Anda di halaman 1dari 17

TINJAUAN PUSTAKA

Penambangan Timah dan Kolong


Pertambangan timah di Indonesia dimulai pada abad ke-18. Sejak tahun
1815 penambangan timah di pulau Bangka dilaksanakan oleh pemerintah Hindia
Belanda. Tahun 1958 semua kegiatan penambangan timah dibawah Biro Urusan
Perusahaan Tambang Timah Negara (BUPTAN) dan dibentuk Badan Pimpinan
Umum Perusahaan Tambang Timah Negara pada tahun 1961. Selanjutnya tahun
1968 direorganisasi menjadi Perusahaan Negara Tambang Timah.
Timah putih berasal dari mineral Kasiterit (SnO), Stannit (Cu2FeSnS4) dan
Teallit (PbSnS2). Endapan timah primer terdapat pada batuan granit, sedangkan
timah sekunder berasal dari timah primer yang telah mengalami pelapukan.
Apabila endapan tersingkap, maka endapan terutama yang mengandung mineral
sulfida akan mengalami proses pelapukan oleh oksigen dan dilanjutkan proses
pelarutan oleh air hujan (Sukandarrumidi 2007).
Penambangan timah di Bangka hampir secara keseluruhan meninggalkan
lahan-lahan berupa kolong darat (hamparan tailing dan over burden) serta kolong
air (bekas penggalian biji timah) berukuran 10–100 hektar, dengan kedalaman
lima sampai 25 meter. Permasalahannya adalah kualitas hamparan tailing serta air
kolong memiliki derajat keasaman yang tinggi (pH rendah), kandungan mikroba
dan unsur hara yang rendah, serta adanya mineral-mineral berat terlarut (Geotek
LIPI 2003).
Sistem penambangan timah dapat dikelompokkan menjadi empat cara,
yaitu : (1) tambang dengan tenaga manusia (manual mining), (2) tambang semprot
(hydraulic mining), (3) kapal keruk darat (dredging mining), dan (4) tambang
terbuka (open pit mining). Dampak dari sistem penambangan tersebut
menyebabkan terjadinya kolong dengan berbagai ukuran dan dimensi, baik yang
berhubungan langsung dengan sungai dan laut ataupun tidak berhubungan
langsung (UNSRI 1999). Bennet (1970) menjelaskan beberapa ”lubang” bekas
galian gravel, batu kapur, batubara, atau deposit mineral permukaan lainnya yang
dibuat oleh manusia kadang dipenuhi oleh air tanah dan diisi dengan ikan.
7

Pemanfaatan kolong sendiri tergantung dari kondisi masing-masing


kolong. Ada dalam kolong dapat merupakan campuran dari air hujan dan air
tanah, air sungai, atau air laut. Usia kolong sangat berpengaruh terhadap
ketersediaan nutrien, karena biasanya berkaitan dengan seberapa kaya kehidupan
biota dan mikroorganisme di kolong tersebut.
Menurut survei tahun 1998/1999 yang dilakukan tim dari Universitas
Sriwijaya atas permintaan PT Timah, terdapat sebanyak 887 kolong dengan luas
keseluruhan 1.712,65 ha dan rata-rata kedalaman 9,5 meter di Bangka Belitung,
yaitu 544 kolong di Bangka (luas 1.035,51 ha) dan 343 kolong lainnya di Belitung
(677,14 ha). Pada musim kemarau, 90 persen dari total kolong atau 789 buah
dimanfaatkan masyarakat untuk mandi dan mencuci, terutama kebutuhan air
minum. Pada keadaan normal, 21,31 persen atau 189 kolong dimanfaatkan untuk
mandi, mencuci, sumber air minum, rekreasi, perikanan, dan industri.

