Anda di halaman 1dari 11

NAMA : Fannyta Putri Hazra

NIM : 190304261
MATA KULIAH : Al-Islam 3

1. 9 profil wali yang mengembangkan Islam di Jawa


Jawaban :
Nama para Wali Songo :

 Sunan Gresik atau  Sunan Drajat atau Raden  Sunan Kalijaga atau
Maulana Malik Ibrahim Qasim Raden Syahid
 Sunan Ampel atau Raden  Sunan Kudus atau Ja'far  Sunan Muria atau Raden
Rahmat Shadiq Umar Said
 Sunan Bonang atau  Sunan Giri atau Raden  Sunan Gunung Jati atau
Raden Makhdum Ibrahim Paku atau 'Ainul Yaqin Syarif Hidayatullah

 Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)


Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad. Ia disebut juga Sunan Gresik, atau
Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat Wali Songo . Nasab As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim
Nasab Maulana Malik Ibrahim menurut catatan Dari As-Sayyid Bahruddin Ba'alawi Al-Husaini yang
kumpulan catatannya kemudian dibukukan dalam Ensiklopedi Nasab Ahlul Bait yang terdiri dari
beberapa volume (jilid). Dalam Catatan itu tertulis: As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim bin As-Sayyid
Barakat Zainal Alam bin As-Sayyid Husain Jamaluddin bin As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin As-Sayyid
Abdullah bin As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin As-Sayyid
Muhammad Shahib Mirbath bin As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid
Muhammad bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Al-Imam
Isa bin Al-Imam Muhammad bin Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin Al-Imam Ja’far Shadiq bin Al-Imam
Muhammad Al-Baqir bin Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah
Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti Nabi Muhammad Rasulullah
Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi
Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy.
Dalam cerita rakyat, ada yang memanggilnya Kakek Bantal.
Maulana Malik Ibrahim memiliki, 3 isteri bernama:
1. Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam Maulana Israil (Raja Champa Dinasti Azmatkhan 1), memiliki 2
anak, bernama: Maulana Moqfaroh dan Syarifah Sarah
2. Siti Maryam binti Syaikh Subakir, memiliki 4 anak, yaitu: Abdullah, Ibrahim, Abdul Ghafur, dan
Ahmad
3. Wan Jamilah binti Ibrahim Zainuddin Al-Akbar Asmaraqandi, memiliki 2 anak yaitu: Abbas dan
Yusuf.
Selanjutnya Sharifah Sarah binti Maulana Malik Ibrahim dinikahkan dengan Sayyid Fadhal Ali Murtadha
[Sunan Santri/ Raden Santri] dan melahirkan dua putera yaitu Haji Utsman (Sunan Manyuran) dan
Utsman Haji (Sunan Ngudung). Selanjutnya Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung) berputera Sayyid
Ja’far Shadiq (Sunan Kudus).
Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Ia
mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan
masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati
masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat
belajar agama di Leran, Gresik. Ia juga membangun masjid sebagai tempat peribadatan pertama di tanah
Jawa, yang sampai sekarang masjid tersebut menjadi masjid Jami' Gresik. Pada tahun 1419, Malik
Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.

 Sunan Ampel (Raden Rahmat)


Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad, menurut riwayat ia
adalah putra Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan seorang putri Champa yang bernama Dewi Condro Wulan
binti Raja Champa Terakhir Dari Dinasti Ming. Nasab lengkapnya sebagai berikut: Sunan Ampel bin
Sayyid Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Sayyid Jamaluddin Al-Husain bin Sayyid Ahmad Jalaluddin bin
Sayyid Abdullah bin Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin Sayyid Alwi Ammil Faqih bin Sayyid
Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali’ Qasam bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad bin
Sayyid Alwi bin Sayyid Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid Isa bin Sayyid Muhammad
bin Sayyid Ali Al-Uraidhi bin Imam Ja’far Shadiq bin Imam Muhammad Al-Baqir bin Imam Ali Zainal
Abidin bin Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah. Sunan
Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya bertempat di Ampel
Denta, Surabaya, dan merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah
dengan Dewi Condrowati yang bergelar Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja dan
menikah juga dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi
Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo, berputera: Sunan Bonang,Siti Syari’ah,Sunan
Derajat,Sunan Sedayu,Siti Muthmainnah dan Siti Hafsah. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi
Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera: Dewi Murtasiyah,Asyiqah,Raden Husamuddin (Sunan
Lamongan,Raden Zainal Abidin (Sunan Demak),Pangeran Tumapel dan Raden Faqih (Sunan Ampel 2.
Makam Sunan Ampel teletak di dekat Masjid Ampel, Surabaya).
Kedatangan Sunan Ampel ke Majapahit diperkirakan terjadi awal dasawarsa keempat abad ke-15, yakni
saat Arya Damar sudah menjadi Adipati Palembang sebagaimana riwayat yang menyatakan bahwa
sebelum ke Jawa, Raden Rahmat telah singgah ke Palembang. Menurut Thomas W. Arnold dalam The
Preaching of Islam (1977), Raden Rahmat sewaktu di Palembang menjadi tamu Arya Damar selama dua
bulan, dan dia berusaha memperkenalkan Islam kepada raja muda Palembang itu. Arya Damar yang
sudah tertarik kepada Islam itu hampir saja diikrarkan menjadi Islam. Namun, karena tidak berani
menanggung risiko menghadapi tindakan rakyatnya yang masih terikat pada kepercayaan lama, ia tidak
mengatakan keislamannya di hadapan umum. Menurut cerita setempat, setelah memeluk Islam, Arya
Damar memakai nama Ario Abdillah.
Keterangan dari Hikayat Hasanuddin yang dikupas oleh J. Edel (1938) menjelaskan bahwa pada waktu
Kerajaan Champa ditaklukkan oleh Raja Koci, Raden Rahmat sudah bermukim di Jawa. Itu berarti Raden
Rahmat ketika datang ke Jawa sebelum tahun 1446 M, yakni pada tahun jatuhnya Champa akibat serbuan
Vietnam. Hal itu sejalan dengan sumber dari Serat Walisana yang menyatakan bahwa Prabu Brawijaya,
Raja Majapahit mencegah Raden Rahmat kembali ke Champa karena Champa sudah rusak akibat kalah
perang dengan Kerajaan Koci. Penempatan Raden Rahmat di Surabaya dan saudaranya di Gresik,
tampaknya memiliki kaitan erat dengan suasana politik di Champa, sehingga dua bersaudara tersebut
ditempatkan di Surabaya dan Gresik, kemudian dinikahkan dengan perempuan setempat.
 Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)
Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Ia
adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan
Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama Islam.
Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan
orang. Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah dengan memasukkan rebab dan bonang, yang sering
dihubungkan dengan namanya. Universitas Leiden menyimpan sebuah karya sastra bahasa Jawa
bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan
Bonang namun mungkin saja mengandung ajarannya. Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525.
Ia dimakamkan di daerah Tuban, Jawa Timur.

 Sunan Drajat
Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Nama
asli dari sunan drajat adalah masih munat. masih munat nantinya terkenal dengan nama sunan drajat.
Nama sewaktu masih kecil adalah Raden Qasim. Sunan drajat terkenal juga dengan kegiatan sosialnya.
Dialah wali yang memelopori penyatuan anak-anak yatim dan orang sakit. Ia adalah putra Sunan Ampel
dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Drajat banyak berdakwah
kepada masyarakat kebanyakan. Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan
kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan
secara mandiri sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan.
Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya
terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat pada 1522.

 Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi
Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan
Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali
Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah
bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’
Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad
bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain binti
Sayyidah Fathimah Az-Zahra bin Nabi Muhammad Rasulullah. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus
memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang,
penasihat Sultan Demak, Mursyid Thariqah dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di
kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Di antara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan
Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya yang
terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan
Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.

 Sunan Giri
Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad,
merupakan murid dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan Bonang. Ia mendirikan
pemerintahan mandiri di Giri Kedaton, Gresik; yang selanjutnya berperan sebagai pusat dakwah Islam di
wilayah Jawa dan Indonesia timur, bahkan sampai ke kepulauan Maluku. Salah satu keturunannya yang
terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkan agama Islam ke wilayah Lombok dan Bima. Makam
Sunan Giri terletak di Desa Giri, Kabupaten Gresik.

 Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur atau
Sayyid Ahmad bin Mansur (Syekh Subakir). Ia adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga
menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang
kulit dan tembang suluk. Tembang suluk lir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai
hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh
binti Maulana Ishaq, menikahi juga Syarifah Zainab binti Syekh Siti Jenar dan Ratu Kano Kediri binti
Raja Kediri.

 Sunan Muria (Raden Umar Said)


Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia adalah putra dari Sunan Kalijaga dari
isterinya yang bernama Dewi Sarah binti Maulana Ishaq. Sunan Muria menikah dengan Dewi Sujinah,
putri Sunan Ngudung. Jadi Sunan Muria adalah adik ipar dari Sunan Kudus.

 Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)


Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah Umdatuddin putra Ali Nurul
Alam Syekh Husain Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran melalui
Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga Maharaja. Sunan Gunung Jati
mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian
menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil
mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten.

Sumber Jawaban : https://id.wikipedia.org/wiki/Wali_Songo

2. Profil Ormas
Jawaban :
 Lembaga Dakwah Islam Indonesia
Lembaga Dakwah Islam Indonesia (disingkat LDII) adalah organisasi sosial independen untuk studi
dan penelitian tentang Quran dan Hadis. Sesuai dengan visi, misi, tugas pokok dan fungsinya, LDII
mempunyai tujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara serta turut serta dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang dilandasi oleh
keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa guna terwujudnya masyarakat madani yang
demokratis dan berkeadilan sosial berdasarkan Pancasila yang diridai Allah SWT.
Sejarah
Lembaga Dakwah Islam Indonesia berdiri pada 1 Juli 1972 di Kota Kediri, Jawa Timur dengan
nama Yayasan Lembaga Karyawan Islam (YAKARI) sesuai Akta Notaris Mudijomo tanggal 27
Juli 1972 tentang Pembetulan Akta Tanggal 3 DJanuari 1972 berisi Pembentulan Tanggal
Pendirian LEMKARI. Lembaga ini didirikan oleh:Drs. Nur Hasyim
1. Drs. Edi Masyadi
2. Drs. Bahroni Hertanto
3. Soetojo Wirjo Atmodjo BA.
4. Wijono BA.
Pada Musyawarah Besar (Mubes) YAKARI 1981 namanya diganti menjadi Lembaga Karyawan
Islam (LEMKARI). Pada Musyawarah Besar IV LEMKARI 1990, atas arahan dari Wapres
RI Sudarmono, SH. dan Jenderal Rudini, nama organisasi diubah dari yang awalnya Lembaga
Karyawan Dakwah Islam (disingkat LEMKARI) menjadi Lembaga Dakwah Islam Indonesia
(disingkat LDII). Pengubahan nama terjadi karena Rudini merasa LEMKARI menyamai singkatan
dari Lembaga Karate-Do Indonesia.

