Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fiqh adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus
membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia,
baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan
Tuhannya. Beberapa ulama fikih seperti Imam Abu Hanifah mendefinisikan fikih
sebagai pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan haknya sebagai
hamba Allah. Fikih membahas tentang cara bagaimana cara tentang beribadah,
tentang prinsip Rukun Islam dan hubungan antar manusia sesuai dengan dalil-dalil
yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah.
Sementara ushul Fiqh adalah suatu ilmu yang mengungkap tentang
berbagai metode yang dipergunakan oleh para mujtahid dalam menggali dan
menapak suatu hukum syari’at dari sumbernya yang telah dinashkan dalam al-
Qur’an dan al-Sunnah. Atas dasar nash syar’i para ulama mujtahid mengambil
‘illat (ketetapan) yang menjadi dasar penetapan “Hukum” dalam mencapai
kemaslahatan yang menjadi tujuan utama adanya syari’at ini. Ushul Fiqh sebagai
suatu ilmu dapat dipandang terdiri atas sekumpulan metodologi atau kaidah yang
menjelaskan bagaimana para ulama mujtahid mengambil hukum dari dalil-dalil
yang tertulis dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
Sebagaimana yang telah dikatan oleh imam Ghozali, bahwa mengetahui
hukum syara’ merupakan buah inti dari ilmu fiqh dan ushul fiqh. Sasaran kedua
disiplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara’ yang berhubungan dengan
perbuatan-perbuatan orang mukallaf.
Makalah ini akan membahas mengenai fiqh dan ushul fiqh serta hal-hal
yang berkaitan dengan keduanya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan masalah dari makalah ini meliputi:
a. Apa pengertian ushul fiqih dan fiqh?
b. Apa kaidah fiqh dan ushul fiqih?

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................i

DAFTAR ISI ..............................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN .....................................................................1

A. Latar Belakang ..................................................................1


B. Rumusan Masalah .............................................................2

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................2

A. Pengertian Fikih ...............................................................2


B. Pengertian Ushul Fikih ......................................................3
C. Kaidah Fikih ......................................................................5
D. Kaidah Ushul Fikih ...........................................................10

BAB III PENUTUP ..............................................................................12

A. Kesimpulan .......................................................................12
B. Saran ..................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................13

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Fikih
Ilmu Fiqh secara umum merupakan suatu kumpulan ilmu yang sangat besar
gelanggang pembahasannya, yang mengumpulkan berbagai jenis Hukum Islam
dan bermacam rupa aturan hidup, untuk keperluan seseorang, segolongan dan
semasyarakat dan seumum manusia. Fiqh menurut bahasa berarti: paham atau
pengertian yang mendalam, tentang maksud dan tujuan suatu perkataan dan
perbuatan, bukan hanya sekedar mengetahui lahiriyah perkataan atau perbuatan
itu. Pengertian Fiqh menurut istilah Ulama Syar’i (ahli hukum Islam), tidak jauh
berbeda dari pengertian lughowi (bahasa). Hanya saja pengertian istilah ini, lebih
terarah kepada pengertian khusus, dari pada umum, sehingga tidak terjadi iltibas
(tumpang tindih). Jelas bahwa yang dimaksud dengan ilmu fiqih adalah
pengetahuan yang mendalam tentang semua yang menyangkut hukum ajaran
agama, baik yang menyangkut keimanan yang menyangkut perbuatan.
Untuk lebih jelasnya tentang definisi fiqih secara terminologi dapat
dikemukakan pendapat para ahli fiqih terdahulu, yaitu :
‫َاْلِع ْلُم ِباَأْلْح َك اِم الَّش ْر ِع َّيِة اْلَع َم ِلَّيِة اْلُم ْك َتَسَبِة ِم ْن َأِد َّلِتَها الَّتْفِص ْيِلَّيِة‬.
Artinya :
“Ilmu tentang hukum syara’ tentang perbuatan manusia (amaliah) yang
diperoleh melalui dalil-dalilnya yang terperinci.”
Sementara itu, ulama lain mengemukakan bahwa fiqih adalah :
‫َم ْج ُم ْو َع ُة اَأْلْح َك اِم الَّش ْر ِع َّيِة اْلَع َم ِلَيِة اْلُم ْك َتَسَبِة ِم ْن َأِد َّلِتَها الَّتْفِص ْيِلَّيِة‬.
Artinya :
“Himpunan hukum syara’ tentang perbuatan manusia (amaliah) yang diambil
dari dali-dalilnya yang terperinci.”
Definisi pertama menunjukkan bahwa fiqih dipandang sebagai ilmu yang
berusaha menjelaskan hukum. Sedangkan definisi kedua menunjukkan fiqih
dipandang sebagai hukum. Hal ini terjadi karena adanya kemiripan antara fiqih

