6279 14827 1 PB
6279 14827 1 PB
Abstract
Rapid population growth causes pressure on water sources. This condition is exacerbated by the phenomenon
of climate change which drives the water crisis. The use of recycled water has the potential to be a new source
of groundwater replacement. However, the exact form of utilization of recycled water is not well known in DKI
Jakarta. The purpose of this study is to identify the factors considered in the selection of recycled water
utilization options in DKI Jakarta. The assessment of factors and options for utilization DKI Jakarta recycled
water was analyzed using the Focus Group Discussion (FGD) and Analytical Hierarchy Process (AHP) method
with a pairwise comparison questionnaire based on the perceptions of experts and stakeholders involved in DKI
Jakarta wastewater treatment. The results of the AHP analysis show that environmental factors are the factors
with the highest weight, followed by social factors and economic factors (0.20), technical factors (0.19), and
institutional factors (0.16). There are nine subfactors that have a high influence on the selection of options for
utilizing recycled water in DKI Jakarta. The most suitable utilization option in DKI Jakarta is for general
purposes such as for flushing, firefighting water, and Air Conditioning (AC).
Keywords: analytical hierarchy process, recycled water, focus group discussion, water crisis, stakeholder
Abstrak
Pertumbuhan penduduk yang pesat menyebabkan adanya tekanan terhadap sumber air. Kondisi ini diperburuk
dengan adanya fenomena perubahan iklim yang mendorong terjadinya krisis air. Penggunaan air daur ulang
menjadi potensi sebagai sumber baru pengganti air tanah. Namun belum diketahui bentuk pemanfaatan air daur
ulang yang tepat digunakan di DKI Jakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor
pertimbangan dalam pemilihan opsi pemanfaatan air daur ulang di DKI Jakarta. Penilaian faktor dan opsi
pemanfaatan air daur ulang DKI Jakarta dianalisis menggunakan metode Focus Group Discussion (FGD) dan
Analytical Hierarchy Process (AHP) dengan kuesioner perbandingan berpasangan berdasarkan persepsi dari
para pakar dan stakeholder yang terlibat dalam pengolahan air limbah DKI Jakarta. Hasil analisis AHP
menunjukkan faktor lingkungan (0,25) menjadi faktor dengan bobot yang paling tinggi, diikuti dengan faktor
sosial (0,20) dan ekonomi (0,20), faktor teknis (0,19), serta faktor institusi (0,16). Hasil penelitian menunjukkan
terdapat sembilan subfaktor yang memiliki pengaruh tinggi dalam pemilihan opsi pemanfaatan air daur ulang
di DKI Jakarta. Kemudian opsi pemanfaatan yang paling cocok digunakan di DKI Jakarta adalah untuk
keperluan umum seperti untuk flushing, air pemadam kebakaran, dan air pendingin udara (AC).
Kata kunci: analytical hierarchy process, air daur ulang, focus group discussion, krisis air, stakeholder
1. Pendahuluan
Krisis air sudah menjadi masalah global sebagai dampak dari pertumbuhan penduduk yang pesat serta
adanya fenomena perubahan iklim akan semakin memperburuk masalah ini [1]. Indonesia merupakan negara
yang memiliki cadangan air terbesar kelima di dunia. Namun, hanya 17% air yang dapat diolah dan hanya 25%
dari jumlah tersebut yang berhasil didistribusikan ke masyarakat [2]. Di DKI Jakarta, perkembangan cakupan
6371
p-ISSN : 2528-3561
Volume VIII, No.3, Juli 2023 Hal 6371 - 6382
e-ISSN : 2541-1934
pelayanan perpipaan air bersih masih terbatas, semenjak tahun 1998 dengan cakupan pelayanan 44,5%, hanya
meningkat ke 65,9% di tahun 2021 atau naik 21,4% selama 23 tahun [3]. Hal ini menandakan masih besarnya
kesenjangan (gap) antara kebutuhan (demand) air bersih terhadap ketersediaan (supply) air bersih di DKI
Jakarta. Untuk memenuhi gap ini, kebanyakan masyarakat yang menggunakan air tanah untuk memenuhi
kebutuhan air bersih sehari-hari. Eksploitasi air tanah menyebabkan penurunan muka tanah, polusi, dan
salinitas akuifer, serta peningkatan level air laut di Jakarta. Penurunan muka tanah di Jakarta rata-rata adalah
20-28 cm/tahun sehingga diprediksi 110,5 Km2 Wilayah Jakarta akan tenggelam di tahun 2050 [4]. Berdasarkan
hasil uji kualitas air tanah, 80,1% air sumur masyarakat di Wilayah Utara Jakarta tidak layak dikonsumsi
dikarenakan salinitasnya yang tinggi. Selain itu, 45% air tanah di Jakarta sudah tercemar e. coli dan hanya 4%
penduduk yang memiliki akses ke jaringan perpipaan air limbah. Kondisi ini mengindikasikan bahwa air tanah
di Jakarta tidak aman digunakan untuk keperluan air minum ataupun air bersih [5].
