Anda di halaman 1dari 146

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI TERJADINYA

PENYAKIT SIFILIS PADA LAKI-LAKI USIA PRODUKTIF


DI PUSKESMAS TELADAN MEDAN PERIODE
JANUARI - SEPTEMBER 2019

TESIS

Oleh

LIANA ROSA
NIM. 157032080

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021

Universitas Sumatera Utara


FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI TERJADINYA
PENYAKIT SIFILIS PADA LAKI-LAKI USIA PRODUKTIF
DI PUSKESMAS TELADAN MEDAN PERIODE
JANUARI - SEPTEMBER 2019

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat


untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan Masyarakat
dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Peminatan Kesehatan Reproduksi
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

LIANA ROSA
NIM. 157032080

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Telah diuji dan dipertahankan

Pada tanggal: 30 Januari 2020

TIM PENGUJI TESIS

Ketua : dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D.


Anggota : 1. Prof. Drs. Heru Santosa, M.S., Ph.D.
2. dr. Fazidah Aguslina Siregar, M.Kes, Ph.D.
3. Dr. Asfriyati, S.K.M, M.Kes.

Universitas Sumatera Utara


Pernyataan Keaslian Tesis

Saya menyatakan dengan ini bahwa tesis saya yang berjudul “Faktor-

Faktor yang Memengaruhi Terjadinya Penyakit Sifilis pada Laki-Laki Usia

Produktif di Puskesmas Teladan Medan Periode Januari -September 2019”

beserta seluruh isinya adalah benar karya saya sendiri dan saya tidak melakukan

penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika

keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan kecuali yang secara tertulis

diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Atas pernyataan ini,

saya siap menanggung risiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila

kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya

saya ini, atau klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Medan, Januari 2020

Liana Rosa

i
Universitas Sumatera Utara
Abstrak

Hampir 500 juta kasus baru infeksi menular seksual di seluruh dunia setiap tahun,
dan sepertiganya adalah sifilis. Sifilis sering terjadi di negara berkembang dengan
prevalensi mencapai 25 persen. Laki-laki usia produktif (25-49 tahun) merupakan
kelompok risiko tinggi tertular sifilis karena aktivitas seksualnya. Tujuan
penelitian ini untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya
infeksi penyakit sifilis pada laki-laki usia produktif. Penelitian ini adalah
penelitian studi analitik observasional dengan desain case control. Penelitian
dilakukan di Puskesmas Teladan Medan. Populasi penelitian yaitu seluruh
pengunjung klinik VCT periode Januari 2019-September 2019. Jumlah sampel
kasus sebanyak 59 orang, dan sampel kontrol sebanyak 59. Analisis data
menggunakan analisis univariat, analisis bivariat dengan chi-square, dan analisis
multivariat dengan menggunakan uji regresi logistik berganda. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi terjadinya sifilis yaitu riwayat
sifilis (p=0,013), penggunaan kondom (p=0,012), dan jumlah pasangan seksual
(p=0,003), sedangkan variabel pendidikan (p=0,222), penggunaan napza suntik
(p=0,585) dan jenis kelamin pasangan (p=0,202) tidak berpengaruh. Variabel
yang paling dominan memengaruhi terjadinya penyakit sifilis pada laki-laki usia
produktif (25-49 tahun) di Puskesmas Teladan Medan yaitu riwayat sifilis/IMS.
Laki-laki usia produktif yang memiliki riwayat sifilis/IMS, berpeluang mengalami
terjadinya penyakit sifilis sebesar 15,6 kali lebih tinggi dibanding laki-laki yang
tidak ada riwayat sifilis/IMS. Disarankan kepada Puskesmas Teladan Medan
untuk memberikan pendidikan kesehatan melalui penyuluhan tentang penyakit
sifilis dan cara-cara melakukan pencegahannya.

Kata kunci: Sifilis, laki-laki, usia produktif

ii
Universitas Sumatera Utara
Abstract

Nearly 500 million new cases of sexually transmitted infections worldwide each
year, and one third of them are syphilis. Syphilis often occurs in developing
countries with a prevalence of up to 25 percent. A productive-aged man (25-49
years) has high risk of being infected due to his sexual activity. The objective of
the research was to analyze some factors which influence the incidence of syphilis
in productive-aged man. The research used observational analytic method with
case control design. It was done at the Teladan Health Center. The population
was all visitors to VCT Clinic in the periode January-September, 2019, and the
samples were 59 respondents in the case group and the other 59 respondents were
in the control group. The data were analyzed by using univariate analysis,
bivariate analysis with chi-square test, and multivariate analysis with multiple
logistic regression analysis. The results of the research showed were that history
of syphilis (p = 0.013), the use of condoms (p = 0.012), and the number of sexual
mates (p = 0.003), had the influence on the incidence of syphilis while the
variables of education (p = 0.222), the use of Napza injection (p = 0.585) and the
gender of mates (p=0.202) did not. The variable whit the most dominant
influence on the incidence of syphilis in productive-aged men at Teladan Health
Center was the history of syphilis / STI. Productive-aged men who had the history
of syphilis would have the possibility of 15,6 times of being infected compared
with those who did not have the history of syphilis/IMS. It is recommended that
the Teladan Health Center management provide health education through
counseling about syphilis and about how to prevent it.

Keywords: Syphilis, men, productive-aged

iii

Universitas Sumatera Utara


Kata Pengantar

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas

berkat dan rahmat serta pertolonganNya yang berlimpah sehingga saya dapat

menyelesaikan Tesis ini dengan judul: “Faktor-Faktor yang Memengaruhi

Terjadinya Penyakit Sifilis pada Laki-Laki Usia Produktif di Puskesmas

Teladan Medan Periode Januari - September 2019.”

Penulis menyadari penulisan ini tidak dapat terlaksana tanpa bantuan dan

kerja sama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis

menyampaikan banyak terima kasih yang tidak terhingga kepada Pembimbing

yaitu: dr. Rahayu Lubis, M.Kes., Ph.D., selaku Ketua Komisi Pembimbing Prof.

Drs. Heru Santosa, M.S., Ph.D., selaku Pembimbing Kedua, yang penuh

perhatian, kesabaran dan ketelitian dalam memberikan bimbingan, arahan,

petunjuk, hingga selesainya penulisan Tesis ini, kemudian penulis mengucapkan

terima kasih kepada :

1. Dr. Muryanto Amin, S.Sos, M.Si., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si., selaku Dekan Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara

3. Ir. Etti Sudaryati, M.K.M., Ph.D., selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Destanul Aulia, S.K.M., M.B.A., M.Ec., Ph.D., selaku Sekretaris Program

Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

iv
Universitas Sumatera Utara
5. dr. Fazidah Aguslina Siregar, M.Kes., Ph.D. dan Dr. Asfriyati, S.K.M.,

M.Kes., selaku Tim Pembanding yang telah bersedia menguji dan

memberikan masukan guna penyempurnaan tesis ini.

6. Seluruh staf pengajar Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang

sangat bermanfaat selama penulis mengikuti pendidikan.

7. Teristimewa untuk orang tua, suami dan anak-anak tercinta yang penuh

kesabaran, pengorbanan dan do‟a serta cinta yang dalam setia menunggu,

memotivasi dan memberikan dukungan moril agar bisa menyelesaikan

pendidikan ini.

8. Seluruh keluarga atas segala do‟a dan dukungan, dan motivasi bagi penulis

dalam menyelesaikan tesis ini.

9. Seluruh teman-teman mahasiswa Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas

Sumatera Utara khususnya peminatan Kesehatan Reproduksi yang telah

menyumbangkan masukan dan saran serta kritikan untuk kesempurnaan tesis

ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat kekurangan, untuk itu

kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan. Akhirnya penulis

berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Medan, Januari 2020

Liana Rosa

Universitas Sumatera Utara


Daftar Isi

Halaman

Halaman Persetujuan i
Halaman Penetapan Tim Penguji iii
Halaman Pernyataan Keaslian Tesis iv
Abstrak v
Abstract vi
Kata Pengantar vii
Daftar Isi ix
Daftar Tabel xii
Daftar Gambar xiv
Daftar Lampiran xv
Daftar Istilah xvi
Riwayat Hidup xvii

Pendahuluan 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 10
Tujuan Penelitian 11
Manfaat Penelitian 11

Tinjauan Pustaka 12
Sifilis 12
Pengertian sifilis 12
Sejarah sifilis 14
Etiologi sifilis 15
Epidemiologi sifilis 16
Cara penularan sifilis 18
Klasifikasi sifilis 21
Tanda dan gejala sifilis 21
Tahap inkubasi sifilis 26
Diagnosa sifilis 29
Sifilis pada kehamilan 29
Sifilis pada HIV 30
Pencegahan sifilis 31
Tatalaksana pengobatan sifilis 35
Usia Produktif 37
Faktor-faktor yang Memengaruhi Penyakit Sifilis 38
Umur 38
Tingkat pendidikan 39
Riwayat sifilis/infeksi menular seksual 40
Penggunaan kondom 41
Penggunaan napza suntik 43

vi
Universitas Sumatera Utara
Jumlah mitra pasangan seksual 44
Jenis kelamin mitra/pasangan seksual 45
Landasan Teori 46
Kerangka Konsep 48
Hipotesis Penelitian 48

Metode Penelitian 50
Jenis Penelitian 50
Lokasi dan Waktu Penelitian 51
Lokasi penelitian 51
Waktu penelitian 51
Populasi dan Sampel 51
Populasi penelitian 51
Sampel penelitian 51
Metode Pengumpulan Data 52
Data primer 52
Data sekunder 52
Variabel dan Definisi Operasional 53
Variabel penelitian 53
Definisi operasional 53
Metode Pengukuran 54
Metode Analisis Data 57
Pengolahan data 57
Analisis data 57

Hasil Penelitian 60
Gambaran Umum Lokasi Penelitian 60
Analisis Univariat 63
Umur 63
Pendidikan 64
Riwayat sifilis pada kelompok kasus dan kelompok kontrol 64
Penggunaan kondom pada kelompok kasus dan kelompok kontrol 65
Penggunaan napza suntik pada kelompok kasus dan kelompok
kontrol 66
Jumlah pasangan seksual pada kelompok kasus dan kelompok
kontrol 66
Jenis kelamin pada kelompok kasus dan kelompok kontrol 67
Analisis Bivariat 68
Pengaruh umur terhadap terjadinya penyakit sifilis pada laki-laki
usia produktif 68
Pengaruh pendidikan terhadap terjadinya penyakit sifilis pada
laki-laki usia produktif 69
Pengaruh riwayat sifilis/IMS terhadap terjadinya penyakit sifilis
pada laki-laki usia produktif 70
Pengaruh penggunaan kondom terhadap terjadinya penyakit sifilis
pada laki-laki usia produktif 71

vii

Universitas Sumatera Utara


Pengaruh penggunaan napza suntik terhadap terjadinya penyakit
sifilis pada laki-laki usia produktif 72
Pengaruh jumlah pasangan seksual terhadap terjadinya penyakit
sifilis pada laki-laki usia produktif 73
Pengaruh jenis kelamin terhadap terjadinya penyakit sifilis pada
laki-laki usia produktif 74
Analisis Multivariat 75

Pembahasan 78
Pengaruh Riwayat Sifilis/IMS terhadap Terjadinya Penyakit Sifilis
pada Laki-laki Usia Produktif 78
Pengaruh Penggunaan Kondom terhadap Terjadinya Penyakit Sifilis
pada Laki-laki Usia Produktif 80
Pengaruh Jumlah Pasangan Seksual terhadap Terjadinya Penyakit
Sifilis pada Laki-laki Usia Produktif 83
Implikasi Penelitian 87
Keterbatasan Penelitian 87

Kesimpulan dan Saran 89


Kesimpulan 89
Saran 90

Daftar Pustaka 92
Lampiran 98

viii
Universitas Sumatera Utara
Daftar Tabel

No Judul Halaman

1 Aspek Pengukuran Variabel Penelitian 56


2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelurahan di Wilayah Kerja
Puskesmas Teladan Medan Tahun 2018 60
3 Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Wilayah Kerja
Puskesmas Teladan Medan Tahun 2018 61
4 Sepuluh Penyakit Terbanyak yang Ada di Puskesmas Teladan
Medan 62
5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur di
Puskesmas Teladan Medan Periode Januari 2019-September
2019 (n = 118) 64
6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan di
Puskesmas Teladan Medan Periode Januari 2019-September
2019 (n = 118) 64
7 Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat Sifilis di
Puskesmas Teladan Medan Periode Januari 2019-September
2019 (n = 118) 65
8 Distribusi Responden Berdasarkan Penggunaan Kondom di
Puskesmas Teladan Medan Periode Januari 2019-September
2019 (n = 118) 65
9 Distribusi Responden Berdasarkan Penggunaan Napza Suntik
di Puskesmas Teladan Medan Periode Januari 2019-September
2019 (n = 118) 64
10 Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Pasangan Seksual di
Puskesmas Teladan Medan Periode Januari 2019-September
2019 (n = 118) 67
11 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Pasangan
Seksual di Puskesmas Teladan Medan Periode Januari 2019-
September 2019 (n = 118) 67
12 Pengaruh Umur terhadap Terjadinya Penyakit Sifilis pada
Laki-Laki Usia Produktif di Puskesmas Teladan Medan
Periode Januari 2019-September 2019 68

ix

Universitas Sumatera Utara


13 Pengaruh Pendidikan terhadap Terjadinya Penyakit Sifilis pada
Laki-Laki Usia Produktif di Puskesmas Teladan Medan
Periode Januari 2019-September 2019 69
14 Pengaruh Riwayat Sifilis/IMS terhadap Terjadinya Penyakit
Sifilis pada Laki-Laki Usia Produktif di Puskesmas Teladan
Medan Periode Januari 2019-September 2019 70
15 Pengaruh Penggunaan Kondom terhadap Terjadinya Penyakit
Sifilis pada Laki-Laki Usia Produktif di Puskesmas Teladan
Medan Periode Januari 2019-September 2019 71
16 Pengaruh Penggunaan Napza Suntik terhadap Terjadinya
Penyakit Sifilis pada Laki-Laki Usia Produktif di Puskesmas
Teladan Medan Periode Januari 2019-September 2019 72
17 Pengaruh Jumlah pasangan seksual terhadap Terjadinya
Penyakit Sifilis pada Laki-Laki Usia Produktif di Puskesmas
Teladan Medan Periode Januari 2019-September 2019 73
18 Pengaruh Jenis Kelamin Pasangan terhadap Terjadinya
Penyakit Sifilis pada Laki-Laki Usia Produktif di Puskesmas
Teladan Medan Periode Januari 2019-September 2019 74
19 Hasil Uji Regresi Logistik Ganda 76
20 Hasil Uji Regresi Logistik Berganda yang Tidak Signifikan 77

x
Universitas Sumatera Utara
Daftar Gambar

No Judul Halaman

1 Kerangka teori (dimodifikasi dari Teori Konsep Penularan Penyakit


Menular “R. Beaglehole” (Bonita, Beaglehole, & Kjellstrom, 2006) 47

2 Kerangka konsep penelitian 48

3 Desain kasus kontrol (case control) 50

xi

Universitas Sumatera Utara


Daftar Lampiran

Lampiran Judul Halaman

1 Data Kunjungan Pasien Dan Penderita Sifilis di VCT


Puskesmas Teladan Medan 98

2 Lembar Penjelasan kepada Responden 99

3 Pernyataan Persetujuan Menjadi Responden Penelitian 100

4 Kuesioner 101

5 Master Data 105

6 Output SPSS Data Penelitian 109

7 Surat-surat Izin Penelitian 125

8 Dokumentasi

xii
Universitas Sumatera Utara
Daftar Istilah

AIDS Acquired Immunodeficiency Syndrome


BBLR Berat Badan Lahir Rendah
CDC Centers for Disease Control
CI Confidence Interval
HIV Human Immunodeficiency Virus
IMS Infeksi Menular Seksual
ISPA Infeksi Saluran Pernafasan Akut
Kemenkes Kementerian Kesehatan
LSL Lelaki Suka Seks dengan Laki-Laki
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
MSOM Man Sex Only with Man
OR Odds Ratio
p probability
P2P Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit
PENASUN Pengguna Narkoba Suntik
PMS Penyakit Menular Seksual
PPS Pria Pekerja Seks
PSK Pekerja Seks Komersil
Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat
SDM Sumber Daya Manusia
STBP Survey Terpadu dan Biologis Perilaku
TPAK Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
VCT Voluntary Counseling Test
WHO World Health Organization
WPS Wanita Pekerja Seks
WPSL Wanita Penjaja Seks Langsung
WPSTL Wanita Penjaja Seks Tidak Langsung

xiii

Universitas Sumatera Utara


Riwayat Hidup

Penulis bernama Liana Rosa berumur 30 tahun, dilahirkan di Jakarta pada


tanggal 02 Mei 1990. Penulis beragama Islam, anak kedua dari tiga bersaudara
dari pasangan Bapak Agullahim Harahap dan Nurhimasa Siregar. Kedua saudara
penulis yaitu Januar Ashari Jungjung Harahap dan Ginda Halomoan Harahap.
Penulis menikah dengan Oda Kinata Banurea, M.Pd. dan saat ini karunia 1 orang
anak perempuan bernama Radea Azkayra Banurea. Penulis tinggal di Jalan
Usman Siddik Pasar 4 Tembung.
Mengawali pendidikan di TK Mutiara Permai Wisuda Tahun (1995-1996).
Melanjutkan Pendidikan Lanjutan Ke SD Negeri Babelan Kota 01 (1996-2002).
Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan lanjutan di SLTP Negeri 1 Babelan
Bekasi pada tahun 2002 sampai tahun 2005. Penulis melanjutkan pendidikan
sekolah Menengah Atas SMA Negeri 1 Babelan Bekasi tahun 2005–2008.
Kemudian melanjutkan pendidikan tinggi jenjang D-III di Akademi Kebidanan
Imelda Medan (2009 – 2011). Selanjutnya melanjutkan pendidikan ke jenjang
Strata 1 di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Deli Husada Deli Tua (2012-
2014). Selama mengikuti perkuliahan aktif di berbagai organisasi kepemudaan
yakni Pemuda Perbatasan Sumatera Utara, Angkatan Muda Bela Negara.
Kemudian melanjutkan studi lanjutan ke Pascasarjana Peminatan Kesehatan
Reproduksi Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
(FKM USU) (2014-2019).

Medan, Januari 2020

Liana Rosa

xiv
Universitas Sumatera Utara
Pendahuluan

Latar Belakang

Memiliki kesehatan reproduksi yang baik merupakan hal yang sangat

penting bagi seorang laki-laki. Hal ini dikarenakan tingkat kebersihan pria juga

dapat mempengaruhi kualitas reproduksinya. Sistem reproduksi pria menjadi salah

satu bagian terpenting dari tubuh. Maka dari itu, sangat penting untuk menjaga

kesehatan bagian sistem reproduksinya tersebut. Namun, banyak laki-laki

cenderung mengabaikan kesehatan reproduksinya, sehingga menyebabkan

berbagai macam komplikasi dan penyakit. Salah satu penyakit yang dapat

menyerang organ reproduksi pria adalah infeksi menular seksual (IMS), termasuk

di dalamnya adalah sifilis.

Sifilis merupakan IMS yang disebabkan oleh kuman Treponema pallidum.

Seorang laki-laki yang sudah memiliki istri terkena sifilis maka dapat menularkan

penyakit tersebut pada istrinya, dan jika istri mengandung (hamil) maka kuman

tersebut dapat menular kepada janin yang dikandungnya melalui plasenta atau

pada saat bersalin dan dapat mengakibatkan keguguran, lahir mati, serta sifilis

kongenital pada bayi. (Kemenkes RI, 2013). Tidak semua bayi akan tertular, oleh

karena itu makin awal terjadi infeksi, risiko penularan ke bayi akan semakin

tinggi. Pada perempuan yang telah menderita sifilis dalam beberapa tahun, hampir

separuhnya dapat berpengaruh pada kehamilannya. Setengah dari angka tersebut,

dapat berakibat lahir mati termasuk keguguran dan separuhnya lagi berakibat

kematian perinatal atau kongenital sifilis dan berat badan lahir rendah (BBLR)

(Kemenkes RI, 2016).

1
Universitas Sumatera Utara
2

Sifilis terutama ditularkan melalui hubungan seksual, namun penularan

dapat juga terjadi dari ibu kepada janin dalam kandungan atau saat kelahiran,

melalui produk darah atau transfer jaringan yang telah tercemar, kadang-kadang

dapat ditularkan melalui alat kesehatan. Dengan perkembangan di bidang sosial,

demografik, serta meningkatnya migrasi penduduk, populasi berisiko tinggi

tertular sifilis akan meningkat pesat (Kemenkes RI, 2016). Berbagai penelitian di

banyak negara melaporkan bahwa infeksi sifilis dapat meningkatkan risiko

penularan Human Immunodeficiency Virus (HIV) sebesar tiga sampai lima kali.

Peningkatan risiko penularan HIV karena sifilis menduduki peringkat kedua

setelah chancroid. Namun, angka kejadian sifilis di berbagai populasi jauh lebih

tinggi dibandingkan chancroid, sehingga peran sifilis dalam penyebaran HIV di

masyarakat menjadi lebih bermakna (Kemenkes RI, 2013).

Badan kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) mengesti-

masikan 12 juta kasus baru setiap tahunnya dengan lebih dari 90 persen terjadi di

negara berkembang. Sifilis jarang di negara maju dan sering terjadi di negara

berkembang dengan prevalensi mencapai 25 persen (Tagny, 2015). Hampir 500

juta kasus baru IMS di seluruh dunia setiap tahun, dan sepertiganya adalah sifilis

(Kemenkes RI, 2016). Survei WHO di Eropa tahun 2012 menunjukkan bahwa

angka sifilis pada pria antara 0,3 sampai dengan 94,4 kasus per 100,000 penduduk

pria dan pada wanita berkisar antara 0,1 sampai dengan 70,7 kasus per 100,000

penduduk wanita (Newman et al., 2013)

Penelitian di Peru pada tahun 2008-2009, mendapati prevalensi infeksi

sifilis 10,5 persen pada Man Sex Only with Man (MSOM), sekitar 1,5 persen pada

laki-laki pekerja seks, dan 2,0 persen pada perempuan pekerja seks. Hasil tersebut

Universitas Sumatera Utara


3

menunjukkan bahwa orientasi seksual memengaruhi infeksi sifilis yaitu laki-laki

homoseksual memiliki risiko terinfeksi sifilis lima kali lebih besar dibanding yang

berhubungan secara heteroseksual (Snowden et al., 2010).

Sifilis pada kelompok risiko tinggi pecandu narkotik sebanyak 41 persen

perempuan, 21 persen laki-laki. Sedangkan pada pekerja seks, 19 persen

perempuan dan 31 persen laki-laki yang sering melakukan hubungan seksual

dengan pekerja seks komersil (PSK) dan laki-laki pekerja seks. Penelitian di

Malaysia, dari 370 PSK didapatkan sifilis sebesar 13,6 persen sedangkan survei

kelompok PSK di Burkina Faso – Afrika, insiden sifilis sebesar 22 persen.

Proporsi sifilis pada kalangan PSK di Amerika Serikat sebesar 18 persen

(Widasmara, 2017).

Daerah yang mempunyai tingkat penularan sifilis tertinggi adalah sub-Sahara

Afrika, Amerika Selatan, dan Asia Tenggara (Lukehart, 2015). Angka kejadian

sifilis di Amerika Serikat terus meningkat, dengan prevalensi tahun 2014 yaitu

20,1 per 100.000 penduduk dan meningkat dibandingkan tahun 2013 yaitu 17,9

per 100.000 penduduk. Prevalensi laki-laki lebih tinggi yaitu 22,1 per 100.000

penduduk dibandingkan perempuan 4,5 per 100.000 penduduk (CDC, 2015).

Sedangkan jumlah kasus baru sifilis yang terjadi di kawasan Asia Tenggara pada

tahun 2015 sebesar 3,9 juta (WHO, 2016).

Sementara angka kejadian sifilis di Indonesia berdasarkan laporan Survey

Terpadu dan Biologis Perilaku (STBP) tahun 2011 Kementerian Kesehatan RI

tahun 2011 sebesar 0,61 persen (Kemenkes RI, 2011). Angka prevalensi sifilis

pada populasi wanita pekerja seks (WPS) yang terinfeksi HIV sebesar 16,7

persen, sedangkan pada mereka yang tidak terinfeksi HIV 9,47 persen. Prevalensi

Universitas Sumatera Utara


4

sifilis pada populasi LSL HIV positif 23,8 persen (Djuanda, 2015). Selanjutnya,

prevalensi sifilis pada populasi waria sebesar 25 persen, WPSL (wanita penjaja

seks langsung) 10 persen, LSL (lelaki seks dengan lelaki) 9 persen, warga binaan

lembaga pemasyarakatan lima persen, pria berisiko tinggi empat persen, WPSTL

(wanita penjaja seks tidak langsung) tiga persen dan penasun (pengguna narkoba

suntik) tiga persen (Kemenkes RI, 2013).

Laporan Perkembangan HIV AIDS & lnfeksi Menular Seksual (IMS)

Triwulan IV tahun 2018 bahwa jumlah pasien yang berkunjung ke fasilitas

kesehatan yaitu 232.958 orang, jumlah yang dites sifilis sebanyak 201.640 orang

dan jumlah pasien yang diobati 4.187 orang. Jumlah wanita pekerja seks (WPS)

yang menderita sifilis 9.686 orang, pria pekerja seks 56 orang, waria 1.280 orang,

lelaki seks dengan lelaki 9.875 orang, pengguna jarum suntik (injection drug user)

471 orang, pasangan risiko tinggi 21.442 orang, pelanggan pekerja seks 2.034

orang, dan lain-lain sebanyak 156.796 orang. Sifilis juga banyak diderita oleh

narapidana di lembaga pemasyarakatan dengan prevalensi narapidana laki‐laki

adalah 5,1 persen dan 8,5 persen narapidana perempuan (Kemenkes RI, 2018).

Berdasarkan data dan laporan dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera

Utara Bidang Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit (P2P) tahun 2018, jumlah

penderita IMS pada tahun 2017 sebanyak 13.736 orang dengan rincian jumlah

penderita laki-laki adalah 3.597 orang dan perempuan 10.139 orang. Prevalensi

ISR pada PSK di Sumatera Utara, ditemukan prevalensi gonore sebesar 40 persen,

klamidia secara umum sebesar 16 persen, vaginal kandidiasis 26 persen dan sifilis

22 persen (Dinkes Propsu, 2018).

Universitas Sumatera Utara


5

Kota Medan merupakan kota metropolitan terbesar ke tiga di Indonesia yang

juga memiliki masalah kesehatan berkaitan dengan penularan penyakit akibat

perilaku seksual. Beberapa penyakit menular seksual di kota Medan adalah

HIV/AIDS, sifilis, hepatitis dan gonorrhea. Diantara banyaknya penyakit seksual

menular prevalensi tertinggi adalah sifilis hal ini sesuai dengan data dari palang

merah Indonesia terhadap pendonor darah tahun 2017 sebanyak 779 warga Kota

Medan terindikasi terkena penyakit sifilis dan usia produktif 25-49 tahun

sebanyak 443 orang yang terkena sifilis dari 47.855 orang pendonor (PMI Kota

Medan, 2018).

Banyaknya ditemui berbagai masalah dan penyakit di kota Medan tidak

terlepas dari status kota Medan sebagai pusat ibukota Provinsi Sumatera utara

serta sebagai pusat perdagangan dan ekonomi. Masyarakat kota Medan ditinjau

dari populasi jumlah penduduk tahun 2018 sebanyak 2.264.624 jiwa yang terdiri

dari 21 kecamatan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 28,3 persen, tingkat

pengangguran terbuka 8,25 persen, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK)

65,99 persen. Tingkat kemiskinan 9,30 persen dengan jumlah 204,22 Orang,

indeks pembangunan manusia skor 60 sampai 70. Masih banyak pengangguran

dan kemiskinan menjadi salah satu penyebab sebagian masyarakat bekerja sebagai

pekerja seks yang berdampak terhadap meningkatnya kasus IMS seperti sifilis

(BPS Kota Medan, 2018).

Unit kerja Puskesmas Teladan Medan merupakan salah satu Puskesmas

yang selama ini memberikan layanan dan bantuan kesehatan bagi masyarakat

sekaligus skrining terhadap penyakit infeksi seksual menular di wilayah kerja

Universitas Sumatera Utara


6

Medan Teladan dan masyarakat di luar wilayah kerja yang melakukan perobatan

baik yang rujukan maupun kunjungan. Puskesmas Teladan juga merupakan

puskesmas yang telah mendapat sertifikat great A dimana selama ini dijadikan

sebagai pusat pembangunan kesehatan dalam mengukur keberhasilan

pembangunan kesehatan melalui beberapa program-program kesehatan

masyarakat salah satunya adalah program kesehatan infeksi seksual menular

(IMS). Voluntary Counseling Test (VCT). Klinik IMS dan VCT ini memberikan

pelayanan penyakit menular seksual serta konseling tes HIV kepada orang-orang

yang berisiko yang sifatnya privasi. Pasien di Klinik IMS dan VCT berasal dari

masyarakat di dalam dan luar wilayah Kerja Puskesmas Teladan. Pasien juga

berasal dari populasi kunci yaitu WPS, Waria, LSL, dan Penasun (Puskesmas

Teladan, 2018).

