Tugas Komunikasi Antar Budaya (PKUB SABTU)
Tugas Komunikasi Antar Budaya (PKUB SABTU)
DOSEN PEMBIMBING:
Ibu Tantry Widiyanarti
DISUSUN OLEH :
Kovifah Oktaviani (1970201009)
Sarah Iklima Dwi Yuliani (1970201373)
MASYARAKAT JEJARING
B) Kehadiran Telecommunity
Teori klasik tentang komunitas salah satunya dikembangkan oleh Emille Durkheim yang
menjelaskan tentang kesadaran kolektif atau conscience collective yang didefinisikan sebagai
“the set of beliefs and sentiments common to the average members of a single society (which)
forms a determinate systmen that has its own life.” Kesadaran kolektif ini salah satunya
adalah nilai-nilai agama yang berlaku secara tradisional dalam masyarakat, Durkheim
menyebutnya sebagai “mechanical societies”. Bagi Durkheim (1982:58), sebagaimana bahan
kajian David Holmes fasilitas yang muncul dari corak struktur masyarakat yang secara
radikal merupakan perwujudan dari bentuk hubungan antar-individu.
Bagi Nikolas Rose (1996:337) “society” dan komunitas dipandang sebagai sebuah
konstruk yang telah mengubah aturan dan menggugurkan pandangan tentang masyarakat
yang terbentuk secara nasional atau dalam sebuah negara.Karena bisa jadi aka nada gerakan
yang tidak terikat oleh tali nasionalisme hanya karena alasan-alasan, misalnya ekonomi
semata. Sebab, keamanan sosial, keadilan sosial, hak-hak sosial serta solidaritas sosial
menjadi basis yang mendasari seseorang dalam berintegrasi .
Sementara term “telecommunity” sendiri ditemukan oleh Alvin Toffler dalam bukunya
The Third Wave (1980) sebuah definisi yang muncul jauh sebelum fenomena internet itu
muncul. Toffler menyatakan bahwa eksistensi tekhnologi merupakan fasilitas umum yang
muncul pada akhir era sosial kapitalis, dimana kehadiran tekhnologi bisa mengubah pola-
pola kerja dan juga komunikasi.Setiap pekerja sekarang bisa melakukan semua pekerjaannya
dirumah sehingga interaksi mereka dengan anggota keluarga dan tetangga menjadi lebih
intens, ini yang disebutnya dengan “selective substitution of communication for
transportation” (1980:382).Holmes (2005:222) menandakan bahwa pada dasarnya kini
untuk berinteraksi dengan seseorang berarti individu itu melakukan interaksi dengan
media.Fenomena ini merupakan ciri khas dari budaya global dan kaum urban.
C) Komunitas Virtual
Virtual communitiesatau komunitas virtual adalah kumpulan pengguna/user yang
dibentuk secara online yang masing-masing menggunakan identitas nyatu atau rekaan
(avatar) serta informasi online tertentu untuk melakukan komunikasi atau interaksi secara
terus menerus melalui mediasi jaringan komputer. Saling berinteraksinya para netter didunia
siber pada kenyataannya, disadari maupun tidak, membentuk sebuah komunitas baru, yakni
komunitas virtual (virtual community). Anggota dari komunitas ini tentu saling berinteraksi
dan berkomunikasi yang pada akhirnya dari interaksi inilah muncul sebuah kebuadayaan
siber atau cyber culture.
Kebudayaan ini memiliki hubungan yang signifikan dengan komunitas. Menurut Melville
J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski, segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat
(komunitas) ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri yang
turun temurun dari satu generasi ke genarasi yang lain. Akan hal nya kebudayaan yang ada di
internet, ruang individu yang dikonstruk oleh setiap user dalam interaksi di internet misalnya
dalam newsgroup memiliki aturan, ciri khas, bahkan hierarki yang tidak jauh berbeda dengan
dunia nyata.
