Anda di halaman 1dari 4

Nama : Nilawati

Nomor UKG : 201500006728

Asal Instansi : SMP Negeri 14 Lubuklinggau

Tugas

1. Berikan masing-masing 1 contoh pembelajaran yang menerapkan Landasan religius,


psikologi, dan sosiologi!
2. Temukan Implikasi teori di bawah ini dalam pembelajaran: a) bahavionstik, (b)kognitif, (c)
konstruktivisme, (d) humanistik

Jawaban

1) Contoh pembelajaran yang menerapkan:


A. Landasan religius
 Guru mengajarkan peserta didiknya untuk berdoa sebelum dan sesudah pembelajaran
 Gotong royong dan saling menghormati antar warga masyarakat meskipun berbeda
suku, ras, dan agama.
B. Landasan psikologi
 Guru menyuruh siswanya maju di depan kelas. Kondisi peserta didik tersebut
psikolognya terganggu, malu, suka berdiam diri dan lain-lain, sehingga jika guru tidak
mengerti kondisinya maka peserta didiknya kondidi psikolognya semakin terganggu.
Jadi gru mengerti psikologis setiap anak (didiknya) terutama dalam bidang
pendidikan.
C. Landasan sosiologi
 Adanya kerja sama dalam pembelajaran di kelas.
 Adanya pelajaran muatan lokal (Mulok) masing-masing daerah sebagai bentuk
upaya melestarikan budaya.

a). Teori bahavionstik adalah Menurut teori behavioristik, adalah perubahan tingkah laku
sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain,
belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya
untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi stimulus dan
respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan
tingkah laku. Sebagai contoh, anak belum dapat berhitung perkalian. Walaupun ia sudah
berusaha giat, dan gurunya sudah mengajarkannya dengan tekun, namun jika anak
tersebut belum dapat mempraktekkan perhitungan perkalian, maka ia belum dianggap
belajar. Karena ia belum dapat menunjukan perubahan perilaku sebagai hasil belajar.
Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau Input yang berupa stimulus dan
keluaran atau Output yang berupa respon. Dalam contoh di atas, stimulus adalah apa
saja yang diberikan guru kepada siswa, misalnya daftar perkalian, alat peraga, pedoman
kerja, atau cara-cara tertentu, untuk membantu belajar siswa terhadap stimulus yang
diberikan oleh guru tersebut. Menurut teori behavioristik, apa yang terjadi diantara
stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak dapat diamati dan
tidak dapat diukur. Yang dapat diamati hanyalah stimulus dan respon. oleh sebab itu,
apa saja yang diberikan guru (stimulus) dan apa yang dihasilkan siswa (respon),
semuanya harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab
pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadi tidaknya
perubahan tingkah laku.

b). Teori kognitif Secara bahasa berasal dari bahasa latin ”Cogitare” artinya berfikir.1
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kognitif berarti segala sesuatu yang berhubungan
atau melibatkan kognisi, atau berdasarkan pengetahuan faktual yang empiris.2 Dalam
pekembangan selanjutnya, istilah kognitif ini menjadi populer sebagai salah satu wilayah
psikologi, baik
psikologi perkembangan maupun psikologi pendidikan. Dalam psikologi, kognitif
mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental manusia yang
berhubungan dengan masalah pengertian, pemahaman, perhatian, menyangka,
mempertimbangkan, pengolahan informasi.
Teori kognitif Teori belajar kognitif merupakan suatu teori belajar yang lebih
mementingkan proses belajar daripada hasil belajar. Teori kognitf pada awalnya
dikemukakan oleh Dewwy, dilanjutkan oleh Jean Piaget, Kohlberg, Damon, Mosher,
Perry dan lain-lain,6 yang membicarakan tentang perkembangan kognitif dalam
kaitannya dengan belajar. Kemudian dilanjutkan oleh Jerome Bruner, David Asubel,
Chr. Von Ehrenfels Koffka, Kohler, Wertheimer dan sebagainya.7 Bagi penganut aliran
ini, belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antar stimulus dan respons. Namun
lebih dari itu, belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Belajar
melibatkan prinsip-prinsip dasar psikologi, yaitu belajar aktif, belajar lewat interaksi
sosial dan lewat pengalaman sendiri.