Besi
Dibandingkan dengan makronutrien (C, N, dan P), mikronutrien (Fe, Zn, Mn,
Cu, Ni, dan Co) dibutuhkan dalam jumlah kecil untuk mendukung proses
metabolisme sel (McKay et al. 2004). Besi termasuk salah satu unsur esensial
dan berperan sebagai penyusun sitokrom dan klorofil bagi tumbuhan akuatik.
McKay et al. (2005) menjelaskan besi berperan pada proses fisiologi seperti
fotosintesis, respirasi, dan asimilasi nitrogen sehingga menjadi salah satu faktor
nutrisi terpenting bagi pertumbuhan fitoplankton. Pada alga, besi berperan dalam
sistem enzim dan transfer elektron pada proses sintesis, namun dalam kadar
berlebihan dapat menghambat fiksasi unsur lainnya.
Pada perairan alami, besi berikatan dengan anion membentuk senyawa FeCl2,
Fe(HCO)3 dan Fe(SO4). Pada perairan tawar, besi oksida dibentuk oleh reaksi
kimia besi dengan oksigen terlarut dalam air. Selanjutnya besi oksida akan
menyerap fosfor dan menjebaknya dalam sedimen. Hal ini menyebabkan
terbatasnya ketersediaan fosfor di air (Glass 1997). Blomqvist (2004)
menjelaskan bahwa pada danau anoksik, fosfat umumnya diendapkan oleh Fe
sebelum mencapai lapisan oksik di atasnya. Fe juga mempengaruhi kemampuan
organisme untuk mengasimilasi nitrat, baik sebagai co-faktor yang berkaitan
dengan enzim atau reduktan (Robert et al. 2004).
8

Pirit (FeS) adalah bentuk umum mineral sulfida, sebagai mineral ikutan,
timah termasuk mineral gangue (bagian dari asosiasi mineral yang membentuk
batuan dan bukan mineral bijih didalam suatu jebakan). Mineral gangue bijih
timah terdapat dalam bentuk kaolin dan pasir kuarsa (Sukandarrumidi 2007).
Berdasarkan proses geologinya, mineral gangue diendapkan terlebih dahulu,
kemudian diikuti oleh mineral oksida dan yang paling akhir mengkristal adalah
mineral sulfida.
Pirit yang terekspos ke lingkungan akan bereaksi dengan oksigen dan air
membentuk asam sulfida dan hidroksi besi menghasilkan acid main drainage.
Kondisi asam dimulai saat mineral besi sulfida diekspos dan bereaksi dengan
oksigen dan air. Faktor lain yang mempengaruhi oksidasi mineral sulfida adalah
suhu, pH, keseimbangan besi ferri dan ferro, dan aktivitas mikrobiologi,
khususnya Thiobacillus ferrooxidan. Aliran asam ditandai oleh pH rendah dan
tingginya konsentrasi logam berat terlarut (sulfur mudah melarutkan logam Fe, Cu
dan Al).

Fosfor
Fosfor merupakan unsur essensial bagi pertumbuhan sehingga menjadi
faktor pembatas bagi pertumbuhan alga akuatik serta sangat mempengaruhi
tingkat produktivitas perairan. Fosfor dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
produktivitas seluruh ekosistem. Fosfor pada umumnya sering menjadi nutrien
pembatas pada air tawar (Glass 1997).
Fosfor ditemukan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat
dan polifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat di perairan.
Ortofosfat merupakan produk ionisasi dari asam ortofosfat yang paling sederhana
dan dapat dimanfaatkan secara langsung oleh alga (Boyd 1988). Alga tidak dapat
memanfaatkan fosfor yang berikatan dengan ion besi dan kalsium pada kondisi
aerob karena bersifat mengendap (Jeffries dan Mills 1996).
Tinggi rendahnya kandungan fosfat dalam perairan merupakan pendorong
terjadinya dominasi fitoplankton tertentu, yaitu perairan dengan kandungan fosfat
rendah (0,00–0,02 ppm) akan didominasi oleh Diatom; pada kadar sedang (0,02–
9

0,05 ppm) didominasi oleh Chlorophyta dan pada kadar tinggi (lebih dari 0,10
ppm) didominasi oleh jenis Cyanophyta (Liaw 1969).

Nitrogen
Gas nitrogen, nitrat, nitrit, amonium, amonia, dan bentuk nitrogen organik
adalah bentuk nitrogen dalam air (Boyd 1992). Nitrogen tidak dapat
dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik dan harus mengalami
fiksasi terlebih dahulu menjadi amonia (NH3), amonium (NH4+) dan nitrat (NO3-).
Namun beberapa jenis Cyanophyta dapat memanfaatkan gas N2 secara langsung
dari udara (Effendi 2003).
Nutrien anorganik utama yang paling dibutuhkan fitoplankton bagi
pertumbuhan dan perkembangbiakan adalah nitrogen dalam bentuk nitrat
(Nybakken 1988). Namun untuk memanfaatkan nitrat, dibutuhkan penambahan
energi dengan adanya enzim nitrat reduktase (Goldman dan Horne 1983).
Senyawa-senyawa nitrogen dipengaruhi oleh kandungan oksigen terlarut, nitrogen
berubah menjadi ammonia saat oksigen terlarut rendah, sebaliknya berubah
menjadi nitrat saat oksigen terlarut tinggi.