LDII menyelenggarakan pengajian Quran dan Hadis dengan intensitas kegiatan yang cukup tinggi. Setiap
daerah memiliki perbedaan mengenai frekuensi aktivitas. Walau begitu, pada umumnya di tingkat PAC
(Desa/Kelurahan) umumnya pengajian diadakan 2-3 kali seminggu, sedangkan di tingkat PC (Kecamatan)
diadakan pengajian seminggu sekali.Untuk memahamkan syariah Islam, LDII mempunyai program
pembinaan cabe rawit (usia prasekolah sampai SD) yang terkoordinasi di seluruh masjid LDII. Selain
pengajian umum, juga ada pengajian khusus remaja dan pemuda, pengajian khusus Ibu-ibu, dan bahkan
pengajian khusus Manula/Lanjut usia. Ada juga pengajian usia mandiri. Di samping itu ada pula
pengajian yang sifatnya tertutup, juga pengajian terbuka. Pada musim liburan sering diadakan
Kegiatan Pengkhataman Quran dan Hadis selama beberapa hari yang diikuti oleh anak-anak warga LDII
maupun masyarakat umum untuk mengisi waktu liburan mereka. Dalam pengajian ini pula diberi
pemahaman kepada peserta didik tentang bagaimana pentingnya dan pahalanya orang yang mau belajar
dan mengamalkan Quran dan Hadis dalam keseharian mereka.
LDII mengadakan berbagai forum tipe pengajian berdasarkan kelompok usia dan gender antara lain:
1. Pengajian Majelis Taklim tingkat PAC
Pengajian ini diadakan rutin 2 – 3 kali dalam seminggu di masjid-masjid, musala-musala, atau surau-
surau yang bernaung di bawah organisasi. Setiap kelompok PAC biasanya terdiri 50 sampai 100 orang
jemaat. Materi pengajian di tingkat Majelis Taklim ini yaitu Quran (bacaan, terjemahan dan
keterangan), Hadis-Hadis himpunan dan nasihat agama. Dalam forum ini pula jemaat LDII diajari
hafalan-hafalan doa, dalil-dalil Quran Hadis dan hafalan surat–surat pendek Quran. Dalam forum
pengajian kelompok tingkat PAC ini jemaat juga dikoreksi amalan ibadahnya seperti
praktik berwudu dan salat agar sesuai dengan hasil mengaji.
2. Pengajian Cabe Rawit (pengajian TPA)
Pengajian Cabe Rawit diadakan setiap hari di tingkat PAC dengan materi antara lain bacaan iqro’ atau
Tilawati dan Al Quran, menulis pegon, hafalan doa-doa dan surat-surat pendek Al Quran, serta
pendidikan akhlakul karimah. Pada akhir semester, anak-anak akan dievaluasi perkembangannya
selama mengikuti pengajian Cabe Rawit. Evaluasi tersebut dapat berupa ujian tertulis dan praktik atau
dalam bentuk penyelenggaraan Festival Anak Sholeh (FAS) setiap setahun sekali.
3. Pengajian Muda-Mudi (Remaja)
Muda-mudi atau usia remaja perlu mendapat perhatian khusus dalam pembinaan mental agama. Pada
usia ini pola pikir anak mulai berkembang dan pengaruh negatif pergaulan dan lingkungan semakin
kuat. Karena itu pada masa ini perlu menjaga dan membentengi para remaja dengan kepahaman agama
yang memadai agar generasi muda LDII tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat, dosa-dosa dan
pelanggaran agama yang dapat merugikan masa depan mereka. Sebagai bentuk kesungguhan dalam
membina generasi muda, LDII telah membentuk Tim Penggerak Pembina Generus (TPPG) yang
terdiri dari pakar pendidikan dan ahli psikologi. Pembinaan generasi muda dalam LDII setidaknya
memiliki 3 sasaran yaitu:
 Menjadikan generasi muda yang sholeh, alim (banyak ilmunya) dan fakih dalam beribadah
 Menjadikan generasi muda yang berakhlakul karimah (berbudi pekerti luhur), berwatak jujur,
amanah, sopan dan hormat kepada orang tua dan orang lain
 Menjadikan generasi muda yang tertib, disiplin, terampil dalam bekerja dan bisa hidup mandiri.
4. Pengajian Wanita/Ibu-Ibu
Pengajian ini banyak membahas persoalan khusus dalam agama Islam yang menyangkut peran wanita
dan para ibu, seperti haid, kehamilan, nifas, bersuci (menjaga najis), mendidik dan membina anak,
melayani dan mengelola keluarga. Disamping memberikan keterampilan beribadah forum pengajian
Wanita/ibu-ibu ini juga memberikan pengetahuan dan ketrampilan praktis tentang keputrian yang
berguna untuk bekal hidup sehari-hari dan menunjang penghasilan keluarga.
5. Pengajian Lansia
Para lansia perlu mendapatkan perhatian khusus mengingat pada usia senja diharapkan umat muslim
lebih mendekatkan diri kepada Allah sebagai persiapan menghadap kepada Ilahi dalam
keadaan husnul khotimah.
6. Pengajian Umum
Pengajian umum merupakan forum gabungan antara beberapa jemaat PAC dan PC LDII. Pengajian ini
juga merupakan wadah silaturahim antar jemaat LDII untuk membina kerukunan dan kekompakan
antar jemaat. Semua pengajian LDII bersifat terbuka untuk umum, siapapun boleh datang mengikuti
setiap pengajian sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.

 Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Nama organisasi ini
diambil dari nama Nabi Muhammad SAW, sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai
orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW.
Tujuan utama Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam
proses dakwah. Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan
kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.
Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat
yang lebih maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat
pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam
segala aspeknya.
Dalam pembentukannya, Muhammadiyah banyak merefleksikan kepada perintah-
perintah Alquran, di antaranya surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi: Dan hendaklah ada di
antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf
dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. Ayat tersebut,
menurut para tokoh Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam
menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung
penegasan tentang hidup berorganisasi. Maka dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar
Muhammadiyah dinyatakan, melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban
organisasi, yang mengandung makna pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya.
Sebagai dampak positif dari organisasi ini, kini telah banyak berdiri rumah sakit, panti asuhan,
dan tempat pendidikan di seluruh Indonesia.

Sejarah
Organisasi Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung
Kauman Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330 H).
Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk
memurnikan ajaran Islam yang menurut anggapannya, banyak dipengaruhi hal-hal mistik.
Kegiatan ini pada awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa
pengajian Sidratul Muntaha. Selain itu peran dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian
sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hogere School Moehammadijah dan
selanjutnya berganti nama menjadi Kweek School Moehammadijah (sekarang dikenal
dengan Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta khusus laki-laki, yang bertempat di
Jalan S Parman no 68 Patangpuluhan kecamatan Wirobrajan dan Madrasah Mu'allimat
Muhammadiyah Yogyakarta khusus Perempuan, di Suronatan Yogyakarta yang keduanya
skarang menjadi Sekolah Kader Muhammadiyah) yang bertempat di Yogyakarta dan dibawahi
langsung oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Dalam catatan Adaby Darban, ahli sejarah dari UGM kelahiran Kauman, nama
”Muhammadiyah” pada mulanya diusulkan oleh kerabat dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad
Dahlan yang bernama Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh
pembaruan yang kemudian menjadi penghulu Kraton Yogyakarta, yang kemudian diputuskan
Kyai Dahlan setelah melalui salat istikharah (Darban, 2000: 34).Pada masa kepemimpinan Kyai
Dahlan (1912-1923), pengaruh Muhammadiyah terbatas di karesidenan-karesidenan
seperti: Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan, sekitar daerah Pekalongan sekarang.
Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut pada tahun 1922.
Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke Sumatra Barat dengan
membuka cabang di Sungai Batang, Agam. Dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang
Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatra Barat, dan dari daerah inilah kemudian
Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan. Pada tahun 1938,
Muhammadiyah telah tersebar ke seluruh Indonesia.

 Nahdlatul Ulama
Nahdlatul 'Ulama (Kebangkitan 'Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU,
adalah sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31
Januari 1926 dan bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Kehadiran NU
merupakan salah satu upaya melembagakan wawasan tradisi keagamaan yang dianut jauh
sebelumnya, yakni paham Ahlussunnah wal Jamaah. Selain itu, NU sebagaimana organisasi-
organisasi pribumi lain baik yang bersifat sosial, budaya atau keagamaan yang lahir di masa
penjajah, pada dasarnya merupakan perlawanan terhadap penjajah. Hal ini didasarkan, berdirinya
NU dipengaruhi kondisi politik dalam dan luar negeri, sekaligus merupakan kebangkitan
kesadaran politik yang ditampakkan dalam wujud gerakan organisasi dalam menjawab
kepentingan nasional dan dunia Islam umumnya.

Sejarah
Akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum
terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi.
Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat
kebangkitan terus menyebar - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan
ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi
pendidikan dan pembebasan.
Merespon kebangkitan nasional tersebut, Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) dibentuk
pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan
"Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan
keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum
saudagar).
Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul
Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga
pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Berangkat dari munculnya berbagai macam komite dan organisasi yang bersifat embrional dan ad
hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih
sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan
berbagai kyai, karena tidak terakomodir kyai dari kalangan tradisional untuk mengikuti
konferensi Islam Dunia yang ada di Indonesia dan Timur Tengah akhirnya muncul kesepakatan
dari para ulama pesantren untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama
(Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) di Kota Surabaya. Organisasi ini
dipimpin oleh K.H. Hasjim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
Ada banyak faktor yang melatar belakangi berdirinya NU. Di antara faktor itu adalah
perkembangan dan pembaharuan pemikiran Islam yang menghendaki pelarangan segala bentuk
amaliah kaum Sunni. Sebuah pemikiran agar umat Islam kembali pada ajaran Islam "murni",
yaitu dengan cara umat islam melepaskan diri dari sistem bermadzhab. Bagi para kiai pesantren,
pembaruan pemikiran keagamaan sejatinya tetap merupakan suatu keniscayaan, namun tetap
tidak dengan meninggalkan tradisi keilmuan para ulama terdahulu yang masih relevan. Untuk itu,
Jam'iyah Nahdlatul Ulama cukup mendesak untuk segera didirikan.
Untuk menegaskan prinsip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasjim Asy'ari merumuskan kitab
Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah.
Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar
dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

