(Sebuah Pengantar) Kehadiran seseorang dalam sebuah lingkungan komunitas tertentu, karena pengaruhnya yang luar biasa, bisa menjadi sebuah mitos tersendiri. Ini berkaitan dengan tindak perilaku yang melekat dengan kehidupan atau malahan, mitos tersebut kadang-kadang memang melekat dengan dirinya sendiri. Dalam konteks pertunjukan misalnya, ada tokoh panggung yang cukup melegenda sehingga menjadi mitos yang dirujuk oleh banyak orang. Lihat saja dengan tokoh Bando Tamasaburo yang sangat terkenal dengan perannya sebagai perempuan dalam Musume Dojoji pada teater Kabuki di Jepang. Tokoh ini seakan hidup dalam dua dunia, satu dalam dunia panggung dan yang satu lagi dalam kehidupan keseharian. Sebagai aktor Kabuki ia mampu memerankan tokoh perempuan, yang uniknya, kekuatan aktingnya justru mampu mengalahkan kaum perempuan yang mencoba memerankannya. Sedangkan di luar panggung ia bisa bergaya hidup sebagaimana layaknya seorang superstar dengan segala kelengkapan hedonisme yang menyertainya. Tokoh mitos dalam pengertian ini tidak harus menjadi bagian dari mitologi, yang biasanya terkait dangan sebuah pola pikir tertentu, yang diwadahi dengan sebuah kerangka pikir dalam dimensi waktu tertentu pula. Desa, kala, patra menjadi bagian yang penting dalam memahami makna sebuah mitologi yang tidak harus dinafikan dalam sebuah kerangka pikir yang kita miliki dewasa ini. Kemampuan memaknai sebuah mitologi dapat dibaca sebagai kemampuan membaca tanda-tanda zaman, yang setiap kali nampaknya akan bisa ditarik benang merahnya, sekaitan dengan pola kesinambungan sebuah peristiwa kehidupan, baik yang bermakna kausalitas dan saling berhubungan maupun yang berdiri sendiri dan nyaris tak saling bersentuhan. Mitos bisa menjadi fenomena keteladanan, sekalipun terjadi pada era informasi dewasa ini, di mana peluang menjadi mitos pada ranah masing- masing bidang tetap terbuka, meski tidak harus menjadi bagian dari mitologi itu sendiri. Pada masa lalu, di mana paham keyakinan asli masih mendominasi masyarakatnya, mitologi menjadi sangat penting terutama dalam memandu nilai-nilai kehidupan serta memahami fenomena asal-mula kehidupan itu sendiri. Eksplisitasi permasalahan mitologi ini kadang sangat melekat dengan ekspresi berkesenian dari masyarakatnya. Lihat dengan kehidupan tari di Jawa, misalnya, yang sangat erat dengan konsep alus dan kasar yang selalu dikaitkan dengan berbagai perwatakan manusia dalam pengejawantahannya pada tokoh-tokoh mitologi wayang. Meski sekilas perwatakan masing-masing tokoh dibuat "cetak birunya" secara hitam-putih, namun pada hakikatnya terselip sisi-sisi lain yang ada pada wilayah abu-abu. Tokoh-tokoh dewa sebagai teladan kehidupan kadang dijungkirbalikkan kepribadiannya dalam kehidupan sehari-hari yang terkadang malah bertentangan dengan nilai-niai kehidupan beradab. Pemaknaan atas deskripsi perilaku para dewa ini, dalam pemahaman mitologis, tak bisa dilakukan secara parsial dan sepotong-sepotong, seperti halnya dengan pemaknaan struktur perlambangan dalam sebuah karya seni. Struktur simbolik dalam sebuah karya seni menjadikan dirinya khas dibandingkan dengan karya insan yang lain. Demikian juga dengan spesifikasi medianya yang secara khas pula akan menjadikan karya seni itu memiliki kekuatan ungkap yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Dalam tari misalnya, kekuatan narasi verbal tidak bisa diandalkan kaitannya dengan gerak yang dibangunnya sebagai bagian dari keterampilan kekuatan ekspresi psikomotorik. Bangun kekuatan ruang yang dibangunnya memiliki kekuatan ungkap nonverbal yang akan memberikan rangsang kinestetik, yang pada gilirannya akan merasuk dalam sisi emosional terdalam bagi seorang penonton yang cukup terlatih. Juga yang terjadi pada musik, kekuatan rentetan nada banyak sekali meyentuh sisi emosi pendengarnya meski tanpa harus diberi narasi verbal yang memperjelas maksud komposernya. Bahkan pada berbagai fenomena musik klasik Barat, judul komposisinya bahkan tidak terkait sama sekali dengan isi yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian ada fenomena multi makna yang sangat terbuka untuk diapresiasi oleh pendengarnya serta memberikan semacam pencerahan bagi kehidupan rutin keseharian yang penuh dengan permasalahan yang menyesakkan dewasa ini. Kehidupan keseharian yang masih belum dipenuhi dengan kebutuhan dasar bagi sebagian besar masyarakat kita dewasa ini, ternyata tidak menyurutkan kreativitas dari seniman pencipta maupun para pelaku seni yang ada dewasa ini. Justru pada situasi ketertekanan dalam berbagai bidang yang dipenuhi pula dengan berbagai suasana yang tidak menentu, banyak karya-karya alternatif yang bersifat perlawanan muncul dari berbagai wilayah dengan kandungan permasalahan yang beragam pula. Dari sisi bentuk, karya-karya ini bisa sangat tradisional, namun isinya bisa sangat berkaitan dengan permaslahan kekinian. Aktualisasi permasalahan inilah kemudian menjadi sangat bermakna manakala kemudian menyentuh emosi terdalam dari para penontonnya, terutama bila terkait dengan permasalahan mereka sehari-hari. Dalam hal ini bentuk seni menjadi "tidak begitu penting" namun isi menjadi prioritas utama yang diolah oleh senimannya berdasarkan pada pengalaman kehidupannya. Jurnal kali ini akan menyajikan beberapa permasalahan di atas, yang meski agak beragam, namun diharapkan tetap bisa terfokus dalam alur benang merah yang saling terkait, yang tentunya memberikan jalinan makna bagi permasalahan mitos, seni, dan kehidupan dewasa ini pada umumnya. Seiring dengan permasalahan "sangkan paraning dumadi" atau asal muasal manusia, Jakob Sumardjo secara mendalam mencoba membeberkan dan mengupas karya tulis lama tentang genesis Jawa, yaitu Serat Manik Maya. Fokus bahasannya adalah pemaknaan budaya atas teks yang berisi tentang pandangan masyarakat Jawa akan asal usul dewa, alam manusia, dan kehidupan sendiri, yang pada hakikatnya merupakan sebuah filsafat imajener. Di situ terdapat banyak simbol yang kemudian dijadikan sebagai pegangan dasar dalam kehidupan, terutama dalam bersikap. Di sinilah akhirnya didapat sebuah pola pikir kolektif dari masyarakat pemilik mitologi ini. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya, dipahami betul sebagai benar-benar terjadi. Meskipun hal ini dipandang tidak penting (benar-benar terjadi atau tidak), namun intinya adalah bahwa peristiwa-peristiwa ini diimani sebagai sebagai bagian dari pemahaman asal-usul mereka pada masa silam. Di sini Jakob Sumardjo juga memberikan tekanan akan pentingnya peristiwa-peristiwa yang pada satu sisi terungkap dengan sangat berlebihan, sangat aktif, yang kemudian dijejerkan dengan sikap yang sangat pasif dalam sebuah pemaknaan dualitas; hal ini menghasilkan sesuatu yang sangat bermakna akibat dari proses penyatuan keduanya. Ini menyadarkan kita pada kesadaran akan makna keselarasan hubungan manusia dengan alam, yang juga secara khusus diberi contoh oleh Ign. Herry Subiantoro dalam memberikan makna padi sebagai fenomena hirofani, yaitu adanya kandungan sakralitas serta kapasitasnya yang mampu memberikan simbol- simbol multivokal, polarisasi, dan unifikasi pada peristiwa seren tahun yang diamatinya di Cigugur Kuningan Jawa Barat. Kaitannya dengan multivokal karena kapasitasnya yang bisa menampung berbagai simbol ritual atas pemenuhan aspirasi kebutuhan yang sangat beragam. Lihat saja padi di luar keberadaannya sebagai makanan pokok, ternyata memiliki kapasitas yang lain sebagai pengejawantahan ekspresi pemujaan masyarakatnya dalam bentuk berbagai macan kesenian. Juga kedudukannya dalam makna polarisasi, padi secara normatif bisa menjadi sarana kebersamaan untuk bersyukur namun sekaligus bisa menjadi orectic 'perluasan makna' yaitu sebuah perlawanan secara nonfisik terhadap ketertekanan hegemoni politik di masa lalu. Sedangkan kaitannya sebagai simbol unifikasi, karena sebagai hirofani padi mampu memberikan nilai-nilai kesuburan yang mesti dipertahankan dengan manusia menyatukan dirinya dalam kualitas hubungan yang selaras dengan alam. Dalam konteks seren tahun di Cigugur, seluruh bentuk ritual tersebut di atas, tekanannya sudah lebih kepada integrasi sosial dari berbagai kelompok masyarakat yang manifestasinya terungkap dalam berbagai gelar kesenian. Gelar kesenian yang berujud nyanyian, ternyata juga memiliki ciri-ciri karakteristik serta mencerminkan pola tingkah laku yang secara implisit memberikan arah pada kehidupan seseorang kaitannya dengan habitus locusnya. Hal ini diungkit oleh Torang Naiborhu yang menguraikan berbagai bentuk nyanyian yang menjadi milik masyarakat Pak-pak Dairi di Sumatera Utara. Ende-ende merkemenjen misalnya, adalah sebuah bentuk vokal yang dilantunkan pada saat matahari sudah mulai condong ke Barat kala kaum lelaki mulai mengambil kemenyan di hutan. Di sini kebutuhan akan produk hutan diharapkan tetap terjaga dan tidak berlebihan, sementara dalam kesendirian di tengah hutan, kesunyian yang menyelimutinya bisa diatasi dengan lantunan vokal tertentu, salah satunya adalah tangis anak melumang. Di sisi lain ada nyanyian ratapan untuk seseorang yang meninggal atau tangis si mate yang juga merupakan ungkapan yang menarik kaitannya dengan upaya mengenang jati diri seseorang semasa ia masih hidup. Ungkapan jati diri atau aktualisasi diri ini secara tidak disadari juga muncul pada diri tokoh karawitan Sunda yang telah berjasa dalam menemukan notasi daminatila serta mengangkat kesenian Karawitan Sunda menjadi bagian dari kajian musik dunia. Ia adalah Raden Machyar Angga Koesoemadinata. Heri Herdini mencoba mengungkap sisi aktualisasi diri ini dalam judul tulisannya Eksistensi Raden Machyar Angga Koesoemadinata: Tinjauan Menurut Teori Kebutuhan Abraham Maslow. Dari kekuatan tradisi gamelan pelog-salendro inilah tokoh ini memberikan perenungan yang mendalam yang mengundang tokoh etnomusikologi awal dari Belanda, Jaap Kunst, untuk banyak belajar darinya. Namun apakah kekuatan tradisi ini juga memberikan ciri dan kekuatan baru pada bentuk kreasi yang bersifat kekinian dewasa ini. Lili Suparli mencoba mengangkat masalah ini dalam tulisan yang diberinya judul Kreativitas Karawitan dalam Wacana Musik Kekinian Indonesia. Untuk menghindari salah tafsir dengan istilah kontemporer, Lili lebih memilih istilah 'kekinian' untuk membahas kecenderungan karya cipta karawitan yang diamatinya. Berbagai bentuk kolaborasi sering masih bersifat kolaborasi fisik dan belum sampai pada kolaborasi konsep. Kreativitas yang muncul diharapkan tidak menjadi semata-mata baru, namun lebih jauh diharapkan bisa diterima oleh masyarakat pemiliknya, serta menjadi penanda serta memiliki estetika baru bagi komposer penciptanya. Berkaitan dengan estetika baru ini, Hari Martopo mencoba mengajak kita menoleh pada era romantik di abad kesembilanbelas, sekaitan dengan munculnya musik program yang yang merupakan