Untuk mengatasi eksploitasi air tanah, pemerintah DKI Jakarta membuat Peraturan Gubernur DKI
Jakarta nomor 93 tahun 2021 tentang zona bebas air tanah yang berisi bahwa bangunan dengan luas lantai 5000
m2 atau lebih dan jumlah lantai delapan atau lebih perlu dilakukan pengetatan pemantauan dan pelarangan
pengambilan/pemanfaatan air tanah [6]. Penggunaan air daur ulang bisa menjadi potensi sebagai sumber baru
pengganti air tanah di DKI Jakarta [7]. Penggunaan air daur ulang merupakan bagian dari implementasi
infrastruktur ramah lingkungan yang digunakan sebagai salah satu upaya untuk memperbaiki taraf hidup dan
kesejahteraan sosial dengan memperhatikan daya dukung lingkungan [8].
Penggunaan air daur ulang memberikan keuntungan jangka panjang bagi kehidupan masyarakat antara
lain: (a) mengurangi ketergantungan dalam pemakaian air PAM dan air tanah; (b) menghemat biaya dan
pengeluaran untuk pengadaan air bersih; dan (c) mengurangi jumlah air limbah yang dibuang ke badan
penerima sehingga ikut melestarikan lingkungan [9]. Kendala dalam pengimplementasian air daur ulang di
Indonesia adalah faktor ekonomi yaitu apakah biaya pengolahan atau harga air daur ulang bisa lebih murah
dibandingkan air PAM. Selain itu, faktor sosial yaitu aspek penerimaan publik atas risiko yang ditimbulkan
dari pemakaian air daur ulang [10]. Sebenarnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan Fatwa
MUI nomor 02 tahun 2010 tentang air daur ulang yang menjelaskan status kehalalan dari air daur ulang
sepanjang diproses sesuai dengan ketentuan fikih [11]. Namun belum ada peraturan di Indonesia yang
menjelaskan spesifik standar kualitas dari air daur ulang [7]. Oleh karena itu air daur ulang yang paling mungkin
saat ini diterapkan di Indonesia adalah untuk penggunaan yang bukan air minum (non potable reuse).
Air daur ulang sudah diimplementasikan oleh beberapa negara di dunia. Contohnya di Pakistan dimana
air daur ulang 96% digunakan untuk keperluan irigasi pertanian. Singapura sudah menggunakan 51% air daur
ulang untuk keperluan industri dan 45% untuk keperluan air minum (potable water). Amerika juga sudah
menggunakan 69% air daur ulang untuk keperluan industri [12]. Berdasarkan Kajian pada Handayani dkk
(2017) didapatkan potensi pemanfaatan air daur ulang untuk keperluan non potable reuse yang cocok
diterapkan di DKI Jakarta dibagi menjadi tiga diantaranya: (a) irigasi landscape untuk siram taman, halaman,
dan jalur hijau; (b) penggunaan untuk industri untuk pendingin, umpan boiler, air proses, dan pekerjaan
konstruksi; serta (c) keperluan umum untuk air pemadam kebakaran, air pendingin udara (air conditioning),
dan air bilas toilet (flushing) [7]. Handayani dkk (2017) juga menganalisis faktor pendorong penggunaan air
daur ulang pada delapan sektor bisnis di DKI Jakarta adalah terkait potensi dalam menghemat pengeluaran
mereka daripada membeli air bersih ke PAM. Sedangkan faktor penghalang utama air daur ulang
diimplementasikan yaitu faktor sosial, terutama kekhawatiran adanya dampak kesehatan, sehingga disarankan
penggunaan air daur ulang digunakan tanpa ada kontak langsung dengan manusia.