 Persatuan Indonesia
Persatuan Islam (disingkat Persis atau PERSIS) adalah sebuah organisasi Islam di Indonesia.
Persis didirikan pada 12 September 1923 di Bandung oleh sekelompok Islam yang berminat
dalam pendidikan dan aktivitas keagamaan yang dipimpin oleh Haji Zamzam dan Haji
Muhammad Yunus.
Persis didirikan dengan tujuan untuk memberikan pemahaman Islam yang sesuai dengan aslinya
yang dibawa oleh Rasulullah Saw dan memberikan pandangan berbeda dari pemahaman Islam
tradisional yang dianggap sudah tidak orisinil karena bercampur dengan budaya lokal, sikap
taklid buta, sikap tidak kritis, dan tidak mau menggali Islam lebih dalam dengan membuka Kitab-
kitab Hadits yang shahih. Oleh karena itu, lewat para ulamanya seperti Ahmad Hassan yang juga
dikenal dengan Hassan Bandung atau Hassan Bangil, Persis mengenalkan Islam yang hanya
bersumber dari Al-Quran dan Hadits.
Organisasi Persatuan Islam telah tersebar di banyak provinsi antara lain Jawa Barat, DKI Jakarta,
Riau, dan Gorontalo. Jam'iyyah Persis berasaskan Islam Jam'iyyah Persis bertujuan terlaksananya
syari'at Islam berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah secara kaffah dalam segala aspek kehidupan.
 Persatuan Tarbiyah Islamiyah
Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) adalah nama sebuah organisasi massa Islam nasional
yang berbasis di Sumatra Barat. Organisasi ini didirikan pada 20 Mei 1930 di Sumatra Barat, dan
berakar dari para ulama Ahlussunnah wal jamaah. Kemudian organisasi ini meluas ke daerah-
daerah lain di Sumatra, dan juga mencapai Kalimantan dan Sulawesi.
Perti ikut berjuang di kancah politik dengan bergabung ke dalam GAPI dalam aksi Indonesia
Berparlemen, serta turut memberikan konsepsi kenegaraan kepada Komisi Visman pada tahun
1939. Memasuki tahun 1944, para pemimpin Perti melakukan gebrakan dengan bergabung ke
Majelis Islam Tinggi (MIT) di Bukittinggi, suatu organisasi Islam untuk seluruh Sumatra yang
diketuai oleh Syekh Muhammad Djamil Djambek, seorang ulama modernis yang pada masa lalu
sempat bersitegang dengan ulama tua Perti.
MIT merupakan tempat untuk merujuk persoalan-persoalan agama, tetapi selama Perang Pasifik,
organisasi ini kurang dapat berfungsi dengan baik. Pada bulan Desember 1945, MIT
bertransformasi menjadi Masyumi cabang Sumatra sehubungan dengan edaran pemerintah
sebelumnya agar rakyat mendirikan partai politik sebagai cermin pelaksanaan demokrasi.
Pada periode yang sama pula Perti memutuskan untuk menjadikan organisasi mereka suatu partai
politik tersendiri. Keputusan tersebut diambil pada tanggal 22 November 1945, dan diperkuat
oleh kongres di Bukittinggi tanggal 22-24 Desember 1945.
Dalam Pemilihan Umum 1955 Perti mendapatkan empat kursi DPR-RI dan tujuh
kursi Konstituante. Setelah Konstituante dan DPR hasil Pemilu dibubarkan oleh
Presiden Soekarno, Perti mendapatkan dua kursi di DPR-GR. Dua tokoh kunci Perti juga pernah
dipercaya menjabat menteri negara pada masa pemerintahan Soekarno. Kedua ulama tersebut
adalah Sirajuddin Abbas sebagai Menteri Keselamatan Negara RI dan Rusli Abdul Wahid sebagai
Menteri Negara Urusan Umum dan Irian Barat.Pada masa Orde Baru Perti bergabung
dengan Partai Persatuan Pembangunan.

