area untuk tempat berkumpul
(public corner).
6) Pintu gerbang untuk masuk dan keluar
berbeda dan dilengkapi dengan gardu jaga.
7) Papan nama rumah sakit dibuat rapi, kuat,
jelas atau mudah dibaca untuk umum,
terpampang di bagian depan Rumah Sakit.
8) Taman tertata rapi, terpelihara dan berfungsi
memberikan keindahan, kesejukan, dan
kenyamanan bagi pengunjung maupun
pekerja dan pasien rumah sakit.
2. Standar Teknis Prasarana
a. Penyediaan listrik:
1) Untuk rumah sakit yang memiliki kapasitas
daya listrik tersambung, dari PLN minimal
200 KVA disarankan agar sudah memiliki
sistem jaringan listrik. Tegangan Menengah
20 KV, sesuai pedoman bahwa rumah sakit
kelas B mempunyai kapasitas daya listrik
1000 KVA.

127
2) Kapasitas dan instalasi listrik terpasang
memenuhi standar PUIL
3) Untuk kamar bedah dan ICU menggunakan
catu daya khusus dengan sistem catu daya
cadangan otomatis dua lapis (generator dan
UPS).
4) Harus tersedia ruang UPS minimal 2x3 m2
(sesuai kebutuhan) terletak di gedung COT,
ICU, ICCU dan diberi pendingin ruangan.
5) Kapasitas UPS disesuaikan dengan
kebutuhan.
6) Kapasitas generator disediakan minimal 40%
dari daya terpasang dan dilengkapi AMF dan
ATS sistem.
7) Grounding system harus terpisah antara panel
gedung dan panel alat. Nilai grounding
peralatan tidak boleh kurang dari 0,2 Ohm.
b. Penangkal petir
Penangkal petir sesuai dengan Permenaker No.2
tahun 1989
c. Pencegahan dan penanggulangan kebakaran
1) Tersedia APAR sesuai dengan Norma Standar
Pedoman dan Manual (NSPM) kebakaran
seperti yang diatur oleh Permenaker No.4
tahun 1980.
2) HIDRAN terpasang dan berfungsi dengan baik
dan tersedia air yang cukup.
3) Tersedia sprinkler dengan jumlah yang
memenuhi kebutuhan luas area.
4) Tersedia slamese connection.

128
5) Tersedia pompa hidran dengan generator
cadangan.
6) Tersedia dan tercukupi air untuk pemadaman
kebakaran.
7) Tersedia sistem alarm kebakaran otomatis
sesuai dengan Permenaker No. 2 tahun 1983.
d. Sistem komunikasi
1) Tersedia saluran telepon internal dan
eksternal dan berfungsi dengan baik.
2) Tersedia saluran telepon khusus untuk
keadaan darurat (untuk UGD, sentral telepon,
dan posko tanggap darurat).
3) Instalasi kabel telah terpasang rapi, aman dan
berfungsi dengan baik.
4) Tersedia komunikasi lain (HT, paging sistem
dan alarm) untuk mendukung komunikasi
tanggap darurat.
5) Tersedia sistem nurse call yang terpasang dan
berfungsi dengan baik.
6) Tersedia sistem tata suara (central sound
system).
7) Tersedia peralatan pemantau kemanan/CCTV
(close circuit system).
e. Gas medis
1) Tersedianya gas medis dengan sistem sentral
atau tabung.
2) Sentral gas medis dengan sistem jaringan dan
outlet terpasang berfungsi dengan baik
dilengkapi dengan alarm untuk menunjukkan
kondisi sentral gas medis dalam keadaan
rusak/ketersediaan gas tidak cukup.

129
3) Tersedia suction pump pada jaringan sentral
gas medik.
4) Kapasitas central gas medis telah sesuai
dengan kebutuhan.
5) Kelengkapan sentral gas berupa gas oksigen
(O2), gas nitrous oxide (NO2), gas tekan dan
vakum.
f. Limbah cair
Tersedianya Instalasi Pengolahan Air Limbah
(IPAL) dengan perizinannya.
g. Pengolahan limbah padat
1) Tersedianya tempat/kontainer penampungan
limbah sesuai dengan kriteria limbah.
2) Tersedia incinerator atau yang sejenisnya,
terpelihara dan berfungsi dengan baik.
3) Tersedia tempat pembuangan limbah padat
sementara, tertutup dan berfungsi dengan
baik.
Pengelolaan Bahan B3
Limbah medis rumah sakit termasuk ke dalam kategori
limbah B3 yang wajib dikelola dengan benar. Sebagian
limbah medis termasuk ke dalam kategori limbah B3 dan
sebagian lagi termasuk kategori infeksius. Yang termasuk
kedalam limbah medis berbahaya yaitu limbah kimiawi,
limnah farmasi, limbah genotoxic, logam berat dan wadah
bertekanan. Limbah infeksius adalah limbah yang dapat
menjadi sumber penyebaran penyakit yang dapat
mengenai semua orang di rumah sakit baik SDM RS,
pasien, keluarga pasien, pengunjung bahkan masyarakat
di sekitar rumah sakit. Contoh limbah infeksius seperti
jaringan tubuh pasien, darah, jarum suntik, biakan
kultur, bahan/alat yang bersentuhan, terpapar atau

130
diperkirakan tercemari oleh penyakit pasien. Pengelolaan
lingkungan harus dilakukan dengan tepat agar tidak
beresiko untuk menularkan penyakit. Beberapa risiko
kesehatan yang mungkin ditimbulkan akibat keberadaan
rumah sakit antara lain penyakit menular (hepatitis,
diare, campak, AIDS, influenza), bahaya radiasi (kanker,
kelainan organ genetik), dan risiko bahaya kimia.
Limbah medis yang termasuk kedalam kategori limbah
berbahaya dan beracun adalah limbah klinis, produk
farmasi kadaluarsa, peralatan laboratorium
terkontaminasi, kemasan produk farmasi, limbah
laboratorium, dan residu dari proses insinerasi. Barang
berbahaya dan beracun (B3) didefinisikan sebagai bahan
yang dapat merusak atau mencemari lingkungan, dapat
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, dan
kelangsungan hidup manusia dan makhluk lainnya
karena sifat, konsentrasi dan atau jumlahnya baik secara
langsung ataupun tidak langsung. Tenaga kesehatan
merupakan garda terdepan dalam memberikan pelayanan
kesehatan merupakan kelompok rentan akan terpaparnya
berbagai bahaya yang beresiko. Sehingga penting
dilakukan upaya perlindungan diri serta mengambil
tindakan untuk pencegahan dan pengendalian infeksi.
Untuk itu metode terintegrasi untuk keselamatan dan
kesehatan kerja seperti langkah-langkah teknis peraturan
keselamatan kesehatan kerja (K3) perlu diterapkan agar
dapat mengelola, meminimalisasi atau menghilangkan
paparan di tempat kerja.
Selain itu, juga perlu dilakukannya inisiatif prioritas
seperti diperkuatnya kebijakan nasional untuk kesehatan
di tempat kerja, melakukan promosi tentang tempat kerja
dan kebiasaan kerja yang sehat, peningkatan layanan
kesehatan kerja, menetapkan Standar Operasional
Prosedur (SOP) kerja, dan mengembangkan penelitian
terkait dengan kesehatan kerja.

131
Daftar Pustaka
Mahfudhoh, B. 2015. Komponen Sistem Surveilans
Demam Berdarah Dengue (Dbd) Di Dinas Kesehatan
Kota Kediri. Artikel Ilmiah. FKM Universitas Airlangga.
Surabaya.
Scott, Godfred Yawson. (2022). Occupational Exposure to
Infevtious Disease among Health Workers. Ghana:
Medical Diagnostics: Kwame Nkrumah University of
Science and Technology
Rejeki, Sri. (2016). Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
Jakarta Selatan. Pusdik SDM Kesehatan Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia
Magistu, DA, Dirirsa G, Mati E, Ayele DM, Bayu K. (2022).
Global occupational exposure to blood and body fluids
among healthcare workers. Systematic review and
meta-analysis Can J Infect Dis Med Microbiol.
Blum, Beskrajna, noc Moli. (1981) Aplikasi Keselamatan
dan Kesehatan Kerja. Bandung: Rosda Karya.

132
Profil Penulis
dr. R. Melda Indri Purnama, M.M
Penulis dilahirkan di Kota Pekanbaru Provinsi Riau
pada Tanggal 5 September 1981. Merupakan anak
ke-tiga dari pasangan R. Murzamir dan Ibu Roslina
Nasution. Penulis menyelesaikan program S1 di
Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara lulus tahun
2006 dan menyelesaikan program S2 di Program Studi Magister
Management Fakultas Ekonomi Universitas Interasional Batam
lulus tahun 2018. Penulis pernah bekerja sebagai dokter di
Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Tanjung Balai Karimun
Provinsi Kepulauan Riau. Penulis pernah menjabat sebagai
Kepala Seksi Upaya Pengendalian Karantina dan Surveilans
Epidemiologi pada Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II
Tanjung Balai Karimun, Kepala Seksi Upaya Kesehatan dan
Lintas Wilayah Kelas II Pekanbaru dan saat ini sebagai
Koordinator Substansi Upaya Kesehatan dan Lintas Wilayah
pada Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Pekanbaru. Penulis
juga aktif dalam kegiatan ilmiah dan organisasi keprofesian
yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Riau. Sehari-
harinya bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) pada
Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Pekanbaru. Selain itu
penulis juga aktif dalam menulis jurnal nasional maupun
internasional.
Email Penulis: meldaindrip@gmail.com

133
134
8
SISTEM SURVEILANS GIZI

Denny Indra Setiawan, M.Gizi


Poltekkes Kemenkes Gorontalo

Surveilans
Surveilans adalah proses pengumpulan, pemantauan,
analisis, dan pelaporan data terkait dengan suatu kondisi
atau fenomena tertentu dalam suatu populasi atau area
geografis. Tujuan surveilans adalah untuk
mengidentifikasi pola, tren, atau perubahan dalam suatu
kondisi atau penyakit, serta memberikan informasi yang
diperlukan untuk mengambil tindakan preventif atau
intervensi yang tepat. Surveilans dapat dilakukan dalam
berbagai bidang, termasuk kesehatan masyarakat,
epidemiologi, keamanan publik, kejahatan, lingkungan,
dan banyak lagi. Contohnya, surveilans penyakit
melibatkan pemantauan dan pelaporan kasus penyakit
tertentu seperti flu, malaria, atau COVID-19. Surveilans
juga dapat dilakukan terhadap faktor risiko seperti
perilaku merokok, penggunaan narkoba, atau kecelakaan
lalu lintas
Surveilans dapat dilakukan dalam berbagai bidang,
termasuk kesehatan masyarakat, epidemiologi, keamanan
publik, kejahatan, lingkungan, dan banyak lagi.
Contohnya, surveilans penyakit melibatkan pemantauan
dan pelaporan kasus penyakit tertentu seperti flu,
malaria, atau COVID-19. Surveilans juga dapat dilakukan

135
terhadap faktor risiko seperti perilaku merokok,
penggunaan narkoba, atau kecelakaan lalu lintas.
Ada beberapa jenis surveilans yang umum dilakukan:
1. Surveilans aktif: Melibatkan pencarian aktif terhadap
kasus atau kejadian tertentu melalui pengumpulan
data dari sumber-sumber yang berbeda. Contohnya
adalah surveilans penyakit melalui wawancara
dengan pasien atau pemantauan laboratorium.
2. Surveilans pasif: Melibatkan pelaporan sukarela dari
penyedia layanan kesehatan, laboratorium, atau
masyarakat umum. Contohnya adalah pelaporan
kasus penyakit oleh dokter atau pelaporan data
kematian oleh lembaga kependudukan.
3. Surveilans sindromik: Melibatkan pemantauan gejala
atau sindrom tertentu tanpa diagnosis pasti.
Contohnya adalah pemantauan gejala influenza-like
illness (ILI) untuk mendeteksi wabah flu.
4. Surveilans sentinel: Melibatkan pemantauan data dari
beberapa lokasi strategis yang mewakili populasi yang
lebih besar. Contohnya adalah surveilans penyakit
melalui jaringan rumah sakit atau fasilitas kesehatan
lainnya.
Data yang dikumpulkan dalam surveilans kemudian
dianalisis untuk mengidentifikasi pola, tren, atau
perubahan yang dapat memberikan wawasan tentang
keadaan yang sedang diamati. Informasi ini kemudian
digunakan untuk mengambil tindakan preventif,
merancang kebijakan, atau mengarahkan sumber daya
yang sesuai untuk mengatasi kondisi atau fenomena
tersebut.
Surveilans memiliki peran penting dalam mendeteksi dini,
mencegah, dan mengendalikan masalah kesehatan atau
risiko lainnya di suatu populasi atau area geografis.

136
Surveilans Gizi
Sistem surveilans gizi adalah suatu sistem yang dirancang
untuk mengumpulkan, memantau, dan menganalisis data
gizi dalam suatu populasi atau kelompok masyarakat.
Tujuan dari sistem ini adalah untuk memantau status gizi
populasi secara keseluruhan, mengidentifikasi masalah
gizi yang ada, dan membantu merancang intervensi yang
efektif untuk meningkatkan gizi masyarakat.
Sistem surveilans gizi biasanya melibatkan pengumpulan
data gizi dari berbagai sumber, seperti survei gizi,
pengukuran antropometri (misalnya tinggi badan dan
berat badan), konsumsi pangan, dan data kesehatan
lainnya. Data ini kemudian dianalisis untuk mengevaluasi
status gizi populasi, mengidentifikasi kelompok yang
rentan terhadap masalah gizi, dan memonitor tren gizi
dari waktu ke waktu.
Beberapa elemen penting dalam sistem surveilans gizi
meliputi:
1. Pengumpulan data: Data gizi dikumpulkan melalui
survei, pengukuran antropometri, dan survei
konsumsi pangan. Survei dapat dilakukan dengan
wawancara langsung, kuesioner yang diisi sendiri,
atau metode lainnya.
2. Analisis data: Data yang dikumpulkan dianalisis
untuk mengidentifikasi masalah gizi yang ada, seperti
kekurangan energi atau zat gizi tertentu. Analisis ini
dapat mencakup perhitungan statistik, perbandingan
dengan pedoman gizi, atau model matematika yang
kompleks.
3. Pelaporan dan pemantauan: Hasil analisis data
disampaikan melalui laporan yang mudah dimengerti
dan dapat diakses oleh para pemangku kepentingan,
seperti pemerintah, organisasi kesehatan, dan

137
peneliti. Pelaporan ini harus dilakukan secara teratur
dan berkala untuk memantau tren gizi dan
mengidentifikasi perubahan yang signifikan.
4. Tindak lanjut: Hasil dari sistem surveilans gizi
digunakan untuk merancang dan melaksanakan
intervensi yang sesuai untuk meningkatkan gizi
populasi. Intervensi ini dapat meliputi penyuluhan
gizi, program pemberian makanan tambahan, atau
kebijakan gizi yang lebih luas.
Sistem surveilans gizi memiliki peran penting dalam
memahami dan mengatasi masalah gizi di suatu populasi.
Dengan memantau status gizi secara teratur, pemerintah
dan organisasi kesehatan dapat mengidentifikasi masalah
gizi yang ada, mengukur dampak intervensi yang
dilakukan, dan mengarahkan upaya gizi yang lebih efektif.
Pengumpulan Data pada Surveilans Gizi
Pengumpulan data adalah proses mendapatkan informasi
atau fakta-fakta yang relevan dan dapat diukur terkait
dengan suatu topik atau tujuan tertentu. Tujuan
pengumpulan data adalah untuk mengumpulkan bukti
atau informasi yang diperlukan untuk analisis, evaluasi,
pengambilan keputusan, atau pemahaman lebih lanjut
tentang suatu fenomena atau masalah. Pengumpulan
data pada surveilans gizi melibatkan berbagai metode
untuk mengumpulkan informasi tentang status gizi
individu atau populasi. Berikut ini adalah beberapa
metode umum yang digunakan dalam pengumpulan data
pada surveilans gizi:
1. Survei Gizi
Survei gizi melibatkan pengumpulan data tentang
pola makan, asupan makanan, dan kebiasaan gizi
melalui wawancara langsung dengan responden.
Metode yang sering digunakan dalam survei gizi

138
termasuk wawancara 24 jam ingatan makanan,
wawancara frekuensi makan, atau wawancara
makanan yang diingat. Data ini membantu dalam
mengevaluasi asupan gizi individu dan populasi.
2. Pengukuran Antropometri
Pengukuran antropometri melibatkan pengukuran
fisik seperti tinggi badan, berat badan, lingkar lengan
atas, atau lingkar kepala. Data antropometri
digunakan untuk mengevaluasi status gizi,
pertumbuhan, dan perkembangan individu atau
populasi.
3. Survei Konsumsi Pangan
Survei konsumsi pangan bertujuan untuk
mengumpulkan data tentang pola konsumsi makanan
dan nutrisi dari populasi. Metode yang digunakan
dalam survei konsumsi pangan termasuk wawancara
makanan, catatan harian makanan, atau pengukuran
bobot makanan yang dikonsumsi.
4. Data Kesehatan Sekunder
Data kesehatan sekunder, seperti rekam medis, data
kematian, atau data laboratorium, dapat digunakan
untuk mendapatkan informasi tentang masalah gizi
dalam populasi. Data ini dapat membantu dalam
mengidentifikasi kasus gizi buruk atau kondisi terkait
gizi.
5. Pengukuran Biokimia
Pengukuran biokimia melibatkan pengambilan
sampel darah atau urin untuk mengukur tingkat zat
gizi atau indikator biokimia tertentu dalam tubuh.
Contohnya termasuk pengukuran kadar zat besi,
vitamin D, atau albumin dalam darah. Data ini
memberikan informasi lebih mendalam tentang status
gizi individu.

139
6. Monitoring dan Evaluasi Program
Data yang dikumpulkan dari program-program gizi,
seperti program pemberian makanan tambahan atau
intervensi gizi lainnya, digunakan untuk memantau
dan mengevaluasi dampak intervensi tersebut
terhadap status gizi populasi.
Analisis Data pada Surveilans Gizi
Analisis data pada surveilans gizi melibatkan pengolahan
data yang telah dikumpulkan untuk mendapatkan
informasi yang bermanfaat tentang status gizi individu
atau populasi. Tujuan dari analisis data dalam surveilans
gizi adalah untuk mengidentifikasi pola, tren, dan
masalah gizi yang relevan, serta memberikan dasar untuk
pengambilan keputusan dan perencanaan intervensi gizi.
Berikut adalah beberapa langkah umum dalam analisis
data pada surveilans gizi:
1. Pembersihan dan Pemrosesan Data
Langkah pertama dalam analisis data adalah
membersihkan dan memproses data yang
dikumpulkan. Proses ini melibatkan kegiatan
pemeriksaan data untuk kesalahan entri, nilai
ekstrem, atau kehilangan data. Data yang tidak valid
atau hilang dapat dikeluarkan atau diisi dengan
metode yang sesuai.
2. Penggalian Data
Setelah data telah diproses, langkah selanjutnya
adalah melakukan penggalian data untuk
mengidentifikasi pola kejadian status gizi. Pada tahap
penggalian data dapat melibatkan pemilihan variabel
gizi yang relevan, seperti status antropometri (berat
badan, tinggi badan), asupan nutrisi, atau indikator
biokimia, dan melihat distribusi dan variasi data.