Berdasarkan data observasi awal yang dilakukan pada tanggal 02 Agustus

2019 di Puskesmas Teladan Medan jumlah pasien yang terkena penyakit infeksi

seksual menular pada tahun 2018 sebanyak 122 orang dengan tingkat penyakit

reaktif terjangkit penyakit sifilis sebanyak 78 orang, dan pada usia subur antara

usia 25-49 tahun terdapat jumlah pendonor paling banyak pengidap reaktif

terjangkit penyakit sifilis sebanyak 78 orang, dari 78 orang yang terkena penyakit

infeksi seksual menular terdiri dari kelompok wanita pekerja seks (WPS), pria

pekerja seks (PPS), lelaki suka seks dengan laki-laki (LSL) dengan angka

kejadian tertinggi berada pada kelompok lelaki suka seks dengan laki-laki (LSL)

Dengan Jumlah angka kejadian terbanyak pada laki-laki yaitu 49 orang

(Puskesmas Teladan, 2019a).

Universitas Sumatera Utara


7

Mengingat besarnya angka penyakit sifilis pada kelompok LSL di

Puskesmas Teladan Medan menunjukkan bahwa masyarakat kota Medan berada

pada kondisi kritis dalam memerangi dan menanggulangi penyakit sifilis oleh

karena itu maka perlu dilakukan berbagai upaya pencegahan, penanggulangan

serta pendekatan untuk mengantisipasi penyakit tersebut sehingga tidak menjadi

endemik sekaligus ancaman nyata yang berdampak pada generasi yang akan

mendatang dan orang lain dan menjadi mata rantai penyebaran penyakit sifilis.

Sifilis disebabkan oleh banyak faktor. Dugaan ini penyakit sifilis diperkuat

oleh laporan Centers for Disease Control (CDC) pada tahun 2015 bahwa setiap

orang yang aktif secara seksual bisa terinfeksi melalui kontak langsung dengan

lesi sifilis. Pada laki-laki lesi dapat terjadi terutama di alat kelamin eksternal,

anus, atau dubur. Lesi juga dapat terjadi pada bibir dan mulut. Gay atau laki-laki

biseksual bisa terinfeksi sifilis selama seks anal, oral, atau vaginal (CDC, 2015).

Penelitian yang dilakukan Nishijama di Tokyo, Jepang tahun 2016

mendapatkan hasil bahwa dari 885 LSL yang terinfeksi HIV-1 dengan data awal,

34 persen mengalami sifilis aktif pada awal (21 persen) atau terinfeksi sifilis

selama masa tindak lanjut (13 persen). Analisis multivariabel mengidentifikasi

usia muda (kurang dari 33 tahun dibandingkan lebih dari 40 tahun), (p <0.001),

memiliki riwayat sifilis (p <0.001), positif antibodi anti-amuba (p = 0,006), dan

jumlah CD4 awal yang tinggi (CD4 ≥350 / μL dibandingkan CD4 <200, (p =

0,050) sebagai faktor risiko untuk kejadian sifilis. Insiden sifilis sangat tinggi di

antara pasien muda (usia <33 tahun). Menariknya, 37 persen pasien dengan

insiden sifilis tidak menunjukkan gejala (Nishijima et al., 2016). Penelitian yang

dilakukan oleh Loza et al. (2010), pada pekerja seks perempuan di Tijuana dan

Universitas Sumatera Utara


8

Ciudad Juarez, mendapatkan hasil bahwa perilaku penggunaan narkoba lebih erat

terkait dengan sifilis aktif daripada perilaku seksual. Faktor-faktor yang secara

independen terkait dengan sifilis aktif termasuk penggunaan narkoba suntikan,

menggunakan obat-obatan terlarang sebelum atau saat berhubungan seks, dan

memiliki klien warga dari Amerika Serikat. Penelitian Gomes et al. (2017)

prevalensi sifilis adalah 6,3 persen; lebih tinggi pada pria (7,5 persen)

dibandingkan pada wanita (4,3 persen, p<0,001). Sifilis dikaitkan dengan usia 25

sampai 36 tahun, tingkat pendidikan, dan status pernikahan tunggal. Faktor

perilaku utama yang terkait adalah laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-

laki, pengguna narkoba, penderita IMS, dan mereka yang mengalami penyakit

menular seksual (PMS) pada tahun lalu. Penggunaan alkohol, ganja, kokain, dan

jarum suntik secara signifikan terkait dengan sifilis.

Penelitian Ariani yang meneliti kejadian penyakit sifilis pada Pekerja Seks

Komersial (PSK) di lokalisasi Ngujang Kecamatan Kedungwaru Kabupaten

Tulungagung. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi sifilis pada Pekerja Seks

Komersial sebesar 21,52 persen. Terdapat hubungan antara umur responden

(p=036) dan jumlah mitra seksual (p=0,024) dengan kejadian sifilis pada pekerja

seks komersial (Ariani, 2006). Penelitian lainnya oleh Sundari pada Komunitas

Laki-laki seks dengan laki-laki di Yogyakarta tahun 2012 mendapatkan hasil

bahwa prevalensi sifilis sebesar 16,5 persen. Faktor risiko yang berhubungan

dengan kejadian sifilis pada komunitas LSL di Yogyakarta umur pertama

hubungan seks anal, jumlah pasangan seksual, dan pemakaian kondom (Sundari,

2012). Karakteristik kasus sifilis periode Januari 2011-Desember 2013 di Rumah

Sakit Umum Pusat Sanglah, didapatkan jumlah pasien laki-laki 85,7 persen lebih

Universitas Sumatera Utara


9

tinggi dibandingkan perempuan 14,3 persen. Kelompok umur tertinggi adalah

kelompok umur 25 sampai 44 tahun sebesar 60 persen, kelompok umur 15 sampai

24 tahun sebesar 34,3 persen, kelompok umur di atas dan sama dengan 45 tahun

sebesar 5,7 persen, dan kelompok umur di bawah 15 tahun sebesar nol persen.

Kelompok stadium sifilis tertinggi adalah kelompok stadium sifilis sekunder

sebesar 54,3 persen, kelompok stadium sifilis laten lanjut sebesar 20 persen,

kelompok stadium sifilis laten dini sebesar 14,3 persen, kelompok stadium sifilis

primer sebesar 11,4 persen, dan kelompok stadium sifilis tersier sebesar nol

persen (Adisthanaya, 2016)

Berdasarkan beberapa penelitian di atas menunjukkan bahwa faktor yang

berhubungan dengan kejadian sifilis adalah umur, memiliki riwayat sifilis, positif

antibodi antiamuba, jumlah CD4 awal yang tinggi, penggunaan narkoba suntikan,

menggunakan obat-obatan terlarang sebelum atau saat berhubungan seks,

pendidikan, status pernikahan, pasangan sejenis, menderita IMS, memiliki

riwayat IMS setahun lalu; penggunaan alkohol, ganja, kokain, dan jarum suntik;

umur pertama hubungan seks anal, jumlah mitra/pasangan seksual, dan pemakaian

kondom.

Tingginya angka kejadian penyakit sifilis diduga akibat dari perilaku

hubungan seks bebas yang terus dilakukan secara terus menerus, narkoba suntik,

sering berganti pasangan seksual, dan perilaku buruk dalam pemeliharaan

kesehatan reproduksi yang banyak dilakukan laki-laki pada usia produktif (25

tahun sampai 49 tahun). Kementerian Kesehatan menemukan hampir 70 persen

kasus IMS baru dialami oleh penduduk usia produktif (kelompok usia 25-49

tahun). Aktivitas yang tinggi pada usia ini membuat banyak kelompok produktif

Universitas Sumatera Utara


10

yang melakukan perilaku seks berisiko dan rentan terkena penyakit menular

seksual (Kemenkes RI, 2016).

Berdasarkan data Puskesmas Teladan Medan bahwa selama tiga tahun

terakhir persentase penderita sifilis laki-laki usia 25 sampai 49 tahun

dibandingkan dengan jumlah kunjungan mengalami peningkatan. Pada tahun 2017

jumlah kunjungan sebanyak 1.389 kunjungan dengan penderita sifilis sebanyak 60

orang (4,3 persen). Tahun 2018 jumlah kunjungan sebanyak 650 kunjungan

dengan penderita sifilis sebanyak 49 orang (7,5 persen). Tahun 2019 (periode

Januari-September 2019) jumlah kunjungan sebanyak 428 kunjungan dengan

penderita sifilis sebanyak 59 orang (13,8 persen) (Puskesmas Teladan, 2019b).

Berdasarkan uraian masalah di atas maka peneliti tertarik melakukan

penelitian dengan mengangkat judul “Faktor-Faktor yang Memengaruhi

Terjadinya Infeksi Penyakit Sifilis pada Laki-Laki Usia Produktif di Puskesmas

Teladan Medan Periode Januari 2019 sampai dengan Juli 2019.”

Perumusan Masalah

Berdasarkan data yang didapatkan dari laporan tahunan Puskesmas

Teladan bahwa terjadi peningkatan jumlah penderita sifilis setiap tahunnya serta

dampak yang di alami apabila seseorang menderita sifilis menimbulkan akibat

sangat luas. Ada banyak kerugian yang akan di alami oleh penderita sifilis baik

dari kerugian ekonomi, interaksi sosial, produktivitas jangka pendek dan

produktivitas jangka panjang. Bukan hanya itu, kerugian yang akan di dapatkan

juga melibatkan kesehatan reproduksi pada penderita sifilis. Berdasarkan latar

belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apa saja

Universitas Sumatera Utara


11

faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya infeksi penyakit sifilis pada laki-laki

usia produktif di Puskesmas Teladan Medan Periode Januari 2019 sampai dengan

September 2019.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh umur, pendidikan,

riwayat infeksi menular seksual (IMS), penggunaan kondom, penggunaan napza

suntik, jumlah mitra/pasangan seksual, jenis kelamin mitra seksual terhadap

terjadinya infeksi penyakit sifilis pada laki-laki usia produktif di Puskesmas

Teladan Medan periode Januari 2019 sampai dengan September 2019

Manfaat Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian yang diutarakan di atas, maka manfaat

penelitian ini adalah : 1) Bahan informasi dan pertimbangan bagi pimpinan

puskesmas Teladan Medan dan dinas kesehatan kota Medan dalam mengambil

kebijakan dan keputusan dalam upaya melakukan skrining deteksi terhadap

pengidap penyakit sifilis dan mendorong pencegahan dan pemutusan mata rantai

penularan penyakit menular seksual khususnya penyakit sifilis; 2) Sebagai bahan

masukan dan edukasi pembelajaran bagi kalangan usia produktif 25-49 tahun

khususnya laki-laki dalam mengantisipasi terjangkitnya penyakit sifilis baik pada

diri sendiri dan penularan pada pasangan serta kepada kehamilan; 3) Sebagai

informasi bagi laki-laki usia produktif dalam mengetahui faktor-faktor terjadinya

penyakit sifilis pada usia produktif.

Universitas Sumatera Utara


Tinjauan Pustaka

Sifilis

Sifilis merupakan penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang masih

menjadi permasalahan secara global. Banyak orang dewasa yang terinfeksi akibat

penyakit ini. Sifilis tidak hanya menyebabkan morbiditas, tetapi juga dapat

menyebabkan mortalitas bagi penderitanya (Emerson, 2009). Wanita hamil yang

menderita sifilis dapat menularkan sifilis kongenital yang dapat menyebabkan

kelainan bawaan dan kematian (Djuanda, 2017). Sifilis apabila dibiarkan saja

tanpa ada pengobatan maka penderita sifilis akan mengalami gangguan kesehatan

yang serius.

Pengertian sifilis. Menurut sejarahnya terdapat banyak sinonim sifilis

yang tidak lazim dipakai. Sinonim yang umum yaitu lues venerea atau disebut

lues saja. Dalam istilah Indonesia disebut raja singa (Djuanda, 2017). Sifilis

merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh spirochaete, Treponema

pallidum (T. pallidum) dan merupakan salah satu bentuk infeksi menular seksual

(Emerson, 2009). Selain sifilis, terdapat tiga jenis infeksi lain pada manusia yang

disebabkan oleh treponema, yaitu: non venereal endemic syphilis (telah eradikasi),

frambusia (T. pertenue), dan pinta (T. careteum di Amerika Selatan) (Kemenkes

RI, 2013).

Sifilis adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh Treponema

pallidum bersifat kronis dan menahun. Bakteri ini masuk ke dalam tubuh manusia

melalui selaput lendir (misalnya di vagina atau mulut) atau melalui kulit (Kent &

Romanelli, 2013). Sifilis bersifat kronis dan sistemik ditandai dengan lesi primer

12
Universitas Sumatera Utara
13

diikuti dengan erupsi sekunder pada kulit dan selaput lendir kemudian masuk ke

dalam periode laten tanpa manifestasi lesi di tubuh diikuti dengan lesi pada kulit,

lesi pada tulang, saluran pencernaan, sistem syaraf pusat dan sistem

kardiovaskular. Infeksi ini dapat ditularkan kepada bayi di dalam kandungan

(sifilis kongenital) (Widasmara, 2017).

. Sifilis merupakan Infeksi Menular Seksual (IMS) yang disebabkan oleh

bakteri Treponema pallidum. Sifilis bersifat kronik dan sistemik karena memiliki

masa laten, dapat menyerang hampir semua alat tubuh. Masa laten pada sifilis

tidak menunjukkan gejala klinis, namun pada pemeriksaan serologis menunjukkan

hasil positif (Sanchez, 2014). Sifilis memiliki dampak besar bagi kesehatan

seksual, kesehatan reproduksi, dan kehidupan sosial. Populasi berisiko tertular

sifilis meningkat dengan adanya perkembangan di bidang sosial, demografik, serta

meningkatnya migrasi penduduk (Kemenkes RI, 2013).

Dalam perjalanan penyakitnya, sifilis dapat mengenai hampir seluruh

struktur tubuh, dengan manifestasi klinis yang jelas namun terdapat masa laten

yang sepenuhnya asimtomatik, mampu menyerupai berbagai macam penyakit,

dapat ditularkan kepada janin dalam kandungan, dan dapat disembuhkan. Bila

dibiarkan tanpa diobati, akan berkembang ke dalam berbagai stadium, yang

berpotensi serius dan mengancam jiwa (Indriatmi, 2017).

Penyakit sifilis bersifat kronis dan menahun. Walaupun frekuensi penyakit

sifilis mulai menurun, tapi masih merupakan penyakit yang berbahaya karena

dapat menyerang seluruh organ tubuh termasuk sistem peredaran darah, saraf dan

dapat ditularkan oleh ibu hamil kepada bayi yang dikandungnya (Coffin et al.,

Universitas Sumatera Utara


14

2010). Seorang ibu hamil yang positif sifilis dapat menyebabkan kelainan bawaan

pada bayinya tersebut (Hawkes, Matin, Broutet, & Low, 2015).

Sifilis secara umum dapat dibedakan menjadi dua: yaitu sifilis kongenital

(ditularkan dari ibu ke janin selama dalam kandungan) dan sifilis yang didapat /

acquired (ditularkan melalui hubungan seks atau jarum suntik dan produk darah

yang tercemar) (Kemenkes RI, 2013).

Sejarah sifilis. Terdapat banyak pendapat dan spekulasi tentang asal usul

penyakit sifilis ini. Salah satu yang memiliki dukungan bukti yang cukup kuat

adalah Teori Columbian atau New World Theory. Sesuai dengan teori ini, penyakit

ini belum dikenal di Eropa sebelum Tahun 1942. Pada saat itu, Christopher

Colombus melakukan suatu pelayaran bersejarah dengan melintasi lautan

Atlantik. Para pelautnya dikatakan telah dijangkiti penyakit sifilis oleh wanita-

wanita setempat di pulau Hispaniola di Hindia Barat. Pada pelayaran kembali ke

Eropa penyakit ini terus berkembang dengan gejala-gejala berupa bercak-bercak

berwarna tembaga pada setiap penderita yang disebut sebagai Indian Measles.

Sesudah Tahun 1943 timbullah epidemi penyakit ini pada hampir seluruh wilayah

Eropa (Harper, Ocampo, Steiner, & George, 2008).

Penurunan kejadian sifilis yang amat tajam terjadi setelah Perang Dunia I

dan Perang Dunia II di Swedia. Pada PD I penurunan insidens terjadi

kemungkinan akibat ketajaman diagnosis awal mengingat pengobatan saat itu

masih menggunakan arsen, berbeda dengan penurunan insidens yang terjadi pada

PD II, mungkin sebagai hasil pengobatan penisilin (Widasmara, 2017).

Riset yang dilakukan oleh (Harper et al., 2008) dengan menggunakan

genetika molekular menyatakan bahwa subspesies kuman treponema (non-

Universitas Sumatera Utara


15

seksual) muncul lebih awal di dunia lama. Analisis filogenetik menunjukkan

bahwa yaws adalah sebuah infeksi purba pada manusia sementara sifilis venereal

muncul relatif baru.

Etiologi sifilis. Penyebab sifilis adalah bakteri spiroset Treponema

pallidum sub-spesies pallidum. Treponema pallidum subspesies pallidum adalah

bentuk spiral, Gram-negative bakteri sangat lincah (Eccleston, Collins, & Higgins,

2008). Tiga penyakit lain manusia disebabkan oleh Treponema pallidum, meliputi

patek, (subspesies pertenue), pinta, (sub spesies carateum). Tidak seperti sub-tipe

pallidum'‟, spesies tersebut tidak menyebabkan penyakit neurologis. Manusia

adalah satu-satunya sub-spesies “palidum” yang dikenal reservoir alami (Karp,

Schlaeffer, Jotkowitz, & Riesenberg, 2009).

Sifilis ditandai dengan lesi primer diikuti dengan erupsi sekunder pada

kulit dan selaput lendir kemudian masuk ke dalam periode laten tanpa manifestasi

lesi di tubuh diikuti dengan lesi pada kulit, lesi pada tulang, saluran pencernaan,

sistem syaraf pusat dan sistem kardiovaskuler (Karp et al., 2009). Treponema

pallidum merupakan spirochaeta yang bersifat motile yang umumnya

menginfeksi melalui kontak seksual langsung, masuk ke dalam tubuh inang

melalui celah diantara sel epitel. Organisme ini juga dapat ditularkan kepada janin

melalui jalur transplasental selama masa-masa akhir kehamilan (Hawkes et al.,

2015).

Struktur T.pallidum mirip dengan bakteri negatif-Gram klasik, dengan

membran bagian dalam dan luar serta ruang periplasmik, namun T. pallidum tidak

mempunyai lipopolisakarida, yang merupakan glikolipid proinflamasi kuat, serta

tidak menghasilkan protein toksik apapun. Dengan demikian, sebagian besar dan

Universitas Sumatera Utara


16

kerusakan jaringan pada sifilis terjadi akibat respons imun dan inflamasi pejamu.

Dengan ditemukan dalam darah pasien semua stadium sifilis, dan kadar tertinggi

treponema dalam darah didapati saat sifilis dini (Indriatmi, 2017).

Sifilis atau yang biasa disebut juga dengan „raja singa‟ disebabkan oleh

sejenis bakteri yang bernama treponema pallidum. Bakteri yang berasal dari

familia spirochaeta ini memiliki ukuran yang sangat kecil dan dapat hidup hampir

di seluruh bagian tubuh (Karp et al., 2009). Spriochaeta penyebab sifilis dapat

ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui hubungan genitor genital

(kelamin-kelamin) maupun oro-genital (seks oral). Infeksi ini juga dapat

ditularkan melalui handuk, pegangan pintu atau tempat duduk WC (Scorviani &

Nugroho, 2012).

Bila tidak terawat, sifilis dapat menyebabkan efek serius seperti kerusakan

system saraf, jantung, atau otak (Scorviani & Nugroho, 2012).. Sifilis yang tidak

terawat dapat berakibat fatal. Orang yang memiliki kemungkinan terkena sifilis

atau menemukan pasangan seks yang mungkin terkena sifilis dianjurkan untuk

segera melakukan pengobatan (Hawkes et al., 2015).

Epidemiologi sifilis. Insidens sifilis di Amerika Serikat, baik primer dan

sekunder selama Perang Dunia Kedua mencapai puncaknya dengan prevalensi

kasus sifilis yaitu 76 per 100.000 penduduk pada tahun 1947 dan menurun ke titik

terendah selama satu dasawarsa yaitu 4 per 100.000 penduduk pada tahun 1958.

Tahun 1959 keadaan ini berubah dan jumlah kasus mulai meningkat kembali 12

per 100.000 penduduk dan pada tahun 1965 menjadi tiga kali lipat (Widasmara,

2017).

Universitas Sumatera Utara


17

Data insidens sifilis primer dan sekunder di AS meningkat 34 persen tahun

1991 sampai dengan tahun 2009 yaitu 13,7 persen menjadi 18,4 persen kasus per

100.000 penduduk. Data tahun 1982 memperlihatkan bahwa persentase penduduk

kulit putih yang terserang sifilis menurun 69 persen yaitu 3,2 kasus per 100.000

penduduk. Sedangkan insidens sifilis penduduk kulit berwarna sejak tahun 1992

sampai 2005 menurun 30 persen yaitu dari 101,9 sampai 71,5 kasus per 100.000

penduduk. Namun demikian dari tahun 2005-2009 pasien sifilis meningkat

kembali menjadi 2 kali lipat yaitu dari 52,6 sampai 121,8 kasus per 100.000

penduduk (Widasmara, 2017).

Hasil skrining ibu hamil di Amsterdam dari tahun 1985-1989, dari 37.520

serum hanya 0,15 persen yang menunjukkan STS (+), di Jamaica insidens sifilis

pada ibu hamil sebesar 4,9 persen. Sedangkan dari pengambilan sampel darah

plasenta pada tahun 1989 mengalami kenaikan sebesar 1.1 persen dibandingkan

tahun 1989 yang kemungkinan disebabkan perawatan antenatal yang tidak teratur.

Penelitian di Malaysia, bahwa dari 370 PSK didapatkan sifilis sebesar 13.6 persen

survei pada kelompok PSK di Burkina Faso, insiden sifilis sebesar 22 persen

(Widasmara, 2017).

Insidens sifilis di berbagai negeri di seluruh dunia pada tahun 1996

berkisar antara 0,04-0,52%. Insidens yang terendah di Cina, sedangkan yang

tertinggi di Amerika Selatan. Di Indonesia insidensnya 0,61%. Penderita yang

terbanyak ialah stadium laten, disusul sifilis stadium I yang jarang, dan yang

langka sifilis stadium II (Djuanda, 2017)

Insiden di beberapa kota di Indonesia juga telah dilaporkan di sepuluh kota

di Indonesia. Pada tahun 2007, dilaporkan total pasien sifilis di sepuluh kota

Universitas Sumatera Utara


18

termasuk Medan, Tanjung Pinang, Palembang, Jakarta Barat, Bandung,

Semarang, Banyuwangi, Surabaya, Bitung dan Jayapura sebanyak 217 orang (8,7

persen) pasien dari total 6746 pasien infeksi menular seksual (Widasmara, 2017).

Cara penularan sifilis. Penularan sifilis berhubungan dengan perilaku

seksual. Perilaku seksual adalah bentuk perilaku yang didorong oleh hasrat

seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Bentuk perilaku ini dapat

bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai berkencan, bercumbu, dan

bersenggama (Sarwono, 2013). Perilaku seksual dapat dibagi menjadi perilaku

seksual tidak berisiko dan perilaku seksual berisiko. Perilaku seksual tidak

berisiko memiliki makna perilaku yang tidak merugikan diri sendiri, dilakukan

kepada lawan jenis, dan diakui masyarakat. Perilaku seksual berisiko diartikan

sebagai perilaku seksual yang cenderung merusak, baik bagi diri sendiri maupun

orang lain (Hartono, 2009).

Infeksi penyakit seksual menular seperti sifilis juga dapat dipengaruhi oleh

beberapa faktor diantaranya adalah: umur, tingkat pendidikan, status HIV,

penggunaan kondom, penggunaan NAPZA suntik, penggunaan hormon suntik

silikon, konsumsi alkohol, hubungan seks (Hartanti, 2012). Cara penularan

penyakit ini sangat bervariasi tergantung aktifitas penderitanya. Menurut

Wiknjosastro (2013) cara penularan sifilis dibedakan menjadi dua, yakni:

Sifilis kongenital atau bawaan. Sifilis kongenital merupakan infeksi yang

melibatkan banyak organ, mengakibatkan gangguan neurologis atau pertumbuhan

tulang sampai kematian pada janin atau neonatus. Penyebab kematian janin

tersering adalah infeksi plasenta sehingga mengurangi aliran ke janin, meskipun

Universitas Sumatera Utara


19

infeksi langsung ke janin juga dapat terjadi. Namun bila ibu hamil dengan sifilis

segera diobati saat awal kehamilan sifilis kongenital dapat dicegah. Bila janin

terinfeksi, sekitar 35 persen akan lahir hidup dengan sifilis kongenital dengan

sebagian besar tidak menunjukkan gejala khas terinfeksi, namun dengan berat

badan lahir rendah. Manifestasi sifilis kongenital dipengaruhi oleh usia kehamilan,

stadium sifilis saat hamil, pengobatan ibu hamil, respons imunologis janin

(Indriatmi, 2017).

Sifilis kongenital akibat dari penularan spirokaeta tranplasenta. Bayi

jarang berkontak langsung dengan Chancre ibu yang menimbulkan infeksi pasca

lahir. Risiko penularan transplasenta bervariasi menurut stadium penyakit yang

diderita oleh ibu. Bila wanita hamil dengan sifilis primer dan sekunder serta

spirokaetamia yang tidak diobati, besar kemungkinan untuk menularkan infeksi

pada bayi yang belum dilahirkan dari pada wanita dengan infeksi laten. Penularan

dapat terjadi selama kehamilan. Insiden dari infeksi sifilis kongenital tetap paling

tinggi selama empat tahun pertama sesudah mendapat infeksi primer, sekunder

dan penyakit laten awal (Wiknjosastro, 2013).

Sifilis kongenital dibagi atas sifilis kongenital dini dan lanjut. Pada sifilis

kongenital dini, gejala timbul dalam dua tahun pertama, sedangkan pada yang

lanjut, gejala timbul dalam dua dekade pertama. Manifestasi klinis sifilis

kongenital dini terjadi sebagai akibat infeksi dan inflamasi aktif. Pada sifilis

kongenital lanjut, gejala yang timbul merupakan malformasi atau stigmata sebagai

hasil infeksi kronis. Sesudah terjadi infeksi janin, berbagai sistem organ dapat

terkena akibat penyebaran luas spiroketa (Indriatmi, 2017).

Universitas Sumatera Utara


20

Sifilis akuisita (dapatan). Sifilis dapatan penularannya hampir selalu

akibat dari kontak seksual walaupun penanganannya secara kuratif telah tersedia

untuk sifilis selama lebih dari empat dekade, sifilis tetap penting dan tetap

merupakan masalah kesehatan yang lazim di Indonesia. Pembagian sifilis dapatan

berdasarkan epidemiologi, tergantung sifat penyakit tersebut menular atau tidak.

Stadium menular bila perjalanan penyakit kurang dari dua tahun dan stadium tidak

menular perjalanan penyakit lebih dari dua tahun. Infeksi Menular Seksual (IMS)

menyebar cukup mengkhawatirkan di Indonesia. Sifilis adalah penyakit kelamin

menular yang disebabkan oleh bakteri spiroseta, Treponema pallidum. Penularan

biasanya melalui kontak seksual; tetapi, ada beberapa contoh lain seperti kontak

langsung dan kongenital sifilis (penularan melalui ibu ke anak dalam uterus)

(Wiknjosastro, 2013).

Sementara menurut (Hawkes et al., 2015) sifilis dapat ditularkan-melalui

berbagai cara, yakni:

Kontak seksual langsung. Umumnya penderita sifilis tertular lewat cara

ini. Ibu pengidap sifilis, tidak diobati, setelah hamil Treponema pallidum dalam

tubuh ibu bisa ke tubuh janin melalui sirkulasi darah, menyebabkan janin tertular

sifilis. Infeksi terjadi setelah 4 bulan kehamilan.

Kontak tidak langsung. Orang yang hidup bersama dengan pengidap

sifilis, cara penularan sifilis jenis ini bersentuhan dengan pakaian dalam, sprei,

selimut, sapu tangan, pisau cukur, dan handuk yang pernah dipakai oleh

pengidap.

