Anda di halaman 1dari 14

NAMA : SINDIANTI MAHMUD

NIM : 210711010484
TUGAS HUKUM PIDANA : MEMBUAT RINGKASAN MATERI BAB 12, 13, 14, 15

BAB XII
PERBARENGAN TINDAK PIDANA

A. Pengertian Perbarengan Tindak Pidana


Perbarengan (bld.: samenloop; Lat.: concursus) tindak pidana adalah peristiwa
dimana seseorang melakukan perbuatan atau perbuatan-perbuatan yang melanggar
beberapa ketentuan pidana, dan beberapa tindak pidana itu diadili sekaligus. Ada
perbarengan tindak pidana, jika satu orang melakukan satu perbuatan yang
melanggar beberapa ketentuan pidana atau melakukan beberapa perbuatan yang
melanggar beberapa ketentuan pidana.

B. Macam-Macam perbarengan
Tiga macam perbarengan dalam KUHP:
1. Perbarengan Peraturan.
Dalam pasal 63 ayat (1) dan (2) KUHP diesbut tentang “suatu perbuatan
masuk dalam lebih dari satu aturan pidana”.
Dalam bahasa Belanda ini dinamakan eendaadse samenloop, yaitu
perbarengan dalam satu perbuatan, karena yang dilakukan hanya satu
perbuatan saja tetapi satu perbuatan itu melanggar beberapa ketentuan
pidana.
Dalam bahasa Latin dinamakan concursus idealis karena secara fisik yang
kelihatan hanya satu perbuatan saja, dimana adanya perbarengan tindak
pidana itu hanya dalam pikiran (idealis) saja.
2. Perbuatan Berlanjut.
Dalam pasal 64 ayat (1) disebutkan tentang “beberapa perbuatan,
meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada
hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu
perbuatan berlanjut”.
Ini dinamakan perbuatan berlanjut, yaitu ada beberapa perbuatan tetapi
antara perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus
dipandang sebagai satu perbuatan.
3. Perbarengan perbuatan.
Dalam pasal 65 ayat (1) KUHP disebutkan tentang “beberapa perbuatan
yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri”.
Dalam Bahasa Belanda ini dinamakan meerdaadse samenloop, yaitu
perbarengan beberapa oerbuatan,karena ada beberapa perbuatan yang
dilakukan.
Dalam Bahasa Latin dinamakan concursus realis, karena perbarengan itu
merupakan kenyataan (realis) bukan sekedar ada dalam pikiran (idealis) saja.

C. Cara Penghitungan Pidana dalam Perbarengan


ada 4 macam cara menghitung pidana dalam perbarengan tergantung pada jenis
perbarengan, yaitu:
1. Cara absorpsi (penyerapan) dalam murni untuk perbarengan peraturan dalam
perbuatan berlanjut.
Menurut pasal 63 ayat (1), jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu
aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan
itu; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok
yang paling berat.
Menurut pasal 63 ayat (2) jika, suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan
pidana umum, diatur pula dalam aturan pidana khusus, maka hanya yang
khusus itulah yang di terapkan.
Menurut pasal 64 ayat (1) jika di antara perbuatan, meskipun masing-
masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian
rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya
diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang diterapkan yang
memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
2. Cara absorpsi (penyerapan) yang dipertajam untuk perbarengan perbuatan
atas kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang jelas.
Cara ini diterapkan untuk perbarengan perbuatan dalam kejahatan-
kejahatan yang diancam dengan pidana pokok (vide pasal 10 huruf a) yang
sejenis. Untuk beberapa kejahatan itu hanya dikenakan satu pidana saja, yang
maksimumnya yaitu jumlah maksimum pidana yang diancamkan terhadap
kejahatan-kejahatan tersebut, tetapi tidak boleh lebih dari maksimum pidana
yang terberat ditambah sepertiga (pasal 65 ayat (1) dan (2) KUHP).
3. Cara Komulasi (penjumlahan) yang diperlunak untuk perbarengan perbuatan
atas kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak
sejenis.
Menurut pasal 66 ayat (1), dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang
masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri
sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok
(vide pasal 10 huruf a) yang tidak sejenis, maka dijatuhkan pidana atas tiap-tiap
kejahatan, tetapi jumlah tidak boleh melebihi maksimum pidana yang terberat
ditambah sepertiga. Ini berarti ada komulasi pidana tetapi diperlunak
(diperingan).
4. Cara komulasi murni untuk pelanggaran (overtredingen).
Menurut pasal 70 ayat (1), jika ada perbarengan seperti yang dimaksud
dalam pasal 65 dan66, baik perbarengan pelamggaran dengan kejahatan,
maupun pelanggaran dengan pelanggaran, maka untuk tiap-tiap pelanggaran
dijatuhkan pidana sendiri-sendiri tanpa dikurangi.
Jadi, khusus untuk delik pelanggaran (overtreding) dijatuhkan pidana
sendiri-sendiri tanpa dikurangi (komulasi murni).
BAB XIII
PIDANA DAN TINDAKAN