140
3. Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif melibatkan penggunaan metode
statistik untuk menggambarkan dan merangkum data
gizi yang dikumpulkan. Pada tahapan ini termasuk
menghitung rata-rata, median, dan persentil untuk
variabel kontinu, dan menghitung frekuensi atau
persentase untuk variabel kategorikal. Analisis
deskriptif memberikan pemahaman awal tentang
distribusi data dan karakteristik gizi populasi.
4. Analisis Komparatif
Analisis komparatif melibatkan perbandingan antara
kelompok atau subkelompok yang berbeda dalam
populasi. Analisis ini dapat dilakukan dengan
menggunakan uji statistik yang tepat, seperti uji t, uji
chi-square, atau uji ANOVA, tergantung pada jenis
data yang dianalisis. Analisis komparatif dapat
membantu mengidentifikasi perbedaan signifikan
dalam status gizi antara kelompok yang berbeda,
misalnya, antara kelompok usia atau jenis kelamin.
5. Analisis Regresi
Analisis regresi digunakan untuk mempelajari
hubungan antara variabel dependen (misalnya, status
gizi) dengan variabel independen (misalnya, faktor
risiko atau asupan makanan). Analisis ini melibatkan
penggunaan model regresi linier atau regresi logistik
untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi status gizi. Analisis regresi dapat
membantu dalam memahami kontribusi relatif dari
berbagai faktor terhadap masalah gizi dan
mengidentifikasi variabel yang paling berpengaruh.
6. Interpretasi Hasil
Hasil analisis data kemudian diinterpretasikan untuk
mendapatkan wawasan dan kesimpulan yang relevan

141
dengan tujuan surveilans gizi. Proses interpretasi
hasil melibatkan mengaitkan temuan dengan konteks
populasi atau masalah gizi yang sedang diteliti.
Interpretasi hasil harus dilakukan dengan hati-hati
dan berdasarkan bukti ilmiah yang solid.
Dalam pengumpulan data surveilans gizi, terdapat
beberapa hal penting yang perlu diperhatikan untuk
memastikan data yang dikumpulkan akurat dan valid
serta memastikan kualitas dan keakuratan data yang
dikumpulkan. Berikut adalah beberapa hal yang perlu
diperhatikan:
1. Metode pengumpulan data: Pemilihan metode
pengumpulan data yang sesuai sangat penting dalam
memastikan akurasi data. Setiap metode memiliki
kelebihan dan kelemahan sendiri, oleh karena itu
penting untuk memilih metode yang paling cocok
untuk tujuan surveilans gizi tertentu.
2. Standar pengukuran: Pemantauan status gizi
memerlukan pengukuran yang tepat dan konsisten.
Oleh karena itu, perlu memastikan bahwa standar
pengukuran yang digunakan sesuai dan
terstandardisasi.
3. Pelatihan petugas pengumpul data: Petugas
pengumpul data harus dilatih dengan baik sebelum
melakukan pengumpulan data. Pelatihan harus
mencakup teknik pengukuran, prosedur
pengumpulan data, dan penggunaan instrumen
pengukuran.
4. Kepatuhan responden: Responden harus memberikan
informasi yang akurat dan lengkap saat diwawancarai
atau diukur. Untuk memastikan kepatuhan
responden, perlu menjalin hubungan baik dan
membangun kepercayaan dengan responden.

142
5. Pengawasan dan pengendalian kualitas: Pengawasan
dan pengendalian kualitas data sangat penting dalam
memastikan data yang akurat dan valid. Ini termasuk
pengumpulan kembali data, pemeriksaan kembali
data, dan pemastian bahwa instrumen pengukuran
digunakan dengan benar.
6. Keamanan data: Data yang dikumpulkan harus
dilindungi agar tidak bocor atau diakses oleh orang
yang tidak berwenang. Oleh karena itu, perlu
mengembangkan dan menerapkan prosedur
keamanan data yang sesuai.
7. Etika: Pengumpulan data harus dilakukan dengan
memperhatikan etika dan hak asasi manusia. Perlu
memperhatikan privasi responden, memastikan
bahwa responden memberikan persetujuan dengan
sukarela, dan memberikan informasi yang jelas dan
akurat tentang pengumpulan data.
Pelaporan dan Pemantauan Status Gizi
Pelaporan dan pemantauan gizi adalah proses yang
dilakukan untuk mengumpulkan, menganalisis, dan
memantau informasi terkait dengan status gizi individu
atau populasi. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi
masalah gizi, memonitor tren gizi, dan menyediakan dasar
untuk pengambilan keputusan terkait gizi.
Pelaporan dan pemantauan status gizi dalam surveilans
gizi sangat penting karena memiliki beberapa manfaat dan
tujuan yang krusial. Beberapa alasan mengapa pelaporan
dan pemantauan status gizi sangat penting dalam
surveilans gizi yaitu membantu dalam mengidentifikasi
masalah gizi yang ada dalam populasi. Dengan melacak
dan memantau status gizi secara teratur, dapat terdeteksi
kelompok populasi yang berisiko tinggi mengalami
masalah gizi, seperti stunting pada anak, kekurangan zat
gizi, atau obesitas. Informasi ini penting untuk

143
mengarahkan upaya intervensi dan program gizi yang
tepat. Data yang dikumpulkan melalui pelaporan dan
pemantauan status gizi juga digunakan sebagai dasar
perencanaan kebijakan dan program gizi. Informasi ini
membantu pemerintah dan organisasi kesehatan dalam
menentukan prioritas, mengidentifikasi kelompok
populasi yang membutuhkan intervensi gizi, dan
merancang program-program yang efektif untuk
meningkatkan status gizi masyarakat. Pelaporan dan
pemantauan status gizi memberikan informasi yang
penting bagi pengambilan keputusan terkait gizi. Data
yang dikumpulkan dan dianalisis membantu dalam
memahami kondisi gizi masyarakat, mengidentifikasi
prioritas intervensi, alokasi sumber daya yang efektif, dan
pengambilan keputusan berdasarkan bukti untuk
meningkatkan gizi masyarakat. Dengan pelaporan dan
pemantauan status gizi yang tepat, pemerintah dan
organisasi kesehatan dapat mengidentifikasi,
merencanakan, dan melaksanakan tindakan yang tepat
untuk meningkatkan status gizi dan kualitas hidup
masyarakat secara keseluruhan.
1. Pelaporan Gizi
a. Pengumpulan data: Data terkait gizi dikumpulkan
menggunakan metode pengumpulan data yang
sesuai, seperti survei gizi, pengukuran
antropometri, survei konsumsi pangan, atau
pengukuran biokimia.
b. Analisis data: Data gizi yang telah dikumpulkan
dianalisis untuk mengidentifikasi pola, tren, dan
masalah gizi yang relevan. Analisis ini melibatkan
penggunaan metode statistik dan teknik analisis
lainnya.

144
c. Interpretasi hasil: Hasil analisis data digunakan
untuk menghasilkan temuan dan kesimpulan
yang relevan dengan tujuan surveilans gizi.
Informasi ini diinterpretasikan secara
komprehensif dan disajikan dengan jelas dalam
laporan.
d. Pembuatan laporan: Hasil surveilans gizi yang
telah dianalisis disusun dalam bentuk laporan.
Laporan ini mencakup metodologi yang
digunakan, populasi yang diteliti, temuan utama,
rekomendasi, dan kesimpulan. Laporan tersebut
biasanya ditujukan kepada pemangku
kepentingan yang terkait dengan gizi, seperti
pemerintah, lembaga kesehatan, atau organisasi
non-pemerintah.
2. Pemantauan Gizi
a. Pemantauan reguler: Pemantauan gizi dilakukan
secara berkala untuk memantau status gizi dan
tren dalam populasi. Ini membantu dalam
mengidentifikasi perubahan dalam pola gizi,
memonitor efektivitas program gizi, dan menilai
dampak kebijakan gizi.
b. Evaluasi program: Pemantauan gizi juga
digunakan untuk mengevaluasi program gizi yang
telah dilaksanakan. Ini melibatkan pemantauan
indikator gizi yang relevan sebelum dan sesudah
intervensi untuk menilai dampak program
terhadap status gizi populasi.
c. Pemantauan partisipatif: Pemantauan gizi dapat
melibatkan partisipasi aktif dari individu atau
komunitas yang terlibat. Partisipasi masyarakat
dapat meningkatkan kesadaran tentang gizi dan
memperkuat komitmen dalam melaksanakan
tindakan gizi yang sehat.

145
d. Pemantauan internasional: Surveilans gizi juga
dapat dilakukan dalam skala internasional untuk
memantau status gizi secara global. Organisasi
internasional, seperti WHO dan UNICEF,
melakukan pemantauan global dan menyediakan
data gizi yang penting untuk pemahaman dan
pengambilan kebijakan.
e. Pelaporan dan pemantauan gizi berperan penting
dalam mendukung upaya untuk meningkatkan
kesehatan dan gizi populasi, serta
menginformasikan perencanaan dan pengambilan
keputusan terkait program dan kebijakan.
Tindak Lanjut Surveilans Gizi
Tindak lanjut surveilans gizi adalah langkah-langkah yang
diambil setelah pelaporan dan pemantauan status gizi
dilakukan. Tujuan dari tindak lanjut ini adalah untuk
mengambil langkah konkret guna meningkatkan status
gizi masyarakat berdasarkan temuan dan rekomendasi
yang dihasilkan dari surveilans gizi. Hasil dari sistem
surveilans gizi digunakan untuk merancang dan
melaksanakan intervensi yang sesuai untuk
meningkatkan gizi populasi. Intervensi ini dapat meliputi
penyuluhan gizi, program pemberian makanan tambahan,
atau kebijakan gizi yang lebih luas.
Sistem surveilans gizi memiliki peran penting dalam
memahami dan mengatasi masalah gizi di suatu populasi.
Dengan memantau status gizi secara teratur, pemerintah
dan organisasi kesehatan dapat mengidentifikasi masalah
gizi yang ada, mengukur dampak intervensi yang
dilakukan, dan mengarahkan upaya gizi yang lebih efektif.
Tindak lanjut surveilans gizi merupakan langkah penting
dalam menjaga kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
Masalah yang mungkin timbul dalam tindak lanjut
surveilans gizi diantaranya adalah penanganan data yang

146
tidak efektif, karena hal ini dapat mencakup kurangnya
sistem yang terintegrasi untuk mengumpulkan,
menyimpan, dan menganalisis data gizi. Tanpa sistem
yang baik, sulit untuk mengidentifikasi tren dan pola
dalam data gizi, yang dapat menghambat upaya untuk
mengambil tindakan yang diperlukan. Pemantauan dan
evaluasi yang tidak memadai juga dapat menjadi masalah
dalam tindak lanjut surveilans gizi. Penting untuk
memastikan bahwa data gizi terus dipantau secara
berkala dan dievaluasi untuk mengidentifikasi perubahan
tren atau masalah yang muncul. Jika tidak ada
pemantauan yang cukup, intervensi yang tepat mungkin
tidak diambil atau diambil terlambat. Surveilans gizi
sering melibatkan berbagai sektor, termasuk kesehatan,
pangan, dan pendidikan. Masalah dapat muncul ketika
tidak adanya koordinasi yang efektif antara sektor-sektor
ini. Koordinasi yang buruk dapat menyebabkan
kesenjangan dalam pemantauan dan tindak lanjut
terhadap masalah gizi. Selain hal tersebut di atas, peran
partisipasi masyarakat yang kurang dapat mempengaruhi
efektivitas tindak lanjut surveilans gizi. Masyarakat perlu
terlibat dalam pengumpulan data gizi, pemantauan, dan
pengambilan keputusan terkait intervensi gizi. Tanpa
partisipasi yang aktif dari masyarakat, implementasi
tindak lanjut yang tepat mungkin sulit dicapai. Hal
penting yang biasa diabaikan pada tindak lanjut
surveilans gizi yaitu keterbatasan sumber daya seperti
anggaran yang terbatas atau kekurangan personel yang
terlatih. Kurangnya sumber daya dapat mempengaruhi
kapasitas untuk mengumpulkan dan menganalisis data
gizi, serta mengimplementasikan intervensi yang
diperlukan.
Untuk mengatasi masalah-masalah ini, penting untuk
membangun sistem surveilans gizi yang kuat, termasuk
pengembangan sistem yang terintegrasi untuk
mengumpulkan dan menganalisis data gizi. Koordinasi
147
antara sektor-sektor terkait dan partisipasi aktif
masyarakat juga sangat penting. Selain itu, pengalokasian
sumber daya yang memadai dan pelatihan personel yang
cukup juga diperlukan untuk menjaga keberlanjutan
tindak lanjut surveilans gizi.

148
Daftar Pustaka
Last, J.M. (ed.) (2001). "A Dictionary of Epidemiology."
Oxford University Press.
Thacker, S.B. dan Stroup, D.F. (eds.) (2018). "Principles of
Epidemiology in Public Health Practice." Third Edition.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC).
Teutsch, S.M. dan Churchill, R.E. (eds.) (2000). "Principles
and Practice of Public Health Surveillance." Oxford
University Press.
Gregg, M.B. (ed.) (2010). "Field Epidemiology." Third
Edition. Oxford University Press.
Rothman, K.J., Greenland, S., dan Lash, T.L. (eds.) (2008).
"Modern Epidemiology." Third Edition. Lippincott
Williams & Wilkins.
Hennekens, C.H., Buring, J.E., dan Mayrent, S.L. (1987).
"Epidemiology in Medicine." Little, Brown and
Company.
Lajous, M. dan Zavala-Arciniega, L. (eds.) (2019).
"Epidemiology: Current Perspectives on Research and
Practice." IntechOpen.
Gordis, L. (2014). "Epidemiology." Fifth Edition. Elsevier
Saunders.
Bonita, R., Beaglehole, R., dan Kjellström, T. (2006). "Basic
Epidemiology." Second Edition. World Health
Organization.
Nelson, K.E. dan Williams, C.M. (eds.) (2013). "Infectious
Disease Epidemiology: Theory and Practice." Third
Edition. Jones & Bartlett Learning.
Phalkey, R. K., et al. (2015). Framework for identifying and
classifying disease surveillance systems. Emerging
Infectious Diseases, 21(9), 1548-1555.
Piwoz, E. G., et al. (2017). Nutrition surveillance systems:
a review of current approaches and challenges for the
future. Journal of Nutrition, 147(7), 1228S-1234S.

149
Ruel, M. T., et al. (2013). Progress and challenges in
combating malnutrition in low-income and middle-
income countries. The Lancet, 382(9891), 552-557.
Coates, J., et al. (2017). Strengthening food and nutrition
security through integrated agriculture and nutrition
programs: Conceptual framework and programmatic
examples Food and Nutrition Bulletin, 38(3), 379-389.
Garrett, J. L., et al. (2017). Assessing the impact of
integrated agriculture-nutrition interventions on
nutrition and health outcomes: A systematic review of
the evidence. Food Policy, 73, 41-49.
Aguayo, V. M., et al. (2017). An ecological perspective on
stunting: Environmental and individual factors
associated with child malnutrition in Bangladesh.
Food and Nutrition Bulletin, 38(3), 283-309.
Pérez-Escamilla, R., et al. (2017). Role of nutrition
interventions in child growth and development.
Journal of Nutrition, 147(3), 204S-208S.
Ahmed, A. M. S., et al. (2012). Development and validation
of surveillance case definitions for pediatric
undernutrition: Estimation of the global burden of
pediatric undernutrition. Public Health Nutrition,
15(10), 1878-1887.

150
Profil Penulis
Denny Indra Setiawan, M.Gizi
Penulis dilahirkan di Malang Provinsi Jawa Timur
pada Tanggal 24 Desember 1987. Penulis Tercatat
sebagai lulusan S2 Magister Ilmu Gizi Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.
Penulis merupakan seorang Dosen di Poltekkes
Kemenkes Gorontalo (2011-Sekarang). Kiprah penulis dalam
mengembangkan Tri Dharma Perguruan Tinggi, selain sebagai
dosen professional, penulis juga aktif melakukan kegiatan
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang didanai
oleh internal perguruan tinggi. Penulis juga aktif dalam kegiatan
ilmiah dan organisasi keprofesian yaitu Persatuan Ahli Gizi
(Persagi). Sehari-harinya bekerja sebagai dosen pengampu mata
kuliah Metodologi penelitian Kesehatan, Ilmu Pangan,
Pengawasan Mutu Pangan, Statistika, Aplikasi Komputer, Gizi
Diet dan Journal Review. Selain itu penulis juga aktif dalam
menulis jurnal nasional baik sebagai Editor maupun penulis
serta aktif menulis buku ajar dan book chapter.
Email Penulis: dennyindrasetiawan@gmail.com

151
152
9
SISTEM SURVEILANS
KESEHATAN LINGKUNGAN

apt. Dedes Handayani, S.Farm., M.Si


Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Pekanbaru

Pengertian Surveilans Kesehatan Lingkungan


Surveilans Kesehatan lingkungan adalah: suatu proses
pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data
secara sistematis, terus menerus dan penyebarluasan
informasi kepada pihak terkait untuk melakukan
tindakan pencegahan, pengurangan dan/atau peniadaan
risiko kesehatan manusia yang berasal dari lingkungan
sekitar. Defenisi ini merupakan adaptasi dari beberapa
pendapat para ahli tentang defenisi surveilans. Rujukan
adaptasi defenisi dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Menurut German (2001), surveilans kesehatan
masyarakat (public health surveillance) adalah suatu
kegiatan yang dilakukan secara terus menerus berupa
pengumpulan data secara sistematik, analisis dan
interpretasi data mengenai suatu peristiwa yang
terkait dengan kesehatan untuk digunakan dalam
tindakan kesehatan masyarakat dalam upaya
mengurangi angka kesakitan dan kematian, dan
meningkatkan status kesehatan.

