Anda di halaman 1dari 30

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. 1.

Tinjauan Literatur Audit a. Pengertian audit Ada beberapa definisi audit yang diberikan oleh beberapa ahli di bidang

akuntansi, antara lain: Menurut Alvin A.Arens dan James K.Loebbecke : Auditing is the accumulation and evaluation of evidence about information to determine and report on the degree of correspondence between the information and established criteria. Auditing should be done by a competent independent person. Menurut Mulyadi : Suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan.

11

Report ofthe Commite on Baic Auditing Concepts of the America Accounting Association (Accounting Review, vol 47) memberikan definisi auditning : Suatu proses sistematis untuk memperoleh serta mengevaluasi bukti secara objektif mengenai asersi asersi kegiatan dan peristiwa ekonomi, dengan tujuan menetapkan derajat kesesuaian antara asersi asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya serta penyampaian hasil hasilnya kepada pihak pihak yang berkepentingan. Bebrapa ciri penting yang ada dalam definisi definisi diatas dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Suatu proses sistematis berupa serangkaian langkah atau prosedur yang logis, terstruktur, dan terorganisir. 2) Memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif berarti memeriksa dasar asersi serta mengevaluasi hasil pemeriksaan tersebut tanpa memihak dan berprasangka, baik untuk atau terhadap perorangan (atau entitas) yang membuat asersi tersebut. 3) Asersi tentang kegiatan dan peristiwa ekonomi merupakan representasi yang dibuat oleh perorangan atau entitas. Asersi ini merupakan subjek pokok auditing. 4) Derajat kesesuaian menunjuk pada kedekatan dimana asersi dapat diidentifikasi dan dibandingkan dengan kriteria yang telah ditetapkan.

12

5) Kriteria yang telah ditetapkan adalah standar standar yang digunakan sebagai dasar untuk menilai asersi atau pernyataan. 6) Penyampaian hasil diperoleh melalui laporan tertulis yang menunjukkan derajat kesesuaian antara asersi dan kriteria yang telah ditetapkan. 7) Pihak pihak yang berkepentingan adalah mereka yang menggunakan temuan temuan auditor. Dalam melaksanakan audit faktor-faktor berikut harus diperhatikan: 1) Dibutuhkan informasi yang dapat diukur dan sejumlah kriteria (standar) yang dapat digunakan sebagai panduan untuk mengevaluasi informasi tersebut, 2) Penetapan entitas ekonomi dan periode waktu yang diaudit harus jelas untuk menentukan lingkup tanggung jawab auditor, 3) Bahan bukti harus diperoleh dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk memenuhi tujuan audit, 4) Kemampuan auditor memahami kriteria yang digunakan serta sikap independen dalam mengumpulkan bahan bukti yang diperlukan untuk mendukung kesimpulan yang akan diambilnya. b. Jenis-jenis Auditor Auditor biasanya diklasifikasikan dalam dua kategori berdasarkan siapa yang mempekerjakan mereka, yaitu : Auditor eksternal, dan auditor internal.

13

1) Auditor eksternal. Audit eksternal merupakan pihak luar yang bukan merupakan karyawan perusahaan, berkedudukan independen dan tidak memihak baik terhadap auditeenya maupun terhadap pihak-pihak yang berkepentingan dengan auditeenya (pengguna laporan keuangan). Auditor eksternal dapat melakukan setiap jenis audit. 2) Auditor Internal. Auditor internal adalah pegawai dari perusahaan yang diaudit, auditor ini melibatkan diri dalam suatu kegiatan penilaian independen dalam lingkungan perusahaan sebagai suatu bentuk jasa bagi perusahaaan. Fungsi dasar dari Internal Audit adalah suatu penilaian, yang dilakukan oleh pegawai perusahaan yang terlatih mengenai ketelitian, dapat dipercayainya, efisiensi, dan kegunaan catatan-catatan (akutansi) perusahaan, serta pengendalian intern yang terdapat dalam perusahaan. Tujuannya adalah untuk membantu pimpinan perusahaan (manajemen) dalam melaksanakan tanggung jawabnya dengan memberikan analisa, penilaian, saran, dan komentar mengenai kegiatan yang di audit. Untuk mencapai tujuan tersebut, internal auditor melakukan kegiatankegiatan berikut: a) Menelaah dan menilai kebaikan, memadai tidaknya dan penerapan sistem pengendalian manajemen, struktur pengendalian intern, dan pengendalian operasional lainnya serta mengembangkan pengendalian yang efektif dengan biaya yang tidak terlalu mahal. b) Memastikan ketaatan terhadap kebijakan, rencana dan prosedur -prosedur yang telah ditetapkan oleh manajemen. 14