 Darul Da’wah Wal Irsyad


Salah satu Madrasah (Lembaga Pendidikan) tertua dan dikenal masyarakat di Sulawesi Selatan
adalah Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Sengkang Wajo yang didirikan pada bulan
Zulkaeddah 1348 H atau bertepatan bulan Mei 1930 M oleh Anregurutta K.H.M. As’ad yang baru
saja kembali dari Mekah pada tahun 1928 setelah menyelesaikan masa belajarnya pada Madrasah
Al Falah Mekah.

Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Sengkang Wajo mula berdirinya hanya merupakan
pengajian pesantren yang pelaksanaannya mengambil tempat di rumah kediaman beliau. Setelah
santrinya bertambah banyak tempat pelaksanaan pengajiannya dipindahkan ke Mesjid Jami
Sengkang. Dan dalam perkembangan lebih lanjut didirikan pula dalam bentuk pendidikan formal
yakni sistem Madrasah yang pengaturannya dipercayakan kepada K.H. Abd. Rahman Ambo
Dalle.

Madrasah Arabiyah Islamiyah Sengkang tidak berkembang secara meluas sebab oleh pendirinya
tidak dibenarkan membuka cabang di daerah-daerah. Hal disebabkan oleh kehawatiran beliau
terahadap ketidak mampuan mengkordinirnya sehingga dapat memberikan citra yang kurang baik
terhadap MAI Sengkang termasuk dalam hal ini menjaga mutunya. Namuan demikian berkat
pembinaan yang dilakukan oleh K.H. M.As’ad baik, maka dari MAI Sengkang inilah lahir ulama-
ulama penting di Sulawesi Selatan, misalnya K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle, K.H.M. Daud
Ismail, K.H. Muh. Abduh Pabbajah, K.H.M.Yunus Maratan dan lain-lainnya.

Atas inisiatif K.H. Daud Ismail (Kadi Soppeng), K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle (MAI
Mangkoso), Syekh H. Abd. Rahman Firdaus dari Parepare bersama ulama lainnya di adakanlah
Musyawarah Alim Ulama Ahlussunnah Wal-Jamaah se-Sulawesi Selatan yang dipadukan
waktunya dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., bertempat di Watan Soppeng pada
16 Rabiul Awal 1366 H. bertepatan dengan 17 Februari 1947 guna menghindari kecurigaan
Westerling karena Soppeng termasuk afdeling Bone yang bebas dari operasi pembantaian
Westerling karena pengaruhAruppalakka.
Salah satu keputusan penting dari musyawarah tersebut adalah perlunya didirikan suatu
organisasi Islam yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah dan sosial kemaslahatan umat
untuk membina pribadi-pribadi muslim yang kelak bertanggung jawab atas terselenggaranya
ajaran Islam secara murni di kalangan umat Islam dan menjamin kelestarian jiwa patriotik rakyat
Sulawesi Selatan yang pada waktu itu sedang mempertaruhkan jiwa raganya guna mengusir
kaum penjajah Belanda dan mempertahankan kemerdekaan proklamasi 17 Agustus 1945.

Nama dari organisasi yang akan dibentuk itu telah diperdebatkan dalam musyawarah dengan
munculnya tiga nama, yakni Al-Urwatul Wutsqa dari K.H. M. Tahir Usman, Nasrul Haq oleh
K.H. M. Abduh Pabbajah dan Darud Da’wah Wal-Irsyad oleh Syekh K.H. Abd. Rahman Firdaus
dengan pengertian Darud artinya rumah/tempat, Da’wah ajakan memasuki rumah tersebut,
dan Al-Irsyadartinya petunjuk itu akan didapat melalui proses berdakwah di suatu daerah tertentu.
Dengan melalui proses yang demokratis dalam musyawarah alim ulama Aswaja se-Sulawesi
Selatan ini, maka Darud Da’wah Wal-Irsyad yang disingkat DDI mendapat kesepakatan forum
musyawarah, yang kemudian merupakan pula wujud peralihan dan pengintegrasian Madrasah
Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso yang lahir pada tanggal 11 Januari 1938 M. atau 20
Dzulqaidah 1357 H., berdasarkan hasil musyawarah utusan Cabang dan guru-guru MAI dari
daerah-daerah pada bulan Sya’ban 1366 H. (1947 M.) yakni sekitar lima bulan setelah
berlangsungnya Musyawarah Alim Ulama Aswaja se-Sulsel.

