Anda di halaman 1dari 3

ABIMANYU GUGUR

Kelompok 2 :

1) Maharga A.P.
2) M. Rizqi H.W.
3) M. Zahir Ali
4) Triyoga W.K.J.

Nggemprang Kuda Pramugari bagai lari kijang dengan meninggalkan debu mengepul diudara. Gerak lajunya bagai tak
menapak tanah. Tak lama Abimanyu sudah ada dihadapan Prabu Kresna dan Raden Trustajumna.

“Anakku yang bagus, sudah datang kiranya disini. Aku minta tenagamu kali ini, ngger !” sapa Prabu Kresna. Hatinya bergolak
antara rasa tak tega kepada sang menantu menyongsong kematian atau membiarkannya maju memperbaiki formasi baris.
Tetapi isi kitab jalan certita Baratayuda, Jitapsara di dalam ingatannya, membawanya mengatur laku apa yang seharusnya
terjadi. Isi kitab itu lebih berpengaruh dalam benaknya.

Bersembah Abimanyu kehadapan ayah mertua, juga uwaknya,

“ Sembah bektiku saya berikan keharibaan uwa prabu. Bahagia rasanya dapat terlibat dalam perkara yang sedang menggayuti
para orang tua orang tua kami”

“Baiklah, karena rusaknya barisan Hupalawiya sudah sangat parah, sekaranglah saatnya bagimu anakku, untuk membereskan
kembali barisan dan gantilah dengan tata gelar baru”. Perintah sang uwa

“Uwa prabu, saya minta gelar apapun yang hendak dibangun, perkenankan saya untuk ditempatkan pada garda depan”. Pinta
Abimanyu

“Yayi Drestajumna, apa gelar yang hendak kamu bangun?”

“Kiranya yang cocok dengan keadaan saat ini adalah Supit Urang, atas permintaan anakmas Abimanyu, kami tempatkan kamu
dalam posisi sungut !”. Demikian putusan Sang Senapati.

Segera, dengan sandi, dikumandangkan, para prajurit yang sudah kocar kacir perlahan lahan membentuk diri lagi.
Drestajumna menempati capit kiri sedangkan Gatutkaca ada pada sisi capit kanan. Arya Setyaki ada pada bagian kepala,
sedangkan pada ekor adalah Wara Srikandi.

Perlahan namun pasti, barisan Pandawa Mandalayuda dapat kembali . Amukan Abimanyu diatas punggung kuda Pramugari,
bagaikan banteng terluka. Kuda tunggangan Abimanyu yang bagai mengerti segenap kemauan penunggangnya, berkelebat
mengatasi musuh yang mengurung. Olah panah yang dimiliki penungangnya untuk menumpas musuh dari jarak jauh, dan
keris Pulanggeni untuk merobohkan musuh didekatnya tak lama membawa puluhan korban.

Haswaketu yang mencoba menandingi kesaktian Abimanyu, tewas tersambar Kyai Pulanggeni warisan sang ayah, Arjuna.

Namun, malu Wrahatbala, bila diketahui perasaanya oleh kawan maupun lawan, ia terus maju mendekati Abimanyu. Sekarang
keduanya telah berhadapan. Gerakan Wrahatbala gagap, kalah wibawa dengan Abimanyu yang masih sangat muda, tetapi
dengan gagah berani telah mampu memulihkan kekuatan barisan dan bahkan telah menewaskan ratusan prajurit dalam waktu
singkat. Tak lama ia menyusul temannya dari Kamboja terkena oleh pusaka yang sama. Tersambar Kyai Pulanggeni, raga
Wrahatbala roboh tertelungkup diatas kudanya dan tak lama jatuh bergelimpang ke tanah.

Namun bukan dari pihak Bulupitu saja yang tewas, ketika Bambang Sumitra yang maju bersama Abimanyu dengan
amukannya, terlihat oleh Adipati Karna. Niat Adipati Karna sebenarnya hanya mengusir anak Arjuna agar tidak maju terlalu
ketengah dalam pertempuran.Teriakannya untuk mengusir keponakannya tak dihiraukan, maka lepas anak panah menuju ke
kedua satria anak Arjuna. Abimanyu luput namun Sumitra terkena didadanya. Gugurlah salah satu lagi putra Arjuna.

Mahameya mendekati salah satu temannya Swarcas, membisikkan strategi bagaimana cara menjatuhkan Abimanyu.
Ditetapkan kemudian mereka berempat, Mahameya, Swarcas, Satrujaya dan Suryabasa akan maju bersama mengeroyok
Abimanyu. Tak peduli hal itu tindakan ksatria atau tidak, yang penting mereka dapat menghabisi tenaga baru yang berhasil
memukul balik kekuatan baris para Kurawa.