Pada dasarnya komunitas virtual bisa dibedakan menjadi dua jenis.Merujuk pada
penjelasan. Tonnies dalam bukunya community and asociation yang terbit tahun 1995
(dikutip David Bell, 2001:94) bahwa komunitas terbagi menjadi Gemeinschaft dan
Gesellschaft, Gemeinschaft merujuk pada jenis komunitas yang berkarakter “total
community” dimana setiap individu maupun aspek-aspek social didalamnya berinteraksi
secara vertikal maupun horizontal, berjalan secara stabil dan dalam waktu yang lama,
merupakan hasil dari adanya kesamaan maupun kebutuhan, terbentuk dari adanya pertukaran
ritual maupun simbol-simbol sebagaimana yang terjadi dalam interaksi social secara nyata
yang dibangun secara face-to-face interaction.
Adapun Gesellschaft adalah kebalikan dari kondisi Gemeinschaft.Ditenggarai oleh
derasnya urbanisasi di kota-kota besar, Tonnies menjelaskan bahwa jenis komunitas ini
terbentuk dari berbagai aspek yang sangat heterogen.Hubungan yang terjadi antar-individu
dalam komunitas ini terjadi sangat dangkal dan lebih bersifat instrument formal belaka.
Dalam Gesellschaft, komunitas tidak berkembang secara simultan dan tidak membesar,
meski anggota komunitas yang ada didalamnya secara kuantitas berjumlah besar,
sebagaimana penduduk di ibu kota, dan setaip individu akan bertemu dengan individu
lainnya setiap waktu namun hubungan yang terjalin hanyalah parsial dan sementara.
Dua jenis komunitas yang di sodorkan oleh Tonnies ini pada dasarnya mewakii jenis
komunitas yang ada diruang siber. Namun, pilihan apakah individu itu akan menjadi
Gemeinschaft dan Gesellschaft itu tergantung dari pilihan individu itu sendiri, bukan
dibentuk oleh kebiasaan yang terjadi dalam kehidupan sosial yang dibentuk dalam waktu
yang lama sebagaimana di kehidupan nyata. Ia bisa menjadi individu yang aktif dalam
komunitas virtual, memiliki jalinan antar-anggoa forum yang kuat dan membagi nilai-nilai
kebersamaan. Tetapi di lain sisi dia juga bisa sekedar menjadi kaum urban yang bergerak dari
kehidupan nyata atau offline ke online-selayaknya kaum urban di kota besar- dengan tidak
melibatkan diri lebih jauh di komunitas virtual tersebut. Sekedar melihat ada topic diskusi
yang menarik atau mencari kebutuhan offline dan jika kebutuhan tersebut terpenuhi, maka
komunitas virtual itu pun di tinggalkan.
Contoh dari Komunitas Virtual :
1. E – mail
Kata e-mail terdiri dari dua suku kata yaitu ‘e’ dan ‘mail’. ‘e’ berarti electronic, dan
‘mail’ berarti surat. Sehingga e-mail dapat dikatakan mengirim surat melalui media
elektronik internet. Karena pada dasarnya e-mail sama dengan surat biasa (snail mail) yang
harus melewati beberapa kantor pos sebelum sampai ke tujuannya. Dalam hal ini e-mail
termasuk jenis komunikasi asynchronous communication, artinya pengirim pesan dan
penerima pesan tidak berada pada tempat dan waktu yang bersamaan. E-mail sendiri terdiri
atas dua jenis e-mail yang didasarkan pada keperluan atau kepentingan interaksi yang
diinginkan, yaitu e-mail person to person (poin to point) merupakan e-mail dari satu orang ke
satu orang lainnya, serta e-mail dalam bentuk kelompok (point to multi point) merupakan e-
mail dari satu orang ke sekelompok orang dan sebaliknya. Jenis yang kedua ini disebut juga
sebagai e-mail groups (e-groups ) atau mailing list.