Fitoplankton
Fitoplankton merupakan golongan plankton tumbuhan yang melayang
dalam air dan tidak mampu menahan arus (Barnes 1980). Lebih lanjut dijelaskan
bahwa fitoplankton mampu hidup di perairan atau mampu beradaptasi dengan
kondisi lingkungan perairan sebagai media fitoplankton berada, terutama pada
perairan yang tenang seperti kolam, danau, dan waduk.
Menurut Welch dan Lindell (1980), fitoplankton yang hidup di air tawar
terdiri dari lima kelompok besar yaitu fillum Cyanophyta, Chlorophyta,
Chrysophyta, Pyrrophyta, dan Euglenophyta. Setiap jenis fitoplankton yang
berada dalam lima kelompok besar tersebut mempunyai respon yang berbeda-
beda terhadap kondisi perairan, khususnya unsur hara makronutrien dan
mikronutrien, sehingga komposisi jenis fitoplankton bervariasi dari satu tempat ke
tempat lain.
10

Sebagaimana organisme lainnya, pertumbuhan dan perkembangan


fitoplankton dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungannya. Faktor fisika-kimia
air dan tipe komunitas perairan merupakan faktor yang sangat menentukan.
Cahaya matahari dan suhu merupakan kebutuhan fisiologis untuk pertumbuhan,
sedangkan sejumlah unsur hara tertentu berperan terhadap kelimpahan
fitoplankton (Goldman dan Horne 1983). Dominasi beberapa jenis fitoplankton
pada perairan tergantung kepekaan fitoplankton tersebut terhadap faktor-faktor
lingkungan.

Produktivitas Primer
Fitoplankton merupakan produsen primer terpenting dalam ekosistem
perairan. Salah satu peran fitoplankton di perairan adalah mengubah zat-zat
anorganik menjadi organik dengan bantuan cahaya matahari melalui proses
fotosintesis yang hasilnya disebut produksi primer. Produktivitas primer
merupakan sumber pokok energi bagi proses metabolik yang terjadi dalam biosfer.
Di ekosistem akuatik, sebagian besar produktivitas primer dilakukan oleh
fitoplankton (Wetzel 2001). Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi nilai
produktivitas primer adalah cahaya matahari, suhu, ketersediaan unsur hara, dan
gas-gas terlarut (Odum 1993).
Reaksi fotosintesis secara sederhana (Wetzel 2001) dapat diringkas dalam
persamaan umum sebagai berikut:
cahaya
6C02 + 12 H20 C6 H12 06 + 6 H20 + 6 02
pigmen receptor

Dalam proses ini energi cahaya diserap oleh pigmen fotosintetik terutama
klorofil dan dengan adanya CO2, air dan zat hara akan dihasilkan senyawa organik
yang mempunyai potensi kimiawi yang tinggi dan disimpan dalam sel. Potensi
energi ini kelak dapat digunakan oleh tumbuhan untuk respirasi, pertumbuhan,
dan berbagai proses fisiologi lainnya (Nybakken 1988).
Dalam pengukuran produktivitas primer di perairan ada beberapa metode
yang dapat digunakan, salah satu diantaranya metode oksigen botol gelap-botol
11