Licin bagai belut, Abimanyu menghindari serangan bergelombang dengan senjata ditangan masing masing lawannya. Bahkan
sesekali Abimanyu dapat mengenai pertahanan mereka satu persatu.

Kelihatanlah kekuatan masing masing pihak, tak lama kemudian.

Ketika pedang Mahameya terpental karena lengannya terpukul Abimanyu. Pada saat itulah Kyai Pulanggeni menusuk
lambungnya. Satu persatu lawan Abimanyu dapat diatasi. Kali ini Swarcas menjadi korban selanjutnya.
Gerak kordinasi antar ketiga lawan tidak lagi serempak menjadikan mereka saling serang. Swarcas terkena tombak dari
Satrujaya.

Satrujaya dan Suryabasa gemetaran, mereka tak percaya dengan apa yang barusan sudah terjadi.
“Hayuh, majulah kalian berdua, pandanglah bapa angkasa diatasmu, dan menunduklah ke ibu pertiwi, saatnya aku antarkan
kamu berdua ke Yamaniloka !”. kata kata Abimanyu

Dengan sisa keberaniannya, keduanya kembali menyerang Abimanyu dari kedua arah. Gerakannya yang semakin tak
terkendali, tanda keputus-asaan, membuat Abimanyu dengan mudah membulan-bulani mereka berdua. Tanpa membuang
waktu lagi, disudahi pertempuran itu dengan sekali ayunan Kyai Pulanggeni.

Pandita Durna sangat kagum dengan kroda prajurit muda belia itu. Dalam hatinya ia mengatakan,

“Weleh . . . . ,tidak anak, tidak bapak.! Keduanya ternyata sama saktinya. Kalau hal seperti ini dibiarkan, tak urung binasalah
barisan prajurit Kurawa. . !”.
Segera dipanggilnya Sangkuni dan Adipati Karna serta Jayadrata. Setelah mereka menghadap, Pandita Durna menguraikan
karti sampeka akal akalannya,
“Adi Sangkuni, nak angger Adipati serta Jayadrata, bila dengan cara okol kita tidak dapat mengatasi amukan Abimanyu, maka
kita harus menggunakan kekuatan akal kita. Setuju Adi Sengkuni ?”

“Eee. . . kakang Durna, kalau masalah itu jangan lagi ditanyakan ke saya. Pasti setuju!” (Sengkuni)

“Terus anak Angger Adipati, kali ini tak ada jalan lain. Bila hal ini diterus teruskan, maka akan kalah kita . Minta pendapatnya
nak angger Adipati! ” (Durna)

“Terserahlah paman pendita, kali ini aku menurut kemauanmu ! ”. Jawab Narpati Basukarna

“Nah begitulah seharusnya. Kali ini aku meminta jasamu nak angger Adipati. Anak angger yang aku pilih karena memang
seharusnya anak anggerlah yang dapat mengatasi masalah ini”. Durna mulai membuka strategi.

“Baik Paman Pendita, apa yang harus aku lakukan?” (Karna)

“Begini, Adi Sengkuni, segeralah naikkan bendera putih tanda menyerah. Kemudian Anak Angger Adipati segera mendekati
Abimanyu. Rangkul dan rayulah. Katakan kehebatannya dan pujilah ia. Selanjutnya Jayadrata, panahlah Abimanyu dari
belakang. Bila sudah terkena satu panah, tidak lama lagi pasti akan gampang langkah kita”. Pandita Durna menjelaskan
strateginya.

“Baiklah Paman Pendita, mari kita bagi bagi peran masing masing”. Adipati Awangga itu segera melangkah menjalankan
strategi yang telah dirancang.
Akal culas Pendita Durna mulai dilakukan. Kibaran bendera putih Patih Harya Suman membuat peperangan perlahan terhenti.

Kali ini giliran Adipati Karna mengambil peran, didekatinya Abimanyu:

“Berhentilah anakku bagus . .!, Kemarilah. Sungguh hebat anakku yang masih remaja sudah dapat membuat takluk barisan
Kurawa. Uwakmu sungguh ikut bangga dengan apa yang kamu perbuat . . . ” Setelah mendekat, dipeluknya Abimanyu dengan
hangat.

“Apakah sungguh begitu uwa Narpati . ! Bila memang barisan uwa sudah takluk, dan memang demikian adanya, segera
eyang Durna dibawa kemari, layaknya seorang senapati takluk terhadap lawan”. Bangga Abimanyu.

