Anda di halaman 1dari 23

116

BAB V

PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dipaparkan hasil akhir penelitian. Hasil akhir penelitian

digunakan untuk menyusun konsep yang didasarkan pada informasi empiris yang

diperoleh selama penelitian di lapangan dan di padukan dengan beberapa

perspektif teori yang ada. Pada bagian ini akan di uraikan secara berurutan

mengenai pertanyaan penelitian, yakni Pola kepemimpinan dan strategi

Kepemimpinan Badan Penyelenggara (Ketua Yayasan) dalam pengembangan

lembaga pendidikan. Adapun uraian dari masing-masing pertanyaan penelitian

tersebut, sebagai berikut:

A. Pola Kepemimpinan Badan Penyelenggara dalam pengembangan lembaga

pendidikan di Yayasan Bustanul Ulum Notorejo Gondang Tulungagung.

Berdasarkan temuan penelitian tentang pola kepemimpinan badan

penyelenggara dalam pengembangan lembaga pendidikan di Yayasan Bustanul

Ulum Notorejo Gondang Tulungagung adalah: Pola kepemimpinan dengan

karakteristik sebagai berikut;

1. Kepemimpinan Kharismatis

Dalam usaha pengembagan lembaga pendidikan di yayasan, ketua

yayasan memiliki kemampuan yang luar biasa dalam membangkitkan rasa

kekaguman, beliau memiliki aura yang kuat dan rasa kepercayaan diri yang

tinggi dan berbudi luhur, serta mampu menjalin koneksi dengan masyarakat,

beliau mempunyai daya tarik yang luar biasa untuk mempengaruhi bawahanya

116
117

serta pribadi yang berkualitas dan pandai menyampaikan visi dan misi, rasa

percaya diri yang tinggi serta intelegensia yang tinggi, dan menetapkan

ekspektasi yang tinggi kepada para bawahannya. Ketua yayasan memiliki

kualitas pribadi yang bersifat luar biasa yang mampu menciptakn reaksi-reaksi

dari para bawahannya, dan ketua yayasan mampu mengembangkan kelekatan-

kelekatan emosional yang kuat dengan para bawahannya, sehingga

menimbulkan rasa nyaman yang tinggi pada para bawahannya sehingga para

bawahan dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik.

Dalam pelaksanannya ketua yayasan memiliki visi yang kuat dan

kecedasan tujuan yang jelas, beliau mampu mengkomunikasikan visi itu secara

efektif serta mampu mendemonstrasikan, konsisten dan focus. Ketua Yayasan

mempunyai kerpribadian yang istimewa karena sifat-sifat kepribadiannya yang

mengagumkan dan berwibawa, beliau mampu membangkitkan semangat

bawahannya untuk bekerja lebih giat dan mampu mendapatkan antusias para

bawahannya dengan masa yang besar karena kharismanya, beliau mampu

mendorong dan mempengaruhi bawahannya untuk berubah dan berkembang

kearah yang lebih baik.

Pernyatan diatas sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mualim

Nursodiq1 dalam tesisnya yang berjudul “Strategi Kepemimpinan Kiai dalam

Mengelola Pondok Pesantren dan Madrasah Aliyah”, dimana Kiai tidak hanya

sebagai kepala madrasah tetapi juga sebagai formal leader yang bersumber

pada kedudukannya, tetapi juga sebagai real leader yang memiliki unsur-unsur

1
Mualim Nursodiq, “Kepemimpinan Kyai dalam Mengelola Pondok Pesantren dan Madrasah
Aliyah”, Unmuh Surakarta, Pascasarjana, 2012.
118

kepemimpinan yang nyata seimbang dengan kelebihan dan charisma pada

dirinya.

Pernyataan diatas sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh R.C.

Tucker, bahwa kepemimpinan kharismatis terutama merupakan sebuah fungsi

dari kualitas-kualitas yang bersift luar biasa dari pribadi sang pemimpin, bukan

situasi. Kualitas-kualitas pribadi tersebut termasuk memiliki kuasa luar biasa

termasuk visi yang jauh kedepan, rasa percaya diri serta intelegensia yang

tinggi, dan menetapkan tingkat expektasi tinggi bagi para pengikut.2

2. Kepemimpinan Laissez Faire

Dalam pengembangan lembaga pendidikan formal dan non formal,

dijalankan dengan memberikan kebebasan kepada para pengelola lembaga

dengan melibatkan seluruh bawahan dengan pembentukan tim pengembang

dalam pemecahan masalah serta pembuatan dan pelaksanaan kebijakan, ketua

yayasan juga melibatkan diri secara aktif dalam pelaksanaan pengembangan.