terang. Prinsip kerja metode ini adalah mengukur perubahan kandungan oksigen
dalam botol terang dan botol gelap yang berisi contoh air setelah diinkubasi dalam
jangka waktu tertentu pada perairan yang mendapat sinar matahari. Pada botol
terang terjadi proses fotosintesis dan respirasi, sedangkan dalam botol gelap
terjadi respirasi. Dengan asumsi bahwa respirasi dalam ke dua botol itu sama,
maka perbedaan kandungan oksigen pada botol terang dan botol gelap pada akhir
percobaan menujukkan produktivitas primer kotor. Perbedaan antara kandungan
oksigen pada botol terang dan botol awal yang tidak diinkubasi, menunjukkan
produktivitas bersih. Satuan produktivitasnya masih dalam oksigen per satuan
waktu. Produktivitas dalam satuan karbon kemudian dijabarkan dengan
menggunakan faktor koreksi (Boyd 1981).
Berdasarkan tingkat kesuburannya, perairan tergenang (Effendi 2003),
termasuk kolong dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Oligotrofik, yaitu perairan dengan produktivitas primer dan biomass
rendah. Unsur hara nitrogen dan fosfor rendah serta jenuh dengan oksigen.
b. Mesotrofik, yaitu perairan dengan produktivitas primer dan biomass
sedang. Perairan ini merupakan peralihan antara oligotrofik dan eutrofik.
c. Eutrofik, perairan dengan unsur hara dan produktivitas primer tinggi.
d. Hiper-eutrofik, perairan dengan unsur hara dan produktivitas primer sangat
tinggi. Pada perairan ini, terjadi kondisi anoksik pada lapisan hipolimnion.
e. Distrofik, yaitu jenis perairan yang banyak mengandung bahan organik.
Pengelompokan status tingkat kesuburan (trofik) suatu perairan tergantung
dari beberapa parameter, diantaranya adalah kandungan klorofil, kecerahan air,
laju penurunan oksigen, kandungan hara, densitas alga, dan spesies indikator
(Seller dan Markland 1987).
Berdasarkan ketentuan Welch dan Lindell (1980), perbandingan antara P
dan N dapat menentukan tingkat kesuburan suatu perairan. Perairan eutrofik
dicirikan oleh rasio N/P lebih kecil dari 16/1, sedangkan perairan oligotrofik rasio
N/P lebih besar atau sama dengan 16/1.
Selain itu Reynolds (1984) mengemukakan pula bahwa, jika rasio N/P lebih
besar dari 15/1, maka perairan dibatasi oleh unsur P, sedangkan rasio N/P lebih
kecil dari 15/1 maka perairan dibatasi unsur N.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di desa Pemali Kecamatan Pemali Kabupaten


Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada tanggal 7 September 2007
sampai tanggal 30 Oktober 2007. Pengamatan dilakukan setiap minggu sekali
selama 6 minggu terhadap tiga stasiun pengambilan contoh air.
Stasiun pengamatan I (kolong Wasere) terletak pada 01053118211 LS dan
106003123711 BT berumur sekitar 15 tahun (usia lebih dari 10 tahun dan bersifat
tertutup) dengan luas sekitar 1,6 ha (Gambar 2). Secara umum kondisi perairan
ini banyak ditumbuhi vegetasi baik di dalam air atau sempadan, berada di pinggir
jalan serta dekat dengan pemukiman. Kolong Wasere sudah dimanfaatkan
sebagai sumber air unit Pusat Pengolahan Bijih Timah Wasprod Sungailiat dan
Pusat Pendidikan dan Pelatihan milik PT. Timah Tbk. Selain itu, kolong ini juga
dimanfaatkan oleh masyarakat sekitarnya untuk air minum, mandi, dan mencuci,
terutama saat musim kemarau.

Gambar 2 Kolong Wasere Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka

Stasiun II (kolong Open Pit) terletak pada 01053118111 LS dan 106002182811


BT adalah bekas areal pertambangan terbuka yang cukup dalam (open pit) hingga
60 meter dan mulai digenangi air sejak tahun 1999 (kolong muda, usia kurang dari
13

10 tahun dan bersifat terbuka) dengan luas sekitar 10,25 ha (Gambar 3). Kondisi
umum stasiun II adalah berair jernih, vegetasi pada badan air dan sempadan belum
banyak, malah pada kawasan sempadan dan sekitarnya dipakai lagi untuk aktivitas
pertambangan rakyat dengan limbah pencucian yang langsung dibuang pada
kolong tersebut.