Kebanggaan itu ternyata tidak berlangsung lama, Jayadrata membidik punggung Abimanyu, seketika jatuh terduduk Abimanyu
dengan darah menyembur dari lukanya.

Tak sepenuhnya tega Adipati Karna memegangi keponakannya yang terluka, mundurlah ia menjauhi arena peperangan.
Ditemui Pandita Durna untuk diberi laporan.

“Paman Pendita, sekarang rencana paman sudah berhasil. Abimanyu terluka dipunggungnya, untuk tindakan selanjutnya, saya
tidak ikut mencampuri urusan lagi”. Tutur Adipati Karna.

Terkekeh kekeh tawa Sang Pandita mengetahui rencananya sudah berhasil. Segera Karna menjauh balik ke pesanggrahan.

Sepeninggal Adipati Karna, Durna memberi aba-aba untuk kembali menyerang. Namun Abimanyu tidaklah gentar, malah ia
semakin bergerak maju menyongsong serangan.

“Heh para Kurawa . .!, Memang dari dulu sifat culas itu tidak akan pernah hilang. Akan aku kubur sifat culas kalian, sekalian
dengan yang raga menyandangnya. Hayo majulah kalian bersama-sama. Tak akan mundur walau setapakpun walau
Duryudana sekalipun yang maju !!”.
Walau terluka, ternyata Abimanyu masih segar bugar. Suaranya masih lantang dan berdirinya masih tetap tegar.

Melihat lawannya terkena panah yang masih menancap di punggungnya, aba aba keroyok bersahut sahutan. Dalam waktu
singkat, segala macam senjata menancap ditubuh satria muda itu.
Namun hebatnya satria muda yang terluka parah ini masih maju dengan amukannya.

Dilain pihak, dalam pikiran Abimanyu teringat akan sumpahnya kala menghindar dari pertanyaan istri pertamanya, Retna Siti
Sundari, ketika curiga bahwa sang suami sudah beristri lagi. Sumpah yang diiringi gemuruh petir, bahwa bila ia berlaku
poligami, maka bolehlah orang senegara meranjap tubuhnya dengan senjata apapun.

Abimanyu yang melihat kedatangan Lesmana Mandrakumara mendapat ide, tidak dapat membunuh Duryudana-pun tak apa,
bila putra mahkota terbunuh, maka akan hancur juga masa depan uwaknya itu. Makin dekat langkah Sarjakusuma yang ingin
segera menamatkan penderitaan sepupunya. Tapi malang tak dapat ditolak, dengan tenaga terakhir , sang prajurit muda masih
mampu menusukkan Kyai Pulanggeni ke dada tembus ke jantung putra mahkota Astina, tak ayal lagi tewaslah Lesmana
Mandrakumara, berbarengan dengan senyum terakhir dibibir prajurit muda gagah berani itu. Abimanyu telah tunai melunasi
janjinya.

Kembali suasana menjadi gempar. Gugurnya kedua satria muda dengan beda karakter bumi dan langit membuat perang
berhenti. Kedua pihak bagai dikomando segera menyingkirkan pahlawan mereka masing masing.
Syahdan, Retna Siti Sundari yang hanya diiring oleh abdi emban menyusul ke peperangan, telah sampai pada saat yang
hampir bersamaan dengan gugurnya sang suami tercinta. Oleh istri tuanya, Utari tidak diperkenankan pergi bersamanya ,
sebab dalam kandungan tuanya terkadang terasa ada pemberontakan didalam.
Ketika terdengar teriakan gemuruh menyatakan Abimanyu telah gugur, jantung wanita muda ini makin berdegup kencang. Ia
segera berlari ketengah palagan tanpa menghiraukan bahaya yang ada. Sesampai di hadapan jenasah suaminya yang
tetancap ratusan anak panah. Tidak terbayang sebelumnya akan keadaannya yang begitu mengenaskan, Siti Sundari lemas
dan kemudian tak sadarkan diri. Suasana kesedihan bertambah mencekam dengan pingsannya sang istri prajurit muda itu.

Sebentar kemudian, setelah siuman, Retna Siti Sundari yang telah sadar apa yang terjadi di sekelilingnya segera menghunus
patrem, keris kecil yang terselip dipinggangnya. Dihujamkan senjata itu ke ulu hati. Segera arwah sang prajurit muda,
Abimanyu, menggandeng tangan sukma istrinya, mengajaknya meniti tangga tangga kesucian abadi menuju swargaloka. Raga
sepasang suami istri muda belia tergolek berdampingan. Mereka telah kembali ke pangkuan ibu pertiwi.

Anda mungkin juga menyukai