pengejawantahan nilai- nilai estetika pada jaman itu. Perlawanan terhadap nilai-nilai musik absolut pada musik klasik Wina misalnya, yang memiliki konstruksi serba simetris, rasional, baku dengan isi yang tertata rapi, dianggap oleh kaum romatik sebagai musik yang kurang hidup, tidak ekspresif, dan membosankan. Ini adalah sebuah pencapaian dari antitesis estetika yang memperkaya bentuk dan isi dari sebuah kemapanan ekspresi musik. Secara kolektif, ekspresi seni dalam berbagai kelompok masyarakat kita lebih memberikan nuansa rambu- rambu penanda yang lebih "loyal" pada milik bersama, yang bahkan mungkin seringkali dianggap sebagai being taken for granted. Masalah kepemilikan bersama di atas, pada kasus se bagian masyarakat Minangkabau dicoba untuk diungkit oleh Andar Indra Sastra, kaitannya dengan fenomena kepemilikan bersama di Irak, Iran, Pakitan dan sebagian umat muslim di India. Ini adalah tradisi memperingati kematian Husein Ibnu 'Ali oleh kaum Syiah yang dalam bentuk berbeda dilakukan di pantai barat Sumatera, a.l. Bengkulu dan Pariaman. Ritual yang dimaksudkan adalah tabuik yan juga merefleksikan unagkapan meratap dengan menyakiti diri dalam laku mati ragawi. Tulisan ini mencoba untuk merangkai benang merah yang ada sekaitan dengan peristiwa-peristiwa semirip pada wilayah di beberapa negara tersebut. Berbagai peristiwa yang terjadi di berbagai wiayah di belahan bumi ini ternyata bisa ditangkap secara simultan dalam dukungan kemajuan teknologi komunikasi. Sebut saja salah satunya dengan televisi, yaitu sebuah media massa yang sangat ampuh mempengaruhi perilaku penontonnya. Jaeni mencoba menggali permasalahan perluasan wilayah-wilayah budaya akibat tayangannya yang cukup menjangkau keluasan tertentu dalam perspektif komunikasi. Bekal penonton yang kadang belum siap dengan jejalan informasi yang, salah satunya, memamerkan berbagai gejala gaya hidup hedonis, telah menjadikan kaum muda "yang belum punya bekal" menjadi kaum pemimpi yang sakit. Dalam mencoba meraih gaya hidup "idaman" tersebut, banyak kalangan muda yang sudah tak lagi punya landasan pikir yang rasional, sehingga sangat rapuh untuk menerima berbagai bujuk rayu dari tawaran iklan yang cukup menjejali kehidupan mereka, baik di ruang keluarga maupun juga di berbagai ruang publik. Kekuatan teknologi komunikasi dan multimedia ini tak hanya merambah masalah perluasan jangkauan sasaran komunikasi semata, namun juga secara substansial telah banyak membantu penciptaan desain grafis, terutama dalam fasilitasi produk desain model pentas akustika seperti yang ditawarkan oleh Dedy Suardi dengan judulnya Mendesain Model Pentas Akustika (Perspektifis Tiga Dimensi) Lewat Komputer Grafis. Di sini penulis tidak mengaitkannya dengan perkara akar arsitektural produk local genius, namun semata-mata rancang bangunnya dibuat atas pertimbangan implementasi auditif dan yang secara visual berkesan futuristik. Demikianlah sajian jurnal kali ini dengan berbagai ragam persoalan dan kajian yang berkaitan dengan mitos, seni, dan kehidupan. Diharapkan ada sesuatu yang bisa dipetik dan memberikan inspirasi bagi kajian yang lain meski dalam topik yang sama. Di satu sisi kita mesti sering menoleh ke belakang, untuk secara arif menangkap pesan-pesan world view dari nenek moyang kita, namun di sisi lain,dalam waktu yang sama, kita juga mesti menatap ke depan, bukan sekedar untuk tidak tertabrak, namun untuk menyiasati kehidupan seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi yang secara kuat memberikan penyaranan pada sebuah gaya hidup yang baru. Di sinilah tuisan di atas diharapkan bisa bermakna.