2. Chatting
Chatting merupakan salah satu fasilitas yang diberikan internet, dimana kita dapat berkomunikasi
secara interaktif dengan satu orang atau lebih secara on-line. Dalam hal ini chatting termasuk
jenis komunikasi synchronous communication, artinya komunikasi melalui internet dengan
interaksi yang bersamaan waktunya.
3. Web
Web dapat diartikan sebagai tempat memajang informasi secara on line & bersifat virtual (maya)
yang memiliki kaitan (link) informasi tidak terbatas. Berdasarkan informasi yang disampaikan,
web dapat dibedakan menjadi tiga macam :
2. Informasi khusus (web dengan isi informasi tentang suatu lembaga, atau informasi dalam
berbagai kategori)
misalnya : deplu.co.id, depkominfo.go.id
3. Informasi komersial
misalnya : kapanlagi.com
Menurut jenisnya web dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu official web (website resmi yang
dimiliki oleh lembaga), dan unofficial web (web tidak resmi yang dimiliki secara personal atau
perorangan, seperti “blog”).
Musik merupakan hal yang tak asing lagi untuk di perbincangkan. Semua orang yang normal
pasti suka mendengarkan ataupun hampir semua orang pernah memainkan alat musik.
Bermain musik di dunia virtual secara sederhana dapat dengan mudah dipelajari.Dengan
membunyikan tuts-tuts nada dan menghapal nya,atau kita dapat memainkan lagu sesuai dengan
irama sebagai mana aslinya di dunia nyata.
Komunikasi bisa terjalin dengan baik
Karena kesibukan masing-masing maka komunitas virtual bisa berkomunikasi dengan lancar
melewati internet.
RUANG PUBLIC
A. Teknologi dan Redefensi Ruang Publik
Kemajuan teknologi internet, ditambah dengan karakter-karakteristik media baru (new
media), menyebabkan fenomena kebebasan bersuara atau ruang public virtual (virtual
sphere) berkembang semakin pesat.Misalnya melalui fenomena citizen journalism atau
jurnalisme warga.Kehadiran warga dalam citizen journalism untuk motif-motif yang
diinginkan, mulai dari ekonomi atau politik (pencitraan diri).
Fenomena citizen journalism merupakan fenomena yang membawa perubahan kepada
kultur. Mulai dari kultur dalam mengakses media informasi, kultur berinteraksi serta
pengungkapan diri (self disclosure) atau pencitraan diri, dan bagaimana kultur professional
journalis cum perusahaan media dalam memosisikan khalayak. Bahwa selama ini khalayak
merupakan sasaran terpaan informasi media dan bersifat pasif, kehadiran media citizen
journalism membawa pada perubahan yang bisa dikatakan cukup drastis dalammemandang
posisi khalayak. Inilah yang disebut Deuze bahwa dalam era perkembangan citizen
journalism diperlukan kerja sama antara professional media dan khalayak dalam menjalani
perubahan kultur, terutama kultur di dalam bidang jurnalisme.
Kata citizen journalism, atau variannya, berasal dari istilah jurnalistik yang selama
digunakan untuk menyebutkan bagaimana aktivitas warga yang terlibat dalam pelaporan dan
penulisan sebuah peristiwa untuk dipublikasikan. Fenomena citizen journalism juga
menyertakan fungsi-fungsi media massa pada umumnya, misalnya sebagai penghibur
(Rolnicki, et.al., 2008), memberikan informasi (McQuail, 1987), melakukan pendidikan
(McQuail, 1987), propaganda (Baran dan Davis, 2009), penentuan agenda-setting (Severin
dan Tankard, 2005), gerakan sosial politik (hiebert, 1995), pengawasan Negara/pemerintahan
(watchdog) (Vivian, 2008), media dalam perubahan budaya (Bourdieu, 1993) dan
sebagainya.
