Anda di halaman 1dari 25

PENDIDIKAN ISLAM DARI MASA KE MASA ANTARA

TANTANGAN DAN HARAPAN


Makalah Ini Dibuat untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah

Kapita Selekta Pemdidikan Agama Islam

Dosen Pengampu : Dr. Muhammad Arifin, M.Pd.

Disusun Oleh :

Kelompok 1

1. Putra Nahdi Abiyyu 20.1.2037


2. Rahmi Puji Yanti 20.1.2040

INSTITUT AGAMA ISLAM DEPOK (IAID) AL-KARIMIYAH


Jalan H. Maksum No. 23, Sawangan Baru, Kecamatan Sawangan
Kota Depok, Jawa Barat
16511
DAFTAR ISI
BAB I................................................................................................................................ 2

PENDAHULUAN ............................................................................................................ 2

A. Latar belakang ....................................................................................................... 2

B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 3

C. Tujuan .................................................................................................................... 3

BAB II .............................................................................................................................. 4

PEMBAHASAN............................................................................................................... 4

A. Jejak Pendidikan Agama Islam.............................................................................. 4

B. Model dan Sistem Pendidikan Islam ..................................................................... 7

C. Pembaharuan Pendidikan Islam........................................................................... 17

BAB III ........................................................................................................................... 23

PENUTUP ...................................................................................................................... 23

A. Kesimpulan .......................................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 24

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Pendidikan dalam Islam ditempatkan sebagai sesuatu yang esensial dalam


kehidupan manusia. Melalui pendidikan, manusia dapat membentuk
kepribadiannya. Selain itu, melalui pendidikan manusia dapat memahami dan
mampu menerjemahkan lingkungan yang dihadapinya sehingga dapat
menciptakan suatu karya yang gemilang. Melalui penelaahan terhadap alam yang
diperoleh dengan cara dan proses pendidikan, manusia dapat menghasilkan ilmu
pengetahuan.

Pendidikan Islam tentunya sangat dibutuhkan masyarakat muslim itu


sendiri, karena Islam sendiri adalah ajaran dan agama yang terang yang menjadi
pedoman bagi umat Islam yang berlandaskan pada Al-Qur’an dan Sunnahnya. Di
Indonesia sendiri sudah ditetapkannya pendidikan yang berlandaskan pada agama
Islam misalnya sekolah umum yang didalamnya memuat pelajran PAI, di
madrasah yang menjadikan landasan pokok dalam pelajarannya, serta pesantren
yang memang benar-benar mengajarkan dengan berlandaskan kepada kitab umat
Islam sebagai pedoman. Tidak hanya lembaga tersebut, akan tetapi sekarang
sudah adanya lembaga perguruan tinggi yang berlandaskan pada pelajaran agama
Islam. Dengan adanya kebutuahan tersebut maka dilaksanakannya pendidikan
yang didalamnya mengandung pelajaran agama Islam tersebut.

Dalam tulisan yang sederhana ini, penulis mencoba mengidentifikasi jejak


pendidikan Islam, model dan system bagi Pendidikan agama islam. Serta
membahas pembaharuan-pembaharuan dalam diri Pendidikan agama islam itu
sendiri. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat, khususnya untuk penulis, dan
umumnya untuk setiap orang yang membacanya.

2
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana jejak Pendidikan agama islam?


2. Bagaimana model dan sistem pendidikan islam?
3. Bagaimana pembaharuan Pendidikan islam?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui jejak Pendidikan agama islam.


2. Untuk mengetahui model dan sistem pendidikan islam.
3. Untuk mengetahui pembaharuan Pendidikan islam.

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Jejak Pendidikan Agama Islam

Sebelum kita mengenal lebih jauh tentang Pendidikan agama islam,


seyugyanya kita tahu terlebih dahulu Sejarah dan perkembangan dari Pendidikan
agama islam itu sendiri. Adapun fase perkembangannya dapat dibagi ke beberapa
poin berikut ini:

1. Pendidikan Islam pada Masa Rasulullah SAW

Pendidikan pada masa Rasulullah dapat dibedakan menjadi dua periode,


yaitu: periode Mekah dan periode Madinah. Pada periode Mekah, yakni sejak
Nabi diutus sebagai Rasul hingga hijrah ke Madinah, kurang lebih selama 13
tahun, sistem pendidikan Islam lebih bertumpu kepada Rasulullah. Bahkan, tidak
ada yang mempunyai kewenangan untuk memberikan atau menentukan materi-
materi pendidikan, selain Rasulullah.1

Secara umum, materi Al-Qur‘an dan ajaran-ajaran Rasulullah itu


menerangkan tentang kajian keagamaan yang menitikberatkan pada teologi dan
ibadah, seperti beriman kepada Allah, Rasul-Nya, dan hari kemudian, serta amal
ibadah, yaitu shalat. Zakat sendiri ketika itu belum menjadi materi pendidikan,
karena zakat pada masa itu lebih dipahami dengan sedekah kepada fakir miskin
dan anak-anak yatim. Selain itu, materi akhlak juga telah diajarkan agar manusia
bertingkah laku dengan akhlak mulia dan menjauhi kelakuan jahat. Adapun
materi-materi scientific belum dijadikan sebagai mata pelajaran. Nabi ketika itu
hanya memberikan dorongan untuk memperhatikan kejadian manusia, hewan,
tumbuh-tumbuhan, dan alam raya.2

2. Pendidikan Islam pada Masa Khulafa al-Rasyidin

1
Zaini Dahlan, Sejarah Pendidikan islam. (medan: 2018). Hlm.14
2
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jilid I, cet. 5 (Jakarta: UI-Press, 1985), h. 56-91.

4
Ketika Daulat Islamiyyah berkembang dengan berhasilnya umat Islam
yang dimulai pada khalifah Umar bin Khaththab menaklukkan wilayah non Arab,
maka pemeluk Islam terdiri dari orang Arab dan non Arab. Kondisi ini
menimbulkan berbagai kesulitan bagi ummat Islam non Arab untuk membaca dan
memahami al-Qur‘an. Maka dipandang perlu untuk memberikan pengetahuan
bahasa Arab dengan segala cabangnya. Semenjak itulah pendidikan Islam
menyandingkan pembelajaran Bahasa Arab di samping pembelajaran al-Qur‘an.