c) Memastikan seberapa jauh harta perusahaan dipertanggungjawabkan dan dilindungi dari kemungkinan terjadinya segala bentuk pencurian, kecurangan dan penyalahgunaan. d) Memastikan bahwa pengelolaan data yang dikembangkan dalam organisasi dapat dipercaya. e) Menilai mutu pekerjaan setiap bagian dalam melaksanakan tugas yang diberikan oleh manajemen. f) Menyarankan perbaikan-perbaikan operasional dalam rangka

meningkatkan efisensi dan efektifitas. Dari kegiatan-kegiatan yang dilakukannya tersebut dapat disimpulkan bahwa internal auditor antara lain memiliki peranan dalam : a. Pencegahan Kecurangan (Fraud Prevention), b. Pendeteksian Kecurangan (Fraud Detection), dan c. Penginvestigasian Kecurangan (Fraud Investigation).

2.

Gender Gender adalah pembedaan psikologis yang mencangkup pengertian akan

sifat atau ciri kewanitaan dan kepriaan. Suatu sifat yang melekat pada kaum lakilaki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun budaya, misalnya adanya anggapan bahwa perempuan mempunyai sifat lemah lembut, emosional dan keibuan, sedangkan pria bersifat kuat, rasional, dan perkasa (Fakih, 1996). Perbedaan gender antara manusia dengan jenis kelamin laki - laki dan perempuan terjadi melalui proses yang panjang yaitu proses pembentukan perbedaan karakter 15

yang terbentuk karena bentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstruksikan sesuai dengan segi sosial dan budaya melalui ajaran agama maupun hukum negara. Dalam Ardi (2008) gender menurut Umar (1995:5) adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki laki dan perempuan dari segi budaya. Pengertian tersebut mengandung kesimpulan yang mendefinisikan gender sebagai pembagian peran serta tanggung jawab, baik laki laki maupun perempuan, yang ditetapkan secara sosial maupun kultural. Dalam masyarakat patriaki, pandangan hidup yang berlaku bersifat seksis, jenis kelamin perempuan ditempatkan dalam posisi subordinat atau bawahan. Sementara jenis kelamin laki laki sebagai supordinat atau menduduki posisi dominan, sehingga berpengaruh pada isu gender itu sendiri yang pada akhirnya melahirkan stereotyping (pelabelan) yaitu perempuan merupakan makhluk lemah, emosional, dan bertanggung jawab pada peran domestik saja. Menurut hasil penelitian, konflik peran lebih dirasakan oleh kaum perempuan daripada laki laki. Ada beberapa fenomena sebagai hasil proses sosialis yang menyebabkan perbedaan tersebut, yaitu Permintaan peran, pembagian kerja seksual di dalam rumah yang tidak seimbang, dan majikan memisahkan urusan kerja dan rumah. Perkembangan emansipasi beberapa dekade ini menyebabkan tenaga kerja wanita memasuki dunia kerja, bahkan pada bidang bidang yang diasosiasikan dengan pekerjaan laki laki seperti akuntan publik yang umumnya stereoptype pekerjaan laki laki Mulia dan Wijaya (2005).

16

3.

Kecerdasan Emosi a. Pengertian Kecerdasan Emosi Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990

oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Kualitas kualitas ini antara lain adalah empati (kepedulian), mengungkapkan dan memahami perasaan,

mengendalikan amarah, keandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, keswtiakawanan, keramahan, dan sikap hormat (www.fedus.org). Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut EQ sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk

membimbing pikiran dan tindakan. (Shapiro, 1998). Menurut Wibowo (2002), kecerdasan emosional adalah kecerdasan untuk menggunakan emosi sesuai dengan keinginan, kemampuan untuk mengendalikan emosi sehingga memberikan dampak yang positif. Kecerdasan emosional dapat membantu membangun hubungan dalam menuju kebahagiaan dan kesejahteraan. Menurut Cooper dan Sawaf (1999) kecerdasan emosi adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koreksi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan untuk belajar mengakui,