Dalam pelaksanaannya pola ini dilaksanakan oleh seorang ketua yayasan

secara langsung dalam pertemuan-pertemua resmi, misalkan dalam rapat

sekolah, rapat sekolah dengan yayasan atau dalam agenda khusus yang bersifat

resmi, atau yang secara tidak langsung ketua yayasan tidak jarang menggobrol

langsung dengan orang-orang yang berkecimpung dalam lembaganya baik

disengaja atau tidak membicarakan tentang masalah yang terjadi dalam

lembaga, sehingga tidak jarang ide-ide dan masukan yang tersampaikan kepada

beliau dibawa dalam rapat pengembangan yang selanjutnya dirapatkan yang

2
R.C Tucker, “The Theory of Charismatic Leadership”, Deadalus 97(1968), hal.731-756
119

kemuddian menjadi kebijakan yang harus dijalankan, jadi secara langsung dan

tidak langsung bawahan terlibat dalam pengambilan keputusan.

Dalam pengembangan lembaga bersifat terbuka, komunikatif dan mau

menerima masukan dan kritikan sebatas tidak bersinggungan dengan identitas

Yayasan. Dalam pelaksanaanya ketua yayasan memberikan support dan

dorongan kepada para bawahannya, untuk selalu ihlas dan dan semangat dalam

melaksanakan tugasnya, dan ketua yayasan sendiri terbuka dengan

bawahannya terkait konsultasi tentang masalah-masalah yang timbul dalam

proses pelaksanaan tugas yang bersifat urgent, meskipun hanya dengan

mengobrol santai dengan bawahannya, sebelum ketua yayasan menentukan

keputusannya.

Pernyataan diatas sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Thoha,

Miftah bahwa menyamakan pola kepemimpinan laissez faire ini dengan tipe

kepemimpinan delegative yaitu membolehkan adil sesukanya tetapi cenderung

kea rah yang adil. Pemimpin yang bersifat laissez faire menghendaki agar

bawahannya diberikan banyak kebebasan. Pemimpin tersebut beranggapan

bahwa, “biarlah guru-guru bekerja sesuka hatinya, berinisiatif dan menurut

kebijaksanaan sendiri, berikan kepercayaan terhaddap mereka, hargailah usaha-

usaha mereka masing-masing, jangana menghalang-halangi mereka dalam

pekerjaan, mereka tidak usah diawasi dalam melaksanakan tugas, segala

sesuatu pasti akan beres.”3

3
Alfabeta. Thoha , Miftah (Kepemimpinan dalam manajemen), Jakarta: Raja Grafindo Persada
1993
120

Pernyatan diatas sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ulfatun

Masngadah dalam tesisnya yang berjudul “Strategi Kepemimpinan Kiai

Pondok Pesantren Sugihan dalam peningkatan Mutu Lulusan”, bahwa kiai

pondok pesantren sugihan dalam peningkatan mutu lulusan, dipercayakan

sepenuhnya kepada kepala madrasah selaku pimpinan di madrasah yang

bekerja sama dengan komite dan tim pengembang kurikulum.

Dari penelitian terdahulu diatas dapat disimpulkan bahwa aspek yang

menjadi focus penelitaian menunjukkan strategi kiai dalam peningkatan mutu

dan pengembangan Lembaga Pendidikan. Sedangkan pada penelitian ini,

penulis sengaja mengambil focus pada strategi kepemimpinan dalam

pengembangan Lembaga Pendidikan. Persamaan penelitian-penelitian di atas

dengan yang peneliti lakukan terletak pada focus kajian tentang Strategi

Kepemimpinan. Adapun perbedaannya adalah ddalam penelitian ini peneliti

memfokuskan pada strategi kepemimpinan dalam pengembangan Lembaga

Pendidikan.4

Penyataan diatas juga sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh

Mangkunegara (2014) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan Laissez-Faire

adalah gaya kepemimpinan yang lebih mengutamakan relation oriented

(Orientasi hubungan) dari pada result oriented (Penyelesaian tugas). Dalam

literatur kepemimpinan, Laissez-Faire mengacu pada pendekatan “lepas

tangan, biarkan hal hal terjadi” (Northouse, 2010) untuk mempengaruhi

individu di tempat kerja. Menurut Avolio (2011), Gaya kepemimpinan Laissez-


4
Ulfatun Masngadah, “Kepemimpinan Kiai Pondok Pesantren Sugihan dalam Peningkatan Mutu
Lulusan”. Diakses dari http;//repository Iain Purwokerto.acid//e print/6065.Pada tanggal 6 mei
pukul 20.30
121

Faire dapat didefinisikan sebagai ketiadaan kepemimpinan, dan dicirikan

dengan sikap menghindari tanggung jawab. Pengambilan keputusan diserahkan

kepada karyawan itu sendiri, dan tidak ada aturan yang ditetapkan.

3. Kepemimpinan Populistis

Dalam pelaksanannya ketua yayasan berpegang teguh pada nilai-nilai

masyarakat yang tradisional, dengan sikap solidaritas yang tinggi, beliau

mampu menumbuhkan rasa handarbeni yang tinggi kepada bawahannya serta

kepada masyarakat sekitar. Beliau mampu memberikan contoh solidaritas bagi

masyarakat sehingga masyarakat tertarik dan merasa nyaman dengan beliau.

