Anda di halaman 1dari 14

HUKUM PAJAK

Bab 5 : tarif pajak


Nama-NAMA
KELOMPOK
1. sindianti mahmud 210711010484
2. sarmila darise 210711010483
3. sabrina r. padang 210711010480
4. yosep x. piri 210711010501
5. trian apdoni 210711010490
6. pascallino c. mantiri 17o71101509
7.
8
pendahuluan

Dalam memenuhi rasa keadilan dalam pemungutan


pajak bagi wajib pajak adalah penentuan tarif pajak, hal
mana harus dicantumkan dalam Undang-undang.
Pajak Adapun besarnya tarif pajak tidak mutlak
ditentukan atau apa yang tertuang dalam undang-undang
saja, namun dapat ditentukan secara nilai persentase
tetapi dapat dengan nominal daripada nilai yang
dikenakan pajak.

penyajian

Salah satu unsur yang menentukan rasa keadilan dalam


pemungutan pajak bagi wajib pajak adalah tarif pajak yang
besarnya harus dicantumkan dalam undang-undang pajak.
Besamya tarif dalam undang-undang pajak tidak selalu
ditentukan secara nilai persentase tetapi bisa dengan nilai
nominal, seperti diuraikan di bawah ini.
1. TARIF PROGRESIF (MENINGKAT)
1. Tarif Progresif (Meningkat)

Tarif progresif adalah tarif pemungutan pajak yang persentasenya semakin


besar bila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak juga semakin besar
Contoh tarif progresif adalah seperti diatur dalam Pasal 17 UU PPh, yaitu

sebagai berikut:
a. Untuk wajib pajak orang pribadi
Lapisan penghasilan kena pajak Tarif pajak
Sampai dengan Rp 25 juta 5%
Di atas Rp. 25 juta sampai dengan Rp. 50 juta 10%
Di atas Rp. 50 juta sampai dengan Rp. 100 juta 15%
Di atas Rp. 100 juta sampai dengan Rp. 200 juta 25%
Di atas Rp. 200 juta 35%
1. TARIF PROGRESIF (MENINGKAT)

sebagai berikut:
b. Untuk wajib pajak badan dan bentuk usaha tetap
Lapisan penghasilan kena pajak Tarif pajak
Sampai dengan Rp. 50 juta 10%
Di atas Rp. 50 juta sampai dengan Rp. 100 juta 15%
Di atas Rp.100 juta 30%
2. Tarif Degresif (menurun)
2. Tarif Degresif (menurun)

Tarif degresif adalah tarif pemungutan pajak yang persentasenya semakin kecil
bila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak semakin besar. Sekalipun
persentasenya semakin kecil, tidak berarti jumlah pajak yang terutang
menjadi kecil, tetapi bisa menjadi besar karena jumlah yang dijadikan dasar
pengenaan pajaknya juga semakin besar. Tarif ini tidak pernah
dipergunakan dalam praktik perundang-undangan perpajakan.
Contoh pemakaian tarif degresif.
sebagai berikut:

Lapisan penghasilan kena pajak Tarif pajak


Sampai dengan Rp. 10 juta 30%
Di atas Rp. 10 juta sampai dengan Rp. 50 juta 25%
Di atas Rp. 50 juta 15%
2. Tarif Degresif (menurun)
2. Tarif Degresif (menurun)

Tarif degresif adalah tarif pemungutan pajak yang persentasenya semakin kecil
bila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak semakin besar. Sekalipun
persentasenya semakin kecil, tidak berarti jumlah pajak yang terutang
menjadi kecil, tetapi bisa menjadi besar karena jumlah yang dijadikan dasar
pengenaan pajaknya juga semakin besar. Tarif ini tidak pernah
dipergunakan dalam praktik perundang-undangan perpajakan.
Contoh pemakaian tarif degresif.
sebagai berikut:

Lapisan penghasilan kena pajak Tarif pajak


Sampai dengan Rp. 10 juta 30%
Di atas Rp. 10 juta sampai dengan Rp. 50 juta 25%
Di atas Rp. 50 juta 15%
2. Tarif Degresif (menurun)
Jika Tuan Ali punya penghasilan sebesar Rp. 100 juta, maka besarnya pajak
yang terutang adalah