3
sebagai ilmu dan fiqih sebagai hukum. Ketika fiqih didefinisikan sebagai ilmu,
diungkapkan secara deskriptif. Manakala didefinisikan sebagai hukum dinyatakan
secara deskriptif.

B. Pengertian Ushul Fiqih


Untuk mengetahui makna dari kata Ushul Fiqih dapat dilihat dari dua aspek:
Ushul Fiqih kata majemuk (murakkab), dan Ushul Fiqih sebagai istilah ilmiah.
Dari aspek pertama, Ushul Fiqih berasal dari dua kata, yaitu kata ushul
bentuk jamak dari ashl dan kata fiqih, yang masing-masing memiliki pengertian
yang luas. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang
bersifat materi ataupun bukan”.

Adapun menurut istilah, ashl mempunyai beberapa arti berikut ini :


a. Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama ushul fiqih
bahwa ashl dari wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan
Sunnah Rasul.
b. Qa’idah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad
SAW:
‫ُبِنَي اِاْل ْس َالُم َع َلى َخ ْمَسِة ُأُصْو ٍل‬ .
Artinya :
“Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi)”.
c. Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih:
‫َاَأْلْص ُل ِفى اْلَكَالِم اْلَح ِقْيَقُة‬.
Artinya :
“Yang terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”.
Maksudnya yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna
hakikat dari perkataan tersebut.
d. Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula
selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang
hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan
perkawinannya? Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum

4
ada berita tentang kematiannya. Ia tetap terpelihara haknya seperti tetap
mendapatkan waris, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.
e. Far’u (cabang), seperti perkataan ulama ushul :
‫َاْلَو َلُد َفْر ٌع ِلَأْلِب‬.
Artinya :
“Anak adalah cabang dari ayah”. (Al-Ghazali, I : 5)
Pendapat ini dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Al-Khudhary Beik,
seorang guru besar Universitas Al-Azhar Kairo. Adapun Kamaluddin
Ibnu Humam dari kalangan ulama Hanafiyah mendefinisikan Ushul Fiqih
sebagai:
‫ِاْد َر اُك اْلَقَو اِع ِد اَّلِتْى َيَتَو َّصُل ِبَها ِاَلى اْس ِتْنَباِط اْلِفْقِه‬.
Artinya :
“Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang dapat mencapai kemampuan
dalam penggalian fiqih.”
Sementara itu, Abdul Wahab Khalaf, seorang guru besar hukum di
Universitas Kairo Mesir menyatakan :
‫ َأْو‬.‫َاْلِع ْلُم ِباْلَقَو اِع ِد َو اْلُبُح ْو ِث اَّلِتْى َيَتَو َّص ُل ِبَه ا ِاَلى اْس ِتَفاَد ِة اَأْلْح َك اِم الَّش ْر ِع َّيِة اْلَع َم ِلَّي ِة ِم ْن َأِد َّلِتَه ا الَّتْفِص ْيِلَّيِة‬
‫َم ْج ُم ْو َع ُة اْلَقَو اِع ِد َو اْلُبُحْو ِث اَّلِتْى َيَتَو َّصُل ِبَها ِاَلى اْس ِتَفاَد ِة اَأْلْح َك اِم الَّش ْر ِع َّيِة اْلَع َم ِلَّيِة ِم ْن َأِد َّلِتَها الَّتْفِص ْيِلَّيِة‬.
Artinya :
“Ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan metode penggalian hukum-hukum
syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci
atau kumpulan kaidah-kaidah dan metode penelitian hukum syara’ mengenai
perbuatan manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci.”
Dari pengertian Ushul Fiqih di atas, terdapat penekanan yang berbeda.
Menurut ulama Syafi’iyah, objek kajian para ulama ushul adalah dalil-dalil yang
bersifat ijmali (global); bagaimana cara mengistinbath hukum; syarat orang yang
menggali hukum atau syarat-syarat seorang mujtahid. Hal itu berbeda dengan
definisi yang dikemukakan oleh jumhur ulama. Mereka menekankan pada
operasional atau fungsi Ushul Fiqih itu sendiri, yaitu bagaimana menggunakan
kaidah-kaidah Ushul Fiqih dalam menggali hukum syara’.