153
2. Menurut Abramson (1991), surveilans adalah
pengamatan secara terus menerus dan sistematik
melalui pengumpulan, analisa, interpretasi dan
diseminasi penyampaian informasi status kesehatan,
ancaman lingkungan atau faktor-faktor lain yang
dapat mempengaruhi kesehatan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 45
Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Surveilans
Kesehatan, surveilans kesehatan bertujuan:
a. Tersedianya informasi tentang situasi,
kecendrungan penyakit dan faktor risikonya serta
masalah kesehatan masyarakat dan faktor-faktor
yang mempengaruhi sebagai bahan pengambil
keputusan.
b. Terselenggaranya kewaspadaan dini terhadap
kemungkinan terjadinya KLB/Wabah dan
dampaknya.
c. Terselenggaranya investigasi dan penanggulangan
KLB/Wabah dan;
d. Dasar penyampaian informasi kesehatan kepada
para pihak yang berkepentingan sesuai dengan
pertimbangan kesehatan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan diatas,
dapat ditarik kesimpulan, penyelenggaraan surveilans
kesehatatan lingkungan dimaksudkan agar
tersedianya informasi tentang situasi lingkungan,
kecendrungan penyakit terhadap dampak lingkungan
dan faktor risikonya yang menyebabkan masalah
kesehatan pada masyarakat serta terselenggaranya
kewaspadaan dini terhadap kemungkinan terjadinya
KLB penyakit berbasis lingkungan.
Kejadian silent spring di Amerika Serikat Tahun 1960
di Amerika Serikat meningkatkam kesadaran para

154
ahli kesehatan masyarakat tentang eratnya hubungan
antara bahan berbahaya di lingkungan dengan
kesehatan manusia. Diketahui agen penyebab
penyakit adalah agen lingkungan yakni bakteri, virus,
protozoa, vektor. Agen kimia yang terdapat
dilingkungan. Agen fisik: iklim, suhu, kelembapan,
kebisingan (Oddie dkk, 2019).
Ruang Lingkup Surveilans Kesehatan Lingkungan
Penyelenggaraan surveilans kesehatan lingkungan
meliputi (Rasmaniar et al, 2020):
1. Surveilans Sarana Air Bersih
Kegiatan surveilans yang dilakukan terhadap sarana
air pada tempat-tempat umum seperti pasar,
pelabuhan dan bandara. Inspeksi sanitasi dari sarana
tersebut meliputi konstruksi; pipa (apakah ada
kebocoran atau tidak); serta kualitas fisika air yang
bertujuan untuk mengidentifikasi risiko kesehatan
dari sarana air minum tersebut.
2. Surveilans Tempat-Tempat Umum
Kegiatan surveilans dari sarana-sarana yang ada di
tempat umum mulai dari lingkungan halaman,
konstruksi bangunan, pencahayaan, ventilasi, suhu,
kelembapan, kebisingan, pemenuhan kebutuhan air,
ada tidaknya vektor penyakit hingga pengelolaan
sampah sehingga diketahui suatu sarana tersebut
memenuhi atau tidak memenuhi syarat kesehatan.
Surveilans sarana air bersih dan surveilans tempat-
tempat umum yang ada dilingkungan Pelabuhan dan
Bandara dilakukan oleh Kantor Kesehatan Pelabuhan
sesuai amanat Permenkes Nomor 431 Tahun 2007
tentang Pedoman Teknis Pengendalian Risiko
Kesehatan Lingungan di Pelabuhan/Bandara/Pos
Lintas Batas dalam rangka Kekarantinaan Kesehatan.

155
3. Surveilans Pemukiman dan Lingkungan Perumahan
Surveilans yang meliputi sarana dan prasarana
lingkungan perumahan. Surveilns sarana lingkungan
perumahan yang meliputi surveilans sarana ibadah,
sarana perdagangan dan niaga, sarana rekreasi,
ruang terbuka hijau dan lapangan olahraga.
Surveilans prasarana lingkungan perumahan meliputi
surveilans jaringan air bersih, jaringan air limbah,
jaringan drainase, pengelolaan sampah, jaringan
jalan, jaringan listrik dan telepon.
Persyaratan Kesehatan Perumahan dan Lingkungan
Pemukiman Persyaratan kesehatan perumahan dan
lingkungan pemukiman menurut Keputusan Menteri
Kesehatan (Kepmenkes) No.829 /Menkes /SK /VII
/1999 meliputi parameter sebagai berikut:
a. Syarat Wilayah
1) Tidak terletak pada daerah rawan bencana
alam seperti bantaran sungai, aliran lahar,
tanah longsor, gelombang tsunami, daerah
gempa, dan sebagainya;
2) Tidak terletak pada daerah bekas tempat
pembuangan akhir (TPA) sampah atau bekas
tambang;
3) Tidak terletak pada daerah rawan kecelakaan
dan daerah kebakaran seperti alur
pendaratan penerbangan.
b. Syarat Kualitas Udara Kualitas udara ambien di
lingkungan perumahan harus bebas dari
gangguan gas beracun dan memenuhi syarat
baku mutu lingkungan sebagai berikut:
1) Gas H2S dan NH3 secara biologis tidak
terdeteksi;

156
2) Debu dengan diameter kurang dari 10 mg
maksimum 150 mg/m3 ;
3) Gas SO2 maksimum 0,10 ppm;
4) Debu maksimum 350 mm3 /m2 per hari;
5) Kebisingan dan getaran tidak tinggi;
6) Kebisingan dianjurkan 45 dB.A, maksimum
55 dB.A;
7) Tingkat getaran maksimum 10 mm/detik.
c. Syarat Kualitas Tanah di Daerah Perumahan dan
Pemukiman
1) Kandungan Timah hitam (Pb) maksimum 300
mg/kg
2) Kandungan Arsenik (As) total maksimum 100
mg/kg
3) Kandungan Cadmium (Cd) maksimum 20
mg/kg
4) Kandungan Benzopyrene maksimum 1 mg/kg
4.
d. Syarat Fasilitas Sarana dan Prasarana
Lingkungan Perumahan
1) Memiliki taman bermain untuk anak, sarana
rekreasi keluarga dengan konstruksi yang
aman dari kecelakaan;
2) Memiliki sarana drainase yang tidak menjadi
tempat perindukan vektor penyakit;
3) Memiliki sarana jalan lingkungan dengan
ketentuan konstruksi jalan tidak mengganggu
kesehatan, konstruksi trotoar tidak
membahayakan pejalan kaki dan penyandang
cacat, jembatan harus memiliki pagar

157
pengaman, lampu penerangan, jalan tidak
menyilaukan mata;
4) Tersedia cukup air bersih sepanjang waktu
dengan kualitas air yang memenuhi
persyaratan kesehatan;
5) Pengelolaan pembuangan tinja dan limbah
rumah tangga harus memenuhi persyaratan
kesehatan;
6) Pengelolaan pembuangan sampah rumah
tangga harus memenuhi syarat kesehatan;
7) Memiliki akses terhadap sarana pelayanan
kesehatan, komunikasi, tempat kerja, tempat
hiburan, tempat pendidikan, kesenian, dan
lain sebagainya;
8) Pengaturan instalasi listrik harus menjamin
keamanan penghuninya;
9) Tempat pengelolaan makanan (TPM) harus
menjamin tidak terjadi kontaminasi makanan
yang dapat menimbulkan keracunan.
e. Syarat Kebisingan dan Getaran
1) Kebisingan dianjurkan 45 dB A, mak 55 dB.
2) Tingkat getaran mak 10 mm/detik
4. Surveilans Limbah Industri, Limbah Fasilitas
Kesehatan
Surveilans Limbah Industri dan limbah Fasilitas
Kesehatan meliputi:
a. Surveilans Limbah Cair
Surveilans limbah cair meliputi identifikasi
limbah, karakteristik limbah (komposisi limbah,
debit aliran limbah, baku mutu air limbah), sistem

158
pengelolaan limbah, baku mutu air limbah setelah
pengolahan limbah.
b. Surveilans Limbah B3
Surveilans limbah B3 harus memperhatikan
karakteristik limbah B3, uji karekteristik limbah
B3 untuk identifikasi, surveilans pengelolaan
limbah (pada proses penyimpanan, pengumpulan,
pengangkutan, pemanfaatan, pengelahan dan
penimbunan).
c. Surveilans Limbah Medis
Limbah medis menurut Permenkes Nomor 18
Tahun 2020 merupakan produk buangan sebagai
hasil proses pengobatan melalui prosedur dan
tindakan medis serta perawatan baik langsung
maupun tidak langsung serta produk samping
dari proses metabolisme penyakit.
Berikut ini kategori limbah medis yang paling
umum sebagaimana diidentifikasi oleh WHO
(Damanhuri, 2009):
1) Benda tajam
Limbah jenis ini meliputi segala sesuatu yang
dapat menembus kulit, termasuk jarum,
pisau bedah, pecahan kaca, pisau cukur,
ampul, staples, dan kabel.
2) Limbah Menular.
Apa pun yang menular atau berpotensi
menular masuk dalam kategori ini, termasuk
tisu, tinja, peralatan, dan kultur
laboratorium.

159
3) Radioaktif.
Limbah jenis ini umumnya cairan radioterapi
yang tidak digunakan atau cairan penelitian
laboratorium. Dapat juga terdiri dari gelas
atau persediaan lain yang terkontaminasi
dengan cairan ini.
4) Patologi.
Cairan manusia, jaringan, darah, bagian
tubuh, cairan tubuh, dan bangkai hewan yang
terkontaminasi masuk dalam kategori limbah
ini, serta obat-obatan. Pengelompokan ini
mencakup semua vaksin dan obat yang tidak
digunakan, kedaluwarsa, dan/atau
terkontaminasi, seperti antibiotik, injeksi, dan
pil. Bahan kimia. Termasuk desinfektan,
pelarut yang digunakan untuk keperluan
laboratorium, baterai, dan logam berat dari
peralatan medis seperti merkuri dari
termometer yang rusak.
5) Limbah Genotoksik.
Limbah genotoksik adalah bentuk limbah
medis yang sangat berbahaya yang bersifat
karsinogenik, teratogenik, atau mutagenik. Ini
dapat termasuk obat sitotoksik yang
dimaksudkan untuk digunakan dalam
pengobatan kanker.
5. Surveilans Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
(BPP)
Surveilans Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
adalah proses pengumpulan, pengolahan, interpretasi
data secara sistimatis terhadap populasi vektor dan
binatang pembawa penyakit agar keberadaannya
tidak lagi berisiko untuk terjadinya penyakit tular

160
vektor disuatu wilayah atau menghindari kontak
masyarakat dengan vektor sehingga penularan penyik
tular vektor dapat dicegah.
Surveilans Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
meliputi;
a. Surveilans habitat vektor dan binatang pembawa
penyakit
Sebagai contoh vektor nyamuk, habitatnya pada
di genangan air, nyamuk Culex fatigans lebih
menyukai genangan air dengan polusi tinggi
sedangkan anopheles sp tidak genangan dengan
polutan. Nyamuk Anopheles sundaicus dan
Anopheles subpictus lebih menyukai habitat pada
daerah pasang surut dengan vegetasi bakau dan
nipah. Anopheles barbirotris dan Anopheles
aconitus lebih senang hidup pada genangan air
pada dataran rendah dengan vegetasi padi,
kelapa, tanaman buah lainnya. Anopheles
umbrosus grup juga lebih senang hidup pada
genangan air pada dataran rendah namun dengan
vegetasi hutan. Anopheles maculatus lebih senang
hidup pada genangan air pada daerah kaki
gunung atau pegunungan dengan vegetasi hutan
dan perkebunan (Bruce, 1980).
Berdasarkan dasar genangan air maka terdapat
kesukaan tertentu dari nyamuk, Nyamuk
Anopheles farauti lebih menyukai genangan air
dengan dasar berpasir, Anopheles punctulatus
lebih menyukai genangan air dengan dasar
berlumpur, sedangkan Aedes aegypti lebih
menyukai genangan dengan dasar tempat air yang
bukan tanah (container) seperti bak mandi,
tempayan, dan lain sebagainya (Bruce, 1980).

161
b. Surveilans habituasi/kebiasaan vektor dan
binatang pembawa penyakit
Menurut Sundararaman, kebiasaan vektor dalam
mencari makanan juga berbeda-beda, nyamuk
Aedes sp jantan menyukai sari bunga, sedangkan
nyamuk Aedes sp betina menyukai darah untuk
pertumbuhan telurnya. Perilaku mencari darah
vektor nyamuk juga berbeda-beda, ada yang
antropofilik (suka darah manusia) ada juga yang
lebih suka darah binatang (zoofilik). Sedangkan
perilaku istirahat vektor nyamuk ada yang lebih
suka diluar ruangan (eksofilik) ada juga yang lebih
suka di dalam rungan (endofilik). Tempat-tempat
yang disenangi nyamuk untuk hinggap istirahat
selama menunggu waktu bertelur juga berbeda-
beda, Anopheles aconitus hinggap istirahat di
tanah pada tebing sungai sedangkan Anopheles
punctulatus beristirahat ditanah dibawah
rerumputan yang teduh yang memberikan
kelembapan yang tinggi (Sundararaman, 1958).
c. Surveilans bionomik vektor (siklus hidup,
zoogeografis, iklim, asosiasi flora, asosiasi fauna)
Surveilans bionomic vektor dapat digambarkan
berupa pengamatan terhadap siklus hidup vektor,
termasuk bentuk dan tingkat pertumbuhan
masing-masing genera. Misalnya telur nyamuk
Masonia sp terletak dibalik daun yang terapung di
permukaan air berbentuk rozet (seperti mawar),
mengelompok. Jentik dari Mansonia melekat pada
akar tumbuhan di dalam air, memiliki corong
udara pendek, gtajam, dengan ujung runcing dan
ditusukkan pada akar tumbuhan air. Anopheles
dewasa memiliki sisik-sisik pada sayap asymetris
berwarna coklat dan pucat (Purnomo et al, 1976).

162
Penyebaran fauna tidak sama di seluruh dunia,
termasuk vektor dan binatang pembawa penyakit.
Untuk Indonesia, di provinsi Irian Jaya banyak
ditemukan jenis-jenis nyamuk wilayah Australia
dan sedikit jenis-jenis nyamuk dari wilayah
oriental. Zoogeografis berkaitan juga dengan letak
geografis, ketinggian tempat, susunan geologi,
serta besar atau luas pulau (Purnomo et al, 1976).
Adanya tumbuh-tumbuhan sangat
berasosiasi/mempengaruhi kehidupan vektor dan
binatang pembawa penyakit, misalnya pada
kehidupan nyamuk, tumbuh-tumbuhan
merupakan tempat meletakan telur, tempat
berlindung bagi jentik, serta tempat istirahat
nyamuk dewasa. Tumbuhan tertentu dapat
menjadi indikator populasi vektor. Misalnya pada
Laguna dengan lumut sutera diperkirakan ada
Anopheles sundaicus. Rawa dengan banyak
tumbuhan air terapung, diperkirakan ada
Mansonia uniformis (Bruce, 1980).
Keberadaan fauna juga berasosiasi terhadap
kehidupan vektor dan binatang pembawa
penyakit. Beberapa fauna menjadi musuh vektor
dan binatang pembawa penyakit dan juga
berperan penting dalam mengatur keseimbangan
untuk mencegah ledakan populasi vektor.
Predator jentik nyamuk antara bacillus thuriensis,
coelenterate (hidra air tawar), larva dystiscidae,
hydropholidae, larva chaoborus serta vertebrata
juga bisa menjadi predator misalnya anak katak.
Sedangkan predator nyamuk dewasa misalnya
lalat anthomyid, capung, laba-laba, mites (kutu
air), cecak, burung dan kelelawar (Purnomo, et all,
1976).

163
Sistem surveilans vektor di Indonesia yang baru
saja diperkenalkan oleh Kementrian Kesehatan
adalah surveilans vektor dan binatang pembawa
penyakit berbasis website dan android yang
disingkat dengan SILANTOR. Aplikasi ini
memudahkan tenaga kesehatan yang di daerah
(Puskesmas, Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten
maupun Dinas Kesehatan Provinsi dalam
melaporkan kegiatan surveilans vektor dan
binatang pembawa penyakit secara realtime.
Aplikasi SILANTOR ini terintegrasi dengan
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
sehingga informasi yang diperoleh akurat dalam
rangka pencegahan dan pengendalian yang
efektif, effisien dan tepat sasaran (Dirjen P2P,
2022).
6. Surveilans Infeksi yang Berhubungan dengan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Surveilans infeksi terkait fasilitas pelayanan
kesehatan (Health Care Associated Infections/HAIs)
adalah suatu proses yang dinamis, sistematis, terus
menerus dalam pengumpulan, identifikasi, analisis
dan interpretasi data kesehatan yang penting di
fasilitas pelayanan kesehatan pada suatu populasi
spesifik dan didiseminasikan secara berkala kepada
pihak-pihak yang memerlukan untuk digunakan
dalam perencanaan, penerapan, serta evaluasi suatu
tindakan yang berhubungan dengan kesehatan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 27
tahun 2017 tentang Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi di Fasilitas Kesehatan,
Surveilans HAIs bertujuan:

164
a. Tersedianya informasi tentang situasi dan
kecenderungan kejadian HAIs di fasilitas
pelayanan kesehatan dan faktor risiko yang
mempengaruhinya.
b. Terselenggaranya kewaspadaan dini terhadap
kemungkinan terjadinya fenomena abnormal
(penyimpangan) pada hasil pengamatan dan
dampak HAIs di fasilitas pelayanan kesehatan.
c. Terselenggaranya investigasi dan pengendalian
kejadian penyimpangan pada hasil pengamatan
dan dampak HAIs di fasilitas pelayanan
kesehatan.
Surveilans Penyakit Berbasis Lingkungan
Penerapan surveilans kesehatan lingkungan juga
diterapkan pada penyakit yang berbasis lingkungan.
Adapun beberapa klasifikasi kasus penyakit berbasis
lingkungan secara umum (Pitriani, Kiki Sanjaya, 2020):
1. Air Borne Disease
Penyakit ini merupakan penyakit menular yang
disebabkan oleh pathogen seperi virus, jamur atau
bakteri yang disebarkan melalui udara dan ditularkan
melalui perantara media udara. Air borne disease
dapat ditransmisikan melalui udara saat kita
bernafas, berbicara, bersin, batuk, dan aktivitas
lainnya yang menghasilkan partikel-partikel
(droplets). Contoh TBC Paru, ISPA, Difteri dan Pertusis
2. Water Borne Disease
Penyakit ini merupakan penyakit yang dapat menular
melalui media aair dan menyebar secara langsung
maupun tidak langsung melalui air. Penyakit-
penyakit yang di tularkan melalui air disebut water
borne disease atau water related disease. Berdasarkan

165
cara penularannya, maka penyakit yang berhubungan
dengan air dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Waterborne Mechanism
Kuman pathogen yang berada dalam air dapat
menyebabakan penyakit pada manusia,
ditularkan melalui mulut atau sistem pencernaan.
Contoh kolera, tifoid, hepatitis, disentri basiler
dan poliomyelitis.
b. Water Washed Mechanisme
Penyakit ini berkaitan dengan kebersihan individu
dan kebersihan umum, misalnya berupa infeksi
melalui alat pencernaan, seperti diare, infeksi
kulit dan mata, scabies dan trachoma, serta
penyakit melalui gigitan binatang pengerat,
seperti leptospirosis.
c. Water Based Mechanismse
Penyebab penyakit ini menjalani bagian siklus
hidupnya di dalam tubuh vektor atau sebagai
pejamu intermediate yang hidup di dalam air.
Contohnya Schistomiasis.
d. Water Related Insect Vector Mechanism
Jenis penyakit ini ditularkan melalui gigitan
serangga yang berkembang biak di dalam air.
Contohnya adalah filariasis, dengue, malaria,
demam kuning
3. Vector Borne Disease
Penyakit ini berbasis lingkungan dimana organisme
yang bersifat pathogen ditularkan dari individu yang
terinfeksi kepada individu lain melalui arthropoda
sebagai perantara host. Contohnya malaria, demam
berdarah.

