Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH MANAJEMEN KESELAMATAN PROSES

STUDI KASUS TENTANG KECELAKAAN KERJA PADA UNIT


PENGEMASAN INDUSTRI LOGAM

Di Susun Oleh :
Yudha Afrianto (207052849)

Program Studi Keselamatan dan Kesehatan Kerja


Fakultas Vokasi
Universitas Balikpapan
2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan
hidayah-Nya sehingga aya bisa menyelasaikan makalah Manajemen Keselanatan Proses ini
tanpa hambatan.

Tidak lupa juga saya mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yan telah turut
memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini. Tentunya, tidak akan bisa maksimal
jika tidak mendapat dukungan dari beberapa pihak yaitu :

1. Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Ridha-Nya dalam penyusunan
makalah Manajemen Keselamatan Proses ini sehingga penulis bisa menyelesaikan
penyusunan makalah ini dengan lancer tanpa kendala apapun.
2. Untuk kedua orang tua saya yang selalu memberikan doa dan dukungan selama
penyusunan makalah Manajemen Kesalamatan Proses ini.
3. Teman-Teman satu kelompok saya yang telah memberikan dukungan dan ide-ide nya
4. Bapak Marulan Andivas S.T.,M.T selaku dosen pengampu mata kuliah Manajemen
Keselamatan Proses.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan saya berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktikan dalam kehidupan sehari-hari.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu
penulis sangat berterima kasih bila mendapat masukan berupa kritik dan sarang yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, penulis berharap semoga makalah
ini memberikan bagi seluruh pihak yang membutuhkan.

Balikpapan, 17 September 2023


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..........................................................................................................

KATA PENGANTAR ........................................................................................................

DAFTAR ISI ......................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................

1.1 Latar Belakang...............................................................................................................

1.2 Maksud ..........................................................................................................................

1.3 Tujuan............................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................................

BAB III PENUTUP............................................................................................................

3.1 Kesimpulan....................................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kecelakaan industri adalah kejadian kecelakaan yang terjadi di tempat kerja khususnya
di lingkungan industri. Faktor yang paling utama timbulnya kecelakaan kerja adalah faktor
peralatan teknis, lingkungan kerja, dan pekerja itu sendiri. Peralatan teknis yang kurang aman,
atau mesin-mesin yang tidak dirancangbaik untuk dilengkapi dengan alat pengamanan
secukupnya.Lingkungan kerja yang tidak mendukung dapat menurunkan tingkatkonsentrasi
pekerja terhadap tugas- tugas yang ditanganinya. Demikian pula para pekerja itu sendiri
dapatmenjadi faktor penyebab bila mereka tidak mendapat latihan yang memadai ataumereka
belum berpengalaman dalam tugasnya (Swaputri, 2009).
Secara umum, terdapat dua golongan penyebab kecelakaan yaitu (1) tindakan/
perbuatan manusia yang tidak memenuhi keselamatan (unsafe human acts) dan (2) keadaan
lingkungan yang tidak aman (unsafecondition). Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan,
faktor manusia menempati posisi yang sangat penting terhadap terjadinya kecelakaan kerja
yaitu antara 80-85% (Maurits, et al, 2008).
Laporan ILO tahun 2008 menyatakan bahwa tiap tahun diperkirakan 1.200.000 jiwa
pekerja meninggal karena kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Sementara kerugian ekonomi
akibat kecelakaan dan penyakit akibat kerja mencapai 4% dari pendapatan perkapita tiap
negara. Menurut Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, selama 2010 Jamsostek mencatat
terjadi kasus kecelakaan kerja sebanyak 98.711 kasus. Sebanyak 2.191 tenaga kerja meninggal
dunia dari kasus- kasus kecelakaan tersebut dan 6.667 orang mengalami cacat permanen.
Dalam pelaksanaan kerja di perusahaan ini, untuk meningkatkan produktivitasnya
adalah dengan menambah jam kerja dengan memberlakukan kerja bergilir (shift work). Kerja
bergilir sebagai suatu pola waktu kerja yaitu bekerja selama 24 jam terus menerus yang
diterapkan perusahaan yang akan memberikan dampak yang besar terhadap tenaga kerja dan
keluhan yang sifatnya subyektif di antaranya tidak dapat tidur siang, kelelahan, dan gangguan
kesehatan. Tenaga kerja yang bekerja dengan kerja bergilir rotasi cepat, pada akhir kerja
khususnya kerja bergilir malam diberikan paling sedikit libur 1 hari untuk memulihkan tenaga
yang terpakai (Kusumaningtyas, 2012).
Selain itu, alat-alat teknologi yang semakin canggih juga menjadi pemicu terjadinya
kecelakaan kerja karena ketidaksadaran para pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya dalam
menerapkanteknologi tersebut. Kecelakaan kerja merupakan suatu hal yang tidak terduga dan
kejadian yang tidak diinginkan yang mengganggu proses suatu kegiatan yang telah diatur.
Resiko kecelakaan dapat terjadi terutama akibat tindakan tidak aman dan kondisi tidak aman.
Untuk mengidentifikasi kecelakaan kerja digunakan teori International Loss Causation
Model (ILCI) merupakan teori penyebab kecelakaan yang dikembangkan oleh Bird dan
Germain (1992). Tahapan Teori tersebut adalah manajemen K3, penyebab dasar, penyebab
langsung, insiden, dan kerugian. Sebelum kerugian terjadi, ada rangkaian peristiwa yang terjadi
dengan suatu akar permasalahan yang diawali dengan rangkaian peristiwa yang disebut dengan
Kurangnya Kendali. Hal ini mengarah pada penyebab dasar (atau faktor pribadi) dan pada
gilirannya mengarah pada penyebab langsung yang kemudian mengarah pada suatu Insiden.
dengan penekanan pada standar kinerja, model ILCI mengambil pendekatan proaktif terhadap
pencegahan kerugian dan menyarankan bahwa kerugian disebabkan oleh kegagalan dalam
standar-standar ini.
Penelitian ini difokuskan pada pekerja di unit pengemasan; Unit pengemasan
merupakan tahap terakhir sebelum produk didistribusikan. Unit ini melaksanakan kegiatan
mengemas produk agar produknya rapi, aman dan layak untuk diedarkan. Pada unit
pengemasan ini, sebagian besar energi yang digunakan adalah tenaga manusia; Hal ini dapat
memicu kecelakaan kerja apalagi jika pekerja tersebut lalai dan tidak fokus dalam melakukan
pekerjaannya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kecelakaan kerja pada pekerja
pengemasan dengan menggunakan teori ILCI pada Industri Logam Informal.