5
Dengan demikian Ushul Fiqih adalah ilmu pengetahuan yang objeknya
adalah dalil hukum atau sumber hukum dengan semua seluk beluknya, dan
metode penggaliannya. Metode tersebut harus ditempuh oleh ahli hukum Islam
dalam mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya. Seluk beluk tersebut antara lain
menertibkan dalil-dalil dan menilai kekuatan dalil-dalil tersebut.

C. Kaidah Fikih
Prof. Dr. T.M Hasbi As Shiddieqy dalam bukunya ‘Pengantar Hukum Islam’
menyatakan, “Tak dapat diragukan, bahwa seseorang yang hendak berijtihad
memerlukan kaidah-kaidah kulliyyah (umum) yang perlu dipedomani dalam
menetapkan hukum. Ulama-ulama Ushul berkata, “Apabila kaidah-kaidah kokoh
terhunjam di dalam dada, mudah dan lancarlah lidah-lidah menuturkan furu
(hukum fiqih).”

Para ulama terdahulu mengatakan, “Barang siapa yang memperhatikan


(memahami dan mengikuti) ilmu ushul fiqih, tentu ia akan sampai kepada maksud
(hukum-hukum fiqih), dan barang siapa yang memperhatikan kaidah fiqih, tentu
dia akan mencapai yang dimaksud (hukum-hukum fiqih).”

Ada banyak sekali kaidah fiqih yang dihasilkan oleh para ulama. Akan tetapi,
ada lima kaidah umum yang utama. Lima kaidah ini sering disebut sebagai al-
qawaid al-fiqhiyah al-kubra. <span;>Menurut sebagian ulama, bahwa seluruh
masalah fiqih dikembalikan kepada kaedah yang lima berikut ini:

1. Semua perbuatan tergantung niatnya.

Dalil kaidah ini adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

“Sesungguhnya amal itu tergantung niat, dan seseorang akan mendapatkan


sesuai niatnya.” (Hr. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)

6
Maksud kaedah ini adalah setiap perbuatan manusia, baik dalam hubungannya
dengan Allah maupun antara sesama makhluk ditentukan oleh niat dan tujuan
dilakukannya.

Dalam ibadah yang kaitannya dengan Allah Azza wa Jalla, niat adalah rukun,
sehingga menentukan sah-tidaknya suatu amal. Sedangkan dalam perbuatan yang
kaitannya dengan sesama makhluk, seperti muamalah, munakahah (pernikahan),
jinayat (tindak pidana), niat merupakan penentu; apakah perbuatan tersebut
mempunyai nilai ibadah atau sebaliknya, dan apakah sebagai perbuatan yang
membawa dosa atau tidak.

Niat juga merupakan pembeda antara ibadah yang satu dengan yang lain,
seperti ibadah yang fardhu dan yang sunah. Demikian juga merupakan pembeda
antara ibadah atau sekedar amal kebiasaan. Ini semua yang membedakannya
adalah niat. Dan niat itu tempatnya di hati; bukan di lisan.
2. Keyakinan tidak dapat disingkirkan oleh keraguan.
Dalil kaidah ini adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berikut,
“Apabila salah seorang di antara kamu ragu-ragu dalam shalatnya, ia tidak
ingat apakah sudah shalat tiga rakaat atau empat rakaat, maka singkirkanlah
keragu-raguan dan dasarilah sesuai yang diyakini.” (HR. Muslim)

Yakni sesuatu yang pasti, dengan dasar pemeriksaan atau dengan dasar dalil
(bukti). Sedangkan syak (ragu-ragu) artinya adalah keadaan yang tidak pasti,
berada di tengah-tengah antara betul atau tidak tanpa bisa dikalahkan salah
satunya.
Maksud kaidah kedua adalah bahwa sesuatu yang telah meyakinkan tidak dapat
digoyahkan oleh sesuatu yang masih meragukan, kecuali yang meragukan itu naik
menjadi yakin.