Pengertian dan penggunaan istilah tentang citizen journalism, yakni sebagai “aktivitas
jurnalistik yang dilakukan oleh warga, baik amatir maupun professional, dalam
mempublikasikan dan mendistribusikan, dan mengembangkan informasi melalui media
tradisional maupu media baru secara lebih interaktif”. Penambahan kata “pengembangan”
dan “interaktif” dari definisi tersebut bukan tanpa alasan; bahwa media citizen journalism
terutama di internet, bisa berupa portal atau situs jejaring sosial, memungkinkan proses
interaksi antarwarga ini terjadi.
Citizen journalism memungkinkan satu warga pun untuk membuat media citizen journalism
sekaligus langsung memproduksi dan mendistribusikan peristiwa sesuai dengan
keinginannya. Tidak ada nilai dan aturan yang membentuk warga dalam memilah dan
memilih peristiwa yang akan dipublikasikan; dalam kondisi tertentu, tidak ada kode etik yang
mengikat warga utuk mempublikasikan segala sesuatu yang bisa menimbulkan konflik atau
ketegangan antara agama, ras, maupun suku karena warga bisa bersembunyi di dalam
identitas virtual yang palsu atau anonymity (Wood and Smith 2005:63). Sehingga baik buruk
sebuah peristiwa dan keberpihakan yang disajikan dan terkandung dalam konten berita
ditentukan sepenuhnya oleh warga.
Dengan demikian, penulis melihat ada semacam pergeseran kultur media berkaitan
dengan warga sebagai audience. Selama ini warga yang ditempatkan sebagai konsumen pasif
dari media, kehadiran internet dan gerakan citizen journalism telat menmpatkan warga
sebagai produsen berita sekaligus sebagai narasumber berita.Hal ini jelas berbada dengan
jurnalis tradisional yang menempatkan jurnalis dan narasumber menjadi dua posisi yang
berbeda.Jika selama ini sebuah karya jurnalistik berupa pemberitaan medi dikerjakan oleh
jurnalis disebuah institusi resmi media, kini pemberitaan dan atau laporan sebuah peristiwa
tersebut bisa dilakukan oleh warga, peorangan maupun komunitas. Keterlibatan warga dalam
citizen journalism dan kemajuan fasilitas internet pada akhirnya membuka peluang bagi
distribusi informasi yang tidak hanya bersifat alternatif, melainkan juga lebih berimbang, apa
adanya dan bahkan mengaburkan kategori karya jurnalistik, misalnya dengan memasukkan
opini penulis didalamnya atau bahkan karya fiksi.
Media tradisional memiliki target konsumen media (audiences) yang sangat spesifik.
Spesifikasi audiences setidaknya terjadi karena
1. tipe dari konten media
2. keluasan jangkauan distribusi media
3. jumlah produk yang dihasilkan dan
4. batasan geografis tempat media itu berada.
Terkait dengan komodifikasi yang terjadi di media, mosco memformulasikan tiga bentuk
komodifikasi, yakni komodifikasi isi, komodifikasi khalayak, dan komodifikasi pekerja.
Pertama , komodifikasi isi (content) menjelaskan bagaimana konten atau isis media yang
di produksi merupakan komoditas yang ditawarkan. Proses komodifikas ini berawal dengan
mengubah data-data menjadi system makna oleh palaku media menjadi sebuah produk yang
akan dijual kepada konsumen,khalayak maupun perusahaan pengiklanan (1996,146-147).
Artinya media tidak hanya berhenti pada proses pembentukan kultur semata melalui konten
yang di distribusikan, melainkan juga menjadikan budaya itu sebagai sebuah komoditas yang
bisa di jual. Sejalan dengan konteks ini, adorno dan hokheimer menyodorkan tesis tentang
industry budaya. Bahwa media dan hiburan yang disajikan melalui media massa pada
dasarnya telah menjadi industry di era kapitalisme pasca-perang dunia II baik dalam
mensirkulasikan komoditas budaya maupun dalam memanipulasi kesadaran manusia
(Hokheimer dan Adorno, 1972 dalam agger,2009;180) industry budaya pada dasarnya juga
menjelaskan bagaimana budaya menjadi sesuatu yang manipulasi kesadaran manusia.