1.2 Maksud
Untuk mengidentifikasi kecelakaan kerja sebelum kerugian terjadi, ada rangkaian
peristiwa yang terjadi dengan suatu akar permasalahan yang diawali dengan rangkaian
peristiwa yang disebut dengan Kurangnya Kendali.

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Khusus


Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kecelakaan kerja pada pekerja
pengemasan dengan menggunakan teori ILCI pada Informal Industri Logam Informal di Waru
Sidoarjo pada tahun 2019.
1.3.2 Tujuan Umum
1. Untuk mengetahui kurangnya pengendalian yang terdiri dari kebijakan K3,
pelatihan K3, dan penyediaan APD
2. Untuk memberikan wawasan kepada mahasiswa serta pekerja tentang
pentingnya K3 dalam perusahaan
3. Untuk mengetahui apa yang dipengaruhi adalah faktor manusia yang meliputi
komitmen individu, pengetahuan, dan stress kerja; faktor lingkungan kerja yang
meliputi kebisingan, pencahayaan, dan iklim kerja; dan perilaku kerja; serta
kecelakaan kerja
BAB II
PEMBAHASAN

Untuk mengidentifikasi kecelakaan kerja digunakan teori International Loss Causation


Model (ILCI) merupakan teori penyebab kecelakaan yang dikembangkan oleh Bird dan
Germain (1992). Tahapan Teori tersebut adalah manajemen K3, penyebab dasar, penyebab
langsung, insiden, dan kerugian. Sebelum kerugian terjadi, ada rangkaian peristiwa yang terjadi
dengan suatu akar permasalahan yang diawali dengan rangkaian peristiwa yang disebut dengan
Kurangnya Kendali

2.1 Hubungan antara Kurangnya Kontrol dan Komitmen Individu


Berdasarkan tabel I terdapat hubungan yang signifikan antara kebijakan K3 dengan
komitmen individu yang dibuktikan dengan p-value sebesar 0,039 dengan hubungan cukup
kuat dan arah hubungan positif. Sedangkan pelatihan K3 dan pemberian APD tidak mempunyai
hubungan dengan komitmen individu karena p-value melebihi 0,05.
Berdasarkan hasil antara Kebijakan K3 dengan Komitmen Individu terlihat terdapat
hubungan yang signifikan antara kedua variabel tersebut, dengan nilai sig sebesar 0,039. Kedua
variabel tersebut mempunyai hubungan karena kebijakan K3 akan berbanding lurus dengan
komitmen individu, apabila kebijakan K3 yang diberikan perusahaan sesuai dengan kebutuhan,
keselamatan dan harapan pekerja. Jika kebutuhan, keselamatan dan harapan pekerja terpenuhi
dalam kebijakan K3 yang diberikan perusahaan, maka komitmen individu pekerja dalam
melakukan pekerjaannya akan baik. Kebijakan K3 merupakan suatu tindakan atau keputusan
yang disepakati bersama dalam rangka mencapai apa yang ingin dilakukan perusahaan atas
dasar keselamatan dan kesehatan kerja, sedangkan komitmen individu merupakan suatu
keyakinan, kesungguhan diri dalam berbuat dan/atau untuk melaksanakan suatu pekerjaan
secara maksimal. Hal ini terbukti dengan hasil sebaran kebijakan K3 dan komitmen individu
di Industri Logam Informal dinilai cukup baik (cukup).
Berdasarkan hasil antara pelatihan K3 dengan Komitmen Individu terlihat tidak
terdapat hubungan antara kedua variabel tersebut, dimana nilai sig yang diperoleh sebesar
0,196. Pelatihan merupakan serangkaian kegiatan individu dalam meningkatkan keterampilan
dan pengetahuan secara sistematis sehingga mampu mempunyai kinerja profesional di
bidangnya. Sedangkan K3 merupakan ilmu yang mempelajari tentang keselamatan, kesehatan,
dan kesejahteraan orang-orang yang bekerja pada suatu industri. Dapat disimpulkan bahwa
pelatihan K3 merupakan kegiatan untuk meningkatkan keterampilan dan menambah
pengetahuan tentang keselamatan dan kesehatan kerja, sedangkan komitmen individu
merupakan penentuan nasib sendiri dalam bekerja. Yang dapat mempengaruhi komitmen
individu pekerja adalah faktor sosial seperti selalu berbagi ketika ada keluhan mengenai
kebijakan pendapatan dll.. Pada penelitian tersebut ditemukan bahwa pelatihan K3 bukan
merupakan faktor yang mempengaruhi komitmen individu. Hasil ini sejalan dengan hasil
penelitian yang menemukan bahwa tidak terdapat hubungan antara pelatihan K3 dengan
komitmen individu.
Tidak terdapat hubungan antara kedua faktor yaitu penyediaan APD dengan komitmen
individu, karena nilai sig melebihi nilai α yaitu 0,500. Pemberian APD yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah fasilitas yang diberikan perusahaan kepada tenaga kerja, apakah APD
yang diberikan nyaman digunakan dan sesuai dengan risiko yang ada di perusahaan. Tidak
hanya perusahaan yang wajib menyediakan alat pelindung diri, namun pekerja juga wajib
memakai alat pelindung diri yang sesuai/sesuai dengan potensi bahaya saat memasuki
lingkungan kerja. Hal ini telah diatur pemerintah dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi nomor 8 tahun 2010 tentang APD, Pasal 6 Ayat 1. Pemberian APD dan
penggunaan APD merupakan dua kalimat yang mempunyai maksud berbeda; dimana
penggunaan APD merupakan perilaku pekerja. Untuk membangun budaya kepatuhan
penggunaan APD, perusahaan perlu melibatkan tenaga pendukung dan melaksanakan pelatihan
sesuai kebutuhan, artinya komitmen atau kemauan pekerja mempengaruhi penerapan budaya
penggunaan APD di tempat kerja. Sedangkan penyediaan APD merupakan kewajiban yang
harus dilakukan perusahaan untuk menjaga kesehatan dan keselamatan pekerja; singkatnya
merupakan faktor eksternal, sedangkan komitmen individu merupakan faktor internal yang
tidak berkelanjutan atau tidak ada hubungannya dengan kebijakan fasilitas perusahaan.