A. Tujuan Pidana
Beberapa teori tujuan pidana dapat disusun dengan sistematika sebagai berikut :
1. Teori-teori absolut. Disebut teori absolut karena menurut teori-teori ini pidana
seharusnya merupakan sesuatu yang mutlak (absolut) menyusul dilakukannya
kejahatan. Pidana dikenakan karena orang melakukan kejahatan (quic
peccotum), bukannya untuk mencapai suatu tujuan yang lain. Termasuk dalam
teori ini antara lain:
a. Teori etis (moral) dari Immanuel Kant (1724 – 1804)
b. Teori Logika dialektis dari G.W.F Hegel (1770 – 1831)
2. Teori-teori relatif. Disebut relatif karena teori-teori ini mencari pembenaran
pidana pada tujuan yang hendak dicapai dengan pidana. Pidana dikenakan
supaya jangan melakukan kejahatan (ne peccetur). Teori-teori ini dapat dibagi
atas:
a. Teori prevensi umum Anselm Von Feuerbach (1775 – 1833)
b. Teori prevensi khusus
3. Teori-teori penyatuan/integrative. Termasuk ke dalam kelompok teori ini
adalah pandangan Groius (1583 – 1654) bahwa “ kodrat mengajarkan bahwa
barang siapa melakukan kejahatan, ia akan terkena derita” (aspek absolut),
tetapi dalam menetapkan berat ringannya derita yang dikenakan tergantung
pada kemanfaatan social (aspek relative).
B. Pidana
1. Sistem sanksi dalam KUHP
Sanksi dalam hukum pidana mencakup pidana (bld: straf) dan Tindakan
(bld: maatregel).
Menurut pasal 10 KUHP, Pidana terdiri atas:
a. Pidana pokok:
1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
4. pidana denda.
b. Pidana tambahan:
1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim.
Dengan UU No.20/1946 tentang Hukuman Tutupan, ke dalam pasal
10 huruf a KUHP - dan pasal 6 huruf a KUHP Militer - ditambahkan
pidana pokok baru, yaitu hukuman tutupan. Hukuman tutupan
merupakan pengganti (alternatif) terhadap pidana penjara dalam hal
tertentu yang disebutkan dalam UU No.20/1946.
2. Pidana mati
Perbuatan-perbuatan yang diancam pidana dalam KUHP yaitu:
a. Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas
kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan presiden atau Wakil
Presiden memerintah (pasal 104).
b. Mengadakan hubungan dengan negara asing dengan maksud
menggerakannya untuk melakukan perbuatan permusuhan atau perang
terhadap negara, memperkuat niat mereka, menjanjikan bantuan atau
membantu mempersiapkan mereka untuk melakukan perbuatan
permusuhan atau perang terhadap negara, dan sebagai akibatnya
perbuatan permusuhan dilakukan atau terjadi perang (pasal 111 ayat 2).
c. Dalam masa perang dengan sengaja:
1. memberitahukan atau menyerahkan kepada musuh, menghancurkan
atau merusakkan sesuatu tempat atau pos yang diperkuat atau
diduduki, sesuatu alat perhubungan, Gudang persediaan perang, atau
kas perang ataupun Angkatan Laut, Angkatan Darat atau bagian
daripadanya, merintangi, menghalang-halangi atau menggagalkan suatu
untuk menggenangi air atau karya tentara lainnya yang direncanakan
atau diselenggarakan untuk menangkis atau menyerang;
2. menyebabkan atau memperlancar timbulnya huru-hara,
pemberontakan atau desersi di kalangan Angkatan Perang (pasal 124
ayat 3).
d. Makar terhadap nyawa raja yang memerintah atau kepala negara
sahabat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu serta
mengakibatkan kematian (pasal 140 ayat 3).
e. Dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa
orang lain (pasal 340).
f. Pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan,terhadap orang dengan maksud untuk
mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal
tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau
peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri, jika