17

menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari. Dimana kecerdasan emosi juga merupakan kemampuan untuk menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai tujuan untuk membangun produktif dan meraih keberhasilan. Menurut Robert K. Cooper dalam Ari, 2008 kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk merasakan, memahami secara efektif, menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh manusiawi. Goleman (1997) mendefinisikan bahwa kecerdasan emosi adalah suatu kemampuan seseorang yang didalamnya terdiri dari berbagai kemampuan untuk dapat memotivasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan impulsive needs atau dorongan hati, tidak melebih-lebihkan kesenangan maupun kesusahan, mampu mengatur reactive needs, menjaga agar bebas stress, tidak melumpuhkan kemampuan berfikir dan kemampuan untuk berempati pada orang lain, serta adanya prinsip berusaha sambil berdoa. Goleman menambahkan kecerdasan emosional merupakan sisi lain dari kecerdasan kognitif yang berperan dalam aktivitas manusia yang meliputi kesadaran diri dan kendali dorongan hati, ketekunan, semangat dan motivasi diri serta empati dan kecakapan sosial. Kecerdasan emosional lebih ditujukan kepada upaya mengenali, memahami dan mewujudkan emosi dalam porsi yang tepat dan upaya untuk mengelola emosi agar terkendali dan dapat memanfaatkan untuk memecahkan masalah kehidupan terutama yang terkait dengan hubungan antar manusia.

18

Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari hari, serta merupakan kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain. Banyak ilmuan percaya bahwa emosi manusiawi, terutama berkembang melalui mekanisme kelangsungan hidup. Kecerdasan emosi bukan didasarkan pada kepintaran, melainkan pada suatu yang dahulu disebut karakteristik pribadi atau karakter. (Emotional Intelligence, hal 4 dalam www.fedusa.org). Kecerdasan
emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap saat.(Ika, 2008)

Menurut Le Dove Goleman (1997) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi antara lain: 1) Fisik. Secara fisik bagian yang paling menentukan atau paling berpengaruh terhadap kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi saraf emosinya. Bagian otak yang digunakan untuk berfikir yaitu konteks (kadang disebut juga neo konteks). Sebagai bagian yang berada dibagian otak yang mengurusi emosi yaitu system limbic, tetapi sesungguhnya antara kedua bagian inilah yang menentukan kecerdasan emosi seseorang. 2) Psikis. Kecerdasan emosi selain dipengaruhi oleh kepribadian individu, juga dapat dipupuk dan diperkuat dalam diri individu.

19

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang yaitu secara fisik dan psikis. Secara fisik terletak dibagian otak dan lingkungan non keluarga. secara psikis meliputi lingkungan keluarga dan

b. Aspek-aspek kecerdasan emosi Goleman (2002) mengutip Salovey dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemapuan tersebut menjadi 5 aspek kemampuan utama, yaitu : 1) Mengenali emosi diri Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi. 2) Mengelola emosi Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai

20

keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita Goleman (2002). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan. 3) Memotivasi diri sendiri Presatasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri. 4) Mengenali emosi orang lain Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Menurut Goleman (2002) kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain. Rosenthal Goleman, (2002) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orangorang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuiakan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah

21

bergaul, dan lebih peka. Nowicki Goleman (2002), ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustasi. Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain. 5) Membina hubungan Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi Goleman (2002). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan

kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi Goleman (2002). Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana siswa mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauh mana kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya. Goleman menambahkan aspek-aspek kecerdasan emosi meliputi:

22

1) Kesadaran diri. Mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan untuk diri sendiri memiliki tolak ukur realitas atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. 2) Pengaturan diri. Menangani emosi kita sedemikian rupa sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup untuk menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, mampu pulih kembali dari tekanan emosi. 3) Motivasi. Kemampuan menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntut kita menuju sasaran, membantu kita mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif dan untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. 4) Empati Merasakan yang dirasakan orang lain, mampu memahami prespektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam macam orang. 5) Keterampilan sosial. Menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar menggunakan keterampilan keterampilan ini mempengaruhi dan memimpin,

23

bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan dan untuk bekerja dalam tim. Derajat kemampuan masing-masing pribadi didalam tiap aspek tersebut bisa berbeda-beda. Namun sistem syaraf manusia itu fleksibel sekali, hal ini adalah salah satu alasan yang menyebabkan berbagai kemampuan ini dapat selalu dipelajari dan ditingkatkan. Ciri-ciri seseorang ber-EQ tinggi: 1) EQ tinggi pria:

Luwes dalam pergaulan, ceria, berinisiatif, tidak mudah takut/menyesal. Peduli pada kesulitan masyarakat, mampu mengambil tanggung jawab, etis, simpatik, dan menjaga hubungan. 2) EQ tinggi wanita:

Terbuka, mampu mengutarakan perasaanya secara terbuka, merasa positif, hidup terasa berarti. Juga berinisiatif, tahan stress, trampil menangani orangorang baru, spontan, terbuka dalam masalah seksual. Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan dapat disimpulkan aspek-aspek kecerdasan emosi meliputi mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, membina hubungan, kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati dan keterampilan sosial. Untuk selanjutnya dijadikan indikator alat ukur kecerdasan emosi dalam penelitian, dengan pertimbangan aspek-aspek tersebut cukup mewakili dalam mengungkap kecerdasan emosi sebagai subjek penelitian.