7
Contoh penerapan kaedah kedua adalah seorang yang telah berwudhu,
kemudian datang keraguan apakah ia telah berhadats, maka dalam hal ini
ditetapkan yang telah diyakini, yakni masih ada wudhu dan belum berhadats.

3. Kesulitan mendatangkan kemudahan.


Dalil kaedah ini adalah firman Allah Ta’ala berikut,

“Allah menginginkan kemudahan untukmu dan tidak mengingikan


kesulitan.” (Qs. Al Baqarah: 185)

Para ulama menerangkan, bahwa dari kaedah di atas keluar segala bentuk
rukhshah atau keringanan. Di antaranya:

Ketika safar, seseorang boleh mengqashar (mengurangi jumlah rakaat dari 4


menjadi 2), boleh berbuka, boleh mengusap khuff lebih dari sehari-semalam, dsb.

Ketika sakit, boleh shalat sambil duduk atau berbaring ketika tidak sanggup
berdiri, boleh tayammum ketika berbahaya menggunakan air, boleh berbuka
puasa, dsb.

Ketika lupa, bebas dari dosa karena lupa, seperti makan pada waktu puasa
Ramadhan, atau salam sebelum selesai shalat, kemudian berbicara dengan sengaja
karena mengira shalatnya telah selesai, maka dia tidak batal shalatnya.

Ketika terpaksa (darurat), seseorang boleh memakan makanan yang diharamkan


agar dirinya tidak binasa.

Ketika jahil (tidak tahu), seperti berbicara ketika shalat karena tidak tahu
hukumnya, maka shalatnya tidak batal.

8
Ketika sulit atau umumul balwa (keadaan yang sulit dihindari), seperti shalat
dengan terkena najis yang sulit dihindari, adanya kotoran burung yang tersebar di
masjid, dsb.

4. Bahaya harus disingkirkan


Dalil kaedah ini adalah hadits, “Tidak boleh membahayakan diri dan orang
lain”. (Hr. Ibnu Majah)

Contoh penerapan kaedah ini dalam masalah muamalah adalah,


diperbolehkan mengembalikan barang yang telah dibeli jika ternyata ada cacat.
Demikian pula dalam transaksi jual beli karena terdapat perbedaan sifat yang tidak
sesuai dengan yang telah disepakati, disyariatkannya hajr (pencegahan melakukan
transaksi pada harta) bagi orang yang safih (dungu/kurang akal), anak yatim yang
belum cerdas atau orang yang hilang akalnya. Dasar pertimbangan diberlakukan
ketentuan-ketentuan tersebut adalah untuk menghindarkan sejauh mungkin
madharat (bahaya) yang merugikan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.

Dalam masalah jinayat, Islam menetapkan qishas (membalas serupa). Juga


ditetapkan hukuman hudud agar tidak terulang lagi perbuatan berbahaya yang
dilakukan, adanya kaffarat, mengganti rugi kerusakan, mengangkat para penguasa
untuk menumpas para pengacau keamanan dan menindak para pelaku
kriminalitas, dsb.

Dalam masalah munakahat (pernikahan), Islam membolehkan perceraian


dalam situasi dan kondisi rumah tangga yang sudah tidak teratasi agar kedua
suami istri tidak mengalami penderitaan batin terus-menerus. Demikian pula
dizinkan faskh (pembatalan pernikahan) karena aib.

5. Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum.


Dalil kaedah ini adalah pernyataan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
anhu, “Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin (para sahabat), maka hal itu
baik pula di sisi Allah.”

9
Maksud kaidah ini adalah bahwa adat dapat menjadi rujukan hukum dalam
beberapa keadaan.

Maksud ‘adat’ menurut para Ahli Fiqih adalah,

Istilah untuk sesuatu yang berulang kali yang telah menetap dalam jiwa karena
sejalan dengan akal menurut tabiat yang masih sehat.