perbuatan mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan oleh
dua orang atau lebih dengan bersekutu, serta perbuatan dilakukan pada
waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada
rumahnya, di jalan umum, dalam kereta api atau trem yang sedang
berjalan, jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak
atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu
atau pakaian jabatan palsu (pasal 365 ayat 5).
g. Nakoda, komandan, atau pemimpin kapal dan mereka yang turut serta
melakukan perbuatan kekerasan yang diterapkan dalam pasal 438 – 441
mengakibatkan seseorang di kapal yang diserang atau seseorang yang
diserang itu mati (pasal 444).
h. Di dalam pesawat udara dalam dengan perbuatan yang melawan hukum
merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat
udara dalam penerbangan, atau dalam pesawat udara dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya
merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai
pengendalian pesawat udara dalam penerbangan, dimana perbuatan
itu:
a) Dilakukan oleh dua orang atau lebih Bersama-sama;
b) Sebagai kelanjutan permufakatan jahat;
c) Dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu;
d) Mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara tersebut sehingga
dapat membahayakan penerbangannya;
e) Mengakibatkan luka berat seseorang;
f) Dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau
meneruskan merampas kemerdekaan seseorang, jika perbuatan
itu mengakibatkan matinya seseorang atau hancurnya pesawat
udara itu (pasak 479k ayat 2)
i. Dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan
terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, jika
perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara
tersebut, atau, dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat
udara dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara
tersebut yang menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan
keamanan penerbangan itu.
Menurut pasal 11 KUHP, pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat
gantung dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher
terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri.
Pelaksanaan pidana mati kemudian diubah oleh UU No.2/Pnps/1964, yaitu
pidana mati yang dijatuhkan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer
dialkukan dengan ditembak sampai mati. Tata cara untuk pelaksanaan pidana
mati dalam lingkungan peradilan umum dalam UU No.2/Pnps/1964.
3. Pidana penjara
Pidana penjara dan pidana kurungan dalam KUHP diatur secara berselang-
seling dari pasal 12 sampai dengan pasal 29, dan pasal 32 sampai 34.ketentuan
lebih lanjut mengenai pidana diatur dalam Reglemen Penjara
(gestichtenreglement, staatblad 1917 No.708)
Dengan UU No.12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan,
Gestichtenreglement (staatblad 1917 – 708, 10 Desember 1917), sepanjang
yang berkaitan dengan pemasyarakatan; dinyatakan tidak berlaku.
Sekarang ini jika terhadap seseorang dikenakan pidana penjara, maka ia
akan ditempatkan dalam Lembaga pemasyarakatan dan terhadapnya
diterapkan sistem pemasyarakatan.
4. Pidana kurungan
Pidana penjara dan pidana kurungan dapat dilaksanakan di satu tempat,
asal saja terpisah (pasal 28 KUHP).
Pidana kurungan paling sedikit 1 hari dan paling lama 1 tahun. Jika ada
pemberatan pidana karena perbarengan (semenloop) atau pengulangan
(recidive) atau karena ketentuan pasal 52, pidana kurungan dapat ditambah
menjadi 1 tahun 4 bulan.
5. Pidana Denda
Dalam KUHP ada ditentukan minimum umum untuk pidana penjara denda,
yaitu pidana denda paling sedikit Rp 3,75 (tiga rupiah tujuh puluh lima sen)