Universitas Sumatera Utara


21

Infeksi yang ditularkan melalui darah. Jika pendonor adalah pengidap

sifilis laten, darah yang didonorkan kemungkinan membawa Treponema

pallidum.

Klasifikasi sifilis. Sifilis dibagi menjadi sifilis kongenital dan sifilis

akuisita (didapat). Sifilis kongenital dibagi menjadi : dini (sebelum dua tahun),

lanjut (sesudah dua tahun), dan stigmata. Sifilis akuisita dapat dibagi menurut dua

cara, secara klinis dan epidemiologik. Menurut cara pertama sifilis dibagi menjadi

tiga stadium : stadium I (S I), stadium II (S II), dan stadium III (S III) (Djuanda,

2017).

Secara epidemiologik menurut badan kesehatan dunia WHO, dibagi

menjadi dua yaitu : 1) Stadium dini menular (dalam satu tahun sejak infeksi),

terdiri atas S-I, S-II, stadium rekumen, dan stadium laten dini; 2) Stadium lanjut

tak menular (setelah dua tahun sejak infeksi), terdiri atas stadium laten lanjut dan

S-III. Bentuk lain ialah sifilis kardiovaskular dan neurosifilis. Ada yang

memasukkannya ke dalam S-III atau S-IV (Djuanda, 2017).

Tanda dan gejala sifilis. Gejala dan tanda dari sifilis banyak dan

berlainan. Diagnosis gejala sifilis umumnya sulit dilakukan karena itu penyakit ini

sering disebut “Peniru Besar” karena memiliki gejala-gejala yang hampir mirip

dengan penyakit lainnya. Hal itu mengakibatkan kesulitan dalam mendiagnosa

karena sering disebut sebagai penyakit lainnya. Menurut (Kent & Romanelli,

2013) gejala sifilis biasanya mulai timbul dalam waktu satu sampai 13 minggu

setelah terinfeksi. Infeksi bisa menetap selama bertahun-tahun dan jarang

menyebabkan kerusakan jantung, kerusakan otak maupun kematian. Gejala

Universitas Sumatera Utara


22

lainnya adalah merasa tidak enak badan (malaise), kehilangan nafsu makan, mual,

lelah, demam dan anemia. Sementara pada fase laten dimana tidak nampak gejala

sama sekali. Fase ini bisa berlangsung bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun

atau bahkan sepanjang hidup penderita. Pada awal fase laten kadang luka yang

infeksius kembali muncul (Kent & Romanelli, 2013).

Hal senada juga dikemukakan (Shmaefsky, Babcock, & Heymann, 2009)

bahwa gejala yang muncul pada setiap individu sangat berbeda-beda. Menurutnya,

beberapa gejala sifilis yang sering muncul adalah sebagai berikut:

Gejala awal. Gejala awal penyakit ini biasanya ditandai dengan hilangnya

nafsu makan pada penderita. Penderita juga akan mudah lelah dan berkeringat

disertai rasa sakit di bagian kepala. Dalam waktu cepat, penderita juga akan

mengalami anemia (Woods, 2009). Setelah gejala awal muncul, penderita juga

akan menemukan luka terbuka seperti luka digigit serangga pada beberapa bagian

tubuhnya seperti organ vital dan mulut (Shmaefsky et al., 2009). Setelah itu

penderita juga akan merasakan sakit di bagian anus, alat kelamin dan mulutnya.

Kejadian ini biasanya muncul kurang lebih seminggu setelah penderita melakukan

hubungan seks dengan orang terinfeksi sifilis (Woods, 2009).

Gejala sifilis lainnya. Gejala lainnya adalah penderita sifilis akan

menemukan adanya ruam kemerahan pada daerah organ kelaminnya yang juga

menimbulkan rasa gatal dan panas (Shmaefsky et al., 2009). Beberapa penderita

juga akan mengalami kerontokan pada rambutnya. Hal ini biasanya terjadi

beberapa bulan setelah terinfeksi sifilis. Kemudian pada tahap selanjutnya gejala

sifilis lainnya akan dimulai sekitar dua tahun setelah terinfeksi sifilis. Bakteri

spiroseta telah menyebar dengan sangat cepat dalam tubuh. Bakteri tersebut juga

Universitas Sumatera Utara


23

mulai merusak sistem syaraf dalam otak dan sistem peredaran darah dalam tubuh

si penderita (Committee on Infectious Diseases, 2012).

Tanda dan gejala yang terjadi dibagi dalam empat stadium berbeda,

sebagai berikut : (Scorviani & Nugroho, 2012)

Stadium satu. Stadium ini ditandai oleh munculnya luka yang kemerahan

dan basah di daerah vagina, poros usus atau mulut. Luka ini disebut chancre, dan

muncul di tempat spirochaeta masuk ke tubuh seseorang untuk pertama kalinya.

Pembengkakan kelenjar getah bening juga ditemukan selama stadium ini. Setelah

beberapa minggu, chancre tersebut akan menghilang. Stadium ini merupakan

stadium yang sangat menular.

Stadium dua. Kalau sifilis stadium satu tidak diobati, biasanya para

penderita akan mengalami ruam, khususnya di telapak kaki dan tangan. Mereka

juga dapat menemukan adanya luka-luka di bibir, mulut, tenggorokan, vagina, dan

dubur. Gejala-gejala yang mirip dengan flu, seperti demam dan pegal-pegal,

mungkin juga dialami pada stadium ini. Stadium ini biasanya berlangsung selama

satu sampai dua minggu.

Stadium tiga. Kalau sifilis stadium dua masih juga belum diobati, para

penderitanya akan apa yang disebut dengan sifilis laten. Hal ini berarti bahwa

semua gejala penyakit akan menghilang, namun penyakit tersebut sesungguhnya

masih bersarang dalam tubuh, dan bakteri penyebabnya pun masih bergerak di

dalam tubuh. Sifilis laten ini dapat berlangsung hingga bertahun-tahun lamanya.

Stadium empat. Penyakit ini akhirnya dikenal sebagai sifilis tersier. Pada

stadium ini, spirocaheta telah menyebar ke seluruh tubuh dan dapat merusak otak,

Universitas Sumatera Utara


24

jantung, batang otak, dan tulang. Sedangkan pada lelaki yang telah tertular oleh

sifilis memiliki gejala-gejala yang mirip dengan apa yang dialami oleh seorang

penderita wanita. Perbedaan utamanya ialah bahwa pada tahap pertama, chancre

tersebut akan muncul di daerah penis. Dan tahap kedua, akan muncul luka-luka di

daerah penis, mulut, tenggorokan dan dubur (Scorviani & Nugroho, 2012).

Terdapat perbedaan gejala sifilis pada pria dan perempuan seperti

dijelaskan berikut: (Newman et al., 2013)

Gejala sifilis pada pria. Gejala sifilis pada pria ditunjukkan dengan

beberapa ciri sebagai berikut: 1) Adanya lepuhan yang terdapat di alat vital pria.

Biasanya pada tahap awal, kulit terbuka seperti melepuh namun tidak terasa sakit.

Apabila tidak diambil tindakan, sifilis yang disebabkan oleh bakteri ini bisa saja

kumat dan akan menimbulkan akibat yang fatal; 2) Gejala sifilis pada laki-laki

juga ditandai dengan adanya pembengkakan pada getah bening, atau tonjolan

mirip kutil yang dapat menular dan biasanya terdapat di sekitar anus dan ketiak,

dan merupakan cirri-ciri penyakit sifilis lanjutan. Apabila sifilis berlanjut ke tahap

berikutnya, maka dapat merusak banyak organ tubuh lainnya.

Gejala sifilis pada wanita. Penyakit sifilis pada umumnya tidak lagi

hanya menyerang kaum pria, namun juga menyerang kaum wanita. Menurut

(Hawkes et al., 2015) banyak penderita sifilis terutama wanita kurang mengenali

gejala-gejalanya sehingga baru menyadarinya ketika penyakit sifilis sudah

memasuki stadium lanjut. Wanita lebih mudah terjangkit sifilis karena memiliki

alat kelamin yang lebih lembab dan basah sehingga bakteri akan lebih mudah

menginfeksi (Committee on Infectious Diseases, 2012).

Universitas Sumatera Utara


25

Penyakit sifilis pada wanita akan muncul sekitar 3 minggu-6 bulan setelah

berhubungan seksual dengan penderita. Penyakit sifilis pada wanita tersebut dapat

dilihat dari beberapa ciri sebagai berikut: 1) Muncul benjolan dan luka di sekitar alat

kelamin. Luka terlihat seperti lubang pada kulit dengan tepi yang lebih tinggi.

Biasanya tidak terasa sakit. Dalam beberapa minggu luka akan hilang, tapi justru

bakteri akan menetap pada tubuh dan penyakit dapat muncul berupa lecet-lecet pada

seluruh tubuh. Lalu lecet-lecet ini akan hilang juga, dan virus akan menyerang organ

tubuh lain; 2) Terkadang disertai pusing-pusing dan nyeri tulang seperti gejala flu;

3) Muncul bercak kemerahan pada tubuh sekitar 6-12 minggu setelah hubungan

seksual (Chin, 2013).

Sifilis pada wanita bisa memperbesar potensi untuk tertular penyakit HIV

atau AIDS. Luka yang terbuka akibat penyakit menular seksual sifilis membuat

penyebaran virus HIV AIDS dengan sangat cepat melalui kontak seksual secara

langsung. Sifilis pada wanita hamil juga dapat menyebabkan anak yang

dikandungnya menderita kecacatan seperti kerusakan kulit, hati, limpa dan bahkan

keterbelakangan mental. Selama dua sampai tiga tahun pertama penyakit ini tidak

menunjukkan gejala apa-apa, setelah lima sampai sepuluh tahun penyakit ini akan

menyerang susunan syaraf otak, pembuluh darah dan jantung (Mullooly &

Higgins, 2010).

Gejala penyakit sifilis pada wanita memiliki beberapa stadium sifilis yaitu:

1) Stadium pertama. Stadium ini ditandai gejala awal luka yang kemerahan dan

basah di daerah vagina, poros usus atau mulut. Luka ini disebut dengan chancre

atau syangker, dan muncul di tempat spirochaeta masuk ke tubuh seseorang untuk

pertama kalinya. Pembengkakan kelenjar getah bening juga ditemukan selama

Universitas Sumatera Utara


26

stadium ini. Setelah beberapa minggu, chancre tersebut akan menghilang.

Stadium ini merupakan stadium yang sangat menular; 2) Stadium kedua. Jika

sifilis stadium pertama tidak diobati, biasanya para penderita akan mengalami

ruam, khususnya di telapak kaki dan tangan. Mereka juga dapat menemukan

adanya luka-luka di bibir, mulut, tenggorokan, vagina dan anus.

Tahap inkubasi sifilis. Masa inkubasi sifilis umumnya terdiri dari tiga

tahapan. Hal tersebut seperti dikemukakan Dayan & Ooi (2005) bahwa terdapat

tiga tahap masa inkubasi penyakit sifilis dalam tubuh manusia seperti dijelaskan

berikut:

Tahap I. Antara sembilan sampai 90 hari setelah terinfeksi. Timbul luka

kecil, bundar dan tidak sakit chancre tepatnya pada kulit yang terpapar atau

kontak langsung dengan penderita. Chancre tempat masuknya penyakit hampir

selalu muncul di dalam dan sekitar genetalia, anus bahkan mulut. Pada kasus yang

tidak diobati (sampai satu tahun berakhir), setelah beberapa minggu, chancre akan

menghilang tapi bakteri tetap berada di tubuh penderita.

Tahap II. Antara satu sampai dua bulan kemudian, muncul gejala lain:

sakit tenggorokan, sakit pada bagian dalam mulut, nyeri otot, demam, lesu,

rambut rontok dan terdapat bintil. Beberapa bulan kemudian akan menghilang.

Sejumlah orang tidak mengalami gejala lanjutan.

Tahap III. Dikenal sebagai tahap akhir sifilis. Pada fase ini chancre telah

menimbulkan kerusakan fatal dalam tubuh penderita. Dalam stase ini akan muncul

gejala: kebutaan, tuli, borok pada kulit, penyakit jantung, kerusakan hati, lumpuh

dan gila (Dayan & Ooi, 2005).

Universitas Sumatera Utara


27

Sementara menurut (Eccleston et al., 2008) sifilis dibedakan menjadi

tahap primer, tahap sekunder, dan tahap tersier seperti berikut:

Tahap primer. Selama tahap primer sifilis, sakit (chancre) yang biasanya

menimbulkan rasa sakit berkembang di tempat di mana bakteri masuk ke dalam

tubuh. Hal ini biasanya terjadi dalam waktu tiga minggu paparan tetapi dapat

berkisar antara sepuluh sampai 90 hari. Seseorang sangat menular selama tahap

primer. 1) Pada pria, chancre sering muncul di daerah kelamin, biasanya (tetapi

tidak selalu) pada penis. Luka ini sering menyakitkan; 2) Pada wanita, chancres

dapat mengembangkan pada alat kelamin luar atau di bagian dalam vagina.

Sebuah chancre mungkin tidak diketahui jika terjadi dalam vagina atau pada

pembukaan ke rahim (serviks). Luka biasanya tidak menimbulkan rasa sakit dan

tidak mudah terlihat; 3) Pembengkakan kelenjar getah bening dapat terjadi dekat

daerah chancre; 4) Sebuah chancre juga dapat terjadi di daerah tubuh selain alat

kelamin; 5) Chancre biasanya berlangsung selama tiga sampai enam minggu,

sembuh tanpa pengobatan, dan dapat meninggalkan bekas luka tipis. Tapi

meskipun chancre telah sembuh, sifilis masih ada dan seseorang masih dapat

menularkan kepada orang lain

Tahap sekunder. Sifilis sekunder ditandai dengan ruam yang muncul dua

sampai delapan minggu setelah Chancre berkembang dan kadang-kadang sebelum

menyembuhkan. Gejala-gejala lain juga dapat terjadi, yang berarti bahwa Selama

tahap primer sifilis, sakit (chancre) yang biasanya menimbulkan rasa sakit

berkembang di tempat di mana bakteri masuk ke dalam tubuh. Hal ini biasanya

terjadi dalam waktu tiga minggu paparan tetapi dapat berkisar antara sepuluh

Universitas Sumatera Utara


28

sampai 90 hari. Seseorang sangat menular selama tahap primer. 1) Pada pria,

chancre sering muncul di daerah kelamin, biasanya (tetapi tidak selalu) pada

penis. Luka ini sering menyakitkan; 2) Pada wanita, chancres dapat

mengembangkan pada alat kelamin luar atau di bagian dalam vagina. Sebuah

chancre mungkin tidak diketahui jika terjadi dalam vagina atau pada pembukaan

ke rahim (serviks). Luka biasanya tidak menimbulkan rasa sakit dan tidak mudah

terlihat; 3) Pembengkakan kelenjar getah bening dapat terjadi dekat daerah

chancre; 4) Sebuah chancre juga dapat terjadi di daerah tubuh selain alat kelamin;

5) Chancre biasanya berlangsung selama 3 sampai 6 minggu, sembuh tanpa

pengobatan, dan dapat meninggalkan bekas luka tipis. Tapi meskipun chancre

telah sembuh, sifilis masih ada dan seseorang masih dapat menularkan kepada

orang lain

Tahap laten (tersembunyi). Jika tidak diobati, orang yang terinfeksi akan

maju ke laten (tersembunyi) tahap sifilis. Tahap laten didefinisikan sebagai tahun

setelah seseorang menjadi terinfeksi. Setelah ruam sekunder tahap hilang, orang

tersebut tidak akan memiliki gejala untuk waktu (periode laten). Periode laten

mungkin sesingkat 1 tahun atau berkisar antara lima sampai 20 tahun

Tahap tersier (akhir). Ini adalah tahap yang paling merusak sifilis. Jika

tidak diobati, tahap tersier dapat dimulai sedini satu tahun setelah infeksi atau

setiap saat selama seumur hidup seseorang. Seseorang dengan sifilis mungkin

pernah mengalami tahap ini penyakit. Selama tahap ini, sifilis dapat menyebabkan

pembuluh darah dan masalah jantung yang serius, gangguan mental, kebutaan,

masalah sistem saraf, dan bahkan kematian. Gejala tersier sifilis tergantung pada

Universitas Sumatera Utara


29

komplikasi yang berkembang. Komplikasi dari tahap ini meliputi: 1) Gummata,

yang luka besar di dalam tubuh atau pada kulit; 2) Sifilis kardiovaskular, yang

memengaruhi jantung dan pembuluh darah; 3) Neurosifilis, yang memengaruhi

sistem saraf (Eccleston et al., 2008).

Diagnosa sifilis. Diagnosis sulit dilakukan dan penyakit ini sering disebut

“Peniru Besar” karena sering dikira penyakit lainnya. Untuk menentukan

diagnosis sifilis maka dilakukan pemeriksaan klinik, serologi atau pemeriksaan

dengan menggunakan mikroskop lapangan gelap (dark field microscope). Pada

kasus tidak bergejala diagnosis didasarkan pada uji serologis treponema dan non

protonema. Uji non protonema seperti Venereal Disease Research Laboratory

(VDRL+). Untuk mengetahui antibodi dalam tubuh terhadap masuknya

Treponema pallidum. Hasil uji kuantitatif uji VDRL cenderung berkorelasi

dengan aktifitas penyakit sehingga amat membantu dalam skrining, titer naik bila

penyakit aktif (gagal pengobatan atau terinfeksi) dan turun bila pengobatan cukup.

Kelainan sifilis primer yaitu chancre harus dibedakan dari berbagai penyakit yang

ditularkan melalui hubungan kelamin yaitu chancroid, granuloma inguinale,

limfogranuloma venerium, verrucae acuminata, scabies, dan keganasan (kanker)

(Hawkes et al., 2015).

Sifilis pada Kehamilan. Manifestasi sifilis tidak berbeda pada perempuan

hamil dan tidak hamil. Pada perempuan seringkali luput dari perhatian, karena

ulkus tidak nyeri atau tidak menimbulkan gejala, meskipun demikian, sifilis dapat

ditularkan kepada janin. Sifilis dapat ditularkan dalam stadium primer dan

sekunder, dan laten. Spiroketa dapat melewati plasenta dan menginfeksi janin

Universitas Sumatera Utara


30

sejak usia gestasi 14 minggu, dan risiko infeksi janin meningkat seiring

meningkatnya usia gestasi. Dalam empat tahun setelah tertular sifilis, seorang

perempuan yang tidak diobati berkemungkinan 70 persen menularkan infeksi

kepada janin. Sekitar 40 persen kehamilan pada perempuan dengan sifilis dini

yang tidak diobati akan berakhir dengan kematian perinatus (Indriatmi, 2017).

Semua perempuan hamil harus dilakukan pemeriksaan serologi sifilis pada

awal kehamilan. Skrining dapat dilakukan pada kunjungan antenatal pertama.

Pada perempuan dengan kunjungan antenatal yang tidak optimat tes RPR dapat

dilakukan sejak kepastian kehamilan. Populasi perempuan berisiko tinggi

terinfeksi atau bila tinggal pada komunitas dengan prevalensi sifilis yang tinggi,

tes serologi dapat dilakukan 2 kali dalam trimester ketiga, sekali pada kehamilan

28 sampai 32 minggu, dan sekali lagi saat melahirkan. Perempuan dengan riwayat

kematian janin sesudah kehamilan 20 minggu harus diperiksa serologi sifilis

(Indriatmi, 2017).

Sifilis pada HIV. Sifilis dapat mempertinggi risiko terinfeksi HIV. Hal ini

dikarenakan oleh lebih mudahnya virus HIV masuk ke dalam tubuh seseorang bila

terdapat luka (Scorviani & Nugroho, 2012). Berbagai aspek mengenai interaksi

antara sifilis dan infeksi HIV telah banyak dilaporkan sejak mulainya pandemi

HIV. Sifilis akan meningkatkan risiko tertular dan menularkan infeksi HIV. Ulkus

sifilis akan merusak epitel dan mukosa dan menjadi tempat masuk HIV. Lesi

sifilis mengandung banyak makrofag dan limfosit T-CD4+, yang merupakan sel

target HIV. Pada pasien HIV, sifilis menurunkan jumlah sel CD4 dan

meningkatkan viral load HIV. Dalam enam bulan pertama setelah perkiraan

Universitas Sumatera Utara


31

pajanan sifilis, merupakan waktu yang paling berisiko tertular infeksi HIV

(Indriatmi, 2017).

Pada sebagian besar pasien sifilis yang terinfeksi HIV, sifilis dapat

didiagnosis melalui tes serologi, meskipun dapat terjadi modifikasi pada hasil tes

serologi sifilis. Bila secara klinis sifilis, namun tes serologi non reaktif, atau

interpretasi tidak jelas, perlu dilakukan cara lain untuk menegakkan diagnosis,

yaitu dengan biopsi lesi, pemeriksaan lapangan gelap (Indriatmi, 2017).

Pencegahan sifilis. Penyakit sifilis dapat dicegah. CDC (Centre for

Disease Control and Prevention) merekomendasikan lima strategi sebagai dasar

untuk program pencegahan yang efektif: 1) Pendidikan dan konseling bagi orang

yang berisiko baik berisiko tinggi maupun berisiko rendah untuk memotivasi

adopsi perilaku seksual yang lebih aman; 2) Identifikasi orang yang terinfeksi baik

tanpa gejala atau dengan gejala untuk mencari layanan diagnostik dan

pengobatan; 3) Diagnosis dan pengobatan orang yang terinfeksi dengan cepat dan

efektif; 4) Evaluasi, pengobatan, dan konseling pasangan seksual terkena sifilis;

5) Vaksinasi orang yang berisiko untuk terkena infeksi menular seksual yang

dapat dicegah dengan vaksin (CDC, 2015).

Berpantang dari hubungan seksual atau hubungan yang saling monogami

dengan pasangan yang tidak terinfeksi adalah cara yang paling dapat diandalkan

untuk mencegah sifilis. Pantang harus dianjurkan selama pengobatan untuk IMS

dan untuk siapa saja yang ingin menghindari penyakit menular seksual dan

kehamilan yang tidak diinginkan. Kedua pasangan harus diuji untuk sifilis,

termasuk HIV, sebelum memulai hubungan seksual (Goldman & Ausielo, 2013).

Universitas Sumatera Utara


32

Pada prinsipnya pencegahan dapat dilakukan dengan cara mencegah

penularan sifilis melalui pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Adapun bentuk

pencegahan yang dapat dilakukan sebagai berikut :

Pencegahan primer. Sasaran pencegahan terutama ditujukan kepada

kelompok orang yang memiliki risiko tinggi tertular sifilis. Bentuk pencegahan

primer yang dilakukan adalah dengan prinsip ABC yaitu : 1) A (Abstinensia),

tidak melakukan Pengaruh seks secara bebas dan berganti-ganti pasangan; 2) B

(Be Faithful), bersikap saling setia dengan pasangan dalam Pengaruh perkawinan

atau pengaruh perkawinan atau pengaruh jangka panjang tetap; 3) C (Condom),

cegah dengan memakai kondom yang benar dan konsisten untuk orang yang tidak

mampu melaksanakan A dan B; 4) D (Drug), tidak menggunakan narkoba/napza;

5) E (Education), pemberian informasi kepada kelompok yang memiliki risiko

tinggi untuk tertular sifilis dengan memberikan leaflet, brosur, dan stiker (Chin,

2013).

Pencegahan sekunder. Sasaran pencegahan terutama ditujukan pada

mereka yang menderita (dianggap suspect) atau terancam akan menderita.

Diagnosis dini dan pengobatan yang tepat dapat dilakukan dengan cara mencari

atau melakukan skrining penderita sifilis, meningkatkan usaha surveilans, dan

melakukan pemeriksaan berkala kepada kelompok orang yang memiliki risiko

untuk terinfeksi penyakit sifilis. Bentuk pencegahan sekunder penyakit sifilis

dapat dilakukan dengan cara : 1) Melakukan cek darah untuk mengetahui infeksi

sifilis; 2) Pengobatan injeksi antibiotik benzatin benzyl penicillin untuk

menyembuhkan infeksi sifilis (Chin, 2013).

Universitas Sumatera Utara


33

Pencegahan tersier. Sasaran tingkat ketiga ditujukan kepada penderita

tertentu dengan tujuan mencegah jangan sampai mengalami cacat/kelainan

permanen, mencegah agar jangan bertambah parah/ mencegah kematian karena

penyakit tersebut. Bentuk pencegahan tersier yang dapat dilakukan adalah sebagai

berikut 1) Melakukan pengobatan (injeksi antibiotik) yang bertujuan untuk

menurunkan kadar titer sifilis dalam darah; 2) Melakukan tes IMS/HIV untuk

mengetahui status kemungkinan terkena IMS/HIV. Cara paling pasti untuk

menghindari penularan penyakit menular seksual, termasuk sifilis, adalah untuk

menjauhkan diri dari kontak seksual atau berada dalam pengaruh jangka panjang

yang saling monogami dengan pasangan yang telah diuji dan diketahui tidak

terinfeksi. Menghindari penggunaan alkohol dan obat juga dapat membantu

mencegah penularan sifilis karena kegiatan ini dapat menyebabkan perilaku

seksual berisiko. Bahwa pasangan seks penting berbicara satu sama lain tentang

status Human Immunodeficiency Virus mereka dan sejarah penyakit menular

seksual lainnya sehingga tindakan pencegahan dapat diambil (Chin, 2013).

Dalam Guidelines pengobatan Center for Disease Control and Prevention

(CDC, 2015) salah satu cara yang dilakukan untuk upaya pencegahan dan

pengobatan adalah melalui suatu program yang disebut Management of Sex

Partners (Manajemen Mitra Seks). Penularan Treponema pallidum diperkirakan

terjadi hanya ketika lesi sifilis mukokutan yang hadir. Meskipun manifestasi

tersebut jarang terjadi setelah tahun pertama infeksi, orang yang terkena seksual

kepada pasien yang memiliki sifilis pada setiap tahap harus dievaluasi klinis dan

serologis dan diobati dengan rejimen disarankan, sesuai rekomendasi berikut:

Universitas Sumatera Utara


34

1) Orang yang terpapar dalam waktu 90 hari sebelum diagnosis primer,

sifilis laten sekunder, atau awal pasangan seks mungkin terinfeksi bahkan jika

seronegatif, karena itu, orang tersebut harus dianggap sebagai suspect; 2) Orang

yang terkena lebih dari 90 hari sebelum diagnosis primer, sekunder sifilis laten,

atau pagi-pasangan seks harus diperlakukan sebagai suspect apabila hasil tes

serologis tidak tersedia segera dan kesempatan untuk tindak lanjut; 3) Sebagai

informasi bagi mitra dan pengobatan terhadap suspect atau dugaan dari pasangan

seks yang diduga memiliki risiko, pasien dengan sifilis yang tidak diketahui

statusnya dan dengan disertai uji serologi non-treponemal dengan titer yang tinggi

(yaitu di atas titer 1:32) dapat diasumsikan memiliki sifilis awal. Namun demikian

untuk tujuan menentukan rejimen pengobatan, titer serologi hendaknya tidak

boleh digunakan untuk membedakan sifilis awal dari sifilis laten melainkan

membutuhkan uji serologis lain yaitu pemeriksaan antibodi treponemal;

4) Pasangan seks jangka panjang dari pasien dengan sifilis latenharus dievaluasi

secara klinis dan serologis segera untuk diobati berdasarkan temuan evaluasi;

5) Pasangan seksual dari pasien yang terinfeksi harus dipertimbangkan telah

memiliki risiko dan segera diberikan pengobatan jika mereka memiliki kontak

seksual dengan pasien dalam waktu tiga bulan plus durasi gejala untuk pasien

yang didiagnosis dengan sifilis primer, durasi enam bulan plus gejala bagi mereka

dengan sifilis sekunder dan satu tahun untuk pasien dengan sifilis laten dini serta

dalam waktu tiga bulan plus durasi gejala untuk pasien yang didiagnosis dengan

sifilis primer. Penyakit ulkus kelamin, seperti sifilis, dapat terjadi di kedua daerah

kelamin laki-laki dan perempuan yang ditutupi atau dilindungi oleh kondom

Universitas Sumatera Utara


35

lateks. Penggunaan kondom lateks dapat mengurangi risiko sifilis, serta herpes

genital dan chancroid, hanya bila daerah yang terinfeksi atau situs paparan potensi

dilindungi (CDC, 2015).

WHO (2011) juga menyebutkan bahwa konsistensi penggunaan kondom

dapat mengurangi transmisi HIV sebesar 64 persen dan IMS sebesar 42 persen.

Penyakit Sifilis hampir seperempatnya akan kambuh bila tidak diobati, pada sifilis

dini yang diobati, angka penyembuhan mencapai 95 persen. Kegagalan terapi

sebanyak 5 persen pada SI dan SII. Kambuh klinis umumnya terjadi setahun

sesudah terapi, berupa lesi menular pada mulut, tenggorokan, dan regio perianal.