Tabel I. Hubungan Kurangnya Pengendalian dan Komitmen Individu, Pengetahuan K3, dan Stress
Kerja Pekerja Bagian Pengemasan Industri Logam Informal Waru Sidoarjo Tahun 2019
Commitment

Work Stress
Knowledge
Conclusion

Conclusion

Conclusion
Individual
Control
Lack of

OHS
Correlation
Coefficient

-0.124
Not Significant

Not Significant
0.453

0.225
OHS Policy

Significant
tailed)

0.039

0.201

0.324
Sig.
(1-
Correlation
Coefficient

Not Significant

Not Significant

Not Significant
0.230

0.299

0.397
OHS Training

tailed)

0.196

0.130

0.064
Sig.
(1-
Correlation
Coefficient
Provision of PPE

Not Significant

Not Significant
0.000

0.393

0.537

Significant
tailed)

0.500

0.066

0.016
Sig.
(1-

2.2 Hubungan Kurangnya Pengendalian dengan Pengetahuan K3


Berdasarkan tabel I, kebijakan K3, pelatihan K3 dan Penyediaan APD tidak mempunyai
hubungan dengan pengetahuan K3. Hal ini ditunjukkan dengan nilai p-value ketiga variabel
yang melebihi 0,05.
Kebijakan K3 dan pengetahuan K3 tidak ada hubungannya. Hasil ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit yang mengungkapkan bahwa tidak terdapat
hubungan antara kebijakan K3 dengan pengetahuan, dengan koefisien korelasi keduanya
sebesar -0,038 dan nilai sig sebesar 0,766. Kebijakan K3 merupakan komitmen manajemen
terhadap K3 dalam bentuk nyata yang dituangkan secara tertulis yang memuat kebijakan pokok
perusahaan terkait penerapan K3 dalam organisasi. Kebijakan K3 merupakan salah satu syarat
utama dalam penerapan SMOHS. Kebijakan K3 dibuat oleh suatu industri untuk meningkatkan
pengetahuan pekerja, meskipun dalam hal ini kebijakan K3 bukan merupakan faktor
peningkatan pengetahuan pekerja di industri logam informal.
Tidak terdapat hubungan antara pelatihan K3 dengan pengetahuan K3 dengan nilai sig
yang melebihi nilai α yaitu 0,130 dan koefisien korelasi sebesar 0,299. Selanjutnya terdapat
hubungan antara pelatihan K3 dengan pengetahuan K3 di rumah sakit; hasil ini meyakini
bahwa pelatihan K3 dan pengetahuan K3 merupakan dua variabel yang berhubungan . Namun
hasil tersebut berbanding terbalik dengan penelitian terhadap pekerja Industri Logam Informal;
dimana tidak ditemukan adanya hubungan antara kedua variabel tersebut, karena dari hasil
observasi melalui angket diperoleh skor rendah dengan kategori skor tinggi.
Tidak ditemukan hubungan antara pemberian APD dengan pengetahuan K3 karena nilai
sig yang diperoleh melebihi nilai α yaitu 0,066. Pemberian APD dengan pengetahuan K3
merupakan dua hal yang berbeda, yang mana pemberian APD merupakan faktor eksternal yaitu
kebijakan yang dibuat oleh perusahaan mengenai fasilitas perusahaan, sedangkan pengetahuan
K3 merupakan faktor internal yang dimiliki oleh pekerja. Faktor yang berhubungan dengan
pengetahuan adalah usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, minat, dan pengalaman. Sedangkan
faktor yang berhubungan dengan pengetahuan adalah pendidikan, pekerjaan, pengalaman,
kepercayaan, dan sosial budaya. Tidak ada yang menjelaskan bahwa pemberian APD
merupakan faktor yang berhubungan dengan pengetahuan K3 pekerja, sehingga tidak
ditemukan hubungan antara kedua variabel tersebut.