(pasal 30 ayat ). Tidak ada maksimum umum untuk pidana denda.
Jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti pidana kurungan. Lamanya
pidana kurungan pengganti denda paling sedikit 1 hari dan paling lama 6
bulan. Jika ada pemberatan pidana denda karena perbarengan atau
pengulangan atau karena ketentuan passa 52, maka pidana kurungan
pengganti denda paling lama 8 bulan.
Lamanya pidana kurungan pengganti yaitu, jika pidana dendanya Rp 7,52
atau kurang, dihitung satu hari; jika lebih dari itu Rp 7,52, tiap-tiap Rp 7,52 di
hitung paling banyak satu hari demikian pula sisanya yang tidak cukup Rp 7,52
(pasal 30 ayat 4).
6. Hukuman tutupan
Hukuman tuutpan adalah hukuman (pidana) yang menggantikan pidana
penjara dalam hal mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam
dengan pidana penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati
(pasal 2 ayat 1UU No.20/1946). Dalam hal seperti ini, hakim diberi wewenang
untuk memilih apakah pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara atau
hukuman (pidana) tutupan.
C. Alasan Pemberat Pidana
Alasan-alasan pemberat pidana dalam KUHP, yaitu:
1) Perbarengan (samenloop, concursus) dalam Buku Kesatu Bab VI KUHP.
2) Pejabat (pegawai negeri) yang melakukan perbuatan pidana melanggar suatu
kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan
pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan
kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga (pasal 52
KUHP).
3) Pengulangan kejahatan(recidive) dalam Buku Kedua (Kejahatan) Bsb XXXI
KUHP, ini merupakan alas an pemberat pidana khusus karena hanya
berkenaan dengan kejahatan-kejahatan yang tertentu saja.
D. Alasan Peringatan Pidana
Alasan-alasan peringatan pidana dalam KUHP, yaitu:
1) Percobaan
2) Membantu melakukan
3) Jika seorang ibu karena takut akan diketahui orang tentang kelahiran anaknya,
tidak lama sesudah melahirkan, menempatkan anaknya untuk ditemukan atau
meninggalkannya dengan maksud untuk melepaskan diri daripadanya, maka
maksimum pidana tersebut dalam pasal 305 dan 306 dikurangi separuh (pasal
308 KUHP). Ini merupakan alasan peringatan pidana khusus.
4) Seorang ibu yang karena takut ketahuan melahirkan anak pada saat anak
dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja meramapas nyawa
anaknya, diancam karena membunuh anaknya sendiri, dengan pidana penjara
paling lama tujuh tahun (pasal 341 kUHP). Ini merupakan alasan peringatan
pidana khusus.
5) Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan
ketahuan bahwa ia akan melahirkan anak pada saat dilahirkan atau tidak lama
kemudian merampas nyawa anaknya, diancam karena melakukan pembunuhan
anak sendiri dengan rencana, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun (342
KUHP). Ini juga merupakan alasan peringatan pidana khusus.
E. Tindakan
Tindakan (maatregel) dalam KUHP terdiri dari:
1. Perawatan dalam rumah sakit jiwa bagi pelaku yang mengalami gangguan jiwa
(pasal 44 ayat 2 KUHP);
2. Hukuman bersyarat (melalui staatblad 1926 Nr. 252 Jo 486, kedalam KUHP
ditambahkan pasal 14a sampai pasal 14f yang mengatur voorwaardelijk
veroordeling yang diterjemahkan sebagai pidana bersyarat atau dalam Bahasa
sehari-hari pidana percobaan).
3. Penyerahan kepada orang tua atau pemerintah bagi terdakwa belum dewasa
yang melakukan perbuatan sebelum berumur 16 tahun. Dalam hal ini
penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan
suatu perbuatan sebelum umur 16 tahun, hakim dapat menentukan salah satu
dari kemungkinan, yaitu (pasal 45 KUHP).
BAB XIV
HAPUSNYA KEWENANGAN MENUNTUT PIDANA
DAN MENJALANKAN PIDANA

A. Hapusnya kewenangan menuntut pidana


1. Alasan pengahapus penuntutan
Hapusnya kewenangan menuntut pidana diatur dalam dalam Buku I Bab
VIII KUHP, pasal 76 sampai 82. Dalam pasal-pasal ini menuntut pidana, yang
dalam ilmu hukum pidana dinamakan alasan-alasan penghapus penuntutan
(vervolgingsuitsluitingsgronden).
2. Ne bis in idem
Menurut pasal 76 ayat (1) KUHP, orang tidak boleh dituntut dua kali karena
perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan
putusan yang menjadi tetap; kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin
diulangi.
Selanjutnya menurut pasal 76 ayat (2), jika putusan yang menjadi tetap itu
berasal dari hakim lain, maka terhadap orang itu dan karena tindak pidana itu
pula, Tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal:
a. Putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau lepas dari tuntutan
hukum;
b. Putusan berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya atau telah
diberi ampun atau wewenang untuk menjalankannya telah hapus
karena daluwarsa.
3. Tersangka meninggal dunia
Menurut pasal 78 KUHP, kewenangan menuntut pidana hapus, jika
tertuduh meninggal dunia.
4. Daluwarsa
Menurut pasal 78 KUHP, kewenangan menuntut pidana hapus karena
daluwarsa:
a. Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan
percetakan sesudah satu tahun;
b. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana
kurungan, atau pidana penjara paling lama 3 tahun, sesudah 6 tahun;
c. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga
tahun, sesudah 12 tahun;
d. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau pidana
penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.
5. Pembayaran denda untuk delik pelanggaran
Menurut pasal 82 ayat (1), kewenangan menuntut pelanggaran yang
diancam dengan pidana denda saja menjadi hapus, kalua dengan suka rela
dibayar maksimum denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalua
penuntutan telah dimulai, atas kuasa pejabat yang ditunjuk untuk itu oleh
aturan-aturan umum, dan dalam waktu yang ditetapkan olehnya.
Syarat-syarat untuk hapusnya kewenangan menuntut pidana dalam pasal
82, yaitu:
a. Perbuatan merupakan delik pelanggaran (overtreding) yang diancam
dengan pidana denda saja;
b. Dengan suka rela dibayar maksimum denda; dan
c. Dengan sukarela dibayar biaya-biaya yang telah kalua penuntutan
telah dimulai;
d. Pembayaran denda maksimum dan biaya yang telah dikeluarkan
dalam waktu yang ditetapkan.

B. Hapusnya kewenangan menjalankan pidana


Hapusnya kewenangan menjalankan pidana diatur dalam Buku I Bab VIII
KUHP, pasal 83 sampai 85, yaitu:
1. Terpidana meninggal dunia (pasal 83 KUHP);
2. Daluwarsa (pasal 84 KUHP)
BAB XV
BATAS-BATAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA INDONESIA

A. Teori Tentang Lingkungan Kuasa Berlakunya Hukum


Hukum memiliki lingkungan kuasa berlaku; atau yang oleh Hans Kelsen
disebut bidang vallditas norma (sphere of valldity of the norms).
Hans Kelsen mengemukakan 4 bidang vallditas norma, yaitu bidang waktu
(temporal sphere), bidang territorial (territorial sphere), bidang material
(material sphere), dan bidang personal (personal sphere).
Lingkungan kuasa berlakunya hukum menurut waktu diatur dalam pasal 1
ayat (1) dan ayat (2) KUHP.
Dalam pasal 1 ayat (1) KUHP dianut asas lex temporis delicti (=undang-
undang saat delik dilakukan).
Terhadap asas lex temporis delicti ada pengecualiannya. Pengecualian
tersebut telah ditentukan dalam pasal 1 ayat (2) KUHP. Berdasarkan
pengecualian dalam pasal 1 ayat (2), maka tidak selalu orang akan diadili
menurut undang-undang yang telah ada saat perbuatan dilakukan.