166
4. Soil Transmitted Helminths (STH)
Soil Transmitted Helminths adalah nematoda usus
yang dalam siklus hidupnya membutuhkan
tanavingah untuk proses pematangan.
a. Cacing Gelang (Ascaris Lumbricoides)
b. Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)
c. Cacing Tambang (Necator americanus dan
Ancylostomaduodenale)
Adapun penyakit yang berbasis lingkungan adalah
sebagai berikut:
1) Demam Berdarah Dengue
2) Malaria
3) Penyakit Zoonosis (rabies, anthrax, flu burung,
leptospirosis, nipah, cacar monyet)
4) Penyakit Filariasis
5) Penyakit Diare
6) Penyakit Tifoid
7) Penyakit Kecacingan
8) Penyakit Kusta
9) Penyakit Frambusia
Sistem surveilans pada penyakit berbasis wilayah
dilakukan terhadap vektor ataupun binatang pembawa
penyakit, habitat vektor, bionomic vektor atau lebih
dikenal dengan survei entomologi. Terdapat empat (4) tipe
survei yang paling sering digunakan pada surveilans
entomologi yakni (Direktorat PTVZ, 2021):
1. Survei Pendahuluan
Survei pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan
data dasar keadan vektor secara cermat, guna
menyusun perencanaan pengendalian vektor dan
BPP. Misalnya: konfirmasi vektor, infection rate, peta

167
penyebaran vektor, musim kepadatan vektor,
kerentanan vektor terhadap insektisida.
2. Survei Rutin (Longitudinal Survei)
Survei yang dilakukan dengan observasi jangka
panjang dilakukan secara rutin yang bertujuan
monitoring permasalahan operasional dam teknis
ysang terjadi. Survei ini untu mengetahui fluktuasi
kepadatan vektor, perubahan bionomic vektor, umur
vektor, angka infeksi, perilaku dan kerentanan vektor
terhadap insektisida.
3. Survei Sewaktu (Spot Survei)
Survei ini dilakukan di wilayah terpilih sebagai
pendukung, survei rutin atau untuk mendapatkan
indikator yang jelas terkait dampak pengendalian
vektor yang telah dilakukan.
4. Survei Intensif/survei khusus
Survei intensif bertujuan untuk mengatasi masalah
yang terjadi karena kegiatan pengendalian vektor,
namun kepadatan vektor/kasus tidak menurun.
Survei sewaktu mencakup kegiatan survei-survei
antara lain:
a. Survei penentuan daerah potensial KLB
b. Survei penentuan penghentian penyemprotan
c. Survei daerah penyemprotan bermasalah
d. Evaluasi dampak entomologi/vektor terhadap
vektor
e. Pemetaan Tempat Perkembangbiakan
5. Investigasi focal
Investigasi focal dilakukan di wilayah penularan baru
serta untuk mengidentifikasi pendekatan terbaik
dalam pengendalian.

168
Daftar Pustaka
Abramson. J.H (1991). Metode Survei Dalam Kedokteran
Komunitas, Pengantar Studi Epidemiologi dan
Evaluatif. Edisi Ketiga. Yogyakarta: Universitas Gajah
Mada.
Bruce Cwatt. (1980). Essential Malariology. London:
William HeinemannMed.Book Ltd.
Damanhuri. (2009). Pengelolaan Limbah Edisi I. Bandung:
Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik
Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung.
Darmadi. (2008). Infeksi Nosokomial, Problema dan
Pengendaliannnya. Jakarta: Salemba Medika.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular
Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. (2021). Survei Vektor Malaria. Jakarta
German, R.R. (2001) Recommendations and Reports,
Update Guidelines for Evaluating Public Health
Surveillance System. Jakarta
Menteri Kesehatan. (1999). Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 829 Tahun 1999 tentang Persyaratan
Kesehatan Perumahan. Jakarta.
Menteri Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
431 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis
Pengendalian Risiko Kesehatan Lingkungan di
Pelabuhan/Bandara/Pos Lintas Batas dalam rangka
Kekarantinaan Kesehatan. Jakarta
Menteri Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
27 Tahun 2017 tentang Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan. Jakarta.
Menteri Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
18 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Limbah Medis
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Wilayah.
Jakarta.

169
Odi R. Pinontoan, Oksfriani J. Sumampouw & Jeini E.
Nelwan. (2019). Epidemiologi Kesehatan Lingkungan.
Yogyakarta: Penerbit Deepublish Pitriani, Kiki
Sanjaya. (2020). Buku Ajar Dasar Kesehatan
Lingkungan. Makasar: Univertas Makassar.
Purnomo, et.al, (1976). Development of the Timor Filaria in
Aedes. Preliminary observations. J of Par. Vol. 62,
No.6
Rasmaniar, Eni Mahawati, Puji Laksmin, Ni Wayan
Trisnadewi, Lalu Unsunnidhal, Deborah Siregar,
Martina Pakpahan, Agus Supinganto, Mila Sari.
(2020). Surveilans Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
Yayasan Kita Menulis
Sundararaman, S. (1958). The behavior of An. Sundaicus
in relation to the application of residual insectiiicides in
Cilacap, Indonesia. Indian J. Mal
Kementerian Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 431 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis
Pengendalian Risiko Kesehatan Lingungan di
Pelabuhan/Bandara/Pos Lintas Batas dalam rangka
Kekarantinaan Kesehatan. Jakarta

170
Profil Penulis
apt. Dedes Handayani, S.Farm., M.Si
Penulis dilahirkan di Kota Pekanbaru Provinsi
Riau pada Tanggal 14 April 1983. Merupakan anak
perama dari pasangan H. Gunadi dan Ibu Hj.
Murniati. Penulis menyelesaikan program S1 di
Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi lulus tahun 2013 dan
menyelesaikan Program Profesi Apoteker pada
institut yang sama. Pada Tahun 2018 penulis melanjutkan
Pendidikan pada Program Pasca Sarjana, Program Studi Ilmu
Lingkungan Peminatan Kesehatan Lingkungan, Universitas
Riau lulus tahun 2020. Penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri
Sipil (PNS) Kementrian Kesehatan Republik Indonesia dan
ditempatkan pada Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas III Dumai
sejak Tahun 2002, setelah mengabdi selama 3 Tahun penulis
kemudian pindah mengikuti suami pada Tahun 2005. Hingga
saat ini penulis bekerja pada Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas
II Pekanbaru yang merupakan Unit Pelaksana Teknis
Kementrian Kesehatan yang berada dibawah dan bertanggung
jawab kepada Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit. Penulis juga aktif dalam menulis jurnal
ilmiah dan aktif mengikuti kegiatan ilmiah dan organisasi
keprofesian yaitu Perhimpunan Ahli Entomologi Indonesia
(PEKI) dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Email Penulis: dedeshandayani1983@gmail.com

171
172
10
SISTEM SURVEILANS
KESEHATAN REPRODUKSI

Tating Nuraeni, S.ST., M.Kes


Universitas Wiralodra

Surveilans Kesehatan Reproduksi


Surveilans kesehatan reproduksi adalah sistem untuk
mengumpulkan, menganalisis, dan menafsirkan
informasi yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi
individu dan kelompok populasi. Tujuan dari sistem
surveilans kesehatan reproduksi adalah untuk
memperoleh informasi yang akurat dan terkini tentang
kesehatan reproduksi individu dan populasi serta untuk
mengidentifikasi masalah kesehatan reproduksi yang
memerlukan intervensi.
Kesehatan reproduksi merupakan bagian penting dari
kesehatan secara keseluruhan. Berbagai masalah
kesehatan reproduksi seperti kemandulan, penyakit
menular seksual, kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi
dan kanker reproduksi dapat mempengaruhi kesehatan
dan kesejahteraan individu, keluarga dan masyarakat
secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting untuk
memiliki sistem pemantauan kesehatan reproduksi yang
efektif untuk mengidentifikasi masalah kesehatan
reproduksi dan memantau tindakan kesehatan.

173
Sistem surveilans kesehatan reproduksi dapat terdiri dari
beberapa sumber data, termasuk data medis, data
penelitian, dan data yang dikumpulkan dari program
kesehatan. Informasi medis dapat berasal dari pusat
kesehatan nasional, rumah sakit dan dokter. Data survei
dapat dikumpulkan melalui survei kesehatan reproduksi
nasional atau daerah. Data dari program kesehatan dapat
berasal dari program pencegahan PMS, program KB, dan
program kanker reproduksi. Salah satu contoh sistem
kesehatan reproduksi di Indonesia adalah Sistem
Informasi Manajemen Kesehatan Reproduksi (SIMKA).
Simka adalah sistem yang dikembangkan oleh
Kementerian Kesehatan Indonesia yang mengumpulkan
informasi tentang kesehatan reproduksi di Indonesia.
Simka mengumpulkan informasi tentang puskesmas,
rumah sakit, dan dokter kota terkait dengan kehamilan,
persalinan, dan layanan kesehatan reproduksi lainnya.
Informasi ini kemudian digunakan untuk memantau
kesehatan reproduksi di Indonesia dan mengidentifikasi
masalah kesehatan yang perlu ditangani.
Pentingnya Sistem Surveilans Kesehatan Reproduksi
Sistem surveilans kesehatan reproduksi sangat penting
dalam memantau dan mencegah masalah kesehatan
reproduksi. Beberapa contoh masalah kesehatan
reproduksi yang dapat diidentifikasi dan ditangani melalui
sistem surveilans antara lain:
1. Penyebaran Penyakit Menular Seksual
Sistem surevilans dapat membantu memantau
penyebaran penyakit menular seksual dan
menentukan tindakan yang tepat untuk mencegah
penyebarannya. Informasi dari sistem surveilans
dapat membantu mengidentifikasi populasi yang
berisiko tinggi terhadap IMS dan memberikan

174
informasi yang diperlukan untuk mengembangkan
program pencegahan yang efektif.
2. Kehamilan yang tidak diinginkan
Sistem surveilans dapat membantu memantau jumlah
kehamilan yang tidak diinginkan dan memberikan
informasi tentang faktor-faktor yang berkontribusi
terhadap kehamilan yang tidak diinginkan. Informasi
ini dapat digunakan untuk mengembangkan program
pendidikan dan intervensi untuk mengurangi
kehamilan yang tidak diinginkan.
3. Kematian ibu dan anak
Sistem surveilans dapat membantu memantau dan
mencegah kematian ibu dan bayi baru lahir terkait
kehamilan dan persalinan. Informasi dari sistem
surveilans dapat membantu mengidentifikasi faktor
risiko dan mengembangkan program intervensi untuk
mengurangi kematian ibu dan anak.
Komponen Sistem Surveilans Kesehatan Reproduksi
Sistem surveilans kesehatan reproduksi terdiri dari
beberapa komponen penting, yaitu:
1. Pengumpulan data
Pengumpulan data melibatkan proses pengumpulan
informasi tentang kesehatan reproduksi individu dan
populasi. Informasi dapat dikumpulkan dari berbagai
sumber, seperti layanan kesehatan, survei dan
laporan dari instansi dan organisasi terkait.
2. Analisis data
Analisis data melibatkan pengorganisasian,
pemrosesan, dan analisis data yang dikumpulkan.
Tujuan analisis data adalah untuk mengidentifikasi
tren dan pola kesehatan reproduksi, serta masalah
kesehatan reproduksi yang memerlukan tindakan.

175
3. Interpretasi data
Interpretasi data melibatkan proses menafsirkan hasil
analisis data dan mengidentifikasi implikasi kebijakan
dan program. Interpretasi data sangat penting dalam
pengambilan keputusan tentang program kesehatan
reproduksi.
4. Pelaporan
Pelaporan meliputi mengkomunikasikan hasil
surveilans kesehatan reproduksi kepada berbagai
pihak seperti pemerintah, fasilitas kesehatan dan
masyarakat. Pelaporan ini penting untuk memastikan
bahwa informasi yang diperoleh dari surveilans
kesehatan reproduksi dapat digunakan secara efektif
untuk menginformasikan keputusan dan
mengembangkan program kesehatan reproduksi yang
efektif.
5. Tindak lanjut
Surveilans mencakup tindakan berdasarkan laporan
hasil surveilans kesehatan reproduksi. Pemantauan
ini dapat berupa program intervensi, program
pendidikan atau kebijakan kesehatan.

Gambar 10.1. Langka Kegiatan Surveilans Kesehatan


Reproduksi

176
Keuntungan Sistem Surveilans Kesehatan Reproduksi
Sistem surveilans kesehatan reproduksi memiliki
beberapa keuntungan, antara lain:
1. Mendapat informasi yang akurat
Sistem surveilans kesehatan reproduksi dapat
digunakan untuk memantau dan memperoleh
informasi yang akurat dan terkini tentang status
kesehatan reproduksi individu dan kelompok
populasi.
2. Identifikasi masalah kesehatan reproduksi yang
memerlukan intervensi
Sistem surveilans kesehatan reproduksi dapat
membantu mengidentifikasi masalah kesehatan
reproduksi yang memerlukan intervensi, seperti
penyebaran penyakit menular seksual atau kehamilan
yang tidak diinginkan.
3. Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan
reproduksi
Informasi dari sistem kesehatan reproduksi dapat
membantu meningkatkan kualitas layanan kesehatan
reproduksi dan menginformasikan pengembangan
program kesehatan reproduksi yang efektif.
4. Prioritas intervensi kesehatan reproduksi
Sistem pemantauan Kesehatan Reproduksi dapat
membantu memprioritaskan pengukuran kelembapan
relatif dan memberikan informasi yang diperlukan
untuk mengembangkan program Kesehatan
Reproduksi yang efektif.
5. Evaluasi program kesehatan reproduksi
Sistem surveilans kesehatan reproduksi dapat
digunakan untuk mengevaluasi efektivitas program

177
kesehatan reproduksi yang dilaksanakan dan
memastikan keberhasilan program dalam mencapai
tujuan yang diinginkan.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
mengembangkan dan menerapkan sistem surveilans
kesehatan reproduksi, antara lain:
1. Keterlibatan masyarakat
Partisipasi masyarakat dalam pengembangan dan
pelaksanaan sistem surveilans kesehatan reproduksi
sangat penting untuk memastikan bahwa sistem
tersebut memenuhi kebutuhan dan kepentingan
masyarakat.
2. Ketersediaan sumber daya yang memadai
Sumber daya yang memadai seperti sumber daya
manusia terlatih, peralatan, dan anggaran diperlukan
untuk memastikan keberhasilan sistem surveilans
Kesehatan Reproduksi.
3. Kerjasama antar berbagai pihak
Untuk memastikan keberhasilan sistem surveilans
kesehatan reproduksi, kerjasama antara berbagai
pihak seperti otoritas kesehatan, pemerintah dan
masyarakat sangat penting.
4. Perlindungan privasi dan keamanan informasi
Perlindungan privasi dan keamanan informasi adalah
masalah penting untuk dipertimbangkan saat
mengumpulkan, menganalisis, dan melaporkan data
kesehatan reproduksi.
5. Konsistensi dan daya tahan
Kesinambungan dan kesinambungan sistem
pemantauan kesehatan reproduksi sangat penting
agar informasi yang diperoleh dapat digunakan secara

178
konsisten dan berkesinambungan dalam pengambilan
keputusan dan dalam pengembangan program
kesehatan reproduksi.
Dengan perhatian terhadap hal-hal tersebut, sistem
surveilans kesehatan reproduksi dapat menjadi alat yang
efektif untuk memantau status kesehatan reproduksi dan
mengembangkan program kesehatan reproduksi yang
efektif.
Tantangan Implementasi Sistem Surveilans Kesehatan
Reproduksi
Beberapa tantangan yang mungkin dihadapi dalam
pengembangan dan pelaksanaan sistem surveilans
kesehatan reproduksi antara lain:
1. Sumber daya yang terbatas
Keterbatasan sumber daya seperti SDM, anggaran
dan infrastruktur dapat menjadi kendala dalam
pengembangan dan implementasi sistem pelayanan
kesehatan reproduksi.
2. Kerahasiaan informasi
Kerahasiaan data dapat menjadi masalah dalam
sistem surveilans kesehatan reproduksi, terutama bila
diperlukan untuk mengumpulkan dan melaporkan
informasi sensitif, seperti informasi tentang kesehatan
reproduksi individu.
3. Kesulitan pengumpulan data
Pengumpulan data bisa rumit dan memakan waktu,
terutama ketika data harus dikumpulkan dari
berbagai sumber, tersebar, dan heterogen.
4. Tantangan budaya dan sosial
Tantangan budaya dan sosial dapat menciptakan
hambatan dalam pengumpulan dan pelaporan data

179
surveilans kesehatan reproduksi, terutama di daerah
dengan norma dan nilai budaya yang berbeda.
5. Penggunaan informasi dalam pengambilan keputusan
Penggunaan data pemantauan kesehatan reproduksi
dalam pengambilan keputusan dapat menjadi
masalah jika data tersebut tidak lengkap, tidak
akurat, atau tidak relevan dari sudut pandang
kebutuhan pengambilan keputusan.
Untuk menjawab tantangan tersebut, pengembangan dan
penguatan sistem surveilans kesehatan reproduksi
memerlukan kerjasama berbagai pihak seperti
pemerintah, institusi kesehatan dan masyarakat.
Manfaat Pengembangan dan Implementasi Sistem
Surveilans Kesehatan Reproduksi
Manfaat mengembangkan dan menerapkan sistem
surveilans kesehatan reproduksi.
1. Percepatan perencanaan program kesehatan
reproduksi
Data surveilans kesehatan reproduksi dapat
membantu merancang dan mengembangkan program
kesehatan reproduksi yang lebih efektif dan efisien.
2. Mendukung pemantauan kondisi kesehatan
reproduksi
Sistem surveilans kesehatan reproduksi membantu
memantau kondisi kesehatan reproduksi secara
berkala dan tepat waktu sehingga masalah kesehatan
reproduksi dapat diwaspadai sejak dini.
3. Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan
reproduksi
Data surveilans kesehatan reproduksi dapat
membantu meningkatkan kualitas pelayanan