Berdasarkan definisi di atas, adat merupakan perkara yang berulang-ulang


dikerjakan oleh manusia, sehingga melekat pada jiwa, diterima dan dibenarkan
oleh akal dan tabiat yang masih sehat. Adat menjadi hujjah adalah ketika
bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syariat. Oleh karena itu, tidak termasuk
adat sama sekali hal-hal yang membawa kepada kerusakan, kemaksiatan, dan
tidak ada faedahnya sama sekali, seperti muamalah secara riba, berjudi,
menyabung ayam, dan sebagainya meskipun perbuatan-perbuatan itu menjadi
kebiasaan dan bahkan mungkin sudah tidak dirasakan lagi keburukannya.

Contoh penerapan kaedah di atas adalah tentang usia haidh dan baligh, batas
minimal darah haidh dan nifas, lamanya jeda yang bertentangan dengan muwalah
(berurutan) dalam wudhu, banyaknya gerakan menurut adat yang dianggap
membatalkan shalat, dsb.

Itulah lima landasan umum atau kaidah fiqih pokok yang ada dalam agama
Islam. Masing – masing kaidah ini bisa diterapkan sesuai dengan waktu dan
kondisi yang sesuai. Dengan memahami kaidah fiqh, akan ada banyak manfaat
yang bisa didapat. Salah satunya adalah menjadi lebih mudah untuk menentukan
hukum atau kebolehan suatu perkara.
Ada dua bentuk kaidah yang populer di kalangan masyarakat Islam, yaitu kaidah
ushul dan kaidah fiqh. Keduanya diajarkan di pesantren-pesantren maupun
sekolah-sekolah Islam yang mendalami hukum Islam. Keduanya memiliki fungsi
penting dalam memutuskan persoalan hukum. Karena keduanya sama-sama

10
berisikan kaidah, hal itu membuka pintu kerancuan di kalangsan sebagian
pengkaji ushul fiqh apakah kaidah fiqh sama dengan kaidah ushul.
Tidak diragukan lagi, ada beberapa aspek kaidah fiqh yang hampir mirip
kaidah ushul fiqh. Kaidah ‫( َاْلُح ْك ُم َيُد ْو ُر َم َع اْلِع َّلِة ُو ُج ْو ًدا َو َعَد ًم ا‬ada atau tiadanya hukum
berjalan bersama alasan hukumnya). Kaidah tersebut bisa menjadi kaidah ushul
atau kaidah fiqh, namun ciri-ciri kaidah ushulnya lebih jelas. Kaidah ‫ِاْع َم اُل الَّدِلْيِل‬
‫( َأْفَض ُل ِم ْن ِاْه َم اِلَه ا‬mempergunakan dalil lebih baik dari mengabaikannya) adalah
kaidah yang sering masuk pembahasan kaidah fiqh, tetapi secara prinsip dasar
mirip kaidah ushul.

D. Kaidah Ushul Fikih


Ada beberapa kriteria yang bisa dijadikan pegangan untuk membedakan
antara kaidah Fikih dan Ushul Fikih. Kaidah Ushul Fikih yaitu
1. Kaidah ushul Fikih digunakan untuk melakukan pengambilan hukum (istimbath)
dari sumber-sumber hukum. Sementara itu, kaidah fiqh digunakan untuk
melakukan pemecahan masalah hukum praktis yang muncul dalam penerapan
hasil istimbath deari dalil-dalil Alquran. Contohnya adalah bahwa menurut kaidah
ushul “larangan tanpa ada petunjuk yang melunakkannya berarti haram.”
Larangan daging babi dalam Alquran berdasarkan penggunaan kaidah ushul
tersebut oleh ahli fiqh disimpulkan bahwa daging babi haram.
2. Kaidah ushul Fikih diperoleh secara deduktif, sedangkan kaidah fiqh secara
induktif. Penyusunan kaidah ushul, utamanya di kalangan ushul fiqh
mutakallimin, dilakukan tanpa melihat realitas terlebih dahulu. Kaidah dibuat
dulu, baru kemudian diterapkan. Sementara itu, kaidah fiqh diperoleh secara
induktif, yaitu berasal dari penyelidikan pemecahan kasus-kasus fiqh, baru
kemudian disimpulkan kaidahnya. Karena itu, kaidah ushul umumnya bersifat
kulli (berlaku kepada seluruh persoalan detail), sementara kaidah fiqh umumnya
bersifat aghlabi (berlaku kepada sebagian besar kasus, dengam berbagai
perkecualian).
3. Pembahasan ilmu fiqh berkisar tentang hukum-hukum syar’i yang langsung
berkaitan dengan amaliyah seorang hamba seperti ibadahnya, muamalahnya,…,