2.3 Hubungan Kurangnya Kontrol dengan Stres Kerja


Berdasarkan tabel I terdapat hubungan yang signifikan antara penyediaan APD dengan
Stress Kerja yang dibuktikan dengan nilai p-value sebesar 0,016 dengan hubungan yang kuat
dan arah positif. Sedangkan pelatihan K3 dan kebijakan K3 tidak mempunyai hubungan dengan
stres kerja karena nilai p-value melebihi 0,05.
Tidak terdapat hubungan antara kebijakan K3 dengan stres kerja karena nilai sig yang
diperoleh melebihi nilai α yaitu 0,324. Stres kerja merupakan suatu kondisi ketegangan yang
dialami oleh pekerja sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman dalam melakukan suatu
aktivitas kerja, tentunya hal tersebut disebabkan oleh faktor-faktor di tempat kerja seperti beban
kerja yang melebihi kapasitas pekerja, lingkungan kerja, dan lain-lain. Berdasarkan observasi
melalui kuesioner pada penelitian ini, ditemukan bahwa sebagian besar pekerja menilai
kebijakan K3 yang dilakukan perusahaan cukup baik (good cukup); Sedangkan untuk stres
kerja, sebagian besar pekerja menilai stres kerja berada pada kategori tinggi dan sangat tinggi,
sehingga tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kebijakan K3 dengan stres kerja.
Berdasarkan persepsi K3 dengan stres kerja, nilai korelasi yang negatif menunjukkan bahwa
semakin positif persepsi K3 karyawan maka semakin rendah stres kerja yang dialaminya dan
sebaliknya. Namun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi pekerja terhadap
kebijakan K3 di Industri Logam Informal sudah baik, sedangkan nilai stres kerja tinggi.
Tidak ditemukan hubungan antara kedua variabel, karena nilai sig yang diperoleh
melebihi nilai α yaitu 0,064. Tujuan diadakannya pelatihan K3 di suatu perusahaan adalah
untuk meningkatkan soft skill pekerja, membuat pekerja merasa lebih nyaman dalam bekerja
karena dapat mengelola bahaya di tempat kerjanya. Sedangkan stres kerja terjadi karena faktor
internal dan eksternal, seperti lingkungan kerja, beban kerja yang berlebihan, atau masalah
pribadi. Namun pada penelitian ini pelatihan K3 tidak menjadi faktor yang berhubungan
dengan stres kerja.
Terdapat hubungan yang signifikan antara penyediaan APD dengan stres kerja dengan
nilai sig yang diperoleh sebesar 0,016. Pemberian APD merupakan suatu fasilitas yang
diberikan oleh perusahaan kepada para pekerjanya, agar mereka merasa aman dalam
melakukan pekerjaannya.

2.4 Hubungan Faktor Manusia Dengan Perilaku Kerja


Berdasarkan tabel II komitmen individu, pengetahuan K3, dan stres kerja tidak
mempunyai hubungan dengan perilaku kerja. Hal ini ditunjukkan dengan nilai p-value ketiga
variabel yang melebihi 0,05.
Tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara komitmen individu dengan perilaku
kerja karena nilai sig yang diperoleh melebihi nilai α yaitu 0,088. Komitmen individu perlu
dimiliki oleh setiap pekerja agar dapat mencapai tujuan organisasi, komitmen sangatlah penting
bagi setiap karyawan karena dengan komitmen karyawan dapat lebih bertanggung jawab
terhadap pekerjaannya dibandingkan dengan mereka yang tidak berkomitmen terhadap
pekerjaannya. Pekerja yang memiliki komitmen biasanya akan bekerja secara maksimal
sehingga dapat mencurahkan perhatian, pikiran, tenaga dan waktunya pada pekerjaannya,
sehingga apa yang dilakukannya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh perusahaan. Namun
dalam penelitian ini komitmen bukan merupakan faktor yang berhubungan dengan perilaku
pekerja. Adapun perilaku kerja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pekerja yang
menaati peraturan yang berlaku di perusahaan serta menjaga dan menggunakan APD yang
tersedia di perusahaan. Tercatat 7 pekerja menyatakan bekerja dengan perilaku tidak aman dan
9 pekerja menyatakan bekerja dengan perilaku aman, sedangkan pada komitmen individu
sebagian besar pekerja berkategori cukup baik (cukup baik).
Tidak terdapat hubungan antara pengetahuan K3 dengan perilaku kerja dikarenakan
nilai sig yang diperoleh melebihi nilai α yaitu 0,457. Setiap pekerja didorong untuk mengetahui
pengetahuan K3 guna mengelola bahaya di tempat kerja. Dengan demikian pengetahuan ini
dapat menciptakan budaya perilaku kerja aman. Terdapat hubungan yang signifikan antara
pengetahuan dengan penerapan budaya K3. Terdapat hubungan negatif dan signifikan antara
pengetahuan K3 dengan perilaku tidak aman pada pekerja konstruksi di Instansi X, Tegal.
Namun pada penelitian yang dilakukan pada Industri Logam Informal ini tidak ditemukan
adanya hubungan antara kedua variabel tersebut.
Tidak terdapat hubungan antara Stres Kerja dengan Perilaku Kerja dikarenakan nilai
sig yang diperoleh melebihi nilai α yaitu 0,198. Perilaku kerja aman dan tidak aman
dipengaruhi oleh lingkungan kerja dan kemampuan pekerja dalam mengelola risiko. Jika
pekerja mengalami stres, maka bisa saja mereka mengalami kecelakaan kerja karena kurang
fokus dalam bekerja. Terdapat hubungan antara stres kerja dengan perilaku kerja karena nilai
sig yang diperoleh kurang dari 0,05. Sedangkan pada penelitian Poernomo tahun 2005 tidak
ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara stres kerja dengan perilaku kerja pada PT.
Halim Jaya Sakti.