180
kesehatan reproduksi dengan mengidentifikasi
masalah kesehatan reproduksi dan menentukan
intervensi yang tepat.
4. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan kesehatan
reproduksi
Sistem surveilans kesehatan reproduksi dapat
membantu meningkatkan kesadaran masyarakat
akan pentingnya menjaga kesehatan reproduksi dan
pentingnya akses terhadap pelayanan kesehatan
reproduksi.
5. Meningkatkan akurasi dan reliabilitas data kesehatan
reproduksi
Sistem surveilans kesehatan reproduksi dapat
membantu meningkatkan keakuratan dan keandalan
data kesehatan reproduksi sehingga dapat digunakan
untuk membuat dan mengevaluasi keputusan
kebijakan kesehatan reproduksi yang lebih tepat.
Karena keunggulan tersebut, sistem kesehatan
reproduksi dapat menjadi alat penting untuk
meningkatkan kesehatan reproduksi dan kesejahteraan
masyarakat. Beberapa hal diperlukan untuk menciptakan
sistem surveilans kesehatan reproduksi yang efektif,
antara lain:
1. Standar dan pedoman yang jelas
Standar dan pedoman yang jelas diperlukan untuk
memandu pengembangan dan implementasi sistem
surveilans kesehatan reproduksi, seperti pedoman
tentang jenis data yang dikumpulkan, frekuensi
pengumpulan data dan pelaporan.
2. Sumber daya yang cukup
Mengembangkan dan menerapkan sistem surveilans
kesehatan reproduksi yang efektif membutuhkan

181
sumber daya yang memadai seperti sumber daya
manusia, anggaran, dan infrastruktur.
3. Mengembangkan kapasitas tenaga kesehatan
Profesional kesehatan terlatih diperlukan untuk
mengumpulkan, menganalisis, dan melaporkan data
surveilans kesehatan reproduksi. Oleh karena itu,
peningkatan kapasitas tenaga kesehatan sangat
penting untuk keberhasilan sistem surveilans
kesehatan reproduksi.
4. keterlibatan komunitas
Keterlibatan masyarakat dalam pendataan surveilans
kesehatan reproduksi dapat membantu
meningkatkan partisipasi dan kepatuhan
masyarakat, serta meningkatkan kualitas dan akurasi
data.
5. Penggunaan teknologi tepat guna
Penggunaan teknologi yang tepat (misalnya, sistem
informasi kesehatan dan perangkat lunak manajemen
data) dapat membantu pengumpulan, pemrosesan,
dan pelaporan data surveilans kesehatan reproduksi
secara lebih efisien dan efektif.
Dalam mengembangkan sistem surveilans kesehatan
reproduksi yang efektif juga perlu melibatkan
berbagai pihak seperti pemerintah, institusi
kesehatan, masyarakat dan organisasi internasional
untuk memastikan sistem tersebut berjalan dengan
baik dan mencapai tujuan yang diinginkan.

182
Daftar Pustaka
World Health Organization. (2018). Reproductive health.
Diakses dari
https://www.who.int/topics/reproductive_health/e/
Centers for Disease Control and Prevention. (2021).
Reproductive and sexual health. Diakses dari
https://www.cdc.gov/reproductivehealth/index.html
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2017).
Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun
2015-2019. Diakses dari
https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/
pusdatin/profil-kesehatan-
indonesia/Renstra%20Kemenkes%202015-2019.pdf
Pangestu, M. (2019). Sistem Surveilans Kesehatan
Reproduksi. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional,
13(3), 107-112.
Nugroho, W., & Ghozali, M. (2019). Analisis sistem
surveilans kesehatan reproduksi di Kabupaten
Sragen. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 10(2), 90-
98.
Mboi, N. (2017). Reforming Indonesia's Health System: The
Big Challenge Ahead. Health Systems & Reform, 3(1),
1-4.
Nisa, F., & Yusuf, A. (2021). Faktor-faktor yang
mempengaruhi partisipasi petugas puskesmas dalam
kegiatan sistem surveilans kesehatan reproduksi di
Kabupaten Gorontalo. Jurnal Ilmiah Kesehatan (JIK),
12(2), 58-66.
Badan Pusat Statistik. (2018). Statistik Indonesia 2018.
Diakses dari
https://www.bps.go.id/publication/2018/11/05/3b
81e23a38b5ab5c97a93509/statistik-indonesia-
2018.html

183
International Planned Parenthood Federation. (2019).
Reproductive Health and Rights: Global Overview.
Diakses dari https://www.ippf.org/our-work/what-
we-do/reproductive-health-and-rights/reproductive-
health-and-rights-global-overview
United Nations Population Fund. (2020). Reproductive
Health. Diakses dari https://www.unfpa.org/sexual-
reproductive-health

184
Profil Penulis
Tating Nuraeni, S.ST., M.Kes
Lahir di Majalengka pada tanggal 15 November
1988, saya menempuh pendidikan D.III
Kebidanan Stikes YPIB Majalengka lulusan 2009
dan melanjutkan Study D.IV Bidan Pendidik
lulusan 2011 dan Magister Kesehtan Masyarakat di Universitas
Respati Indonesia lulusan 2014, saya bekerja sebagai Dosen
Tetap Yayasan Universitas Wiralodra di Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Wiralodra sejak tahun 2015 sampai
sekarang. Saya mengampu mata Kuliah Dasar Kesehatan
Reproduksi, Surveilans Epidemiologi Kesehatan Masyarakat,
Komunikasi Kesehatan, Gizi dalam daur kehidupan dan
Sosioantroplogi Kesehatan. penulis juga Aktif Menulis dalam
menulis Bahan Ajar Ilmu Keperawatan Dasar, menulis bahan
ajar Metode dan Model Pembelajaran, Buku Kesehtan
Reproduksi Remaja dan Ibu Hamil, Book Chapter Kesehatan
Ibu, anak dan keluarga berencana. selain itu saya juga Aktif di
Organisasi Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI)
Kabupaten Indramayu, Organisasi Ikatan Bidan Indonesia (IBI)
Kabupaten Indramayu, Organisasi Ikatan Cendekia Muslim
Indonesia (ICMI) Muda Kabupaten Indaramayu serta TP-PKK
Kec. Cantigi, Saya mempunyai Hobi olahraga terutama dalam
olahraga senam. Saya merupakan salah satu bidan Praktek
Swasta yang ada di kabupaten Indramayu. suami saya adalah
seorang Perawat yang beralih menjadi Struktural di salah satu
Kecamatan Kabupaten Indramayu, Saya memiliki tiga orang
anak yaitu Joko Prasetyo, Angelina Nur Aisyah dan Bagus
Alfarizki.
Email Penulis: tatingnuraeni@gmail.com

185
186
11
SISTEM SURVEILANS
KESEHATAN MATRA

Diah Adni Fauziah, SKM., M.Epid


Universitas Bhakti Kencana

Pengertian
Surveilans kesehatan matra adalah analisis terus-
menerus dan sistematis terhadap masalah dan faktor
risiko dalam rangka mendukung upaya kesehatan matra.
Matra adalah dimensi lingkungan/wahana/media tempat
seseorang atau sekelompok orang melangsungkan hidup
serta melaksanakan kegiatan.
Kesehatan matra adalah upaya kesehatan dalam bentuk
khusus yang diselenggarakan untuk meningkatkan
kemampuan fisik dan mental guna menyesuaikan diri
terhadap lingkungan yang serba berubah secara
bermakna, baik di lingkungan darat, laut, maupun udara
(Permenkes RI, 2013).
Tujuan Kesehatan Matra
Untuk mewujudkan upaya kesehatan pada kondisi matra
secara cepat, tepat, menyeluruh, dan terkoordinasi guna
menurunkan potensi risiko kesehatan, meningkatkan
kemampuan adaptasi, dan mengendalikan risiko
Kesehatan, secara khusus, kesehatan matra dibentuk
dengan tujuan sebagai berikut:

187
1. Meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan
masyarakat dalam menurunkan risiko.
2. Memelihara kesehatan masyarakat dalam
menghadapi kondisi matra agar tetap sehat dan
mandiri.
Penyelenggaraan Kesehatan Matra
Surveilans Kesehatan matra dilakukan oleh pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat dengan bekerjasama
dengan negara lain dan/atau Lembaga internasional baik
secara bilateral maupun multilateral. Pelaporan
berjenjang yang terdiri dari laporan pra kejadian,
kejadian, dan pasca kejadian.
Lingkup penyelenggaraan Kesehatan matra yaitu:
1. Mencegah dan mengurangi risiko Kesehatan.
2. Meningkatkan kemampuan adaptasi agar tidak
menimbulkan risiko Kesehatan.
3. Menurunkan dan menghilangkan faktor risiko
Kesehatan guna mencegah terjadinya penyakit,
kecacatan, dan/atau gangguan Kesehatan serta
melakukan pengobatan.
Jenis Kesehatan Matra
Kesehatan matra menurut Peraturan Menteri Kesehatan
RI Nomor 61 Tahun 2013 tentang Kesehatan matra terbagi
menjadi beberapa jenis, yaitu:
1. Kesehatan Lapangan
Kesehatan lapangan adalah kesehatan matra yang
berhubungan dengan pekerjaan atau kegiatan di
darat yang bersifat temporer pada lingkungan yang
berubah. Kesehatan lapangan terbagi menjadi
beberapa bagian, yaitu:

188
a. Kesehatan Perpindahan Penduduk
Kesehatan perpindahan penduduk merupakan
Kesehatan Matra yang dilakukan terhadap
masyarakat yang melakukan perpindahan ke
tempat baru yang bersifat menetap, yang
diselenggarakan pada saat sebelum perpindahan,
selama proses perpindahan, dan setelah
menempati tempat baru sampai dengan adanya
pelayanan Kesehatan permanen. Kesehatan jenis
ini misalnya Kesehatan transmigrasi dan
Kesehatan relokasi.

Gambar 11.1. Kegiatan Kesehatan Perpindahan


b. Kesehatan Migran
Kesehatan migran merupakan Kesehatan Matra
yang dilakukan terhadap migran, yang
diselenggarakan pada saat sebelum
keberangkatan, selama proses perjalanan, dan
hingga Kembali ke tanah air.

189
Gambar 11.2. Kegiatan Kesehatan Migran
c. Kesehatan Haji dan Umroh
Kesehatan haji dan umrah merupakan Kesehatan
Matra yang AAdilakukan terhadap jemaah haji
dan umrah serta pihak petugas yang terkait,
mulai dari perjalanan pergi, selama di Arab Saudi,
pulang dari Arab Saudi sampai dengan 2 (dua)
minggu setelah tiba kembali ke tanah air.
Menteri Kesehatan berkewajiban melakukan
pembinaan dan pelayanan kesehatan ibadah haji,
baik pada saat persiapan maupun pelaksanaan
Penyelenggaraan Ibadah Haji dan kewaspadaan
terhadap penularan penyakit yang terbawa oleh
jemaah haji, yang dalam pelaksanaannya
berkoordinasi dengan sektor terkait dan
pemerintah daerah. Pembinaan dan pelayanan
kesehatan bagi jemaah haji dilaksanakan secara
menyeluruh yang meliputi upaya promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif, dan dalam
pelaksanaannya perlu kerjasama berbagai pihak
terkait, sektor dan pemerintah daerah, serta perlu
adanya pedoman yang dapat menjadi acuan
penyelenggaraan kesehatan haji di tanah air, di
embarkasi dan debarkasi serta selama perjalanan
di Arab Saudi (Permenkes RI, 2009).

190
Ruang lingkup kegiatan Kesehatan haji dan umroh
sebagai berikut:
a. Bimbingan, Penyuluhan dan Pelayanan
Kesehatan
1) Pelayanan Kesehatan
2) Bimbingan dan Penyuluhan Kesehatan
b. Pengendalian Faktor Risiko Kesehatan dan
Penyehatan Lingkungan
1) Imunisasi
2) Surveilans Epidemiologi, SKD - Respon KLB
3) Pencegahan dan Penanggulangan KLB
4) Penanggulangan Musibah Massal
5) Sanitasi dan Penyehatan Lingkungan
c. Promosi dan Komunikasi Publik
d. Kajian Dan Penelitian
e. Pencatatan – Pelaporan dan Sistem Informasi
Manajemen Kesehatan Haji
f. Pengelolaan Sumber Daya Kesehatan
1) Perekrutan Dan Penggerakan Tenaga
Kesehatan Haji
2) Peningkatan Kemampuan Tenaga Kesehatan
Haji
3) Sediaan Farmasi, Alkes Dan Logistik
Kesehatan Haji
4) Fasilitas Kesehatan Medis & Nonmedis
Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi bertujuan agar
tersedia data dan informasi epidemiologi sebagai
dasar manajemen kesehatan untuk pengambilan
keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan,

191
pemantauan, evaluasi program kesehatan haji dan
peningkatan kewaspadaan serta respon kejadian luar
biasa yang cepat dan tepat secara nasional, propinsi
dan kabupaten/kota serta dalam operasional
penyelenggaraan haji
a. Mengetahui kinerja penyelenggaraan haji dan
deteksi masalah kesehatan jemaah dengan
identifikasi risiko wafat menurut waktu dan
daerah kerja (angka kematian jemaah per hari per
10.000 jemaah) serta menurut
provinsi/kabupaten/kota (angka kematian per
1000 jemaah selama perjalanan ibadah haji + 14
hari).
b. Mengetahui kinerja pelayanan, bimbingan dan
penyuluhan Kesehatan jemaah dengan
identifikasi prosentase kunjungan pelayanan
menurut usia dan angka kematian jemaah
menurut lokasi jemaah meninggal.
c. Mengetahui pola kesakitan dan kematian
menurut penyebab, waktu, tempat dan
karakteristik jemaah dengan identifikasi data
kesakitan dan kematian jemaah menurut
diagnosis, waktu, daerah kerja di Arab Saudi dan
unit-unit pelayanan serta di tanah air, baik di
embarkasi/debarkasi maupun daerah (kurva,
proporsi dan rate).
d. Mengetahui kinerja penyehatan lingkungan
asrama di embarkasi dan debarkasi dengan
identifikasi pemeriksaan dan penilaian Kesehatan
lingkungan asrama secara berkala.
e. Mengetahui kinerja gizi dan keamanan makanan
Menurut wilayah kerjanya surverilans
epidemiologi kesehatan haji dibagi menjadi

192
surveilans epidemiologi ditanah air (daerah dan
embarkasi/debarkasi), surveilans epidemiologi
selama penerbangan dan surveilans epidemiologi
di Arab Saudi.
Surveilans epidemiologi di tanah air
1) Surveilans epidemiologi kesehatan jemaah
haji berdasarkan pemeriksaan kesehatan di
daerah.
2) Surveilans epidemiologi kesehatan jemaah
haji berdasarkan pemeriksaan kesehatan di
Embarkasi/Debarkasi Haji.
3) Surveilans epidemiologi kesehatan pasca Haji
melalui K3JH.
4) Surveilans epidemiologi kesehatan
lingkungan asrama embarkasi/debarkasi.
5) Pemantauan kebutuhan vaksin, obat dan alat
kesehatan
Surveilans epidemiologi di perjalanan
a. Pengamatan perjalanan penerbangan.
b. Pengamatan perjalanan darat /Laut.
c. Dari daerah asal ke embarkasi/debarkasi dan
sebaliknya.
d. Dari embarkasi ke airport dan sebaliknya
Surveilans di Arab Saudi
a. Surveilans epidemiologi kesehatan jemaah di
kloter.
b. Surveilans epidemiologi kesehatan jemaah di Sub
BPHI.
c. Surveilans epidemiologi kesehatan jemaah BPHI.

193
d. Surveilans epidemiologi di RS Arab Saudi.
e. Surveilans Epidemiologi di Armina.
Data dan informasi kesehatan haji sebagai hasil
kegiatan surveilans epidemiologi disampaikan
secara teratur kepada tim operasional
penyelenggara kesehatan haji agar dapat
dimanfaatkan dalam upaya penyelenggaraan
kesehatan haji yang lebih efektif dan efisien.
Temuan adanya masalah kesehatan haji yang
memerlukan penjelasan lebih cermat, ditulis dan
dibahas pada pertemuan antar program di daerah
kerja. Data, informasi dan rekomendasi sebagai
hasil kegiatan surveilans epidemiologi kesehatan
haji disampaikan kepada semua pihak yang
terkait dengan upaya kesehatan haji, pusat-pusat
penelitian dan pusat-pusat kajian serta
pertukaran data dalam jejaring surveilans
epidemiologi kesehatan haji.
d. Kesehatan Penanggulangan Bencana
Kesehatan penanggulangan bencana merupakan
Kesehatan Matra yang dilakukan untuk
mengurangi Risiko Kesehatan pada tahap tanggap
darurat.
Surveilans penyakit dan faktor risiko pada
umumnya merupakan suatu upaya untuk
menyediakan informasi kebutuhan pelayanan
kesehatan di lokasi bencana dan pengungsian
sebagai bahan tindakan kesehatan segera.
Tujuan khusus surveilans penyakit dan faktor
risiko pada penanggulangan bencana, yaitu:
1) menyediakan informasi kematian dan
kesakitan penyakit potensial wabah yang
terjadi di daerah bencana;

194
2) mengidentifikasikan sedini mungkin
kemungkinan terjadinya peningkatan jumlah
penyakit yang berpotensi menimbulkan KLB;
3) mengidentifikasikan kelompok risiko tinggi
terhadap suatu penyakit tertentu;
4) mengidentifikasikan daerah risiko tinggi
terhadap penyakit tertentu;
5) mengidentifikasikan status gizi buruk dan
sanitasi lingkungan (Depkes RI, 2007).

Langkah-langkah surveilans penyakit di daerah bencana


meliputi:

195
Gambar 11.3
Langkah-langkah Surveilans Penyakit di Daerah Bencana
e. Kesehatan bawah tanah
Kesehatan bawah tanah merupakan Kesehatan
Matra yang dilakukan terhadap pekerja bawah
tanah, yang diselenggarakan pada saat persiapan
sebelum kegiatan dilaksanakan, kegiatan
operasional, dan setelah kegiatan operasional
sampai dengan 24 jam.