• 30% x Rp. 10 juta..................................................= Rp. 3.000.000


• 25% x Rp. 40 juta..................................................= Rp. 10.000.000
• 15% x Rp. 50 juta..................................................= Rp. 7.500.000
Jumlah pajak terutang................................................= Rp. 20.500.000
3. Tarif Proportional (sebanding)

3. Tarif Proportional (sebanding)

Tarif proportional adalah tarif pemungutan pajak yang menggunakan


persentase tetap tanpa memperhatikan jumlah yang dijadikan dasar
pengen aan pajak. Dengan demikian semakin besar jumlah yang dijadikan
dasar pengenaan pajak, akan semakin besar pula jumlah pajak terutang
(yang harus dibayar) Tarif ini diterapkan dalam Undang-undang Nomor 18
Tahun 2000
(UU PPN) yang menggunakan tarif proporsional sebesar 10%. Misalnya Tuan
Alex melakukan suatu transaksi (penjualan) suatu Barang Kena Pajak,
sebagai berikut:
3. Tarif Proportional (sebanding)
jumlah penjualan tarif besarnya pajak

Rp. 500.000 10% Rp. 500.000


Rp. 1.000.000 10% Rp.1.000.000
Rp. 5.000.000 10% Rp. 5.000.000
Rp. 10.000.000 10% Rp. 10.000.000

Demikian pula dengan Undang-undang No. 12 Tahun 1994 tentang


Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menggunakan tarif proportional sebesar 0,5%
serta Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (UU BPHTB) menggunakan tarif proportional sebesar 5%
(lima persen). Karena tarif proportional ini hanya menggunakan satu tarif yang
persentasenya tetap, maka sering disebut juga dengan tarif tunggal.
4. Tarif Tetap
4. Tarif Tetap

Tarif tetap adalah tarif pemungutan pajak yang besar nominalnya tetap tanpa
memperhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Tarif ini diterapkan
dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM). Dalam
Undang-undang Bea Meterai, tarif yang digunakan adalah Bea Meterai dengan nilai
nominal sebesar Rp 500 dan Rp 1.000. Nilai nominal dalam perkembangannya selalu
berubah-ubah. Berdasarkan PP Nomor 7 Tahun 1995 tarif Bea Meterai di atas dinaikan
menjadi Rp 1.000 dan Rp 2.000 yang selanjutnya dengan PP Nomor 24 Tahun 2000
tarifnya dinaikan lagi menjadi Rp 3.000 dan 6.000.
5. Tarif Advalorem
5. Tarif Advalorem

Tarif Advalorem adalah suatu tarif dengan persentase tertentu yang dikenakan/ditetapkan
pada harga atau nilai suatu barang Misalnya PT ABC mengimpor barang jenis 'X'
sebanyak 1000 unit dengan harga per unit Rp 100.000. Jika tarif Bea Masuk atas Impor
Barang tersebut 10%, maka besamya Bea Masuk yang harus dibayar adalah:

Nilai Barang Impor = 1000 x Rp. 100.000 = Rp.100.000.000


Tarif Bea Masuk 10%,maka
Bea Masuk Yang Harus Dibayar = 10% x Rp.100.000.000 =Rp. 10.000.000
6. Tarif Spesifik
6. Tarif Spesifik

Tarif Spesifik adalah tarif dengan suatu jumlah tertentu atas suatu jenis barang tertentu
atau suatu satuan jenis barang tertentu.

Misalnya PT BCD mengimpor barang jenis 'X' sebanyak 1000 unit dengan harga Rp 100.000.
Jika tarif Bea Masuk atas impor barang Rp 100.000 per unit, maka besarnya Bea Masuk
yang harus dibayar adalah:

Jumlah Barang Impor = Rp.1000 Unit


Tarif Rp.100.000, maka
Bea masuk Yang Harus Dibayar = Rp. 100.000 x 1000 = Rp.100.000.000
terima kasih

Anda mungkin juga menyukai