Untuk memberikan kemudahan belajar al-Qur‘an bagi umat Islam non


Arab, guru-guru pengajar al-Qur‘an mengusahakan upaya-upaya: pertama,
mengembangkan cara membaca al-Qur‘an yang baik yang selanjutnya melahirkan
ilmu tajwid al-Qur‘an. Kedua, meneliti cara pembacaan al-Qur‘an (qira‟at) yang
berkembang pada masa itu, yaitu menentukan bacaan yang benar sesuai yang
tertulis dalam mushhaf yang selanjutnya melahirkan ilmu Qira‟at dan
memunculkan Qira‟at Sab‟ah. Ketiga, memberikan tanda, harakat (syakal) dalam
mushhaf al-Qur‘an sehingga memudahkan orang yang baru mempelajari al-
Qur‘an. Keempat, memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur‘an yang
selanjutnya memunculkan ilmu Tafsir. Semula ilmu Tafsir menggunakan
penjelasan yang mereka terima dari Rasulullah SAW kemudian berkembang pada
penafsiran dangan akal dan kaidah kaidah bahasa Arab.3

Para sahabat yang memiliki pengetahuan keagamaan, membuka majlis


pendidikan masing-masing, sehingga pada masa Abu Bakar misalnya, lembaga
pendidikan kuttab mencapai tingkat kemajuan yang berarti. Kemajuan lembaga
kuttab ini terjadi ketika masyarakat muslim telah menaklukkan beberapa daerah
dan menjalin kontak dengan bangsa-bangsa yang telah maju. Lembaga pendidikan
ini menjadi sangat penting sehingga para ulama berpendapat bahwa mengajarkan
Al-Qur‘an merupakan fardlu kifayah.4

3. Pendidikan Islam pada Masa Dinasti Umayyah

3
Zuhairini, et.al., Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 80-81.
4
7Asma Hasan Fahmi, “Mabadi al-Tarbiyah al-Islamiyah” terj. Ibrahim Husein, Sejarah dan Filsafat
Pendidikan Islam, cet. k1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1997). hlm. 30.

5
Pada masa dinasti Umayyah pola pendidikan bersifat desentrasi,. Kajian
ilmu yang ada pada periode ini berpusat di Damaskus, Kufah, Mekkah, Madinah,
Mesir, Cordova dan beberapa kota lainnya, seperti: Basrah dan Kuffah (Irak),
Damsyik dan Palestina (Syam), Fistat (Mesir). Pada masa dinasti Umayyah, pakar
pendidikan Islam menggunakan kata al-Maddah untuk pengertian kurikulum.
Karena pada masa itu kurikulum lebih identik dengan serangkaian mata pelajaran
yang harus diberikan pada murid dalam tingkat tertentu.

Secara esensial, pendidikan Islam pada masa dinasti Umayyah ini hampir
sama dengan pendidikan pada masa Khulafa al-Rasyidin. Hanya saja memang ada
sisi perbedaan dan perkembangannya sendiri. Perhatian para raja di bidang
pendidikan terbilang kurang, sehingga pendidikan berjalan tidak diatur oleh
pemerintah, tetapi pendidikan dikelola oleh para ulama yang memiliki
pengetahuan yang mendalam. Kebijakan-kebijakan pendidikan yang dikeluarkan
oleh pemerintah hampir tidak ditemukan. Jadi, sistem pendidikan Islam ketika itu
masih berjalan secara alamiah.

Ada dinamika tersendiri yang menjadi karakteristik pendidikan Islam pada


masa ini, yakni dibukanya wacana kalam (disiplin teologi) yang berkembang
ditengah-tengah masyarakat. Sebagaimana dipahami dari konstruksi sejarah
dinasti Umayyah yang bersamaan dengan kelahirannya hadir pula tentang
polemik orang yang berbuat dosa besar, sehingga wacana kalam tidak dapat
dihindari dari perbincangan kesehariannya, meskipun wacana ini dilatarbelakangi
oleh faktor-faktor politis. Perbincangan ini kemudian telah melahirkan sejumlah
kelompok yang memiliki paradigma berpikir secara mandiri.5

4. Pendidikan Islam pada Masa Dinasti Abbasiyah

Menurut Hasan Abd al-Al, seorang ahli pendidikan Islam alumni


Universitas Thantha, dalam tesisnya menyebutkan ada tujuh lembaga‘ pendidikan
yang telah berdiri pada masa dinasti Abbasiyah, terutama pada abad ke-4 Hijriyah.

5
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, cet. 5 (Jakarta: UI-Press,
1986), h. 1-11.

6
Ketujuh lembaga itu adalah (a) lembaga pendidikan dasar (al-kuttab), (b) lembaga
pendidikan masjid (al-masjid), (c) kedai pedagang kitab (al hawanit al-waraqin),
(d) tempat tinggal para sarjana (manazil al ulama), (e) sanggar seni dan sastra (al-
shalunat al-adabiyah), (f) perpustakaan (dawr al-kutub wa dawr al-ilm), dan (g)
lembaga pendidikan sekolah (al-madrasah).6 Semua institusi‘ itu memiliki
karakteristik tersendiri dan kajiannya masing-masing. Sungguhpun demikian,
secara umum, seluruh lembaga pendidikan itu dapat diklasifikasikan menjadi tiga
tingkat. Pertama, tingkat rendah yang terdiri dari kuttab, rumah, toko, dan pasar,
serta istana. Kedua, tingkat sekolah menengah yang mencakup masjid, dan
sanggar seni, dan ilmu pengetahuan, sebagai lanjutan pelajaran di kuttab. Ketiga,
tingkat perguruan tinggi yang meliputi masjid, madrasah, dan perpustakaan,
seperti Bait al-Hikmah di Baghdad dan Dar al ulum di Kairo.

Pada masa Abbasiyah, materi pendidikan diorganisasikan oleh para


ulama, kelompok orang-orang yang berpengetahuan dan diterima sebagai
otoritatif dalam soal-soal agama dan hukum, akan tetapi negara melakukan
kontrol terhadap pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh setiap lembaga
pendidikan yang ada, bahkan juga melakukan investigasi metode pengajarannya.
Dengan intervensi semacam ini dimungkinkan negara (state) menetapkan struktur
kurikulum yang dijalankan oleh lembaga-lembaga pendidikan.