196
Gambar 11.4. Kegiatan Kesehatan Bawah Tanah

197
f. Kesehatan gangguan keamanan dan ketertiban
masyarakat
Kesehatan situasi gangguan keamanan dan
ketertiban masyarakat merupakan Kesehatan
Matra yang dilakukan terhadap masyarakat dan
petugas yang terpajan pada situasi gangguan
keamanan dan ketertiban, meliputi kegiatan
kesiapan antisipasi terhadap kemungkinan
adanya risiko Kesehatan situasi keamanan dan
ketertiban masyarakat dan kegiatan operasional
Kesehatan penanggulangan risiko Kesehatan
akibat situasi keamanan dan ketertiban
masyarakat.

Gambar 11.5. Kegiatan Kesehatan Gangguan


Keamanan dan Ketertiban Masyarakat

198
g. Kesehatan dalam tugas operasi dan Latihan
militer di darat
Kesehatan dalam tugas operasi dan latihan militer
di darat merupakan Kesehatan Matra untuk
mendukung kesehatan prajurit di satuan militer
dan pemberian pertolongan medik kepada korban
dalam kegiatan operasi militer perang dan selain
perang, serta tugas latihan militer di darat.
h. Kesehatan pada arus mudik
Kesehatan pada arus mudik merupakan
Kesehatan Matra bagi masyarakat terpajan pada
arus mudik dan arus balik yang diselenggarakan
pada saat persiapan dan selama arus mudik dan
arus balik.

Gambar 11.6. Kegiatan Kesehatan pada Arus Mudik


i. Kesehatan pada kegiatan di area tertentu
Kesehatan pada kegiatan di area tertentu
merupakan Kesehatan Matra bagi masyarakat
terpajan pada kegiatan lomba lintas alam, pekan
olahraga, lokasi wisata, festival Bahari, festival
keagamaan, pekan adat, seni, dan budaya,
jambore perkemahan, dan konvensi tingkat
nasional dan internasional. Kesehatan pada area

199
tertentu dilaksanakan saat persiapan sebelum
kegiatan dan pelaksanaan selama
berlangsungnya kegiatan.

Gambar 11.7 Kegiatan di area tertentu


j. Kesehatan dalam penugasan khusus kepolisian
Kesehatan dalam penugasan khusus kepolisian
merupakan Kesehatan Matra yang dilakukan
untuk tujuan/misi tertentu dan dalam waktu
tertentu setelah memenuhi persyaratan di luar
tugas rutin kedokteran dan kesehatan kepolisian
yang meliputi periode darurat keamanan dan
ketertiban masyarakat di wilayah konflik di dalam
negeri.
2. Kesehatan Kelautan dan Bawah Air
Kesehatan Kelautan dan Bawah Air adalah kesehatan
matra yang berhubungan dengan pekerjaan atau
kegiatan di laut dan berhubungan dengan keadaan
lingkungan yang bertekanan tinggi (hiperbarik).
Kesehatan kelautan dan bawah air terbagi menjadi
beberapa jenis, yaitu:
a. Kesehatan penyelaman
Kesehatan penyelaman merupakan Kesehatan
Matra yang dilakukan terhadap masyarakat yang
melakukan aktivitas di lingkungan bertekanan
lebih dari satu atmosfer absolut.

200
b. Kesehatan pelayaran dan lepas pantai
Kesehatan pelayaran dan lepas pantai merupakan
Kesehatan Matra yang dilakukan terhadap
penumpang, awak kapal, dan/atau pekerja lepas
pantai.
c. Kesehatan dalam tugas operasi dan Latihan
militer di laut
Kesehatan dalam tugas operasi dan latihan militer
di laut merupakan Kesehatan Matra untuk
mendukung kesehatan prajurit di satuan militer
dan pemberian pertolongan medik kepada korban
dalam kegiatan operasi militer perang dan selain
perang, serta tugas latihan militer di laut.
3. Kesehatan Kedirgantaraan
Kesehatan Kedirgantaraan adalah kesehatan matra
yang berhubungan dengan penerbangan dan
kesehatan ruang angkasa dengan keadaan
lingkungan yang bertekanan rendah (hipobarik).
Kesehatan kedirgantaraan terbagi menjadi beberapa
jenis, yaitu:
a. Kesehatan penerbangan dan ruang angkasa
Kesehatan penerbangan dan ruang angkasa
merupakan Kesehatan Matra yang dilakukan
terhadap pekerja dan/atau pelaku kegiatan
penerbangan dan ruang angkasa
b. Kesehatan dalam tugas operasi dan Latihan
militer di udara
Kesehatan dalam tugas operasi dan latihan militer
di udara merupakan Kesehatan Matra untuk
mendukung kesehatan terhadap personil di
satuan militer dan pemberian pertolongan medik
terhadap para korban dalam operasi atau latihan
militer di udara.

201
Daftar Pustaka
Depkes RI (2007) ‘Buku Pedoman Teknis Penanggulangan
Krisis Kesehatan Akibat Bencana’.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
145/Menkes/SK/I/2007 tentang Pedoman
Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan;
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi
Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1501/Menkes/Per/X/2010 tentang Jenis Penyakit
Tertentu yang dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya
Penanggulangannya
Permenkes RI (2009) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
442/Menkes/SK/VI/2009 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Kesehatan Haji Indonesia.
Permenkes RI (2013) eraturan Menteri Kesehatan Nomor 61
Tahun 2013 tentang Kesehatan Matra.

202
Profil Penulis
Diah Adni Fauziah, SKM., M.Epid
Penulis dilahirkan di Jakarta pada Tanggal 9
Maret 1991. Merupakan anak pertama dari
pasangan Wurdono dan Ibu Husnul Hayati.
Penulis menyelesaikan program S1 di Program
Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Jenderal
Soedirman lulus tahun 2013 dan menyelesaikan
program S2 di Program Studi Epidemiologi Komunitas Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia lulus tahun 2016.
Penulis pernah bekerja sebagai dosen di Program Studi
Kesehatan Masyarakat STIKES Wijaya Husada Bogor dan
Program Studi Kesehatan Masyarakat di Universitas Bhakti
Kencana Bandung. Penulis pernah menjabat sebagai Lembaga
Penjaminan Mutu Universitas Bhakti Kencana. Penulis juga
aktif dalam kegiatan ilmiah dan organisasi keprofesian yaitu
Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI). Sehari-
harinya bekerja sebagai dosen pengampu mata kuliah dasar
epidemiologi, epidemiologi penyakit menular, epidemiologi
penyakit tidak menular, epidemiologi pelayanan Kesehatan
primer, surveilans kesehatan masyarakat, biostatistik deskriptif
dan inferensial, manajemen data, dan metodologi penelitian
(kuantitatif dan kualitatif). Selain itu penulis juga aktif dalam
menulis jurnal nasional maupun internasional serta aktif
menulis buku ajar dan book chapter.
Email Penulis: diah.adni@bku.ac.id

203
204
12
SISTEM SURVEILANS
PENYAKIT MENULAR

Ari Susanti, S.KM., M.Kes


Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Hang Tuah Surabaya

Pengertian
Penyakit menular masih menjadi masalah utama
kesehatan masyarakat Indonesia. Penyakit menular tidak
mengenal batas-batas daerah administratif, sehingga
pemberantasan penyakit menular memerlukan kerjasama
antar daerah, misalnya antar propinsi, kabupaten/kota
bahkan antar negara. Salah satu upaya yang perlu
dilakukan untuk memberantas penyakit menular adalah
dengan menerapkan sistem surveilans penyakit yang
mampu memberikan dukungan upaya program dalam
daerah kerja Kabupaten/Kota, Propinsi dan Nasional,
dukungan kerjasama antar program dan sektor serta
kerjasama antara Kabupaten/Kota, Provinsi, Nasional
dan Internasional (Kemenkes RI, 2003b)
Surveilans penyakit menular merupakan kegiatan analisis
terus menerus dan sistematis terhadap penyakit menular
dan faktor risiko untuk mendukung upaya
pemberantasan penyakit menular (Kemenkes RI, 2003a).
Sistem surveilans epidemiologi merupakan tatanan
prosedur penyelenggaraan surveilans epidemiologi yang
terintegrasi antara unit-unit penyelenggara surveilans

205
dengan laboratorium, sumber-sumber data, pusat
penelitian, pusat kajian dan penyelenggara program
kesehatan, meliputi tata hubungan surveilans
epidemiologi antar wilayah Kabupaten/Kota, Propinsi dan
Pusat (Kemenkes RI, 2003a).
Pada awalnya, surveilans dilakukan untuk penyakit-
penyakit menular, namun saat ini juga digunakan untuk
kondisi-kondisi seperti malformasi kongenital, kanker,
asma dan keracunan bahan kimia, cidera dan sakit
setelah bencana alam seperti badai katrina maupun
gempa bumi (Swarjana, 2017).
Prioritas sasaran penyelenggaraan surveilans
epidemiologi penyakit menular menurut kementrian
kesehatan adalah (Kemenkes RI, 2003a):
1. Surveilans penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi
2. Surveilans AFP
3. Surveilans penyakit potensial wabah atau kejadian
luar biasa penyakit menular dan keracunan
4. Surveilans penyakit demam berdarah dan demam
berdarah dengue
5. Surveilans malaria
6. Surveilans penyakit-penyakit zoonosis, antraks,
rabies, leptospirosis dan sebagainya
7. Surveilans penyakit filariasis
8. Surveilans penyakit tuberkulosis
9. Surveilans penyakit diare, tipus perut, kecacingan
dan penyakit perut lainnya
10. Surveilans penyakit kusta
11. Surveilans penyakit frambosia

206
12. Surveilans penyakit HIV/AIDS
13. Surveilans penyakit menular seksual
14. Surveilans penyakit pnemonia, termasuk penyakit
pneumonia akut berat
15. (severe acute respiratory syndrome)
Berdasarkan prevalensi/kejadian kesakitan dan
karakteristik Penyakit Menular, target Program
Penanggulangan Penyakit Menular meliputi:
1. Reduksi
Merupakan upaya pengurangan angka kesakitan
dan/atau kematian terhadap penyakit menular
tertentu agar secara bertahap penyakit tersebut
menurun sesuai dengan sasaran atau target
operasionalnya.
2. Eliminasi
Merupakan upaya pengurangan terhadap penyakit
secara berkesinambungan di wilayah tertentu
sehingga angka kesakitan penyakit tersebut dapat
ditekan serendah mungkin agar tidak menjadi
masalah kesehatan di wilayah yang bersangkutan.
3. Eradikasi.
Merupakan upaya pembasmian yang dilakukan
secara berkelanjutan melalui pemberantasan dan
eliminasi untuk menghilangkan jenis penyakit
tertentu secara permanen sehingga tidak menjadi
masalah Kesehatan masyarakat secara nasional
(Kemenkes RI, 2014).
Surveilans di daerah wabah dan daerah-daerah yang
beresiko terjadi wabah dilaksanakan lebih intensif untuk
mengetahui perkembangan penyakit menurut waktu,
tempat dan dimanfaatkan untuk mendukung upaya

207
penanggulangan yang sedang dilaksanakan (kemenkes RI,
2010)
Definisi Operasional Penyakit Menular
Tabel 12.1. Definisi Operasional Jenis Penyakit Menular

No Penyakit Definisi Kasus


Penderita diare klinis dengan pemeriksaan
laboratorium pada tinja dan atau muntahan
1 Kolera
menunjukkan adanya kuman kolera (Vibrio
cholerae).
Buang air besar lembek atau cair dengan
2 Diare klinis
frekuensi lebih dari biasanya.
Diare klinis yang disertai darah sebagai
3 Diare berdarah bercak
coklat atau merah. Apabila dilakukan
pemeriksaan tinja ditemukan sel darah
merah.
Demam tinggi terus menerus 7 (tujuh) hari
atau lebih, permukaan lidah kotor dan
Tifus perut
4 pinggirnya merah (typhoid tounge) dapat
klinis
disertai sembelit (obstipasi), diare,
kesadaran menurun.
Demam tinggi terus menerus yang pada
Tifus perut pemeriksaan laboratorium darah, air seni,
5 widal/kultur tinja atau sumsum tulang menunjukkan
(+) kuman Salmonella typhi atau pada serum
darah terdapat kenaikan kadar zat antinya.

Penderita tersangka TBC yang menyerang


jaringan paru, tidak termasuk selaput paru
(pleura) dan 2 dari 3 spesimen dahak
sewaktu-pagi-sewaktu (SPS) BTA positif, atau
6 TBC paru BTA
1 spesimen dahak SPS BTA postif dengan foto
(+)
rontgen dada menunjukkan gambaran
tuberkulosis aktif, termasuk penderita
berobat atau belum berobat dengan DOTS
.

208
No Penyakit Definisi Kasus
Batuk terus-menerus dan berdahak selama
3 minggu atau lebih disertai antara lain
dahak bercampur darah /batuk darah,
sesak napas dan rasa nyeri dada, badan
7 Tersangka TBC lemah, napsu makan menurun, berat
badan turun, rasa kurang enak badan
paru
(malaise, berkeringat malam walaupun
tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari
sebulan).

Tujuan Sistem Surveilans Penyakit Menular


1. Terkumpulnya data kesakitan, data laboratorium dan
data KLB penyakit menular dan keracunan di
Puskesmas, Rumah Sakit dan Laboratorium, sebagai
sumber data Surveilans Terpadu Penyakit.
2. Terdistribusikannya data kesakitan, data
laboratorium serta data KLB penyakit dan keracunan
tersebut kepada unit surveilans Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, unit surveilans Dinas Kesehatan
Propinsi dan unit surveilans Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan Departemen Kesehatan.
3. Terlaksananya pengolahan dan penyajian data
penyakit menular dalam bentuk tabel, grafik, peta dan
analisis epidemiologi lebih lanjut oleh Unit surveilans
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan
Propinsi dan Ditjen PPM &PL Depkes.
4. Terdistribusinya hasil pengolahan dan penyajian data
penyakit menular beserta hasil analisis epidemiologi
lebih lanjut dan rekomendasi kepada program terkait
di Puskesmas, Rumah Sakit, Laboratorium,
Kabupaten/Kota, Propinsi, Nasional, pusat-pusat
riset, pusat-pusat kajian dan perguruan tinggi serta
sektor terkait lainnya (Kemenkes RI, 2003a)

209
Tahapan Surveilans Penyakit Menular
1. Pengumpulan dan Pengolahan Data
Pengumpulan data dilaksanakan secara terus
menerus agar memberikan informasi epidemiologi
suatu penyakit secara lengkap (Daswito et al., 2023).
Pengambilan data kasus dilaksanakan secara
berjenjang mulai dari puskesmas dan jejaringnya atau
rumah sakit dengan menggunakan form pelaporan
yang dikoordinasi oleh dinas kesehatan kab/kota di
tingkat kab/kota dan dinas kesehatan provinsi di
tingkat provinsi sampai tingkat kementrian kesehatan
RI (Kemenkes RI & Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan Kementerian
Kesehatan RI, 2017). Adapun masing-masing peran
dari unit surveilans penyakit menular adalah sebagai
berikut:
Tabel 12.2. Peran dari Unit Surveilans Penyakit Menular

No. Unit Surveilans Peran


mengumpulkan dan mengolah
data STP Puskesmas harian
bersumber dari register rawat
1. Puskesmas
jalan & register rawat inap di
Puskesmas dan Puskesmas
Pembantu.
mengumpulkan dan mengolah
data STP Rumah Sakit harian
2. Rumah Sakit bersumber dari register rawat
jalan & register rawat inap
Rumah Sakit.
mengumpulkan dan mengolah
data STP Laboratorium
3. Laboratorium
bersumber dari register harian
hasil pemeriksaan laboratorium.
mengumpulkan dan mengolah
data penyakit potensial KLB
Dinas Kesehatan bersumber dari data PWS
4.
Kabupaten/Kota penyakit potensial KLB
Puskesmas, Rumah Sakit dan
Laboratorium.

210
No. Unit Surveilans Peran
mengumpulkan dan mengolah
data STP Puskemas, Rumah
Dinas Kesehatan
5. Sakit dan Laboratoium yang
Propinsi
diterima dari Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.
mengumpulkan dan mengolah
data STP Puskemas, Rumah
Ditjen PPM&PL Sakit dan Laboratorium yang
6.
Depkes diterima dari Dinas Kesehatan
Propinsi dalam bentuk file
komputer.