11
apakah hukumnya wajib, sunnah, makruh, haram, ataukah mubah berdasarkan
dalil-dalil yang rinci.
4. Sedangkan ushul fiqh berkisar tentang penjelasan metode seorang mujtahid dalam
menyimpulkan hukum-hukum syar’i dari dalil-dalil yang bersifat global, apa
karakteristik dan konsekuensi dari setiap dalil, mana dalil yang benar dan kuat dan
mana dalil yang lemah, siapa orang yang mampu berijtihad, dan apa syarat-
syaratnya.
5. Perumpamaan ushul fiqh dibandingkan dengan fiqh seperti posisi ilmu nahwu
terhadap kemampuan bicara dan menulis dalam bahasa Arab, ilmu nahwu adalah
kaidah yang menjaga lisan dan tulisan seseorang dari kesalahan berbahasa,
sebagaimana ilmu ushul fiqh menjaga seorang ulama/mujtahid dari kesalahan
dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Ilmu Fiqh secara umum merupakan suatu kumpulan ilmu yang sangat
besar gelanggang pembahasannya, yang mengumpulkan berbagai jenis
Hukum Islam dan bermacam rupa aturan hidup, untuk keperluan seseorang,
segolongan dan semasyarakat dan seumum manusia.
Ushul fiqh adalah Ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan metode
penggalian hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari
dalil-dalil yang terperinci atau kumpulan kaidah-kaidah dan metode
penelitian hukum syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari dalil-
dalil yang terperinci.
Tujuan mempelajari Ilmu Fiqh ialah menerapkan hukum-hukum syariat
Islam terhadap perbuatan dan ucapan manusia. Jadi, ilmu Fiqh itu adalah
rujukan (tempat kembali) seorang hakim (qadhi) dalam keputusannya,
rujukan seorang Mufti dalam fatwanya, dan rujukan seorang Mukallaf untuk
mengetahui hukum syariat dalam ucapan dan perbuatannya.
Hakikatnya ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqh itu telah ada pada saat yang
bersamaan, namun pada saat itu ilmu ushul fiqh belum dipandang sebagai
suatu ilmu, tetapi metode-metode yang telah digunakan pada saat itu untuk
menetapkan suatu hukum yaitu dengan cara teori ushul fiqh, seperti
berdasarkan Al-Qur’an, sunah dan ijtihad. Ilmu ushul fiqh dibukukan
(kodifikasi) pada masa Imam Asy-Syafi’i.

B. Saran
Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan
menambah pengetahuan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada
kesalahan dan kami juga sangat mengharapkan saran dan kritik dari para
pembaca demi kesempurnaan ,makalah ini. Sekian penutup dari kami semoga
dapat diterima dan kami ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria (2009). Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana Prernada Media Group

Umam, Chaerul. (2008). Ushul Fiqih 1. Bandung : Pustaka Setia

Khallaf, Abdul Wahhab (1994). Ilmu Ushul Fiqh. Semarang : Dina Utama

http;//eling-buchoriahnad.blogspot.com/2011/06/sejarah-pertumbuhan-dan-
perkembangan.html?

https://www.google.com/search?sca_esv=561317309&rlz=

https://www.google.com/search?sca_esv=561317309&rlz

https://aktual.com/mengenal-5-kaidah-pokok-dalam-hukum-fiqih/

https://islam.nu.or.id/hikmah/imam-syafi-i-dan-sejarah-pemikirannya-dalam-
ushul-fiqh-TQYa2

14

Anda mungkin juga menyukai