Makalah Politik & Etika Pendidikan Kel.9
Makalah Politik & Etika Pendidikan Kel.9
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Politik dan Etika Pendidikan
Disusun Oleh :
Kelompok 9
1. Eva Nur Fajriyah (20015040)
2. Muhammad Faiz Dzinnuha (20015054)
Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha kuasa yang telah memberikan
kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat,taufiq dan
hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Makalah ini
disusun guna memenuhi tugas dosen pada mata kuliah Politik dan Etika Pendidikan.
Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi
pembaca.
Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada bapak dosen mata kuliah ini,
sebab tugas yang telah diberikan ini dapat menambah banyak pengetahuan dan
wawasan. Dalam penulisan makalah ini, penulis telah berusaha semaksimal mungkin
untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, namun penulis menyadari bahwa penulisan
makalah ini masih jauh dari kata sempurna, mengingat keterbatasan akan kemampuan,
pengalaman dan pengetahuan kami. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun dari pembaca, sehingga penulisan makalah ini menjadi
lebih baik lagi.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Problematika Gender dalam Pendidikan?
2. Bagaimana Pendidikan Memandang Gender?
3. Bagaimanakah membangun Pendidikan berspektif Gender di Sekolah?
4. Bagaimana Strategi Menuju Kesetaraan Gender dalam Pendidikan?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Gender dalam Pendidikan
2. Untuk Mengetahui Pendidikan Memandang Gender
3. Untuk Mengetahui Cara Membangun Pendidikan berspektif Gender di
Sekolah
4. Untuk Mengetahui Strategi Menuju Kesetaraan Gender dalam
Pendidika
1
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi Edisi Revisi, (Universitas Indonesia Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi, 2004), Him. 114
1
BAB II
PEMBAHASAN
1. Akses
Yang dimaksud dengan aspek akses adalah fasilitas pendidikan yang sulit
dicapai. Misalnya, banyak sekolah dasar di tiap-tiap kecamatan namun untuk
jenjang pendidikan selanjutnya seperti SMP dan SMA tidak banyak. Tidak
setiap wilayah memiliki sekolah tingkat SMP dan seterusnya, hingga banyak
2
Dwi Narwoko dan Bagong Yuryanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2004) Hlm. 334
3
Ibid, hlm. 335
4
Elfi Muawanah, Pendidikan Gender dan Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 54
2
siswa yang harus menempuh perjalanan jauh untuk mencapainya. Di
lingkungan masyarakat yang masih tradisional, umumnya orang tua segan
mengirimkan anak perempuannya ke sekolah yang jauh karena
mengkhawatirkan kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu banyak anak
perempuan yang terpaksa tinggal di rumah. Belum lagi beban tugas rumah
tangga yang banyak dibebankan pada anak perempuan membuat mereka sulit
meninggalkan rumah. Akumulasi dari faktor-faktor ini membuat anak
perempuan banyak yang cepat meninggalkan bangku sekolah.
2. Partisipasi
5
Achmad Muthia'in, Bias Gender dalam Pendidikan, (Surakarta: UMS, 2001)
3
konstruksi gender yang terbangun selama ini. Selain itu penataan tempat duduk
murid, penataan barisan, pelaksanaan upacara tidak terlepas dari hal tersebut.
Siswa laki-laki selalu ditempatkan dalam posisi yang lebih menentukan,
misalnya memimpin organisasi siswa, ketua kelas, diskusi kelompok, ataupun
dalam penentuan kesempatan bertanya dan mengemukakan pendapat. Hal ini
menunjukkan kesenjangan gender muncul dalam proses pembelajaran di
sekolah.
6
Acee Suryadi, Ecep Idris, Kesetaraan Gender dalam bidang Pendidikan, (Jakarta: PT Genesindo,
2004
7
Moh, Roqib, Pendidikan Perempuan. (Yogyakarta: Gama Media, 2003), Hlm. 49
4
Departemen Pendidikan Nasional berupaya menjawab isu tersebut
melalui perubahan kurikulum dan rupanya telah terakomodasi dalam kurikulum
20048 tinggal bagaimana mengaplikasikannya dalam bahan ajar terutama isu
gender meskipun pada kenyataannya masih membawa dampak bias gender
dalam masyarakat yang berakibat pada kurang optimalnya sumber daya
manusia yang optimal yang unggul disegala bidang tanpa memandang jenis
kelamin.