Pengumpulan dan pengolahan data tersebut


dimanfaatkan untuk bahan analisis dan rekomendasi
tindak lanjut serta distribusi data (Kemenkes RI, 2003a).
2. Analisis Data
Kegiatan analisis data pada masing-masing unit
surveilans dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 12.3. Kegiatan Analisis Data pada Masing-Masing
Unit Surveilans

No. Unit Surveilans Peran


1. Puskesmas analisis bulanan terhadap
penyakit potensial KLB di
daerahnya dalam bentuk tabel
menurut desa/kelurahan dan
grafik kecenderungan penyakit
mingguan, kemudian
menginformasikan hasilnya
kepada Kepala Puskesmas,
sebagai pelaksanaan pemantauan
wilayah setempat (PWS) atau
sistem kewaspadaan dini penyakit
potensial KLB di Puskesmas.
Apabila ditemukan adanya
kecenderungan peningkatan
jumlah penderita penyakit
potensial KLB tertentu, maka
Kepala Puskesmas melakukan
penyelidikan epidemiologi dan
menginformasikan ke Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.
2. Rumah Sakit melaksanakan analisis mingguan
penyakit potensial KLB di
daerahnya dalam bentuk tabel

211
No. Unit Surveilans Peran
menurut desa/kelurahan atau
puskesmas/kecamatan dan grafik
kecenderungan penyakit
mingguan, kemudian
menginformasikan hasilnya
kepada Kepala Rumah Sakit,
sebagai pelaksanaan pemantauan
wilayah setempat (PWS) atau
sistem kewaspadaan dini penyakit
potensial KLB di daerahnya.
Apabila ditemukan adanya
kecenderungan peningkatan
jumlah penderita penyakit
potensial KLB tertentu, maka
Kepala Rumah Sakit
menginformasikan ke Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota yang
terdapat kejadian tersebut. Unit
surveilans Rumah Sakit
bekerjasama dengan bagian
catatan medik, petugas rawat inap
dan rawat jalan, melakukan
validasi data.
3. Laboratorium melaksanakan analisis bulanan
penyakit potensial KLB di
daerahnya dalam bentuk tabel
menurut desa, kelurahan,
kecamatan dan kabupaten/kota
serta grafik kecenderungan
penyakit bulanan, kemudian
melaporkan hasilnya kepada
Kepala Laboratorium
bersangkutan. Apabila ditemukan
adanya kecenderungan
peningkatan jumlah penderita
penyakit potensial KLB tertentu
berdasarkan hasil pemeriksaan
laboratorium, maka Kepala
Laboratorium menginformasikan
ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota yang terdapat
kejadian tersebut.
4. Dinas Kesehatan melaksanakan analisis tahunan
Kabupaten/Kota perkembangan penyakit dan
menghubungkannya dengan
faktor risiko, perubahan
lingkungan serta perencanaan dan
keberhasilan program. Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota

212
No. Unit Surveilans Peran
memanfaatkan hasilnya sebagai
bahan profil tahunan, bahan
perencanaan Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, informasi
Puskesmas, Rumah Sakit,
Laboratorium, Dinas Kesehatan
Propinsi, Ditjen PPM&PL Depkes,
Pusat-pusat penelitian, Pusat-
pusat kajian dan perguruan tinggi
serta lintas sektor terkait di
daerahnya.
5. Dinas Kesehatan melaksanakan analisis tahunan
Propinsi perkembangan penyakit dan
menghubungkannya dengan
faktor risiko, perubahan
lingkungan serta perencanaan dan
keberhasilan program. Dinas
Kesehatan Propinsi
memanfaatkan hasilnya sebagai
bahan profil tahunan, bahan
perencanaan Dinas Kesehatan
Propinsi, informasi program
terkait, Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, Ditjen PPM&PL
Depkes, Pusat-pusat penelitian,
Pusat-pusat kajian dan perguruan
tinggi serta lintas sektor terkait di
daerahnya.
6. Ditjen PPM&PL Unit surveilans Ditjen PPM&PL
Depkes Depkes melaksanakan analisis
bulanan perkembangan penyakit
potensial KLB di daerahnya dalam
bentuk tabel penyakit menurut
propinsi dan grafik
kecenderungan penyakit potensial
KLB nasional, kemudian
menginformasikan hasilnya ke
program terkait di Departemen
Kesehatan, Dinas Kesehatan
Propinsi, dan sektor terkait.
Masing-masing Puskesmas, Rumah Sakit,
Laboratorium, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota,
Dinas Kesehatan Propinsi dan Ditjen PPM&PL Depkes
melakukan analisis dan penyajian data dalam bentuk
tabel, grafik dan peta yang bermakna secara
epidemiologi, menarik kesimpulan dan Menyusun

213
rekomendasi serta mendistribusikannya kepada unit-
unit yang membutuhkannya.
3. Diseminasi Informasi
Hasil analisis dan interpretasi data seharusnya
disebarluaskan agar pihak-pihak terkait mengetahui
hasil surveilans. Diseminasi dapat digunakan sebagai
dasar untuk membuat perencanaan, menegelola
program pengendalian maupun pengawasan, tujuan
adiministratif dan lain-lain yang berhubungan dengan
pengambilan keputusan (CDC, 2006)

Gambar 12.1. Alur Distribusi Data Surveilans Terpadu


Penyakit
Pada gambar 12.1 dapat diketahui bahwa pada setiap
bulan masing-masing unit surveilans mengirimkan
data STP Puskesmas/STP Rumah Sakit/STP
Laboratorium ke Dinas Kesehatan Kab/Kota dengan
jenis penyakit dan variabelnya. Data yang sudah
terkumpul di Dinas Kesehatan Kab/Kota kemudian
akan dianalisis untuk selanjutnya dilaporkan secara

214
berjenjang ke Dinas Kesehatan provinsi dan Ditjen
PPM-PL Depkes.
Pelaporan hasil akan lebih akurat jika dilakukan
surveilans secara aktif daripada surveilans pasif pada
surveilans aktif ada staf khusus yang bertugas dan
bertanggung jawab. Namun, pada beberapa negara
banyak yang menerapkan surveilans pasif terutama
pada penyakit - penyakit menular untuk dilakukan
perbandingan secara internasional (Swarjana, 2017) .

215
Daftar Pustaka
CDC. (2006). An introduction to Applied Epidemiology and
Biostatistic. Atlanta.
Daswito, R., Sitanggang, H. D., Prabosasongko, H., Tira,
D. S., & Wahyudi, G. (2023). Dasar Surveilans
Epidemiologi. PT. Global Eksekutif Teknologi.
Kemenkes RI. (2003a). Permenkes RI No.
1116/MENKES/SK/VIII/2003 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi
Kesehatan.
Kemenkes RI. (2003b). Permenkes RI No.
1479/MENKES/SK/X/2003 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi
Penyakit Menular Dan Penyakit Tidak Menular
Terpadu.
kemenkes RI. (2010). Permenkes RI No.
1501/MENKES/PER/X/2010 Tentang Jenis Penyakit
Tertentu yang dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya
Penanggulangan.
Kemenkes RI. (2014). Permenkes RI No. 82 Tahun 2014
Tentang Penanggulangan Penyakit Menular.
Kemenkes RI, & Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan Kementerian
Kesehatan RI, I. P. (2017). Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian Demam Berdarah Dengue di Indonesia.
Swarjana, I. K. (2017). Ilmu Kesehatan Masyarakat-
Konsep, Strategi dan Praktik. Penerbit ANDI.

216
Profil Penulis
Ari Susanti, S.KM., M.Kes
Lahir di Jombang 5 April 1988. Dari ayah bernama
Musliman (Alm) dan Ibu bernama Sri Umiyati.
Penulis bertempat tinggal di Desa Mojotrisno
Kecamatan Mojoagung Kabupaten Jombang. Telah
menyelesaikan studi strata satu di Program Studi
Kesehatan Masyarakat Universitas Jember (2006-2010). Lulus
strata dua di Program Studi Administrasi dan Kebijakan
Kesehatan Universitas Airlangga Surabaya (2011-2013).
Karirnya dimulai sebagai dosen tetap di Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Hang Tuah Surabaya (2015-Sekarang). Bidang
kajian yang menjadi tanggungjawab penulis di Sekolah Tinggi
Ilmu Hang Tuah Surabaya adalah, Epidemiologi, Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Metodologi Penelitian Kesehatan.
Email Penulis: susanti.ari88@gmail.com

217
218
13
SISTEM SURVEILANS
PENYAKIT TIDAK MENULAR

Irwandi Rachman, S.KM., M.Kes


Universitas Megarezky

Konsep Survailans Penyakit Tidak Menular


Surveilans adalah suatu sistem yang digunakan untuk
mengumpulkan, memantau, dan mengendalikan data
atau informasi tentang suatu kondisi atau peristiwa dalam
populasi secara sistematis. Dalam konteks kesehatan,
survailans digunakan untuk mengumpulkan data tentang
penyakit, faktor risiko kesehatan, atau peristiwa
kesehatan lainnya dalam masyarakat. Data yang
dikumpulkan melalui survailans dapat digunakan untuk
memahami prevalensi penyakit, mengidentifikasi tren
atau pola kesehatan, serta merencanakan intervensi yang
tepat untuk mencegah dan mengendalikan masalah
kesehatan dalam populasi.
Surveilans dapat dilakukan dalam berbagai tingkat, mulai
dari tingkat lokal hingga nasional atau bahkan global.
Data yang dikumpulkan melalui survailans dapat berasal
dari berbagai sumber, seperti survei kesehatan, data
medis, data laboratorium, atau data kesehatan
masyarakat lainnya. Hasil dari survailans dapat
digunakan sebagai dasar bagi pengambilan kebijakan
kesehatan, perencanaan program kesehatan, atau
pengembangan intervensi untuk meningkatkan kesehatan
masyarakat.

219
Surveilans penting dalam menghadapi masalah
kesehatan, termasuk penyakit tidak menular, seperti
penyakit jantung, diabetes, kanker, gangguan
pernapasan, dan lainnya. Melalui survailans, pemerintah
dan pihak terkait dapat mengumpulkan data yang
diperlukan untuk memahami beban penyakit, faktor
risiko, serta mengukur dampak dari intervensi kesehatan
yang telah dilakukan. Dengan demikian, survailans
merupakan salah satu alat penting dalam pengendalian
penyakit dan peningkatan kesehatan masyarakat.
Kriteria Survailans Penyakit Tidak Menular
Kriteria untuk survailans penyakit tidak menular dapat
bervariasi tergantung pada tujuan, sasaran, dan lingkup
survailans yang dilakukan. Namun, secara umum, berikut
adalah beberapa kriteria umum yang dapat digunakan
dalam pelaksanaan survailans penyakit tidak menular:
1. Jenis penyakit: Menyertakan penyakit tidak menular
tertentu yang ingin diawasi, seperti penyakit
kardiovaskular, diabetes, kanker, penyakit
pernapasan kronis, dan penyakit lainnya yang
termasuk dalam kategori penyakit tidak menular.
2. Populasi: Menyertakan populasi yang menjadi fokus
survailans, misalnya populasi umum, kelompok usia
tertentu (misalnya dewasa, lanjut usia), kelompok
pekerja, kelompok risiko tinggi (misalnya perokok,
penderita obesitas), atau kelompok tertentu (misalnya
komunitas etnis, wilayah geografis tertentu).
3. Indikator: Menyertakan indikator kesehatan yang
relevan yang akan dipantau dalam survailans,
misalnya prevalensi penyakit, insiden kasus baru,
mortalitas, faktor risiko penyakit, akses ke layanan
kesehatan, atau upaya pencegahan dan pengendalian
penyakit.

220
4. Metode pengumpulan data: Menyertakan metode
pengumpulan data yang akan digunakan, seperti
survei, pengamatan langsung, data sekunder, atau
pengumpulan data dari sistem pelayanan kesehatan.
5. Frekuensi dan waktu pengumpulan data:
Menyertakan frekuensi dan waktu pengumpulan data,
apakah akan dilakukan secara berkala (misalnya
tahunan, bulanan) atau terus-menerus (real-time),
serta durasi survailans yang akan dilakukan.
6. Analisis data: Menyertakan metode analisis data yang
akan digunakan untuk menginterpretasi data
survailans, seperti analisis deskriptif, analisis
komparatif, atau analisis temporal.
7. Pelaporan hasil: Menyertakan prosedur pelaporan
hasil survailans kepada pihak yang berkepentingan,
seperti pemerintah, lembaga kesehatan, atau
masyarakat umum.
Namun, penting untuk diingat bahwa kriteria survailans
penyakit tidak menular dapat bervariasi tergantung pada
konteks dan tujuan survailans yang dilakukan. Oleh
karena itu, sebaiknya merujuk pada panduan, protokol,
atau pedoman yang dikeluarkan oleh lembaga atau
otoritas kesehatan yang berwenang untuk memperoleh
informasi yang lebih spesifik dan terkini terkait kriteria
survailans penyakit tidak menular.
Manfaat Surveilans Penyakit Tidak Menular
Survailans penyakit tidak menular memiliki manfaat yang
signifikan dalam upaya pencegahan dan pengendalian
penyakit tidak menular di masyarakat. Beberapa manfaat
survailans penyakit tidak menular antara lain:
1. Mengidentifikasi prevalensi penyakit: Melalui
survailans penyakit tidak menular, data dapat
dikumpulkan untuk menentukan prevalensi atau

221
jumlah kasus penyakit tidak menular di suatu
populasi. Data ini dapat membantu dalam
pemahaman terhadap beban penyakit, trend, serta
pola distribusi penyakit, yang akan menjadi dasar
dalam merencanakan intervensi dan pengambilan
kebijakan kesehatan yang lebih efektif.
2. Mendeteksi faktor risiko kesehatan: Survailans
penyakit tidak menular juga dapat mengumpulkan
data tentang faktor risiko kesehatan yang
berhubungan dengan penyakit tidak menular, seperti
kebiasaan merokok, pola makan, aktivitas fisik,
konsumsi alkohol, paparan lingkungan berisiko, dan
faktor risiko lainnya. Data ini dapat membantu dalam
mengidentifikasi faktor risiko yang berperan dalam
penyebab penyakit tidak menular dan merencanakan
program intervensi yang sesuai untuk mengurangi
faktor risiko tersebut.
3. Memonitor dampak intervensi kesehatan: Survailans
penyakit tidak menular dapat digunakan untuk
memantau dan mengevaluasi dampak dari intervensi
kesehatan yang telah dilakukan, seperti program
pencegahan, program pengendalian, atau kebijakan
kesehatan tertentu. Data dari survailans dapat
digunakan untuk mengukur keberhasilan intervensi
kesehatan dalam mengurangi beban penyakit tidak
menular dan menilai efektivitas strategi yang telah
diimplementasikan.
4. Mendukung pengambilan kebijakan: Data dari
survailans penyakit tidak menular dapat digunakan
sebagai dasar bagi pengambilan kebijakan kesehatan
yang berbasis bukti (evidence-based policy). Informasi
yang diperoleh dari survailans dapat membantu
dalam merencanakan kebijakan kesehatan yang
tepat, mengalokasikan sumber daya dengan
bijaksana, serta melakukan advokasi untuk

222
meningkatkan prioritas kesehatan masyarakat dalam
upaya pengendalian penyakit tidak menular.
5. Mendorong tindakan pencegahan: Survailans
penyakit tidak menular dapat memberikan informasi
yang diperlukan untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat, tenaga kesehatan, serta pihak terkait
tentang pentingnya pencegahan penyakit tidak
menular. Data survailans dapat digunakan untuk
menggali pemahaman tentang penyebab penyakit
tidak menular dan merencanakan program
pencegahan yang tepat, seperti edukasi kesehatan,
promosi perilaku sehat, dan pengaturan lingkungan
yang mendukung kesehatan.
6. Memfasilitasi riset dan pengembangan ilmiah: Data
dari survailans penyakit tidak menular dapat menjadi
sumber data bagi riset dan pengembangan ilmiah
dalam bidang kesehatan. Data ini dapat digunakan
untuk menghasilkan pengetahuan baru tentang
penyakit tidak menular, faktor risiko, serta efektivitas
intervensi.
Tujuan Surveilans Penyakit Tidak Menular
Tujuan dari surveilans PTM adalah untuk memantau dan
memahami pola kejadian PTM dalam populasi,
mengidentifikasi faktor risiko yang berkaitan dengan PTM,
dan menginformasikan kebijakan kesehatan masyarakat
untuk pencegahan dan pengendalian PTM. Surveilans
PTM dapat melibatkan pengumpulan data dari berbagai
sumber, seperti data medis, data kesehatan masyarakat,
survei, dan laporan kasus.
Beberapa langkah yang dapat diambil dalam surveilans
PTM meliputi:

223
1. Pengumpulan data: Data tentang kejadian PTM, faktor
risiko, dan karakteristik populasi dikumpulkan dari
berbagai sumber, seperti rumah sakit, fasilitas
kesehatan masyarakat, data mortalitas dan
morbiditas, dan survei kesehatan penduduk.
2. Analisis data: Data yang terkumpul dianalisis untuk
mengidentifikasi pola kejadian PTM, tren waktu,
distribusi geografis, dan faktor risiko yang berkaitan
dengan PTM. Analisis dapat menggunakan metode
statistik dan teknik analisis lainnya untuk
mendapatkan informasi yang relevan.
3. Interpretasi data: Hasil analisis data dianalisis lebih
lanjut untuk menginterpretasikan temuan surveilans
dan mengidentifikasi implikasi kesehatan
masyarakat. Interpretasi data dapat digunakan untuk
menginformasikan kebijakan dan tindakan
pencegahan PTM.
4. Pelaporan data: Hasil surveilans PTM dapat
dilaporkan kepada para pemangku kepentingan,
termasuk pemerintah, institusi kesehatan, dan
masyarakat umum, untuk meningkatkan kesadaran
tentang PTM dan mendorong tindakan pencegahan.
5. Tindak lanjut: Hasil surveilans PTM dapat digunakan
untuk menginformasikan pengembangan program
dan intervensi pencegahan PTM yang efektif, serta
untuk memantau keberhasilan implementasi program
pencegahan yang ada.
Surveilans PTM memiliki peran penting dalam upaya
pencegahan dan pengendalian PTM. Dengan memahami
pola kejadian dan faktor risiko PTM secara sistematis,
dapat diambil tindakan yang tepat untuk mengurangi
beban penyakit dan meningkatkan kesehatan
masyarakat.

224
Atribut Survailans Penyakit Tidak Menular
Surveillance atau survailans penyakit tidak menular
dapat melibatkan sejumlah atribut atau karakteristik
yang dapat digunakan untuk menggambarkan data yang
dikumpulkan. Beberapa atribut survailans penyakit tidak
menular yang umumnya digunakan meliputi:
1. Jenis Penyakit: Atribut ini mencakup informasi
tentang jenis penyakit tidak menular yang sedang
diawasi, misalnya penyakit kardiovaskular, diabetes,
kanker, penyakit pernapasan kronis, dan lain-lain.
2. Kejadian: Atribut ini mencakup informasi tentang
jumlah kasus baru (insidensi) atau jumlah kasus yang
ada (prevalensi) dari penyakit tidak menular dalam
suatu populasi dan wilayah tertentu.
3. Waktu: Atribut ini mencakup informasi tentang waktu
atau periode pengumpulan data, termasuk tahun,
bulan, minggu, atau hari pengumpulan data.
Informasi waktu dapat membantu dalam mendeteksi
tren atau pola kejadian penyakit tidak menular
sepanjang waktu.
4. Tempat: Atribut ini mencakup informasi tentang
lokasi geografis atau tempat pengumpulan data,
seperti tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota,
atau unit wilayah lainnya. Informasi tempat dapat
membantu dalam mengidentifikasi pola kejadian
penyakit tidak menular di berbagai wilayah.
5. Karakteristik Populasi: Atribut ini mencakup
informasi tentang karakteristik demografis dan sosial-
ekonomi populasi yang sedang diawasi, seperti usia,
jenis kelamin, ras, pendidikan, pekerjaan, dan lain-
lain. Informasi karakteristik populasi dapat
membantu dalam memahami faktor risiko dan
determinan penyakit tidak menular.