Halangan lain dari pengimplementasian air daur ulang ini juga adalah belum adanya aturan pemerintah
yang jelas tentang standar kualitas penggunaan air daur ulang di Indonesia [7]. Studi pustaka juga dilakukan
terhadap opsi penggunaan air daur ulang di DKI Jakarta. Said (2018) menjelaskan bahwa penggunaan air daur
ulang yang cocok digunakan di Indonesia adalah untuk kebutuhan air bukan minum (non potable reuse)
dikarenakan kendala dari faktor ekonomi yaitu apakah biaya pengolahan bisa lebih murah dibandingkan biaya
air bersih dari PAM dan air tanah serta kendala dari faktor penerimaan masyarakat dalam penggunaan air daur
ulang untuk diminum [10].
Perumda Paljaya selaku operator air limbah DKI Jakarta memiliki rencana untuk mengembangkan air
daur ulang di DKI Jakarta yang bertujuan untuk meningkatkan pemasukan (revenue) dari perusahaan. Perumda
Paljaya memiliki dua Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) eksisting yaitu IPAL MBBR Setiabudi dan
IPAL MBBR Krukut yang mengolah air limbah menjadi air yang layak untuk dibuang ke badan air, kemudian
6372
p-ISSN : 2528-3561
Volume VIII, No.3, Juli 2023 Hal 6371 - 6382
e-ISSN : 2541-1934
melakukan pengolahan lanjutan sehingga air tersebut layak untuk digunakan kembali sebagai sumber air untuk
keperluan non potable reuse. Produksi air daur ulang untuk IPAL MBBR Setiabudi saat ini sebesar 5.400
m3/hari dan IPAL MBBR Krukut sebesar 4.320 m3/hari, namun sampai saat ini dua IPAL ini belum dilengkapi
infrastruktur pipa distribusi air daur ulang, sehingga pemanfaatan air daur ulang ini belum dimanfaatkan
maksimal dan masih terbatas untuk dijual ke dinas pertamanan dan dinas pemadam kebakaran untuk IPAL
MBBR Setiabudi dan menyiram tanaman dan flushing toilet di kantor Perumda Paljaya untuk IPAL MBBR
Krukut. Rencana kedepannya Perumda Paljaya akan memasang pipa distribusi air daur ulang untuk memenuhi
kebutuhan non potable reuse ke calon pelanggan niaga besar di area layanan jaringan perpipaan yang diolah
IPAL MBBR Setiabudi dan IPAL MBBR Krukut [13].
Pada penelitian terdahulu, maka didapatkan faktor dan subfaktor yang berpengaruh terhadap
keberlanjutan air daur ulang. Faktor teknis dinilai sebagai aspek yang vital dalam memastikan keberlanjutan
suatu sistem dan sumber daya [14]. Terkait dengan air daur ulang, faktor teknis penentu keberlanjutan sistem
air daur ulang meliputi subfaktor yaitu (1) kuantitas air limbah (sumber air daur ulang), (2) kualitas air hasil
olahan, (3) kemudahan pengoperasian & pemeliharaan, dan (4) ketersediaan suku cadang [15]. Faktor
selanjutnya adalah faktor institusi, didasari oleh degradasi sumber daya juga potensi tidak berjalannya suatu
sistem jika tanpa pengelolaan yang baik. Fenomena ini biasa disebut sebagai tragedi milik bersama (tragedy in
commons) [16]. Secara khusus, kelembagaan disyaratkan sebagai adanya sebuah struktur, rencana organisasi,
penetapan aturan, pengambilan keputusan, dan kerjasama antar pemangku kepentingan secara terintegrasi [14].