B. Model dan Sistem Pendidikan Islam

Dalam realitas kehidupan sehari-hari sering timbul pertanyaan: apa saja


aspek-aspek kehidupan itu? Apakah agama merupakan bagian dari aspek
kehidupan, sehingga hidup beragama berarti menjalankan salah satu aspek dari
berbagai aspek kehidupan, ataukah agama merupakan sumber nilai-nilai dan
operasional kehidupan, sehingga agama akan mewarnai segala aspek kehidupan
itu sendiri?. Dalam konteks inilah para pemikir dan pengembang pendidikan pada
umumnya mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut pada
gilirannya melahirkan beberapa model dalam pengem-bangan PAI sebagaimana
uraian berikut:

6
Hasan ‘Abd al-‘Al, al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qarn al-Rabi‟ al-Hijriy (Dar al-Fikr al-‘Arabi), h. 181-219.

7
1. Model Dikotomis

Pada model ini, aspek kehidupan dipandangan sangat seder-hana, dan


kata kuncinya adalah dikotomi atau diskrit. Segala sesuatu hanya dilihat dari
dua sisi yang berlawanan. Pandangan dikotomis tersebut pada gilirannya
dikembangkan dalam memandang aspek kehidupan dunia dan akhirat,
kehidupan jasmani dan rohani, se-hingga pendidikan agama Islam hanya
diletakkan pada aspek kehidupan akhirat saja atau kehidupan rohani saja.
Dengan demiki-an, pendidikan agama dihadapkan dengan pendidikan non
agama, pendidikan keislaman dengan nonkeislaman, demikian seterusnya.7

Pandangan semacam itu akan berimplikasi pada pengembangan


pendidikan agama Islam yang hanya berkisar pada aspek kehidup-an ukhrowi
yang terpisah dengan kehidupan duniawi, atau aspek kehidupan rohani yang
terpisah dari kehidupan jasmani. Pendi-dikan (agama) Islam hanya mengurusi
persoalan ritual dan spiritual, sementara kehidupan ekonomi, politik, seni-
budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan sebagainya dianggap
sebagai urusan duniawi yang menjadi garapan bidang pendidikan non-agama.
Pandangan dikotomis inilah yang menimbulkan dualisme dalam sistem
pendidikan, yaitu istilah pendidikan agama dan non-agama. Sikap dikotomi
(dualisme) ini terkait erat dengan world view umat Islam dalam memandang
dan menempatkan dua sisi ilmu, yaitu ‘ilm al-dînîyah dan ‘ilm ghair al
dînîyah.8

Demikian pula pendekatan yang dipergunakan lebih bersifat


keagamaan yang normatif, doktriner dan absolutis. Peserta didik diarahkan
untuk menjadi pelaku (actor) yang loyal, memiliki sikap commitment
(keberpihakan), dan dedikasi (pengabdian) yang tinggi terhadap agama yang
dipelajari. Sementara itu, kajian-kajian keilmuan yang bersifat empiris,

7
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, (jakarta: rajawali press, 2009), hlm. 60
8
Muhammad Hatta, Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan (Jakarta: Mutiara, 1979), hlm. 40-41.

8
rasional, analitis-kritis, dianggap dapat menggoyahkan iman, sehingga perlu
ditindih oleh pendekatan yang normatif dan doktriner tersebut.9

Pola dikotomi yang demikian, telah menimbulkan sejumlah efek


negatif. Abdurrahman Mas’ud dalam salah satu penelitiannya menunjukkan
bahwa cara pandang yang dikotomik tersebut akhirnya telah membawa
kemunduran dalam dunia pendidikan Islam. Di antaranya adalah menurunnya
tradisi belajar yang benar di kalangan muslim, layunya intelektualisme Islam,
melanggengkan supremasi ilmu-ilmu agama yang berjalan secara monotomik,
kemiskinan penelitian empiris serta menjauhkan disiplin filsafat dari
pendidikan Islam.10

2. Model Mekanisme

Model mekanisme memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek,


dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pe-ngembangan
seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan
menurut fungsinya, bagaikan sebuah mesin yang terdiri atas beberapa
komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan fungsinya
sendiri-sendiri, dan antara satu dengan lainnya bisa berkonsultasi atau tidak.

Aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan itu sendiri terdiri atas nilai


agama, nilai individu, nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi, nilai rasional,
nilai estetik, nilai biofisik, dan lain-lain. Demikian juga dalam proses
pendidikan dibutuhkan sistem nilai agar dalam pelaksanaannya berjalan
dengan arah yang pasti, karena berpe-doman pada garis kebijaksanaan yang
ditimbulkan oleh nilai-nilai fundamental, misalnya nilai agama, ilmiah, sosial,
ekonomi, kualitas kecerdasan dan sebagainya.11

9
Hasan Baharun and Akmal Mundiri, Metodologi Studi Islam: Percikan Pemikiran Tokoh Dalam
Membumikan Agama, Ar-Ruzz Media, 1st edn (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011).
10
Syamsul Maarif, Revitalisasi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hlm.15
11
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar
Operasionalisasinya (Bandung: Trigenda Karya, 1993),

9
Demikian pula, jika berbicara tentang tujuan pendidikan Islam, berarti
berbicara nilai nilai ideal yang bercorak Islami. Hal ini mengandung makna
bahwa tujuan pendidikan Islam adalah tujuan yang merealisasi idealitas
Islami. Sedang idealitas Islami itu sendiri pada hakikatnya adalah
mengandung nilai perilaku manusia yang didasari atau dijiwai oleh iman dan
taqwa kepada Allah sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus ditaati.

Dengan demikian, aspek atau nilai agama merupakan salah satu aspek
atau nilai kehidupan dari aspek-aspek kehidupan lainnya. Hubungan antara
nilai agama dengan nilai nilai lainnya kadang-kadang bersifat horizontal-
lateral (independent) atau bersifat lateral sekuensial, tetapi tidak sampai pada
vertikal linier.12

Relasi yang bersifat horizontal-lateral (independent), mengandung


arti bahwa beberapa mata pelajaran yang ada dan pendidikan agama
mempunyai hubungan sederajat yang independen, dan tidak saling
berkonsultasi. Relasi yang bersifat lateral-sekuensial, berarti di antara
masing-masing mata pelajaran tersebut mempunyai relasi sederajat yang bisa
saling berkonsultasi. Sedangkan relasi vertikal linier berarti mendudukkan
pendidikan agama sebagai sumber nilai atau sumber konsultasi, sementara
seperangkat mata pelajaran yang lain termasuk pengembangan nilai insani
yang mempunyai relasi vertikal linier dengan agama.