c). Konstruktivisme berasal dari kata kons truktiv dan isme. Konstruktiv berarti
bersifat membina, memperbaiki, dan membangun. Sedangkan Isme dalam kamus
Bahasa Inonesia berarti paham atau aliran. Konstruktivisme merupakan aliran filsafat
pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi
kita sendiri. Pandangan konstruktivis dalam pembelajaran mengatakan bahwa anak-
anak diberi kesempatan agar menggunakan strateginya sendiri dalam belajar secara
sadar, sedangkan guru yang membimbing siswa ke tingkat pengetahuan yang lebih
tinggi.
Konstruktivisme merupakan salah satu aliran yang berasal dari teori belajar
kognitif. Tujuan penggunaan pendekatan Konstruktivisme dalam pembelajaran
adalah untuk membantu meningkatkan pemahaman siswa. Konstruktivisme memiliki
keterkaitan yang erat dengan metode pembelajaran penemuan (discovery learning)
dan belajar bermakna (meaningful learning). Kedua metode pembelajaran ini berada
dalam konteks teori belajar kognitif. Konstruktivisme adalah pembelajaran yang
memberikan leluasan kepada peserta didik untuk membangun pengetahuan meraka
sendiri atas atas rancangan model pembelajaran yang buat oleh guru (Mustafa &
Roesdiyanto, 2021).
Menurut Newby et al. (2000) mengemukakan asumsi yang mendasari pandangan
Konstruktivisme. Menurut mereka pengetahuan merupakan sesuatu yang dibangun
oleh orang yang belajar. Pengetahuan tidak dapat dipisahkan pada individu atau orang
yang belajar. Belajar oleh karenanya, dapat diartikan sebagai penafsiran atau
interpretasi baru terhadap suatu pengalaman. Menurut Jonassen (1996) mengemukan
dua hal yang menjadi esensi dari pandangan Konstruktivisme dalam aktivitas
pembelajaran yaitu: (a) Belajar lebih diartikan sebagai proses aktif membangun
daripada sekedar memperoleh pengetahuan, (b) Pembelajaran merupakan proses
mendukung pembangunan pengetahuan daripada hanya sekedar mengkomunikasikan
pengetahuan. Menurut Suparno (2010) secara garis besar prinsipprinsip
konstruktivisme yang diambil adalah (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri,
baik secara personal maupun secara sosial; (2) pengetahuan tidak dipindahkan dari
guru ke siswa, kecuali dengan keaktifan siswa sendiri untuk bernalar; (3) siswa aktif
mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga terjadi perubahan konsep menuju ke
konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah; (4) guru
berperan membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa
berjalan mulus.
Elemen humanis dalam filosofi koilstruktivisme ada dalam subjektivitas yang
tersirat, dan gagasan bahwa kebenaran dapat bervariasi tergantung orang ke orang,
atau dari budaya ke budaya (Richey et al., 2011). Pendapat dari Donald et al. (2006)
berpendapat bahwa siswa belajar dan membangun pengetahuan manakala dia terlibat
aktif dalam kegiatan: (a) merumuskan pertanyaan secara kolaboratif, (b) menjelaskan
fenomena, (c) berfikir kritis tentang isu-isu yang kompleks, (d) mengatasi masalah
yang dihadapi.

d). Menurut teori humanistik, proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk
kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, teori belajar humanistik
sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori kepribadian, dan
psikoterapi, dari pada bidang kajian psikologi belajar. Teori humanistik sangat
mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses belajar itu sendiri. Teori belajar ini
lebih banyak berbicara tentang konsep-118. Konsep pendidikan untuk membentuk
manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling
ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada pengertian belajar dalam bentuknya
yang paling ideal dari pada pemahaman tentang proses belajar sebagaimana apa
adanya, seperti yang selama ini dikaji oleh teori-teori belajar lainnya.
Dalam pelaksanaannya, teori humanistik ini antara lain tampak juga dalam
pendekatan belajar yang dikemukakan oleh Ausubel. Pandangannya tentang belajar
bermakna atau “Meaningful Learning” yang juga tergolong dalam aliran kognitif ini,
mengatakan bahwa belajar merupakan asimilasi bermakna. Materi yang dipelajari
diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
Faktor motivasi dan pengalaman emosional sangat penting dalam peristiwa belajar,
sebab tanpa motivasi dan keinginan dari pihak si belajar, maka tidak akan terjadi
asimilasi pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimilikinya. Teori
humanistik berpendapat bahwa teori belajar apapun dapat dimanfaatkan, asal
tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai aktualisasi diri, pemahaman
diri, serta realisasi diri orang yang belajar, secara optimal. Pemahaman terhadap belajar
yang diidealkan menjadikan teori humanistik dapat memanfaatkan teori belajar apapun
asal tujuannya untuk memanusiakan manusia. Hal ini menjadikan teori humanistik
bersifat sangat eklektik. Tidak dapat disangkal lagi bahwa setiap pendirian atau
pendekatan belajar tertentu, akan ada kebaikan dan ada pula kelemahannya. Dalam arti
ini eklektisisme bukanlah suatu sistem dengan membiarkan unsur-unsur tersebut dalam
keadaan sebagaimana adanya atau aslinya. Teori humanistik akan memanfaatkan teori-
teori apapun, asal tujuannya tercapai, yaitu memanusiakan manusia (Siregar & Nara,
2010).
Dari penalaran di atas ternyata bahwa perbedaan antara pandangan yang satu
dengan pandangan yang lain sering kali hanya timbul karena perbedaan sudut
pandangan semata, atau kadang-kadang hanya perbedaan aksentuasi. Jadi keterangan
atau pandangan yang berbeda-beda itu hanyalah 119 keterangan mengenai hal yang
satu dan sama dipandang dari sudut yang berlainan. Dengan demikian teori humanistik
dengan pandangannya yang eklektik yaitu dengan cara memanfaatkan atau
merangkumkan berbagai teori belajar dengan tujuan untuk memanusiakan manusia
bukan saja mungkin untuk dilakukan, tetapi justru harus dilakukan. Banyak tokoh
penganut aliran humanistik, di antaranya adalah Kolb yang terkenal dengan “Belajar
Empat Tahap”, Honey dan Mumford dengan pembagian tentang macam-macam peserta
didik, Hubermas dengan “Tiga macam tipe belajar”, serta Bloom dan Krathwohl yang
terkenal dengan “Taksonomi Bloom”

Anda mungkin juga menyukai