Anda di halaman 1dari 7

List Problematisasi

1. Kitab al-Burhan karya Imam al-Zarkasy


- Ta’wil dan Hermeneutika
Dewasa ini, muncul anggapan bahwa ta’wil adalah sama dengan
hermeneutika, seiring dengan maraknya upaya-upaya untuk mengaplikasikan
hermeneutika sebagai metode baru dalam kajian al-Qur’an menggantikan metode
yang telah dirumuskan oleh para ulama. Salah
satunya dalah Syahrur. Ta’wil dalam perspektif Syahrur,adalah poin penting dalam
memahami nilai-nilai ilmiah kerealitasan al-Qur’an. Bahkan ta’wil memiliki
posisi yang sangat penting sebagai upaya mendapatkan pemahaman yang lebih
integral terhadap al-Qur’an.
Namun, banyak juga dari intelektual Islam menolak peryataan bahwa ta’wil
adalahhermeneutika atau minimal memiliki kesamaan dengan hermeneutika. Di
antara alasan penolakan tersebut dikarenakan ta’wil harus berdasarkan dengan
tafsir, dan tafsir berdiri di atas lafazh harfiah al-Qur’an. Perbedaan yang lain,
orientasi ta’wil adalah penetapan makna, sedangkan orientasi hermeneutika adalah
pemahaman yang berubah-ubah dan nisbi mengikuti
pergerakan manusianya.
Abu Hamid Al-Ghazali dalam bukunya Al-Mustashfa Min Ilmi Al-Ushul
mengatakan, “Ta’wil adalah sebuah ungkapan (istilah) tentang pengambilan
makna dari lafazh yang ambigu (muhtamal) dengan didukung dalil dan
menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh lafazh zhahir.3
Ringkasnya, ta’wil adalah pendalaman dari tafsir dalam mengungkap sebuah
makna. Jika tafsir merupakan sebuah usaha untuk mengungkapkan suatu makna
yang tersembunyi dari sebuah ayat, maka ta’wil lebih dari itu yaitu memilih
makna sebuah lafazh yang ambigu yang memiliki banyak makna.

2. Kitab al-Kassyaf
Para ahli bahasa dan mufassir sepakat mengakui ketinggian, keluasan, dan
kedalaman makna yang terkandung dalam al-Qur'an Sebagian mufassir menggunakan
pendekatan bahasa dalam menafsirkan al-Qur'an untuk mengungkapkan makna ayat-
ayat al-Qur'an. Di antara tafsir yang mengggunakan pendekatan bahasa yakni
balaghah ialah tafsir Safwah al-Tafasir Karya Muhmmad 'Ali al-Sabuni, tafsir al-
Kasysyaf Karya al-Zamakhsyari, dan Mafatih al- Ghaib Karya Fakhruddin al-Razi

3. Kitab al-Itqon fi Ulum al-Quran


Sebagian orang mengira bahwasannya tidak ada faedah dan manfaat
mengetahui sabab nuzul, karena ini berlaku sesuai dengan sejarah. Tetapi anggapan
ini salah, sebab memilikibeberapa faedah, antara lain, diantaranya mengetahui hikmah
di balik pensyariatan hukum, dan diantaranya juga mengkhususkan hukum dengan
sabab nuzul. Ini berlaku bagi orang yang berpendapat bahwa al-‘ibrah bi khususis
sabab”.
Dan diantaranya juga adalah sesungguhnya lafadz itu bisa jadi bersifat umum, da nada
dalil yang berfungsi sebagai untuk mentakhsis. Apabila sebab itu diketahui maka
takhsis itu hanya terbatas pada sesuatu selain yang digambarkan. Karena masuknya
bentuk sabab itu bersifat qath’i, maka mengeluarkannya dengan cara berijtihad itu
dilarang, sebagaimana diceritakan oleh al-Qadhi Abu Bakar tentang adanya ijma` atas
hal tersebut di dalam kitab at-Taqrib.
Dan tidak perlu diperhatikan orang yang keluar (dari kaidah), sehingga dia
memperbolehkan hal tersebut. Dan diantaranya juga mendapatkan makna yang
dimaksud dan menghilangkan isykal (sesuatu yang sulit). Al-Wahidi berkata “tidak
mungkin kita dapat menafsirkan ayat tanpa mengetahui kisah ayat itu dan uraian
tentang turunnya” Ibnu Daqiq Al-‘Id berkata “mengetahui uraian tentang asbabun
nuzul adalah cara yang kuat untuk memahami al-Qur’an”.