Tata laksana pengobatan sifilis. Untuk menanggulangi penyakit sifilis

tersebut perlu dilakukan berbagai upaya-upaya mulai dari kombinasi dari

perawatan, deteksi dini dan pencegahan, sosialisasi bahaya narkoba narkotika,

sosialisasi seks bebas dan kebijakan pemerintah daerah yang berpihak pada

penanggulangan HIV/AIDS. Salah satunya adalah Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2017 Tentang Eliminasi Penularan Human

Immunodeficiency Virus, Sifilis, Dan Hepatitis B Dari Ibu Ke anak maka upaya

untuk memutus rantai penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B melalui Eliminasi

Penularan. Upaya Eliminasi Penularan HIV, Sifilis dan Hepatitis B dilakukan

secara bersama-sama karena infeksi HIV, Sifilis, dan Hepatitis B memiliki pola

penularan yang relatif sama, yaitu ditularkan melalui hubungan seksual,

pertukaran/kontaminasi darah, dan secara vertikal dari ibu ke anak. Diharapkan

dengan cara kombinasi ini akan dapat mengurangi mata rantai penyebaran

penyakit sifilis serta HIV-AIDS sekaligus dapat memperbaiki sistem reproduksi

kelamin seseorang (Permenkes, 2017).

Universitas Sumatera Utara


36

Dalam rangka memutus mata rantai penyakit sifilis maka perlu dilakukan

tindakan seperti: 1) Didik masyarakat tentang cara-cara umum menjaga kesehatan;

2) Lindungi masyarakat dari infeksi sifilis dengan cara mencegah dan

mengendalikan PMS pada pekerja seks komersial (PSK); 3) Sediakan fasilitas

pelayanan kesehatan untuk diagnosa dini dan pengobatan dini PMS (Chin, 2013).

Pada pengobatan jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga diobati, dan

selama belum sembuh penderita dilarang bersenggama. Pengobatan dimulai sedini

mungkin, makin dini hasilnya makin baik. Pada sifilis laten terapi bermaksud

mencegah proses lebih lanjut (Kunoli, 2013).

Pengobatannya menggunakan penisilin dan antibiotik lain. Obat yang

merupakan pilihan adalah penisilin. Obat tersebut dapat menembus plasenta

sehingga mencegah infeksi pada janin dan dapat menyembuhkan janin yang

terinfeksi, juga efektif untuk neurosifilis. Kadar yang tinggi dalam serum tidak

diperlukan, asalkan jangan kurang dari 0,03 unit/ml. Jika kadarnya kurang dari

angka tersebut, setelah lebih dari dua puluh empat jam sampai tiga puluh jam

maka kuman dapat berkembang biak (Chin, 2013).

Menurut lama kerjanya, terdapat tiga macam penisilin: 1) Penisilin G

prokain dalam akua dengan lama kerja dua puluh empat jam, jadi bersifat kerja

singkat; 2) Penisilin G prokain dalam minyak dengan aluminium monostereat

(PAM), lama kerja tujuh puluh dua jam, bersifat kerja sedang; 3) Penisilin G

benzatin dengan dosis 2,4 juta unit akan bertahan dalam serum dua sampai tiga

minggu, jadi bersifat kerja lama. Ketiga obat tersebut diberikan secara

intramuscular. Derivat penisilin per oral tidak dianjurkan karena absorpsi oleh

saluran cerna kurang dibandingkan dengan suntikan (S F Daili, 2012).

Universitas Sumatera Utara


37

Menurut Center for Disease Control and Prevention, disebutkan bahwa

Benzatin penicillin G, Bicillin adalah obat pilihan terbaik untuk pengobatan semua

tahap sifilis dan merupakan satu-satunya pengobatan dengan keberhasilan yang

digunakan untuk sifilis pada masa kehamilan. Penicillin memang tetap merupakan

obat pilihan utama karena murah dan efektif. Berbeda dengan gonokokus, belum

ditemukan resistensi treponema terhadap penicillin. Konsentrasi dalam serum

sejumlah 0,03 UI/ml sudah bersifat treponemasidal namun menetap dalam darah

selama 10-14 hari pada sifilis menular, 21 hari pada semua sifilis lanjut dan laten

(CDC, 2015).

Usia Produktif

Penduduk usia produktif adalah penduduk usia kerja yang sudah bisa

menghasilkan barang dan jasa. Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS)

mengambil penduduk umur 10 tahun ke atas sebagai kelompok usia kerja. Akan

tetapi sejak tahun 1998 mulai menggunakan usia 15 tahun ke atas atau lebih tua

dari batas usia kerja pada periode sebelumnya. Kelompok penduduk umur 0-14

tahun dianggap sebagai kelompok penduduk yang belum produktif secara

ekonomis, kelompok penduduk umur 15-64 tahun sebagai kelompok penduduk

yang produktif, dan kelompok penduduk umur 64 tahun ke atas sebagai kelompok

yang tidak lagi produktif. Berbicara tentang penduduk usia produktif sangat erat

kaitannya dengan tenaga kerja dan angkatan kerja.

Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa usia produktif adalah antara

15-54 tahun. Dalam penelitian ini umur yang diambil adalah umur antara 20-49

tahun, sehingga usia tersebut masih termasuk usia produktif. Peran faktor umur

memberikan respon terhadap situasi yang potensial menimbulkan suatu penyakit.

Universitas Sumatera Utara


38

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penyakit Sifilis

Melihat tingginya angka prevalensi sifilis pada laki-laki usia produktif,

identifikasi terhadap faktor-faktor terkait yang berpengaruh perlu dilakukan.

Beberapa faktor risiko yang diduga menjadi penyebab meningkatkan jumlah

prevalensi penyakit sifilis pada kelompok laki-laki usia produktif dan yang

berpengaruh meningkatkan risiko penularan sifilis antara lain :

Umur. Umur merupakan salah satu variabel yang penting dalam

memengaruhi aktivitas seksual seseorang sehingga dalam melakukan aktivitas

seksual orang yang lebih dewasa memiliki pertimbangan yang lebih banyak

dibandingkan dengan orang yang belum dewasa (Azwar, 2015). Badan pusat

statistik membagi usia penduduk sebagai berikut: usia <1 tahun, usia 1-14 tahun,

usia 15-19 tahun, usia 20-24 tahun, usia 25-49 tahun, usia >50 tahun. Rentang

usia 25-49 tahun merupakan usia produktif (Badan Pusat Statistik, 2018).

Berdasarkan data dari Center for Disease Control and Prevention, bahwa

dimana kelompok umur 25 sampai 49 tahun merupakan kelompok umur dengan

angka kejadian tertinggi. Hal ini mungkin terjadi dikarenakan kelompok umur 25

sampai 49 tahun merupakan kelompok umur yang aktif secara seksual (sexual

active) (CDC, 2015).

Penelitian tentang Pengaruh antara umur dengan kejadian sifilis pada

populasi LSL belum banyak ditemukan. Namun literatur kaitan umur yang lebih

tua sebagai faktor risiko sifilis beberapa sudah tercatat. Sebuah penelitian tentang

sifilis kongenital mencatat bahwa usia wanita yang lebih tua (di atas 30 tahun)

merupakan risiko untuk terkena sifilis di Tanzania (Yususi, 2010 dalam (Hartanti,

Universitas Sumatera Utara


39

2012). Sementara penelitian (Todd, Munguti, & Grosskurth, 2001) menyebutkan

sebanyak 20 persen sifilis positif pada pria berusia 35- 44 tahun. Penelitian

(Thomas, 2013) menyebutkan pada kalangan Non-MSM termasuk populasi

Transgender didapatkan sifilis pada usia 25-49 tahun (OR 3,36 ,95 persen CI

1,347-8,225) dan pada usia 50 ke atas (OR 4,76 95 persen CI 1,522- 14,853)

(Hartanti, 2012).

Penelitian Adisthanaya di Poliklinik Kulit dan Kelamin Sub Divisi Infeksi

Menular Seksual RSUP Sanglah bahwa pasien sifilis yang datang berumur di

bawah 15 tahun adalah 0 persen, berdasarkan data dari CDC, angka kejadian

pasien sifilis yang datang berumur di bawah 15 tahun sangat rendah. Pada

penelitian ini, didapatkan umur 15 sampai 24 tahun terdapat sebesar 34,3 persen,

sedangkan untuk umur 25 sampai 49 tahun merupakan persentase tertinggi pasien

sifilis yaitu sebesar 60 persen (Adisthanaya, 2016).

Tingkat pendidikan. Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran

kepada masyarakat, agar masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan (praktik)

untuk memelihara dan mengatasi masalah, dan meningkatkan kesehatannya.

Perubahan atau tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang dihasilkan

oleh pendidikan kesehatan ini didasarkan kepada pengetahuan dan kesadarannya

melalui proses pembelajaran, sehingga perilaku tersebut diharapkan akan

berlangsung lama (long lasting) dan menetap (langgeng), karena didasari oleh

kesadaran. Dari beberapa definisi tentang pendidikan di atas dapat disimpulkan

bahwa pendidikan adalah upaya persuasif yang dilakukan. proses belajar, makin

tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima

Universitas Sumatera Utara


40

informasi. Namun perlu ditekankan bahwa seorang yang berpendidikan rendah

tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula. Pengetahuan seseorang tentang

sesuatu obyek juga mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan negatif. Kedua

aspek inilah yang akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap obyek

tertentu. Semakin banyak aspek positif dari obyek yang diketahui, akan

menumbuhkan sikap makin positif terhadap obyek tersebut (Notoatmodjo, 2013).

Penelitian Gomes et al. (2017) mendapatkan hasil bahwa prevalensi sifilis

adalah 6,3%. Penyakit sifilis dikaitkan dengan tingkat pendidikan yang rendah

dapat mengganggu pemahaman dalam pencegahan penyakit sifilis. Ini

menguatkan hasil penelitian yang dilakukan Garcia & Souza (2010) di São Paulo

dan Recife, di mana orang-orang yang kurang berpendidikan memiliki informasi

yang salah tentang bentuk-bentuk pencegahan dan penularan IMS, yang tercermin

oleh prevalensi infeksi menular seksual yang lebih tinggi dalam kelompok ini.

Dapat dipahami bahwa beberapa pertanyaan yang bersifat pendidikan dapat

mengganggu adopsi metode pencegahan, misalnya, pendidikan yang rendah dapat

berkontribusi pada peningkatan penyakit infeksi seksual. Mempertimbangkan

bahwa sifilis dan IMS lain terutama ditularkan melalui kontak seksual, beberapa

aspek harus dipertimbangkan, termasuk tingkat pemahaman dan kemampuan

perawatan diri.

Riwayat sifilis/infeksi menular seksual. Riwayat alamiah penyakit

bertujuan mengukur kondisi kesehatan (health outcome) yang akan diperoleh pada

orang sakit jika tidak mendapatkan pengobatan yang signifikan bagi kesehatannya

(Irwan, 2017). Sedangkan (Broeck & Brestoff, Jan Jonathan R. Baum, 2013)

menyatakan studi pemaparan riwayat alamiah penyakit merupakan salah satu

Universitas Sumatera Utara


41

tujuan dari studi epidemiologi deskriptif, Istilah lain yang sering dipakai dalam

istilah riwayat alamiah penyakit adalah antara lain: Natural History of Disease,

Natural Course of Disease, atau Natural History of Illness (Irwan, 2017).

Manfaat riwayat alamiah penyakit yaitu untuk kepentingan diagnostik

yang merupakan masa inkubasi penyakit dan masa penentuan jenis penyakit,

untuk Pencegahan, mengetahui perjalanan penyakit mulai dari awal hingga

terjangkitnya sehingga bisa mendapatkan solusi yang tepat untuk menghentikan

penyebarannya dan untuk kepentingan terapi, dengan mengetahui setiap fase

dengan baik maka terapi yang diberikan akan berjalan dengan baik pula. Riwayat

alamiah penyakit merupakan proses perkembangan suatu penyakit tanpa adanya

intervensi yang dilakukan oleh manusia dengan sengaja dan terencana

(Hikmawati, 2012). Seseorang yang memiliki riwayat penyakit sifilis sebelumnya

kemungkinan besar akan dapat terinfeksi kembali penyakit sifilis tersebut

(Hutapea, 2012).

Seseorang yang pernah terinfeksi salah satu jenis IMS membuat lebih

mudah untuk IMS lain menyerang. Jika terinfeksi dengan herpes, sifilis, gonore

atau klamidia dan melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan pasangan

yang memiliki gejala infeksi menular seksual positif, kemungkinan dapat tertular

penyakit infeksi menular seksual dan penyakit sifilis (Nari, Zhaluhiyah, &

Nugraha, 2015).

Penggunaan kondom. Kondom lateks menawarkan perlindungan

terhadap penularan sifilis bila digunakan secara konsisten dan benar tetapi

menggunakan kondom harus menutupi ulkus atau kondiloma latum seluruhnya.

Tetapi efektivitas kondom berkurang ketika individu mengalami peningkatan

Universitas Sumatera Utara


42

jumlah paparan seksual, terutama untuk penyakit seperti sifilis yang dapat

ditularkan melalui kontak kulit ke kulit (Stoltey & Cohen, 2015).

Pemakaian kondom yang benar dan konsisten selama ini telah banyak

diyakini dapat mengurangi risiko penularan Penyakit Menular. Penggunaan

kondom lateks dapat mengurangi risiko sifilis, serta herpes genital dan chancroid,

hanya bila daerah yang terinfeksi atau situs paparan potensi dilindungi (Urada,

Malow, Santos, & Morisky, 2012). Menurut guidelines WHO (2011) mengenai

pencegahan dan pengobatan IMS disebutkan bahwa penggunaan kondom secara

konsisten mampu mengurangi transmisi HIV sebesar 64 persen dan infeksi

menular seksual (Sex Transmitted Infection/STI) sebesar 43 persen.

Laki-laki berisiko tinggi menderita penyakit infeksi menular seksual

seperti sifilis disebabkan karena mudah terpengaruh secara proporsial untuk tidak

menggunakan kondom saat berhubungan intim. Mereka lebih sering terlibat dalam

perilaku seksual berisiko, selain merasa tidak nyaman membicarakan seksual yang

aman dengan pasangan atau meminta pasangan menggunakan kondom serta

kurang percaya diri menolak hubungan seksual yang tidak aman (Gross & Tyring,

2014).

Beberapa ketidakkonsistenan ditemukan dalam penelitian yang dilakukan

oleh Gomes et al. (2017) mengenai hubungan sifilis dengan penggunaan kondom

dalam dua belas bulan sebelumnya dengan pasangan di luar nikah dan hubungan

terakhir dengan pasangan tetap. Secara umum, penelitian menunjukkan bahwa

penggunaan kondom mencegah penularan sifilis dan IMS ketika digunakan secara

teratur. Sebuah survei yang dilakukan Garcia & Souza (2010), yang telah

mempelajari risiko HIV dan IMS, menunjukkan bahwa alasan penggunaan

Universitas Sumatera Utara


43

kondom masih lebih terkait dengan kontrol reproduksi, perhatian utama kaum

muda, daripada pencegahan penyakit menular seperti sifilis dan HIV.

Wanita yang lebih tua yang mengatakan mereka tidak menggunakan

kondom karena mereka terlindung dari risiko karena stabilitas hubungan

menyatakan keprihatinan tentang penggunaan kondom anak-anak mereka; studi

ini juga mengungkapkan bahwa wanita menolak untuk menggunakan kondom

karena penolakan oleh pasangan mereka (Garcia & Souza, 2010).

Sebagai pilihan alternatif kondom pria, memperluas ketersediaan kondom

wanita (yang dapat digunakan baik untuk hubungan seks penis-vagina dan penis-

anal) dapat memberikan rute untuk meningkatkan jumlah seks yang dilindungi di

masyarakat. Selanjutnya, mengingat semakin meningkatnya cakupan kulit yang

ditawarkan oleh kondom wanita untuk seks vaginal dan anal, mode perlindungan

ini dapat memberikan tingkat perlindungan yang lebih baik untuk sifilis dan IMS

lainnya yang ditularkan melalui kulit (Stoltey & Cohen, 2015).

Penggunaan napza suntik. Penggunaan Napza suntik dinilai telah

memberikan kontribusi dalam peningkatan risiko IMS seperti sifilis dan HIV

terutama meningkatkan risiko terhadap perilaku seks yang tidak aman. Hal ini

disampaikan dalam Studi HIV/AIDS di populasi Waria di Asia Tenggara yang

dilakukan oleh WHO tahun 2010 (Riono, 2008).

Penyakit infeksi menular seksual dan penggunaan narkoba dilaporkan

menunjukkan hubungan yang kuat dengan sifilis. Sebuah studi di Recife dengan

400 pengguna narkoba menilai faktor risiko dan prevalensi sifilis dan HIV pada

populasi ini. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar kasus adalah laki-laki (71%)

dan orang muda dalam hubungan informal yang menggunakan narkotika jenis

Universitas Sumatera Utara


44

kokain (empat hari seminggu) dan mengkonsumsi banyak obat. Setengah dari

pengguna ini telah mulai menggunakan obat-obatan terlarang lebih dari enam

tahun, termasuk ganja pada usia muda dan sebelum usia 18 tahun (Santos, 2013).

Penggunaan narkoba di kalangan anak muda dalam kaitannya dengan inisiasi

seksual dini meningkatkan kerentanan terhadap sifilis dan IMS lainnya. Survei

lain terhadap pengguna narkoba di Brasil menunjukkan pengaruh alkohol dan

obat-obatan terhadap kerentanan dan pajanan terhadap HIV dan IMS lainnya,

menunjukkan peran sentral mereka dalam dinamika penyebaran HIV / AIDS dan

IMS seperti sifilis (Oliveira, 2012).

Di Indonesia menurut data STBP 2011 diketahui bahwa di antara populasi

Waria, proporsi yang menyuntik narkoba rendah (kurang dari empat persen) dan

penggunaan obat non injeksi (3 sampai 17 persen) sementara 37 persen waria di

Semarang dan 72 persen waria di Bandung dilaporkan mengkonsumsi alkohol

dalam tiga bulan terakhir (Kemenkes RI, 2011). Sementara menurut Pandu, et al

(2008) menyatakan 10 dari 745 waria di sejumlah kota di Indonesia dilaporkan

menggunakan obat-obatan terlarang dan jarum suntik, hampir dua pertiga

mengkonsumsi alkohol.

Jumlah mitra/pasangan seksual. Banyak pasangan seksual dan pilihan

pasangan diyakini meningkatkan risiko terjadinya penularan infeksi menular

seksual seperti sifilis. Penelitian Joffe et al. (1992) menunjukkan bahwa ada

hubungan yang kuat antara jumlah pasangan seksual dan infeksi menular seksual

seperti sifilis. Perempuan dengan lima atau lebih pasangan seksual 8 kali lebih

mungkin melaporkan memiliki IMS daripada yang hanya memiliki satu pasangan,

bahkan setelah disesuaikan dengan usia hubungan seksual pertama (peluang).

Universitas Sumatera Utara


45

Insidensi infeksi sifilis dan IMS relatif tinggi di antara LSL mungkin

terkait dengan beberapa faktor, termasuk perilaku individu dan karakteristik

banyaknya mitra/pasangan seksual. Banyaknya jumlah pasangan seks, sering

bertukar (gonta ganti) pasangan, dan frekuensi hubungan seks tanpa kondom

masing-masing mempengaruhi individu untuk terjadinya IMS (CDC, 2018).

Jenis Kelamin mitra/pasangan seksual. Sifilis masih tersebar luas di

seluruh dunia, dengan peningkatan angka di antara pria yang berhubungan seks

dengan pria (Stoltey & Cohen, 2015). Penularan infeksi menular seksual

menyumbang sebagian besar kasus baru sifilis. Kemungkinan penularan sifilis

dalam hubungan seksual tergantung pada banyak faktor, termasuk frekuensi seks,

jenis kelamin pasangan kontak seksual (yaitu penis-vagina, penis-anal atau penis-

oral), tahap sifilis pada pasangan seksual, dan kerentanan pasangan seksual (Gray

et al., 2011).

Sifilis sangat mudah menular selama sifilis primer dan sekunder, dan dapat

ditularkan dalam berbagai cara termasuk melalui hubungan seksual, transmisi

vertikal, dan parenteral. Terjadi peningkatan kejadian sifilis pada LSL, meskipun

telah bertahun-tahun dilakukan upaya pencegahan sifilis (Stoltey & Cohen, 2015).

Schober et al. dalam Stoltey & Cohen (2015) mendapatkan hasil bahwa enam

puluh lima dari 127 kontak (51%) terinfeksi sifilis. Penelitian mengelompokkan

pasien berdasarkan jenis kelamin pasangan seks, dan ada perbedaan yang

ditemukan dalam kejadian sifilis antara kontak heteroseksual (58%) dan kontak

homoseksual (49%).

Data CDC menunjukkan bahwa sebagian besar kasus sifilis primer dan

sekunder pada tahun 2017. Dari 30.644 kasus sifilis primer dan sekunder yang

Universitas Sumatera Utara


46

dilaporkan pada tahun 2017, sebanyak 17.736 (57,9%) adalah di antara lelaki suka

lelaki, termasuk 15.953 (52,1%) kasus di antara laki-laki yang hanya berhubungan

seks dengan laki-laki dan 1.783 (5,8%) kasus di antara laki-laki yang berhubungan

seks dengan laki-laki dan perempuan. Secara keseluruhan, 4.548 (14,8%) kasus

adalah di antara MSW, 3.722 (12,1%) di antara wanita, 4.601 (15,0%) di antara

pria tanpa informasi tentang jenis kelamin pasangan seks, dan 37 (0,1%) adalah

kasus yang dilaporkan dengan seks yang tidak diketahui. Di antara 22.284 kasus

laki-laki dengan informasi tentang jenis kelamin pasangan seks, 79,6% terjadi di

antara LSL (CDC, 2018)

Landasan Teori

Sifilis merupakan salah satu IMS (infeksi menular seksual) yang

menimbulkan kondisi cukup parah misalnya infeksi otak (neurosifilis), kecacatan

tubuh, bahkan kematian. Walaupun telah tersedia teknologi yang relatif sederhana

dan terapi efektif dengan biaya yang terjangkau, sifilis masih menjadi masalah

kesehatan masyarakat yang meluas di berbagai negara di dunia.

Sifilis disebabkan oleh bakteri spiroset Treponema pallidum sub-spesies

pallidum. Tanda dan gejala sifilis bervariasi bergantung pada fase mana penyakit

tersebut muncul (primer, sekunder, laten, dan tersier). Fase primer secara umum

ditandai dengan munculnya chancre tunggal (ulserasi keras, tidak menimbulkan

rasa sakit, tidak gatal di kulit), sifilis sekunder ditandai dengan ruam yang

menyebar yang seringkali muncul di telapak tangan dan tumit kaki, sifilis laten

biasanya tidak memiliki atau hanya menunjukkan sedikit gejala, dan sifilis tersier

dengan gejala gumma, neurologis, atau jantung. Namun, penyakit ini telah dikenal

sebagai "peniru ulung" karena kemunculannya ditandai gejala yang tidak sama.

Universitas Sumatera Utara


47

Faktor-faktor yang memengaruhi penyakit sifilis pada laki-laki usia

produktif dalam penelitian ini menggunakan modifikasi teori yang dianggap

paling cocok yaitu modifikasi Teori dari Konsep Penularan Penyakit Menular “R.

Beaglehole”, Bonita et al (2006) dalam Basic Epidemiology. Berdasarkan

penelitian terdahulu bahwa faktor umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,

riwayat sifilis/IMS, penggunaan kondom, penggunaan napza suntik, jumlah

pasangan seksual, jenis kelamin mitra seksual berpengaruh terhadap kejadian

penyakit sifilis pada laki-laki usia produktif (usia 25-49 tahun). Kerangka teori

penelitian ini digambarkan sebagai berikut:

Kontak dengan Invasi ke tubuh


Umur kuman melalui
Treoponema permukaan kulit
Jenis Kelamin Pallidum utuh dan masuk
ke darah
Pendidikan

Pekerjaan
Riwayat sifilis/
IMS
Host yang Sifilis
Infeksi
Penggunaan Rentan
Kondom

Penggunaan
Napza Suntik

Jumlah
Mitra/Pasangan
Seksual
Jenis Kelamin
Mitra/ Pasangan
Seksual
Faktor Risiko Sifilis Mekanisme terjadinya Sifilis

Gambar 1. Kerangka teori (dimodifikasi dari Teori Konsep Penularan Penyakit


Menular “R. Beaglehole” (Bonita, Beaglehole, & Kjellstrom, 2006)

Universitas Sumatera Utara


48

Kerangka Konsep

Kerangka konsep dibuat berdasarkan latar belakang dan landasan teori,

yaitu sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

1. Umur
2. Pendidikan
3. Riwayat sifilis/IMS Penyakit
4. Penggunaan Kondom Sifilis pada
5. Penggunaan napza suntik Laki-laki usia
6. Jumlah mitra/pasangan produktif (25-
seksual 49 tahun)
7. Jenis kelamin mitra/pasangan
seksual

Gambar 2. Kerangka konsep penelitian

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka konsep, landasan teoritis dan tujuan penelitian serta

latar belakang, maka hipotesis penelitian ini adalah :

1. Ada pengaruh umur terhadap terjadinya infeksi penyakit sifilis pada laki-laki

usia produktif (25-49 tahun) di Puskesmas Teladan Medan periode Januari

2019 sampai September 2019.

2. Ada pengaruh pendidikan terhadap terjadinya infeksi penyakit sifilis pada

laki-laki usia produktif (25-49 tahun) di Puskesmas Teladan Medan periode

Januari 2019 sampai September 2019.

3. Ada pengaruh riwayat sifilis / IMS terhadap terjadinya infeksi penyakit sifilis

pada laki-laki usia produktif (25-49 tahun) di Puskesmas Teladan Medan

periode Januari 2019 sampai September 2019.

Universitas Sumatera Utara


49

4. Ada pengaruh penggunaan kondom terhadap terjadinya infeksi penyakit sifilis

pada laki-laki usia produktif (25-49 tahun) di Puskesmas Teladan Medan

periode Januari 2019 sampai September 2019.

5. Ada pengaruh penggunaan napza suntik terhadap terjadinya infeksi penyakit

sifilis pada laki-laki usia produktif (25-49 tahun) di Puskesmas Teladan

Medan periode Januari 2019 sampai September 2019.

6. Ada pengaruh jumlah pasangan seksual terhadap terjadinya infeksi penyakit

sifilis pada laki-laki usia produktif (25-49 tahun) di Puskesmas Teladan

Medan periode Januari 2019 sampai September 2019.

7. Ada pengaruh jenis kelamin pasangan seksual terhadap terjadinya infeksi

penyakit sifilis pada laki-laki usia produktif (25-49 tahun) di Puskesmas

Teladan Medan periode Januari 2019 sampai September 2019.

Universitas Sumatera Utara


Metode Penelitian

Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah studi analitik observasional dengan

desain case control. Rancangan case control adalah studi analitik yang

menganalisis hubungan kausal dengan menggunakan logika terbalik, yaitu

menentukan penyakit (outcome) terlebih dahulu kemudian mengidentifikasi

penyebab (faktor risiko). Adapun alasan menggunakan desain ini karena studi

kasus kontrol yang menilai hubungan paparan penyakit dengan membandingkan

kelompok kasus dan kelompok kontrol berdasarkan status paparannya.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan retrospektif dimana untuk melihat

faktor penyebab di masa lalu terhadap kejadian pada saat ini (Hastono, 2016).

Dalam penelitian ini laki-laki usia produktif usia 25-49 tahun penderita sifilis

adalah sebagai kasus dan laki-laki usia produktif bukan penderita sifilis sebagai

kontrol. Rancangan kasus kontrol dalam penelitian ini digambarkan sebagai

berikut:

Faktor Risiko (+)

Kasus (Sifilis)

Faktor Risiko (-)

Faktor Risiko (+)


Kontrol
(Bukan Sifilis)
Faktor Risiko (-)

Gambar 3. Desain kasus kontrol (case control)

50
Universitas Sumatera Utara
51

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Teladan Kota

Medan. Alasan pemilihan lokasi karena meningkatnya kasus sifilis dibanding

tahun sebelumnya dan adanya Klinik VCT di Puskesmas Teladan Medan.

Waktu penelitian. Waktu penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober

2019.

Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian. Populasi dalam penelitian ini terdiri dari populasi

kasus dan populasi kontrol, dimana populasi kasus adalah seluruh laki-laki usia

produktif (usia 25-49 tahun, status sudah menikah) yang terdiagnosa menderita

penyakit sifilis di Klinik VCT Puskesmas Teladan Kota Medan pada tahun 2019

(periode Januari 2019 sampai September 2019) berjumlah 59 orang dan populasi

kontrol adalah seluruh laki-laki usia produktif (usia 25-49 tahun) yang datang

berkunjung ke Puskesmas Teladan Kota Medan dan dinyatakan tidak menderita

penyakit sifilis.