Ketua yayasan masih mempertahankan nilai-nilai masyarakat tradisional yang

memegang teguh budaya rasa kekeluargaan dan jiwa gotong royong dalam

masyarakat.

Penyataan diatas juga sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Prof.

Peter Worsly dalam bukunya “The Third Wordl” mendefinisikan

kepemimpinan populistis sebagai kepemimpinan yang dapat membangunkan

solidaritas rakyat, seperti halnya Ir Soekarno dengan Ideologi nya mampu

menekankan masalah kesatuan nasional dan berhai-hati dengan sikap

kolonialisme, dan penindasan.

4. Kepemimpinan Demokratis

Dalam pelaksanaanya ketua yayasan memberikan bimbingan yang efisien

kepada pengelola lembaga dibawah naungan yayasan, ketua yayasan juga

selalu mementingkan aspirasi bawahan dan kepentingan bawahan, dan selalu


122

mengusahakan agar bawahannya selalu selalu ikut berpartisipasi dalam

pengambilan keputusan.

Ketua yayasan dipandang sebagai tokoh secara ideal, peran ketua yayasan

sangat viral baik sebagai mediator, motivator maupun sebagai orang pertama

dalam yayasan., dalam pelaksanaanya ketua yayasan menganggap bahwa

bawahan dianggap sebagai komponen pelaksana dan secara integral harus

diberi tugas dan tanggung jawab, disiplin tetapi tidak kaku dan memecahkan

masalah secara bersama, mempunyai kepercayaan yang tinggi terhadap

bawahan dengan tidak melepaskan tanggung jawab pengawasan, serta

berkomunikasi dengan baik dengan bawahan yang bersifat dua arah, beban

kerja lembaga menjadi tanggung jawab bersama personalia yayasan.

Ketua yayasan sangat dihormati dan disegani secara wajar, sehingga

tercipta hubungan kerja yang positif dalam bentuk saling mengisi dan saling

menunjang. Perintah dan instruksi diterima sebagai ajakan untuk berbuat

sesuatu demi kepentingan bersama atau kelompok yang selalu dapat ditnjau

kembali jika pelaksanaannya tidak efektif, inisiatif dan kreativitas anggota

dalam dalam melaksanakan intruksi selalu didorong agar terwujud sikap dan

carakerja yang efektif dalam mencapai tujuan. Ketua yayasan memiliki kekuatan

untuk memotivasi bawahannya, dengan meningkatnya motivasi kerja tersebut dan

ketua yayasan melaksanakannya dengan persuasif maka akan terciptanya kerjasama

yang serasi antara pemimpin dan bawahan, menumbuhkan loyalitas bawahan, dan

yang terpenting yaitu mampu menumbuhkan partisipasi bawahan.

Penyataan diatas juga sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Hadari

Nawawi bahwa Kepemimpinan Demokratis menempatkan seseorang sebagai


123

faktor utama dan terpenting dalam sebuah organisasi. Hubungan antara

pemimpin dan orang-orang yang dipimpinnya diwujudkan dalam bentuk

human relation yang didasari prinsip saling menghargai dan saling

menghormati. Pemimpin memandang orang lain sebagai subyek yang memiliki

sifat-sifat manusiawi sebagaimana dirinya. Keterlibatan seseorang dalam

organisasi harus disesuaikan dengan posisi yang memiliki tanggung jawab dan

wewenang yang sama pentingnya bagi pencapaian tujuan bersama.5

B. Stategi Kepemimpinan Badan Penyelenggara dalam Pengembangan

Lembaga Pendidikan di Yayasan Bustanul Ulum Notorejo Gondang

Tulungagung

1. Strategi Fasilitatif (facilitative strategies) Ketua Yayasan mengutamakan

penyediaan fasilitas agar program perubahan berjalan dengan mudah dan

lancar

Dalam strategi ini, ketua Yayasan lebih mengutamakan penyediaan

fasilitas sekolah, dan sarana prasarana yang lain untuk menunjang pengembang

Lembaga baik formal maupun non formal seperti yang peneliti temukan

dilapangan adanya Masjid yang dibangun megah, yang berada dekat dengan

madrasah untuk menunjang program sholat dan sarana ibadah yang lain.

Selain masjid, sarana yang lain adalah dibangunnya pendopo pawiyatan

wicaksono agung yang digunakan untuk rapat atau kegiatan latihan anak anak,

lapangan olah raga yang berada di depan bangunan sekolah, sehingga ketika

anak-anak sedang melaksanakan olahraga, bapak ibu guru dapat mengontrol

5
Hadari Nawawi, Administrasi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1983), 91-95.
124

kegiatan tersebut secara langsung. Disamping itu ada juga koprasi madrasah

yang diberi nama MIBU MART yang bekerjasama dengan BRILINK, serta

menyediakan beberapa kebutuhan sekolah serta segala macam pembayaran

tunai maupun non tunai.