Tabel II. Hubungan Faktor Manusia Dengan Perilaku Kerja, Iklim Kerja, Kebisingan Kerja Yang
Dialami, Penerangan Tempat Kerja Yang Dialami Pekerja Pada Unit Pengemasan Industri Logam
Informal Waru Sidoarjo Tahun 2019
Work Noice
Conclusion

Conclusion

Conclusion

Conclusion
Workplace
Behaviour

Lighting
Climate
Human
Factors

Work

Work
Correlation
Coefficient

Not Significant

Not Significant

Not Significant

Not Significant
0.356

0.000

0.000

0.000
Comitment
Individual

tailed)

0.088

0.500

0.500

0.500
Sig.
(1-
Correlation
Coefficient
OHS Knowledge

0.029

0.287

0.203

0.272
Not Significant

Not Significant

Not Significant

Not Significant
tailed)

0.457

0.141

0.226

0.154
Sig.
(1-
Correlation
Coefficient

Significant

Significant

Significant

Significant
Stress

0.228

0.200

0.447

0.067
Work

Not

Not

Not
tailed)

0.198

0.229

0.041

0.403
Sig.
(1-

2.5 Hubungan Faktor Manusia dengan Iklim Kerja


Berdasarkan tabel II variabel komitmen individu, pengetahuan K3, dan stres kerja tidak
mempunyai hubungan dengan iklim kerja. Hal ini ditunjukkan dengan nilai p-value ketiga
variabel yang melebihi 0,05.
Tidak terdapat hubungan antara komitmen individu dengan iklim kerja dengan nilai sig
sebesar 0,500. Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER
13/MEN/X/2011, iklim kerja merupakan hasil perpaduan antara suhu, kelembaban, kecepatan
udara dan panas radiasi dengan tingkat pembuangan panas dari tubuh pekerja. sebagai hasil
pekerjaan mereka. Iklim kerja yang menimbulkan ketidaknyamanan pada pekerja akan
menurunkan produktivitas pada saat bekerja. Berdasarkan penelitian terdapat hubungan antara
komitmen karir individu dengan iklim kerja karena iklim kerja merupakan variabel paling
rendah yang berpengaruh langsung terhadap komitmen karir. Pada penelitian ini nilai yang
dihasilkan dari hasil observasi menggunakan kuesioner didapatkan bahwa sebagian besar
responden berkategori tidak terganggu dengan iklim kerja, sedangkan untuk komitmen
individu sebagian besar mendapatkan nilai yang cukup terhadap pekerjaannya. Dengan
demikian, dalam penelitian ini komitmen individu tidak menjadi faktor yang berhubungan
dengan iklim kerja.
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kedua variabel, karena nilai sig sebesar
0,141. Faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan adalah umur, pendidikan, dan pekerjaan;
pekerjaan dalam hal ini adalah lingkungan kerja yang dapat menjadikan seseorang memperoleh
pengalaman dan pengetahuan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan faktor
yang berhubungan dengan iklim kerja adalah fleksibilitas, tanggung jawab, standar, upah,
kejelasan, komitmen, struktur, dukungan, dan kepemimpinan. Berdasarkan kedua penjelasan
tersebut dapat disimpulkan bahwa pengetahuan bukan merupakan faktor yang mempengaruhi
iklim kerja dan sebaliknya. Oleh karena itu pengetahuan K3 dan iklim kerja merupakan
variabel yang tidak mempunyai hubungan.
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara stres kerja dengan iklim kerja dengan
nilai sig sebesar 0,229. Apabila iklim kerja melebihi nilai NAV maka akan berdampak pada
ketidaknyamanan pekerja dalam melakukan pekerjaannya dan sebagian besar pekerja akan
mengalami stres akibat iklim kerja tersebut. Berdasarkan penelitian ini, ditemukan 15 pekerja
yang mengalami stres kerja akibat lingkungan kerja. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa
terdapat hubungan antara suhu lingkungan kerja dengan stres kerja dengan hubungan yang kuat
dan arah hubungan yang positif, sedangkan pada penelitian lain dijelaskan bahwa tidak
ditemukan adanya hubungan antara suhu panas. lingkungan kerja (iklim kerja) dan stres kerja
(p-value 0,568). Hasil ini sesuai dengan penelitian pada industri logam informal, tidak
ditemukan hubungan antara stres kerja dan iklim kerja.

2.6 Hubungan Faktor Manusia dengan Kebisingan Kerja


Berdasarkan tabel II terdapat hubungan yang signifikan antara stres kerja dengan
kebisingan kerja yang dibuktikan dengan p-value sebesar 0,041 dengan hubungan cukup kuat
dan arah hubungan positif. Sedangkan pengetahuan K3 dan komitmen individu tidak
mempunyai hubungan dengan stres kerja karena nilai p-value melebihi 0,05.
Tidak terdapat hubungan antara komitmen individu dengan kebisingan kerja dengan
nilai sig sebesar 0,500. Komitmen individu dan kebisingan kerja merupakan dua faktor yang
berbeda dan tidak memiliki kesinambungan; Komitmen individu merupakan faktor yang
berhubungan dengan individu pekerja dengan organisasi, sedangkan kebisingan kerja
merupakan faktor yang berhubungan dengan lingkungan kerja. Oleh karena itu, tidak
ditemukan hubungan antara kedua variabel tersebut.
Tidak terdapat hubungan antara pengetahuan K3 dengan kebisingan kerja karena nilai
sig sebesar 0,226. Pengetahuan merupakan faktor internal dalam diri individu pekerja;
Pengetahuan mempengaruhi keterampilan pekerja dalam bekerja, sedangkan kebisingan
merupakan faktor lingkungan dalam perusahaan. Apabila nilai ambang batas kebisingan kerja
melebihi nilai standar NAV yang telah ditentukan maka akan mempengaruhi nilai produktivitas
suatu pekerjaan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang mengungkapkan bahwa terdapat
hubungan positif antara persepsi kebisingan dengan produktivitas kerja karyawan. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat persepsi kebisingan dalam suatu pekerjaan maka
akan semakin mempengaruhi tingkat produktivitas kerja karyawan. Belum adanya penelitian
yang meneliti hubungan pengetahuan K3 dengan kebisingan kerja mendukung hasil yang
diberikan dalam penelitian ini yaitu tidak adanya hubungan antara kedua variabel tersebut.
Terdapat hubungan yang signifikan antara stres kerja dengan kebisingan kerja dengan
nilai sig sebesar 0,041. Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor per-
51/MEN/1999, masyarakat merasa nyaman saat bekerja jika nilai ambang batas kebisingan di
lingkungan kerja kurang dari 85 dB yang berarti jika nilai ambang batas melebihi nilai NAV
yang telah ditentukan. hal tersebut akan mempengaruhi aspek kesehatan pekerja di lingkungan
kerja (26). Berdasarkan penelitian ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara paparan
kebisingan dengan stres kerja pada ground handling porter di Kokapura Ahmad Yani. Hasil
tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini, dimana hasil yang diperoleh dari observasi melalui
kuesioner diketahui bahwa 12 responden pada penelitian ini mengeluh terganggu dengan
kebisingan di lingkungan kerja dan 15 responden pada penelitian ini dilaporkan mengalami
stres. dalam kategori tinggi karena lingkungan kerja.

2.7 Hubungan Faktor Manusia dengan Pencahayaan Tempat Kerja


Berdasarkan tabel II variabel komitmen individu, pengetahuan K3, dan stres kerja tidak
mempunyai hubungan dengan pencahayaan tempat kerja. Hal ini ditunjukkan dengan nilai p-
value ketiga variabel yang melebihi 0,05.
Tidak terdapat hubungan antara komitmen individu dengan pencahayaan tempat kerja
karena nilai sig yang diperoleh sebesar 0,500. Salah satu faktor yang dapat mengganggu
pekerjaan adalah pencahayaan. Setiap ruang kerja pasti membutuhkan pencahayaan, baik itu
pencahayaan alami maupun tidak. Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan karena
sebanyak 15 responden pekerja menyatakan tidak terganggu dengan adanya penerangan di
tempat kerjanya; dan sebagian besar pekerja berkategori cukup baik dalam hal komitmen kerja.
Kedua variabel tersebut bukan merupakan faktor yang mempengaruhi, dan belum ada ahli yang
menyatakan bahwa komitmen individu berhubungan dengan pencahayaan tempat kerja.
Tidak ditemukan hubungan antara pengetahuan K3 dengan pencahayaan di tempat kerja
dengan nilai sig sebesar 0,154. Jika organisasi perusahaan memahami pengetahuan K3 maka
mereka juga akan memahami bahwa terdapat faktor-faktor yang dapat menyebabkan
munculnya suatu risiko, salah satunya adalah faktor pencahayaan. Berdasarkan data Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, terdapat 114.148 kecelakaan kerja pada tahun
2018. Sedangkan pada tahun 2019 tercatat 77.295 kasus akibat kondisi tidak aman dan tindakan
tidak aman. Salah satu faktor yang mempengaruhi pencahayaan tempat kerja adalah desain
tempat kerja apakah mendukung cahaya alami atau tidak. Dari hasil penelusuran literatur,
belum ada penelitian yang membahas hubungan kedua variabel tersebut sehingga tidak
ditemukan hubungan antara pengetahuan K3 dengan pencahayaan di tempat kerja.
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara stres kerja dengan pencahayaan di
tempat kerja dengan nilai sig sebesar 0,403. Penjelasan bahwa lingkungan kerja fisik (X1)
secara parsial berpengaruh terhadap stres kerja (Y) pada pegawai PT PLN (Persero) Distribusi
Wilayah Pelayanan Malang Jawa Timur. Hal ini ditunjukkan dengan pencahayaan, kebersihan,
dan kerapian yang berada dalam kondisi baik sehingga mengurangi stres kerja. Apabila
lingkungan kerja dirancang dengan baik maka akan mempengaruhi kondisi psikologis pekerja
dalam melakukan pekerjaannya. Adanya hubungan antara kondisi pencahayaan tempat kerja
dengan stres kerja pada karyawan PT Tofico dimana jumlah pekerja yang mengalami stres kerja
lebih tinggi pada kondisi pencahayaan tidak normal, hal sebaliknya ditemukan pada penelitian
ini pada Industri Logam Informal dimana pekerjanya sebagian besar mengalami stres kerja
dalam kategori tinggi, namun dari segi pencahayaan di tempat kerja sebagian besar merasa
tidak terganggu dengan demikian, tidak ada hubungan yang signifikan antara stres kerja dan
pencahayaan di tempat kerja.

2.8 Hubungan Perilaku Kerja dengan Kecelakaan Kerja


Berdasarkan tabel III dijelaskan bahwa perilaku pekerja tidak ada hubungan dengan
kejadian kecelakaan kerja, hal ini dibuktikan dengan p-value yang melebihi α = 0,05 dan
menunjukkan hubungan negatif.
Tidak terdapat hubungan antara perilaku kerja dengan kejadian kecelakaan kerja
dengan nilai sig sebesar 0,208. Hasil penelitian ini mencatat 12 orang pekerja tidak pernah
mengalami kecelakaan kerja, 7 orang pekerja tergolong dalam perilaku kerja tidak aman dan 9
orang pekerja tergolong dalam perilaku kerja aman yang sesuai dengan prosedur perusahaan
yang berlaku. Pada penelitian di PT. Tropica Cocoprima, ditemukan bahwa tidak ada hubungan
antara perilaku kerja tidak aman dengan kecelakaan kerja di PT. Tropica Cocoprima, di Lelema,
Minahasa Selatan. Pada penelitian yang dilakukan pada Industri Logam Informal ini tidak
ditemukan adanya hubungan antara perilaku kerja dengan kejadian kecelakaan kerja. Hal ini
dikarenakan semakin tinggi angka kecelakaan pada suatu perusahaan maka akan semakin
tinggi pula angka perilaku kerja tidak aman pada perusahaan tersebut.

Tabel III. Hubungan Perilaku Kerja Dengan Kecelakaan Kerja Pada Pekerja Pada Unit
Pengemasan Industri Logam Informal Waru Sidoarjo Tahun 2019

Work Accident Conclusion

Correlation
-0.218
Coefficient
Work
Not Significant
Behavior
Sig. (1-
0.208
tailed)
2.9 Hubungan Lingkungan Kerja dengan Kecelakaan Kerja
Berdasarkan tabel IV variabel iklim kerja, kebisingan kerja dan pencahayaan tempat
kerja tidak mempunyai hubungan dengan kejadian kecelakaan kerja. Hal ini ditunjukkan
dengan nilai p-value ketiga variabel yang melebihi nilai α = 0,05.
Tidak ditemukan hubungan antara iklim kerja dengan kejadian kecelakaan kerja pada
Industri Informal Logam dengan nilai sig sebesar 0,291. Iklim kerja yang tidak nyaman di
lingkungan kerja akan mempengaruhi tingkat kapasitas dan produktivitas pekerja dalam
melakukan pekerjaannya. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kecelakaan kerja
adalah adanya kondisi tidak aman dan tindakan tidak aman di lingkungan kerja. Pada penelitian
pada unit produksi PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk., di Bati-bati ditemukan adanya hubungan
yang signifikan antara iklim kerja dengan kecelakaan kerja. Hal ini disebabkan iklim kerja pada
unit produksi PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk., di Bati-bati telah melebihi nilai NAV dan telah
terjadi kecelakaan di tempat tersebut. Namun pada penelitian yang dilakukan pada Industri
Logam Informal ini tidak ditemukan adanya hubungan karena sebanyak 10 orang pekerja
merasa tidak terganggu dengan iklim kerja dan sebagian besar pekerja tidak pernah mengalami
kecelakaan kerja.
Tidak ada hubungan antara kebisingan kerja dengan kejadian kecelakaan kerja pada
Industri Logam Informal karena nilai sig yang diperoleh sebesar 0,104; hal ini dikarenakan
banyaknya responden yang mengalami kecelakaan kerja berbanding terbalik dengan
banyaknya responden yang merasa terganggu dengan kebisingan kerja yaitu sebanyak 12 orang
pekerja belum pernah mengalami kecelakaan kerja dan juga 12 orang pekerja merasa terganggu
dengan kebisingan di tempat kerja, sedangkan hasil yang diperoleh adalah penelitian pada
pengrajin gong di Tihingan Klungkung berbanding terbalik dengan penelitian ini, didapatkan
adanya hubungan antara kebisingan dengan kecelakaan kerja dengan nilai p-value 0,010 < a
(0,05) dan nilai CC sebesar 0,297 yang berarti bahwa kedua variabel mempunyai hubungan
yang rendah.
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pencahayaan di tempat kerja dengan
kejadian kecelakaan kerja dengan nilai sig sebesar 0,291. Dari hasil observasi melalui kuisioner
diketahui bahwa 15 pekerja tidak terganggu dengan pencahayaan di tempat kerja. Apabila
pencahayaan tidak mengganggu proses kerja maka tidak mempengaruhi produktivitas pekerja.
Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dicatat dengan uji Chi-Square, hasil uji statistik pada
penelitian ini diperoleh p-value = 0,398 > 0,05 sehingga disimpulkan tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara pencahayaan dengan kecelakaan kerja pada pekerja. Pembangunan
Gedung Perumahan Citra Land Bagya City Medan Tahun 2019.
Tabel IV. Hubungan Lingkungan Kerja Dengan Kejadian Kecelakaan Kerja Pada Pekerja Pada
Unit Pengemasan Industri Logam Informal Waru Sidoarjo Tahun 2019