Sampel penelitian. Sampel dalam penelitian ini terdiri dari sampel

kasus dan sampel kontrol, dimana teknik pengambilan sampel merupakan

Total Sampling, yaitu sampel kasus adalah seluruh laki-laki usia produktif

(usia 25-49 tahun) terdiagnosa menderita penyakit sifilis di Klinik VCT

Puskesmas Teladan Kota Medan pada tahun 2019 berjumlah 59 responden.

Sampel kontrol adalah sebagian laki-laki usia produktif (usia 25-49 tahun)

yang datang ke Puskesmas Teladan Kota Medan dan dinyatakan tidak

menderita penyakit sifilis dengan menggunakan perbandingan 1:1 dengan

kasus sehingga diambil sampel sebanyak 59 responden.

Universitas Sumatera Utara


52

Kriteria Inklusi untuk sampel kasus adalah laki-laki berusia 25-49 tahun,

pasien Puskesmas Teladan Kota Medan yang menderita penyakit sifilis

berdasarkan catatan laporan klinik VCT Puskesmas Teladan Kota Medan,

bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Teladan Kota Medan serta bersedia

menjadi responden. Kriteria Inklusi untuk sampel kontrol adalah laki-laki berusia

25-49 tahun, yang melakukan kunjungan (berobat) ke Puskesmas Teladan Kota

Medan pada saat dilakukan penelitian dan bertempat tinggal di wilayah kerja

Puskesmas Teladan Kota Medan serta bersedia menjadi responden.

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dengan menggunakan data

primer dan data sekunder, dimana data primer peneliti memberikan pertanyaan

dalam bentuk kuesioner kepada responden kemudian responden baik kasus atau

kontrol menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang sudah ditentukan.

Sedangkan data sekunder yang diperoleh dari laporan tahunan Puskesmas Teladan

Kota Medan.

Data primer. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan

menggunakan kuesioner untuk mengetahui umur, pendidikan, riwayat sifilis/IMS,

penggunaan kondom, penggunaan Napza suntik, jumlah mitra/ pasangan seksual,

jenis kelamin mitra/pasangan seksual.

Data sekunder. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait meliputi

gambaran lokasi penelitian, jumlah penduduk, jumlah penderita penyakit sifilis

berdasarkan status rekam medis dan laporan penyakit menular Puskesmas Teladan

Kota Medan serta profil Puskesmas Teladan Medan.

Universitas Sumatera Utara


53

Variabel dan Definisi Operasional

Variabel penelitian. Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel

independen dan variabel dependen. Variabel Independen yaitu umur, pendidikan,

riwayat sifilis/IMS, penggunaan kondom, penggunaan Napza suntik, jumlah

mitra/ pasangan seksual, jenis kelamin mitra/pasangan seksual dan variabel

dependen adalah penyakit sifilis.

Definisi operasional. Adapun definisi operasional dari variabel penelitian

ini adalah :

1) Umur adalah usia responden yang dihitung dari lahir sampai dengan penelitian

ini dilakukan dalam satuan tahun.

2) Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan terakhir yang telah diselesaikan

oleh responden;

3) Riwayat sifilis/IMS adalah kondisi masa lalu responden sebelumnya atau ada

tidaknya memiliki riwayat menderita penyakit sifilis atau infeksi menular

seksual lainnya seperti gonorrhea, klamidia, HIV/AIDS, dan lain-lain;

4) Penggunaan Kondom adalah kebiasaan responden dalam menggunakan

kondom saat melakukan aktivitas seksual;

5) Penggunaan Napza Suntik adalah kebiasaan responden dalam menggunakan

Napza metode suntik;

6) Jumlah mitra/pasangan seksual adalah banyaknya jumlah pasangan seksual

responden dalam berhubungan seks sampai dengan penelitian ini dilakukan;

7) Jenis kelamin mitra/pasangan seksual adalah pasangan seksual responden

berdasarkan jenis kelamin: sejenis (homoseksual), atau berbeda jenis kelamin

(heteroseksual).

Universitas Sumatera Utara


54

8) Kejadian penyakit sifilis yaitu terjadinya infeksi menular seksual yang

disebabkan oleh bakteri spiroset Treponema pallidum sub-spesies pallidum

berdasarkan hasil diagnosa dan pemeriksaan dokter sesuai dengan rekam

medis Puskesmas Teladan Medan.

Metode Pengukuran

Metode pengukuran variabel penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Umur

Pengukuran umur responden dengan menanyakan umur responden saat ini,

dengan membatasi responden pada usia antara 25-49 tahun dan menggunakan

batasan usia rata-rata, yang dikategorikan sebagai berikut:

1 = Di bawah usia rata-rata (<36 tahun)

0 = Di atas usia rata-rata (>36 tahun)

2. Pendidikan

Pengukuran variabel pendidikan responden dengan menggunakan dasar dari

UU Sistem Pendidikan Nasional yang membagi tingkat pendidikan menjadi

dasar (SD/SMP), menengah (SMA), dan tinggi (Akademi/perguruan tinggi).

Untuk kepentingan analisis data maka kategori variabel pendidikan dibagi

menjadi 2 kategori sebagai berikut :

1 = Rendah (SD/SMP)

0 = Tinggi (SMA/Perguruan Tinggi)

3. Riwayat sifilis/IMS

Pengukuran variabel riwayat sifilis/IMS, dengan menanyakan pada responden

apakah pernah menderita penyakit sifilis atau infeksi menular seksual lainnya

seperti gonorrhea, klamidia, HIV/AIDS, dan lain-lain, yang dikategorikan

sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara


55

1 = Ada, jika pernah menderita sifilis atau IMS

0 = Tidak ada, jika tidak pernah menderita sifilis atau IMS

4. Penggunaan kondom

Pengukuran variabel penggunaan kondom, tentang rutinitas responden

menggunakan kondom saat berhubungan intim, yang dikategorikan sebagai

berikut:

1 = Tidak pernah menggunakan / jarang menggunakan kondom

0 = Rutin menggunakan Kondom

5. Penggunaan Napza suntik

Pengukuran variabel penggunaan napza suntik, apakah responden pernah

menggunakan napza suntik, yang dikategorikan sebagai berikut:

1 = Ya, jika responden menggunakan atau pernah menggunakan napza suntik

0 = Tidak, jika responden tidak menggunakan atau tidak pernah menggunakan

napza suntik

6. Jumlah mitra/pasangan seksual

Pengukuran variabel jumlah pasangan seksual, berapa jumlah pasangan

seksual, yang dikategorikan sebagai berikut:

1 = Lebih dari 1 orang

0 = 1 orang

7. Jenis kelamin mitra/pasangan seksual

Pengukuran variabel jenis kelamin mitra/pasangan seksual, dengan

menanyakan kepada responden tentang jenis kelamin mitra/pasangan seksual,

yang dikategorikan sebagai berikut:

1 = Sejenis / Pria (Homoseksual)

0 = Berbeda jenis kelamin / Wanita (Heteroseksual)

Universitas Sumatera Utara


56

8. Kejadian Sifilis

Kejadian sifilis diukur dengan melihat rekam medis Puskesmas Teladan

Medan berdasarkan diagnosa yang telah ditegakkan oleh dokter, yang

dikategorikan sebagai berikut:

1 = Sifilis

0 = Tidak / bukan sifilis

Pengukuran selengkapnya variabel penelitian dapat dilihat pada tabel

berikut ini.

Tabel 1

Aspek Pengukuran Variabel Penelitian

Bobot Skala
Nama Variabel Alat Ukur Kategori
Nilai Ukur
Independen
Umur Kuesioner 1 <36 tahun Ordinal
0 >36 tahun

Pendidikan Kuesioner 1 Rendah (SD/SMP) Ordinal


0 Tinggi (SMA/PT)

Riwayat sifilis/IMS Kuesioner 1 Ada Ordinal


0 Tidak ada

Penggunaan kondom Kuesioner 1 Jarang/Tidak Pernah Ordinal


0 Rutin

Penggunaan napza Kuesioner 1 Ya Ordinal


suntik 0 Tidak
Jumlah pasangan Kuesioner 1 >1 orang Ordinal
seksual 0 1 orang

Jenis kelamin Kuesioner 1 Sejenis (homoseksual) Ordinal


pasangan 0 Berbeda jenis kelamin
seksual (heteroseksual)
Dependen
Kejadian sifilis Rekam Medik 1 Sifilis Ordinal
(Diagnosa 0 Bukan Sifilis
Dokter)

Universitas Sumatera Utara


57

Metode Analisis Data

Pengolahan data. Pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai

berikut:

1. Editing yaitu penyuntingan data untuk menghindari kesalahan atau

kemungkinan adanya kuesioner yang belum terisi;

2. Coding yaitu untuk memudahkan proses entri data tiap jawaban diberi kode

dan skor.

3. Entry yaitu setelah diberi kode data dimasukkan ke komputer.

4. Cleaning yaitu sebelum dilakukan analisa data, maka dilakukan pengecekan

dan perbaikan.

Analisis data. Data dalam penelitian ini data dianalisis secara univariat,

bivariat, dan multivariat.

Analisis univariat. Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui

distribusi responden pada masing-masing variabel independen terhadap variabel

dependen. Adapun variabel independen pada penelitian ini adalah umur,

pendidikan, riwayat sifilis/IMS, penggunaan kondom, penggunaan Napza suntik,

jumlah mitra/ pasangan seksual, jenis kelamin mitra/pasangan seksual dan

variabel dependennya adalah kejadian penyakit sifilis.

Analisis bivariat. Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan

antara variabel dependen dengan variabel independen menggunakan uji chi square

dengan tingkat kepercayaan 95 persen (=0,05). Persyaratan uji chi-square

dikatakan sahih adalah :

Universitas Sumatera Utara


58

1) Pada tabel lebih dari 2x2 (misalnya 3x2 atau 3x3), apabila ada nilai frekuensi

harapan (expected) yang kurang dari 5 tidak lebih dari 20%, maka nilai χ2 atau

p-value dari Pearson Chi-square atau Likelihood Ratio dapat digunakan.

Namun, jika nilai expected yang kurang dari 5 lebih dari 20% atau ada nilai

expected yang kurang dari 1.0 (karena ada sel yang kosong), maka hasil uji

chi-square tidak valid, harus dilakukan pengelompokan ulang terlebih dahulu.

2) Untuk tabel 2 x 2, nilai χ2 atau p-value dari Continuity Correction dapat

digunakan. Tetapi jika ada nilai frekuensi harapan kurang dari 5, maka nilai p-

value dari uji Fisher’s Exact yang harus digunakan. Nilai p-value uji Fisher’s

Exact merupakan p-value yang cukup valid, sehingga dapat juga kita gunakan

meskipun frekuensi harapan tidak ada yang kurang dari 5 (Hastono, 2016).

Sedangkan, ukuran kekuatan yang digunakan adalah Odds Ratio (OR).

Untuk mengetahui nilai Odds Ratio (OR) menggunakan rumus sebagai berikut:

OR = ad / bc

Keterangan:
OR = Odds Ratio
a = jumlah sampel kasus yang terpapar
b = jumlah sampel kontrol yang terpapar
c = jumlah sampel kasus yang tidak terpapar
d = jumlah sampel kontrol yang tidak terpapar

Interpretasi Nilai Odds Ratio (OR) adalah sebagai berikut :

1) Odds Ratio (OR) = 1 : Berarti variabel yang diteliti tidak ada pengaruhnya

untuk terjadinya efek dengan kata lain bersifat netral.

2) Odds Ratio (OR) > 1 : Menunjukkan bahwa variabel tersebut merupakan

faktor risiko untuk timbulnya efek tertentu.

Universitas Sumatera Utara


59

3) Odds Ratio (OR) < 1 : Berarti faktor yang diteliti justru mengurangi kejadian

efek, dengan kata lain variabel tersebut merupakan faktor protektif

Analisis multivariat. Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui

faktor yang paling dominan yang berpengaruh terhadap kejadian sifilis pada laki-

laki usia produktif (25-49 tahun). Penelitian ini menggunakan analisis uji regresi

logistik dengan pemodelan pada tingkat kemaknaan p < 0,05 dan CI (Confidence

Interval) dan variabel yang menjadi kandidat model yaitu memiliki nilai p < 0,25.

Selanjutnya untuk mengetahui variabel yang signifikan dengan menggunakan

tingkat kepercayaan (confidence interval) 95 persen (=0,05).

Universitas Sumatera Utara


Hasil Penelitian

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Puskesmas Teladan terletak di Jalan Sisingamangaraja Nomor 65

Kelurahan Teladan Barat Kecamatan Medan Kota, peresmian Puskesmas

dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober 1968 oleh Gubernur Provinsi Sumatera

Utara, Marah Halim Harahap. Puskesmas Teladan mempunyai luas wilayah kerja

± 229,1 Ha, yang terdiri dari 5 (lima) kelurahan yaitu Kelurahan Mesjid,

Kelurahan Teladan Barat, Kelurahan Pasar Baru, Kelurahan Pusat Pasar dan

Kelurahan Pandau Hulu II.

Wilayah kerja Puskesmas Teladan Medan berbatasan dengan :

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Maimun;

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Teladan Timur;

3. Sebelah Timur berbatasan dengan Medan Perjuangan;

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Simpang Limun.

Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Teladan pada tahun 2018

sebanyak 22.366 orang dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 10.905 dan

jumlah penduduk perempuan lebih banyak yaitu 11.461 orang. Selengkapnya dapat

dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2
Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelurahan di Wilayah Kerja Puskesmas Teladan
Medan Tahun 2018

Kelurahan KK Laki-Laki Perempuan Jumlah


Teladan Barat 3.513 3.735 3.838 7.573
Mesjid 1.324 1.590 1.599 3.189
Pasar Baru 1.192 1.485 1.518 3.003
Pusat Pasar 1.438 1.778 1.826 3.604
Pandau Hulu II 1.598 2.317 2.680 4.997
Total 9.065 10.905 11.461 22.366

60
Universitas Sumatera Utara
61

Berdasarkan data Puskesmas Teladan Medan bahwa sebagian besar

penduduk bekerja sebagai pedagang sebanyak 1.998 KK, wiraswasta sebanyak

1.554 KK, swasta sebanyak 1.424 KK, TNI/POLRI sebanyak 1.063 KK, PNS

sebanyak 998 KK, pensiunan sebanyak 881 KK, buruh sebanyak 619 KK, dan

lain-lain sebanyak 647 KK.

Tabel 3

Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Wilayah Kerja Puskesmas


Teladan Medan Tahun 2018

Mata Pencaharian Jumlah KK


PNS 998
TNI/POLRI 1.063
Swasta 1.424
Wiraswasta 1.554
Pensiunan 881
Pedagang 1.998
Buruh 619
Lain-lain 647
Total 9.065

Selanjutnya sepuluh pola penyakit terbanyak diderita oleh masyarakat

yang ada di wilayah kerja Puskesmas Teladan Medan peringkat atas adalah infeksi

saluran pernafasan akut (ISPA) sebanyak 4.344 pasien, selanjutnya penyakit

rongga mulut sebanyak 3.041 pasien, penyakit kulit sebanyak 2.472 pasien,

hipertensi sebanyak 2.326 pasien, penyakit jaringan otot dan jaringan pengikat

sebanyak 1.823 pasien, infeksi saluran pernafasan bawah sebanyak 1.312 pasien,

penyakit infeksi usus sebanyak 873 pasien, penyakit IMS sebanyak 644 pasien,

penyakit telinga dan mastoid sebanyak 262 pasien, dan penyakit tuberkulosis paru

menempati urutan terakhir (urutan kesepuluh) sebanyak 215 kasus. Selengkapnya

dapat dilihat pada tabel berikut :

Universitas Sumatera Utara


62

Tabel 4
Sepuluh Penyakit Terbanyak di Puskesmas Teladan Medan Tahun 2018

Jumlah Pasien
Nama penyakit
(Januari-Desember 2018)
ISPA 4344
Penyakit rongga mulut 3041
Penyakit Kulit 2472
Hipertensi 2326
Penyakit jaringan otot & jaringan pengikat 1823
Infeksi saluran pernafasan bawah (ISPB) 1312
Penyakit infeksi usus 873
Penyakit infeksi menular seksual (IMS) 644
Penyakit telinga dan mastoid 262
Tuberkulosis paru 215

Berdasarkan data di atas bahwa penyakit infeksi menular seksual (IMS)

menempati urutan kedelapan dari sepuluh penyakit terbanyak di Puskesmas

Teladan Medan. Untuk penanganan dan penanggulangan penyakit infeksi menular

seksual ini, Puskesmas Teladan Medan menyediakan Poli IMS/VCT/HIV dengan

programnya yaitu LARAS HIV atau Layanan Ramah Anti Stigma HIV. Inovasi

LARAS HIV bertujuan meningkatkan akses dan cakupan terhadap upaya promosi,

pencegahan dan pengobatan HIV & IMS serta rehabilitasi yang berkualitas

dengan memperluas jejaring layanan. Selain itu Meningkatkan pengetahuan dan

rasa tanggung jawab dalam mengendalikan epidemic HIV & IMS dengan

memperkuat koordinasi antar pelaksana layanan HIV & IMS melalui peningkatan

partisipasi komunitas dan masyarakat dalam pemberian layanan sebagai cara

meningkatkan cakupan dan kualitas layanan.

Adapun sasaran kegiatan ini adalah

1. Populasi kunci yang terdiri dari Laki-laki yang berhubungan seks dengan

laki-laki (LSL), waria, Penjaja Seks, Pelanggan Seks, Pengguna narkoba

suntik (penasun);

Universitas Sumatera Utara


63

2. Ibu hamil;

3. Penderita tuberkulosis paru;

4. Pasangan serodiskordan (salah satu dari pasangan HIV negatif);

5. Masyarakat terutama usia reproduktif;

6. Remaja;

7. Puskesmas Amplas, Kedai Durian, Medan Johor, Kampung Baru, Pasar

Merah, Simpang Limun sebagai jejaring layanan HIV.

8. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Galatea, GSM, Medan Plus, H2O,

Sempurna Community, Jarkon, Caritas sebagai penjangkau dan pendamping.

Sumberdaya manusia (SDM) : tim yang melayani terdiri atas dokter,

perawat, petugas laboratorium serta admin yang terlatih. Sarana : Integrasi antar

layanan tersedia Ruang Poli umum, Poli KIA-KB, Ruangan IMS dan VCT ,Ruang

Konseling dan Ruang laboratorium serta ruang farmasi. Peralatan : terdiri atas

peralatan medis dan pencegahan infeksi, media KIE, peralatan laboratorium,

reagensia, ATK dan peralatan pendukung Sistem Pelaporan Online (SIHA online).

Pendanaan : sumber dana kegiatan berasal dari dana BOK, BPJS dan dana Global

Fund.

Analisis Univariat

Umur. Perhitungan umur responden diperoleh dari umur rata-rata yaitu 36

tahun dengan umur terendah 25 tahun dan umur tertinggi 49 tahun, mayoritas

responden pada kelompok kasus berumur >36 tahun sebanyak 32 orang (54,2%),

demikian juga responden pada kelompok kontrol berumur >36 tahun sebanyak 31

orang (52,5%). Selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Universitas Sumatera Utara


64

Tabel 5

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur di Puskesmas Teladan


Medan Periode Januari 2019-September 2019 (n = 118)

Sifilis (Kasus) Bukan Sifilis (Kontrol)


Umur
f % f %
<36 Tahun 27 45,8 28 47,5
>36 Tahun 32 54,2 31 52,5
Total 59 100,0 59 100,0

Pendidikan. Berdasarkan tingkat pendidikan, mayoritas responden pada

kelompok kasus berpendidikan tinggi (SMA/PT) sebanyak 48 orang (81,4%),

demikian juga pada kelompok kontrol mayoritas berpendidikan tinggi (SMA/PT)

sebanyak 57 orang (96,6%). Tingkat pendidikan responden sebagaimana dapat

dilihat pada Tabel 6 berikut ini.

Tabel 6

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan di Puskesmas Teladan


Medan Periode Januari 2019-September 2019 (n = 118)

Sifilis (Kasus) Bukan Sifilis (Kontrol)


Pendidikan
f % f %
Rendah (SD/SMP) 11 18,6 02 03,4
Tinggi (SMA/PT) 48 81,4 57 96,6
Total 59 100,0 59 100,0

Riwayat sifilis pada kelompok kasus dan kelompok kontrol.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pada responden kelompok

kasus, sebagian besar tidak ada riwayat sifilis sebanyak 47 orang (79,7%),

sebagian kecil ada riwayat sifilis sebanyak 12 orang (20,3%). Demikian juga

responden pada kelompok kontrol sebagian besar tidak ada riwayat sifilis

sebanyak 58 orang (98,3%), sebagian kecil ada riwayat sifilis sebanyak 1 orang

Universitas Sumatera Utara


65

(1,7%). Berdasarkan perhitungan variabel riwayat sifilis dikategorikan

sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini.

Tabel 7

Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat Sifilis di Puskesmas Teladan Medan


Periode Januari 2019-September 2019 (n = 118)

Bukan Sifilis
Sifilis (Kasus)
Riwayat Sifilis (Kontrol)
f % f %
Ada 12 20,3 1 1,7
Tidak ada 47 79,7 58 98,3
Total 59 100,0 59 100,0

Penggunaan kondom pada kelompok kasus dan kelompok kontrol.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pada responden kelompok

kasus, sebagian besar rutin menggunakan kondom sebanyak 33 orang (55,9%),

sebagian kecil jarang menggunakan kondom sebanyak 26 orang (44,1%).

Demikian juga responden pada kelompok kontrol sebagian besar rutin

menggunakan kondom sebanyak 56 orang (94,9%), sebagian kecil jarang

menggunakan kondom sebanyak 3 orang (5,1%). Berdasarkan perhitungan

variabel penggunaan kondom dikategorikan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel

8 berikut ini.

Tabel 8

Distribusi Responden Berdasarkan Penggunaan Kondom di Puskesmas Teladan


Medan Periode Januari 2019-September 2019 (n = 118)

Bukan Sifilis
Sifilis (Kasus)
Penggunaan Kondom (Kontrol)
f % f %
Rutin 33 55,9 56 94,9
Jarang 26 44,1 3 5,1
Total 59 100,0 59 100,0

Universitas Sumatera Utara


66

Penggunaan napza suntik pada kelompok kasus dan kelompok

kontrol. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pada responden

kelompok kasus, sebagian besar tidak menggunakan napza suntik sebanyak 39

orang (66,1%), sebagian kecil menggunakan napza suntik sebanyak 20 orang

(33,9%). Demikian juga responden pada kelompok kontrol sebagian besar tidak

menggunakan napza suntik sebanyak 51 orang (86,4%), sebagian kecil

menggunakan napza suntik sebanyak 8 orang (13,6%). Berdasarkan perhitungan

variabel penggunaan napza suntik dikategorikan sebagaimana dapat dilihat pada

Tabel 9 berikut ini.

Tabel 9

Distribusi Responden Berdasarkan Penggunaan Napza Suntik di Puskesmas


Teladan Medan Periode Januari 2019-September 2019 (n = 118)

Bukan Sifilis
Sifilis (Kasus)
Penggunaan Napza Suntik (Kontrol)
f % f %
Ya 20 33,9 8 13,6
Tidak 39 66,1 51 86,4
Total 59 100,0 59 100,0

Jumlah pasangan seksual pada kelompok kasus dan kelompok

kontrol. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pada responden

kelompok kasus, sebagian besar jumlah pasangan seksual ≥1 orang sebanyak 30

orang (50,8%), sebagian kecil jumlah pasangan seksual 1 orang sebanyak 29

orang (49,2%). Demikian juga responden pada kelompok kontrol sebagian besar

jumlah pasangan seksual 1 orang sebanyak 55 orang (93,2%), sebagian kecil

jumlah pasangan seksual ≥1 orang sebanyak 4 orang (6,8%). Berdasarkan

perhitungan variabel jumlah pasangan seksual dikategorikan sebagaimana dapat

dilihat pada Tabel 10. berikut ini.

Universitas Sumatera Utara


67

Tabel 10

Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Pasangan Seksual di Puskesmas


Teladan Medan Periode Januari 2019-September 2019 (n = 118)

Bukan Sifilis
Sifilis (Kasus)
Jumlah Pasangan Seksual (Kontrol)
f % f %
1 orang 29 49,2 55 93,2
≥1 orang 30 50,8 4 6,8
Total 59 100,0 59 100,0

Jenis kelamin pasangan pada kelompok kasus dan kelompok kontrol.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pada responden kelompok

kasus, sebagian besar pasangan seksual berbeda jenis kelamin (heteroseksual)

sebanyak 51 orang (86,4%), sebagian kecil pasangan seksual sejenis

(homoseksual) sebanyak 8 orang (13,6%). Demikian juga responden pada

kelompok kontrol sebagian besar pasangan seksual berbeda jenis kelamin

(heteroseksual) sebanyak 58 orang (98,3%), sebagian kecil pasangan seksual

sejenis (homoseksual) sebanyak 1 orang (1,7%). Berdasarkan perhitungan

variabel jenis kelamin pasangan seksual dikategorikan sebagaimana dapat dilihat

pada Tabel 11 berikut ini.

Tabel 11

Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Pasangan Seksual di


Puskesmas Teladan Medan Periode Januari 2019-September 2019 (n = 118)

Bukan Sifilis
Sifilis (Kasus)
Jenis Kelamin Pasangan Seksual (Kontrol)
f % f %
Sejenis 8 13,6 1 1,7
Berbeda jenis 51 86,4 58 98,3
Total 59 100,0 59 100,0

Universitas Sumatera Utara


68

Analisis Bivariat

Pengaruh umur terhadap terjadinya penyakit sifilis pada laki-laki

usia produktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok kasus

dengan umur <36 tahun sebanyak 27 orang (45,8%), sedangkan umur >36 tahun

sebanyak 32 orang (54,5%). Kelompok kontrol dengan umur <36 tahun sebanyak

28 orang (47,5%) sedangkan umur >36 tahun sebanyak 31 orang (52,5%).

Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi-square diperoleh p-value

sebesar 1,000>0,05 artinya tidak terdapat pengaruh antara umur terhadap

terjadinya penyakit sifilis pada laki-laki usia produktif di Puskesmas Teladan

Medan Periode Januari 2019-September 2019. Nilai OR diperoleh 0,934

(CI95%: 0,453-1,926) atau OR < 1 artinya umur merupakan faktor protektif atau

sebagai pencegah terjadinya sifilis.

Variabel umur tidak berpengaruh terhadap terjadinya penyakit sifilis

pada laki-laki usia produktif karena pada laki-laki produktif berumur di bawah

36 tahun dan laki-laki produktif berumur di atas 36 tahun sama-sama rentan

terhadap terjadinya penyakit sifilis, sehingga tidak ada perbedaan antara kedua

kelompok umur tersebut. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 12 berikut ini.

Tabel 12

Pengaruh Umur terhadap Terjadinya Penyakit Sifilis pada Laki-Laki Usia


Produktif di Puskesmas Teladan Medan Periode Januari 2019-September 2019

Penyakit Sifilis
Sifilis Bukan Sifilis OR
Umur p-value
(Kasus) (Kontrol) (CI95%)
f % f %
<36 tahun 27 45,8 28 47,5
0,934
>36 tahun 32 54,2 31 52,5 1,000
(0,453-1,926)
Total 59 100,0 59 100,0

Universitas Sumatera Utara


69

Pengaruh pendidikan terhadap terjadinya penyakit sifilis pada laki-

laki usia produktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok kasus

dengan pendidikan rendah (SD/SMP) sebanyak 11 orang (18,6%), sedangkan

pendidikan tinggi (SMA/PT) sebanyak 48 orang (81,4%). Kelompok kontrol

dengan pendidikan rendah (SD/SMP) sebanyak 2 orang (3,4%) sedangkan

pendidikan tinggi (SMA/PT) sebanyak 57 orang (96,6%).

Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi-square diperoleh p-value

sebesar 0,016<0,05 artinya terdapat pengaruh antara pendidikan terhadap

terjadinya penyakit sifilis pada laki-laki usia produktif di Puskesmas Teladan

Medan Periode Januari 2019-September 2019. Nilai OR diperoleh 6,531 (CI95%:

1,380-30,920) atau OR > 1 artinya laki-laki yang berpendidikan rendah

(SD/SMP) berpeluang 6,5 kali lebih tinggi terjadinya penyakit sifilis

dibandingkan laki-laki yang berpendidikan tinggi (SMA/PT). Selengkapnya

dapat dilihat pada tabel 13 berikut ini.