Pernyataan diatas sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Panggabean

(1999) menyatakan bahwa fasilitasi dan fasilitator punya dimensi luas sekali,

fasilitasi berasal dari kata facilis (Perancis) yang berarti “memudahkan”,

sehingga fasilitator adalah aktor yang punya peran memudahkan. “Fasilitas

adalah segala sesuatu yang dapat memudahkan dan memperlancar pelaksanaan

suatu usaha, dapat berupa benda-benda maupun uang” (Arianto, 2012).

2. (Strategi Prakondisional) Ketua Yayasan menegakkan kedisiplinan,

memberikan motivasi, dan membangun kepercayaan

Salah satu tugas dari seorang ketua yayasan adalah sebagai motivator

terhadap pengelola, ketua yayasan lebih cenderung memberikan motivasi

terhadap pengelola dari pada sebagai pengawas terhadap para pengelola, jika

ketua yayasan cenderung berperilaku sebagai pengawas maka pengelola akan

merasa tertekan dalam setiap menjalankan tugasnya, seakan akan pengelola

bekerja dengan dihantui rasa takut akan kesalahan-kesalahan dalam bekerja.

Tetapi jika ketua yayasan lebih mengedepankan pemberian motivasi terhadap

pengelola, maka secara otomatis pengelola akan merasa nyaman dan lebih

mempunyai semangat yang tinggi dalam menjalankan tugas, dengan penuh rasa

tanggung jawab. Dalam memberikan motivasi, ketua yayasan biasannya


125

memberikan motivasi yang bersifat positif, maka akan memberikan dampak

yang positif pula terhadap pengelola, sehingga pengelola akan mempunyai

antusias yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya dengan tanpa diperintah.

Motivasi yang diberikan seorang pemimpin sebagai pendorong untuk

melakukan sesuatu, pemberian motivasi terhadap pengelola dapat berupa

penempatan kerja yang sesuai, kondisi pekerjaan yang menyenangkan,

pekerjaan yang terjamin, serta bisyaroh (gaji) tambahan. Motivasi yang

diberikan terhadap pengelola akan dapat memberikan dorongan semangat kerja

yang tinggi, memberikan kepuasan kerja, meningkatkan produktifitas kerja,

loyalitas kerja, kedisiplinan ysng tinggi, suasana dan hubungan kerja yang baik

antar pengelola, dapat meningkatkan kesejahteraan dan tanggung jawab kinerja

pengelola terhadap tugas-tugasnya. Motivasi yang diberikan oleh seorang kiai

dapat mendorong para pengelola untuk meningkatkan kualitas dan

profesionalitas pekerjaannya. Dan memberikan kontribusi yang besar terhadap

lembaga.Pernyataan diatas sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Pieter

Sahertian bahwa perilaku kepemimpinan dapat diukur melalui individualized

consideration yaitu perilaku pemimpin yang mau mengakui prestasi bawahan

dan menjelaskan harapan-harapan mereka . Hal tersebut juga sesuai dengan

teori yang dikemukakan oleh Wahjosumodjo bahwa strategi prakondisional,

pemimpin lebih memberikan motivasi dari pada melalakukan pengawasan

terhadap bawahan.

Dalam pelaksanaanya perilaku ini dilakukan oleh seorang ketua yayasan,

dilakukan secara professional dan transparan dalam pembentukan tim


126

pengembangan dan penunjukan kepala sekolah. Perilaku ini dilaksanakan

dengan melimpahkan wewenang kepada orang kepercayaan dalam membuat

atau menetapkan keputusan. Beliau mendelegasikan wewenang membuat

kebijakan pengembangan lembaga pada para pengelola, memang yang

menetapkan kebijakan adalah beliau tetapi yang merumuskan adalah tim

pengembangan, demikian juga terkait struktur atau divisi organisasi beliau

cukup terbuka dalam melimpahkan wewenang kepada orang lain yang lebih

berkompeten, beliau lebih mengandalkan profesionalisme dari pada

kekerabatan, tetapi dalam beberapa hal yang sifatnya fundamental seperti

pembangunan saran prasarana yang membutuhkan biaya besar, itu beliau yang

menghandle. Seperti halnya perekrutan tenaga pendidik dan kependidikan yang

baru itu harus koordinasi dengan beliau. Contoh yang lain tentang pelimbahan

tanggung jawab untuk mengelola lembaga pendidikan formal, baik RA maupun

MI beliau mempercayakan tanggung jawab itu kepada orang lain yang bukan

dari kalangan keluarga dan tidak ada unsur kekerabatan. Beliau memilih orang

lain yang diberi kepercayaan karena memang di sisi lain sudah kenal baik juga

sedah berpengalaman dalam mengelola pendidikan, masalah-masalah yang

berhubungan dengan kependidikan beliau serahkan kepala sepala sekolah pada

masing-masing lembaga yang ditunjuk dengan tujuan agar program

pengembangan yang direncakan dapat dilaksanakan dan mencapai hasil yang

memuaskan. Sedangkan program sekolah yang bersifat pengadaan dan

pembangunan di serahkan kepada pelaksana pembangunan yang di tunjuk

dengan pengarahan dari ketua yayasan.