225
6. Faktor Risiko: Atribut ini mencakup informasi tentang
faktor risiko yang terkait dengan penyakit tidak
menular, seperti merokok, konsumsi alkohol, pola
makan, aktivitas fisik, paparan lingkungan, dan faktor
risiko lainnya. Informasi faktor risiko dapat
membantu dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap penyakit tidak menular.
7. Hasil dan Outcome: Atribut ini mencakup informasi
tentang hasil atau outcome dari penyakit tidak
menular, seperti angka kematian, angka kecacatan,
penggunaan pelayanan kesehatan, dan kualitas
hidup. Informasi hasil dan outcome dapat membantu
dalam mengevaluasi dampak penyakit tidak menular
terhadap kesehatan individu dan masyarakat.
Atribut atau karakteristik yang digunakan dalam
survailans penyakit tidak menular dapat bervariasi
tergantung pada jenis penyakit, tingkat wilayah, sumber
data, dan tujuan survailans yang dilakukan. Setiap
survailans harus didasarkan pada metodologi yang valid
dan terstandarisasi, serta mengikuti prinsip-prinsip etik
dan privasi dalam pengumpulan dan penggunaan data
kesehatan.
Sistem Survailans Penyakit Tidak Menular
di Indonesia
Surveilans penyakit tidak menular di Indonesia adalah
suatu sistem pengumpulan, analisis, interpretasi, dan
pelaporan data penyakit tidak menular secara sistematis
yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk
memantau dan mengendalikan prevalensi dan faktor
risiko penyakit tidak menular di seluruh wilayah
Indonesia. Surveilans ini bertujuan untuk
mengidentifikasi kasus penyakit tidak menular,
mengumpulkan data epidemiologi, dan memberikan dasar
bagi pengambilan kebijakan kesehatan untuk pencegahan

226
dan pengendalian penyakit tidak menular di masyarakat.
Beberapa komponen utama dari surveilans penyakit tidak
menular di Indonesia meliputi:
1. Pengumpulan data: Data tentang prevalensi penyakit
tidak menular, seperti penyakit jantung, diabetes,
kanker, dan gangguan pernapasan, dikumpulkan dari
berbagai sumber, seperti survei kesehatan, studi
populasi, data medis, dan data kesehatan
masyarakat. Data yang dikumpulkan mencakup
informasi demografis populasi, faktor risiko penyakit
tidak menular, serta akses dan pemanfaatan layanan
kesehatan terkait.
2. Analisis data: Data yang terkumpul dianalisis untuk
mengidentifikasi tren, pola, dan karakteristik penyakit
tidak menular. Analisis data ini membantu dalam
memahami beban penyakit tidak menular, faktor
risiko yang berkontribusi, serta perubahan dalam
prevalensi dan distribusi penyakit di berbagai
populasi.
3. Interpretasi data: Data yang dianalisis
diinterpretasikan untuk memahami implikasi
kesehatan masyarakat dan memberikan dasar bagi
pengambilan kebijakan. Informasi yang diperoleh dari
surveilans penyakit tidak menular dapat digunakan
untuk mengidentifikasi prioritas kesehatan
masyarakat, mengembangkan intervensi pencegahan
penyakit tidak menular, serta memantau keberhasilan
implementasi kebijakan.
4. Pelaporan data: Hasil surveilans penyakit tidak
menular biasanya dilaporkan secara periodik ke pihak
yang berwenang, seperti Kementerian Kesehatan,
Dinas Kesehatan, atau badan-badan terkait lainnya.
Pelaporan data yang akurat dan tepat waktu penting

227
untuk pengambilan kebijakan yang efektif dalam
menghadapi penyakit tidak menular.
5. Respons dan intervensi: Hasil dari surveilans penyakit
tidak menular dapat digunakan untuk merencanakan
dan melaksanakan intervensi yang sesuai untuk
mencegah dan mengendalikan penyakit tidak
menular, seperti promosi kesehatan, kampanye
penyuluhan, pengaturan lingkungan yang sehat, atau
kebijakan kesehatan masyarakat lainnya.
Surveilans penyakit tidak menular di Indonesia
melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat,
pemerintah daerah, fasilitas pelayanan kesehatan,
laboratorium, dan masyarakat. Data yang diperoleh dari
surveilans ini menjadi dasar bagi pengambilan kebijakan
kesehatan untuk pencegahan dan pengendalian penyakit
tidak menular di Indonesia, serta mengurangi beban
penyakit tidak menular dalam masyarakat.

228
Gambar 13.1. Alur Pencatatan dan Pelaporan Survailans PTM
di Indonesia

(Sumber: Petunjuk Teknis Survailans Faktor Risiko PTM


Berbasis Posbindu, Kemenkes RI, 2013)
Surveilans faktor risiko PTM merupakan salah satu
bagian surveilans PTM yang perlu dikembangkan untuk
mengetahui kondisi faktor risiko di masyarakat yang
hasilnnya menjadi bahan pengambilan kebijakan,
strategi, dan program pengendalian PTM. Pelaksanaan
surveilans fakfor risiko PTM basis Posbindu melibatkan
semua pihak mulai dari Posibndu PTM, Puskesmas, Dinas
Kesehatan kaupaten//kota, dinas kesehatan provinsi,
dan Kementerian Kesehatan. Dalam pelaksanaannya
pemerintah menggunakan software sistem informasi PTM
untuk memudahkan pengumuplan, pengolahan dan
analisa datanya. Data yang diperoleh dilaporkan dan
dapat dimanfaatkan oleh semua pihak yang

229
berkepentingan. Dengan pengembangan surveilans fakfor
risiko PTM yang baik, kondisi riil fakor risiko di
masyarakat Indonesia dapat diketahui secara akurat. Hal
ini akan menjadikan masyarakat lebih mawas diri menuju
perilaku hidup sehat, dengan perilaku CERDIK, yaitu Cek
Kesehatan secara berkala, Enyahkan Asap Rokok, rajin
aktivitas fisik, Diet yang sehat, Istirahat yang cukup, dan
kelola stress. Selanjutnya, berbasis data dan informasi
yang lebih akurat, program pengendalian PTM dapat
dikembangkan dan diperkuat untuk menurunkan angka
kesakitan dan kematian akibat PTM.
Survailans Penyakit Jantung Koroner
Survailans penyakit jantung koroner adalah
pengumpulan data dan pengawasan sistematis terhadap
kejadian penyakit jantung koroner dalam suatu populasi
atau wilayah tertentu. Tujuannya adalah untuk
memantau dan mengawasi penyakit jantung koroner
dalam populasi dengan mengumpulkan, menganalisis,
dan melaporkan data terkait prevalensi, insiden, faktor
risiko, pengendalian, dan dampak penyakit jantung
koroner dalam populasi yang diawasi. Survailans penyakit
jantung koroner dapat dilakukan untuk memahami beban
penyakit, tren, pola geografis, serta untuk memonitor
efektivitas program pencegahan dan pengendalian
penyakit jantung koroner. Beberapa atribut dan kriteria
yang mungkin digunakan dalam survailans penyakit
jantung koroner antara lain:
1. Jenis penyakit: Memantau kejadian penyakit jantung
koroner, termasuk angina pektoris dan serangan
jantung.
2. Populasi: Menyertakan populasi yang menjadi fokus
survailans, misalnya populasi umum, kelompok usia
tertentu (misalnya dewasa, lanjut usia), kelompok
risiko tinggi (misalnya individu dengan riwayat

230
penyakit jantung koroner atau kelompok dengan
faktor risiko tinggi), atau kelompok tertentu (misalnya
komunitas di wilayah geografis tertentu).
3. Indikator: Menyertakan indikator kesehatan yang
relevan yang akan dipantau, seperti prevalensi
penyakit jantung koroner, insiden kasus baru, faktor
risiko penyakit jantung koroner (misalnya hipertensi,
kolesterol tinggi, merokok), penggunaan obat-obatan
terkait penyakit jantung koroner (misalnya statin,
aspirin), pemeriksaan kardiak (misalnya
elektrokardiogram, tes pengecetan darah), dan upaya
pengendalian penyakit jantung koroner (misalnya
pengelolaan gaya hidup, intervensi medis).
4. Metode pengumpulan data: Menyertakan metode
pengumpulan data yang akan digunakan, seperti
survei penduduk, rekam medis, data laboratorium,
atau data dari sistem pelayanan kesehatan.
5. Frekuensi dan waktu pengumpulan data:
Menyertakan frekuensi dan waktu pengumpulan data,
apakah akan dilakukan secara berkala (misalnya
tahunan, bulanan) atau terus-menerus (real-time),
serta durasi survailans yang akan dilakukan.
6. Analisis data: Menyertakan metode analisis data yang
akan digunakan untuk menginterpretasi data
survailans, seperti analisis deskriptif, analisis
komparatif, atau analisis temporal.
7. Pelaporan hasil: Menyertakan prosedur pelaporan
hasil survailans kepada pihak yang berkepentingan,
seperti pemerintah, lembaga kesehatan, atau
masyarakat umum.

231
Survailans Penyakit Diabetes
Survailans penyakit diabetes adalah pengumpulan data
dan pengawasan sistematis terhadap kejadian penyakit
diabetes dalam suatu populasi atau wilayah tertentu.
Tujuannya adalah untuk memantau dan mengawasi
penyakit diabetes dalam populasi dengan mengumpulkan,
menganalisis, dan melaporkan data terkait prevalensi,
insiden, faktor risiko, pengendalian, dan dampak penyakit
diabetes dalam populasi yang diawasi. Survailans
penyakit diabetes dapat dilakukan untuk memahami
beban penyakit, tren, pola geografis, serta untuk
memonitor efektivitas program pencegahan dan
pengendalian diabetes. Beberapa atribut dan kriteria yang
mungkin digunakan dalam survailans penyakit diabetes
antara lain:
1. Jenis penyakit: Memantau kejadian penyakit diabetes,
termasuk diabetes tipe 1 dan tipe 2.
2. Populasi: Menyertakan populasi yang menjadi fokus
survailans, misalnya populasi umum, kelompok usia
tertentu (misalnya dewasa, lanjut usia), kelompok
risiko tinggi (misalnya kelompok berisiko tinggi,
seperti individu dengan riwayat keluarga diabetes
atau kelompok etnis tertentu yang memiliki prevalensi
diabetes yang tinggi), atau kelompok tertentu
(misalnya komunitas di wilayah geografis tertentu).
3. Indikator: Menyertakan indikator kesehatan yang
relevan yang akan dipantau, seperti prevalensi
diabetes, insiden kasus baru, komplikasi diabetes
(misalnya retinopati diabetik, nefropati diabetik, dan
neuropati diabetik), faktor risiko diabetes (misalnya
obesitas, fisik aktifitas, pola makan), pemeriksaan
gula darah, penggunaan obat antidiabetes, dan upaya
pengendalian diabetes (misalnya penggunaan insulin,
pengelolaan gaya hidup).

232
4. Metode pengumpulan data: Menyertakan metode
pengumpulan data yang akan digunakan, seperti
survei penduduk, rekam medis, data laboratorium,
atau data dari sistem pelayanan kesehatan.
5. Frekuensi dan waktu pengumpulan data:
Menyertakan frekuensi dan waktu pengumpulan data,
apakah akan dilakukan secara berkala (misalnya
tahunan, bulanan) atau terus-menerus (real-time),
serta durasi survailans yang akan dilakukan.
6. Analisis data: Menyertakan metode analisis data yang
akan digunakan untuk menginterpretasi data
survailans, seperti analisis deskriptif, analisis
komparatif, atau analisis temporal.
7. Pelaporan hasil: Menyertakan prosedur pelaporan
hasil survailans kepada pihak yang berkepentingan,
seperti pemerintah, lembaga kesehatan, atau
masyarakat umum.
Sumber referensi yang relevan mengenai survailans
penyakit diabetes dapat ditemukan dalam publikasi
ilmiah, laporan kesehatan nasional, data pemerintah,
atau sumber-sumber terpercaya lainnya yang berkaitan
dengan pencegahan, pengendalian, dan pengawasan
diabetes di wilayah atau populasi tertentu.
Survailans Penyakit Kanker
Survailans penyakit kanker adalah pengumpulan data
dan pengawasan sistematis terhadap kejadian penyakit
kanker dalam suatu populasi atau wilayah tertentu.
Tujuannya adalah untuk memantau dan mengawasi
penyakit kanker dalam populasi dengan mengumpulkan,
menganalisis, dan melaporkan data terkait prevalensi,
insiden, jenis kanker, faktor risiko, pengendalian, dan
dampak penyakit kanker dalam populasi yang diawasi.
Survailans penyakit kanker dapat dilakukan untuk

233
memahami beban penyakit, tren, pola geografis, serta
untuk memonitor efektivitas program pencegahan, deteksi
dini, dan pengendalian penyakit kanker. Beberapa atribut
dan kriteria yang mungkin digunakan dalam survailans
penyakit kanker antara lain:
1. Jenis kanker: Memantau kejadian kanker, baik itu
kanker tertentu (misalnya kanker payudara, kanker
paru-paru, kanker usus besar) atau semua jenis
kanker yang terjadi dalam populasi yang diawasi.
2. Populasi: Menyertakan populasi yang menjadi fokus
survailans, misalnya populasi umum, kelompok usia
tertentu (misalnya dewasa, lanjut usia), kelompok
risiko tinggi (misalnya individu dengan riwayat
keluarga kanker, kelompok dengan faktor risiko
tinggi), atau kelompok tertentu (misalnya komunitas
di wilayah geografis tertentu).
3. Indikator: Menyertakan indikator kesehatan yang
relevan yang akan dipantau, seperti prevalensi
kanker, insiden kasus baru, jenis kanker yang paling
umum terjadi, faktor risiko kanker (misalnya
merokok, konsumsi alkohol, paparan zat
karsinogenik), penggunaan skrining kanker (misalnya
mammografi, kolonoskopi), pengelolaan kanker
(misalnya jenis pengobatan yang digunakan), serta
hasil dan kelangsungan hidup pasien kanker.
4. Metode pengumpulan data: Menyertakan metode
pengumpulan data yang akan digunakan, seperti
registrasi kanker, rekam medis, data laboratorium,
atau data dari sistem pelayanan kesehatan.
5. Frekuensi dan waktu pengumpulan data:
Menyertakan frekuensi dan waktu pengumpulan data,
apakah akan dilakukan secara berkala (misalnya
tahunan, bulanan) atau terus-menerus (real-time),
serta durasi survailans yang akan dilakukan.

234
6. Analisis data: Menyertakan metode analisis data yang
akan digunakan untuk menginterpretasi data
survailans, seperti analisis deskriptif, analisis
komparatif, atau analisis temporal.
7. Pelaporan hasil: Menyertakan prosedur pelaporan
hasil survailans kepada pihak yang berkepentingan,
seperti pemerintah, lembaga kesehatan, atau
masyarakat umum.
Sumber referensi yang relevan mengenai survailans
penyakit kanker dapat ditemukan dalam publikasi ilmiah,
laporan kesehatan nasional, data pemerintah, atau
sumber-sumber resmi terkait kanker.

235
Daftar Pustaka
Aekplakorn, W., Chongsuvivatwong, V., Tatsanavivat, P.,
Suriyawongpaisal, P., Chariyalertsak, S., &
Kunanusont, C. (2019). Non-communicable disease
surveillance in developing countries: a systematic
review. Asia Pacific Journal of Public Health, 31(2),
117-130.
https://doi.org/10.1177/1010539519839382
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). (2021).
Noncommunicable diseases (NCDs). Diakses dari:
https://www.cdc.gov/chronicdisease/index.htm.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). (2019).
Introduction to Public Health Surveillance. Atlanta,
GA: CDC.
https://www.cdc.gov/surveillance/index.html
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. Diakses dari:
https://www.kemkes.go.id/resources/download/info
-terkini/hasil-riskesdas-2018.pdf
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2020).
Pedoman Surveilans Faktor Risiko Penyakit Tidak
Menular di Indonesia. Diakses dari:
https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/
pedoman/2020/Pedoman_Surveilans_Faktor_Risiko_
Penyakit_Tidak_Menular_di_Indonesia.pdf
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2017).
Pedoman Surveilans Penyakit Tidak Menular di
Puskesmas. Diakses dari:
http://kesga.kemkes.go.id/assets/uploads/pedoman
-surveilans-ptm-di-puskesmas.pdf
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018).
Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Tidak Menular (RAN PTM) 2018-2019.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

236
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013).
Petunjuk Teknis Surveilans Faktor Risiko Penyakit
Tidak Menular Berbasis Pos Pembinaan Terpadu
(POSBINDU). Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018).
Pedoman Teknis Penyelenggaraan Sistem Informasi
Manajemen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Tidak Menular. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Ministry of Health Republic of Indonesia. (2019). Pedoman
Teknis Surveilans Penyakit Tidak Menular. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusd
atin/pedoman/1.%20Pedoman%20Teknis%20Sistem
%20Surveilans%20P2PTM.pdf
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. (2019). InfoDATIN: Situasi
Penyakit Tidak Menular di Indonesia. Jakarta: Pusat
Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
World Health Organization (WHO). (2018).
Noncommunicable diseases country profiles 2018.
Diakses dari:
https://www.who.int/nmh/publications/ncd-
profiles-2018/en/
World Health Organization (WHO). (2017). Global action
plan for the prevention and control of
noncommunicable diseases 2013-2020. Diakses dari:
https://www.who.int/publications/i/item/97892415
06236.
World Health Organization (WHO). (2016). Global status
report on noncommunicable diseases 2014. Diakses
dari:
https://www.who.int/publications/i/item/97892415
64854

237
World Health Organization (WHO). (2020). STEPwise
approach to surveillance (STEPS). Diakses dari:
https://www.who.int/teams/noncommunicable-
diseases/surveillance/systems-tools/stepwise-
approach-to-surveillance
World Health Organization (WHO). (2016).
Noncommunicable diseases (NCD) country profiles -
Indonesia 2014. Diakses dari:
https://www.who.int/nmh/countries/idn_en.pdf

238
Profil Penulis
Irwandi Rachman, S.KM, M.Kes
Lahir di Ujung Pandang 1 Maret 1989, Setelah
tamat di SMA Negeri 2 Makassar Beliau menempuh
pendidikan S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat
kemudian melanjutkan S2 Kesehatan Masyarakat
konsentrasi epidemiologi di Universitas
Hasanuddin Makassar. Selama menempuh pendidikan beliau
terlibat dalam beberapa Riset Penelitian yang selenggrakan oleh
KEMENKES diantaranya Tim Validator Riset Fasilitas
Kesehatan (RIFASKES) /KEMENKES RI, Ternate, Prov. Maluku
Utara Tahun 2011, Tim Validator Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) KEMENKES RI, Jayapura, Prov. Papua Tahun
2013. Saat ini Beliau aktif sebagai tenaga pengajar Dosen di
Perguruan Tinggi Swasta Pada Tahun 2014-2018 mengabdi di
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Harapan Ibu Jambi
dan 2018-2023 sekarang Mengajar di Universitas Megarezky
Makassar. Selama Menjadi Tenaga Pengajar di Perguruan Tinggi
beliau aktif dalam menjalankan tridharma perguruan tinggi
yaitu pendidikan dan pengajaran dalam ilmu kesehatan
masyarakat khususnya mata kuliah epidemiologi dan statistik,
melakukan penelitian dan publikasi ilmiah serta melakukan
kegiatan pengabdian masyarakat.
Email Penulis: irwandirachman@yahoo.com

239
View publication stats

Anda mungkin juga menyukai