Dengan pengintegrasian ini harus diartikan pula sebagai suatu proses dalam peningkatan bentuk
struktural dan operasional MAI Mangkoso dari wadah yang bersifat organisasi sekolah semata
menjadi organisasi kemasyarakatan Islam yang memiliki struktur vertikal dan horisontal yang
lapangan geraknya di samping pendidikan, maka menjadi garapannya pula yang terkait dengan
bidang dakwah dan usaha-usaha yang bersifat kemaslahatan umat.

Dalam bidang kelembagaan organisasi sesuai dengan Peraturan Dasar (AD/ART) DDI yang
pertama pada pasal dua, dinyatakan bahwa: “Badan ini tidak mencampuri soal-soal politik”. Hal
ini menunjukkan bahwa sikap dan posisi kelembagaan DDI adalah independen dalam arti tidak
mengurusi politik praktis, bukan underbauw dari suatu organisasi politik manapun, sehingga
waktu Masyumi didirikan pada tahun 1948 dengan tujuan utamanya untuk menghimpun kekuatan
politik umat Islam. Pada waktu itu DDI tidak melibatkan diri secara organisasi walaupun
dikalangan Pimpinan Pusat Masyumi beberapa kali mengajak bergabung didalamnya.
Ketentuan pasal dua ini dalam Muktamar III DDI tahun 1950 di Makassar dihilangkan, namun
secara moral dikalangan pendiri dan warga DDI nilai kerohaniaan itu tetap dipertahankan dengan
pembatasan diarahkan kepada Ketua Umum sebagai desition maker organisasi dan ini pun
dihapuskan pula dalam Muktamar DDI Ke-15 pada tahun 1989 karena berbagai faktor yang
bersifat darurat sehingga KH.Abd. Rahman Ambo Dalle masuk pada kekuatan politik Golkar.
Dan ketika Ketua Umum Pengurus Besar DDI (H. Abd. Muiz Kabry) diajak kalangan PKB (KH.
Abd.Rahman Wahid atau Gusdur) untuk duduk pada salah satu ketua DPP PKB pada 2000/2001
maupun ke-ketua-an di wilayah PKB Sulsel belum menerimanya demi menjaga keutuhan dan
kematangan warga DDI dalam menerima realitas politik dan keadaannya belum pada tingkat
darurat, walau larangan formal secara institusi DDI tidak ada lagi.
Darud Da’wah Wal-Irsyad (DDI) dalam pertumbuhannya berbeda dengan kelaziman organisasi
yang ada secara umum, sebab DDI benar-benar tumbuh dari akar rumput masyarakat yang ada
dipedesaan, sehingga pedesaan adalah basis terkuat bagi DDI, dan dari desa inilah tumbuh
berkembang ke kota-kota. Hal ini dapat dilihat di seluruh pelosok pedesaan Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur, Jambi, Riau dan daerah-daerah lainnya.
Hal ini disebabkan karena dari awal keberadaannya di suatu daerah pada dekade 1947 dan MAI
sebelum itu (1938) yang menjadi mediator pengembangan terfokus pada pengembangan dakwah,
kemudian follow up-nya mendirikan madrasah yang berlangsung sampai 1998 melalui Muktamar
DDI ke-17 di Makassar dengan secara komprehensip digandengkan dengan pola umum yang
berlaku yakni pendirian DDI dilakukan pula sesuai struktur sistem pemerintahan dengan tidak
wajib setelah ada madrasah/sekolah.

Sumber Jawaban :
 https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_organisasi_massa_Islam_di_Indonesia
 http://ddi.or.id/sejarah-ddi/

Anda mungkin juga menyukai