Faktor lingkungan terkait keberlanjutan air daur ulang didasarkan pada potensi positif penggunaan air daur
ulang pada pencegahan degradasi (reduksi polutan) pada air dan tanah, yang juga akan menunjang
keanekaragaman hayati di dalamnya [14][15][17].
Faktor ekonomi berkaitan dengan sumber pendanaan untuk mengelola infrastruktur air daur ulang,
termasuk dana untuk operasi, pemeliharaan, dan investasi untuk menjalankan dan memelihara infrastruktur air
daur ulang [14][15]. Faktor sosial berkaitan dengan penerimaan publik, partisipasi publik, kesehatan manusia,
dan aturan pemerintah. Penerimaan publik merupakan wujud kekhawatiran (persepsi) publik atas risiko
kesehatan, kegagalan sistem, persyaratan pemeliharaan, kualitas air, dan kualitas layanan. Karakteristik
penerimaan publik menentukan kelayakan skema sistem dengan indikator berupa masyarakat yang mampu dan
mau menggunakan air daur ulang [14][15]. Lingkup sosial terkait dengan keberlanjutan sistem air daur ulang
erat kaitannya dengan potensi terhadap kesehatan manusia apabila terjadi kegagalan sistem atau pemantauan
yang kurang memadai [10].
Penggunaan air daur ulang di DKI Jakarta sebagai potensi sumber baru untuk keperluan non potable
reuse sangat mungkin dilakukan. Namun demikian, faktor-faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam
pengimplementasian air daur ulang masih belum diketahui serta opsi pemanfaatan potensi air daur ulang yang
tepat masih belum diteliti. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor pertimbangan dalam
pemilihan opsi pemanfaatan air daur ulang di DKI Jakarta.
2. Metode Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mixed methods yaitu data yang
dikumpulkan berupa data kuantitatif dan kualitatif. Data yang dikumpulkan untuk penelitian merupakan data
primer dan data sekunder. Metode yang digunakan adalah Focus Group Discussion (FGD), dan Analytichal
Hierarchy Process (AHP).
2.1. Focus Group Discussion (FGD)
FGD atau diskusi kelompok terfokus merupakan suatu metode pengumpulan data yang lazim
digunakan pada penelitian kualitatif. Metode ini mengandalkan perolehan data atau informasi dari suatu
interaksi informan atau responden berdasarkan hasil diskusi dalam suatu kelompok yang berfokus untuk
melakukan bahasan dalam menyelesaikan masalah tertentu [17]. Tujuan diadakannya FGD adalah untuk
melakukan konfirmasi faktor dan subfaktor yang sudah direkap dari studi pustaka untuk memeriksa relevansi
variabel terhadap penelitian berdasarkan penilaian para pakar.
FGD pada penelitian ini digunakan untuk mendapatkan gambaran awal aplikasi air daur ulang di
Indonesia dan verifikasi faktor dan subfaktor yang mempengaruhi keberlanjutan sistem daur ulang air. FGD
dilaksanakan pada 26 Agustus 2022 yang diikuti oleh responden nasional yang berjumlah 8 orang yang terdiri
dari pemerintah provinsi, praktisi rumah tangga, dan institusi bisnis yang menjadi pelaku dalam pengolahan air
limbah di daerahnya. Seluruh kelompok responden disebut sebagai responden pakar dalam proses analisis
6373
p-ISSN : 2528-3561
Volume VIII, No.3, Juli 2023 Hal 6371 - 6382
e-ISSN : 2541-1934
karena memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang sistem air daur ulang. Lingkup responden secara
nasional bertujuan untuk mengeksplorasi faktor dan sub faktor penelitian yang lebih luas, serta mendapatkan
kesimpulan berbagai alternatif sistem penggunaan air daur ulang yang mungkin dilakukan di Indonesia. Total
terdapat 8 responden mengisi kuesioner FGD seperti dilihat pada Tabel 1.
Adapun kriteria stakeholder yang akan mengisi kuesioner AHP (kuesioner perbandingan berpasangan)
adalah sebagai berikut:
1. Dalam tiap organisasi pemerintah, BUMD, dan praktisi diwawancarai 2 orang untuk mengisi kuisioner
AHP yang sudah dibuat penulis
2. Calon pengguna air daur ulang yang disasar berupa niaga besar diwawancarai 8 lokasi untuk mengisi
kuisioner yang sudah dibuat penulis
3. Peryaratan responden yang dapat mengisi kuisioner AHP ini adalah:
a) Ahli dan pakar sudah bekerja dalam bidang air limbah & air bersih selama 3 tahun;
b) Level pendidikan minimal Diploma III
c) Responden akademisi merupakan dosen perguruan tinggi yang pernah melakukan penelitian di
bidang air bersih dan air limbah
d) Responden calon pengguna air daur ulang niaga besar berasal pengelola gedung untuk mengisi
kuesioner AHP
Kuesioner disusun secara otomatis untuk mempertimbangkan Consistency Index, Random Index, dan
Consistency Ratio untuk menentukan apakah faktor dan sub faktor serta alternatif opsi sistem air daur ulang
yang dipilih oleh para pakar dan stakeholder sudah konsisten agar hasil penelitian ini valid. Jika Consistency
Ratio (CI/IR) ≤ 10%, maka hasil perhitungan bisa dinyatakan valid Namun jika nilainya Consistency Ratio
(CI/IR) ≥ 10%, maka peneliti harus mengulang pengambilan data kuisioner AHP dengan responden pakar
hingga hasil uji konsistensinya valid.
6376
p-ISSN : 2528-3561
Volume VIII, No.3, Juli 2023 Hal 6371 - 6382
e-ISSN : 2541-1934
6377
p-ISSN : 2528-3561
Volume VIII, No.3, Juli 2023 Hal 6371 - 6382
e-ISSN : 2541-1934
Opsi pemanfaatan air daur ulang dibagi ke dalam tiga opsi diantaranya: (a) irigasi landscape untuk siram
taman, halaman, dan jalur hijau; (b) penggunaan untuk industri untuk pendingin, umpan boiler, air proses, dan
pekerjaan konstruksi; serta (c) keperluan umum untuk air pemadam kebakaran, air pendingin udara (air
conditioning), dan air bilas toilet (flushing) [7].
3.2. Pembobotan Faktor dan Subfaktor
Tahap pertama dalam metode AHP adalah penyusunan struktur hirarki keputusan untuk mempermudah
peneliti dalam mengambil keputusan. Adapun struktur hirarki AHP dalam penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 1.
Penilaian faktor merupakan pembobotan terhadap faktor penelitian yaitu faktor Teknis (T), Institusi (I),
Lingkungan (L), Ekonomi (E), dan Sosial (S) untuk mencapai tujuan penelitian. Interpretasi faktor yang
berpengaruh terhadap pemilihan opsi air daur ulang DKI Jakarta dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil pendapat
responden pakar yang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam pengolahan air limbah DKI Jakarta
menunjukkan faktor Lingkungan (L) memiliki bobot paling tinggi yaitu 0,25. Bobot kedua tertinggi adalah
faktor Sosial (S) dan faktor Ekonomi (E) dengan bobot 0,20. Kemudian diikuti oleh faktor Teknis (T) dengan
bobot 0,19 dan faktor Institusi (I) dengan bobot 0,16. Uji konsistensi faktor menunjukkan nilai CR <0,100 atau
<10% yaitu 0,1% yang berarti penilaian responden pakar terhadap faktor penelitian dinyatakan valid.
6378
p-ISSN : 2528-3561
Volume VIII, No.3, Juli 2023 Hal 6371 - 6382
e-ISSN : 2541-1934
0,30
0,25
0,25
0,20 0,20
0,19
0,20
0,16
Bobot
0,15
0,10
0,05
0,00
Teknis Institusi Lingkungan Ekonomi Sosial
Faktor
Justifikasi setiap subfaktor penelitian akan dikelompokkan dalam dua klasifikasi pada Gambar 3, yaitu
kepentingan tinggi dan kepentingan rendah terhadap tujuan penelitian. Klasifikasi disesuaikan dengan bobot
global menggunakan metode skoring. Metode skoring disesuaikan dengan median dari bobot global tiap
subfaktor. Adapun rentang klasifikasinya adalah jika bobot global subfaktor ≥0,06 maka tingkat kepentingan
tinggi, sedangkan jika bobot global indikator <0,06 maka tingkat kepentingan rendah. Uji konsistensi subfaktor
menunjukkan nilai CR <0,100 atau <10% yaitu 0,1% yang berarti penilaian responden pakar terhadap faktor
penelitian dinyatakan valid.
0,12
0,10 0,10
0,09 0,09
0,08
0,08
0,07 0,07 0,07
0,07
Bobot
0,06
0,04
0,02
0,00
T1 T2 T3 T4 I1 I2 I3 I4 L1 L2 L3 E1 E2 E3 S1 S2 S3 S4
Subfaktor
6379
p-ISSN : 2528-3561
Volume VIII, No.3, Juli 2023 Hal 6371 - 6382
e-ISSN : 2541-1934
Berdasarkan Gambar 3 terdapat sembilan subfaktor yang memiliki pengaruh tinggi dalam pemilihan
opsi pemanfaatan air daur ulang di DKI Jakarta. Adapun subfaktornya antara lain: kualitas air hasil olahan (T2),
penetapan aturan dan pengambilan keputusan (I3), penghematan air (L1), kualitas badan air penerima (L2),
dampak lingkungan (L3), biaya investasi (E1), sumber dana pembiayaan (E2), biaya operasi & pemeliharaan
(E3), dan kesehatan manusia (S2).
Apabila dibandingkan dengan penelitian sejenis terdahulu di Indonesia, hasil ini memiliki perbedaan
dimana faktor ekonomi adalah faktor dengan nilai tertinggi yang menentukan keberlanjutan sistem perpipaan
air bersih komunal di Bandung dengan subfaktor adanya manfaat yang didapatkan bagi pengguna [14]. Hasil
penelitian sejenis terdahulu di luar Indonesia yaitu di Wilayah Metropolitan Sao Paulo, Brazil menjelaskan
bahwa faktor teknis dan subfaktor kuantitas air limbah dinilai paling penting dalam pemilihan opsi pemanfaatan
air daur ulang. Dengan adanya kuantitas air limbah dapat memastikan potensi penggunaan air daur ulang di
Sao Paulo Brazil [18]. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa perbedaan faktor dan subfaktor signifikan
disebabkan karena kondisi dari lokasi studi, sistem pengelolaannya (dikelola berbasis komunal oleh masyarakat
atau badan usaha) serta persepsi dari para pakar/ahli yang menilai AHP.
3.3. Penentuan Bobot Opsi Pemanfaatan Air Daur Ulang
Sintesis hasil pembobotan alternatif opsi pemanfaatan air daur ulang merupakan tingkat kepentingan
alternatif opsi secara global terhadap subfaktor. Bobot prioritas total dari alternatif yang dirata-ratakan secara
geometrik dapat dilihat pada Gambar 4. Kemudian untuk nilai CI (indeks konsistensi) dan CR (rasio
konsistensi) adalah 0%, sehingga seluruh hasil analisis dinyatakan valid karena nilai CR <0,1000 atau <10%.
0,35
0,34
0,35
0,34
0,34 0,33
Bobot
0,33
0,32
0,33
0,32
0,32
0,31
Opsi 1: Irigasi Landscape Opsi 2: Industri Opsi 3: Keperluan Umum
Opsi Air Daur Ulang
Gambar 4 menjelaskan bahwa opsi yang paling cocok dalam pemanfaatan air daur ulang di DKI Jakarta
adalah untuk keperluan umum, kemudian irigasi landscape, dan industri dengan nilai yang berdekatan. Hal ini
didukung oleh penelitian sebelumnya di sektor bisnis DKI Jakarta yang menyebutkan bahwasanya sektor bisnis
di DKI Jakarta biasanya menggunakan air daur ulang untuk irigasi landcape untuk menyiram tanaman,
kemudian keperluan umum untuk flushing, bersih-bersih, cuci mobil, dan sebagai cadangan air bersih di
reservoir, serta keperluan industri untuk cooling tower, dan boiler [7].
4. Kesimpulan
Faktor penentu keberlanjutan air daur ulang DKI Jakarta menunjukkan bahwa faktor lingkungan (0,25)
menjadi faktor dengan bobot yang paling tinggi, diikuti dengan faktor sosial (0,20) dan ekonomi (0,20), faktor
teknis (0,19), serta faktor institusi (0,16).
Terdapat sembilan subfaktor yang memiliki pengaruh tinggi dalam pemilihan opsi pemanfaatan air daur
ulang di DKI Jakarta, yaitu kualitas air hasil olahan (T2), penetapan aturan dan pengambilan keputusan (I3),
penghematan air (L1), kualitas badan air penerima (L2), dampak lingkungan (L3), biaya investasi (E1), sumber
dana pembiayaan (E2), biaya O & M (E3), dan kesehatan manusia (S2).
6380
p-ISSN : 2528-3561
Volume VIII, No.3, Juli 2023 Hal 6371 - 6382
e-ISSN : 2541-1934
Opsi penggunaan air daur ulang yang paling cocok digunakan di DKI Jakarta adalah untuk keperluan
umum (0,34) seperti untuk flushing, air pemadam kebakaran, dan air pendingin udara (AC). Opsi yang kedua
dapat digunakan untuk kebutuhan irigasi landscape (0,33) yaitu menyiram tanaman di gedung-gedung. Opsi
terakhir bisa digunakan untuk industri (0,32) sebagai pendingin, umpan boiler, air proses, dan pekerjaan
konstruksi.
5. Daftar Pustaka
[1] E. Cagno, P. Garrone, M. Negri, and A. Rizzuni, “Adoption of water reuse technologies: An assessment
under different regulatory and operational scenarios,” Journal of Environmental Management, vol. 317,
p. 115389, Sep. 2022, doi: 10.1016/j.jenvman.2022.115389.
[2] Á. Bellver-Domingo and F. Hernández-Sancho, “Circular economy and payment for ecosystem services:
A framework proposal based on water reuse,” Journal of Environmental Management, vol. 305, p.
114416, Mar. 2022, doi: 10.1016/j.jenvman.2021.114416.
[3] PAM JAYA, Laporan Tahunan PAM Jaya 2021. 2021.
[4] A. Cao et al., “Future of Asian Deltaic Megacities under sea level rise and land subsidence: current
adaptation pathways for Tokyo, Jakarta, Manila, and Ho Chi Minh City,” Current Opinion in
Environmental Sustainability, vol. 50, pp. 87–97, Jun. 2021, doi: 10.1016/j.cosust.2021.02.010.
[5] R. Taftazani, S. Kazama, and S. Takizawa, “Spatial Analysis of Groundwater Abstraction and Land
Subsidence for Planning the Piped Water Supply in Jakarta, Indonesia,” Water, vol. 14, no. 20, p. 3197,
Oct. 2022, doi: 10.3390/w14203197.
[6] Gubernur DKI Jakarta, Peraturan Gubernur DKI Jakarta nomor 93 tahun 2021 tentang zona bebas air
tanah. 2021.