Dalam konteks tersebut, selama ini di sekolah-sekolah masih ada


proses sekularisasi ilmu, yakni pemisahan antara ilmu agama dan pengetahuan
umum. Nilai-nilai keimanan dan ketakwaan seolah-olah hanya merupakan
bagian dari mata pelajaran pendidikan agama, sementara mata pelajaran yang
lain mengajarkan ilmunya seolah-olah tidak ada hubungannya dengan
masalah nilai keimanan dan ketakwaan.13

12
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan, (jakarta: rajawali pers, 2012), hlm.36
13
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan, (jakarta: rajawali pers, 2012), hlm.36

10
Model tersebut tampak dikembangkan pada sekolah yang di dalamnya
diberikan seperangkat mata pelajaran atau ilmu pengetahuan, yang salah
satunya adalah mata pelajaran pendidikan agama yang hanya diberikan 2 atau
3 jam pelajaran per minggu, dan didudukkan sebagai mata pelajaran, yakni
sebagai upaya pembentu-kan kepribadian yang religius. Kebijakan ini sangat
prospektif dalam membangun watak, moral dan peradaban bangsa yang
bermartabat. Namun demikian, dalam realitasnya pendidikan agama Islam
sering terpinggirkan.14

Kebijakan tentang pembinaan pendidikan agama Islam secara terpadu


di sekolah umum misalnya, antara lain menghendaki agar pendidikan agama
dan sekaligus para guru agamanya mampu memadukan antara mata pelajaran
agama dengan pelajaran umum. Kebijakan ini akan sulit diimplementasikan
pada sekolah yang cukup puas hanya mengembanhkan pola relasi horizontal-
lateral (independent). Barangkali kebijakan tersebut relatif mudah
diimplementasikan pada lembaga pendidikan yang mengembangkan pola
lateral-sekuensial. Hanya saja implikasi dari kebijakan tersebut adalah para
guru agama harus menguasai ilmu agama dan memahami substansi ilmu-ilmu
umum, sebaliknya guru umum dituntut untuk menguasai ilmu umum (bidang
keahliannya) dan memahami ajaran dan nilai-nilai agama. Bahkan guru agama
dituntut untuk mam-pu menyusun buku-buku teks keagamaan yang dapat
menjelaskan hubungan antara keduanya.15

3. Model Organism/Sistemik

Meminjam istilah biologi, organism dapat berarti susunan yang


bersistem dari berbagai bagian jasad hidup untuk suatu tujuan. Dalam konteks
pendidikan Islam, model organism bertolak dari pandangan bahwa aktivitas
kependidikan merupakan suatu sistem yang terdiri atas komponen-komponen
yang hidup bersama dan bekerja sama secara terpadu menuju tujuan tertentu,

14
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan, (jakarta: rajawali pers, 2012), hlm.37
15
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan, (jakarta: rajawali pers, 2012), hlm.37-38.

11
yaitu terwujudnya hidup yang religius atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai
agama.16

Pandangan tersebut menggarisbawahi pentingnya kerangka pemikiran


yang dibangun dari fundamental doctrines dan fundamental values yang
tertuang dan terkandung dalam al Qur’an dan al-Sunnah al-Shahîhah sebagai
sumber pokok. Ajaran dan nilai-nilai ilahi didudukkan sebagai sumber
konsultasi yang bijak, sementara aspek kehidupan lainnya didudukkan sebagai
nilai-nilai kemanusiaan yang mempunyai hubungan vertikal-linier dengan
nilai ilahi/agama.

Nilai ilahi dalam aspek teologi tak pernah mengalami perubahan,


sedangkan aspek amaliahnya mungkin mengalami perubahan sesuai dengan
tututan zaman dan lingkungan. Sebaliknya nilai insani selamanya mengalami
perkembangan dan perubahan menuju ke arah yang lebih maju dan lebih
tinggi. Tugas pendidikan adalah memadukan nilai- nilai baru dengan nilai-
nilai lama secara selektif, inovatif, dan akomodatif guna mendinamisasikan
perkembangan pendidikan yang sesuai dengan tuntutan zaman dan keadaan,
tanpa meninggalkan nilai fundamental yang menjadi tolok ukur bagi nilai-
nilai baru.

Melalui upaya semacam itu, maka sistem pendidikan Islam diharapkan


dapat mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan
etik, serta mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai dan
menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, memiliki kematangan
profesional, dan sekaligus hidup di dalam nilai-nilai agama.

Paradigma tersebut tampaknya mulai dirintis dan dikembangkan


dalam sistem pendidikan di madrasah, yang dideklarasikan sebagai sekolah
umum yang berciri khas agama Islam, atau sekolah-sekolah (swasta) Islam
unggulan. Kebijakan pengembangan madrasah berusaha mengakomodasikan
tiga kepentingan utama, yaitu: pertama, sebagai wahana untuk membina roh

16
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, (jakarta: rajawali press, 2009), hlm. 67

12
atau praktik hidup keislaman; kedua, memperjelas dan memperkokoh
keberadaan madrasah sederajat dengan sistem sekolah, sebagai pembinaan
warga negara yang cerdas berpengetahuan, berkepribadian, serta produktif;
dan ketiga, mampu merespon tuntutan-tuntutan masa depan dalam arti
sanggup melahirkan manusia yang memiliki kesiapan memasuki era
globalisasi, industrialisasi maupun era informasi.

Maka dari itu, model organisme/sistemik dapat diimplementasikan


dalam pengembangan pendidikan agama Islam di sekolah, mengingat
kegiatan pendidikan agama yang berlangsung selama ini lebih banyak
bersikap menyendiri, kurang berinteraksi dengan kegiatan-kegiatan
pendidikan lainnya. Cara kerja semacam ini kurang efektif untuk keperluan
penanaman suatu perangkat nilai yang kompleks. Selain itu, metodologi
pendidikan agama kurang mendorong penjiwaan terhadap nilai-nilai
kegamaan serta terbatasnya bahan-bahan bacaan keagamaan. Buku-buku
paket pendidikan agama saat ini belum memadai untuk membangun kesadaran
beragama, memberikan keterampilan fungsional keagamaan dan mendorong
perilaku bermoral dan berakhlak mulia pada peserta didik.