Gambar 3 Kolong Open Pit Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka

Stasiun III (kolong Dam Keramat) terletak pada 01051174211 LS dan


106004117011 BT berumur lebih dari 10 tahun dan bersifat terbuka dengan luas
sekitar 20,4 ha (Gambar 4). Secara umum kondisi kolong ini banyak ditumbuhi
vegetasi baik di dalam air atau sempadan kolong dan dekat dengan pemukiman
dan lahan pertanian. Kolong ini sudah dimanfaatkan sebagai sumber air minum
oleh Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Bangka dan Balai Benih Ikan
Sentral Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Selain itu, kolong ini juga
dimanfaatkan oleh masyarakat sekitarnya untuk air minum, mandi dan cuci
terutama saat musim kemarau.
Penelitian ini menggunakan metode survei, yaitu pengamatan, pengambilan
sampel di lapangan (perairan kolong), sedangkan analisa dilakukan di
Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan (ProLing) Departemen
Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut
Pertanian Bogor.
14

Gambar 4 Kolong Dam Keramat Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka

Penentuan Stasiun Penelitian


Unsur hara kolong sangat tergantung pada usia dan tipe kolong (Unsri 1999).
Penentuan stasiun pengamatan didasarkan pada usia dan tipe kolong. Stasiun I
mewakili kolong tua tertutup, stasiun II mewakili kolong muda terbuka dan
stasiun III mewakili kolong tua terbuka. Secara operasional penempatan titik
pengambilan contoh sampel air dan fitoplankton dilakukan pada bagian kolong
yang tidak mengalami surut atau kering saat musim kemarau. Adapun
pengambilan sampel air dilakukan dengan cara spasial, yaitu mencampur sampel
air permukaan dan sampel air dasar untuk dianalisa.

Contoh Air
Pengambilan Contoh Air
Penelitian direncanakan dilakukan pada waktu proses fotosintesis
fitoplankton aktif berlangsung. Pengambilan contoh dilakukan satu minggu sekali
selama 6 (enam) minggu.
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah contoh air dan spesimen
fitoplankton yang diambil dari tiap stasiun atau kolom air yang telah ditentukan.
Alat untuk mengambil contoh air adalah pompa celup ”Showflow” dengan
maksimum flow 0.2 m3/menit. Contoh air tersebut dibagi menjadi beberapa
15

bagian untuk analisis fitoplankton dan produktivitas primer, serta analisis fisika-
kimia air seperti pada Tabel 1.

Perlakuan Terhadap Contoh Air


Untuk menghindari terjadinya perubahan pada contoh air, maka contoh air
yang akan dianalisis di laboratorium disimpan pada cool box yang berisi es.
Contoh air untuk analisis fisika-kimia dibagi dalam 3 (tiga) botol sampel masing-
masing berukuran 300 ml dengan distribusi sebagai berikut: (1) 300 ml contoh air
diberi pengawet asam sulfat 90% untuk analisa total Fe, nitrat, amoniak, dan
COD; (2) 300 ml diberi pengawet HgCl untuk analisa ortofosfat dan nitrit; (3) 300
ml tanpa diberi pengawet untuk analisa TDS, alkalinitas, DHL, dan kesadahan.
Untuk fitoplankton, contoh air yang diambil sebanyak 50 liter disaring
menggunakan jaring plankton 35 µm. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Unsri (1999), perairan kolong dinyatakan termasuk tipe
oligotropik, sehingga sampel air yang diambil sebanyak 50 liter. Contoh
fitoplankton disimpan dalam botol berkapasitas 10 ml dan diawetkan dengan
larutan Lugol (1,0%) sampai berwarna seperti larutan teh tua (± 6 tetes),
kemudian disimpan dalam kantong berwarna hitam dan selanjutnya dihitung dan
diidentifikasi menggunakan mikroskop di laboratorium.

Stasiun III

LETAK STASIUN
PENELITIAN PADA TIGA
KOLONG DI KECAMATAN
PEMALI KABUPATEN
BANGKA

Stasiun I Oleh:
Stasiun II
Robani Juhar/C 151050121

Sumber:
Diolah Google Map

Gambar 5 Peta lokasi penelitian di Kabupaten Bangka (diolah dari Google map)
16

Analisis Contoh Air (Parameter Fisika-Kimia)


Parameter yang diukur, metode, dan peralatan yang digunakan disajikan
pada Tabel 1. Teknik analisis pengukuran contoh air mengikuti petunjuk APHA
(1998). Parameter seperti suhu, kecerahan, pH, oksigen terlarut diukur secara in-
situ, sedangkan parameter kualitas air lainnya dianalisis di laboratorium.

Analisis Contoh Fitoplankton


Identifikasi dan klasifikasi contoh fitoplankton mengikuti petunjuk Davis
(1955). Untuk mendapatkan gambaran karakteristik struktur komunitas
fitoplankton pada perairan kolong dilakukan pendekatan yang bersifat kualitatif
dan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif adalah pendekatan analisis dengan
mengamati komposisi jenis tertentu yang dominan dan kelimpahan sel.
Pendekatan secara kualitatif (indeks biologi) yaitu dengan melakukan kalkulasi
terhadap komponen tertentu dari struktur komunitas fitoplankton yang diamati.