Dengan demikian, pendidikan seharusnya memberi mata pelajaran yang
sesuai dengan bakat minat setiap individu perempuan, bukan hanya diarahkan
pada pendidikan agama dan ekonomi rumah tangga, melainkan juga masalah
pertanian dan ketrampilan lain. Pendidikan dan bantuan terhadap perempuan
dalam semua bidang tersebut akan menjadikan nilai yang amat besar dan
merupakan langkah awal untuk memperjuangkan persamaan sesungguhnya9
Jika sekolah memilih jalan untuk tidak sekadar menjadi pengawet atau
penyangga nilai-nilai, tetapi penyeru pikiran-pikiran yang produktif dengan
berkolaborasi dengan kebutuhan jaman, maka menjadi salah satu tugas sekolah
untuk tidak membiarkan berlangsungnya ketidakadilan gender yang selama ini
terbungkus rapi dalam kesadaran-kesadaran palsu yang berkembang dalam
masyarakat. Sebaliknya ia harus bersikap kritis dan mengajak masyarakat
sekolah dan masyarakat di sekitarnya untuk mengubah membongkar
kepalsuan-kepalsuan tersebut sekaligus mentransformasikannya menjadi
praktik-praktik yang lebih berpihak kepadakeadilan sesama, terutama keadilan
bagi kaum perempuan.10
8
Daryo Sumanto, Isu Gender dalam Bahan Ajar, (Jakarta: Akses Internet, 2004), hlm. I
9
. Ibid..hlm. 49
10
Siswanto, Bias Gender dalam Pendidikan http://paksisgendut.files.wordpress.com/2009/02/gender-
dau-pendidikan.pdf
5
Pengamatan itu hendaknya diarahkan pada elemen-elemen yang biasanya
tergenderkan dalam sebuah organisasi atau lembaga seperti misalnya: ideologi-
ideologi dan tujuan-tujuannya, sistem nilai yang dikembangkannya, struktur-
struktur yang dibangun, gaya manajemennya, pembagian tugas pekerjaan,
pengaturan/tata ruang kantomya, ungkapan-ungkapan,hubungan kekuasaaan.
lambang-lambang yang digunakan, yang semua itu dapat memberi sinyal
sejauh mana lembaga sekolah tergenderkan .
11
Elfi Muawanah, Pendidikan Gender dan Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Teras,, 2009 hlm.57
6
Bahasa merupakan unsur yang sangat penting dalam pendidikan peka
gender, karena di dalam bahasa, lewat pilihan kata, tekanan-tekanan, konstruksi
kalimat atau ujaran yang digunakan dalam komunikasi baik tertulis maupun
lisan. Bahasa yang dimaksud juga tidak terbatas pada bahasa verbal tetapi
termasuk bahasa non verbal, bahasa tubuh seperti cara bersalaman, memberi
penghormatan, memandang atau mengerling menyiratkan makna yang
mengandung muatan gender. Menyepelekan peran bahasa dalam pendidikan
peka gender sama dengan mengabaikan unsur penting dalam pendidikan.
12
Siswanto, Bias Gender dalam Pendidikan, http://paksisyendut.files.wordpress.com/2009/02/gender-
dan-pendidikan.pdf
7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
8
DAFTAR PUSTAKA
Acce Suryadi. Aceep Idris. 2004. Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan.
Jakarta: PT Genesindo
Achmad Muthia'in. 2001. Bias Gender dalam Pendidikan. Surakarta: UMS. Dwi
Narwoko dan Bagong Yuryanto. 2004. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan.
Jakarta
Kencana Prenada Media Group. Elfi Muawanah. 2009. Pendidikan Gender dan Hak
Asasi Manusia. Yogyakarta:TERAS:
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi Edisi Revisi. Universitas Indonesia Jakarta:
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi. 2004
Moh, Roqib, 2003. Pendidikan Perempuan. Yogyakarta: Gama Media
Warto, Gender dalam Pendidikan, hup://nalar-langit.blogspot.co.id/2016/01/gender-
dalam- pendidikan.html
Siswanto, Bias Gender dalam Pendidikan
http://paksisgendut.files.wordpress.com/2009/02/gender-dan-pendidikan.pdf