Setelah membahas metode Pendidikan agama islam, kita akan membahas


Bagaimana system Pendidikan islam yang ada di Indonesia. Sistem juga dapat
didefinisikan sebagai kumpulan elemen-elemen berupa data, jaringan kerja dari
prosedur yang saling berketerkaitan satu sama lain baik hardware maupun
software yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan atau sasaran. Dari
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwasannya sistem merupakan suatu
komponen yang terstruktur dalam membentuk kesatuan yang saling berkaitan satu
sama lain serta mendukung dalam keseluruhan komponen tersebut secara tepat.

Adapun sistem pendikan Islam merupakan suatu aturan dan komponen-


komponen yang saling berkaitan serta berhubungan satu sama lain dalam
melakukan pembelajaran dengan mengarah kepada pembentukan anak didik yang
muslim serta dalam memperbaiki akhlak secara terstruktur dalam materi ajar

13
supaya tercapai tujuan yang baik dan efektif sesuai dengan tujuan dari sekolah
tersebut.

System Pendidikan islam di Indonesia ada beberapa macam, diantaranya


sebagai berikut ini:

1. Sekolah

Sekolah merupakan Tripusat pendidikan di samping rumah tangga dan


masyarakat. Walaupun ketiganya dikelompokkan kepada lingkungan pendidikan,
namun dari segi teknis pelaksanaan pendidikan terdapat perbedaan antara satu dan
yang lainnya. Sekolah menitik beratkan kepada pendidikan formal, di sekolah
prosedur pendidikan telah diatur sedemikian rupa, ada guru, ada siswa, ada jadwal
pelajaran yang berpedoaman kepada kurikulum dan silabus, ada jam-jam tertentu
waktu belajar serta dilengkapi dengan sarana dan fasilitas pendidikan serta
perlengkapan-perlengkapan dan peraturan-peraturan lainnya.

Tekhnik pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum


mengalami perubahan-perubahan tertentu, seiring dengan perkembangannya ilmu
pengetahuan dan teknologi serta perubahan sistem proses belajar mengajar,
misalnya tentang materi pendidikan agama diadakan pengintegrasian dan
pengelompokan, yang tanpaknya lebih terpadu dan diadakan pengurangan alokasi
waktu.

Ada dua cara yang memungkinkan untuk menghubungkan mata pelajaran


agama dengan mata pelajaran umum sebagai berikut :

a. Cara Okasional, yaitu dengan cara bagian dari satu pelajaran


dihubungkan dengan bagian dan pelajaran lain bila ada kesempatan
yang baik. Hubungan secara okasional ini biasa disebut juga dengan
korelasi. Hal ini sejalan dengan prinsif kurikulum korelasi, misalnya
pada waktu membicarakan pelajaran fiqih tentang hukum makanan
dan minuman, guru dapat menghubungkannya dengan pendidikan
kesehatan.

14
b. Cara sistematis, yaitu dengan cara bahan-bahan pelajaran itu
dihubungkan dulu menurut rencana tertentu sehingga bahan-bahan itu
merupakan seakan-akan satu kesatuan yang terpadu. Hal ini disebut
konsentrasi sistematis sebagian dan konsentrasi sistematis total.

2. Madrasah

Dalam peraturan menteri agama nomor 1 tahun 1946 dan peraturan


menteri agama nomor 7 tahun 1950 maupun SKB tiga menteri tahun 1975, dapat
dipahami bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjadikan mata
pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran pokok atau dasar, disamping itu
juga diajarkan mata pelajaran umum. Sistem dan isi madrasah diupayakan adanya
penggabungan antara sistem pesantren dan sekolah umum.47 Dalam jenjang
pendidikan madrasah tersusun sebagai berikut :

a. Madrasah rendah atau sekarang lazim dikenal sebagai Madrasah


Ibtidaiyah, ialah madrasah yang memuat pendidikan dan ilmu
pengetahuan agama Islam yang menjadi pokok pengajarannya, lama
pendidikannnya 6 tahun.

b. Madrasah lanjutan tingkat pertama atau sekarang dikenal sebagai


Madrasah Tsanawiyah ialah madrasah yang menerima murid-murid
tamatan madrasah rendah atau sederajat dengan itu, serta memberikan
pendidikan dalam ilmu pengetahuan agama Islam sebagai pokok
pengajarannya, lama pendidikan 3 tahun.

c. Madrasah lanjutan atas atau sekarang dikenal sebagai madrasah aliyah,


ialah madrasah yang menerima murid-murid tamatan madrasah
lanjutan pertama atau yang sederajat memberikan pendidikan dalam
ilmu pengetahuan agama Islam sebagai pokok pengejarannya. Lama
belajar 3 tahun.

3. Pesantren

15
Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di indnesia,
lahir dan berkembang semenjak masa-masa permulaan Islam datang ke Indonesia.
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren merupakan sebuah komplek dengan
lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan sekitarnya. Tipologi pesantren bisa
dibedakan paling tidak menjadi tiga bagian. Yaitu Salafiah (Tradisional),
Kholafiah (Modern), dan Terpadu yaitu:

a. Salafiah adalah tipe Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu- ilmu agama
Islam atau kitab-kitab klasik yang ditulis oleh ulama-ulama terdahulu.
Dengan metode pengajaran diantaranya: sorogan, bandungan, hafalan, dan
musyawarah.

b. Khalafiah adalah tipe Pesantren modern yang didalamnya mengajarkan


ilmu ilmu agama Islam dan pengetahuan umum. Tetapi masih
mengajarkan kitab kitab klasik seperti Pesantren Salafiah. Pola
kepemimpinan tipe Pesantren ini biasanya kolektif-demokratif, sehingga
tugas dan wewenang telah dideskriptifkan secara jelas. Sistem yang
digunakan tipe ini adalah sistem klasikal dan evaluasi yang digunakan
memiliki standar yang jelas dan modern.

c. Pesantren terpadu adalah pesantren yang memadukan atau


menggabungkan anatara sistem pendidikan Salafi dan pendidikan Khalafi.