Tabel 1 Parameter-parameter, metode dan alat yang digunakan dalam analisis


kualitas air selama penelitian di perairan kolong

Parameter Satuan Metode Alat Lokasi


FISIKA
0
Suhu C Pembacaan Skala Termometer In situ
Daya Hantar Listrik μmhos/cm Potensial elektron Conductivitymeter Laboratorium
Kecerahan cm Penetrasi Cahaya Secchi disk In situ
TDS mg/I Gravimetrik Peralatan gravimetrik Laboratorium
KIMIA
Potensiometrik
pH - pH meter In situ
elektroda hidrogen
Total Fe mg/l Phenanthroline Spektrofotometer Laboratorium
Alkalinitas mg/l CaCO3 Titrimetrik Peralatan titrasi In situ
Kesadahan mg/l CaCO3 Titrimetrik Peralatan titrasi Laboratorium
Nitrat-N mg/I Brusin Sulfat Spektrofotometer Laboratorium
Nitrit-N mg/I Sulfanilik Spektrofotometer Laboratorium
Amoniak-N mg/l Phenate Spektrofotometer Laboratorium
Ortofosfat-P mg/I Ascorbic Molybdat Spektrofotometer Laboratorium
DO mg/l Titrimetrik Peralatan titrasi In situ
COD mg/l COD Reaktor Spektrofotometer Laboratorium
BIOLOGI
Kelimpahan sel/l Identifikasi dan Mikroskop Laboratorium
Fitoplankton Pencacahan
Biomass (Chl-a) mg/l Klorofil-a Spektrofotometer Laboratorium
Produktivitas Primer mgC/m2/jam Botol Gelap Botol Buret In situ
Terang
17

Kelimpahan Sel Fitoplankton


Kelimpahan plankton dinyatakan dalam jumlah sel per liter. Penentuan
kelimpahan sel dilakukan dengan menggunakan metode Lackey drop
microtransect counting (modifikasi APHA 1998) dengan persamaan sebagai
berikut:

N = n x A/B x C/D x 1/E

Keterangan : N = jumlah total fitoplankton (sel/l)


n = jumlah rataan total individu per lapang pandang
A = luas gelas penutup (1.000 mm2)
B = luas satu lapang pandang (20 mm2)
C = volume air terkonsentrasi (30 ml)
D = volume air satu tetes (1 ml) dibawah gelas penutup
E = volume air yang disaring (50 ml)

Indeks Keanekaragaman
Untuk menganalisis keragaman (diversitas) fitoplankton digunakan indeks
keragaman Shannon-Weaver. Indeks keragaman Shannon-Weaver adalah suatu
perhitungan matematik yang menggambarkan analisis mengenai jumlah individu
dalam setiap spesies, jumlah macam spesies serta total individu yang ada dalam
suatu komunitas. Keragaman adalah keheterogenan yang terdapat pada genera
dari individu yang diambil secara acak dari suatu populasi. Semakin banyak
terdapat jenis, maka semakin besar pula keheterogenannya. Besar indeks
keragaman (H’) dirumuskan sebagai berikut (Wilhm dan Dorris 1968 diacu dalam
Mason 1980):
n
H’ = - Σ pi log pi
i=l

Keterangan : H’ = Indeks Keragaman Shannon-Weaver


Pi = ni/N
Ni = jumlah individu jenis ke-i
N = Jumlah total individu

Nilai H’ dengan kriteria:


H’ ≤ 2,3062 : keanekaragaman rendah dan kestabilan komunitas rendah
2,3062 ≤ H’ ≥ 6,9078 : keanekaragaman rendah dan kestabilan komunitas sedang
H’ ≥ 6,9078 : keanekaragaman rendah dan kestabilan komunitas tinggi
18

Indeks Keseragaman (Ekuitabilitas)


Indeks ini memberikan gambaran keseragaman sebaran individu dari jenis
fitoplankton dalam suatu komunitas. Perhitungan indeks keseragaman (Odum
1971) adalah sebagai berikut:

E = H’
H’ maks

Keterangan: E = indeks keseragaman


H’ = indeks keragaman Shannon-Weaver
H’ maks = ln S
S = jumlah spesies

Nilai keseragaman suatu populasi (E) berkisar antara 0,0 sampai 1,0.
Semakin kecil nilai E (mendekati 0,0), akan semakin kecil keseragaman suatu
populasi. Berarti penyebaran jumlah individu setiap jenis tidak sama, ada
kecenderungan terjadi dominansi oleh jenis-jenis tertentu. Semakin besar nilai E
(mendekati 1,0), menunjukkan keseragaman populasi yang tinggi, jumlah individu
setiap jenis dapat dikatakan sama atau tidak jauh berbeda.

Indeks Dominasi
Indeks dominasi dihitung berdasarkan Indeks Simpson diacu dalam
Legendre dan Legendre (1983), yang diaplikasikan untuk menganalisis komunitas
fitoplankton di perairan kolong, yaitu dengan menggunakan perhitungan sebagai
berikut:

C = Σ [ni / N] 2

Keterangan: C = indeks dominasi Simpson


ni = jumlah individu jenis ke-i
N = jumlah total individu

Indeks dominasi (C) berkisar antara 0 - 1 dengan kriteria sebagai berikut:


Jika nilai C mendekati 0,0 maka tidak ada spesies yang secara ekstrim
mendominasi spesies lainnya dalam komunitas fitoplankton yang diamati. Hal ini
menunjukkan struktur komunitas dalam keadaan stabil. Tetapi bila nilai C
mendekati nilai 1,0 maka ada spesies yang mendominasi spesies lainnya dalam
19

struktur komunitas fitoplankton. Hal ini menunjukkan struktur komunitas


fitoplankton dalam keaadan labil (Odum 1971).
Hubungan indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E) dan
indeks dominasi (C) adalah apabila nilai H’ tinggi berarti nilai E rendah dan tidak
ada spesies yang mendominasi spesies lainnya (C rendah), demikian juga
sebaliknya.

Biomassa fitoplankton
Biomassa diartikan sebagai banyaknya kloroplas per satuan luas atau
volume pada saat tertentu (Wetzel 2001). Selain itu akumulasi fitoplankton
merupakan produk akhir pertumbuhan fitoplankton yang ditentukan dengan laju
produksi biomassa. Pengukuran biomassa dinyatakan dalam jumlah miligram
klorofil-a per detik. Untuk analisis biomassa fitoplankton menggunakan
formulasi dari Vollenweider (1974) sebagai berikut:

V 1000
Klorofil-a (μg/l) = 11,9 (A665 – A 750) x -- x -------
L S

Keterangan: A665 = Absorban pada panjang gelombang 665 nm


A750 = Absorban pada panjang gelombang 750 nm
V = Ekstraksi aseton (ml)
L = Panjang lintasan cahaya pada kuvet (cm)
S = Volume contoh air yang disaring (l)

Produktivitas Primer
Pengukuran produktivitas primer dilakukan dengan menggunakan metode
botol gelap-botol terang. Berhubung kecerahan pada ketiga kolong sampai dasar
perairan, maka botol terang dan gelap yang digunakan pada penelitian
ditempatkan sekitar 20 cm di atas dasar perairan. Dalam metode ini yang diukur
adalah perubahan kandungan oksigen dengan menggunakan dua buah botol yang
identik. Sebuah botol sepenuhnya tembus cahaya (bening), sedangkan botol yang
lain tidak tembus cahaya (gelap).
Perhitungan produktivitas primer dilakukan menurut persamaan sebagai
berikut (Umaly dan Cuvin 1988):
20

[ (O2 BT) – (O2 BG)] (1000) x 0,375


Fotosintesis kotor = -------------------------------------------
(mg C/m3/jam) (PQ)(t)

[ (O2 BT) – (O2 BA)] (1000) x 0,375


Fotosintesis bersih = -------------------------------------------
(mg C/m3/jam) (PQ)(t)

Keterangan : O2 = oksigen terlarut (mg/1)


BT = botol terang
BG = botol gelap
BA = botol awal (initial)
PQ = Hasil bagi fotosintesis (1,2)
T = lama inkubasi (jam)
x 1000 = konversi liter menjadi m3
0,375 = koefosien konversi oksigen menjadi karbon (12/32)

PQ adalah perbandingan oksigen terlarut yang dihasilkan dengan CO2


yang digunakan melalui proses fotosintesis. Menurut Ryter (1965) dalam Parson
et al. (1984) PQ adalah 1,1 – 1,3 untuk organisme yang memiliki klorofil. Nilai
1,2 diperoleh dengan asumsi bahwa dalam proses fotosintesis didominasi oleh
fitoplankton.

molekul O2 yang dibebaskan selama fotosintesis


PQ adalah quotient fotosintetik = ---------------------------------------------------------
molekul CO2 yang diasimilasikan

molekul CO2 yang dilepas selama respirasi


RQ adalah quotient respirasi = ---------------------------------------------------
molekul O2 yang dikonsumsi

Nilai PQ dan RQ untuk masing-masing jenis fitoplankton berbeda-beda.


Rata-rata nilai PQ dan RQ untuk semua jenis fitoplankton adalah PQ = 1,2 dan
RQ = 1,0 dengan asumsi bahwa aktivitas metabolisme sebagian besar disebabkan
oleh komunitas fitoplankton. Produktivitas sebagai laju produksi, secara umum
dilaporkan dalam satuan gram C per meter persegi per hari. Produksi kotor atau
bersih dihitung untuk setiap kedalaman.

= mg C/m2 = mg O2/liter x 12 x 1000


32
21

Produktivitas satu meter persegi kolom air ditentukan oleh potongan dari
setiap pencahayaan kedalaman dan secara grafik dengan.mengintegrasikan area
menurut kurva produktivitasnya.
Analisis Data
Analisis Deskriptif
Gambaran mengenai struktur komunitas dan kelimpahan fitoplankton dan
populasi fitoplankton disajikan dalam bentuk tabel. Demikian pula dengan
konsentrasi nitrogen, fosfor serta beberapa parameter fisika-kimia air lainnya.
Rataan dan hasil pengukurannya disajikan dalam satu tabel dan grafik.

Analisis Statistik
Untuk mengetahui hubungan fungsional atau keterkaitan antara unsur hara
dengan kelimpahan fitoplankton dan produktivitas primer antar stasiun
pengamatan, dilakukan analisis korelasi dan regresi linier berganda (Steele dan
Torrie 1980).
Analisis data dilakukan secara komputerisasi dengan menggunakan
program MINITAB versi 14 dan Microsoft office excel 2003. Sebagai peubah
bebas, kualitas kimia air (Xi) dan sebagai peubah terikat, kelimpahan dan
produktivitas primer fitoplankton (Yi). Persamaan fungsi regresinya adalah
sebagai berikut:

Yi = ß0 + ß 1 X1 + ß 2 X2i + …..+ ß n Xn + €i
Sebagai penduganya
Y = b0 + b1 X1 + b2 X2 + …… + bn Xn

Keterangan : Y = Kelimpahan/produktivitas primer fitoplankton.


X1, X2, X3 = Peubah-peubah bebas (Fe, N (NO2-N, NO3-N,
NH3-N) dan PO4-P)
b0 = Interseps
b1, b2, b3 = Koefisien regresi

Selanjutnya dilakukan telaah dengan sidik ragam regresi, kemudian untuk


mengetahui faktor-faktor yang memberikan pengaruh, maka dilakukan uji
terhadap nilai koefisien regresi (ß) dari masing-masing peubah yang
mempengaruhi dengan menggunakan hipotesis sebagai berikut :
22

H0 : ß1 = ß2 = 0 tidak ada pengaruh linier antara Fe, nitrogen (nitrat, nitrit,


ammonium) dan ortofosfat dengan kelimpahan dan
produktivitas primer fitoplankton
H0 : ß1 ≠ ß2 ≠ 0 ada pengaruh linier antara Fe, nitrogen (nitrat, nitrit,
ammonium) dan ortofosfat dengan kelimpahan dan
produktivitas primer fitoplankton

Jika F-hitung lebih besar dari t-tabel berarti tolak H0 dan terima H1,
sebaliknya jika F-hitung lebih kecil dari t-tabel berarti terima H0 dan tolak H1.
Nilai koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengetahui besarnya
peranan dari peubah X terhadap Y, nilai R2 berkisar antara 0,0 – 1,0. Jika
nilainya lebih besar dari 0,5 atau mendekati 1,0, maka dapat diartikan bahwa X
memiliki peranan yang besar terhadap Y.

Anda mungkin juga menyukai