127

Pernyataan diatas sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Pieter

Sahertian bahwa perilaku kepemimpinan dapat diukur melalui individualized

consideration yaitu perilaku pemimpin yang mau mengakui prestasi bawahan

dan menjelaskan harapan-harapan mereka6. Hal tersebut juga sesuai dengan

teori yang dikemukakan oleh Wahjosumodjo bahwa kepemimpinan yang

berorientasi pada hubungan dengan bawahan, pemimpin lebih memberikan

motivasi dari pada melalkukan pengawasan terhadap bawahan.7

3. (Strategi Akademik) Ketua Yayasan mengembangkan kurikulum untuk

meningkatkan wawasan guru,serta kemampuan peserta didik.

Dalam pelaksanaan strategi akademik ketua yayasan melaksanakan

pengembangan kurikulum, terkait pelaksanaan pengembangan kurikulum,

ketua Yayasan menyerahkan proses pelaksanaannya pada masing-masing

Lembaga di bawah naungan Yayasan, karena setiap Lembaga pengembangan

kurikulumnya tidak sama disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing

Lembaga. Pengembangan kurikulum dilaksanakan untuk meningkatkan

kompetensi guru serta peserta didik, dengan memperhatikan kebutuhan

madrasah masing-masing sehingga dapat mencetak guru-guru yang

professional serta peserta didik yang berkarakter sesuai dengan tujuan

pengembangan kurikulum dan tujuan nasional.

Pernyataan diatas sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Sanjaya

bahwa “Strategi akademik harus dilaksanakan dalamsuatu lembaga untuk

mencapai tujuan pendidikan tertentu.” Dalam mencapai tujuan tersebut,

6
Pieter Sahertian, Jurnal Manajemen Dan Kewirausahaan Vol. 12, NO. 2, September:158
7
Wahjosumidjo. Kepemimpinan Kepala Sekolah,(Jakarta: Raja Grafindo Persada,2005),82
128

seorang guru atau pemateri akan menyampaikan materi sesuai dengan

kapasitas jumlah siswa atau pembelajar, dengan urutan penyampaian berupa

kegiatan pendahuluan, penyampaian informasi atau materi, adanya komunikasi

dengan siswa, untuk kemudian dilakukan tes sebagai tanda ukuran tercapainya

tujuan penyampaian materi dan dapat ditindak lanjuti guna mengembangkan

kemampuan siswa atau pembelajar”.

4. (Strategi Non Akademik) Ketua Yayasan bertanggung jawab mengkoordinir

ekstra-kurikuler.

Strategi ketua yayasan dalam pengembangan lembaga pendidkan yang

berada dibawah naungan yayasan salah satunya adalah pengembangan

dibidang non akademik, pelaksanaan strategi dengan diadakannya kegiatan

extra-kurikuler yang pelaksanaanya di serahkan kepada para pendamping dan

pelatih khusus.

Pernyataan diatas sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Dr.

Abdulloh bahwasanya strategi non akademik dapat dilaksanakan dengan

mengadakan kegiatan ekstra kurikuler olahraga, seni, dan kegiatan organisasi.

5. (Strategi Evaluatif) Ketua Yayasan rutin mengevaluasi program-program di

lembaganya.

Dalam pelaksanaan kegiatan evaluasi pengembangan yang dilaksanakan

oleh Ketua Yayasan Bustanul Ulum Notorejo Gondang Tulungagung terdapat

dua model evaluasi yaitu: 1) Apabila pengembangan terkait dengan pengadaan

atau pembangunann sarana prasarana maka evaluasi dilakukan harian selama


129

pembangunan atau pengadaan masih berlangsung. Dan ketika pengadaan sudah

selesai maka evaluasi hanya dilakukan tahunan. 2). Apabila pengembangan

berkaitan dengan program, maka evaluasi dilaksanakan secara berkala, yaitu

bulanan, semesteran dan awal tahun/akhir tahun ajaran. Sedangkan

pelaksanaan evaluasi terdiri dari evaluasi internal dari Lembaga Pendidikan

formal, Lembaga non formal, tim pengembang dan Yayasan.

Pernyataan diatas sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Edwin

Wand dan Gerald W. Brow dalam bukunya Essensial of Educational of

Education mengemukakan bahwa: Evaluation refer to act or process to

determining the vulue the something. “Evaluasi dalam sebuah lembaga harus

dilaksanakan karena merupakan kegiatan terencana untuk menentukan nilai

daripada sesuatu. Evaluasi merupakan proses pengumpulan data untuk

menentukan sejauhmana dalam hal apa dan bagaimana tujuan mudah tercapai.8

Sedangkan berdasar temuan penelitian tentang Strategi Kepemimpinan

Badan Penyelenggara dalam pengembangan pendidikan formal dan non formal

di Yayasan Bustanul Ulum Notorejo Gondang Tulungagung, adalah sebagai

berikut:

1. Penerapan sistem manajemen semi otonom dalam pengelolaan

pengembangan, meliputi seluruh fungsi-fungsi manajemen

2. Tugas dalam pengembangan lembaga pendidikan formal dan non formal

dilakukan secara professional dan transparan dengan pembentukan tim

pengembang dan penunjukan kepala sekolah

8
Sulistiyani, 2009, Evaluasi Pendidikan, Surabaya: Paramita, h. 50
130

3. Pelaksanaan tugas dalam pengembagan lembaga pendidikan formal dan non

formal bersifat terbuka dan komunikatif, dengan tim pengembang sebagai

perumus rencana pengembangan lembaga pendidikan formal yang akan

ditetapkan sebagai kebijakan

4. Pelaksanaan pengembangan pendidikan formal dan non formal, dijalankan

dengan melibatkan seluruh bawahan dengan pembentukan tim pengembang

dalam pembuatan dan pelaksana kebijakan. Secara pribadi, Ketua Yayasan

melibatkan diri secara aktif dalam melaksanakan pengembangan dan juga

menerapkan pengawasan dan pengendalian secara structural kepada tim

pengembang melalui kepala sekolah dalam rapat bulanan yang dilaksanakan

oleh tim pengembang dan dalam rapat dengan bawahan melalui rapat

awal/akhir tahun ajaran.

5. Rencana pengembangan lembaga pendidikan formal bisa datang dari

lembaga pendidikan terkait dan dari yayasan yang akan dikaji oleh Tim

Pengembang sebagai bentuk perencanaan yang akan ditetapkan sebagai

kebijakan. Pengembangan yang berasal dari lembaga terkait jika itu bukan

bersifat pengadaan atau pembangunan maka pelaksanaannya akan di handle

oleh lembaga itu sendiri, jika itu berupa pengadaan atau pembangunan maka

selain dihandle oleh lembaga terkait juga di awasi oleh pemimpin yayasan.

6. Pelaksanaan Kebijakan pengembangan lembaga pendidikan formal daan

non formal dilaksanakan penuh sinergis antar unsur lembaga dan bersifat

terintegrasi baik dalam pengembangan yang bersifat program pembelajaran

maupun sarana prasarana. Penerapan manajemen semi otonom


131

memungkinkan pelaksanaan rencana pengembangan dilaksanakan oleh

lembaga pendidikan formal dan dibantu oleh tim pengembang dan yayasan,

dengan demikian pelaksanannya menjadi tanggung jawab bersama.

7. Pembiayaan pengembangan lembaga pendidikan formal dan non formal

ditanggung secara bersama antara lembaga pendidikan formal, Pendidikan

non formal dan yayasan sesuai dengan rumusan yang yang ditetapkan tim

pengembang, jika pengembangan dari dalam lembaga terkait, maka

pendanaan berasal dari anggaran lembaga dan diatur serta diolah sendiri

oleh lembaga masing-masing, tetapi jika pengembangan berupa pengadaan

atau pembangunan, sumber pendanaan berasal dari yayasan , diolah dan

diatur oleh yayasan.

8. Evaluasi pengembangan lembaga pendidikan formal dan non formal

dilakukan dalam tiga tingkatan, yaitu tingkat internal lembaga pendidikan

formal yang terdiri dari kepala madrasah dan tenaga pendidik dan tenaga

kependidikan yang dilakukan secara rutin bulanan, semester dan tahunan,

tingkat tim pengembang yang terdiri dari unsur berbagai lembaga

pendidikan formal yang ada dan yayasan yang yang rutin dilakukan setiap

bulan, dan tingkat yayasan yaitu laporan dari lembaga pendidikan formal

kepada yayasan dalam rapat rutin akhir tahun.

Dari sejumlah temuan di atas penulis mencoba mengkaji temuan

tersebut sebagai berikut;

a. Penerapan manajemen semi otonom.


132

Badan Penyelenggara (Ketua Yayasan) dalam penerapan manajemen

semi otonom terhadap seluruh lembaga pendidikan formal dan non formal

yang ada di bawah naungan yayasan yang di pimpinnya menunjukkan

adanya kepedulian dan tanggung jawab terhadap kelangsungan lembaga

pendidikan. Kebijakan Badan Penyelenggara (Ketua Yayasan) memberikan

kewenangan penuh dalam pengelolaan keuangan terhadap masing-masing

lembaga pendidikan formal dan non formal menunjukkan bahwa

kepemmpinan Badan Penyelenggara (Ketua Yayasan) murni sebagai

tanggung jawab pendidikan dan bukan berorientasi ekonomi sebagaimana

kemunculan sekolah-sekolah baru yang menawarkan berbagai program

unggulan. Yayasan dalam hal ini justru membantu pembiayaan lembaga

pendidikan formal dan non formal khususnya dalam pengembangan sarana

prasarana. Dengan adanya kebijakan tersebut, maka ide-ide atau kebijakan

pengembangan yang datang dari ketua yayasan akan selalu mendapatkan

respon positif dari unsur lembaga pendidikan formal dan non formal karena

tidak ada kepentingan selain pengembangan lembaga.

b. Perencanaan dari tiga sumber.

Sebagai lembaga pendidikan formal dan non formal yang bernaung

dibawah yayasan, dengan manajemen semi otonom, menjadi keharusan

menegosiasikan perencanaan yang di buat sesuai dengan pihak yayasan. Hal

ini untuk memastikan perencanaan yang di buat sesuai dengan kebijakan

yayasan, baik dari segi muatan, tujuan maupun pembiayaannya.


133

Dengan adanya kebijakan yayasan Bustanul Ulum membentuk Tim

Pengembang yang berwenang menangani seluruh urusan pengembangan

lembaga pendidikan yang ada di bawah naungannya, menunjukkan bahwa

perencanaan bisa datang dari tiga pihak, yaitu lembaga pendidikan formal

dan non formal, tim pengembang dan yayasan. Dengan keberadaan empat

penentu perencaanaan ini terdapat beberapa keuntungan bagi lembaga

pendidikan formal dan non formal dalam pengembangannya: a) sebagai

banyak pihak yang berhak mengajukan perencanaan, semakin banyak ide-

ide pengembangan yang yang bisa ditampung; b) keberadaan tiga pihak bisa

menjamin perencanaan lebih matang; c) keberadaan empat pihak

memungkinkan pelaksanaan di kelola bersama-sama karena keterlibatan

dalam perencanaan mengisyaratkan tanggung jawab atas terlaksananya

rencana.

Dengan adanya pola empat pihak perencana pengembangan tersebut

memungkinkan lembaga pendidikan formal dan non formal di Yayasan

Bustanul Ulum Notorejo Gondang Tulungagung dalam berkembang lebih

cepat dibandingkan lembaga pendidikan sejenis lainnya. Akan tetapi pola

penerapan pola ini, di samping memberi peluang lebih maju, juga bisa

menghambat kreatifitas lembaga pendidikan formal karena lembaga

pendidikan formal tidak bisa membuat perencanaan dan pelaksanaan sesuai

dengan keinginannya, melainkan harus melalui persetujuan tim pengembang

dan yayasan. Artinya, perencanaan pengembangan lembaga pendidikan

formal yang diajukan pihak lembaga pengelola lembaga pendidikan formal


134

harus melalui ‘screening’ di wilayah tim pengembang dan mendapat

persetujuan dari yayasan. Bila perencanaan yang diajukan tidak disetujui

oleh tim pengembang. Maka perencanaan tidak akan dilaksanakan.

Demikian juga bila perencanaan yang diajukan telah disetujui oleh tim

pengembang namun tidak disetujui oleh yayasan, maka perencanaan tidak

akan bisa di jalankan. Untuk mengatasi kendala tersebut, dibutuhkan

kemampuan negosiasi dari pengelola lembaga pendidikan formal terhadap

tim pengembang dan yayasan.

c. Pelaksanaan dengan sinergi antar lembaga

Penerapan manajemen semi otonom memungkinkan pelaksanaan

rencana pengembangan dilaksanakan oleh lembaga pendidikan formal dan

dibantu oleh tim pengembang dan yayasan. Masing-masing lembaga diberi

kebebasan untuk mengembangkan dirinya semaksimal mungkin tetapi tidak

harus tunduk pada kebijakan yayasan, yayasan pun juga tidak bermaksud

mendoktrin lembaga dan membelenggu lembaga tetapi hanya memastikan

bahwa masing-masing dari lembaga dapat mengembangkan diri sesuai

dengan program yang telah ditentukan dan tetap berkoordinasi kepada

yayasan.Terkait pengembangan yang dilaksakan jika berupa program maka

pelaksanaannya di serahkan kepada masing-masing lembaga pendidikan

formal, sedangkan jika itu berupa pengadaan atau pembangunan maka

terdapat campur tangan yayasan di dalamnya. Keberhasilan yang dicapai

dalam pengembangan yang dilakukan oleh salah satu lembaga akan

berdampak positif terhadap lembaga yang lain, contohnya jika RA


135

mempunyai program pengembangan dan bisa dilaksanakan dengan baik

sehingga mencapai hasil yang baik pula, maka akan memberikan dampak

positif terhadap MI dan khususnya yayasan. Secara tidak langsung bahwa

jika out put dari RA itu bagus maka akan berpengaruh positif terhadap in

put di MI karena hampir semua lulusan dari RA melanjutkan ke jenjang MI.

Bagitupun terhadap yayasan akan ada dampak positif terhadap yayasan jika

pengembangan yang dilaksanakan di beberapa lembaga pendidikan formal

bisa berjalan dengan baik dan akan mambawa nama baik yayasan pada

umumnya dan membawa nama baik kiai secara pribadi. Dengan demikian

tanggung jawab pelaksanaan pengembangan lembaga pendidikan formal

menjadi tanggung jawab bersama dan di pikul bersama-sama, karena semua

pihak mempunyai tanggung jawab yang sama dan hak yang sama. Pola

sinergi antar lembaga dalam pelaksanaan ini memungkinkan pelaksanaan

pengembangan lembaga pendidikan formal dan non formal di Yayasan

dapat berjalan secara maksimal.

d. Pembiayaan ditanggung secara bersama

Penerapan manajemen semi otonom dalam pengembangan lembaga

pendidikan formal memungkinkan adanya pembiayaan secara bersama-

sama. Maksudnya dalam pengembangan lembaga yang sifatnya Kebijakan

yayasan yang memberikan wewenang penuh pada lembaga pendidikan

formal untuk mengelola keuangannya sendiri memudahkan lembaga dalam

melakukan pengembangan. Terlebih dengan adanya kebijakan yayasan yang

selalu berpartisipasi dalam pembiayaan, khususnya berkaitan dengan


136

pengadaan prasarana pendidikan dengan menggali dana dari berbagai

sumber.

Pola pembiayaan yang diterapkan ini memungkinkan pengembangan

lembaga pendidikan formal non formal di yayasan tidak akan mengalami

kendala yang berarti dalam pengembangan. Tetapi sebagaimana telah di

kemukakan diatas, pola pembiayaan bersama hanya berlaku pada

perencanaaan pengembangan yang mendapat persetujuan dari tim

pengembang dan yayasan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tantangan pengembangan

lembaga pendidikan formal dan non formal di yayasan, dari sudut pandang

lembaga pendidikan formal adalah bagaimana membuat perencanaan

pengembangan yang akan dilakukan bisa lolos dalam kajian tim

pengembang dan dapat persetujuan dari yayasan. Bila tahapan ini terlewati

denagan baik, maka pelaksanaan dan pembiayaan bahkan evaluasi dan

pengawasannya akan menjadi tanggung jawab bersama.

e. Evaluasi bertingkat

Penerapan manajemen semi otonom juga memungkinkan adanya

pengawasan pengembangan lembaga pendidikan secara bersama-sama.

Dengan adanya pola ini, kemungkinan kesalahan dalam pelaksanaan dapat

diminimalisir sekecil mungkin. Akan tetapi dengan pengawasan pola

bertingkat ini, bila tidak disertai dengan standart yang baku bisa

menghambat pelaksaan pengembangan ketika masing-masing pihak

memiliki asumsi yang berbeda-beda terhadap spesifikasi pengembangan.


137

Untuk itu, dalam tahap perencanaan sudah harus dirumuskan secara jelas

spesifikasi pengembangan dan disosialisasikan pada tim pengembang dan

yayasan sehingga antara pihak lembaga pendidikan formal dan non formal,

tim pengembang dan yayasan memiliki acuan yang sama. Evalusi ini

dilaksanakan sesuai dengan situasi lembaga, evaluasi dilkasanakan secara

bertahab sesuai dengan kebutuhan masing-masing lembaga dan

pelaksaannya diserahkan kepada kebijakan lembagannya masing-masing.

Karena setiap lembaga mempunyai kebijakan yang berbeda-beda

disesuaikan dengan tingkat kebutuhan lembaga dan disesuaikan dengan

peraturan yang berlaku dalam masing-masing lembaga pendidikan baik itu

formal maupn pendididkan non formal.

Dari berbagai temuan penelitian tentang pelaksanaan pengembangan

lembaga pendidikan formal dan non formal di yayasan di atas, bila

dicermati lebih lanjut menunjukkan bahwa kebijakan penerapan sistem

manajemen semi otonom tersebut memiliki kontribusi positif dalam

pengembangan lembaga pendidikan formal dan non formal di yayasan.

Bentuk kontribusi penerapan manajemen semi otonom tersebut dapat

digambarkan dalam table sebagai berikut:

Tabel 5.1

Kontribusi manajemen semi otonom terhadap pengembangan lembaga pendidikan

di Yayasan Bustanul Ulum Notorejo Gondang Tulungagung

No Lembaga Pendidikan Formal Yayasan Bustanul Ulum


MI/RA di Yayasan Bustanul
138

Ulum
1 Perencanaan pengembangan Membantu perencanaan melalui Tim
Pengembangan
2 Pengorganisasian pengembangan Membantu pengorganisasian melalui
Tim Pengembangan
3 Pelaksanaan pengembangan Membantu pelaksanaan

4 Pembiayaan dengan otonomi Membantu pembiayaan dalam


mengelola keuangan pengembangan yang sifatnya
pengadaan dan pembangunan
5 Pengawasan/evaluasi Membantu pengawasan/evaluasi
melalui tim pengembangan dan
sebagai pimpinan pesantren

Berdasarkan table di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan

penerapan manajemen semi otonom dalam pengembangan lembaga

pendidikan di Yayasan Bustanul Ulum Notorejo Gondang Tulungagung

menempatkan tiga unsur sekaligus dalam setiap proses pengembangan

lembaga mulai dari perencanaan hingga evaluasinya.

Anda mungkin juga menyukai