4. Perguruan tinggi islam

Hasrat umat Islam untuk mendirikan pendidikan tinggi sudah dirintis sejak
zaman kolonial belanda , ide ini sudah ada sejak tahun 1930 an.53 Sejarah
perguruan tinggi agama Islam di Indonesia bermula pada awal tahun 1945 ketika
masyumi memutuskan untuk mendirikan sekolah tinggi Islam di Jakarta. Sebagai
tindak lanjut dari keputusan tersebut, pada bulan April 1945 masyumi
menyelenggarakan pertemuan di Jakarta yang dihadiri oleh organisasi-organisasi
Islam, kalangan intelektual dan ulama serta unsur pemerintah.

16
Berkaitan dengan pengembangan strategi kurikulum terdapat dua model
struktur yang dapat digunakan dalam menyusun kurikulum, yakni model serial
dan model paralel. Model serial merupakan pendekatan yang menyusun mata
kuliah berdasarkan logika struktur keilmuan. Mata kuliah disusun dari yang paling
dasar menuju tingkat lanjutan. Dalam model ini dikenal istilah mata kuliah
prasyarat, yang menunjukkan keterhubungan mata kuliah yang satu dengan yang
lain. Adapun model paralel merupakan strategi penyusunan mata kuliah pada
setiap semester sesuai dengan tujuan kompetensinya. Model ini setara dengan
penggunaan sistem blok, penyusunan mata kuliah berdasarkan ketercapaian
kompetensi bukan sekedar berorientasi pada pembelajaran semester.

C. Pembaharuan Pendidikan Islam

Timbulnya pembaruan pemikiran dalam Islam di Indonesia baik dalam


bidang agama, sosial maupun pendidikan diawali dan dilatarbelakangi oleh
pembaruan pemikiran Islam yang timbul dibelahan dunia Islam lainnya, terutama
diawali oleh pembaruan pemikiran Islam yang ditimbul di Mesir, Turki, dan
India.17

Di Mesir, masyarakat mulai menyadari ketertinggalan mereka dalam


bidang ilmu pengetahuan ketika Napoleon mulai mengusai Mesir di tahun 1798
M. disinilah umat Islam mengalami kontak dengan peradaban Barat yang telah
maju. Dari kontak itulah umat Islam terutama ulama menyadari betapa
tertinggalnya mereka dalam bidang ilmu pengetahuan. Keadaran inilah yang
merangsang timbulnya pembaruan di Mesir.

Usaha-usaha pembaruan pendidikan Islam di Indonesia pada mulanya


telah dimulai sejak awal abad ke-20. Sistem yang ada pada mulanya sebelum
masuk ide-ide pembaruan adalah system nonklasikal, berubah menjadi sistem
klasikal. Materi pelajaran sebelum masuk ide-ide pembaruan terpusat kepada
mata pelajaran agama saja, dengan berpedoman kepada kitab-kitab klasik, dan

17
Haidar Putra Daulay dan Nurgaya Pasa, Pendidikan Islam dalam Litasan Sejarah: Kajian dari Zaman
Pertumbuhan sampai Kebangkitan, (Jakarta: Kencana, 2013), 39.

17
setelah diinspirasi oleh ide-ide pembaruan mata pelajaran telah berimbang antara
ilmu-ilmu agama dengan ilmu umum.18

Masuknya ide-ide pembaruan pemikiran Islam ke Indonesia, sangat besar


pengaruhnya bagi terealisasinya pembaruan pendidikan. Pembaruan pendidikan
Islam di Indonesia dimulai dengan munculnya sekolah Adabiyah yang setara
dengan sekolah HIS, di dalamnya diajarkan agama dan al-Quran acara wajib. Pada
tahun 1915 sekolah ini mengganti nama menjadi Hollandsch Maleische School
Adabiyah.

Pada tahun 1915, didirikan Diniyah School (Madrasah Diniyah) di Padang


Panjang, yang mendapat perhatian besar dari masyarakat Minangkabau. Setelah
itu, terebarlah madrasah-madrasah pada beberapa kota dan desa di Indonesia.
Pada tahap awal di madrasahmadrasah terkonsentrasi mengajarkan mata pelajaran
agama. Sesudah tahun 1931, madrasah mengalami modernisasi yaitu dengan
memasukkan sejumlah mata pelajaran umum. Di sinilah mulai muncul ide-ide
pembaruan mata pelajaran di madrasah berimbang antara ilmuilmu agama dengan
ilmu-ilmu umum.19

Dalam proses pendidikan terjadi pembaharuan pendidikan dari berbagai


aspek. Misalnya; pembaharuan dalam aspek tujuan pendidikan, pendidik, peserta
didik, materi/ kurikulum, metode pendidikan, lingkungan pendidikan (milieu),
evaluasi pendidikan, dan manajemen pendidikan. Meskipun demikian hanya ada
empat yang akan penulis uraikan sebagai berikut:

1. Pembaharuan dalam Aspek Tujuan Pendidikan

Tujuan atau cita-cita sangat penting di dalam aktivitas pendidikan, karena


merupakan arah yang hendak dicapai. Maka tujuan harus ada sebelum melangkah
untuk mengerjakan sesuatu. Bila pendidikan dipandang sebagai suatu proses,
maka proses tersebut akan berakhir pada tercapainya tujuan akhir pendidikan.

18
Idris, Syarifuddin. "pembaruan pendidikan Islam di Indonesia." KREATIF: Jurnal Pemikiran Pendidikan
Agama Islam 13.2 (2015): 148-165.
19
Idris, Syarifuddin. "pembaruan pendidikan Islam di Indonesia." KREATIF: Jurnal Pemikiran Pendidikan
Agama Islam 13.2 (2015): 148-165.

18
Oleh karena itu, usaha yang tidak mempunyai tujuan tidaklah mempunyai arti apa-
apa. Berbicara tentang tujuan pendidikan maka erat kaitannya dengan tujuan
hidup manusia, karena pendidikan hanyalah sebagai alat yang digunakan manusia
untuk memelihara kelanjutan hidupnya, baik sebagai individu maupun sebagai
masyarakat. Oleh karena itu, tujuan pendidikan harus diarahkan sesuai dengan
kebutuhan dan tuntutan yang sedang dihadapi.20

Dalam konteks ini, aliran filsafat pendidikan progressivisme mempunyai


andil yang kuat dalam dinamika masyarakat yang selalu berubah. Aliran yang
lahir sebagai pembaharuan dalam dunia pendidikan terutama sebagai lawan
terhadap kebijakan- kebijakan konvensional yang diwarisi dari abad ke-19 ini
boleh dikatakan banyak berbuat dan melakukan inisiatif buat mengadakan
rekonstruksi di dalam pendidikan modern. Aliran ini anti terhadap kemutlakan,
menolak absolutisme, dan otoriteranisme, serta bersifat dinamis, dan selalu
mengalami perubahan.

Progres atau kemajuan itu menimbulkan perubahan, dan perubahan


menimbulkan pembaharuan. Suatu pembaharuan menghendaki keaslian dan
kewajaran, dan bukanlah semata-mata penjelmaan dari suatu realitas yang sudah
ada dengan lengkap sempurna lebih dulu. Pendidikan progresif tidaklah dikatakan
progresif oleh karena dia segera mantap membuat kemajuan untuk menuju kepada
tujuan yang telah ditetapkan, akan tetapi karena dia tumbuh dan berkembang ke
arah manapun juga, menuju suatu masa datang yang baru yang memberikan
kemungkinan terbanyak buat mencapai perkembangan dan kemajuan.

Jadi, yang dimaksud dengan pembaharuan dalam aspek tujuan pendidikan


di sini adalah suatu perubahan baru terhadap tujuan pendidikan yang sengaja
dilakukan oleh lembaga pendidikan dalam rangka menjawab tuntutan masyarakat
yang selalu berubah dan sesuai dengan kondisi zaman.21

21
Zaenudin, Lc. "Pembaharuan Sistem Pendidikan Islam." Risâlah, Jurnal Pendidikan Dan Studi Islam 2.1
(2015): 1-16.

19
2. Pembaharuan dalam Aspek Kurikulum

Istilah kurikulum berasal dari bahasa Latin, yaitu currere yang berarti lari,
lapangan pertandingan, dan tempat perlombaan. Atau, jarak yang harus ditempuh,
yang pada masa lalu digunakan oleh pemain olah raga. Jadi secara harfiah
kurikulum mengandung arti perlombaan, pacuan, dan pertandingan. Sedangkan
kurikulum dalam pendidikan Islam dikenal dengan kata manhaj yang berarti jalan
terang yang dilalui manusia pada berbagai bidang kehidupan.

kurikulum secara signifikan berperan sebagai pedoman dan landasan


operasional bagi implementasi proses belajar mengajar di sekolah, lembaga
pendidikan dan pelatihan. Hal tersebut diharapkan dapat menimbulkan perubahan
tingkah laku, sekaligus alat dan sarana untuk mencapai tujuan pendidikan.

Bicara masalah pembaharuan kurikulum, maka erat kaitannya dengan


kebutuhan manusia. Di mana kebutuhan manusia terus berubah, bertambah, dan
dinamis sesuai dengan tuntutan masa. Kalau ingin kurikulum sesuai dengan
kebutuhan dan tuntutan masa, maka seyogyanya diadakan pembaharuan terus-
menerus. Pembaharuan kurikulum dilakukan karena kurikulum adalah suatu yang
bersifat dinamis dan mengikuti perubahan nila-nilai sosial budaya masyarakat
sesuai arus perkembangan IPTEK. Artinya, kurikulum sebagai alat untuk
mencapai tujuan pendidikan selalu menyesuaikan dengan perkembangan
masyarakat yang selalu berubah. Kurikulum dibuat mesti bermanfaat bagi siswa
dan membantu menyelesaikan masalah mereka dan masalah Masyarakat.

Subandijah membedakan istilah pembaharuan kurikulum dengan


perubahan kurikulum. Kalau pembaharuan kurikulum, menurutnya adalah
perubahan atau inovasi kurikulum dalam mata pelajaran atau bidang studi. Atau
disebut juga dengan perubahan kurikulum dalam skala terbatas (mikro/khusus).
Sedangkan perubahan kurikulum adalah perubahan kurikulum dalam segala aspek
dalam komponen kurikulum. Atau disebut juga dengan perubahan kurikulum
secara sistem (makro/umum). Sejalan dengan alur ini, maka pembaharuan
kurikulum dapat ditandai dengan adanya unsur mata pelajaran baru yang
diperkenalkan. Atau dapat pula berupa perubahan jam dan mata pelajaran, baik

20
dalam bentuk penambahan maupun pengurangan sesuai dengan kebutuhan
zaman.

3. Pembaharuan dalam Aspek Pendidik

Pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang


pendidikan. Dalam bahasa Inggris disebut dengan teacher (guru), instructor atau
trainer (pemandu), lecturer (dosen), dan educator (pendidik). Menurut Undang-
undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan
bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran, melakukan bimbingan dan pelatihan, serta
melakukan penelitian dan pengabdian kepada Masyarakat.

Dengan tugas dan tanggung jawab yang kuat itulah, maka seorang
pendidik dituntut memenuhi beberapa syarat. Menurut Direktorat Pendidikan
Agama, syarat- syarat sebagai pendidik atau pengajar adalah; pertama, memiliki
kepribadian Mukmin, Muslim dan Muhsin. Kedua, taat untuk menjalankan
Agama, yaitu menjalankan syari’at Islam, dan dapat memberikan contoh teladan
yang baik bagi peserta didiknya. Ketiga, memiliki jiwa pendidik dan kasih sayang
kepada peserta didiknya serta berjiwa ikhlas. Keempat, mengetahui dasar-dasar
pengetahuan tentang keguruan, terutama didaktik metodik. Kelima, menguasai
ilmu pengetahuan Agama. Keenam, sehat rohani dan jasmaninya.