Working Environment Work Accident Conclusion

Correlation Coefficient -0.149


Work Climate Not
Sig. (1-tailed) 0.291

Correlation Coefficient 0.333


Work Noise Not
Sig. (1-tailed) 0.104

Correlation Coefficient -0.149


Workplace Lighting Not
Sig. (1-tailed) 0.291
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa hanya 3 variabel yang mempunyai
hubungan yaitu antara kebijakan K3 dengan komitmen individu, penyediaan APD dengan stres
kerja, dan stres kerja dengan kebisingan kerja. Sedangkan untuk variabel lainnya tidak
ditemukan hubungan yang signifikan. Akibat yang dapat menyebabkan tidak adanya hubungan
adalah: nilai uji yang melebihi p-value (0,05) dan hasil observasi yang berbanding lurus antara
kedua variabel yang diukur sehingga tidak ada hubungan antara kedua variabel tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Republik Indonesia. (2012). Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Sistem Keselamatan dan Kesehatan Kerja
2. Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
3. Republik Indonesia. (1970). Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja
4. Denny, H.M., Jayanti, S., Setyaningsih, Y., Umamah, A., & Pigoramdhani, A.P. (2016).
Pendirian Pos Upaya Kesehatan Kerja pada Industri Kecil Pembuatan Alat Hiusehold
di Dusun Bugangan Kota Semarang. KESMAS , 10, 45-48.
5. Kementerian Kesehatan Indonesia. (2015). Peraturan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 100 Tahun 2015 tentang 318. Posko Upaya Kesehatan Kerja Terpadu
6. Khairunnisa, A. (2015). Hubungan Kepuasan Kerja Karyawan dengan Komitmen dan
Turnover Intention terhadap Perusahaan.
7. Sopiah, (2008). Perilaku Organisasi, Yogyakarta: C.V Andi Offset
8. Andriyanto, M.R. (2017). Hubungan antara Faktor Predisposisi dan Perilaku. ijosh,
v6i1, 37-47.
9. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. (2010). Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 8 Tahun 2010 tentang Alat Pelindung Diri
10. Alayyannur, PA (2018). Hubungan Komitmen Manajemen dan Pelatihan Keselamatan
dan Kesehatan Kerja dengan Pengetahuan di Rumah Sakit “X”. Jurnal Kebersihan
Industri dan Kesehatan Kerja, Vol. 2, 102-111.
11. Ramli, Soehatman. (2013). Smart Safety, Buku Pedoman Penerapan SMK3 yang
Efektif. PT. Dian Rakyat, Jakarta
12. Mubarak, WI (2007). Promosi kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
13. Notoatmodjo, S. (2010). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
14. Rahmadyrza, M.I., Ningsih, D.S., & Pramadewi, A. (2015). Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Timbulnya Stres Kerja Perawat Di Ruang Dalam Cendrawasih. Jom
FEKON , Jil. 2.
15. Rahayu, EP (2015). Hubungan Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Pegawai dengan
Penerapan Manajemen Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jurnal Kesehatan
Komunitas , Vol. 2, 289-293.
16. Pratiwi, A., Sukmandari, EA, & Rakhmadi, T. (2019). Hubungan Pengalaman Kerja,
Pengetahuan K3, dan Perilaku K3 terhadap Perilaku Tidak Aman pada Pekerja
Konstruksi di Instansi X. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kesehatan , Vo. 10.
17. Iswanto, S., & Purwanti, O.S. (2008). Hubungan Stres Kerja dengan Perilaku
Pengobatan di Ruang Al-Qomar dan Asy-Syam RS Islam. Berita Ilmu Keperawatan ,
Vol.1, No.2.
18. Poernomo, T. (2005). Analisis Hubungan Stres Kerja Dengan Perilaku Karyawan
Wanita PT. Halim Jaya Sakti.
19. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. (2011). Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor PER. 13/MEN/X/2011 Tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas
Faktor Fisika dan Kimia di Tempat Kerja. Jakarta; Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi RI.
20. Salindeho, CL (2016). Analisis Pengaruh Iklim Kerja dan Pengembangan Karir
terhadap Kepuasan Kerja sebagai Variabel Intervening. Jurnal Riset Bisnis dan
Manajemen , Vol 4 ,No.3, 303-318
21. Rahayu, Kurnia, Siti (2010). “Konsep dan Aspek Formal” Pajak Indonesia. Graha Ilmu,
Yogyakarta
22. Agustini, Fauziah. (2010). Manajemen Sumber Daya Manusia Tingkat Lanjut. Medan.
Mandenatera.
23. Lukas, L., Suoth, LF, & Wowor, R. (2018). Hubungan Suhu Lingkungan Kerja dan Jam
Kerja dengan Stres Kerja di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Unit Manado, Proyek
Universitas Sam Ratulangi. Jurnal KESMAS , Volume 7 Nomor 4.
24. Sulistiyani, E. (2013). Hubungan Lingkungan Kerja Panas (Iklim Kerja) dan Beban
Fisik Kerja dengan Peristiwa Stres Kerja Pada Pekerja Konstruksi PT. PP Persero,Tbk
(Proyek Pembangunan Kondotel dan Apartemen Kota Mataram Yogyakarta). Tesis
Sarjana Universitas Diponegoro .
25. Setiawan, F. (2015). Hubungan Persepsi Kebisingan dengan Produktivitas Kerja
Karyawan. Tesis Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang.
26. Menteri Tenaga Kerja. (1999). Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor: KEP –
51/MEN/1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisik di Tempat Kerja, Menteri
Tenaga Kerja.
27. Apladika, Denny, H.M., & Wahyuni, I. (2016). Hubungan Paparan Stres Kerja Pada
Ground Handling Porter Di Kokapura Ahmad Yani Semarang. Jurnal Kesehatan
Masyarakat , Vol. 4 Nomor 4, 630-636.
28. Rizki, M., Hamid, D., & Mayowan, Y. (2016). Pengaruh Lingkungan Kerja Terhadap
Stres Kerja Karyawan (Studi Pada Karyawan PT PLN (Persero) Distribusi Wilayah
Pelayanan Malang Jawa Timur). Jurnal Administrasi Bisnis , Vol. 41 No.1 , 9-15.
29. Wandani, DT, Sabilu, Y., & Munandar, S. (2017). Hubungan Pencahayaan, Kebisingan,
Suhu Dengan Stres Kerja Pada Karyawan PT. Pelabuhan Perikanan Samudera Tofico
(Pelabuhan Perikanan Samudera/ Pps) tahun 2016. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan
Masyarakat, Vol. 2/No.6, 1-9.
30. Lombogia, O., Kawatu, PA, & Sumampouw, OJ (2018). Hubungan Perilaku Tidak
Aman Pekerja dengan Kecelakaan Kerja di PT. Tropica Cocoprima Desa Lelema
Selatan Kabupaten Minahasa. Jurnal KESMAS , Vol. 7 No. 5.
31. Inayah, A., Zubaidah, T., & Maharso. (2016). Hubungan Iklim Kerja dengan
Kecelakaan Kerja di PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk Bati-Bati Kalimantan Selatan.
Jurnal Kesehatan Lingkungan , Vol. 13 Nomor 2, 355-360.
32. Juliana, Purna, I.N., & Aryana3, I.K. (2018). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Kecelakaan Kerja Pada Pengrajin Gong Di Dusun Tihingan Kabupaten Klungkung
Tahun 2018. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8 No.2 , 82 - 91.
33. Silalahi, MI (2019). Hubungan antara Pencahayaan dan Housekeeping pada
Kecelakaan Kerja pada Pekerja Konstruksi PT. Dap di Perumahan Citra Land Bagya
City Medan Tahun 2019. Jurnal Mutiara Kesehatan Masyarakat , Vol. 4 (1), 45-53

Anda mungkin juga menyukai