Anda di halaman 1dari 9

WFH 6 KLS 11 IPS SEM 2

a. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Tarif PPN dan PPn BM
Menurut Pasal 7 UU nomor 42 tahun 2009, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah :
(1) Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
(2) Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
a. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
c. ekspor Jasa Kena Pajak.
(3) Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5%
(lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Sedangkan Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM), menurut Pasal 8, adalah:
(1) Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah serendah-rendahnya 10% (sepuluh persen)
dan setinggi-tingginya 200% (dua ratus persen).
(2) Ekspor barang kena pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol
persen).
(3) Ketentuan mengenai kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikenai
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah
(4) Ketentuan mengenai jenis barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
b. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
Pengertian
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau
pemanfaatan tanah dan bangunan. Mulai tanggal 1 Januari 2014 PBB Pedesaan dan
Perkotaan merupakan Pajak Daerah. Untuk PBB Perkebunan, Pertambangan masih tetap
merupakan Pajak Pusat.
Objek pajak PBB adalah bumi dan bangunan menurut nilai jualnya
Objek pajak yang tidak dikenakan PBB adalah:
a. objek pajak yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum (masjid,
gereja, wihara, rumah sakit, pesantren/madrasah, panti asuhan, museum, candi)
b. objek pajak yang digunakan kuburan, peninggalan purbakala, hutan lindung, hutan
suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah desa
c. objek pajak untuk perwakilan diplomatik, konsulat
d. objek pajak yang digunakan oleh badan perwakilan organisasi internasional (PBB,
ASEAN, dan lain-lain)

Tarif PBB
Tarif PBB yang dikenakan pada obyek pajak adalah 0,5% dari nilai jual obyek kena pajak. Dan
besarnya Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp.
6.000.000,00 dan paling tinggi Rp 12.000.000,00 untuk setiap wajib pajak atau sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
Sedangkan Dasar pengenaan PBB antara lain :
1. Dasarnya adalah nilai jual obyek pajak.
2. Besarnya nilai jual obyek pajak ditetapkan 3 tahun sekali oleh Menteri Keuangan, kecuali
untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan
daerahnya.
3. Dasar perhitungan pajak adalah Nilai Jual Obyek Pajak Kena Pajak (NJOPKP) yang
ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Obyek
Pajak (NJOP).
4. Besarnya Nilai jual kena pajak ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan
memperhatikan kondisi ekonomi nasional.
5. Objek PBB yang NJOP lebih dari Rp 1 milyar, Dasar perhitungannya 40%
c. Peraturan pemerintah RI Nomor 24 tahun 2000 Tentang Bea Meterai
Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas pemanfaatan dokumen, seperti surat
perjanjian, akta notaris, serta kuitansi pembayaran, surat berharga dan efek, yang memuat
jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan. Berdasarkan
peraturan pemerintah tersebut, besarnya bea meterai sebagai berikut:
a. Surat perjanjian, akta notaris, akta PPAT, surat lamaran sebesar Rp 6.000,00
b. Dokumen nominal Rp 250.000,00 – Rp 1.000.000,00 sebesar Rp 3.000,00
Lebih dari Rp 1.000.000,00 sebesar Rp 6.000,00
c. Cek dan bilyet giro sebesar Rp 3.000,00

1. Tantangan pemungutan pajak


Peran vital Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai instansi yang diamanahi tugas penghimpun
penerimaan negara harus berhadapan dengan realita masih rendahnya kesadaran partisipasi
masyarakat mengenai perpajakan, artinya belum sebanding antara besarnya jumlah penduduk
dengan Wajib Pajak yang masih rendah. Padahal penerimaan pajak banyak dialokasikan untuk
fasilitas umum yang banyak dinikmati oleh seluruh jumlah penduduk.
Terkadang, masyarakat banyak yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bukan
karena mereka enggan berurusan dengan pajak, tapi justru karena mereka belum paham dan
kebingungan ihwal apa yang harus mereka lakukan terkait kewajiban perpajakan. Dan ada
banyak sekali masyarakat yang berpenghasilan diatas Panghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Rp.
24,3 Juta/ Tahun yang dapat menjadi target sosialisasi. Menilik kepada situasi ini, sosialiasi dari
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) harus kian gencar dijalankan hingga ke jajaran yang terdekat
dengan masyarakat serta dengan melibatkan unsur pemerintahan lokal sebagai pendukung.
Sosialisasi secara umum dapat dibedakan menjadi sosialisasi langsung kepada sasaran dan ada
juga dengan cara yang koersif positif. Cara yang kedua ini adalah dengan menjadikan NPWP
sebagai unsur pokok setiap pemenuhan kewajiban administratif publik yang dilakukan
masyarakat. Sehingga masyarakat akan tergerak untuk mendaftarkan diri mendapatkan NPWP.
Khususnya mereka yang berpenghasilan bersih di atas PTKP.