Ketentuan lebih lanjut tentang pendidik juga diatur dalam Peraturan


Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan terutama
dalam Bab VI, Pasal 28 sebagai berikut: 1) Pendidik harus memiliki kualifikasi
akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani,
serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan nasional. 2) Kualifikasi
akademik sebagaimana yang dimaksud ayat (1) adalah tingkat pendidikan
minimal yang harus dimiliki oleh seorang pendidik yang harus dibuktikan dengan
ijazah dan/atau sertifikasi keahlian yang relevan sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku. 3) Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan usia dini. 4) Seorang yang tidak
memiliki ijazah/atau sertifikasi keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

21
tetapi memiliki keahlian khusus yang diakui dan diperlukan dapat diangkat
menjadi pendidik setelah melalui uji kelayakan dan kesetaraan.61 Berdasarkan
pijakan ini, dapat dipahami bahwa karakteristik seorang guru yang bermutu harus
memiliki kualifikasi akademik,62 kompetensi63 dan sertifikasi

Pembaharuan pendidik berorientasi pada peningkatan mutu pendidik yang


dapat ditandai dengan adanya usaha dalam pencapaian kompetensi yang melekat
pada diri seorang pendidik. Jadi, yang dimaksud dengan pembaharuan dalam
aspek pendidik di sini adalah adanya suatu perubahan dalam rangka pencapaian
kompetensi guru-guru di sebuah lembaga pendidikan.

4. Pembaharuan dalam Aspek Peserta Didik

Peserta didik berfungsi sebagai objek yang sekaligus sebagai subjek


pendidikan. Sebagai objek karena peserta didik tersebut menerima perlakuan-
perlakuan tertentu, tetapi dalam pandangan pendidikan modern peserta didik lebih
dekat dikatakan sebagai subjek atau pelaku pendidikan. Usaha pembaharuan
pendidikan ditujukan untuk kepentingan siswa atau peserta didik, yang sering
disebut "Student Centered Approach". Pembaharuan tersebut berorientasi untuk
menghasilkan sosok peserta didik yang ideal. Seperti; berkualitas, profesional,
mumpuni di bidangnya, berkemauan keras atau pantang menyerah, memiliki
motivasi yang tinggi, sabar, tabah, tidak mudah putus asa dan lain sebagainya.

Upaya ini dapat dilakukan dengan cara membenahi proses atau sistem
pendidikan. Artinya, pembaharuan terhadap peserta didik berawal dari
pembaharuan terhadap input (calon siswa yang akan masuk) lewat penyeleksian
yang ketat. Lalu, dilakukan penggodokan dan pemantapan keilmuan dalam
kegiatan belajar mengajar (process) di sekolah dan di asrama untuk menghasilkan
output yang diharapkan.

22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kegiatan pendidikan agama yang berlangsung selama ini lebih banyak
bersikap menyendiri, kurang berinteraksi dengan kegiatan-kegiatan pendidikan
lainnya. Cara kerja semacam ini kurang efektif untuk keperluan penanaman suatu
perangkat nilai yang efektif untuk keperluan penanaman suatu perangkat nilai
yang kompleks. Selain itu, metodologi pendidikan agama kurang mendorong
penjiwaan terhadap nilai-nilai kegamaan serta terbatasnya bahan-bahan bacaan
keagamaan. Buku-buku paket pendidikan agama saat ini belum memadai untuk
membangun kesadaran beragama, memberikan keterampilan fungsional
keagamaan dan mendorong perilaku bermoral dan berakhlak mulia pada peserta
didik.

Untuk itu, diperlukan pengembangan pendidikan agama yang le-bih


kondusif dan prospektif terutama di sekolah. Model pengembangannya perlu
direkonstruksi, dari model yang bersifat dikotomis dan mekanisme ke arah model
organisme atau sistemik. Hanya saja untuk merombak model tersebut diperlukan
kemampuan guru PAI dan political will dari para pengambil kebijakan, termasuk
di dalamnya para pimpinan lembaga pendidikan itu sendiri.

Pembaharuan itu adalah sesuatu yang dilakukan secara efektif, efisien, dan
produktif menuju kepada kemajuan. Pembaharuan yang dimaksud adalah
pembaharuan di dalam pendidikan, yaitu suatu perubahan yang baru dan sengaja
diusahakan untuk mencapai tujuan tertentu dalam pendidikan. Pembaharuan
pendidikan mencakup 4 aspek yaitu; pembaharuan dalam aspek tujuan
pendidikan, pembaharuan dalam aspek kurikulum, pembaharuan dalam aspek
pendidik, dan pembaharuan dalam aspek peserta didik. Pembaharuan tersebut
berorientasi untuk menghasilkan sosok peserta didik yang ideal, yakni berkualitas,
profesional, mumpuni di bidangnya, berkemauan keras, memiliki motivasi yang
tinggi, sabar, tabah, dan tidak mudah putus asa.

23
DAFTAR PUSTAKA
Asma Hasan Fahmi, “Mabadi al-Tarbiyah al-Islamiyah” terj. Ibrahim Husein, Sejarah
dan Filsafat Pendidikan Islam, cet. k1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1997).

Idris, Syarifuddin. "pembaruan pendidikan Islam di Indonesia." KREATIF: Jurnal


Pemikiran Pendidikan Agama Islam 13.2 (2015): 148-165.

Haidar Putra Daulay dan Nurgaya Pasa, Pendidikan Islam dalam Litasan Sejarah:
Kajian dari Zaman Pertumbuhan sampai Kebangkitan, (Jakarta: Kencana, 2013)

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jilid I, cet. 5 (Jakarta: UI-
Press, 1985)

Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, cet. 5


(Jakarta: UI-Press, 1986).

Hasan ‘Abd al-‘Al, al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qarn al-Rabi‟ al-Hijriy (Dar al-Fikr
al-‘Arabi)

Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, (jakarta: rajawali press, 2009)

Muhammad Hatta, Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan (Jakarta: Mutiara, 1979)

Hasan Baharun and Akmal Mundiri, Metodologi Studi Islam: Percikan Pemikiran
Tokoh Dalam Membumikan Agama, Ar-Ruzz Media, 1st edn (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2011).

Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis dan
Kerangka Dasar Operasionalisasinya (Bandung: Trigenda Karya, 1993)

Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan, (jakarta: rajawali pers, 2012)

Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, (jakarta: rajawali press, 2009)

Syamsul Maarif, Revitalisasi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007)

Zaini Dahlan, Sejarah Pendidikan islam. (medan: 2018).

Zuhairini, et.al., Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004)

Zaenudin, Lc. "Pembaharuan Sistem Pendidikan Islam." Risâlah, Jurnal Pendidikan


Dan Studi Islam 2.1 (2015):

24

Anda mungkin juga menyukai