Budaya pop, sebagaimana di contohkan hokheimer dan adorno; bukanlah menjadi media
akhir dan paling tinggi yang bisa di gunkan untuk melakukan perlawanan terhadap
hegemoni capitalism sebagaimana diulas oleh Marx, melainkan budaya pop itu sendiri
mengandung iklan kedok untuk menutupi aktivitas kapital melalui media massa (hlm. 182-
183).
Kedua, komodifikasi khalayak.Dengan memakai wacana yang dipopulerkan oleh Smyte
(1977) dalam the audience commodity, komodifikasi khalayak ini menjelaskan bagaimana
sebenarnya khalayak tidak secara bebas hanya sebagai penikmat dan konsumen dari budaya
yang didistribusikan melalui media.
Ketiga, komodifikasi pekerja (labour). Bahwa perusahaan media massa pada
kenyataannya tak berbeda dengan pabrik-pabrik. Para pekerja tidak hanya memproduksi
konten dan mendapatkan penghargaan terhadap upaya menyenangkan khalayak melalui
konten tersebut, melainkan juga menciptakan khalayak sebagai penkerja yang terlibat dalam
mendistribusikan konten sebagai sebuah komoditas (Mosco, 1996:158).
Kemajuan teknologi informasi merupakan contoh bagaimana tanpa sadar khalayak juga
mentransformasikan dirinya tidak sekadar menjadi konsumen atau objek komoditas kepada
pengiklan, melainkan juga sudah menjadi produsen dalam industry budaya.
Pada saat itulah individu membebaskan dirinya dari ruang, tradisi, pengaruh globalisasi,
maupun sejarah dan pada akhirnya individu akan memosisikan dirinya sesuai dengan konteks
kebutuhan saat itu, membentuk diri serta mengkonstruksikan diri sebebas-bebasnya; dalam
pandangan Giddens, sebagaimana dikutip Willey, bahwa hubungan yang murni (pure)
terbangun secara sadar dan sukarela. Selanjutnya hubungan tersebut akan semaki erat apabila
diantara individu pancaran identitas diri di antara individu tersebut merefleksikan hal yang
sama, saling menyadari adanya kebutuhan, dilandasi rasa kepercayaan, serta adanya
pengungkapan diri (self-disclosure) untuk meraih kepercayaan.
Inilah yang menjadi perhatian miller tentang informasi diri yang didistribusikan melalui
media baru dan aktivitas blogging. Konten yang dihasilkan oleh individu pada dasarnya
memuat informasi tentang dirinya dan informasi itu menjelma sebagai komoditas yang
digunakan untuk membangun dan merawat hubungan dengan individu lain. Konsep produksi
informasi diri tersebut bbagi Miller merupakan salah sattu karakteristik dari entitas dalaman
jejaring, sebagaimaa dijelaskan oleh Castells (2000,2006), dan menjadi semacam “database”,
dalam pandangan Manovich (2001), yang bisa dikonsumsi oleh entitas lainnya.
Inilah mengapa di internet individu menjadi entitas yang selain mengonsumsi juga
menghasikan produk. Sebagaimana telah diternagkan oleh Castells, sifat internet yang
menghubungkan antar entitas melaui perantaraan perangkat komputer pada akhirnya
menciptakan perangat tersebut sebagai pabrik dalam memproduksi produk informasi; proses
ini disebut Boellstorff sebagai “creationist capitalism”. Informasi atau konten yang ada di
dunia virtual pada dasarnya merupakan produk kreatif dari entitas itu sendiri.
Kesimpulan
Konsep masyarakat jejaring atau network society menurut Manuel Castells (1996)
didekati untuk memahami fenomena sosial dan budaya sebagai sebuah struktur sosial atau
social structures.Dengan adanya network munculah struktur dimana segala prosedur kerja
maupun aktivitas yang pada dasarnya biasa dilakukan oleh manusia.