B. Berlakunya Hukum pidana menurut waktu


1. Lex temporis delicti dan pengecualiannya
2. Perubahan perundang-undangan
Ada 3 teori berkenaan dengan pengertian kata-kata “perubahan
perundang-undangan”, yaitu teori formal, teori material terbatas, dan teori
material tidak terbatas, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Teori formal. Penganutnya antara lain D. Simons, yang menyatakan
bahwa baru dikatakan ada perubahan perundang-undangan jika
rumusan (redaksi) perundang-undangan pidan aitu sendiri dirubah.
2) Teori material terbatas. Menurut teori ini, perubahan perundang-
undangan dalam arti pasal 1 ayat (2) KUHP mencakup juga
perubahan perundang-undangan di luar perundang-undangan
pidana, asal saja perubahan itu mempengaruhi perundang-undangan
pidana yang bersangkutan, dan juga bahwa perubahan tersebut
disebabkan berubahnya perasaan hukum membentuk undang-
undang.
3) Teori material tak terbatas. Menurut teori ini, semua sebab
perubahan, baik perubahan dalam perasaan hukum pembentuk
undang-undang maupun perubahan disebabkan telah berlalunya
suatu keadaan sementara, termasuk perubahan perundang-
undangan dalam arti pasal 1 ayat (2) KUHP.
3. Ketentuan yang paling menguntungkan terdakwa
Menurut risalah penjelasan terhadap KUHP belanda, pengertian ketentuan
yang paling menguntungkan (gunstige bepalingen) itu tidak hanya mengenai
pidana saja, melainkan juga segala sesuatu yang mempunyai pengaruh atau
penilaian suatu tindak pidana.
Dengan demikian, ketentuan yang paling menguntungkan meliputi:
a. Pengurangan ancaman pidana;
b. Pengahapusan sifat dapat dipidana (strafbaarheid) suatu perbuatan,
yang dalam hal ini ada dua kemungkinan, yaitu:
1) Ketentuan pidana tersebut dicabut; atau,
2) Penambahan bagian (bestanddeel) yang baru dalam rumusan
ketentuan pidana, sehingga kemungkinan perbuatan terdakwa
tidak tercakup lagi di dalamnya.
c. Menghapuskan sifat dapat dituntut (vervolgbaarheid), contohnya
suatu tindak pidana dirubah menjadi tindak pidana aduan
(klachtdelict), mempersingkat daluwarsa, dan sebagainya.
4. Asas Wilayah (Teritorialitas)
a. Pasal 2 KUHP
b. Wilayah darat
c. Wilayah perairan
d. Wilayah udara
e. Pasal 3 KUHP: perluasan kewenangan mengadili
5. Asas Nasionalitas Aktif atau Asas Personalitas
Asas nasionalitas aktif atau asas asas personalitas adalah asas
pemberlakuan hukum pidana suatu negara terhadap warga negaranya, yang
melakukan tindak pidana di negara lain. Asas ini berkenaan dengan lingkungan
kuasa menurut orang (personal sphere), yaitu pelaku adalah warga negaranya.
Asas ini terdapat dalam pasal 5, sedangkan dalm pasal 7 KUHP ada
perluasan terhadap asas nasionalitas aktif.
6. Asas Nasionalitas Pasif
Asas nasionalitas pasif dalam KUHP adalah asas pemberlakuan hukum
pidana Indonesia untuk melindungi kepentingan nasional Indonesia. Asas ini
berkenaan dengan lingkungan kuasa berlakunya hukum menurut soal
(material sphere).
Asas nasionalitas pasif terkandung dalam Sebagian dari pasal 4 KUHP –
Sebagian yang lain merupakan asas universalitas - , yaitu ketentuan pidana
dalam perundang-undangan Indonesia yang diterapkan bagi setiap orang yang
melakukan di luar Indonesia.
7. Asas Universalitas
Asas universalitas terdapat dalam sebagian dari pasal 4 KUHP, yaitu
ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi
setiap orang yang melakukan di luar Indonesia [Sebagian dari butir 2:]
8. Pembatasan oleh pasal 9 KUHP
Pasal 9 menentukan bahwa diterapkannya pasal 2 – 5, 7, dan 8 dibatasi
oleh pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum internasional.
9. Tempus Delicti
Tempus delicti adalah waktu dilakukannya tindak pidana.
10. Locus Delicti
Locus delicti adalah tempat dilakukannya tindak pidana.

Anda mungkin juga menyukai