24

4.

Keyakinan Diri Keyakinan diri dapat diartikan bahwa suatu kepercayaan akan kemampuan

sendiri yang memadai dan menyadari kemampuan yang dimiliki dapat di manfaatkan secara tepat. Psikolog W.H.Miskell di tahun 1939 telah

mendefinisikan arti percaya diri dalam bukunya yang bertuliskan Percaya diri adalah kepercayaan akan kemampuan sendiri yang memadai dan menyadari kemampuan yang dimiliki, serta dapat memanfaatkannya secara tepat. Tak lain halnya psikolog ultra kondang maslow yang berkata Percaya diri merupakan modal dasar untuk pengembangan aktualitas diri. Dengan percaya diri orang akan mampu mengenal dan memahami diri sendiri. Sementara itu, kurangnya percaya diri akan menghambat pengembangan potensi diri. Jadi orang yang kurang percaya diri akan menjadi seseorang yang pesimis dalam menghadapi tantangan, takut dan ragu-ragu untuk menyampaikan gagasan, serta bimbang dalam menentukan pilihan dan sering membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain". Bandura (1982) dalam Siti (2010) menyatakan keyakinan diri adalah keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk mengorganisasi dan melakukan tindakan-tindakan yang perlu dalam mencapai tingkat kinerja tertentu. Orang yang percaya diri selalu bertanggung jawab atas keputusan yang telah diambil maupun menetapkan fakta dan realitas secara objektif yang didasari kamampuan dan keterampilan Amitya Kumara dan Yapsir Gandi Wirawan (1991). Dalam kehidupan manusia memiliki keyakinan diri itu merupakan hal yang sangat penting. Keyakinan diri mendorong seseorang untuk memahami secara

25

mendalam atas situasi yang dapat menerangkan tentang mengapa seseorang ada yang mengalami kegagalan dan atau yang berhasil. Dari pengalaman itu, ia akan mampu untuk mengungkapkan keyakinan diri. Kurniawan dalam Ika (2008) keyakinan diri merupakan panduan untuk tindakan, yang telah dikonstruksikan dalam perjalanan pengalaman interaksi sepanjang hidup individu. Keyakinan diri yang berasal dari pengalaman tersebut yang akan digunakan untuk memprediksi perilaku orang lain dan memandu perilakunya sendiri. Lebih lanjut lagi Crick & Dodge Ika (2008) menjelaskan keyakinan diri merupakan representasi mental individu atas realitas, terbentuk oleh pengalaman - pengalaman masa lalu dan masa kini, dan disimpan dalam memori jangka panjang. Yang mana skema-skema spesifik, keyakinan-keyakinan, ekspektansi - ekspektansi yang terintregrasi dalam sistem keyakinan akan mempengaruhi intrepertasi individu terhadap situasi spesifik. Proses intrepretasi individu terhadap situasi spesifik ini pada gilirannya diprediksi akan mempengaruhi perilaku seseorang. Dalam konsep keyakinan diri dijelaskan terjadi proses intrepretasi individu terhadap situasi spesifik yang pada gilirannya dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Hal tersebut juga menjelaskan bahwa keyakinan diri merupakan cara pandang seseorang terhadap kualitas dirinya sendiri, baik atau buruk, dan keyakinan diri tersebut dapat dibangun sesuai karakteristik seseorang dan bersifat khusus Ratna (2008).
Keyakinan diri seseorang dapat mengarahkan tindakan-tindakan seseorang bukan hanya dengan orang lain tetapi juga dengan lingkungan yang lebih luas. Keyakinan diri memiliki fungsi adaptif yang memungkinkan individu memenuhi persyaratan-persyaratan sosiokultural dan tuntutan kognitif. Keyakinan diri juga

26

memungkinkan ndividu untuk dapat mengorganisasikan dunianya dalam cara-cara yang konsisten secara psikologis, melakukan prediksi, menemukan kesamaan, dan menghubungkan pengalaman-pengalaman baru dengan pengalaman-pengalaman masa lalu, bahkan memunculkan kekuatan pikiran yang dapat dibawa hingga kedalam alam bawah sadarnya. Dari hal-hal tersebut McGillicuddy-DeLisi dalam Ika (2008) mendefinisikan keyakinan diri merupakan alat dalam menetapkan prioritas, mengevaluasi kesuksesan, maupun alat untuk memelihara efikasi diri.

