Kapita Selekta Pendidikan Kel 1
Kapita Selekta Pendidikan Kel 1
Disusun Oleh :
Kelompok 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................ 2
C. Tujuan .................................................................................................................... 3
BAB II .............................................................................................................................. 4
PEMBAHASAN............................................................................................................... 4
PENUTUP ...................................................................................................................... 23
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 23
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
2
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Jejak Pendidikan Agama Islam
1
Zaini Dahlan, Sejarah Pendidikan islam. (medan: 2018). Hlm.14
2
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jilid I, cet. 5 (Jakarta: UI-Press, 1985), h. 56-91.
4
Ketika Daulat Islamiyyah berkembang dengan berhasilnya umat Islam
yang dimulai pada khalifah Umar bin Khaththab menaklukkan wilayah non Arab,
maka pemeluk Islam terdiri dari orang Arab dan non Arab. Kondisi ini
menimbulkan berbagai kesulitan bagi ummat Islam non Arab untuk membaca dan
memahami al-Qur‘an. Maka dipandang perlu untuk memberikan pengetahuan
bahasa Arab dengan segala cabangnya. Semenjak itulah pendidikan Islam
menyandingkan pembelajaran Bahasa Arab di samping pembelajaran al-Qur‘an.
3
Zuhairini, et.al., Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 80-81.
4
7Asma Hasan Fahmi, “Mabadi al-Tarbiyah al-Islamiyah” terj. Ibrahim Husein, Sejarah dan Filsafat
Pendidikan Islam, cet. k1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1997). hlm. 30.
5
Pada masa dinasti Umayyah pola pendidikan bersifat desentrasi,. Kajian
ilmu yang ada pada periode ini berpusat di Damaskus, Kufah, Mekkah, Madinah,
Mesir, Cordova dan beberapa kota lainnya, seperti: Basrah dan Kuffah (Irak),
Damsyik dan Palestina (Syam), Fistat (Mesir). Pada masa dinasti Umayyah, pakar
pendidikan Islam menggunakan kata al-Maddah untuk pengertian kurikulum.
Karena pada masa itu kurikulum lebih identik dengan serangkaian mata pelajaran
yang harus diberikan pada murid dalam tingkat tertentu.
Secara esensial, pendidikan Islam pada masa dinasti Umayyah ini hampir
sama dengan pendidikan pada masa Khulafa al-Rasyidin. Hanya saja memang ada
sisi perbedaan dan perkembangannya sendiri. Perhatian para raja di bidang
pendidikan terbilang kurang, sehingga pendidikan berjalan tidak diatur oleh
pemerintah, tetapi pendidikan dikelola oleh para ulama yang memiliki
pengetahuan yang mendalam. Kebijakan-kebijakan pendidikan yang dikeluarkan
oleh pemerintah hampir tidak ditemukan. Jadi, sistem pendidikan Islam ketika itu
masih berjalan secara alamiah.
5
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, cet. 5 (Jakarta: UI-Press,
1986), h. 1-11.
6
Ketujuh lembaga itu adalah (a) lembaga pendidikan dasar (al-kuttab), (b) lembaga
pendidikan masjid (al-masjid), (c) kedai pedagang kitab (al hawanit al-waraqin),
(d) tempat tinggal para sarjana (manazil al ulama), (e) sanggar seni dan sastra (al-
shalunat al-adabiyah), (f) perpustakaan (dawr al-kutub wa dawr al-ilm), dan (g)
lembaga pendidikan sekolah (al-madrasah).6 Semua institusi‘ itu memiliki
karakteristik tersendiri dan kajiannya masing-masing. Sungguhpun demikian,
secara umum, seluruh lembaga pendidikan itu dapat diklasifikasikan menjadi tiga
tingkat. Pertama, tingkat rendah yang terdiri dari kuttab, rumah, toko, dan pasar,
serta istana. Kedua, tingkat sekolah menengah yang mencakup masjid, dan
sanggar seni, dan ilmu pengetahuan, sebagai lanjutan pelajaran di kuttab. Ketiga,
tingkat perguruan tinggi yang meliputi masjid, madrasah, dan perpustakaan,
seperti Bait al-Hikmah di Baghdad dan Dar al ulum di Kairo.
6
Hasan ‘Abd al-‘Al, al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qarn al-Rabi‟ al-Hijriy (Dar al-Fikr al-‘Arabi), h. 181-219.
7
1. Model Dikotomis
7
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, (jakarta: rajawali press, 2009), hlm. 60
8
Muhammad Hatta, Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan (Jakarta: Mutiara, 1979), hlm. 40-41.
8
rasional, analitis-kritis, dianggap dapat menggoyahkan iman, sehingga perlu
ditindih oleh pendekatan yang normatif dan doktriner tersebut.9
2. Model Mekanisme
9
Hasan Baharun and Akmal Mundiri, Metodologi Studi Islam: Percikan Pemikiran Tokoh Dalam
Membumikan Agama, Ar-Ruzz Media, 1st edn (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011).
10
Syamsul Maarif, Revitalisasi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hlm.15
11
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar
Operasionalisasinya (Bandung: Trigenda Karya, 1993),
9
Demikian pula, jika berbicara tentang tujuan pendidikan Islam, berarti
berbicara nilai nilai ideal yang bercorak Islami. Hal ini mengandung makna
bahwa tujuan pendidikan Islam adalah tujuan yang merealisasi idealitas
Islami. Sedang idealitas Islami itu sendiri pada hakikatnya adalah
mengandung nilai perilaku manusia yang didasari atau dijiwai oleh iman dan
taqwa kepada Allah sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus ditaati.
Dengan demikian, aspek atau nilai agama merupakan salah satu aspek
atau nilai kehidupan dari aspek-aspek kehidupan lainnya. Hubungan antara
nilai agama dengan nilai nilai lainnya kadang-kadang bersifat horizontal-
lateral (independent) atau bersifat lateral sekuensial, tetapi tidak sampai pada
vertikal linier.12
12
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan, (jakarta: rajawali pers, 2012), hlm.36
13
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan, (jakarta: rajawali pers, 2012), hlm.36
10
Model tersebut tampak dikembangkan pada sekolah yang di dalamnya
diberikan seperangkat mata pelajaran atau ilmu pengetahuan, yang salah
satunya adalah mata pelajaran pendidikan agama yang hanya diberikan 2 atau
3 jam pelajaran per minggu, dan didudukkan sebagai mata pelajaran, yakni
sebagai upaya pembentu-kan kepribadian yang religius. Kebijakan ini sangat
prospektif dalam membangun watak, moral dan peradaban bangsa yang
bermartabat. Namun demikian, dalam realitasnya pendidikan agama Islam
sering terpinggirkan.14
3. Model Organism/Sistemik
14
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan, (jakarta: rajawali pers, 2012), hlm.37
15
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan, (jakarta: rajawali pers, 2012), hlm.37-38.
11
yaitu terwujudnya hidup yang religius atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai
agama.16
16
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, (jakarta: rajawali press, 2009), hlm. 67
12
atau praktik hidup keislaman; kedua, memperjelas dan memperkokoh
keberadaan madrasah sederajat dengan sistem sekolah, sebagai pembinaan
warga negara yang cerdas berpengetahuan, berkepribadian, serta produktif;
dan ketiga, mampu merespon tuntutan-tuntutan masa depan dalam arti
sanggup melahirkan manusia yang memiliki kesiapan memasuki era
globalisasi, industrialisasi maupun era informasi.
13
supaya tercapai tujuan yang baik dan efektif sesuai dengan tujuan dari sekolah
tersebut.
1. Sekolah
14
b. Cara sistematis, yaitu dengan cara bahan-bahan pelajaran itu
dihubungkan dulu menurut rencana tertentu sehingga bahan-bahan itu
merupakan seakan-akan satu kesatuan yang terpadu. Hal ini disebut
konsentrasi sistematis sebagian dan konsentrasi sistematis total.
2. Madrasah
3. Pesantren
15
Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di indnesia,
lahir dan berkembang semenjak masa-masa permulaan Islam datang ke Indonesia.
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren merupakan sebuah komplek dengan
lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan sekitarnya. Tipologi pesantren bisa
dibedakan paling tidak menjadi tiga bagian. Yaitu Salafiah (Tradisional),
Kholafiah (Modern), dan Terpadu yaitu:
a. Salafiah adalah tipe Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu- ilmu agama
Islam atau kitab-kitab klasik yang ditulis oleh ulama-ulama terdahulu.
Dengan metode pengajaran diantaranya: sorogan, bandungan, hafalan, dan
musyawarah.
Hasrat umat Islam untuk mendirikan pendidikan tinggi sudah dirintis sejak
zaman kolonial belanda , ide ini sudah ada sejak tahun 1930 an.53 Sejarah
perguruan tinggi agama Islam di Indonesia bermula pada awal tahun 1945 ketika
masyumi memutuskan untuk mendirikan sekolah tinggi Islam di Jakarta. Sebagai
tindak lanjut dari keputusan tersebut, pada bulan April 1945 masyumi
menyelenggarakan pertemuan di Jakarta yang dihadiri oleh organisasi-organisasi
Islam, kalangan intelektual dan ulama serta unsur pemerintah.
16
Berkaitan dengan pengembangan strategi kurikulum terdapat dua model
struktur yang dapat digunakan dalam menyusun kurikulum, yakni model serial
dan model paralel. Model serial merupakan pendekatan yang menyusun mata
kuliah berdasarkan logika struktur keilmuan. Mata kuliah disusun dari yang paling
dasar menuju tingkat lanjutan. Dalam model ini dikenal istilah mata kuliah
prasyarat, yang menunjukkan keterhubungan mata kuliah yang satu dengan yang
lain. Adapun model paralel merupakan strategi penyusunan mata kuliah pada
setiap semester sesuai dengan tujuan kompetensinya. Model ini setara dengan
penggunaan sistem blok, penyusunan mata kuliah berdasarkan ketercapaian
kompetensi bukan sekedar berorientasi pada pembelajaran semester.
17
Haidar Putra Daulay dan Nurgaya Pasa, Pendidikan Islam dalam Litasan Sejarah: Kajian dari Zaman
Pertumbuhan sampai Kebangkitan, (Jakarta: Kencana, 2013), 39.
17
setelah diinspirasi oleh ide-ide pembaruan mata pelajaran telah berimbang antara
ilmu-ilmu agama dengan ilmu umum.18
18
Idris, Syarifuddin. "pembaruan pendidikan Islam di Indonesia." KREATIF: Jurnal Pemikiran Pendidikan
Agama Islam 13.2 (2015): 148-165.
19
Idris, Syarifuddin. "pembaruan pendidikan Islam di Indonesia." KREATIF: Jurnal Pemikiran Pendidikan
Agama Islam 13.2 (2015): 148-165.
18
Oleh karena itu, usaha yang tidak mempunyai tujuan tidaklah mempunyai arti apa-
apa. Berbicara tentang tujuan pendidikan maka erat kaitannya dengan tujuan
hidup manusia, karena pendidikan hanyalah sebagai alat yang digunakan manusia
untuk memelihara kelanjutan hidupnya, baik sebagai individu maupun sebagai
masyarakat. Oleh karena itu, tujuan pendidikan harus diarahkan sesuai dengan
kebutuhan dan tuntutan yang sedang dihadapi.20
21
Zaenudin, Lc. "Pembaharuan Sistem Pendidikan Islam." Risâlah, Jurnal Pendidikan Dan Studi Islam 2.1
(2015): 1-16.
19
2. Pembaharuan dalam Aspek Kurikulum
Istilah kurikulum berasal dari bahasa Latin, yaitu currere yang berarti lari,
lapangan pertandingan, dan tempat perlombaan. Atau, jarak yang harus ditempuh,
yang pada masa lalu digunakan oleh pemain olah raga. Jadi secara harfiah
kurikulum mengandung arti perlombaan, pacuan, dan pertandingan. Sedangkan
kurikulum dalam pendidikan Islam dikenal dengan kata manhaj yang berarti jalan
terang yang dilalui manusia pada berbagai bidang kehidupan.
20
dalam bentuk penambahan maupun pengurangan sesuai dengan kebutuhan
zaman.
Dengan tugas dan tanggung jawab yang kuat itulah, maka seorang
pendidik dituntut memenuhi beberapa syarat. Menurut Direktorat Pendidikan
Agama, syarat- syarat sebagai pendidik atau pengajar adalah; pertama, memiliki
kepribadian Mukmin, Muslim dan Muhsin. Kedua, taat untuk menjalankan
Agama, yaitu menjalankan syari’at Islam, dan dapat memberikan contoh teladan
yang baik bagi peserta didiknya. Ketiga, memiliki jiwa pendidik dan kasih sayang
kepada peserta didiknya serta berjiwa ikhlas. Keempat, mengetahui dasar-dasar
pengetahuan tentang keguruan, terutama didaktik metodik. Kelima, menguasai
ilmu pengetahuan Agama. Keenam, sehat rohani dan jasmaninya.
21
tetapi memiliki keahlian khusus yang diakui dan diperlukan dapat diangkat
menjadi pendidik setelah melalui uji kelayakan dan kesetaraan.61 Berdasarkan
pijakan ini, dapat dipahami bahwa karakteristik seorang guru yang bermutu harus
memiliki kualifikasi akademik,62 kompetensi63 dan sertifikasi
Upaya ini dapat dilakukan dengan cara membenahi proses atau sistem
pendidikan. Artinya, pembaharuan terhadap peserta didik berawal dari
pembaharuan terhadap input (calon siswa yang akan masuk) lewat penyeleksian
yang ketat. Lalu, dilakukan penggodokan dan pemantapan keilmuan dalam
kegiatan belajar mengajar (process) di sekolah dan di asrama untuk menghasilkan
output yang diharapkan.
22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kegiatan pendidikan agama yang berlangsung selama ini lebih banyak
bersikap menyendiri, kurang berinteraksi dengan kegiatan-kegiatan pendidikan
lainnya. Cara kerja semacam ini kurang efektif untuk keperluan penanaman suatu
perangkat nilai yang efektif untuk keperluan penanaman suatu perangkat nilai
yang kompleks. Selain itu, metodologi pendidikan agama kurang mendorong
penjiwaan terhadap nilai-nilai kegamaan serta terbatasnya bahan-bahan bacaan
keagamaan. Buku-buku paket pendidikan agama saat ini belum memadai untuk
membangun kesadaran beragama, memberikan keterampilan fungsional
keagamaan dan mendorong perilaku bermoral dan berakhlak mulia pada peserta
didik.
Pembaharuan itu adalah sesuatu yang dilakukan secara efektif, efisien, dan
produktif menuju kepada kemajuan. Pembaharuan yang dimaksud adalah
pembaharuan di dalam pendidikan, yaitu suatu perubahan yang baru dan sengaja
diusahakan untuk mencapai tujuan tertentu dalam pendidikan. Pembaharuan
pendidikan mencakup 4 aspek yaitu; pembaharuan dalam aspek tujuan
pendidikan, pembaharuan dalam aspek kurikulum, pembaharuan dalam aspek
pendidik, dan pembaharuan dalam aspek peserta didik. Pembaharuan tersebut
berorientasi untuk menghasilkan sosok peserta didik yang ideal, yakni berkualitas,
profesional, mumpuni di bidangnya, berkemauan keras, memiliki motivasi yang
tinggi, sabar, tabah, dan tidak mudah putus asa.
23
DAFTAR PUSTAKA
Asma Hasan Fahmi, “Mabadi al-Tarbiyah al-Islamiyah” terj. Ibrahim Husein, Sejarah
dan Filsafat Pendidikan Islam, cet. k1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1997).
Haidar Putra Daulay dan Nurgaya Pasa, Pendidikan Islam dalam Litasan Sejarah:
Kajian dari Zaman Pertumbuhan sampai Kebangkitan, (Jakarta: Kencana, 2013)
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jilid I, cet. 5 (Jakarta: UI-
Press, 1985)
Hasan ‘Abd al-‘Al, al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qarn al-Rabi‟ al-Hijriy (Dar al-Fikr
al-‘Arabi)
Muhammad Hatta, Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan (Jakarta: Mutiara, 1979)
Hasan Baharun and Akmal Mundiri, Metodologi Studi Islam: Percikan Pemikiran
Tokoh Dalam Membumikan Agama, Ar-Ruzz Media, 1st edn (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2011).
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis dan
Kerangka Dasar Operasionalisasinya (Bandung: Trigenda Karya, 1993)
24