2. Simulasi fungsi dan manfaat pajak


Untuk menjadi bangsa yang mandiri, pajak mengajak peran serta rakyat Indonesia untuk
membiayai negaranya sendiri, untuk itulah pajak memiliki fungsi dan manfaat yang sangat
penting dalam pembangunan negara.
Terdapat aspek-aspek yang terkait dengan Perpajakan :
a. Aspek Ekonomi, artinya penerimaan negara yang digunakan untuk mengarahkan kehidupan
masyarakat menuju kesejahteraan dengan melakukan pembangunan.
b. Aspek Sosial, artinya pemerataan pembangunan dan keadilan dalam membayar pajak.
c. Aspek Politik, artinya secara politis masyarakat/pembayar pajak mempunyai posisi yang
semakin baik dalam melakukan "tawar menawar" dengan pemerintah.
d. Aspek Hukum, artinya Sebagai negara hukum semua pemungutan pajak yang dilakukan
berdasarkan hukum.
e. Aspek Agama, artinya Tuhan memerintahkan bahwa manusia, selain harus beribadat yaitu
taat menjalankan perintah dan menjauhi larangan Tuhan juga harus dapat berhubungan
baik dengan sesamanya, saling berkomunikasi, bersilaturahmi dan saling membantu.
Untuk lebih menjelaskan fungsi dan manfaat pajak, berikut disajikan gambar alur penerimaan
dan penggunaan dana APBN/APBD

APBN/APBD

Kas Negara Kementer


melalui Bank Lembag
dan Kantor Pos

DJP
mengadministrasikan Masyarakat

Tarif Pajak Penghasilan


1) Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) dalam negeri adalah :
Tarif Pajak
No. Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Ber NPWP Tidak ber NPWP
1. Sampai dengan Rp 50.000.000,00 5% 6%
2. Di atas Rp 50.000.000,00 sampai dengan 15 % 18 %
Rp 250.000.000,00
3. Di atas Rp 250.000.000,00 sampai dengan 25 % 30 %
Rp 500.000.000,00
4. Di atas Rp 500.000.000,00 30 % 36 %
Keterangan :
Bagi wajib pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dikenakan tarif
20% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 17
Contoh 1 :

Penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak orang pribadi, Jumlah Penghasilan
Kena Pajak Rp600.000.000,00. Maka Pajak Penghasilan yang terutang:

5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00

15% x Rp 200.000.000,00 = Rp 30.000.000,00

25% x Rp 250.000.000,00 = Rp 62.500.000,00

30% x Rp 100.000.000,00 = Rp 30.000.000,00 (+)

Jumlah Pajak terutang = Rp125.000.000,00

Contoh 2 : MENGGUNAKAN TARIF LAMA


Pak Chandra sebagai karyawan di sebuah Perusahaan, penghasilan neto setiap bulannya
Rp 10.000.000,00. Pak Chandra sudah beristeri tidak bekerja dan mempunyai 4 anak.
Berapakah pajak terutang setiap bulannya ?
Jawab:
Penghasilan neto 12 bulan x Rp 10.000.000,00 = Rp 120.000.000,00
PTKP - wajib pajak Rp 36.000.000,00
- isteri Rp 3.000.000,00
- anak (maks 3)
3 x Rp 3.000.000,00 Rp 9.000.000,00 +

= Rp 48.000.000,00 -

Penghasilan Kena Pajak (PKP) = Rp 72.000.000,00

===============

Jadi, PPh terutang pertahun :

5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00

15% x Rp 22.000.000,00 = Rp 3.300.000,00 +

= Rp 5.800.000,00

=============

Pajak penghasilan perbulan = Rp 5.800.000,00 : 12 = Rp 483.333,33

a. Wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah : 28% (dua puluh
delapan persen) pada tahun 2009 dan 25% (dua puluh lima persen) yang mulai
berlaku sejak tahun pajak 2010 dengan diskon 50% untuk penghasilan kena pajak
kurang dari Rp 50 milyar
Contoh :
Koperasi Unit Desa “gonjang ganjing” bergerak dibidang simpan pinjam. Pada tahun
2010 memiliki penerimaan bruto dalam setahun sebesar Rp 500.000.000,- dan seluruh
biaya-biaya yang berkaitan dengan usaha (sesuai ketentuan perpajakan) sebesar Rp
425.000.000
Perhitungan pajak penghasilan sebagai berikut :
• Peredaran usaha/ penjualan : Rp 500.000.000
• Harga Pokok Penjualan : Rp 0–
• Laba usaha : Rp 500.000.000
• Beban usaha : Rp 425.000.000 –
• Penghasilan neto : Rp 75.000.000
• Penghasilan/beban luar usaha : Rp 0–
• Penghasilan Kena Pajak : Rp 75.000.000
============
Pajak Penghasilan = 25% x 50% x Rp 75.000.000 = Rp 9.375.000,00

Sehubungan dengan wajib pajak badan juga diatur oleh Pemerintah dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu

a. Peredaran Bruto (omzet) merupakan jumlah peredaran bruto (omzet) semua


gerai/counter/outlet atau sejenisnya baik pusat maupun cabangnya
b. Objek Pajaknya adalah Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib
pajak dengan peredaran bruto (omzet) yang tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam 1
tahun pajak, serta besarnya Pajak yang terutang dan harus dibayar adalah 1% dari
jumlah peredaran bruto (omzet)
c. Jenis usaha yang dikenakan atas peraturan ini diantaranya usaha dagang, industri,
dan jasa, seperti misalnya toko/kios/los kelontong, pakaian, elektronik, bengkel,
penjahit, warung/rumah makan, salon, dan usaha lainnya.
d. Subjek Pajaknya adalah Orang pribadi dan Badan, tidak termasuk Bentuk Usaha
Tetap (BUT), yang menerima penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto
(omzet) yang tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam 1 (satu) Tahun Pajak.

d. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Pengertian
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang kena
pajak atau jasa kena pajak di dalam daerah pabean (dalam wilayah Indonesia). Orang
pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi barang kena pajak atau jasa
kena pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah barang kena pajak
atau jasa kena pajak , kecuali ditentukan lain oleh UU PPN
Tarif PPN dan PPn BM
Menurut Pasal 7 UU nomor 42 tahun 2009, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah :
(4) Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
(5) Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
a. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
c. ekspor Jasa Kena Pajak.
(6) Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5%
(lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Sedangkan Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM), menurut Pasal 8, adalah:
(5) Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah serendah-rendahnya 10% (sepuluh persen)
dan setinggi-tingginya 200% (dua ratus persen).
(6) Ekspor barang kena pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol
persen).
(7) Ketentuan mengenai kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikenai
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah
(8) Ketentuan mengenai jenis barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.

d. Pajak Bumi dan Bangunan (UU nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah/PDRD Pasal 77 sampai dengan Pasal 81)
1. Pengertian
Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 pada bulan
September 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Atas dasar tersebut
pemerintah mengalihkan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan
pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan(PBB-P2) menjadi Pajak
Daerah.
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau
bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan,
kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan
pertambangan. Mulai tanggal 1 Januari 2014 PBB Perdesaan dan Perkotaan merupakan
Pajak Daerah Kabupaten/ Kota. Sedangkan untuk PBB Perkebunan, Perhutanan,
Pertambangan masih tetap merupakan Pajak Pusat.

2. Subjek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)


Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau
Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat
atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atasBangunan.
Dan Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau
Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat
atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai,dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.

3. Objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)


Berdasarkan Pasal 77 UU Nomor 28 tahun 2009 disebutkan bahwa Objek Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki,
dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang
digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Bumi
adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah
kabupaten/kota. Dan Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan
secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalam dan/atau laut.
Termasuk dalam pengertian Bangunan adalah: jalan lingkungan yang terletak dalam satu
kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, yang merupakan suatu
kesatuan dengan kompleks Bangunan tersebut; jalan tol; kolam renang; pagar mewah;
tempat olahraga; galangan kapal, dermaga; taman mewah; tempat penampungan/kilang
minyak, air dan gas, pipa minyak; dan menara.

Sedangkan Berdasarkan pasal 77 ayat 3 UU Nomor 28 tahun 2009 dijelaskan bahwa


Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
adalah objek pajak yang:
1) digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan;
2) digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial,
kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk
memperoleh keuntungan; misalnya untuk kepentingan masjid, gereja, vihara, rumah
sakit, pesantren/madrasah, panti asuhan, museum, candi dan sebagainya
3) digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
4) merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani
suatu hak;
5) digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan
timbal balik; dan
6) digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan
dengan Peraturan Menteri Keuangan. Misalnya untuk PBB, ASEAN, dan lain-lain

4. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)


Berdasarkan pasal 80 UU nomor 28 tahun 2009 Tarif PBB-P2 yang dikenakan pada obyek
pajak adalah paling tinggi 0,3% dari nilai jual obyek kena pajak dan Tarif Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Besarnya Nilai
Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Dan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Sedangkan Dasar pengenaan PBB-P2 antara lain :
6. Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Nilai
Jual Objek Pajak (NJOP).
7. Besarnya NJOP ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu
dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya dan
Penetapan besarnya NJOP dilakukan oleh Kepala Daerah.
8. Besaran pokok Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang
dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak setelah
dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak

Jadi Besarnya PBB-P2 dapat dihitung dengan rumus :


PBB = Tarif x (NJOP – NJOPTKP)

Contoh :
Tuan Fatah memiliki Objek pajak yang berkaitan dengan tanah dan bangunan : Tanah
seluas 400 m2 dengan Nilai Jualnya Rp 500.000,00 per m 2, Rumah seluas 300 m 2 dengan
Nilai jualnya Rp 600.000,00 per m 2. Hitunglah besarnya PBB yang terutang jika diketahui
besarnya NJOPTKP Rp 10.000.000,00 dan tarif yang dikenakan sebesar 0,1%.
Jawab :
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
Tanah : 400 x Rp 500.000,00 = Rp 200.000.000,00
Bangunan : 300 x Rp 600.000,00 = Rp 180.000.000,00 +
= Rp 380.000.000,00
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak = Rp 10.000.000,00 –
NJOP untuk Penghitungan PBB = Rp 370.000.000,00
===============
PBB Terutang = 0,1% x Rp 370.000.000,00 = Rp 370.000,00

e. Peraturan pemerintah RI Nomor 24 tahun 2000 Tentang Bea Meterai


Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas pemanfaatan dokumen, seperti surat
perjanjian, akta notaris, serta kuitansi pembayaran, surat berharga dan efek, yang memuat
jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan. Berdasarkan
peraturan pemerintah tersebut, besarnya bea meterai sebagai berikut:

d. Surat perjanjian, akta notaris, akta PPAT, surat lamaran sebesar Rp 6.000,00
e. Dokumen nominal Rp 250.000,00 – Rp 1.000.000,00 sebesar Rp 3.000,00
Lebih dari Rp 1.000.000,00 sebesar Rp 6.000,00

f. Cek dan bilyet giro sebesar Rp 3.000,00

1. Tantangan pemungutan pajak


Peran vital Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai instansi yang diamanahi tugas penghimpun
penerimaan negara harus berhadapan dengan realita masih rendahnya kesadaran partisipasi
masyarakat mengenai perpajakan, artinya belum sebanding antara besarnya jumlah penduduk
dengan Wajib Pajak yang masih rendah. Padahal penerimaan pajak banyak dialokasikan untuk
fasilitas umum yang banyak dinikmati oleh seluruh jumlah penduduk.
Terkadang, masyarakat banyak yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bukan
karena mereka enggan berurusan dengan pajak, tapi justru karena mereka belum paham dan
kebingungan ihwal apa yang harus mereka lakukan terkait kewajiban perpajakan. Dan ada
banyak sekali masyarakat yang berpenghasilan diatas Panghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Rp.
36 Juta/ Tahun yang dapat menjadi target sosialisasi. Menilik kepada situasi ini, sosialiasi dari
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) harus kian gencar dijalankan hingga ke jajaran yang terdekat
dengan masyarakat serta dengan melibatkan unsur pemerintahan lokal sebagai pendukung.
Sosialisasi secara umum dapat dibedakan menjadi sosialisasi langsung kepada sasaran dan ada
juga dengan cara yang kooperatif positif. Cara yang kedua ini adalah dengan menjadikan NPWP
sebagai unsur pokok setiap pemenuhan kewajiban administratif publik yang dilakukan
masyarakat. Sehingga masyarakat akan tergerak untuk mendaftarkan diri mendapatkan NPWP.
Khususnya mereka yang berpenghasilan bersih di atas PTKP.
Secara garis besar tantangan pemungutan pajak diantaranya :
a. Rendahnya penerimaan pajak
b. Masih rendahnya/sedikitnya badan usaha atau perusahaan yang menyerahkan SPT (Surat
Pemberitahuan Tahunan tentang pajak yang terutang)
c. Ketidakmampuan pemerintah dalam mendata dan memungut pajak
d. Penyelewengan pajak yang dilakukan oleh oknum pemerintahan
e. Rendahnya Partisipasi masyarakat dalam membayar pajak
f. Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan dan penggunaan pajak
g. Perlunya peningkatkan Kesadaran wajib pajak dan akuntabilitas dalam pengelolaan pajak
h. Kebijakan pajak yang mengedepankan sisi penerimaan dan kurang memperhatikan sisi
pembelanjaan
i. Perlunya peningkatan layanan dan fasilitas yang memadai sebagai balasan dalam
pembayaran pajak
j. Pajak masih dikelola oleh birokrasi yang tertutup, korup, elitis dan tehnokratif
k. Kebijakan pajak yang masih timpang artinya mereka masyarakat yang miskin membayar
pajak yang lebih besar dari pada yang kaya
l. Upaya reformasi perpajakan, artinya pajak harus lebih transparan dan bertanggung jawab
m. Pajak harus jadi instrument pertumbuhan dan keadilan
n. Orang super kaya harus dikenai pajak yang lebih tinggi
o. Perlunya peningkatan dalam pembayaran pajak dan pengawasan pajak, karena uang pajak
adalah uang kita bersama

Anda mungkin juga menyukai