Bagaimana individu itu bersikap, bertingkah laku, dan memotivasi diri dapat menjadi salah satu sumber kekuatan individu dalam memunculkan keyakinan diri, sehingga dijelaskan pula oleh Wicaksono (2008) keyakinan diri adalah sebuah unsur yang bisa mengubah getaran pemikiran biasa; dari pikiran yang terbatas, menjadi suatu bentuk padanan yang masuk ke dalam koridor spiritual dan merupakan dasar dari semua "mukjizat", serta misteri yang tidak bisa dianalisis dengan cara-cara ilmu pengetahuan. Keyakinan itu merupakan sebuah media tunggal dan satu-satunya, yang memungkinkan untuk membangkitkan suatu kekuatan dari sumber energi tanpa batas di dalam diri dan mengendalikannya untuk dimanfaatkan demi kebaikan manusia itu sendiri, serta merupakan suatu keadaan pikiran, yang bisa dirangsang atau diciptakan oleh perintah peneguhan secara terus menerus lewat pikiran dan perkataan positif, sampai akhirnya meresap ke dalam pikiran bawah sadar. Berangkat dari asumsi-asumsi diatas bahwa keyakinan diri seseorang dapat mengarahkan tindakan-tindakan seseorang bukan hanya dengan orang lain tetapi juga dengan lingkungan yang lebih luas. Keyakinan diri memiliki fungsi adaptif yang memungkinkan individu memenuhi persyaratan-persyaratan sosiokultural 27

dan tuntutan kognitif. Keyakinan diri juga memungkinkan individu untuk dapat mengorganisasikan dunianya dalam cara-cara yang konsisten secara psikologis, melakukan prediksi, menemukan kesamaan, dan menghubungkan pengalamanpengalaman baru dengan pengalaman-pengalaman masa lalu, bahkan

memunculkan kekuatan pikiran yang dapat dibawa hingga kedalam alam bawah sadarnya. Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa keyakinan diri adalah representasi mental dan kognitif individu atas realitas, yang terbentuk oleh pengalaman-pengalaman masa lalu dan masa kini, dan disimpan dalam memori jangka panjang yang mempengaruhi cara-cara sosialisasi yang akan dilakukan serta cara pandang seseorang terhadap kualitas dirinya sendiri, baik atau buruk, dan keyakinan diri tersebut dapat dibangun sesuai karakteristik seseorang dan bersifat khusus, dimana keyakinan diri mencakup efikasi diri dan kontrol diri.

a. Ciri ciri percaya diri Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keyakinan diri

1. Percaya kemampuan diri 2. Tidak terdorong sikap kompromis untuk diterima orang lain 3. Berani menerima dan menolak orang lain 4. Berani jadi diri sendiri 5. Punya pengendalian diri yang baik 6. Memiliki control diri

28

7. Memunyai cara pandang positif tentang diri sendiri, orang lain, situasi di luar dirinya 8. Memiliki harapan yang realistik

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan diri Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keyakinan diri. Menurut Greenberg dan Baron dalam Ika (2008) mengatakan ada dua faktor yang mempengaruhi efikasi diri, yaitu:

1. Pengalaman langsung, sebagai hasil dari pengalaman mengerjakan suatu tugas


dimasa lalu (sudah pernah melakukan tugas yang sama dimasa lalu).

2. Pengalaman tidak langsung, sebagai hasil observasi pengalaman orang lain


dalam melakukan tugas yang sama (pada waktu individu mengerjakan sesuatu dan bagaimana individu tersebut menerjemahkan pengalamannya tersebut dalam mengerjakan suatu tugas). Hal yang tidak jauh berbeda diungkapkan pula oleh Bandura dalam Ika (2008) bahwa keyakinan diri seseorang dipengaruhi pila oleh: 1. Pencapaian prestasi. Faktor ini didasarkan oleh pengalaman-pengalaman yang dialami individu secara langsung. Apabila seseorang pernah mengalami keberhasilan dimasa lalu maka dapat meningkatkan efikasi dirinya. 2. Pengalaman orang lain. Individu yang melihat orang lain berhasil dalam melakukan aktivitas yang sama dan memiliki kemampuan yang sebanding dapat meningkatkan efikasi dirinya. Individu yang pada awalnya memiliki efikasi diri yang rendah akan