Tabel 13

Pengaruh Pendidikan terhadap Terjadinya Penyakit Sifilis pada Laki-Laki Usia


Produktif di Puskesmas Teladan Medan Periode Januari 2019-September 2019

Penyakit Sifilis
Sifilis Bukan Sifilis p-value OR
Pendidikan
(Kasus) (Kontrol) (CI95%)
f % f %
Rendah (SD/SMP) 11 18,6 02 3,4
6,531
Tinggi (SMA/PT) 48 81,4 57 96,6 0,016
(1,380-30,920)
Total 59 100,0 59 100,0

Universitas Sumatera Utara


70

Pengaruh riwayat sifilis/IMS terhadap terjadinya penyakit sifilis pada

laki-laki usia produktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok

kasus yang ada riwayat sifilis/IMS sebanyak 12 orang (20,3%), sedangkan yang

tidak ada riwayat sifilis/IMS sebanyak 47 orang (79,7%). Kelompok kontrol yang

ada riwayat sifilis/IMS sebanyak 1 orang (1,7%) sedangkan yang tidak ada

riwayat sifilis/IMS sebanyak 58 orang (98,3%).

Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi-square diperoleh p-value

sebesar 0,002<0,05 artinya terdapat pengaruh antara riwayat sifilis/IMS terhadap

terjadinya penyakit sifilis pada laki-laki usia produktif di Puskesmas Teladan

Medan Periode Januari 2019-September 2019. Nilai OR diperoleh 14,809

(CI95%: 1,858-118,055) atau OR > 1 artinya laki-laki yang memiliki riwayat

sifilis/IMS berpeluang 14,8 kali lebih tinggi mengalami penyakit sifilis

dibandingkan laki-laki yang tidak memiliki riwayat sifilis. Selengkapnya dapat

dilihat pada tabel 14 berikut ini.

Tabel 14

Pengaruh Riwayat Sifilis/IMS terhadap Terjadinya Penyakit Sifilis pada Laki-


Laki Usia Produktif di Puskesmas Teladan Medan Periode Januari 2019-
September 2019

Penyakit Sifilis
Sifilis Bukan Sifilis OR
Riwayat Sifilis/IMS p-value
(Kasus) (Kontrol) (CI95%)
f % f %
Ada 12 20,3 01 1,7
14,809
Tidak ada 47 79,7 58 98,3 0,002
(1,858-118,055)
Total 59 100,0 59 100,0

Universitas Sumatera Utara


71

Pengaruh penggunaan kondom terhadap terjadinya penyakit sifilis

pada laki-laki usia produktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada

kelompok kasus yang rutin menggunakan kondom sebanyak 33 orang (55,9%)

sedangkan yang jarang menggunakan kondom sebanyak 26 orang (44,1%).

Kelompok kontrol yang rutin menggunakan kondom sebanyak 56 orang (94,9%)

sedangkan yang jarang menggunakan kondom sebanyak 3 orang (5,1%).

Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi-square diperoleh p-value

sebesar 0,001<0,05 artinya terdapat pengaruh antara penggunaan kondom

terhadap terjadinya penyakit sifilis pada laki-laki usia produktif di Puskesmas

Teladan Medan Periode Januari 2019-September 2019. Nilai OR diperoleh

14,707 (CI95%: 4,130-52,377) atau OR > 1 artinya laki-laki yang jarang atau

tidak pernah menggunakan kondom saat berhubungan seksual berpeluang 14,7

kali lebih tinggi mengalami penyakit sifilis dibandingkan laki-laki yang rutin

menggunakan kondom saat berhubungan seksual. Selengkapnya dapat dilihat

pada tabel 15 berikut ini.

Tabel 15

Pengaruh Penggunaan Kondom terhadap Terjadinya Penyakit Sifilis pada Laki-


Laki Usia Produktif di Puskesmas Teladan Medan Periode Januari 2019-
September 2019

Penyakit Sifilis
Sifilis Bukan Sifilis p-value OR
Penggunaan Kondom
(Kasus) (Kontrol) (CI95%)
f % f %
Rutin 33 55,9 56 94,9
3,269
Jarang 26 44,1 3 5,1 0,001
(1,303-8,202)
Total 59 100,0 59 100,0

Universitas Sumatera Utara


72

Pengaruh penggunaan napza suntik terhadap terjadinya penyakit

sifilis pada laki-laki usia produktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada

kelompok kasus yang menggunakan napza suntik sebanyak 20 orang (33,9%)

sedangkan yang tidak menggunakan napza suntik sebanyak 39 orang (66,1%).

Kelompok kontrol yang menggunakan napza suntik sebanyak 8 orang (13,6%)

sedangkan yang tidak menggunakan napza suntik sebanyak 51 orang (86,4%).

Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi-square diperoleh p-value

sebesar 0,016<0,05 artinya terdapat pengaruh antara penggunaan napza suntik

terhadap terjadinya penyakit sifilis pada laki-laki usia produktif di Puskesmas

Teladan Medan Periode Januari 2019-September 2019. Nilai OR diperoleh 3,269

(CI95%: 1,303-8,202) atau OR > 1 artinya laki-laki yang menggunakan napza

suntik berpeluang 3,2 kali lebih tinggi mengalami penyakit sifilis dibandingkan

laki-laki yang tidak menggunakan napza suntik. Selengkapnya dapat dilihat pada

tabel 16 berikut ini.

Tabel 16

Pengaruh Penggunaan Napza Suntik terhadap Terjadinya Penyakit Sifilis pada


Laki-Laki Usia Produktif di Puskesmas Teladan Medan Periode Januari 2019-
September 2019

Penyakit Sifilis
Sifilis Bukan Sifilis OR
Penggunaan Napza Suntik p-value
(Kasus) (Kontrol) (CI95%)
f % f %
Ya 20 33,9 8 13,6
3,269
Tidak 39 66,1 51 86,4 0,016
(1,303-8,202)
Total 59 100,0 59 100,0

Universitas Sumatera Utara


73

Pengaruh jumlah pasangan seksual terhadap terjadinya penyakit

sifilis pada laki-laki usia produktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada

kelompok kasus dengan jumlah pasangan 1 orang (istri) sebanyak 29 orang

(49,2%) sedangkan yang >1 orang pasangan sebanyak 30 orang (50,8%).

Kelompok kontrol dengan jumlah pasangan 1 orang (istri) sebanyak 55 orang

(93,2%) sedangkan yang >1 orang pasangan sebanyak 4 orang (6,8%).

Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi-square diperoleh p-value

sebesar 0,001<0,05 artinya terdapat pengaruh antara jumlah pasangan seksual

terhadap terjadinya penyakit sifilis pada laki-laki usia produktif di Puskesmas

Teladan Medan Periode Januari 2019-September 2019. Nilai OR diperoleh

14,224 (CI95%: 4,567-44,302) atau OR > 1 artinya laki-laki yang memiliki

pasangan seksual >1 orang berpeluang 14,2 kali lebih tinggi mengalami penyakit

sifilis dibandingkan laki-laki yang memiliki pasangan seksual 1 orang.

Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 17 berikut ini.

Tabel 17

Pengaruh Jumlah pasangan seksual terhadap Terjadinya Penyakit Sifilis pada


Laki-Laki Usia Produktif di Puskesmas Teladan Medan Periode Januari 2019-
September 2019

Penyakit Sifilis
Sifilis Bukan Sifilis p-value OR
Jumlah Pasangan Seksual
(Kasus) (Kontrol) (CI95%)
f % f %
1 orang 29 49,2 55 93,2
14,224
>1 orang 30 50,8 4 6,8 0,001
(4,567-44,302)
Total 59 100,0 59 100,0

Universitas Sumatera Utara


74

Pengaruh jenis kelamin pasangan terhadap terjadinya penyakit

sifilis pada laki-laki usia produktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada

kelompok kasus dengan pasangan yang sejenis (homoseksual) sebanyak 8 orang

(13,6%) sedangkan yang berbeda jenis (heteroseksual) sebanyak 51 orang

(86,4%). Kelompok kontrol dengan pasangan yang sejenis (homoseksual)

sebanyak 1 orang (1,7%) sedangkan yang berbeda jenis (heteroseksual)

sebanyak 58 orang (98,3%).

Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi-square diperoleh p-value

sebesar 0,032<0,05 artinya terdapat pengaruh antara jenis kelamin pasangan

terhadap terjadinya penyakit sifilis pada laki-laki usia produktif di Puskesmas

Teladan Medan Periode Januari 2019-September 2019. Nilai OR diperoleh 9,098

(CI95%: 1,100-75,240) atau OR > 1 artinya laki-laki yang memiliki pasangan

seksual sejenis (homoseksual) berpeluang 9 kali lebih tinggi mengalami

terjadinya penyakit sifilis dibandingkan laki-laki yang memiliki pasangan

seksual berbeda jenis kelamin (heteroseksual). Selengkapnya dapat dilihat pada

tabel 18 berikut ini.

Tabel 18

Pengaruh Jenis Kelamin Pasangan terhadap Terjadinya Penyakit Sifilis pada


Laki-Laki Usia Produktif di Puskesmas Teladan Medan Periode Januari 2019-
September 2019

Penyakit Sifilis
Sifilis Bukan Sifilis p-value OR
Jenis Kelamin Pasangan
(Kasus) (Kontrol) (CI95%)
f % f %
Sejenis 8 13,6 1 1,7
9,098
Berbeda jenis 51 86,4 58 98,3 0,032
(1,100-75,240)
Total 59 100,0 59 100,0

Universitas Sumatera Utara


75

Analisis Multivariat

Untuk menganalisis pengaruh terjadinya penyakit sifilis secara bersamaan

dilakukan analisis data multivariat menggunakan uji regresi logistik ganda

(multiple logistic regression) melalui beberapa langkah:

1) Melakukan pemilihan variabel yang potensial dimasukkan sebagai kandidat

model. Variabel yang dipilih sebagai kandidat adalah variabel yang memiliki

nilai signifikan.

2) Dalam pemodelan ini, variabel yang menjadi kandidat yaitu variabel yang

memiliki nilai p <0,25 pada analisis bivariat (uji chi-square) yang dimasukkan

secara bersama-sama dalam analisis multivariat. Penggunaan kemaknaan

statistik 0,25 sebagai persyaratan dalam uji regresi logistik berganda untuk

memungkinkan variabel-variabel yang secara terselubung sesungguhnya

secara substansi sangat penting dimasukkan ke dalam model multivariat.

3) Berdasarkan hasil analisis bivariat, variabel yang dapat dijadikan kandidat

model pada uji regresi logistik berganda pada penelitian ini karena memiliki

nilai signifikan <0,25 sebanyak 6 variabel yaitu pendidikan (p= 0,016),

riwayat sifilis (p=0,002), penggunaan kondom (p=0,001), penggunaan napza

suntik (p=0,016), jumlah pasangan seksual (p=0,001) dan jenis kelamin

pasangan seksual (p=0,032). Sedangkan variabel umur (p=1,000) tidak

termasuk kandidat model karena memiliki nilai signifikan >0,25.

4) Selanjutnya dilakukan pengujian dengan regresi logistik berganda secara

bersamaan dengan metode forward conditional untuk mengidentifikasi

variabel paling berpengaruh terhadap terjadinya penyakit sifilis pada laki-laki

Universitas Sumatera Utara


76

usia produktif. Metode forward conditional yaitu memasukkan satu per satu

variabel dari hasil pengkorelasian variabel dan memenuhi kriteria kemaknaan

statistik untuk masuk ke dalam model, sampai semua variabel yang memenuhi

kriteria tersebut masuk ke dalam model. Variabel yang masuk pertama kali

adalah variabel yang mempunyai korelasi parsial terbesar dengan variabel

dependen dan yang memenuhi kriteria tertentu untuk dapat masuk model.

Hasil uji regresi logistik berganda menunjukkan bahwa sebanyak 3

variabel yang berpengaruh terhadap terjadinya penyakit sifilis pada laki-laki usia

produktif yaitu riwayat sifilis, penggunaan kondom, dan jumlah pasangan seksual.

Selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 19

Hasil Uji Regresi Logistik Ganda

95%CI for
Variabel B Sig. Exp(B)
Exp(B)
Riwayat sifilis/IMS 2,748 0,013 15,616 1,790-46,200
Penggunaan kondom 1,818 0,012 6,158 1,483-25,565
Jumlah pasangan seksual 1,944 0,003 6,990 1,972-24,773
Konstanta -1,021 0,001

Variabel yang paling besar pengaruhnya dalam penelitian ini adalah

variabel riwayat sifilis/IMS yang mempunyai nilai Exp(B)/OR = 15,616 artinya

laki-laki yang memiliki riwayat sifilis/IMS, berpeluang mengalami terjadinya

penyakit sifilis sebesar 15,6 kali lebih tinggi dibanding laki-laki yang tidak ada

riwayat sifilis/IMS.

Variabel jumlah pasangan seksual mempunyai nilai Exp(B)/OR = 6,990

artinya laki-laki yang memiliki pasangan seksual >1 orang, berpeluang mengalami

terjadinya penyakit sifilis sebesar 6,9 kali lebih tinggi dibanding laki-laki yang

memiliki pasangan seksual 1 orang (istri).

Universitas Sumatera Utara


77

Variabel penggunaan kondom mempunyai nilai Exp(B)/OR = 6,158

artinya laki-laki yang jarang menggunakan kondom, berpeluang mengalami

terjadinya penyakit sifilis sebesar 6,1 kali lebih tinggi dibanding laki-laki yang

rutin menggunakan kondom.

Berdasarkan hasil uji regresi logistik berganda tersebut juga menunjukkan

variabel yang tidak berpengaruh terhadap terjadinya penyakit sifilis karena

memiliki nilai signifikan > 0,05 adalah variabel pendidikan (p=0,222),

penggunaan napza suntik (p=0,585) dan jenis kelamin pasangan (p=0,202).

Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.16 berikut.

Tabel 20

Hasil Uji Regresi Logistik Berganda yang Tidak Signifikan

Variabel Sig. (p-value)


Pendidikan 0,222
Penggunaan napza suntik 0,585
Jenis kelamin pasangan seksual 0,202

Universitas Sumatera Utara


Pembahasan

Pengaruh Riwayat Sifilis/IMS terhadap Terjadinya Penyakit Sifilis pada


Laki-Laki Usia Produktif

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh

riwayat sifilis/IMS terhadap terjadinya penyakit sifilis pada laki-laki usia

produktif di Puskesmas Teladan Medan Periode Januari 2019-September 2019,

p=0,013<0,05. Variabel riwayat sifilis yang mempunyai nilai Exp(B)/OR =

15,616 artinya laki-laki usia produktif yang ada riwayat sifilis/IMS, berpeluang

mengalami penyakit sifilis sebesar 15,6 kali lebih tinggi dibanding laki-laki usia

produktif yang tidak ada riwayat sifilis/IMS.

Penelitian Nishijima et al. (2016) di Tokyo, Jepang mendapatkan hasil

bahwa salah satu faktor risiko untuk kejadian sifilis adalah memiliki riwayat sifilis

(p <0.001). Insiden sifilis sangat tinggi di antara pasien muda (usia <33 tahun).

Menariknya, 37 persen pasien dengan insiden penyakit sifilis tidak menunjukkan

gejala yang khas. Hasil penelitian Nari et al. (2015) pada Remaja di Klinik IMS

Puskesmas Rijali dan Passo Kota Ambon bahwa riwayat IMS berhubungan

dengan kejadian IMS. Hasil uji regresi logistik menunjukkan riwayat IMS

merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap kejadian IMS dimana

remaja yang mempunyai riwayat IMS, kemungkinan untuk berisiko terinfeksi

IMS 31.4 kali lebih besar dibandingkan dengan remaja yang tidak mempunyai

riwayat IMS. Kedua hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa jika seseorang

telah memiliki riwayat penyakit sifilis/IMS maka kemungkinan untuk mengalami

78
Universitas Sumatera Utara
79

penyakit sifilis/IMS lagi menjadi lebih besar dibandingkan dengan yang tidak

memiliki riwayat sifilis/IMS.

Seseorang yang pernah terinfeksi salah satu jenis IMS membuat lebih

mudah untuk IMS lain menyerang. Jika terinfeksi dengan herpes, sifilis, gonore

atau klamidia dan melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan pasangan

yang memiliki gejala IMS positif, kemungkinan dapat tertular penyakit IMS dan

penyakit sifilis (Nari et al., 2015).

Riwayat alamiah penyakit merupakan proses perkembangan suatu

penyakit tanpa adanya intervensi yang dilakukan oleh manusia dengan sengaja

dan terencana (Hikmawati, 2012). Seseorang yang memiliki riwayat penyakit

sifilis sebelumnya kemungkinan besar akan dapat terinfeksi kembali penyakit

sifilis tersebut (Hutapea, 2012).

Infeksi sifilis dan IMS/HIV merupakan masalah kesehatan utama di

seluruh dunia. Kedua penyakit ini dapat ditularkan melalui hubungan seksual,

sehingga seringkali seseorang menderita kedua penyakit ini sekaligus. Sifilis

terbukti dapat meningkatkan transmisi seksual infeksi IMS/HIV, sedangkan

infeksi IMS/HIV dapat menyebabkan perubahan manifestasi klinis sifilis,

progresivitas yang lebih cepat, penegakan diagnosis yang lebih sulit, peningkatan

risiko komplikasi neurologis, dan peningkatan risiko kegagalan terapi dengan

rejimen standar (Ponyai, Ostorhazi, Mihalik, Rozgonyi, & Karpati, 2013).

Sifilis, sebagaimana IMS lainnya, akan meningkatkan risiko tertular HIV.

Pada ODHA, penderita yang memiliki riwayat sifilis meningkatkan daya infeksi

IMS dan HIV. Mereka yang belum terinfeksi IMS/HIV, riwayat penyakit

Universitas Sumatera Utara


80

sifilis/IMS meningkatkan kerentanan tertular HIV. Berbagai penelitian di banyak

negara melaporkan bahwa infeksi sifilis dapat meningkatkan risiko penularan HIV

sebesar 3 sampai 5 kali (Kemenkes RI, 2013).

Berdasarkan hasil penelitian ini terbukti bahwa pasien yang datang ke

Puskesmas Teladan Medan dan memiliki riwayat sifilis/IMS berisiko lebih besar

untuk menderita penyakit sifilis dibandingkan dengan pasien yang tidak memiliki

riwayat sifilis/IMS. Pasien yang memiliki riwayat penyakit sifilis atau penyakit

infeksi menular seksual (IMS) lainnya seperti klamidia, gonore, dan trikomoniasis

dapat terjangkit kembali jika tidak dilakukan pencegahan dengan maksimal dan

melakukan faktor risikonya kembali seperti melakukan hubungan seksual tanpa

pengaman maupun memiliki jumlah pasangan seksual lebih dari 1 atau sering

berganti-ganti pasangan seksual baik itu pasangan berbeda jenis kelamin

(heteroseksual) maupun pasangan seksual sesama jenis (homoseksual). Pasien

yang memiliki riwayat penyakit sifilis/IMS akan mudah terkena penyakit tersebut

kembali jika tidak patuh terhadap anjuran dokter dalam mengonsumsi obat yang

diberikan. Selain itu, memiliki pasangan yang juga berisiko penyakit sifilis/IMS

juga akan meningkatkan terjangkitnya penyakit sifilis/IMS pada pasien tersebut.

Pengaruh Penggunaan Kondom terhadap Terjadinya Penyakit Sifilis pada


Laki-Laki Usia Produktif

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh

penggunaan kondom terhadap terjadinya penyakit sifilis pada laki-laki usia

produktif di Puskesmas Teladan Medan periode Januari 2019-September 2019,

p=0,012<0,05. Variabel penggunaan kondom mempunyai nilai Exp(B)/OR =

6,158 artinya laki-laki yang jarang menggunakan kondom, berpeluang mengalami

Universitas Sumatera Utara


81

penyakit sifilis sebesar 6,1 kali lebih tinggi dibanding laki-laki yang rutin

menggunakan kondom.

Penelitian yang dilakukan oleh Gomes et al. (2017) mengenai hubungan

sifilis dengan penggunaan kondom dalam dua belas bulan sebelumnya dengan

pasangan di luar nikah dan hubungan terakhir dengan pasangan tetap. Secara

umum, penelitian menunjukkan bahwa penggunaan kondom mencegah penularan

sifilis dan IMS ketika digunakan secara teratur.

Pemakaian kondom yang benar dan konsisten selama ini telah banyak

diyakini dapat mengurangi risiko penularan Penyakit Menular. Penggunaan kondom

lateks dapat mengurangi risiko sifilis, serta herpes genital dan chancroid, hanya

bila daerah yang terinfeksi atau situs paparan potensi dilindungi (Urada et al.,

2012). Menurut guidelines WHO (2011) mengenai pencegahan dan pengobatan

IMS disebutkan bahwa penggunaan kondom secara konsisten mampu mengurangi

transmisi HIV sebesar 64 persen dan infeksi menular seksual (Sex Transmitted

Infection/STI) sebesar 43 persen. Frekuensi hubungan seks tanpa kondom

mempengaruhi individu untuk terjadinya penyakit infeksi menular seksual seperti

sifilis (CDC, 2018).

Banyak laki-laki sering tidak menggunakan kondom saat berhubungan

intim. Mereka lebih sering terlibat dalam perilaku seksual berisiko, selain merasa

tidak nyaman membicarakan seksual yang aman dengan pasangan atau meminta

pasangan menggunakan kondom serta kurang percaya diri menolak hubungan

seksual yang tidak aman (Gross & Tyring, 2014).

Universitas Sumatera Utara


82

Berdasarkan hasil penelitian ini membuktikan bahwa pasien di Puskesmas

Teladan Medan yang tidak rutin menggunakan kondom saat melakukan hubungan

seksual lebih banyak yang terkena penyakit sifilis dibandingkan dengan yang

tidak terkena penyakit sifilis. Dalam penelitian ini juga terlibat bahwa sebagian

pasien yang mengaku menggunakan kondom tetapi terkena penyakit sifilis, hal ini

kemungkinan disebabkan oleh karena penggunaan kondom rutin dilakukan pada

akhir-akhir ini saja, tetapi pada saat awal-awal ia melakukan hubungan seksual

tidak menggunakan kondom, sehingga dapat terkena penyakit sifilis. Penggunaan

kondom yang tidak teratur atau tidak rutin saat menggunakan kondom sangat

besar risikonya untuk tertular berbagai penyakit kelamin seperti sifilis bahkan bisa

terinfeksi HIV/AIDS. Berbagai alasan yang dikemukakan pasien mengapa tidak

rutin menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual seperti ukuran

yang tidak pas, mengurangi kenikmatan, berpikir pasangannya tak akan

menularkan penyakit kelamin.

Ukuran kondom yang tidak pas (kekecilan atau kebesaran) menjadi alasan

banyak laki-laki tidak mau menggunakan kondom. Seperti hasil survei yang

dilakukan di Amerika Serikat, diketahui bahwa sebanyak 83% pria enggan

menggunakan kondom karena alat pengaman tersebut tidak cocok dengan ukuran

penisnya. Banyak yang mengaku bahwa kondom yang ada di pasaran cenderung

lebih besar ketimbang ukuran penis. Ini membuat kondom terasa longgar atau

bahkan kesempitan saat digunakan.

Menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual dianggap dapat

mengurangi kenikmatan. Sebagian besar pria menganggap kalau kondom hanya

Universitas Sumatera Utara


83

akan mengganggu ketika berhubungan seks, karena mereka merasa ada

penghalang antara penis dengan vagina.

Sebagian dari mereka merasa sangat percaya diri bahwa mereka tidak akan

pernah tertular penyakit, sehingga mereka tidak takut dan enggan menggunakan

kondom. Bahkan ada pasien yang merasa tahu dan nyaman dengan pasangannya,

sehingga percaya bahwa pasangannya tidak memiliki penyakit kelamin, padahal

memiliki risiko untuk tertular penyakit kelamin seperti sifilis.

Masih banyaknya masyarakat terutama laki-laki usia produktif (25-49

tahun) yang tidak menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual, maka

akan memperbesar risiko dirinya untuk tertular penyakit kelamin seperti sifilis,

gonore, HIV/AIDS dan lain-lain. Walaupun pemerintah sudah mengkampanyekan

penggunaan kondom saat melakukan hubungan seksual terutama bagi orang-orang

yang memiliki risiko tinggi tertular penyakit kelamin tetapi adanya alasan-alasan

seperti yang disebutkan di atas menyebabkan mereka tidak mau menggunakan

kondom saat berhubungan seksual.

Pengaruh Jumlah Pasangan Seksual terhadap Terjadinya Penyakit Sifilis


pada Laki-Laki Usia Produktif

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh

jumlah pasangan seksual terhadap terjadinya penyakit sifilis pada laki-laki usia

produktif di Puskesmas Teladan Medan periode Januari 2019-September 2019,

p=0,003<0,05. Variabel jumlah pasangan seksual mempunyai nilai Exp(B)/OR =

6,990 artinya laki-laki yang memiliki pasangan seksual >1 orang, berpeluang

mengalami penyakit sifilis sebesar 6,9 kali lebih tinggi dibanding laki-laki yang

memiliki pasangan seksual 1 orang (istri).

Universitas Sumatera Utara


84

Insidensi infeksi sifilis dan IMS relatif tinggi di antara lelaki suka lelaki

(LSL), hal ini mungkin terkait dengan beberapa faktor, termasuk perilaku individu

dan karakteristik banyaknya mitra/pasangan seksual. Banyaknya jumlah pasangan

seks, sering bertukar (gonta ganti) pasangan (CDC, 2018).

Penelitian Joffe et al. (1992) menunjukkan bahwa ada hubungan yang kuat

antara jumlah pasangan seksual dan IMS seperti sifilis. Perempuan dengan lima

atau lebih pasangan seksual mempunyai delapan kali lebih kemungkinan

melaporkan menderita sifilis/IMS daripada yang hanya memiliki satu pasangan,

bahkan setelah disesuaikan dengan usia pada hubungan seksual pertama kali

dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Chrisna, Nadeak, & Hutapea, (2017)

terhadap 29 orang wanita risiko tinggi di desa Sempajaya, desa Kuta Bangun dan

desa Tiga Binanga, kabupaten Karo mendapatkan hasil bahwa sebagian besar

(65.5%) memiliki pasangan seksual lain selain pasangan tetap serta pasangan tetap

memiliki pasangan seksual lain (89.7%).

Demikian juga hasil dari laporan kasus yang dilakukan oleh Yuliwaty,

(2017) pada pasien yang menderita fisilis melaporkan bahwa pasien mulai

berhubungan seksual pertama kali saat pasien berusia 17 tahun, dengan pacar

wanita secara genito-genital tanpa menggunakan kondom. Pasien mengaku selama

12 tahun ini, meskipun pasien memiliki pacar, pasien juga sering berhubungan

seksual dengan wanita penjaja seks, seringkali tanpa menggunakan kondom, baik

oro-genital maupun genitogenital. Pasien mengaku telah berpacaran sebanyak 4

kali, dengan lamanya hubungan rata-rata 1 tahun, tanpa mengetahui apakah

pacarnya memiliki pasangan seksual lainnya. Sejak 6 bulan terakhir ini, pasien

mulai berhubungan dengan sesama jenis.

Universitas Sumatera Utara


85

Salah satu faktor risiko penularan penyakit IMS adalah jumlah pasangan

seksual. Semakin banyak pasangan seksual, maka semakin tinggi risiko seseorang

mendapat penularan penyakit sifilis/IMS dari pasangan seksualnya (Chrisna et al.,

2017). Pasangan tetap perlu mendapat perhatian dalam hal penatalaksanaan

penyakit-penyakit IMS seperti sifilis. Bila seseorang memiliki risiko tinggi

menderita penyakit sifilis/IMS, maka pasangan seksual tetapnya tersebut juga

harus diberikan pengobatan agar tidak terjadi fenomena pingpong (Siregar, 2012).

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa jumlah pasangan seksual dapat

menyebabkan terjadinya sifilis pada laki-laki usia produktif (25-49 tahun) di

Puskesmas Teladan Medan. Pada pasien yang menderita sifilis, mengakui bahwa

memiliki pasangan seksual lebih dari 1 orang, walaupun sebagian yang lain

mengaku hanya memiliki 1 pasangan seksual. Penyakit sifilis atau penyakit

infeksi menular seksual tidak selalu menimbulkan gejala atau bisa hanya

menyebabkan gejala ringan. Oleh karena itu, tidak heran beberapa orang baru

mengetahui dirinya menderita penyakit sifilis atau penyakit infeksi menular

seksual setelah muncul komplikasi atau ketika pasangannya terdiagnosis

menderita sifilis atau penyakit infeksi menular seksual. Jumlah pasangan seksual

ini jika hanya 1 orang berarti ia mengaku hanya berhubungan seksual dengan istri

atau pacar tetapnya, sedangkan jika pasangan seksual >1 orang maka pasien

tersebut kemungkinan bahwa jika sudah beristri maka ia juga berhubungan

dengan orang lain seperti pekerja seks komersial (PSK), selingkuhan, atau ia

memiliki lebih dari 1 istri (poligami). Tetapi pada umumnya mereka yang

mengatakan memiliki pasangan seksual lebih dari 1 orang dan menderita sifilis

Universitas Sumatera Utara


86

tersebut karena ia berhubungan seks dengan pekerja seks komersial, yang sudah

dipastikan sering berganti-ganti pasangan seksual dan termasuk dalam kategori

risiko tinggi. Hal tersebut diperparah dengan perilaku seks yang tidak aman yaitu

pada saat melakukan hubungan seks tidak menggunakan kondom sehingga lebih

rentan untuk menderita penyakit sifilis.