4. ()
Al-Razi hidup pada abad ke-12 M, dimana praktik-praktik sihir masih ada
dalam masyarakat pada waktu itu. Praktik sihir mencakup beberapa kegiatan seperti
penggunaan mantra dan do’a-do’a magis, sihir ini menggunakan kalimat atau ayat-
ayat tertentu dengan keyakinan bahwa mereka memiliki kekuatan magis. Kemudian
penggunaan ramuan dan obat-obatan, beberapa praktik sihir melibatkan penggunaan
ramuan, minuman, atau obat-obatan tertentu yang diyakini memiliki kekuatan magis.
Bahan-bahan ini dapat digunakan untuk menciptakan efek tertentu, seperti mengubah
seseorang atau menyembuhkan penyakit.
Pada masa Fakhrudin al-Razi, sihir dianggap sebagai tindakan yang
bertentangan dengan ajaran agama Islam. Praktik sihir dipandang sebagai Upaya
manusia untuk mendapatkan kekuatan dan pengaruh di luar kehendak Allah, yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip tauhid Islam. Namun, penting untuk dicatat
bahwa pemahaman dan penilaian tentang sihir dapat bervariasi di antara sarjana dan
periode sejarah yang berbeda. Sumber-sumber dari masa Fakhr al-Din al-Razi tidak
secara khusus mengungkapkan pandangannya tentang sihir, tetapi secara umum,
pandangan di kalangan sarjana Islam pada masa itu condong menentang dan
mengutuk praktik sihir.

5. Bahasa Arab Sebagai Bahasa Al-Qur’an Analisis Teks Asy-Syatibi


Berbicara perihal Kompleksitas Bahasa Arab Sebagai Bahasa Al- Qur’an
mengingatkan pada sebuah maqalah fenomenal Amin al-Khulli yang mengatakan
bahwa Al-Qur’an adalah Kitab Berbahasa/ Sastra Arab terbesar. Sebab sudah bukan
rahasia lagi bahwa Al-Qur’an memuat kompleksitas bahasa audiens awalnya.
Penguasaan atas kompleksitas bahasa Arab menjadi kunci awal sebelum masuk pada
samudera Al-Qur’an yang tidak bertepi. Maka sudah menjadi kewajiban bagi
seseorang yang ingin mempelajari Al-Qur’an secara mendalam untuk menguasai
bahasa Arab sebelum melanjutkan pada perangkat ilmu-ilmu lainnya yang
dibutuhkan. Ulama yang menyadari akan tingkat kesulitan menguasa bahasa Arab
bagi umat Islam yang berasal bukan dari bangsa Arab melakukan berbagai terobosan
untuk memudahkan. Salah satunya ialah menyederhanakan kompleksitas bahasa Arab
dengan menyusun kaidah- kaidah atau rumus-rumus struktur kebahasaan.
Turun di tanah Arab, menjadikan Al-Qur’an mengakomodir unsur unsur
budaya Arab demi mampu menjalin interaksi dan menyampaikan pesan-pesan
ilahiyah yang ada di dalamnya. Salah satu unsur budaya tersebut ialah bahasa. Bahasa
Arab adalah bahasa yang diadopsi Al-Qur’an sebagai media penyampaian pesan Ilahi
(wahy). Sebagai bahasa Al-Qur’an, bahasa Arab memiliki tingkat kompleksitas yang
sangat tinggi. Beragamnya derivasi kata dan makna yang bisa dihasilkan hanya dari
beberapa huruf yang menjadi kata dasarnya, menjadikan bahasa Arab terlihat sangat
pantas diadopsi sebagai bahasa Al-Qur’an. Kekayaan kosa kata bahasa Arab tersebut
dapat terlihat pada kata sederhana yang kerap kali digunakan maupun sudah umum
diketahui
maknanya oleh kebanyakan orang. Kata ‫ال‬AA‫ ق‬misalnya, yang terdiri dari tiga huruf
yakni qaf, wau, lam dan memiliki makna asli bergerak. Secara umum kata ‫ قال‬ini
dimaknai berbicara, namun perlu diketahui bahwa ada makna lain yang banyak orang
kadang belum mengetahuinya yakni tidur siang.
Masih banyak kata-kata lain yang berakar sama namun memiliki makna yang
berbeda. Sehingga penting untuk mengetahui siyaqul kalam (konteks pembicaraan)
sehingga tidak salah dalam pengambilan makna. Perbedaan bunyi menghasilkan
perbedaan makna inilah yang dijadikan alasan oleh Abul Aswad ad-Du’ali untuk
membubuhkan harakat sehingga meminimalisir terjadinya kesalahan.

6. Pemaknaan Mu’jiz Dalam Kitab Muwafaqat Fii Ushul As-Syar’iyyah (Al-


Syatibi)
Sesungguhnya al-Quran telah ditetapkan bahwasannya al-Qur’an itu
(kuliyyah:
al-Qur’an itu sumbernya ilmu) syariat dan tiang agama, sumber hikmah, tanda risalah
(kenabian) dan cahaya mata pandangan serta cahaya hati. Sesungguhnya tidak ada
jalan untuk menuju Allah selain melalui al-Qur’an dan tidak ada keselamatan selain
dari al-Qur’an dan tidak ada yang bisa dijadikan pegangan yang bertentangan dengan
al-Qur’an, dan seluruh keistimewaan ini (al-Quran) itu tidak membutuhkan kepada
penetapan dan kepada dalil, kenapa? Karena sesungguhnya keadaan telah diketahui
dari agama kita ini, dan jikalau seperti itu maka hukumnya wajib bagi orang yang
berkehendak untuk mengambil sumber ilmu syariat (yaitu al-Qur’an) dan di berambisi
untuk mendapatkan maqashid (tujuan-tujuan ) yang bisa dihasilkan dari al-Quran.
Dan mengikuti dengan (kuliyatus syariah) supaya menjadikan al-Quran pegangan dan
temannya dan supaya menjadikan al-Quran itu sebagai teman duduknya di sepanjang
hari dan sepanjang malam, baik secara merenung atau secarapengamalan. Bukan
membatasi kepada salah satu ( baik kepada nadzar tapi tidak amal, atau amal tetap
tidak nadhar). jadi harus dua-duanya. Kalau dia sudah melakukan itu semua, hampir
dia memperoleh apa yang dia inginkan dan dia memperoleh dengan tuntutannya, dan
dia bisa mendapati dirinya itu dari orang – orang terdahulu (salaf ulama terdahulu )
kalua memang dia mampu melakukan itu semua (menjadikan al-Quran itu sebagai
teman di sepanjang hari dan malamnya, baik nadhar maupun amal) kalau tidak
mampu melakukan itu semua kecuali orang yang mempraktekkan apa yang
membantunya untuk hal tersebut dari hadist - hadist yang menjelaskan kepada al-
Qur’an ( tidak ada yang bisa menjadikan al-Quran itu sebagai teman hariannya baik
secara nadhar atau amal, kecuali dia yang mempraktekkan apa yang disampaikan
Rasulullah di hadistnya, sebab hadist menjelaskan isi al-Quran ) dan kalau tidak maka
kalam (imam – imam terdahulu) itu menggenggam tangannya dalam tujuan yang
mulia ini dan kedudukan yang mulia ini) wajib bagi perorangan menjadikan al-Qur’an
sebagai teman hariannya baik secara nadhar maupun amal dan itu tidak mudah,
kecuali dia yang mau mempelajari hadits, mempraktekkan isi Hadist, sebab Hadits itu
menjelaskan isi al-Quran. Jika kita menilik bahwa dari segi al-Qur’an itu mukjiz
(mengandung mukjizat) (mukjiz: melemahkan selain al-Qur’an ) tidak ada orang yang
bisa meniru al-Qurán) itu membungkam orang –orang fasih (sefasih apapun dia tidak
akan bisa meniru al-Qur’an ) dan melemahkan ahli sastra, untuk mereka mengarang
seperti al-Quran. Padahal hal tersebut, meskipun demikian al-Qur’an tetaplah
berbahasa arab, dan bahasa arabnya sesuai undang – undang dalam sastra arab
dimudahkan untuk memahami al-Quran dari Allah, tentang apa yang Allah
perintahkan dan yang Allah larang , akan tetapi dengan syarat dia itu masih seara dan
sejalan dengan lisan arab atau kaedah arab. Sebagaimana sudah dijelaskan dalam
kitab ijtihad, dikarenakan seandainya mukjizat al-Quran itu sampai mengeluarkan al-
Quran, sampai orang-orang (akal) tidak ada yang bisa menggapai atau memahami isi
al-Quran. Maka pasti hukum – hukum yang tertera dalam al-Quran yang ditujukan
kepada kita itu sulit kita gapai karena sulit untuk memahami al-Quran dan hal tersebut
telah diangkat untuk umat (tidak ada kesulitan bagi umat ) dan ini juga termasuk
mukjizat dari al-Qur’an. Karena sesuatu yang mengherankan yaitu menghendaki
kalam yang kalamnya dari manusia, baik dari segi bahasa, makna, susunan, bisa
dipahami. Tapi tidak ada satupun manusia yang mampu mendatangkan satu surah
seperti al-Qur’an.( padahal kalamnya sama bahasa arabnya, dan mudah dipahami).
Walaupun mereka berkumpul untuk membuat seperti al-quran dan saling membantu
untuk mengerang seperti al-Quran maka adapun mereka, mereka adalah paling
mampu menyangga amtsal (perumpamaan) tapi mereka lemah untuk menentang. Dan
dari segimanapun yang sudah dipastikan mukjizat al-quran ini, maka dari itu tidak
mencegah untuk sampai memahami al-Quran dan memahami makna-makna al-
Qur’an. Sebesar apapun mukjizat al-Quran masih bisa dipahami. Dan ini memungkin
kannya untuk sampai merenungi dan memahami dan seperti itu juga apa yang sama
sepertinya itu jelas.
7. Perbandingan Teori Tafsir Amin Al- Khuli dengan Teori Tafsir Ulama- Ulama
Lain.
Dalam prespektif Az- Zarkasy, tafsir adalah membabad tuntas setiap hal yang
berkenaan dengan al- Qur’an seperti yang disebutkan meliputi tentang asbab an-
nuzul, makki madani, dst. Tentu dapat kita rasakan bahwa teori tafsir yang dipaparkan
oleh az- Zarkasy terkesan lebih rumit. Karena saat seseorang ingin menafsirkan Al-
Qur’an, ia harus menguasai semua komponen tersebut. Berbeda dengan Amin Al-
Khuli yang menujukan tafsir terhadap penjelasan lafaz- lafaz al- Qur’an saja, tidak
menuntut bahwa dalam menafsirkan ayat- ayat all Qur’an harus menguasai
komponen- komponen yang disebutkan oleh Az- Zarkasy.
Sedangkan dalam prespektif Syeikh Thahir Al- Jazairi, tafsir ialah
menerangkan (maksud) lafaz yang sukar dipahami oleh pendengar dengan uraian
yang lebih memperjelas pada maksud baginya. Dan Syeikh Thahir pun menerangkan
bahwa tariqah menjelaskannya dengan memberikan sinonim atau uraian- uraian tidak
harus menerangkan asbab nuzul, makki madaninya seperti yang disebutkan Az-
Zarkasy. Disini, penulis menyimpulkan bahwa ada kesamaan prespektif antara Amin
Al- Khuli dan Syeikh Thahir Al- Jazairi terhadap tafsir, yakni bahwa tafsir pada
hakikatnya ialah menyingkap makna yang dimaksud dalam lafaz- lafaz Al- Qur’an,
menjelaskan maksud dari kalamullah tanpa menyertakan komponen- komponen lain
yang sekiranya tidak berdampak pada tafsir itu sendiri.

8. AN-NISA’ DAN AL-BANUN MENURUT MUHAMMAD SYAHRUR


- Problem utama pada dua lembaran teks ini adalah, Syahrur belum menjelaskan
tentang bagaimana makna sesungguhnya dari al-Nisa’ dan al-Banun.
- Syahrur pada dua lembaran ini juga belum menjelaskan bagaimana kaitan antara
keduanya dan syahwat, hingga kemudian menjadikan bahwa al-Nisa’ dan al
Banun merupakan syahwat yang pertama dan kedua menurut yang disebutkan
oleh Al-Qur’an.
- Syahrur hanya menjelaskan ketidaksesuaiannya dengan penafsiran kebanyaka
mufassir yang memberi makna perempuan pada kata al-Nisa’ dan anak laki-laki
pada kata al-Banun yang terdapat pada Q.S. 03:14. Hal ini dikarenakan kecemasan
yang muncul ketika sumber utama dari perhiasan dan kesenangan dunia bagi
manusia (al-Nas) adalah perempuan (al-Nisa’).
- Pada ayat ini diksi kata yang digunakan adalah manusia yang bisa mencakup laki-
laki maupun perempuan. Tentu akan menjadi hal yang isykal ketika ayat ini
dipahami bahwa al-Qur’an memvalidasi bahwa perempuan bisa menjadi perhiasan
yang bisa menarik ketertarikan (syahwat) bagi perempuan yang lain. Jika
pemaknaan sampai pada definisi yang demikian, maka hal ini bisa menjadi dalih
bagi kaum lesbian untuk melanjutkan apa yang mereka lakukan.

Anda mungkin juga menyukai