Anda di halaman 1dari 5

F. X.

WIDARYANTO

MITOS, SENI, DAN KEHIDUPAN


(Sebuah Pengantar)
Kehadiran seseorang dalam sebuah lingkungan komunitas tertentu, karena
pengaruhnya yang luar biasa, bisa menjadi sebuah mitos tersendiri. Ini
berkaitan dengan tindak perilaku yang melekat dengan kehidupan atau
malahan, mitos tersebut kadang-kadang memang melekat dengan dirinya
sendiri. Dalam konteks pertunjukan misalnya, ada tokoh panggung yang
cukup melegenda sehingga menjadi mitos yang dirujuk oleh banyak orang.
Lihat saja dengan tokoh Bando Tamasaburo yang sangat terkenal dengan
perannya sebagai perempuan dalam Musume Dojoji pada teater Kabuki di
Jepang. Tokoh ini seakan hidup dalam dua dunia, satu dalam dunia
panggung dan yang satu lagi dalam kehidupan keseharian. Sebagai aktor
Kabuki ia mampu memerankan tokoh perempuan, yang uniknya, kekuatan
aktingnya justru mampu mengalahkan kaum perempuan yang mencoba
memerankannya. Sedangkan di luar panggung ia bisa bergaya hidup
sebagaimana layaknya seorang superstar dengan segala kelengkapan
hedonisme yang menyertainya. Tokoh mitos dalam pengertian ini tidak harus
menjadi bagian dari mitologi, yang biasanya terkait dangan sebuah pola pikir
tertentu, yang diwadahi dengan sebuah kerangka pikir dalam dimensi waktu
tertentu pula. Desa, kala, patra menjadi bagian yang penting dalam memahami
makna sebuah mitologi yang tidak harus dinafikan dalam sebuah kerangka
pikir yang kita miliki dewasa ini. Kemampuan memaknai sebuah mitologi
dapat dibaca sebagai kemampuan membaca tanda-tanda zaman, yang setiap
kali nampaknya akan bisa ditarik benang merahnya, sekaitan dengan pola
kesinambungan sebuah peristiwa kehidupan, baik yang bermakna kausalitas
dan saling berhubungan maupun yang berdiri sendiri dan nyaris tak saling
bersentuhan.
Mitos bisa menjadi fenomena keteladanan, sekalipun terjadi pada era
informasi dewasa ini, di mana peluang menjadi mitos pada ranah masing-
masing bidang tetap terbuka, meski tidak harus menjadi bagian dari mitologi
itu sendiri. Pada masa lalu, di mana paham keyakinan asli masih
mendominasi masyarakatnya, mitologi menjadi sangat penting terutama
dalam memandu nilai-nilai kehidupan serta memahami fenomena asal-mula
kehidupan itu sendiri. Eksplisitasi permasalahan mitologi ini kadang sangat
melekat dengan ekspresi berkesenian dari masyarakatnya. Lihat dengan
kehidupan tari di Jawa, misalnya, yang sangat erat dengan konsep alus dan
kasar yang selalu dikaitkan dengan berbagai perwatakan manusia dalam
pengejawantahannya pada tokoh-tokoh mitologi wayang. Meski sekilas
perwatakan masing-masing tokoh dibuat "cetak birunya" secara hitam-putih,
namun pada hakikatnya terselip sisi-sisi lain yang ada pada wilayah abu-abu.
Tokoh-tokoh dewa sebagai teladan kehidupan kadang dijungkirbalikkan
kepribadiannya dalam kehidupan sehari-hari yang terkadang malah
bertentangan dengan nilai-niai kehidupan beradab. Pemaknaan atas deskripsi
perilaku para dewa ini, dalam pemahaman mitologis, tak bisa dilakukan
secara parsial dan sepotong-sepotong, seperti halnya dengan pemaknaan
struktur perlambangan dalam sebuah karya seni.
Struktur simbolik dalam sebuah karya seni menjadikan dirinya khas
dibandingkan dengan karya insan yang lain. Demikian juga dengan
spesifikasi medianya yang secara khas pula akan menjadikan karya seni itu
memiliki kekuatan ungkap yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya.
Dalam tari misalnya, kekuatan narasi verbal tidak bisa diandalkan kaitannya
dengan gerak yang dibangunnya sebagai bagian dari keterampilan kekuatan
ekspresi psikomotorik. Bangun kekuatan ruang yang dibangunnya memiliki
kekuatan ungkap nonverbal yang akan memberikan rangsang kinestetik,
yang pada gilirannya akan merasuk dalam sisi emosional terdalam bagi
seorang penonton yang cukup terlatih. Juga yang terjadi pada musik,
kekuatan rentetan nada banyak sekali meyentuh sisi emosi pendengarnya
meski tanpa harus diberi narasi verbal yang memperjelas maksud
komposernya. Bahkan pada berbagai fenomena musik klasik Barat, judul
komposisinya bahkan tidak terkait sama sekali dengan isi yang terkandung di
dalamnya. Dengan demikian ada fenomena multi makna yang sangat terbuka
untuk diapresiasi oleh pendengarnya serta memberikan semacam pencerahan
bagi kehidupan rutin keseharian yang penuh dengan permasalahan yang
menyesakkan dewasa ini.
Kehidupan keseharian yang masih belum dipenuhi dengan kebutuhan
dasar bagi sebagian besar masyarakat kita dewasa ini, ternyata tidak
menyurutkan kreativitas dari seniman pencipta maupun para pelaku seni
yang ada dewasa ini. Justru pada situasi ketertekanan dalam berbagai bidang
yang dipenuhi pula dengan berbagai suasana yang tidak menentu, banyak
karya-karya alternatif yang bersifat perlawanan muncul dari berbagai
wilayah dengan kandungan permasalahan yang beragam pula. Dari sisi
bentuk, karya-karya ini bisa sangat tradisional, namun isinya bisa sangat
berkaitan dengan permaslahan kekinian. Aktualisasi permasalahan inilah
kemudian menjadi sangat bermakna manakala kemudian menyentuh emosi
terdalam dari para penontonnya, terutama bila terkait dengan permasalahan
mereka sehari-hari. Dalam hal ini bentuk seni menjadi "tidak begitu penting"
namun isi menjadi prioritas utama yang diolah oleh senimannya berdasarkan
pada pengalaman kehidupannya.
Jurnal kali ini akan menyajikan beberapa permasalahan di atas, yang meski
agak beragam, namun diharapkan tetap bisa terfokus dalam alur benang
merah yang saling terkait, yang tentunya memberikan jalinan makna bagi
permasalahan mitos, seni, dan kehidupan dewasa ini pada umumnya. Seiring
dengan permasalahan "sangkan paraning dumadi" atau asal muasal manusia,
Jakob Sumardjo secara mendalam mencoba membeberkan dan mengupas
karya tulis lama tentang genesis Jawa, yaitu Serat Manik Maya. Fokus
bahasannya adalah pemaknaan budaya atas teks yang berisi tentang
pandangan masyarakat Jawa akan asal usul dewa, alam manusia, dan
kehidupan sendiri, yang pada hakikatnya merupakan sebuah filsafat
imajener. Di situ terdapat banyak simbol yang kemudian dijadikan sebagai
pegangan dasar dalam kehidupan, terutama dalam bersikap. Di sinilah
akhirnya didapat sebuah pola pikir kolektif dari masyarakat pemilik mitologi
ini. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya, dipahami betul sebagai
benar-benar terjadi. Meskipun hal ini dipandang tidak penting (benar-benar
terjadi atau tidak), namun intinya adalah bahwa peristiwa-peristiwa ini
diimani sebagai sebagai bagian dari pemahaman asal-usul mereka pada masa
silam. Di sini Jakob Sumardjo juga memberikan tekanan akan pentingnya
peristiwa-peristiwa yang pada satu sisi terungkap dengan sangat berlebihan,
sangat aktif, yang kemudian dijejerkan dengan sikap yang sangat pasif dalam
sebuah pemaknaan dualitas; hal ini menghasilkan sesuatu yang sangat
bermakna akibat dari proses penyatuan keduanya. Ini menyadarkan kita
pada kesadaran akan makna keselarasan hubungan manusia dengan alam,
yang juga secara khusus diberi contoh oleh Ign. Herry Subiantoro dalam
memberikan makna padi sebagai fenomena hirofani, yaitu adanya
kandungan sakralitas serta kapasitasnya yang mampu memberikan simbol-
simbol multivokal, polarisasi, dan unifikasi pada peristiwa seren tahun yang
diamatinya di Cigugur Kuningan Jawa Barat. Kaitannya dengan multivokal
karena kapasitasnya yang bisa menampung berbagai simbol ritual atas
pemenuhan aspirasi kebutuhan yang sangat beragam. Lihat saja padi di luar
keberadaannya sebagai makanan pokok, ternyata memiliki kapasitas yang
lain sebagai pengejawantahan ekspresi pemujaan masyarakatnya dalam
bentuk berbagai macan kesenian. Juga kedudukannya dalam makna
polarisasi, padi secara normatif bisa menjadi sarana kebersamaan untuk
bersyukur namun sekaligus bisa menjadi orectic 'perluasan makna' yaitu
sebuah perlawanan secara nonfisik terhadap ketertekanan hegemoni politik
di masa lalu. Sedangkan kaitannya sebagai simbol unifikasi, karena sebagai
hirofani padi mampu memberikan nilai-nilai kesuburan yang mesti
dipertahankan dengan manusia menyatukan dirinya dalam kualitas
hubungan yang selaras dengan alam. Dalam konteks seren tahun di Cigugur,
seluruh bentuk ritual tersebut di atas, tekanannya sudah lebih kepada
integrasi sosial dari berbagai kelompok masyarakat yang manifestasinya
terungkap dalam berbagai gelar kesenian.
Gelar kesenian yang berujud nyanyian, ternyata juga memiliki ciri-ciri
karakteristik serta mencerminkan pola tingkah laku yang secara implisit
memberikan arah pada kehidupan seseorang kaitannya dengan habitus
locusnya. Hal ini diungkit oleh Torang Naiborhu yang menguraikan berbagai
bentuk nyanyian yang menjadi milik masyarakat Pak-pak Dairi di Sumatera
Utara. Ende-ende merkemenjen misalnya, adalah sebuah bentuk vokal yang
dilantunkan pada saat matahari sudah mulai condong ke Barat kala kaum
lelaki mulai mengambil kemenyan di hutan. Di sini kebutuhan akan produk
hutan diharapkan tetap terjaga dan tidak berlebihan, sementara dalam
kesendirian di tengah hutan, kesunyian yang menyelimutinya bisa diatasi
dengan lantunan vokal tertentu, salah satunya adalah tangis anak melumang.
Di sisi lain ada nyanyian ratapan untuk seseorang yang meninggal atau tangis
si mate yang juga merupakan ungkapan yang menarik kaitannya dengan
upaya mengenang jati diri seseorang semasa ia masih hidup.
Ungkapan jati diri atau aktualisasi diri ini secara tidak disadari juga
muncul pada diri tokoh karawitan Sunda yang telah berjasa dalam
menemukan notasi daminatila serta mengangkat kesenian Karawitan Sunda
menjadi bagian dari kajian musik dunia. Ia adalah Raden Machyar Angga
Koesoemadinata. Heri Herdini mencoba mengungkap sisi aktualisasi diri ini
dalam judul tulisannya Eksistensi Raden Machyar Angga Koesoemadinata:
Tinjauan Menurut Teori Kebutuhan Abraham Maslow. Dari kekuatan tradisi
gamelan pelog-salendro inilah tokoh ini memberikan perenungan yang
mendalam yang mengundang tokoh etnomusikologi awal dari Belanda, Jaap
Kunst, untuk banyak belajar darinya. Namun apakah kekuatan tradisi ini juga
memberikan ciri dan kekuatan baru pada bentuk kreasi yang bersifat
kekinian dewasa ini. Lili Suparli mencoba mengangkat masalah ini dalam
tulisan yang diberinya judul Kreativitas Karawitan dalam Wacana Musik
Kekinian Indonesia. Untuk menghindari salah tafsir dengan istilah
kontemporer, Lili lebih memilih istilah 'kekinian' untuk membahas
kecenderungan karya cipta karawitan yang diamatinya. Berbagai bentuk
kolaborasi sering masih bersifat kolaborasi fisik dan belum sampai pada
kolaborasi konsep. Kreativitas yang muncul diharapkan tidak menjadi
semata-mata baru, namun lebih jauh diharapkan bisa diterima oleh
masyarakat pemiliknya, serta menjadi penanda serta memiliki estetika baru
bagi komposer penciptanya.
Berkaitan dengan estetika baru ini, Hari Martopo mencoba mengajak kita
menoleh pada era romantik di abad kesembilanbelas, sekaitan dengan
munculnya musik program yang yang merupakan pengejawantahan nilai-
nilai estetika pada jaman itu. Perlawanan terhadap nilai-nilai musik absolut
pada musik klasik Wina misalnya, yang memiliki konstruksi serba simetris,
rasional, baku dengan isi yang tertata rapi, dianggap oleh kaum romatik
sebagai musik yang kurang hidup, tidak ekspresif, dan membosankan. Ini
adalah sebuah pencapaian dari antitesis estetika yang memperkaya bentuk
dan isi dari sebuah kemapanan ekspresi musik. Secara kolektif, ekspresi seni
dalam berbagai kelompok masyarakat kita lebih memberikan nuansa rambu-
rambu penanda yang lebih "loyal" pada milik bersama, yang bahkan mungkin
seringkali dianggap sebagai being taken for granted.
Masalah kepemilikan bersama di atas, pada kasus se bagian masyarakat
Minangkabau dicoba untuk diungkit oleh Andar Indra Sastra, kaitannya
dengan fenomena kepemilikan bersama di Irak, Iran, Pakitan dan sebagian
umat muslim di India. Ini adalah tradisi memperingati kematian Husein Ibnu
'Ali oleh kaum Syiah yang dalam bentuk berbeda dilakukan di pantai barat
Sumatera, a.l. Bengkulu dan Pariaman. Ritual yang dimaksudkan adalah
tabuik yan juga merefleksikan unagkapan meratap dengan menyakiti diri
dalam laku mati ragawi. Tulisan ini mencoba untuk merangkai benang merah
yang ada sekaitan dengan peristiwa-peristiwa semirip pada wilayah di
beberapa negara tersebut.
Berbagai peristiwa yang terjadi di berbagai wiayah di belahan bumi ini
ternyata bisa ditangkap secara simultan dalam dukungan kemajuan teknologi
komunikasi. Sebut saja salah satunya dengan televisi, yaitu sebuah media
massa yang sangat ampuh mempengaruhi perilaku penontonnya. Jaeni
mencoba menggali permasalahan perluasan wilayah-wilayah budaya akibat
tayangannya yang cukup menjangkau keluasan tertentu dalam perspektif
komunikasi. Bekal penonton yang kadang belum siap dengan jejalan
informasi yang, salah satunya, memamerkan berbagai gejala gaya hidup
hedonis, telah menjadikan kaum muda "yang belum punya bekal" menjadi
kaum pemimpi yang sakit. Dalam mencoba meraih gaya hidup "idaman"
tersebut, banyak kalangan muda yang sudah tak lagi punya landasan pikir
yang rasional, sehingga sangat rapuh untuk menerima berbagai bujuk rayu
dari tawaran iklan yang cukup menjejali kehidupan mereka, baik di ruang
keluarga maupun juga di berbagai ruang publik. Kekuatan teknologi
komunikasi dan multimedia ini tak hanya merambah masalah perluasan
jangkauan sasaran komunikasi semata, namun juga secara substansial telah
banyak membantu penciptaan desain grafis, terutama dalam fasilitasi produk
desain model pentas akustika seperti yang ditawarkan oleh Dedy Suardi
dengan judulnya Mendesain Model Pentas Akustika (Perspektifis Tiga Dimensi)
Lewat Komputer Grafis. Di sini penulis tidak mengaitkannya dengan perkara
akar arsitektural produk local genius, namun semata-mata rancang bangunnya
dibuat atas pertimbangan implementasi auditif dan yang secara visual
berkesan futuristik.
Demikianlah sajian jurnal kali ini dengan berbagai ragam persoalan dan
kajian yang berkaitan dengan mitos, seni, dan kehidupan. Diharapkan ada
sesuatu yang bisa dipetik dan memberikan inspirasi bagi kajian yang lain
meski dalam topik yang sama. Di satu sisi kita mesti sering menoleh ke
belakang, untuk secara arif menangkap pesan-pesan world view dari nenek
moyang kita, namun di sisi lain,dalam waktu yang sama, kita juga mesti
menatap ke depan, bukan sekedar untuk tidak tertabrak, namun untuk
menyiasati kehidupan seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi yang
secara kuat memberikan penyaranan pada sebuah gaya hidup yang baru. Di
sinilah tuisan di atas diharapkan bisa bermakna.

Anda mungkin juga menyukai