[7] R. Handayani et al., “Water Recycling Opportunity in the Business Sectors of Greater Jakarta, Indonesia,”
IJTech, vol. 8, no. 6, p. 1031, Dec. 2017, doi: 10.14716/ijtech.v8i6.743.
[8] M. H. Hidayattuloh, A. N. Bambang, and A. Amirudin, “The Green Economy Concept as Development
Strategy of Cempaka Tourism Village toward Sustainable Tourism Development,” IJPD, vol. 5, no. 1,
pp. 30–37, Feb. 2020, doi: 10.14710/ijpd.5.1.30-37.
[9] S. Yudo and T. Hernaningsih, “Pemilihan Teknologi Daur Ulang Air Limbah Domestik di Kantor BPPT,”
JAI, vol. 6, no. 2, Feb. 2018, doi: 10.29122/jai.v6i2.2462.
[10] N. I. Said, “Daur Ulang Air Limbah (Water Recycle) Ditinjau dari Aspek Teknologi, Lingkungan dan
Ekonomi,” JAI, vol. 2, no. 2, Feb. 2018, doi: 10.29122/jai.v2i2.2300.
[11] MUI, “Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 02 Tahun 2010 tentang Air Daur Ulang.” 2010.
[12] B. E. Jiménez Cisneros and T. Asano, Eds., Water reuse: an international survey of current practice,
issues and needs. in Scientific and technical report, no. no. 20. London: IWA Publishing, 2008.
[13] Perumda Paljaya, “Kerangka Acuan Kerja Pengadaan Jasa Konsultansi Perencanaan Detail Engineering
Design (DED) Konstruksi Instalasi Pengolahan Air Limbah Lanjutan, Jaringan Distribusi Pipa Air Daur
Ulang serta Sambungan Pipa Calon Pelanggan IPAL MBBR Setiabudi & IPAL MBBR Krukut.” Perumda
Paljaya, 2022.
[14] S. Maryati, T. Firman, and A. N. S. Humaira, “A sustainability assessment of decentralized water supply
systems in Bandung City, Indonesia,” Utilities Policy, vol. 76, p. 101373, Jun. 2022, doi:
10.1016/j.jup.2022.101373.
[15] M. Sgroi, F. G. A. Vagliasindi, and P. Roccaro, “Feasibility, sustainability and circular economy concepts
in water reuse,” Current Opinion in Environmental Science & Health, vol. 2, pp. 20–25, Apr. 2018, doi:
10.1016/j.coesh.2018.01.004.
[16] E. Ostrom, GOVERNING the COMMONS: The Evolution of Institutions for Collective Action.
Cambridge: Cambridge University Press, 1990.
[17] G. Chhipi-Shrestha, M. Rodriguez, and R. Sadiq, “Selection of sustainable municipal water reuse
applications by multi-stakeholders using game theory,” Science of The Total Environment, vol. 650, pp.
2512–2526, Feb. 2019, doi: 10.1016/j.scitotenv.2018.09.359.
[18] Y. Afiyanti, “Focus Group Discussion (Diskusi Kelompok Terfokus) sebagai Metode Pengumpulan Data
Penelitian Kualitatif,” Jurnal Keperawatan Indonesia, vol. 12, no. 1, pp. 58–62, Mar. 2008, doi:
10.7454/jki.v12i1.201.
6381
p-ISSN : 2528-3561
Volume VIII, No.3, Juli 2023 Hal 6371 - 6382
e-ISSN : 2541-1934
[19] B. N. Fukasawa and J. C. Mierzwa, “Identification of water reuse potential in Metropolitan Regions using
the Analytic Hierarchy Process,” Environmental and Sustainability Indicators, vol. 8, p. 100064, Dec.
2020, doi: 10.1016/j.indic.2020.100064.
[20] K. Lee and W. Jepson, “Drivers and barriers to urban water reuse: A systematic review,” Water Security,
vol. 11, p. 100073, Dec. 2020, doi: 10.1016/j.wasec.2020.100073.
6382