Tempat prostitusi yang menjamur di Kota Medan baik yang terang-

terangan maupun yang terselubung memudahkan pria hidung belang untuk

melakukan aktivitas seksual dan pada umumnya melakukan hubungan seks

dengan banyak pekerjaan seks komersil atau berganti-ganti pasangan seksual.

Selain itu mereka juga jarang atau tidak menggunakan kondom pada saat

melakukan hubungan seksual sehingga semakin rentan terjadinya penularan

penyakit sifilis. Hubungan seksual dengan banyak pasangan bagi sebagian laki-

laki merupakan bentuk petualangan tanpa memikirkan dampak atau akibat

terjadinya penularan berbagai penyakit menular seksual.

Langkah dini yang efektif untuk mencegah terjadinya penularan penyakit

sifilis dikenal dengan istilah “ABCDE” yaitu : A (Abstinence) artinya Absen

seks atau tidak melakukan hubungan seks bagi yang belum menikah. B (Be

faithful) artinya bersikap saling setia kepada satu pasangan seks (tidak berganti-

ganti pasangan). C (Condom) artinya cegah penularan sifilis melalui hubungan

seksual dengan menggunakan kondom. D (Drug No) artinya dilarang

menggunakan narkoba terutama jarum suntik. E (Education) artinya

pemberian edukasi dan informasi yang benar mengenai sifilis, cara penularan,

pencegahan dan pengobatannya.

Universitas Sumatera Utara


87

Implikasi Penelitian

Implikasi penelitian terhadap tenaga kesehatan dalam kesehatan

reproduksi. Hasil penelitian ini berimplikasi bagi peningkatan pelayanan

kesehatan reproduksi terutama pada laki-laki usia produktif maupun pada ibu

rumah tangga yang memiliki suami berisiko tinggi menderita sifilis maka

kesehatan reproduksi merupakan hal yang sangat penting dijaga dan dipelihara

untuk kelangsungan sistem reproduksinya yang sehat dan berkualitas. Status

kesehatan reproduksi dapat ditingkatkan melalui upaya promotif maupun

preventif. Peran tenaga kesehatan sebagai pendidik sangat diperlukan melalui

pemberian promosi kesehatan tentang kesehatan seks yang sehat dan aman dengan

menerapkan konsep ABCDE.

Implikasi bagi keluarga. Hasil penelitian ini berimplikasi pada keluarga

untuk memperkuat ketahanan keluarga dalam mencegah penularan berbagai

penyakit infeksi menular seksual seperti sifilis, terutama dari suami pada istri atau

sebaliknya dari istri ke suami. Keluarga perlu memperbanyak informasi tentang

penyebaran penyakit menular seksual seperti sifilis agar dapat dilakukan

pencegahan dengan optimal.

Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini sudah diupayakan sebaik mungkin dapat berjalan dengan

baik, tetapi masih ditemukan keterbatasan dalam penelitian ini yaitu sebagian

responden pada awalnya masih menganggap masalah penyakit sifilis merupakan

aib sehingga tidak terbuka atau tidak jujur dalam menjawab pertanyaan yang

diajukan. Cara mengatasinya yaitu melakukan pendekatan dan meyakinkan pada

Universitas Sumatera Utara


88

responden bahwa informasi yang diberikan tidak akan disebarluaskan atau

dirahasiakan oleh peneliti. Untuk beberapa responden membutuhkan pendataan

sebanyak dua atau tiga kali pertemuan.

Universitas Sumatera Utara


Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan telah disajikan pada

bab sebelumnya dapat disimpulkan sebagai berikut:

Riwayat sifilis/IMS, penggunaan kondom, jumlah pasangan seksual

berpengaruh terhadap terjadinya sifilis pada laki-laki usia produktif (25-49 tahun)

di Puskesmas Teladan Medan periode Januari 2019-September 2019. Peningkatan

risiko penularan sifilis pada laki-laki usia produktif terjadi karena memiliki

riwayat penyakit sifilis atau IMS lain sebelumnya, jarang atau tidak pernah

menggunakan kondom saat berhubungan seksual terutama dengan PSK, dan

memiliki jumlah pasangan seksual lebih dari 1 orang.

Umur, pendidikan, penggunaan napza suntik, jenis kelamin pasangan

seksual tidak berpengaruh terhadap terjadinya sifilis pada laki-laki usia produktif

(25-49 tahun) di Puskesmas Teladan Medan periode Januari 2019-September

2019. Peningkatan risiko penularan sifilis pada laki-laki usia produktif tidak

berkaitan dengan umur responden, atau tingkat pendidikannya karena

berpendidikan rendah atau tinggi rendah mengalami sifilis. Selain itu, sifilis juga

tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin pasangan seksual karena sebagian besar

responden yang diteliti lebih sebagian besar melakukan hubungan seksual secara

heteroseksual bukan homoseksual.

Variabel yang paling dominan memengaruhi terjadinya penyakit sifilis

pada laki-laki usia produktif (25-49 tahun) di Puskesmas Teladan Medan periode

Januari 2019-September 2019 yaitu riwayat sifilis/IMS. Laki-laki usia produktif

89
Universitas Sumatera Utara
90

yang memiliki riwayat sifilis/IMS, berpeluang mengalami terjadinya penyakit

sifilis sebesar 15,6 kali lebih tinggi dibanding laki-laki yang tidak ada riwayat

sifilis/IMS. Hal ini berarti bahwa penderita sifilis pernah menderita penyakit sifilis

atau IMS lainnya yang berarti mengalami kekambuhan.

Saran

Puskesmas Teladan Medan. Disarankan kepada Puskesmas Teladan

Medan untuk memberikan pendidikan kesehatan melalui penyuluhan tentang

penyakit sifilis dan cara-cara melakukan pencegahannya terutama pada

pengunjung klinik VCT baik secara individu maupun kelompok dengan

mempromosikan secara adekuat tentang program pencegahan penyakit sifilis/IMS

dengan cara ABCDE. Penggunaan media seperti leaflet, poster, dan spanduk dapat

dipertimbangkan untuk mempromosikan pencegahan penyakit sifilis.

Selanjutnya pihak Puskesmas Teladan Medan melakukan skrining

kesehatan penyakit infeksi menular seksual khususnya sifilis secara berkala pada

warga masyarakat yang berisiko tinggi di wilayah kerja Puskesmas Teladan

Medan, terutama di tempat-tempat prostitusi.

Laki-laki usia produktif. Disarankan pada laki-laki usia produktif yang

sudah terinfeksi penyakit sifilis untuk melakukan pengobatan secara teratur serta

melakukan upaya pencegahan agar tidak menularkan pada pasangan atau tidak

tertular kembali dengan menerapkan konsep ABCDE (Abstinence, Be faithful,

Condom, Drug No, Education). Bagi laki-laki usia produktif yang tidak menderita

penyakit sifilis agar menggali informasi tentang penyakit sifilis berkaitan dengan

penularan dan pencegahannya sehingga tidak tertular penyakit sifilis.

Universitas Sumatera Utara


91

Peneliti selanjutnya. Bagi Peneliti selanjutnya diharapkan dapat

melakukan penelitian kajian kualitatif mengenai perilaku seksual berisiko Infeksi

Menular Seksual seperti sifilis, atau penelitian tentang upaya-upaya yang

dilakukan tenaga kesehatan dalam pencegahan penyakit sifilis dan penyakit

infeksi menular seksual lainnya.

Universitas Sumatera Utara


Daftar Pustaka

Adisthanaya, S. (2016). Gambaran Karakteristik Sifilis Di Poliklinik Kulit Dan


Kelamin Sub Divisi Infeksi Menular Seksual Rsup Sanglah Denpasar/FK
Unud Periode Januari 2011-Desember 2013. E-Jurnal Medika Udayana,
5(9), 2010–2013.

Ariani, F. (2006). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Sifilis


Pada Pekerja Seks Komersial : Studi di Lokalisasi Ngujang Kecamatan
Kedungwaru Kabupaten Tulungagung Tahun 2005. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Airlangga.

Azwar, S. (2015). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Badan Pusat Statistik. (2018). Indonesia Dalam Angka. Jakarta: Badan Pusat
Statistik.

Bonita, R., Beaglehole, R., & Kjellstrom, T. (2006). Basic Epidemiology.


Switzerland: WHO Press.

BPS Kota Medan. (2018). BPS Kota Medan Dalam Angka 2018. Medan.

Broeck, V. den, & Brestoff, Jan Jonathan R. Baum, M. (2013). Epidemiology:


Principlesand Practical Guidelines. Dordrecht: Springer Science.

CDC. (2015). Prevalence of Syphilis.

CDC. (2018). Sexually Transmitted Disease Surveillance 2017.

Chin, J. (2013). Manual Pemberantasan Penyakit Menular (Cetakan 3). Jakarta:


EGC.

Chrisna, R., Nadeak, K., & Hutapea, R. (2017). Proporsi sifilis dini dan
karakteristik wanita risiko tinggi di kabupaten Karo. Majalah Kedokteran
Nusantara The Journal Of Medical School, 46(3), 133–136.

Coffin, L., Newberry, A., Hagan, H., Cleland, C., Des Jarlais, D., & Perlman, D.
(2010). Syphilis in Drug Users in Low and Middle Income Countries. The
International Journal on Drug Policy, 21(1), 20–27.

Committee on Infectious Diseases. (2012). Report of the Committee on


InfectiousDiseases. Elk Grove Village, IL: American Academy ofPediatrics.

Daili, S F. (2012). Infeksi Menular Seksual. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI.

Dayan, L., & Ooi, C. (2005). Syphilis treatment: old and new. Expert Opinionon

92
Universitas Sumatera Utara
93

Pharmacotherapy, 6(13), 2271–2280.

Dinkes Propsu. (2018). Laporan Data Kasus Infeksi Menular Seksual (IMS)
Propinsi Sumatera Utara. Medan: Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara
Bidang Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit (P2P).

Djuanda, A. (2015). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin (Edisi 7). Jakarta:
BadanPenerbit FKUI.

Djuanda, A. (2017). Sifilis. In Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin (Edisi 7). Jakarta:
Badan Penerbit FK Universitas Indonesia.

Eccleston, K., Collins, L., & Higgins, S. P. (2008). Primary syphilis. International
Journal of STD & AIDS, 19(3), 145–151.

Emerson, C. R. (2009). Syphilis: A Review of the Diagnosis and Treatment. The


Open Infectious Diseases Journal, 3(1), 143–147.

Garcia, S., & Souza, F. M. (2010). Vulnerabilidades ao HIV/aids no Contexto


Brasileiro: iniquidades de gênero, raça e geraçã. Saude Soc, 19(2), 9–20.

Goldman, L., & Ausielo, D. (2013). Medicine. Philadelphia: Elsevier.

Gomes, N. C. R. C., Meier, D. A. P., Pieri, F. M., Alves, E., Albanese, S. P. R.,
Lentine, E. C., … Dessunti, E. M. (2017). Prevalence and factors associated
with syphilis in a reference center. Revista Da Sociedade Brasileira de
Medicina Tropical, 50(1), 216–223. https://doi.org/10.1590/0037-8682-0102-
2016

Gray, R. T., Hoare, A., McCann, P. D., Bradley, J., Down, I., & Donovan, B.
(2011). Will changes in gay men‟s sexual behavior reduce syphilis rates? Sex
Transm Dis, 38(1), 1151–1158.

Gross, G., & Tyring, S. K. (2014). Sexually Transmitted Infection and Sexually
Transmitted Disease. Berlin: Springer.

Harper, K. N., Ocampo, P. S., Steiner, B. M., & George, R. W. (2008). On the
Origin of the Treponematoses: A Phylogenetic Approach. PloS Negl Trop
Dis, 2(1), e148.

Hartanti, A. (2012). Faktor –Faktor Yang Berhubungan Dengan Infeksi Sifilis


Pada Populasi Transgender Waria Di 5 Kota Besar Di Indonesia (Analisis
Data STBP Kementerian Kesehatan Tahun 2011). Program Pascasarjana
FKM Universitas Indonesia.

Hartono, A. (2009). Faktor Risiko Kejadian Penyakit Menular Seksual (Pms)


padaKomunitas Gay Mitra Strategis Perkumpulan Keluarga
BerencanaIndonesia (PKBI) Yogyakarta. Surakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Sumatera Utara


94

UMY.

Hastono, S. P. (2016). Analisis Data pada Bidang Kesehatan (Edisi I). Jakarta:
Raja Grafindo Persada.

Hawkes, S., Matin, N., Broutet, N., & Low, N. (2015). Effectiveness
ofinterventions to improve screening for syphilis in pregnancy: a
systematicreview and meta-analysis. The Lancet Infectious Diseases, 11(9),
684–691.

Hikmawati. (2012). Buku Ajar Epidemiologi. Yogyakarta: NuhaMedika.

Hutapea, N. O. (2012). Sifilis. In Infeksi Menular Seksual (pp. 84–102). Jakarta:


Balai Penerbitan FKUI.

Indriatmi, W. (2017). Sifilis. In Infeksi Menular Seksual (Edisi 5). Jakarta: Badan
Penerbit FK Universitas Indonesia.

Irwan. (2017). Epidemiologi Penyakit Menular. Yogyakarta: Absolute Media.

Joffe, G. P., Foxman, B., Schmidt, A. J., Farris, K. B., Carter, R. J., Neumann, S.,
… Walters, A. M. (1992). Multiple partners and partner choice as risk factors
for sexually transmitted disease among female college students. Sexually
Transmitted Diseases, 19(5), 272–278.

Karp, G., Schlaeffer, F., Jotkowitz, A., & Riesenberg, K. (2009). Syphilis andHIV
co-infection. European Journal of Internal Medicine, 20(1), 9–13.

Kemenkes RI. (2011). Surveilans TerpaduBiologi dan Perilaku (STBP). Jakarta:


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kemenkes RI. (2013). Pedoman Tata Laksana Sifilis Untuk Pengendalian Sifilis
Di Layanan Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.

Kemenkes RI. (2016). Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual


2016. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kemenkes RI. (2018). Laporan Perkembangan HIV AIDS & lnfeksi Menular
Seksual (IMS) Triwulan IV Tahun 2018.

Kent, M. E., & Romanelli, F. (2013). Reexamining syphilis: an update


onepidemiology, clinical manifestations, and management. Ann
Pharmacother, 42(2), 226–236.

Kunoli, F. (2013). Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular Untuk Mahasiswa


Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Trans Info Media.

Universitas Sumatera Utara


95

Loza, O., Patterson, T. L., Rusch, M., Martínez, G. A., Lozada, R., Staines-
Orozco, H., … Strathdee, S. A. (2010). Drug-related behaviors independently
associated with syphilis infection among female sex workers in two Mexico-
US border cities. Addiction, 105(8), 1448–1456.

Lukehart, S. A. (2015). Syphilis dalam Harrisons Infectious Disease (17th Editi).


New York: McGraw Hill Companies.

Mullooly, C., & Higgins, S. P. (2010). Secondary syphilis: the classical triad
ofskin rash, mucosal ulceration and lymphadenopathy. International
Journalof STD & AIDS, 21(8), 537–545.

Nari, J., Zhaluhiyah, Z., & Nugraha, P. (2015). Analisis Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan Kejadian IMS pada Remaja di Klinik IMS Puskesmas
Rijali dan Passo Kota Ambon. The Indonesian Journal of Health Promotion,
10(2), 131–143.

Newman, L., Kamb, M., Hawkes, S., Gomez, G., Say, L., Seuc, A., & Broutet, N.
(2013). Global estimates of syphilis in pregnancy and associated adverse
outcomes: Analysis of multinational antenatal surveillance data. PLoS Med,
10(2), 13–25.

Nishijima, T., Teruya, K., Shibata, S., Yanagawa, Y., Kobayashi, T., &
Mizushima, D. (2016). Incidence and Risk Factors for Incident Syphilis
among HIV-1-Infected Men Who Have Sex with Men in a Large Urban HIV
Clinic in Tokyo, 2008−2015. PLoS ONE, 11(12), 52–64.

Notoatmodjo, S. (2013). Ilmu Perilaku dan Pendidikan Kesehatan [JOUR].


Jakarta: Rineka Cipta.

Oliveira, M. M. (2012). Estudo das redes sociais entre usuários de drogas como
fator de vulnerabilidade ou proteção às infecções sexualmente transmissíveis.
Dissertação de Mestrado, 76(2), 76–81.

Permenkes. (2017). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 52


Tahun 2017 Tentang Eliminasi Penularan Human Immunodeficiency Virus,
Sifilis, Dan Hepatitis B Dari Ibu Ke anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.

PMI Kota Medan. (2018). Laporan Pemeriksaan Darah dan Kejadian Sifilis pada
Penyumbang Darah di Kota Medan. Medan.

Ponyai, K., Ostorhazi, E., Mihalik, N., Rozgonyi, F., & Karpati, S. (2013).
Syphilis and HIV Coinfection-Hungarian Sexually Transmitted Infection
Centre Experience between 2005-2013. Acta Microbiologica et Immunologi
Hungarica, 60(3), 247–259.

Puskesmas Teladan. (2018). Profil Puskesmas Teladan Medan Tahun 2018.

Universitas Sumatera Utara


96

Medan: Puskesmas Teladan Medan.

Puskesmas Teladan. (2019a). Laporan Infeksi Menular Seksual di Wilayah


Puskesmas Teladan Medan Tahun 2018-2019. Medan: Puskesmas Teladan
Medan.

Puskesmas Teladan. (2019b). Laporan Kunjungan Pasien dan Penderita Sifilis di


VCT Puskesmas Teladan. Medan.

Riono, P. (2008). Sexual behavior among male to female transgenders (warias) in


5 Indonesian cities. Oral Abstract Session: AIDS 2008, XVII
InternationalAIDS Conference, Mexico City.

Sanchez, M. R. (2014). Syphillis dalam Fitzpatricks Dermatology in


GeneralMedicine. USA: McGraw Hill.

Santos, N. T. V. (2013). Vulnerabilidade e prevalência de HIV e sífilis em


usuários de drogas no Recife: resultados de um estudo respondent-driven
sampling. Tese de Doutorado. Centro de Pesquisas Aggeu Magalhães. Recife,
5(1), 154–159.

Sarwono, S. W. (2013). Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Press.

Scorviani, V., & Nugroho, T. (2012). Mengungkap Tuntas 9 Jenis PMS (Penyakit
Menular Seksual) (Cetakan 2). Yogyakarta: Nuha Medika.

Shmaefsky, B., Babcock, H., & Heymann, D. L. (2009). Syphilis (Deadly


Diseases and Epidemics). USA: Chelsea House Pub.

Siregar, I. J. (2012). Hubungan antara trikomonas dan HIV. FK Universitas


Sumatera Utara.

Snowden, J. M., Konda, K. A., Leon, S. R., Giron, J. M., Escobar, G., Coates, T.
J., … Trial, N. H. C. I. (2010). Recent syphilis infection prevalence and risk
factors among male low-income populations in coastal Peruvian cities.
Sexually Transmitted Diseases, 37(2), 75–80.

Stoltey, J. E., & Cohen, S. E. (2015). Syphilis transmission: A review of the


current evidence. Sexual Health, 12(2), 103–109.

Sundari, E. S. (2012). Hubungan Faktor Internal Dan Eksternal Dengan Kejadian


Sifilis Pada Laki-Laki Seks Dengan Laki-Laki (Kajian pada Komunitas Laki-
laki seks dengan laki-laki di Yogyakarta). Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada.

Tagny, C. (2015). Syphilis and Blood Safety in Developing Countries.


https://doi.org/10.5772/21499

Universitas Sumatera Utara


97

Thomas, S. (2013). Syphilis Co-Infection in Maricopa County. Arizona:


University of Arizona Collegeof Medicine Phoenix.

Todd, J., Munguti, K., & Grosskurth, H. (2001). Risk factors for active syphilis
and TPHA seroconversion in a ruralAfricanpopulation. Sex Transm Infect,
77(4), 37–45.

Urada, L. A., Malow, R. M., Santos, N. C., & Morisky, D. E. (2012).


Agedifferences among female sex workers in the Philippines: Sexual risk
negotiations and perceived manager advice. AIDS Research and Treatment,
1(1), 1–7.

WHO. (2016). Guidelines for the management of sexually transmitted infections.


Geneva: World Health Organization.

Widasmara, D. (2017). Epidemiologi Infeksi Menular Seksual. In Sjaiful Fahmi


Daili (Ed.), Infeksi Menular Seksual2 (Edisi 5). Jakarta: Badan Penerbit FK
Universitas Indonesia.

Wiknjosastro, H. (2013). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo.

Woods, C. R. (2009). Congenital syphilis-persisting pestilence. Pediatr.


Infect.Dis. J., 28(6), 536–547.

Yuliwaty. (2017). Koinfeksi Sifilis Sekunder Dengan Infeksi Human


Immunodeficiency Human Immunodeficiency Virus Stadium II Pada Seorang
Laki Stadium Ii Pada Seorang Laki-Laki Biseksual.

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 1. Data Kunjungan Pasien Dan Penderita Sifilis di VCT Puskesmas
Teladan Medan

DATA KUNJUNGAN PASIEN DAN PENDERITA SIFILIS


DI VCT PUSKESMAS TELADAN MEDAN

2017 2018 2019


Bulan Jlh Jumlah Jlh Jumlah Jlh Jumlah
Kunjungan Sifilis Kunjungan Sifilis Kunjungan Sifilis
Januari 124 5 90 7 56 8

Februari 126 12 74 9 67 6

Maret 117 5 42 4 57 4

April 123 4 75 9 39 1

Mei 164 10 58 3 43 3

Juni 90 9 47 2 44 4

Juli 101 1 43 2 43 14

Agustus 148 3 47 0 38 7

September 103 0 42 3 41 12

Oktober 112 1 33 2

November 100 6 46 2

Desember 81 4 53 6

Jumlah 1389 60 650 49 428 59

Persentase 4,3 7,5 13,8

98
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2. Lembar Penjelasan kepada Responden

LEMBAR PENJELASAN KEPADA RESPONDEN

Saya bernama Liana Rosa adalah mahasiswa Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera

Utara, Untuk memenuhi salah satu syarat yang sedang saya jalani, saya

melakukan penelitian dengan judul “Faktor-faktor yang Memengaruhi Terjadinya

Infeksi Penyakit Sifilis pada Laki-laki Usia Reproduktif di Puskesmas Teladan

Medan Periode Januari 2019 – September 2019”.

Untuk itu dibutuhkan kerjasama yang baik antara peneliti dan bapak.

Identitas bapak dan semua informasi yang diberikan akan dirahasiakan dan hanya

digunakan untuk keperluan penelitian ini.

Apabila bapak bersedia dan menyetujui untuk menjadi responden dalam

penelitian ini, agar kiranya menandatangani formulir sebagai tanda persetujuan.

Atas kerjasama yang baik dari semua pihak saya ucapkan terima kasih.

Peneliti,

(Liana Rosa)

99
Universitas Sumatera Utara
100

Lampiran 3. Pernyataan Persetujuan Menjadi Responden Penelitian

PERNYATAAN PERSETUJUAN

MENJADI RESPONDEN PENELITIAN

Sehubungan dengan keinginan saudara untuk melakukan penelitian yang

berjudul : Faktor-faktor yang Memengaruhi Terjadinya Infeksi Penyakit Sifilis

pada Laki-laki Usia Reproduktif di Puskesmas Teladan Medan Periode Januari

2019 – September 2019, dan permohonan kesediaan kami untuk dijadikan

responden, maka dengan ini kami berterima kasih atas kepercayaan yang saudara

berikan dan dengan ini saya menyatakan bersedia untuk berpartisipasi menjadi

responden dalam penelitian yang saudara lakukan dengan sukarela.

Responden,

(..................................)

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 4. Kuesioner

KUESIONER

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI TERJADINYA


PENYAKIT SIFILIS PADA LAKI-LAKI USIA PRODUKTIF
DI PUSKESMAS TELADAN MEDAN PERIODE
JANUARI 2019 – SEPTEMBER 2019

No Resp. : ...........................
Kelompok : Kasus
Kontrol

Data Responden :

1. Nama / Inisial : .............................................

2. Umur : .............................................

Pendidikan terakhir : SD SMP


SMA Akademi
Perguruan Tinggi

Riwayat Sifilis / Infeksi Menular Seksual (IMS)


1. Apakah Saudara memiliki riwayat penyakit sifilis (raja singa) sebelumnya?
a. Ya
b. Tidak
2. Apakah Saudara memiliki riwayat penyakit infeksi menular seksual (IMS)
sebelumnya?
a. Ya
b. Tidak
3. Jika ya, apa nama penyakit IMS yang anda alami tersebut?
a. Gonorrhea (GO) atau kencing nanah
b. Klamidia
c. Epididimitis

101
Universitas Sumatera Utara
102

d. HIV/AIDS
e. Lainnya, sebutkan : .............................
Penggunaan Kondom

1. Apakah Saudara menggunakan kondom setiap melakukan hubungan seksual


dengan pasangan anda ?
a. Ya
b. Tidak
2. Jika tidak, apa alasan Saudara tidak menggunakan kondom saat berhubungan
seksual?
a. Mengurangi kenikmatan saat berhubungan
b. Tidak tersedia / tidak membawa kondom
c. Ukuran kondom tidak pas.
d. Lainnya, sebutkan : .......................................
3. Apakah saudara menggunakan kondom dari mulai ereksi sampai keluar
sperma?
a. Ya
b. Tidak
4. Apakah anda menggunakan kondom pada saat penis akan dimasukkan ke
vagina saja?
a. Ya
b. Tidak
5. Apakah anda menggunakan kondom memperhatikan dan memilih kondom
dari bahan yang kuat (tidak mudah bocor)?
a. Ya
b. Tidak

Penggunaan Napza Suntik

1. Apakah Saudara menggunakan atau pernah menggunakan narkotika jenis


suntik?
a. Ya, Ada

Universitas Sumatera Utara


103

b. Tidak ada
2. Jika ya, apakah Saudara menggunakan narkotika jenis suntik secara bergantian
dengan orang lain?
a. Ya
b. Tidak
3. Apakah anda menggunakan narkoba jarum suntik sebelum melakukan
hubungan seksual ?
a. Ya
b. Tidak
4. Apakah jarum suntik yang digunakan selalu dalam keadaan baru?
a. Ya
b. Tidak
5. Selain menggunakan jarum suntik, apakah anda menggunakan narkotika yang
lainnya ?
a. Ya
b. Tidak
6. Jika ya, apa jenis narkoba lain yang anda gunakan?
a. Ganja
b. Shabu-shabu
c. Morfin/kokain
d. Lainnya, sebutkan : ...................................