29

sedikit berusaha untuk dapat mencapai keberhasilan seperti yang diperoleh orang lain. 3. Bujukan lisan. Individu diarahkan dengan saran, nasehat, bimbingan sehingga dapat meningkatkan keyakinan bahwa kemampuan-kemampuan yang dimiliki dapat membantu untuk mencapai apa yang diinginkan. 4. Kondisi emosional. Seseorang akan lebih mungkin mencapai keberhasilan jika tidak terlalu sering mengalami keadaan yang menekan karena dapat menurunkan prestasinya dan menurunkan keyakinan akan kemampuan dirinya.

c. Aspek-aspek keyakinan diri Selain faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keyakinan diri adapula aspekaspek yang terdapat dalam keyakinan diri. Menurut Bandura dalam Ika (2008) ada tiga aspek efikasi diri: a. Magnitude. Aspek ini berkaitan dengan kesulitan tugas. Apabila tugas-tugas yang dibebankan pada individu disusun menurut tingkat kesulitannya, maka perbedaan efikasi diri secara individual mungkin terbatas pada tugas-tugas yang sederhana, menengah atau tinggi. Individu akan melakukan tindakan yang dirasakan mampu untuk dilaksanakannya dan akan tugas-tugas yang diperkirakan diluar batas kemampuan yang dimilikinya. b. Generality.

30

Aspek ini berhubungan dengan luas bidang tugas atau tingkah laku. Beberapa pengalaman berangsur-angsur menimbulkan penguasaan terhadap

pengharapan pada bidang tugas atau tingkah laku yang khusus sedangkan pengalaman yang lain membangkitkan keyakinan yang meliputi berbagai tugas. c. Strength. Aspek ini berkaitan dengan tingkat kekuatan atau kemantapan seseorang terhadap keyakinannya. Tingkat efikasi diri yang lebih rendah mudah digoyangkan oleh pengalaman-pengalaman yang memperlemahnya,

sedangkan orang yang memilki efikasi diri yang kuat akan tekun dalam meningkatkan usahanya meskipun dijumpai pengalaman yang

memperlemahnya. Hal lain diungkapkan oleh Abdullah (2003) dimana aspek-aspek dalam keyakinan diri ada empat, yaitu:

a. Keyakinan terhadap kemampuan mengahadapi situasi yang tidak menentu


yang mengandung unsur kekaburan, tidak dapat diprediksikan, dan penuh tekanan. Individu dengan efikasi diri yang tinngi akan mempunyai keyakinan serta kemampuan dalam menghadapi tantangan dan akan berusaha lebih keras untuk mencapai keberhasilan meskipun situasi tersebut terdapat unsur kekaburan, tidak dapat diprediksi dan penuh tekanan.

b. Keyakinan terhadap kemampuan menggerakkan motivasi, kemampuan


kognitif dan melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencapai suatu hasil. Efikasi diri yang ada pada diri individu mampu mempengaruhi aktivitas serta usaha yang dilakukan dalam menghadapi kesulitan untuk mencapai dan

31

menyelesaikan tugas. Individu dengan efikasi diri yang tinggi mampu menggerakkan motivasi, kemampuan kognitif dan melakukan

tindakantindakan yang diperlukan untuk mencapai suatu hasil.

c. Keyakinan mencapai target yang telah ditetapkan. Individu menetapkan target


untuk keberhasilannya dalam melakukan setiap tugas. Individu dengan efikasi diri yang tinggi apabila gagal mencapai target, justru akan berusaha lebih giat lagi untuk meraih target dan cara belajarnya.

d. Keyakinan terhadap kemampuan mengatasi masalah yang muncul. Individu


dengan efikasi diri yang tinggi memiliki keyakinan mampu mengatasi masalah atau kesulitan dalam bidang tugas yang ditekuninya. Selain dari beberapa aspek diatas adapula aspek-aspek lain yang dikemukakan Corsini dalam Ika (2008) yaitu:

a. Kognitif. Kemampuan sseorang untuk memikirkan cara-cara yang digunakan


dan merancang tindakan yang akan diambil untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Asumsi yang timbul dari dari aspek kognitif ini adalah semakin efektif kemampuan berfikir dan dalam berlatih mengungkapkan ide-ide atau gagasan-gagasan pribadi, maka akan mendukung seseorang bertindak dengan tepat untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

b. Motivasi. Kemampuan seseorang untuk memotivasi diri melalui pikirannya


untuk melakukan suatu tindakan dan keputusan dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Motivasi seseorang timbul dari pemikiran optimis dalam diri untuk mewujudkan tujuan yang diharapkan. Motivasi dalam efikasi diri digunakan untuk memprediksi kesuksesan dan kegagalan individu.

32

c. Afeksi. Kemampuan mengatasi emosi yang timbul pada diri sendiri untuk
mencapai tujuan yang diharapkan. Afeksi terjadi secara alami dalam diri seseorang dan berperan dalam menentukan intensitas pengalaman emosional. Afeksi ditunjukkan dengan mengontrol kecemasan dan perasaan depresif yang menghalangi pola-pola piker yang benar untuk mencapai tujuan.

d. Seleksi. Kemampuan seseorang untuk menyeleksi tingkah laku dan


lingkungan yang tepat sehinnga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Asumsi yang timbul dalam aspek ini yaitu ketidakmampuan orang dalam melakukan seleksi, tingkah laku membuat orang tidak percaya diri, bingung dan mudah menyerah ketika menghadapi masalah atau situasi yang sulit. Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa aspek-aspek dalam keyakinan diri yaitu magnitude, generality, strength, keyakinan terhadap kemampuan mengahadapi situasi yang tidak menentu yang mengandung unsur kekaburan, tidak dapat diprediksikan, dan penuh tekanan, keyakinan terhadap kemampuan

menggerakkan motivasi, kemampuan kognitif dan melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencapai suatu hasil, keyakinan mencapai target yang telah ditetapkan. Individu menetapkan target untuk keberhasilannya dalam melakukan setiap tugas, keyakinan terhadap kemampuan mengatasi masalah yang muncul, kognitif, motivasi, afeksi, seleksi.

5.

Audit Judgment Judgment mengacu pada aspek kognitif dalam proses pengambilan

keputusan dan mencerminkan perubahan dalam evaluasi, opini atau sikap. Auditor diharapkan memiliki judgment yang berkualitas untuk memberi keyakinan bahwa

33

penilaian mereka terhadap laporan keuangan adalah benar. Profesi akuntan adalah sebuah profesi yang menuntut adanya kemampuan dalam memproses informasi (secara kognitif) dalam menentukan judgment dalam sebuah penugasan audit. Hogarth dalam Zaenal Fanani et al (2007) mengartikan judgment sebagai proses kognitif yang merupakan perilaku pemilihan keputusan. Judgment merupakan suatu proses yang terus menerus dalam perolehan informasi (termasuk umpan balik dari tindakan sebelumnya), pilihan untuk bertindak atau tidak bertindak, penerimaan informasi lebih lanjut. Proses judgment tergantung pada kedatangan informasi sebagai suatu proses unfolds. Kedatangan informasi bukan hanya mempengaruhi pilihan, tetapi juga mempengaruhi cara pilihan tersebut dibuat. Setiap langkah, di dalam proses incremental judgment jika informasi terus menerus datang, akan muncul pertimbangan baru dan keputusan/pilihan baru. Sebagai gambaran, akuntan publik mempunyai tiga sumber informasi yang potensial untuk membuat suatu pilihan: (1) teknik manual, (2) referensi yang lebih detail dan (3) teknik keahlian. Berdasarkan proses informasi dari ketiga sumber tersebut, akuntan mungkin akan melihat sumber yang pertama, bergantung pada keadaan perlu tidaknya diperluas dengan sumber informasi kedua, atau dengan sumber informasi yang ketiga, tetapi jarang memakai keduanya (Gibbin, 1984) Zaenal Fanani et al (2007).
Audit judgment diperlukan pada empat tahap dalam proses audit atas laporan keuangan, yaitu perimaan perikatan, perencanaan audit, pelaksanaan pengujian audit dan pelaporan audit Mulyadi dalam Novy (2010).

34

Salah satu contoh dari audit judgment adalah jika seorang auditor hendak menerima suatu perikatan audit, maka harus melakukan audit judgment terhadap beberapa hal yaitu integritas manajemen, risiko luar biasa, independensi, kemampuan untuk menggunakan kemahiran profesionalnya dengan kecermatan dan yang pada akhirnya diambil keputusan menerima atau tidak suatu perikatan audit. Audit judgment sangat tergantung dari persepsi mengenai suatu situasi. Judgment yang merupakan dasar dari sikap professional adalah hasil signifikan dan tampak mengendalikan semua unsur seperti pengalaman adalah perasaan auditor dalam menghadapi situasi mengingat keberhasilan dari situasi sebelumnya. Judgment adalah perilaku paling berpengaruh dalam mempersiapkan situasi, dimana faktor utama yang mempengaruhinya adalah materialitas dan apa yang kita yakini sebagai kebenaran. Audit judgment diperlukan karena audit tidak dilakukan terhadap seluruh bukti dimana salah satu faktor yang menentukan audit judgment adalah kemampuan untuk membenarkan penilaian auditor. Bukti inilah yang digunakan untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditor. Sehingga dapat dikatakan bahwa audit judgment ikut menentukan hasil dari pelaksanaan audit. Novy (2010).

Kualitas pekerjaan auditor dapat dilihat dari kualitas judgment dan keputusan yang diambil. Menurut Edward et al. (1984) dalam (Siti, 2010) ada dua kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi sebuah keputusan, yaitu berorientasi hasil dan berorientasi proses. Kriteria berorientasi hasil yang digunakan ketika keakuratan hasil dapat ditentukan. Untuk mengevaluasi kualitas dari sebuah keputusan yang dipilih dilakukan dengan membandingkan solusi dan kriteria hasil standar. Berbeda dengan kriteria yang berorientasi hasil, kriteria yang berorientasi proses digunakan ketika keakuratan hasil tidak dapat ditentukan. Jadi, untuk

35

mengevaluasi kualitas keputusan auditor yang dilihat dari kualitas proses auditnya dilakukan oleh auditor selama pekerjaan audit dari awal sampai keputusan yang diambil.

B. Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu Adapun hasil-hasil sebelumnya dari penelitian-penelitian terdahulu mengenai topik yang berkaitan dengan penelitian ini dapat dilihat dalam tabel 2.1.

36

No 1.

2.

Peneliti (Tahun) James Shanteau and Jean M. Peters(198 9) Nono Hery Yoenanto, S.Psi (2002)

Judul Penelitian The 3 C's of Expert Audit Judgment: Creativity, Confidence, and Communication Pentingnya kecerdasan emosi bagi kepemimpinan yang efektif

Metodologi2.1 Tabel Penelitian Persamaan Perbedaan Variabel confidence, dan Variabel gender, creativity, Hasil Penelitian Terdahulu audit judgment, analisis comuniccation. Objek menggunakan skala likert penelitian adalah mahasiswa akuntansi

Hasil Penelitian Keyakinan diri dan kemampuan komunikasi adalah media penting dalam pembuatan judgmet.

Variabel kecerdasan emosi

Variabel kepemimpinan yang efektif. Penjelasan deskriptif

3.

Rachelle dan Vincent (2005)

Orang yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi lebih cenderung sukses dalam dunia kerja dan dalam hidup di masyarakat. Dengan demikian orang yang memiliki kompetensi pribadi (kesadaran diri dan kemampuan mengelola diri sendiri) dan kompetensi sosial (motivasi, empati dan ketrampilan sosial) yang merupakan aspek dari kecerdasan emosi cenderung lebih berhasil dalam segala bidang pekerjaan dan kehidupan Laki laki memiliki tingkat kepercayaan diri yang lebih tinggi daripada perempuan

Bersambung pada halaman Selanjutnya

4.

Siti Jamilah, Zaenal Fanani, dan Grahita Chandrarin (2007)

Pengaruh gender, tekanan ketaatan, kompleksitas tugas terhadap audit judgment

Variabel gender dan audit judgment.

Variabel tekanan kerja dan kompleksitas tugas. Analisis regresi berganda. objek Kantor Akuntan Publik yang ada di Jawa Timur.

Bersambung pada halaman Selanjutnya

Gender tidak berpengaruh terhadap audit judgment, Kondisi ini menunjukkan bahwa perbedaan gender antara auditor pria dan wanita dengan perbedaan 37 karakter dan sifat yang melekat pada individu masing-masing tidak berpengaruh terhadap judgment yang akan diambilnya.

38

C. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam gambar 2.2. Tingkat kepercayaan publik terhadap profesi auditor Aspek individu Basis Teori: Teori Peran dan Teori-teori Auditing Variabel Independen Pengaruh Gender ( X1) Kecerdasan Emosi( X2) Keyakinan Diri ( X3) Variabel Dependen Audit Judgment (Y)

Variabel moderating Metode Analisis: Regresi Regresi Berganda Regresi moderate Hasil Pengujian dan Pembahasan

Kesimpulan, Implikasi, Keterbatasan, dan Saran Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran D. Pengembangan Hipotesis 39

H1: Gender berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap keakuratan audit judgment. H2: Interaksi antara gender dengan kecerdasan emosi berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap keakuratan audit judgment. H3: Interaksi antara gender dengan keyakinan diri berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap keakuratan audit judgment.

40

Anda mungkin juga menyukai