Jumlah Mitra/Pasangan Seksual

1. Hingga saat ini, ada berapa jumlah pasangan seksual saudara?


a. Satu orang (Istri)
b. Lebih dari satu orang
2. Jika lebih satu orang, apakah anda melakukan hubungan seksual dengan
beberapa pasangan tersebut dalam waktu yang bersamaan atau berdekatan ?
a. Ya
b. Tidak

Universitas Sumatera Utara


104

3. Apakah menurut anda, pasangan anda tersebut memiliki penyakit infeksi


menular seksual (IMS)?
a. Ya
b. Tidak
4. Apakah dengan memiliki banyak pasangan seksual, anda juga berisiko
menderita penyakit infeksi menular seksual?
a. Ya
b. Tidak, karena menurut saya pasangan saya bersih
5. Apakah anda sering melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks?
a. Ya
b. Tidak

Jenis Kelamin Mitra/Pasangan Seksual


1. Selama ini Saudara berhubungan dengan ....

a. Pria (homoseksual)

b. Wanita (heteroseksual)

2. Apakah anda juga pernah melakukan hubungan sesama pria dan juga

berhubungan seksual dengan wanita?

a. Ya, saya pernah berhubungan seksual dengan pria dan juga pernah dengan

wanita

b. Tidak pernah

3. Jika ya, lebih banyak mana anda berhubungan seksual dengan pria dan

wanita?

a. Dengan pria

b. Dengan wanita

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 5. Master Data

MASTER DATA
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA INFEKSI PENYAKIT SIFILIS
PADA LAKI-LAKI USIA REPRODUKTIF DI PUSKESMAS TELADAN MEDAN
PERIODE JANUARI 2019-JULI 2019
KASUS
Jenis
Jumlah
No Riwayat Penggunaan Penggunaan Napza Kelamin
Identitas Pasangan
subjek Sifilis Kondom Suntik Pasangan
Seksual
Seksual
Umur Didik kerja 1 2 3 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 1 2 3
1 39 0 0 2 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0
2 30 1 0 5 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0
3 38 0 0 5 0 0 0 1 0 0 1 0 1 0 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 0
4 37 0 0 5 1 0 0 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 2 1 0 1 0 1 1 1
5 39 0 0 5 0 0 0 1 0 0 1 0 1 0 0 1 0 2 1 0 0 0 1 1 1
6 42 0 0 5 0 0 0 0 2 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 0 0 0 1 0 0
7 37 0 0 2 1 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0
8 33 1 0 5 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0
9 29 1 1 3 0 1 2 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0
10 30 1 1 1 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0
11 38 0 0 5 0 0 0 1 0 0 1 1 1 0 0 1 0 2 1 0 0 0 1 0 0
12 32 1 0 5 1 1 1 1 0 1 0 1 1 0 0 1 1 2 1 0 1 0 1 1 1

105
Universitas Sumatera Utara
106

13 34 1 0 5 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0
14 36 0 1 1 1 1 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
15 39 0 0 2 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
16 43 0 0 5 0 1 1 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
17 41 0 0 2 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 1 1 3 1 0 0 1 1 0 0
18 37 0 0 6 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0
19 36 0 1 3 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 0 1
20 31 1 0 2 1 1 2 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
21 33 1 0 3 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0
22 35 1 0 5 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
23 39 0 0 2 0 0 0 1 0 0 1 1 1 0 0 1 1 3 0 1 0 0 0 0 0
24 42 0 1 3 0 1 3 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
25 30 1 0 3 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
26 33 1 0 5 0 1 2 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
27 38 0 0 2 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0
28 32 1 0 3 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 2 1 0 1 0 0 0 0
29 34 1 0 3 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0
30 39 0 0 5 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
31 37 0 0 2 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 1
32 36 0 1 2 1 1 1 1 0 0 0 1 1 0 1 1 1 2 0 1 0 0 0 0 0
33 31 1 1 5 0 1 3 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0
34 39 0 0 5 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
35 34 1 0 6 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
36 40 0 0 6 1 1 2 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0

Universitas Sumatera Utara


107

37 34 1 0 6 0 0 0 1 0 1 1 1 1 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0
38 41 0 0 6 0 0 0 1 0 0 1 1 1 0 1 1 0 3 1 0 0 1 1 1 0
39 33 1 0 2 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
40 44 0 0 3 0 1 2 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
41 31 1 0 3 0 0 0 1 0 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 0 0 0 1 0 0
42 34 1 1 3 0 0 0 1 0 1 1 1 1 0 1 1 0 2 1 0 0 0 0 0 0
43 29 1 0 2 0 0 0 1 0 1 1 1 1 0 0 1 1 2 0 1 0 0 0 0 0
44 33 1 0 1 0 0 0 1 0 1 1 1 1 0 0 1 1 2 1 0 0 1 0 0 0
45 36 0 0 5 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0
46 39 0 0 5 0 1 1 1 0 1 1 1 1 0 0 1 0 2 1 0 0 0 1 0 0
47 35 1 0 6 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0
48 32 1 0 5 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
49 41 0 0 2 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
50 30 1 0 3 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 2 1 0 0 1 1 1 1
51 34 1 1 3 1 1 2 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
52 37 0 0 2 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
53 40 0 1 3 1 1 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0
54 34 1 0 2 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
55 36 0 0 2 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 1 1
56 38 0 0 2 0 0 0 0 2 0 0 1 1 0 1 1 0 2 0 1 0 0 0 0 0
57 32 1 0 2 0 1 1 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
58 36 0 0 5 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
59 45 0 1 3 0 0 0 1 0 1 1 1 1 0 0 1 1 3 1 0 0 1 1 1 1

Universitas Sumatera Utara


108

Keterangan :

Umur Pendidikan : Pekerjaan : Riwayat Penggunaan Penggunaan Jumlah Jumlah


Sifilis : kondom Napza Suntik pasangan kelamin
1 = <36 tahun 1 = Rendah 1 = supir seksual pasangan
0 = >36 tahun (SD/SMP) 2= 1 = Ada 1= Jarang 1= Ya seksual
0 = Tinggi wiraswasta 2= tidak ada 2= Rutin 2= tidak 1= >1 orang
(SMA/PT) 3 = buruh 2= 1 orang 1= sejenis
4 = Pekerja (istri) 2= berbeda
seks jenis
5 = Pegawai
Swasta
6 = PNS

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 6. Output SPSS Data Penelitian
OUTPUT SPSS

Tabel Frekuensi (Kasus)

Umur

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent


Valid > 36 32 54.2 54.2 54.2
< 36 27 45.8 45.8 100.0
Total 59 100.0 100.0

Pendidikan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tinggi (SMA/PT) 48 81.4 81.4 81.4
Rendah (SD/SMP) 11 18.6 18.6 100.0
Total 59 100.0 100.0

Pekerjaan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Supir 3 5.1 5.1 5.1
Wiraswasta 17 28.8 28.8 33.9
Buruh 14 23.7 23.7 57.6
Pegawai Swasta 19 32.2 32.2 89.8
PNS 6 10.2 10.2 100.0
Total 59 100.0 100.0

Riwayat Sifilis
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak ada 47 79.7 79.7 79.7
Ada 12 20.3 20.3 100.0
Total 59 100.0 100.0

Penggunaan Kondom

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent


Valid Rutin 33 55.9 55.9 55.9
Jarang 26 44.1 44.1 100.0
Total 59 100.0 100.0

Pengunaan Napza Suntik

109
Universitas Sumatera Utara
110

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent


Valid tidak 39 66.1 66.1 66.1
ya 20 33.9 33.9 100.0
Total 59 100.0 100.0

Jumlah Pasangan Seksual


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 1 orang 29 49.2 49.2 49.2
>1 orang 30 50.8 50.8 100.0
Total 59 100.0 100.0

Jenis Kelamin Pasangan


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Berbeda jenis 51 86.4 86.4 86.4
Sejenis 8 13.6 13.6 100.0
Total 59 100.0 100.0

Tabel Frekuensi (Kontrol)

Umur

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent


Valid > 36 31 52.5 52.5 52.5
< 36 28 47.5 47.5 100.0
Total 59 100.0 100.0

Pendidikan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tinggi (SMA/PT) 57 96.6 96.6 96.6
Rendah (SD/SMP) 2 3.4 3.4 100.0
Total 59 100.0 100.0

Pekerjaan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Wiraswasta 22 37.3 37.3 37.3
Buruh 9 15.3 15.3 52.5
Pegawai Swasta 17 28.8 28.8 81.4
PNS 11 18.6 18.6 100.0
Total 59 100.0 100.0

Universitas Sumatera Utara


111

Riwayat Sifilis
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak ada 58 98.3 98.3 98.3
Ada 1 1.7 1.7 100.0
Total 59 100.0 100.0

Penggunaan Kondom

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent


Valid Rutin 56 94.9 94.9 94.9
Jarang 3 5.1 5.1 100.0
Total 59 100.0 100.0

Pengunaan Napza Suntik

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent


Valid tidak 51 86.4 86.4 86.4
ya 8 13.6 13.6 100.0
Total 59 100.0 100.0

Jumlah Pasangan Seksual


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 1 orang 55 93.2 93.2 93.2
>1 orang 4 6.8 6.8 100.0
Total 59 100.0 100.0

Jenis Kelamin Pasangan


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Berbeda jenis 58 98.3 98.3 98.3
Sejenis 1 1.7 1.7 100.0
Total 59 100.0 100.0

Universitas Sumatera Utara


112

Tabel Silang

Umur * Kejadian Sifilis

Crosstab
Kejadian Sifilis
Bukan Sifilis Sifilis Total
Umur > 36 Count 31 32 63
Expected Count 31.5 31.5 63.0
% within Umur 49.2% 50.8% 100.0%
% within Kejadian Sifilis 52.5% 54.2% 53.4%
% of Total 26.3% 27.1% 53.4%
< 36 Count 28 27 55
Expected Count 27.5 27.5 55.0
% within Umur 50.9% 49.1% 100.0%
% within Kejadian Sifilis 47.5% 45.8% 46.6%
% of Total 23.7% 22.9% 46.6%
Total Count 59 59 118
Expected Count 59.0 59.0 118.0
% within Umur 50.0% 50.0% 100.0%
% within Kejadian Sifilis 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 50.0% 50.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square .034 1 .854
b
Continuity Correction .000 1 1.000
Likelihood Ratio .034 1 .854
Fisher's Exact Test 1.000 .500
Linear-by-Linear .034 1 .854
Association
N of Valid Cases 118
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 27.50.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Umur (> 36 / < .934 .453 1.926
36)
For cohort Kejadian Sifilis = .967 .674 1.387
Bukan Sifilis
For cohort Kejadian Sifilis = 1.035 .720 1.487
Sifilis
N of Valid Cases 118

Universitas Sumatera Utara


113

Pendidikan * Kejadian Sifilis

Crosstab
Kejadian Sifilis
Bukan Sifilis Sifilis Total
Pendidikan Tinggi (SMA/PT) Count 57 48 105
Expected Count 52.5 52.5 105.0
% within Pendidikan 54.3% 45.7% 100.0%
% within Kejadian Sifilis 96.6% 81.4% 89.0%
% of Total 48.3% 40.7% 89.0%
Rendah (SD/SMP) Count 2 11 13
Expected Count 6.5 6.5 13.0
% within Pendidikan 15.4% 84.6% 100.0%
% within Kejadian Sifilis 3.4% 18.6% 11.0%
% of Total 1.7% 9.3% 11.0%
Total Count 59 59 118
Expected Count 59.0 59.0 118.0
% within Pendidikan 50.0% 50.0% 100.0%
% within Kejadian Sifilis 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 50.0% 50.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 7.002 1 .008
b
Continuity Correction 5.533 1 .019
Likelihood Ratio 7.632 1 .006
Fisher's Exact Test .016 .008
Linear-by-Linear 6.943 1 .008
Association
N of Valid Cases 118
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.50.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Pendidikan 6.531 1.380 30.920
(Tinggi (SMA/PT) / Rendah
(SD/SMP))
For cohort Kejadian Sifilis = 3.529 .974 12.779
Bukan Sifilis
For cohort Kejadian Sifilis = .540 .396 .738
Sifilis
N of Valid Cases 118

Universitas Sumatera Utara


114

Riwayat Sifilis * Kejadian Sifilis

Crosstab
Kejadian Sifilis
Bukan Sifilis Sifilis Total
Riwayat Sifilis Tidak ada Count 58 47 105
Expected Count 52.5 52.5 105.0
% within Riwayat Sifilis 55.2% 44.8% 100.0%
% within Kejadian Sifilis 98.3% 79.7% 89.0%
% of Total 49.2% 39.8% 89.0%
Ada Count 1 12 13
Expected Count 6.5 6.5 13.0
% within Riwayat Sifilis 7.7% 92.3% 100.0%
% within Kejadian Sifilis 1.7% 20.3% 11.0%
% of Total .8% 10.2% 11.0%
Total Count 59 59 118
Expected Count 59.0 59.0 118.0
% within Riwayat Sifilis 50.0% 50.0% 100.0%
% within Kejadian Sifilis 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 50.0% 50.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 10.460 1 .001
b
Continuity Correction 8.645 1 .003
Likelihood Ratio 12.125 1 .000
Fisher's Exact Test .002 .001
Linear-by-Linear 10.371 1 .001
Association
N of Valid Cases 118
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.50.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Riwayat Sifilis 14.809 1.858 118.055
(Tidak ada / Ada)
For cohort Kejadian Sifilis = 7.181 1.084 47.578
Bukan Sifilis
For cohort Kejadian Sifilis = .485 .372 .632
Sifilis
N of Valid Cases 118

Universitas Sumatera Utara


115

Penggunaan Kondom * Kejadian Sifilis

Crosstab
Kejadian Sifilis
Bukan Sifilis Sifilis Total
Penggunaan Kondom Rutin Count 56 33 89
Expected Count 44.5 44.5 89.0
% within Penggunaan 62.9% 37.1% 100.0%
Kondom
% within Kejadian Sifilis 94.9% 55.9% 75.4%
% of Total 47.5% 28.0% 75.4%
Jarang Count 3 26 29
Expected Count 14.5 14.5 29.0
% within Penggunaan 10.3% 89.7% 100.0%
Kondom
% within Kejadian Sifilis 5.1% 44.1% 24.6%
% of Total 2.5% 22.0% 24.6%
Total Count 59 59 118
Expected Count 59.0 59.0 118.0
% within Penggunaan 50.0% 50.0% 100.0%
Kondom
% within Kejadian Sifilis 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 50.0% 50.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 24.185 1 .000
b
Continuity Correction 22.128 1 .000
Likelihood Ratio 26.924 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear 23.980 1 .000
Association
N of Valid Cases 118
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.50.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Penggunaan 14.707 4.130 52.377
Kondom (Rutin / Jarang)
For cohort Kejadian Sifilis = 6.082 2.059 17.969
Bukan Sifilis
For cohort Kejadian Sifilis = .414 .307 .557
Sifilis
N of Valid Cases 118

Universitas Sumatera Utara


116

Pengunaan Napza Suntik * Kejadian Sifilis

Crosstab
Kejadian Sifilis
Bukan Sifilis Sifilis Total
Pengunaan Napza tidak Count 51 39 90
Suntik Expected Count 45.0 45.0 90.0
% within Pengunaan 56.7% 43.3% 100.0%
Napza Suntik
% within Kejadian Sifilis 86.4% 66.1% 76.3%
% of Total 43.2% 33.1% 76.3%
ya Count 8 20 28
Expected Count 14.0 14.0 28.0
% within Pengunaan 28.6% 71.4% 100.0%
Napza Suntik
% within Kejadian Sifilis 13.6% 33.9% 23.7%
% of Total 6.8% 16.9% 23.7%
Total Count 59 59 118
Expected Count 59.0 59.0 118.0
% within Pengunaan 50.0% 50.0% 100.0%
Napza Suntik
% within Kejadian Sifilis 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 50.0% 50.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 6.743 1 .009
b
Continuity Correction 5.666 1 .017
Likelihood Ratio 6.918 1 .009
Fisher's Exact Test .016 .008
Linear-by-Linear 6.686 1 .010
Association
N of Valid Cases 118
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.00.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Pengunaan 3.269 1.303 8.202
Napza Suntik (tidak / ya)
For cohort Kejadian Sifilis = 1.983 1.075 3.661
Bukan Sifilis
For cohort Kejadian Sifilis = .607 .435 .846
Sifilis
N of Valid Cases 118

Universitas Sumatera Utara


117

Jumlah Pasangan Seksual * Kejadian Sifilis

Crosstab
Kejadian Sifilis
Bukan Sifilis Sifilis Total
Jumlah 1 orang Count 55 29 84
Pasangan Expected Count 42.0 42.0 84.0
Seksual % within Jumlah Pasangan 65.5% 34.5% 100.0%
Seksual
% within Kejadian Sifilis 93.2% 49.2% 71.2%
% of Total 46.6% 24.6% 71.2%
>1 orang Count 4 30 34
Expected Count 17.0 17.0 34.0
% within Jumlah Pasangan 11.8% 88.2% 100.0%
Seksual
% within Kejadian Sifilis 6.8% 50.8% 28.8%
% of Total 3.4% 25.4% 28.8%
Total Count 59 59 118
Expected Count 59.0 59.0 118.0
% within Jumlah Pasangan 50.0% 50.0% 100.0%
Seksual
% within Kejadian Sifilis 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 50.0% 50.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 27.930 1 .000
b
Continuity Correction 25.823 1 .000
Likelihood Ratio 30.685 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear 27.693 1 .000
Association
N of Valid Cases 118
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17.00.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Jumlah 14.224 4.567 44.302
Pasangan Seksual (1 orang /
>1 orang)
For cohort Kejadian Sifilis = 5.565 2.188 14.156
Bukan Sifilis
For cohort Kejadian Sifilis = .391 .284 .538
Sifilis
N of Valid Cases 118

Universitas Sumatera Utara


118

Jenis Kelamin Pasangan * Kejadian Sifilis

Crosstab
Kejadian Sifilis
Bukan Sifilis Sifilis Total
Jenis Kelamin Berbeda jenis Count 58 51 109
Pasangan Expected Count 54.5 54.5 109.0
% within Jenis Kelamin 53.2% 46.8% 100.0%
Pasangan
% within Kejadian Sifilis 98.3% 86.4% 92.4%
% of Total 49.2% 43.2% 92.4%
Sejenis Count 1 8 9
Expected Count 4.5 4.5 9.0
% within Jenis Kelamin 11.1% 88.9% 100.0%
Pasangan
% within Kejadian Sifilis 1.7% 13.6% 7.6%
% of Total .8% 6.8% 7.6%
Total Count 59 59 118
Expected Count 59.0 59.0 118.0
% within Jenis Kelamin 50.0% 50.0% 100.0%
Pasangan
% within Kejadian Sifilis 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 50.0% 50.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 5.894 1 .015
b
Continuity Correction 4.330 1 .037
Likelihood Ratio 6.648 1 .010
Fisher's Exact Test .032 .016
Linear-by-Linear 5.844 1 .016
Association
N of Valid Cases 118
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.50.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Jenis Kelamin 9.098 1.100 75.240
Pasangan (Berbeda jenis /
Sejenis)
For cohort Kejadian Sifilis = 4.789 .748 30.648
Bukan Sifilis
For cohort Kejadian Sifilis = .526 .388 .715
Sifilis
N of Valid Cases 118

Universitas Sumatera Utara


119

Regresi Logistik Berganda

Case Processing Summary


a
Unweighted Cases N Percent
Selected Cases Included in Analysis 118 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 118 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 118 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of
cases.

Dependent Variable Encoding


Original Value Internal Value
Bukan Sifilis 0
Sifilis 1

Block 0: Beginning Block


a,b
Classification Table
Predicted
Kejadian Sifilis
Percentage
Observed Bukan Sifilis Sifilis Correct
Step 0 Kejadian Sifilis Bukan Sifilis 0 59 .0
Sifilis 0 59 100.0
Overall Percentage 50.0
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is .500

Variables in the Equation


B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant .000 .184 .000 1 1.000 1.000

Variables not in the Equation


Score df Sig.
Step 0 Variables didik 7.002 1 .008
riwayat_sifilis 10.460 1 .001
guna_kondom 24.185 1 .000
napza 6.743 1 .009
jlh_pasangan 27.930 1 .000
jenkel_pasangan 5.894 1 .015
Overall Statistics 41.301 6 .000

Universitas Sumatera Utara


120

Block 1: Method = Forward Stepwise (Conditional)

Omnibus Tests of Model Coefficients


Chi-square df Sig.
Step 1 Step 30.685 1 .000
Block 30.685 1 .000
Model 30.685 1 .000
Step 2 Step 10.152 1 .001
Block 40.837 2 .000
Model 40.837 2 .000
Step 3 Step 7.038 1 .008
Block 47.875 3 .000
Model 47.875 3 .000

Model Summary
Cox & Snell R Nagelkerke R
Step -2 Log likelihood Square Square
a
1 132.898 .229 .305
a
2 122.745 .293 .390
b
3 115.708 .334 .445
a. Estimation terminated at iteration number 5 because
parameter estimates changed by less than .001.
b. Estimation terminated at iteration number 6 because
parameter estimates changed by less than .001.

a
Classification Table
Predicted
Kejadian Sifilis
Percentage
Observed Bukan Sifilis Sifilis Correct
Step 1 Kejadian Sifilis Bukan Sifilis 55 4 93.2
Sifilis 29 30 50.8
Overall Percentage 72.0
Step 2 Kejadian Sifilis Bukan Sifilis 54 5 91.5
Sifilis 23 36 61.0
Overall Percentage 76.3
Step 3 Kejadian Sifilis Bukan Sifilis 53 6 89.8
Sifilis 18 41 69.5
Overall Percentage 79.7
a. The cut value is .500

Universitas Sumatera Utara


121

Variables in the Equation


95% C.I.for
EXP(B)
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper
a
Step 1 jlh_pasangan 2.655 .580 20.978 1 .000 14.224 4.567 34.302
Constant -.640 .229 7.778 1 .005 .527
b
Step 2 riwayat_sifilis 2.725 1.095 6.195 1 .013 15.264 1.785 30.533
jlh_pasangan 2.668 .592 20.314 1 .000 14.409 4.516 15.972
Constant -.857 .249 11.882 1 .001 .424
c
Step 3 riwayat_sifilis 2.748 1.105 6.185 1 .013 15.616 1.790 46.200
guna_kondom 1.818 .726 6.265 1 .012 6.158 1.483 25.565
jlh_pasangan 1.944 .646 9.073 1 .003 6.990 1.972 24.773
Constant -1.021 .264 14.951 1 .000 .036
a. Variable(s) entered on step 1: jlh_pasangan.
b. Variable(s) entered on step 2: riwayat_sifilis.
c. Variable(s) entered on step 3: guna_kondom.

a
Model if Term Removed
Model Log Change in -2 Log Sig. of the
Variable Likelihood Likelihood df Change
Step 1 jlh_pasangan -82.529 32.161 1 .000
Step 2 riwayat_sifilis -66.564 10.382 1 .001
jlh_pasangan -76.259 29.772 1 .000
Step 3 riwayat_sifilis -62.894 10.081 1 .001
guna_kondom -61.522 7.336 1 .007
jlh_pasangan -63.088 10.468 1 .001
a. Based on conditional parameter estimates

Variables not in the Equation


Score df Sig.
Step 1 Variables didik 4.124 1 .042
riwayat_sifilis 9.370 1 .002
guna_kondom 7.712 1 .005
napza .475 1 .491
jenkel_pasangan .005 1 .943
Overall Statistics 18.691 5 .002
Step 2 Variables didik 1.333 1 .248
guna_kondom 7.504 1 .006
napza .480 1 .489
jenkel_pasangan .124 1 .725
Overall Statistics 9.700 4 .046
Step 3 Variables didik 1.489 1 .222
napza .298 1 .585
jenkel_pasangan 1.627 1 .202
Overall Statistics 3.162 3 .367

Universitas Sumatera Utara


122

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
Jalan Universitas No. 21 Kampus USU Medan 20155
Telp. (061) 8213221, Fax. (061) 8213221 Website : http://fkm.usu.ac.id - Email : fkm.usu.medan@gmail.com

BERITA ACARA PERBAIKAN UJIAN KOMPREHENSIF

Nama Mahasiswa : Liana Rosa


NIM : 157032080
Judul Tesis : Faktor-Faktor yang Memengaruhi Terjadinya
Infeksi Penyakit Sifilis pada Laki-Laki Usia
Produktif di Puskesmas Teladan Medan Periode
Januari 2019-September 2019
Hari/ Tanggal Ujian : Kamis / 30 Januari 2020
Waktu : 12.00 Wib - 13.00 Wib
Tempat : Ruang Ujian E1.02
Dosen Pembimbing/Penguji : dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D

Halaman Halaman
No. Item Sebelum setelah
Perbaikan
diperbaiki diperbaiki
1. Pada abstrak ditambahkan data-
Sudah ditambahkan data-data
data sifilis v v
sifilis
2. Landasan teori harus dijelaskan
Sudah ditambahkan sumber
sumber jurnalnya dari mana. 46-47 46-47
dalam landasan teori bab 2
3. Sampel sebagai kontrol sudah
Kontrol lebih diperjelas.
diperjelas pada bab 51-52 51-52
3.
4. Metode pengukuran variabel Metode pengukuran variabel
diperbaiki pada bab 3 sudah disesuaikan. 54-57 54-57

Medan, 30 Januari 2020


Pembimbing I

(dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D)

Universitas Sumatera Utara


123

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
Jalan Universitas No.21 Kampus USU Medan 20155
Telp. (061) 8213221, Fax. (061) 8213221 Website : http://fkm.usu.ac.id - Email : fkm.usu.medan@gmail.com

BERITA ACARA PERBAIKAN UJIAN KOMPREHENSIF

Nama Mahasiswa : Liana Rosa


NIM : 157032080
Judul Tesis : Faktor-Faktor yang Memengaruhi Terjadinya
Infeksi Penyakit Sifilis pada Laki-Laki Usia
Produktif di Puskesmas Teladan Medan
Periode Januari 2019-September 2019
Hari/ Tanggal Ujian : Kamis / 30 Januari 2020
Waktu : 12.00 Wib - 13.00 Wib
Tempat : Ruang Ujian E1.02
Dosen Pembimbing/Penguji : Prof. Drs. Heru Santosa, M.S., Ph.D

Halaman Halaman
No. Item Sebelum setelah
Perbaikan
diperbaiki diperbaiki
1. Pada abstrak ditambahkan data-
Sudah ditambahkan data-data
data sifilis v v
sifilis
2. Landasan teori harus dijelaskan
Sudah ditambahkan sumber
sumber jurnalnya dari mana. 46-47 46-47
dalam landasan teori bab 2
3. Sampel sebagai kontrol sudah
Kontrol lebih diperjelas.
diperjelas pada bab 51-52 51-52
3.
4. Metode pengukuran variabel Metode pengukuran variabel
diperbaiki pada bab 3 sudah disesuaikan. 54-57 54-57

Medan, 30 Januari 2020


Pembimbing II,

(Prof. Drs. Heru Santosa, M.S., Ph.D)

Universitas Sumatera Utara


124

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
Jalan Universitas No. 21 Kampus USU Medan 20155
Telp. (061) 8213221, Fax. (061) 8213221 Website : http://fkm.usu.ac.id - Email : fkm.usu.medan@gmail.com

BERITA ACARA PERBAIKAN UJIAN KOMPREHENSIF


Nama Mahasiswa : Liana Rosa
NIM : 157032080
Judul Tesis : Faktor-Faktor yang Memengaruhi Terjadinya
Infeksi Penyakit Sifilis pada Laki-Laki Usia
Produktif di Puskesmas Teladan Medan
Periode Januari 2019-September 2019
Hari/ Tanggal Ujian : Kamis / 30 Januari 2020
Waktu : 12.00 Wib - 13.00 Wib
Tempat : Ruang Ujian E1.02
Dosen Pembimbing/Penguji : Dr. Asfriyati, S.K.M, M.Kes

Halaman Halaman
No. Item Sebelum setelah
Perbaikan
diperbaiki diperbaiki
1. Perbaiki abstrak Abstrak sudah diperbaiki
v v
sesuai arahan
2. Pembagian dasar umur harus Pembagian umur sudah
lebih jelas. diperbaiki. 54, 63-64 54, 63-64

3. Saran sesuaikan dengan Saran sudah disesuaikan


kesimpulan penelitian dengan hasil kesimpulan yang
88-89 88-89
diteliti.

Medan, 30 Januari 2020


Penguji II

(Dr. Asfriyati, S.K.M, M.Kes)

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
Jalan Universitas No. 21 Kampus USU Medan 20155
Telp.( 061) 8213221. Fax. (061) 8213221 Website : http ://fkm.usu.ac.id–Email : fkm.usu.medan@gmail.com
Catatan:
1. Daftar tilik jangan hilang
DAFTAR TILIK 2. Email kembali hasil koreksian, Jangan
KESESUAIAN FORMAT TESIS MAHASISWA PRODI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT hilangkan catatan dari editing
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT USU sebelumnya.
3. Tempalate bisa didownload di
Nama : Liana Rosa NIM : 157032080 Peminatan : Kesehatan Reproduksi fkm.usu.ac.id (pilih akademik)

Editing ke- 1 Editing ke- 2 Editing ke- 3 Editing ke- 4 Editing ke- 5 Editing ke- 6 Editing ke- 7 Setuju
No Persyaratan
Sesuai Belum Sesuai Belum Sesuai Belum Sesuai Belum Sesuai Belum Sesuai Belum Sesuai Belum Cetak
1 Halaman sampul depan tesis √ √
2 Halaman sampul dalam tesis √ √
3 Halaman persetujuan tesis √ √
4 Halaman penetapan tim penguji tesis √ √
5 Halaman pernyataan keaslian tesis √ √
6 Abstrak √ √
7 Abstract √ √


8 Kata pengantar √ √
9 Daftar isi √ √ SETUJU CETAK
10 Daftar tabel √ √
11 Daftar gambar √ √
14/04/2021
12 Daftar lampiran √ √*
13 Daftar istilah √ √
14 Riwayat hidup √ √
15 Headings dan permulaan kalimat √ √
16 Body text √ √
17 Tabel √ √
18 Gambar √ √
19 Daftar pustaka √ √
20 Lampiran √ √*
Paraf & Tanggal Periksa 01/10/2020 14/04/2021

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai