Anda di halaman 1dari 16

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Strategi Pembelajaran Afektif


Menurut Sanjaya, (2007:126). Dalam dunia pendidikan, strategi diartikan sebagai
perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapi tujuan pendidikan
tertentu. sedangkan menurut Kemp (1995) menjelaskan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu
kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai
secara efektif dan efisien, dan menurut Dick and Caret (1985) mengartikan strategi pembelajaran
adalah suatu set materi dan prosedur pembelajaran yang digunakan secara bersama-sama untuk
menimbulkan hasil belajar pada siswa.
Strategi Pembelajaran Afektif memang berbedadengan strategi pembelajaran kognitif dan
keterampilan. Afektif berhubungan dengan nilai (value), yang sulit diukur, oleh sebab itu menyangkut
kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam diri siswa. Dalam batasan tertentu memang afeksi dapat
muncul dalam kejadian behavioral, akan tetapi penilaiannya untuk sampai kepada kesimpulan yang
bisa dipertanggungj awapkan membutuhkan ketelitian dan observasi yang terus menerus, dan hal ini
tidaklah mudah untuk dilakukan. Apabila menilai perubahan sikap sebagai akibat dari proses
pembelajaran yang dilakukan guru disekolah kita tidak bisa menyimpulkan bahwa sikap anak itu baik,
misalnya dilihat dari kebiasaan bahasa atau sopan santun yang bersangkutan, sebagai akibat dari
proses pembelajaran yang dilakukan guru. Mungkin sikap itu terbentuk oleh kebiasaan guru dalam
keluarga dan lingkungan sekitar.
Strategi pembelajaran afektif pada umumnya menghadapkan siswa pada situasi yang
mengandung konflik atau situasi yang problematis, dan pengajar dapat membina dalam
menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan tingkat nilai kemampuan masing-masing.

2.2. Hakikat Strategi Pembelajaran Afektif


Agar lulusan pendidikan memiliki integritas pribadi di bidang keilmuannya secara optimal,
disamping menguasai substansi bidang keilmuan pada sisi kognitif dan psikomotorik, diperlukan pula
penguasaan pada aspek-aspek afektif. Studi tentang pembelajaran untuk aspek-aspek afektif dapat
memberikan kontribusi yang berarti, sekalipun studi ini belum cukup menjamin terbentuknya
integritas pribadi yang ideal. Studi tentang pembelajaran aspek-aspek afektif tidak bersifat teknis
melainkan refleksif, yaitu suatu refleksi tentang nilai-nilai dan atau tema-tema yang berkaitan dengan
perilaku manusia terutama pada pengembangan aspek perasaan, sikap, nilai dan emosi.
Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya tersenbunyi,
tidak berada di dalam dunia yang empiris.
Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, indah dan tidak indah, layak
dan tidak layak, adil dan tidak adil, dan lain sebagainya. Pandangan seseorang tentang senua itu tidak
bisa diraba, kita hanya mungkin dapat mengetahuinya dari perilaku yang bersangkutan. Oleh karena
itulah nilai pada dasarnya standar perilaku, ukuran yang menentukan atau kriteria seseorang tentang
baik dan buruk, indah dan tidak indah, layak dan tidak layak, adil dan tidak adil, dsb. Sehingga
standar itu yang akan mewarnai perilaku sesorang. Dengan demikian pendidikan nilai pada dasarnya
merupakan proses penanaman nilai kepada peserta didik yang diharapkan, oleh karenanya siswa dapat
berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak bertentangan dengan norma-
norma yang berlaku.
Banyak ahli pendidikan yang juga menaruh perhatian khusus pada strategi pembelajaran afektif,
berikut adalah pendapat beberapa ahli yang berhubungan dengan strategi pembelajaran afektif :
1. Bloom (1976)
Mengatakan bahwa hasil belajar mencakup prestasi belajar, kecepatan belajar, dan hasil afektif.
2. Andersen (1981)
Andersen sependapat dengan Bloom bahwa karakteristik manusia meliputi cara yang tipikal dari
berpikir, berbuat, dan perasaan. Tipikal berpikir berkaitan dengan ranah kognitif, tipikal berbuat
berkaitan dengan ranah psikomotor, dan tipikal perasaan berkaitan dengan ranah afektif. Ranah afektif
mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, atau nilai. Ketiga ranah tersebut
merupakan karakteristik manusia sebagai hasil belajar dalam bidang pendidikan.
3. Popham (1995)
Ranah afektif menentukan keberhasilan belajar seseorang. Orang yang tidak memiliki minat pada
pelajaran tertentu sulit untuk mencapai keberhasilan belajar secara optimal. Seseorang yang berminat
dalam suatu mata pelajaran diharapkan akan mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Oleh karena
itu semua pendidik harus mampu membangkitkan minat semua peserta didik untuk mencapai
kompetensi yang telah ditentukan. Selain itu ikatan emosional sering diperlukan untuk membangun
semangat kebersamaan, semangat persatuan, semangat nasionalisme, rasa sosial, dan sebagainya.
Untuk itu semua dalam merancang program pembelajaran, satuan pendidikan harus memperhatikan
ranah afektif.
Dari pendapat beberapa ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa keberhasilan pembelajaran
pada ranah kognitif dan psikomotor dipengaruhi oleh kondisi afektif peserta didik. Peserta didik yang
memiliki minat belajar dan sikap positif terhadap pelajaran akan merasa senang mempelajari mata
pelajaran tertentu, sehingga dapat mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Walaupun para
pendidik sadar akan hal ini, namun belum banyak tindakan yang dilakukan pendidik secara sistematik
untuk meningkatkan minat peserta didik. Oleh karena itu untuk mencapai hasil belajar yang optimal,
dalam merancang program pembelajaran dan kegiatan pembelajaran bagi peserta didik, pendidik
harus memperhatikan karakteristik afektif peserta didik. Sementara itu Douglas Graham (Gulo, 2002)
melihat empat faktor yang merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu yaitu :
a. Normativist, biasanya kepatuhan pada norma-norma dan hukum. Selanjutnya dikatakan bahwa
kepatuhan ini terdapat dalam tiga bentuk, yaitu :
1). Kepatuhan pada nilai atau norma itu sendiri.
2). Kepatuhan pada proses tanpa memperdulikan normanya sendiri.
3). Kepatuhan pada hasilnya atau tujuan yang diharapkannya dari peraturan itu.
b. Integralist, yaitu kepatuhan yang didasarkan kepada kesadaran dengan pertimbangan-
pertimbangan yang rasional.
c. Fenomenalist, yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa-basi.
d. Hedonist, yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.
Dari keempat faktor yang menjadi dasar kepatuhan setiap individual, tentu saja yang kita
harapkan adalah kepatuhan yang bersifat normativist, karena kepatuhan semacam itu adalah
kepatuhan yang didasari kesadaran akan nilai, tanpa memperdulikan apakah perilaku itu
menguntungkan untuk dirinya atau tidak.
Selanjutnya dalam sumber yang sama dijelaskan, dari empat faktor ini terdapat lima tipe
kepatuhan, yaitu :

a. Otoritarian, yaitu suatu kepatuhan tanpa reserve atau kepatuhan yang ikut-ikutan.
b. Conformist, kepatuhan tipe ini mempunyai tiga bentuk, yaitu :
1). Conformist Directed, yaitu penyesuaian diri terhadap masyarakat atau orang lain.
2). Conformist Hedonist, yakni kepatuhan yang berorientasi pada “untung-rugi”.
3). Conformist Integral, adalah kepatuhan yang menyesuaikan kepentingan diri sendiri dan
masyarakat.
c. Compulsive Deviant, yaiut kepatuhan yang tidak konsisten.
d. Hedonik Psikopatik, yaitu kepatuhan pada kekayaan tanpa memperhitungkan kepentingan orang
lain.
e. Supramoralist, yaitu kepatuhan karena keyakinan yang tinggi terhadap nilai-nilai moral.

Dalam masyarakat yang cepat berubah seperti dewasa ini, pendidikan nilai bagi anak merupakan hal
yang sangat penting. Hal ini disebabkan pada era global ini, anak akan dihadapkan pada banyak
pilihan tentang nilai yang mungkin dianggapnya baik. Penukaran dan pengikisan nilai-nilai suatu
masyarakat dewasa ini akan mungkin terjadi secara terbuka. Nilai-nilai yang dianggap baik oleh suatu
kelompok masyarakat bukan tak mungkin akan menjadi luntur digantikan oleh nilai-nilai baru yang
belum tentu cocok dengan budaya masyarakat.
Gulo (2005), menyimpulkan tentang nilai sebagai berikut :
• Nilai tidak bisa diajarkan tetapi diketahui dari penampilannya.
• Pengembangan domain afektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari asfek kognitif dan psikomotor.
• Masalah nilai adalah masalah emosional dank arena itu dapat berubah, berkembang, sehingga bisa
dibina.
• Perkembangan nilai atau moral tidak terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap tertentu

Menurut Martin dan Briggs (1986), perkembangan kepribadian manusia (self-development)


sebagai tujuan pendidikan merupakan komponen afektif paling inklusif yang mencakup nilai, moral
dan etika, motivasi dan kompetensi sosial. Nilai lebih inklusif dari pada sikap (attitudes) dan berbeda
dengan moral dan etika. Nilai berkenaan dengan penilaian terhadap sesuatu yang berharga atau
bernilai, sedangkan moral dan etika berkenaan dengan penilaian tentang benar-salah.

Di dalam bukunya yang berjudul “The Affective and Cognitive Domains: Integration for
Instruction and Research”, Martin dan Briggs menggambarkan adanya hubungan langsung antara
sikap dan nilai serta sikap dengan moral dan etika. Mereka berpendapat bahwa perkembangan nilai,
moral dan etika, berhubungan langsung dengan sikap seseorang. Sedangkan sikap tidak berhubungan
secara langsung dengan motivasi dan kompetensi sosial, namun sikap berpengaruh terhadap pilihan
seseorang, motivasi, dan juga perilaku sosialnya. Sikap bukanlah inti dari motivasi dan kompetensi
sosial seseorang sebagaimana pada nilai serta moral dan etika.
Dalam diagram berikut Martin dan Briggs menempatkan kompetensi sosial, motivasi, nilai,
serta moral dan etika, dalam satu garis lurus sebagai persyaratan bagi perkembangan pribadi
seseorang (self-development). Sedangkan interes merupakan prerequisit bagi motivasi seseorang.
Suatu perbuatan dinilai baik atau buruk, benar atau salah dengan cara menunjukkan alasan-alasan
rasionalnya saja tidaklah cukup. Penilaian kognitif juga berhubungan dengan perasaan.
Martin dan Briggs menggambarkan bahwa emosi seseorang mendasari perkembangan sikap,
interes, kompetensi sosial, serta aspek-aspek afektif lainnya. Sedangkan perasaan berkaitan dengan
emosi. Atribusi ditempatkan sebagai komponen afektif yang paling akhir. Atribusi berhubungan
langsung dengan perkembangan pribadi (self development). Untuk menggambarkan hubungan sikap
dan atribusi hanya dibatasi pada sub kategori sikap, yaitu sikap tentang diri sendiri. Kompetensi sosial
berhubungan langsung dengan atribusi, sebab penilaian terhadap seseorang banyak dilakukan melalui
interaksi sosial.

Maksud dari bahasan ini adalah untuk menunjukkan bahwa integritas kepribadian
seseorang dapat dikembangkan melalui aspek kognitif dan aspek afektif. Gambaran tentang hubungan
di antara aspek-aspek afektif di atas dapat dijadikan acuan studi tentang pendidikan untuk
mengembangkan sisi-sisi afektif dan soft-skills.

2.3 Karakteristik Strategi Pembelajaran Afektif


Pemikiran atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk diklasifikasikan sebagai
ranah afektif (Andersen, 1981:4). Pertama, perilaku melibatkan perasaan dan emosi seseorang. Kedua,
perilaku harus tipikal perilaku seseorang. Kriteria lain yang termasuk ranah afektif adalah intensitas,
arah, dan target. Intensitas menyatakan derajat atau kekuatan dari perasaan. Beberapa perasaan lebih
kuat dari yang lain, misalnya cinta lebih kuat dari senang atau suka. Sebagian orang kemungkinan
memiliki perasaan yang lebih kuat dibanding yang lain. Arah perasaan berkaitan dengan orientasi
positif atau negatif dari perasaan yang menunjukkan apakah perasaan itu baik atau buruk. Misalnya
senang pada pelajaran dimaknai positif, sedang kecemasan dimaknai negatif.

Bila intensitas dan arah perasaan ditinjau bersama-sama, maka karakteristik afektif berada
dalam suatu skala yang kontinum. Target mengacu pada objek, aktivitas, atau ide sebagai arah dari
perasaan. Bila kecemasan merupakan karakteristik afektif yang ditinjau, ada beberapa kemungkinan
target. Peserta didik mungkin bereaksi terhadap sekolah, matematika, situasi sosial, atau
pembelajaran. Tiap unsur ini bisa merupakan target dari kecemasan. Kadang-kadang target ini
diketahui oleh seseorang namun kadang-kadang tidak diketahui. Seringkali peserta didik merasa
cemas bila menghadapi tes di kelas. Peserta didik tersebut cenderung sadar bahwa target
kecemasannya adalah tes.

Ada 5 (lima) tipe karakteristik afektif yang penting, yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan
moral.

1) Sikap.

Sikap merupakan suatu kencendrungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka terhadap
suatu objek, suatu kecenderungan untuk menerima atau menolak suatu objek berdasarkan nilai yang
dianggapnya baik atau tidak baik. Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan menirukan
sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan serta menerima informasi verbal. Perubahan sikap
dapat diamati dalam proses pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi
terhadap sesuatu. Penilaian sikap adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sikap peserta
didik terhadap mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik, dan sebagainya. Dengan demikian,
belajar sikap berarti memperoleh kecenderungan untuk menolak suatu objek. Selain itu terdapat pula
pandangan beberapa ahli mengenai pengertian sikap, yaitu :
1. Thurstone & Chave (dalam Mitchell, 1990)
Mengemukakan definisi sikap yaitu, Sikap adalah keseluruhan dari kecenderungan dan perasaan,
curiga atau bias, asumsi-asumsi, ide-ide, ketakutan-ketakutan, tantangan-tantangan, dan keyakinan
manusia mengenai topik tertentu.
2. Allport (1921)
Sikap adalah kondisi mental dan neural yang diperoleh dari pengalaman, yang mengarahkan dan
secara dinamis mempengaruhi respon-respon individu terhadap semua objek dan situasi yang terkait.
3. Menurut Krech & Crutchfield
Sikap adalah pengorganisasian yang relatif berlangsung lama dari proses motivasi, persepsi dan
kognitif yang relatif menetap pada diri individu dalam berhubungan dengan aspek kehidupannya.
4. Winkel (2004)
Sikap merupakan suatu kemampuan internal yang berperanan sekali dalam mengambil tindakan
(action), lebih-lebih apabila terbuka berbagai kemungkinan untuk bertindak atau tersedia beberapa
alternatif.
5. Fishbein dan Ajzen (1975)
Sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap
suatu objek, situasi, konsep, atau orang. Sikap peserta didik terhadap objek misalnya sikap terhadap
sekolah atau terhadap mata pelajaran.

Dari berbagai definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa, sikap adalah kecenderungan
seseorang untuk menerima atau menolak suatu objek berdasarkan nilai yang dianggapnya baik atau
tidak baik. Dengan demikian, belajar sikap berarti memperoleh kecenderungan untuk menerima atau
menolak suatu objek berdasarkan penilaian terhadap objek itu sebagai hal yang berguna atau berharga
(sikap positif) dan tidak berharga atau tidak berguna (sikap negatif).
Pernyataan kesenangan dan ketidaksenangan seseorang terhadap objek yang dihadapinya, akan sangat
dipengaruhi oleh tingkat pemahamannya (aspek kognitif) terhadap objek tersebut. Oleh karena itu,
tingkat penalaran (kognitif) terhadap sesuatu objek dan kemampuan untuk bertindak terhadapnya
(psikomotorik) turut menentukan sikap seseorang terhadap objek yang bersangkutan dan yang akan
dipilihnya. Sikap peserta didik ini penting untuk ditingkatkan (Popham, 1999). Sikap peserta didik
terhadap mata pelajaran, misalnya bahasa Inggris, harus lebih positif setelah peserta didik mengikuti
pembelajaran bahasa Inggris dibanding sebelum mengikuti pembelajaran. Perubahan ini merupakan
salah satu indikator keberhasilan pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran. Untuk itu
pendidik harus membuat rencana pembelajaran termasuk pengalaman belajar peserta didik yang
membuat sikap peserta didik terhadap mata pelajaran menjadi lebih positif.

2) Minat.

Menurut Getzel (1966), minat adalah suatu disposisi yang terorganisir melalui pengalaman
yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus, aktivitas, pemahaman, dan keterampilan
untuk tujuan perhatian atau pencapaian. Sedangkan menurut kamus besar Bahasa Indonesia (1990:
583), minat atau keinginan adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting pada
minat adalah intensitasnya. Secara umum minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki
intensitas tinggi.
Penilaian minat dapat digunakan untuk:
a. mengetahui minat peserta didik sehingga mudah untuk pengarahan dalam pembelajaran,
b. mengetahui bakat dan minat peserta didik yang sebenarnya,
c. pertimbangan penjurusan dan pelayanan individual peserta didik,
d. menggambarkan keadaan langsung di lapangan/kelas,
e. mengelompokkan peserta didik yang memiliki minat sama,
f. acuan dalam menilai kemampuan peserta didik secara keseluruhan dan memilih metode yang tepat
dalam penyampaian materi,
g. mengetahui tingkat minat peserta didik terhadap pelajaran yang diberikan pendidik,
h. bahan pertimbangan menentukan program sekolah,
i. meningkatkan motivasi belajar peserta didik.

3) Konsep Diri.

Menurut Smith, konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan
dan kelemahan yang dimiliki. Target, arah, dan intensitas konsep diri pada dasarnya seperti ranah
afektif yang lain. Target konsep diri biasanya orang tetapi bisa juga institusi seperti sekolah. Arah
konsep diri bisa positif atau negatif, dan intensitasnya bisa dinyatakan dalam suatu daerah kontinum,
yaitu mulai dari rendah sampai tinggi.
Konsep diri ini penting untuk menentukan jenjang karir peserta didik, yaitu dengan mengetahui
kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dapat dipilih alternatif karir yang tepat bagi peserta didik. Selain
itu informasi konsep diri penting bagi sekolah untuk memberikan motivasi belajar peserta didik
dengan tepat.

Penilaian konsep diri dapat dilakukan dengan penilaian diri. Kelebihan dari penilaian diri
adalah sebagai berikut :
a. Pendidik mampu mengenal kelebihan dan kekurangan peserta didik.
b. Peserta didik mampu merefleksikan kompetensi yang sudah dicapai.
c. Pernyataan yang dibuat sesuai dengan keinginan penanya.
d. Memberikan motivasi diri dalam hal penilaian kegiatan peserta didik.
e. Peserta didik lebih aktif dan berpartisipasi dalam proses pembelajaran.
f. Dapat digunakan untuk acuan menyusun bahan ajar dan mengetahui standar input peserta didik.
g. Peserta didik dapat mengukur kemampuan untuk mengikuti pembelajaran.
h. Peserta didik dapat mengetahui ketuntasan belajarnya.
i. Melatih kejujuran dan kemandirian peserta didik.
j. Peserta didik mengetahui bagian yang harus diperbaiki.
k. Peserta didik memahami kemampuan dirinya.
l. Pendidik memperoleh masukan objektif tentang daya serap peserta didik.
m. Mempermudah pendidik untuk melaksanakan remedial, hasilnya dapat untuk instropeksi
pembelajaran yang dilakukan.
n. Peserta didik belajar terbuka dengan orang lain.
o. Peserta didik mampu menilai dirinya.
p. Peserta didik dapat mencari materi sendiri.
q. Peserta didik dapat berkomunikasi dengan temannya.

4) Nilai
Nilai menurut Rokeach (1968) merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau
perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Selanjutnya dijelaskan bahwa sikap mengacu
pada suatu organisasi sejumlah keyakinan sekitar objek spesifik atau situasi, sedangkan nilai mengacu
pada keyakinan.
Target nilai cenderung menjadi ide, target nilai dapat juga berupa sesuatu seperti sikap dan perilaku.
Arah nilai dapat positif dan dapat negatif. Selanjutnya intensitas nilai dapat dikatakan tinggi atau
rendah tergantung pada situasi dan nilai yang diacu.
Definisi lain tentang nilai disampaikan oleh Tyler (1973:7), yaitu nilai adalah suatu objek, aktivitas,
atau ide yang dinyatakan oleh individu dalam mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan. Selanjutnya
dijelaskan bahwa manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas, dan ide sehingga objek ini menjadi
pengatur penting minat, sikap, dan kepuasan. Oleh karenanya satuan pendidikan harus membantu
peserta didik menemukan dan menguatkan nilai yang bermakna dan signifikan bagi peserta didik
untuk memperoleh kebahagiaan personal dan memberi konstribusi positif terhadap masyarakat.

5) Moral

Piaget dan Kohlberg banyak membahas tentang perkembangan moral anak. Namun Kohlberg
mengabaikan masalah hubungan antara judgement moral dan tindakan moral. Ia hanya mempelajari
prinsip moral seseorang melalui penafsiran respon verbal terhadap dilema hipotetikal atau dugaan,
bukan pada bagaimana sesungguhnya seseorang bertindak.
Moral berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap kebahagiaan orang lain atau perasaan
terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri. Misalnya menipu orang lain, membohongi orang lain,
atau melukai orang lain baik fisik maupun psikis. Moral juga sering dikaitkan dengan keyakinan
agama seseorang, yaitu keyakinan akan perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi moral berkaitan
dengan prinsip, nilai, dan keyakinan seseorang.

Ranah afektif lain yang penting adalah:


a. Kejujuran, peserta didik harus belajar menghargai kejujuran dalam berinteraksi dengan orang lain.
b. Integritas, peserta didik harus mengikatkan diri pada kode nilai, misalnya moral dan artistik.
c. Adil, peserta didik harus berpendapat bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama dalam
memperoleh pendidikan.
d. Kebebasan, peserta didik harus yakin bahwa negara yang demokratis memberi kebebasan yang
bertanggung jawab secara maksimal kepada semua orang.

2.4 Proses dan Model Strategi Pembelajaran Afektif


2.4.1. Proses Strategi Pembelajaran Afektif
Proses strategi pembelajaran afektif juga disebut dengan istilah proses pembentukan sikap,
ada dua proses yang termasuk kedalam strategi pembelajaran afektif, yaitu :
1) Pola Pembiasaan

Menurut penelitian Watson seorang psikolog cara belajar sikap yang disebabkan dengan
kebiasaan dapat menjadi dasar penanaman sikap tertentu terhadap suatu objek. Dalam proses
pembelajaran di sekolah, baik secara disadari maupun tidak, guru dapat menanamkan sikap tertentu
kepada siswa melalui proses pembiasaan misalnya, siswa yang setiap kali menerima perlakuan yang
tidak mengenakan dari guru seperti mengejek atau menyinggung perasaan anak, maka lama-kelamaan
akan timbul perasaan kesal dari anak tersebut yang pada akhirya dia tidak menyukai guru dan mata
pelajarannya.

Belajar membentuk sikap melalui pembiasaan juga dilakukan oleh Skinner melalu teorinya
“operant conditioning” proses pembentukan sikap melalui pembiasaan yang dilakukan Watson
berbeda dengan proses pembiasaan sikap yang dilakukan Skinner. Skinner menekankan pada proses
peneguhan respons anak, dimana setiap kali anak menunjukan prestasi yang baik diberikan penguatan
dengan cara memberikan hadiah atau prilaku yang menyenangkan.
Dari Watson dan Skinner, menurut kelompok kami dapat diambil kesimpulan bahwa proses
pembentukan sikap dengan pola pembiasaan bukan hanya melalui proses pembiasaan yang dilakukan
secara terus menerus melainkan juga memberikan penguatan sehingga anak akan berusaha dan
bersemangat untuk meningkatkan sikap positifnya.

2) Modeling

Pembelajaran sikap seseorang yang dilakukan melalui proses modeling yaitu pembentukan
sikap melalui proses asimilasi atau proses mencontoh. Proses modeling ini adalah proses peniruan
anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang dihormatinya yang dimulai rasa
kagum. Salah satu karakteristik anak didik yang sedang berkembang adalah keinginannya untuk
melakukan peniruan (imitasi). Hal yang ditiru itu adalah perilaku-perilaku yang diperagakan atau
didemonstrasikan oleh orang yang menjadi idolanya. Prinsip peniruan ini yang dimaksud dengan
modeling.

Proses penanaman sikap anak terhadap suatu objek melalui proses modeling pada mulanya dilakukan
secara mencontoh, namun anak perlu diberi pemahaman mengapa hal itu dilakukan. Misalnya, guru
perlu menjelaskan mengapa kita harus berpakaian bersih atau mengapa kita harus telaten menjaga dan
memelihara tanaman.

2.4.2 Model Strategi Pembelajaran Afektif.


Menurut Wina Sanjaya (2006), ada 3 model strategi pembelajaran yaitu :
1. Model Konsiderasi, dikembangkan oleh Mc, Paul yang menekankan bahwa model ini
merupakan strategi pembelajaran yg dapat membentuk kpribadian . Salah satu implementasinya yakni
mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang untuk menambah
wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
2. Model Pengembangan Kognitif oleh Lawrence KohlBerg, berpendapat bahwa
perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung secara
berangsur-angsur .
3. Teknik Mengklarifikasi Nilai dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk membantu
siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu
persoalan yang dianggap proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa.
Sedangkan Lickona dalam bukunya Educating for Character (dalam Paul Suparno, dkk.
2002) menekankan pentingnya diperhatikan tiga unsur dalam menanamkan nilai, yaitu; pengertian
atau pemahaman tentang nilai yang dipelajari, perasaan, dan tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai
tersebut. Ketiga unsur ini saling berkaitan. Pengajar perlu memperhatikan ketiga unsur ini agar nilai-
nilai yang ditanamkan tidak sekedar sebagai pengetahuan semata, tetapi benar-benar menjadi
tindakan-tindakan nyata.
Pengertian atau pemahaman terhadap suatu nilai adalah kesadaran, rasionalitas, atau alasan
mengapa seseorang harus melakukan hal itu, suatu pengambilan keputusan berdasarkan nilai-nilai
tertentu. Ini sering kali disebut sebagai segi kognitif dari nilai. Segi kognitif ini perlu diajarkan kepada
para siswa/mahasiswa. Mereka dibantu untuk mengerti mengapa suatu nilai perlu dilakukan.
Sedangkan perasaan lebih pada kesadaran akan hal-hal yang baik dan tidak baik. Perasaan mencintai
kebaikan dan sikap empati terhadap orang lain merupakan ekspresi dari perasaan ini. Perasaan ini
sangat mempengaruhi seseorang untuk berbuat baik.
Oleh sebab itu, perasaan terhadap suatu nilai perlu dikembangkan dengan memupuk
perkembangan hati nurani dan sikap empati. Tindakan, yaitu kemampuan untuk melakukan keputusan
yang dilandasi oleh perasaan terhadap suatu nilai ke dalam perilaku-perilaku nyata. Tindakan-
tindakan yang dilandasi oleh nilai-nilai yang dijunjung tinggi ini perlu difasilitasi agar muncul dan
berkembang dalam pergaulan sehari-hari. Lingkungan belajar yang kondusif untuk memunculkan
tindakan-tindakan ini sangat diperlukan dalam pendidikan aspek-aspek afektif. Ketiga unsur yaitu,
penalaran, perasaan, dan tindakan yang dilandasi oleh nilai-nilai tersebut harus ada dan dikembangkan
dalam pendidikan.
Tantangan dunia pendidikan kedepan adalah mewujudkan proses demokratisasi belajar. Suatu
proses pendemokrasian yang mencerminkan bahwa belajar adalah atas prakarsa individu. Demokrasi
belajar berisi pengakuan hak seseorang untuk melakukan tindakan belajar sesuai dengan
karakteristiknya. Salah satu prasyarat terwujudnya masyarakat belajar yang demokratis adalah adanya
pengemasan pembelajaran yang beragam dengan cara menghapuskan penyeragaman kurikulum,
strategi pembelajaran, bahan ajar, dan evaluasi belajar. Lembaga pendidikan merupakan tempat untuk
mengembangkan seluruh potensi siswa/mahasiswa secara maksimal termasuk nilai-nilai sosial.
Bentuk-bentuk hubungan antara pengajar dan siswa/mahasiswa perlu diperbaharui. Jika selama ini
pengajar lebih otoriter, sarat komando, instruktif, bergaya birokrat, perlu diubah peranannya
sebagai ibu/bapak, kakak, sahabat, atau mitra. Sering kali terjadi, dalam beberapa hal pengajar
berperan sebagai murid dan siswa/mahasiswa justru sebagai gurunya. Proses belajar dalam
hubungannya di antara siswa/mahasiswa satu dengan lainnya berubah.
Untuk mengembangkan agar manusia menjadi matang tidak cukup bila ia hanya dilatih tetapi juga
harus dididik. Siswa/mahasiswa harus dididik untuk realis, mengakui kehidupan yang multi-
dimensional, tidak seragam, dan diajak menghayati kebinekaan yang saling melengkapi demi
persaudaraan yang sehat, menghargai hak dan kewajiban sosial yang saling solider. Pada pelatihan
terutama yang dibentuk adalah tingkah laku lahiriah, sedangkan pada pendidikan yang dibentuk
adalah disposisi mental dan emosional (Sindhunata, 2001). Mendidik bukan berarti sekedar
menjadikan siswa/ mahasiswa trampil secara praktis terhadap lingkungannya. Mendidik juga berarti
membantu siswa/mahasiswa untuk menjadi dirinya dan peka terhadap lingkungannya.
Pengaturan lingkungan belajar sangat diperlukan agar siswa/mahasiswa mampu melakukan kontrol
terhadap pemenuhan kebutuhan emosionalnya. Lingkungan belajar yang demokratis memberi
kebebasan kepada siswa/mahasiswa untuk melakukan pilihan-pilihan tindakan belajar dan akan
mendorong mereka untuk terlibat secara fisik, emosional dan mental dalam proses belajar, sehingga
akan dapat memunculkan kegiatan-kegiatan yang kreatif-produktif. Ini merupakan kaidah yang
sangat penting dalam penataan lingkungan belajar. Setiap siswa/mahasiswa satu persatu dan/atau
bersama-sama perlu diberi kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan sesuai dengan apa yang
mampu dan mau dilakukannya. Prakarsa siswa/mahasiswa untuk belajar akan mati bila kepadanya
dihadapkan pada berbagai macam aturan yang tak ada kaitannya dengan belajar. Sikap dan persepsi
yang positif terhadap belajar menjadi modal dasar untuk memunculkan prakarsa belajar. Ini semua
sangat penting untuk mengembangkan kemampuan mental yang produktif.

2.5 Kesulitan dalam Pembelajaran Afektif


Disamping aspek pembentukan kemampuan intelektual untuk membentuk kecerdasan peserta
didik dan pembentukan keterampilan untuk mengembangkan kompetensi agar peserta didik memiliki
kemampuan motorik, maka pembentukan sikap peserta didik merupakan aspek yang tidak kalah
pentingnya. Dalam proses pendidikan disekolah proses pembelajaran sikap kadang-kadang terabaikan.
Hal ini disebabkanoleh proses pembelajaran dan pembentukan akhlak memiliki beberapa kesulitan.
Pertama, Proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku cenderung diarahkan
untuk pembentukan intelektual. Sehingga keberhasilan proses pendidikan dan pembelajaran
ditentukan oleh kriteria kemampuan kognitif. Akibatnya upaya guru diarahkan kepada bagaimana
agar anak dapat mengetahui sejumlah pengetahuan sesuai dengan standard kurikulum. Hal ini dapat
dilihat dari berbagai macam bentuk evaluasi yang dilakukan baik evaluasi tingkat sekolah, tingkat
wilayah maupun tingkat nasional diarahkan kepada kemampuan anak dalam menguasai materi
pelajaran. contohnya pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan yang seharusnya diarahkan
kepada tingkat pembentukan moral dan sikap, tapi karena keberhasilannya diukur dari kemampuan
intelektual maka evaluasi pun lebih banyak mengukur kemampuan penguasaan materi pelajaran
dalam bentuk kognitif.
Kedua, sulitnya melakukan kontrol karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi
perkembangan sikap seseorang. Pengembangan kemampuan sikap baik melalui proses pembiasaan
maupun modeling bukan hanya ditentukan oleh faktor guru tetapi juga faktor lain, terutama faktor
lingkungan.
Ketiga, keberhasilan pembentukan sikap tidak dapat dievaluasi dengan segera. Berbeda
dengan pembentukan aspek kognitif dan aspek keterampilan yang hasilnya dapat diketahui setelah
proses pembelajaran berakhir. Sementara keberhasilan pembentukan sikap dapat dilihat dengan rentan
waktu yang cukup panjang karena sikap berhubungan dengan internalisasi nilai yang memerlukan
proses yang lama.
Keempat, pengaruh kemajuan tekhnologi, khususnya kemajuan tekhnologi informasi yang
menyuguhkan aneka pilihan program acara, berdampak pada pembentukan karakter anak. Tidak bisa
kita pungkiri, program televisi , misalnya yang banyak menanyangkan program acara produksi luar
yang memiliki latarbelakang budaya yang berbeda. Maka secara perlahan tapi pasti budaya asing yang
belum tentu cocok dengan budaya lokal merembes dalam setiap relung kehidupan, menggeser nilai-
nilai lokal sebagai nilai luhur yang mestinya ditumbuhkembangkan, sehingga pada akhirnya
membentuk norma baru yang mungkin tidak sesuai dengan nilai dan norma masyarakat yang berlaku.

2.6 Cara mengatasi Kesulitan dalam Pembelajaran Afektif


Cara Mengatasi Kesulitan Dalam Pembelajaran Afektif

Dalam mengatasi kesulitan-kesulitan pembelajaran afektif diatas terdapat beberapa cara yang
dapat diterapkan agar kesulitan-kesulitan tyersebut dapat diminimalisir dan bahkan diatasi dengan
baik. Cara-cara mengatasinya adalah :

Pertama, Pendidikan yang ada selama ini sesuai dengan kurikulum yang digunakan untuk
mengukur kemampuan intelektual anak dari pada kemampuan afektif, akan tetapi kemampuan dalam
bersikap pun tidak kalah penting harus dimiliki anak, untuk apa memiliki generasi muda yang pintar
akan tetapi perilakunya tidak mencerminkan orang yang memiliki intektual. Pendidikan agama dan
kewarganegaraan sampai saat ini merupakan pendidikan yang wajib diberikan pada anak didik, karena
dengan pendidikan agama dan moral dapat mengontrol perilaku anak agar tidak cepat terjerumus pada
perilaku yang buruk tetapi sangat popular, akibat kemajuan zaman dan teknologi. Kesadaran yang
harus dimiliki diri anak yang sangat baik ditanamkan sejak dini adalah sesuatu sikap yang sangat tepat
dalam memfilter perilaku anak, anak akan memahami cara berperilaku saat anak mampu membedakan
mana sikap yang baik dan mana sikap yang buruk bagi dirinya.

Kedua, Peran dari guru dan orang tua serta lingkungan sangat menentukan perilaku yang akan
dikeluarkan atau dicontoh oleh siswa. Guru mampu memberikan pembelajaran yang intelektual dan
juga memiliki nilai sikap yang baik, contohya saat guru mengajarkan bagaimananya caranya bersikap
pada pengemis, pemulung, orang tua, dan lain sebagainya. Guru pun dapat memberikan praktek
melalui contoh dalam kehidupan sehari-hari. Dalam lingkungan masyarakat orang tua yang harus
menjadi contoh bagi anaknya, tanamkan ilmu agama dan moral dari anak berusia dini, serta berikan
perhatian dan penjelasan yang ringan mengenai akhlaq manusia yang baik, dan kemukakan beberapa
contoh suri tauladan seperti akhlaq Nabi Muhammad SAW. Orang tua juga memberikan contoh
praktek bersikap yang baik didepan anak-anaknya, agar anak bangga dan mencontohnya.

Ketiga, Pembentukan sikap bukan untuk dinilai akan tetapi diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari, apabila pembentukan sikap yang dilakukan guru dan orang tua serta lingkungan
berpengaruh baik pada anak maka kehidupan anak akan terjamin aman dan jauh dari kekacauan.
Sebaliknya bila pembentukan sikap kurang optimal pada anak maka perilaku anak akan mudah
tergantikan dengan perilaku yang datang silih berganti, membuat perilaku anak sulit terkontrol dan
berakibat buruk bagi anak tersebut.

Keempat, Pengaruh kemajuan teknologi dapat diatasi dengan pengawasan yang baik dari
orang tua dan guru, berikan pengertian bahayanya kemajuan teknologi dengan menggunakan bahasa
yang komunikatif tanpa gaya yang memaksa ataupun nada kasar. Kedekatan orang tua dan anak
sangat banyak membantu dalam mengotrol sikap anak dalam menerima kemajuan teknologi yang ada,
berikan anak kebebasan yang bertanggung jawab, berikan kepercayaan terhadap anak bahwa anak
mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk bagi dirinya sendiri.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diperoleh dari makali ini adalah :
1. Strategi pembelajaran afektif adalah strategi yang bukan hanya bertujuan untuk mencapai
pendidikan kognitif saja, akan tetapi juga bertujuan untuk mencapai dimensi yang lainnya. Yaitu sikap
dan keterampilan afektif berhubungan dengan volume yang sulit diukur karena menyangkut kesadaran
seseorang yang tumbuh dari dalam, afeksi juga dapat muncul dalam kejadian behavioral yang di
akibatkan dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Kemampuan aspek afektif
berhubungan dengan minat dan sikap yang dapat berupa tanggung jawab, kerja sama, disiplin,
komitmen, percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang lain dan kemampuan mengendalikan diri.
Semua kemampuan ini harus menjadi bagian dari tujuan pembelajaran di sekolah, yang akan di capai
melalui kegiatan pembelajaran yang tepat.

2. Karakteristik strategi pembelajaran afektif, yaitu :


a. Sikap, merupakan suatu kecenderungan bertindak secara suka atau tidak suka terhadap suatu
objek. Berdasarkan nilai yang dianggap baik atau tidak baik. Dengan demikian belajar sikap berarti
memperoleh kecenderungan untuk menolak suatu objek.
b. Minat, menurut buku Bahasa Indonesia (1990:583) minat adalah kecenderungan hati yang tinggi
terhadap sesuatu. Hal penting pada minat adalah intensitasnya, secara umum minat termasuk
karakteristik afektif yang memiliki intensitas tinggi.
c. Konsep Diri, menurut Smith konsep diri merupakan evaluasi yang dilakukan individu terhadap
kemampuan dan kelemahan yang dimilikinya. Konsep diri ini penting untuk menentukan jenjang karir
peserta didik, yaitu dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dapat dipilih alternatif
karir yang tepat bagi peserta didik serta penting bagi sekolah untuk memberikan motivasi belajar
peserta didik dengan tepat.
d. Nilai, menurut Rokeach manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas, dan ide sehingga objek ini
menjadi pengatur penting minat, sikap dan kepuasan. Oleh karena itu satuan pendidikan harus
membantu peserta didik menemukan dan menguatkan nilai yang bermakna dan signifikan bagi peserta
didik untuk memperoleh kebahagiaan personal danj memberi kontribusi positif terhadap masyarakat.
e. Moral, Menurut kohlberg moral berkaitan dengan perasaan salah satu atau benar terhadap
kebahagiaan orang lain atau perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri sendir. Moral juga sering
dikaitkan dengan keyakinan agama seseorang yaitu akan perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi
moral berkaitan dengan prinsip, nilai, dan keyakinan seseorang.

3. Model-model Pembelajaran afektif adalah sbb :


1. Model Konsiderasi, dikembangkan oleh Mc, Paul yang menekankan bahwa model ini
merupakan strategi pembelajaran yg dapat membentuk kpribadian . Salah satu implementasinya yakni
mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang untuk menambah
wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
2. Model Pengembangan Kognitif oleh Lawrence KohlBerg, berpendapat bahwa
perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung secara
berangsur-angsur .
3. Teknik Mengklarifikasi Nilai dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk membantu
siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu
persoalan yang dianggap proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa.

4. Kelemahan Pembelajaran Afektif yaitu :


1. Proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku cenderung diarahkan untuk
pembentukan intelektual. Dengan demikian, keberhasilan proses pendidikan dan proses pembelajaran
di sekolah ditentukan oleh kriteria kemampuan intelektual (kemampuan kognitif).

2. Sulitnya melakukan kontrol karena banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi


perkembangan sikap seseorang. Pengembangan kemampuan sikap baik melalui proses pembiasaan
maupun modeling bukan hanya ditentukan oleh faktor guru, akan tetapi juga faktor-faktor lain
terutama faktor lingkungan..

3. Keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa dievaluasi dengan segera. Berbeda dengan
pembentukan aspek kognitif dan aspek keterampilan yang hasilnya dapat diketahui setelah proses
pembelajaran berakhir. Maka keberhasilan dari pembentukan sikap baru dapat dilihat pada rentang
waktu yang cukup panjang

4. Pengaruh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi yang menyuguhkan aneka


pilihan program acara, berdampak pada pembentukan karakter anak. Tidak bisa kita pungkiri,
program-program televisi misalnya : yang banyak menayangkan program acara produksi luar yang
memiliki latar belakang budaya yang berbeda, dan banyak ditonton oleh anak-anak, sangat
berpengaruh dalam pembentukan sikap dan mental anak.

5. Cara menanggulangi kelemahan pembelajaran afektif yakni :


1. Pendidikan yang ada selama ini sesuai dengan kurikulum yang digunakan untuk mengukur
kemampuan intelektual anak dari pada kemampuan afektif, akan tetapi kemampuan dalam bersikap
pun tidak kalah penting harus dimiliki anak, untuk apa memiliki generasi muda yang pintar akan
tetapi perilakunya tidak mencerminkan orang yang memiliki intektual. Pendidikan agama dan
kewarganegaraan sampai saat ini merupakan pendidikan yang wajib diberikan pada anak didik, karena
dengan pendidikan agama dan moral dapat mengontrol perilaku anak agar tidak cepat terjerumus pada
perilaku yang buruk tetapi sangat popular, akibat kemajuan zaman dan teknologi. Kesadaran yang
harus dimiliki diri anak yang sangat baik ditanamkan sejak dini adalah sesuatu sikap yang sangat tepat
dalam memfilter perilaku anak, anak akan memahami cara berperilaku saat anak mampu membedakan
mana sikap yang baik dan mana sikap yang buruk bagi dirinya.
2. Peran dari guru dan orang tua serta lingkungan sangat menentukan perilaku yang akan
dikeluarkan atau dicontoh oleh siswa. Guru mampu memberikan pembelajaran yang intelektual dan
juga memiliki nilai sikap yang baik, contohya saat guru mengajarkan bagaimananya caranya bersikap
pada pengemis, pemulung, orang tua, dan lain sebagainya. Guru pun dapat memberikan praktek
melalui contoh dalam kehidupan sehari-hari. Dalam lingkungan masyarakat orang tua yang harus
menjadi contoh bagi anaknya, tanamkan ilmu agama dan moral dari anak berusia dini, serta berikan
perhatian dan penjelasan yang ringan mengenai akhlaq manusia yang baik, dan kemukakan beberapa
contoh suri tauladan seperti akhlaq Nabi Muhammad SAW. Orang tua juga memberikan contoh
praktek bersikap yang baik didepan anak-anaknya, agar anak bangga dan mencontohnya.

3. Pembentukan sikap bukan untuk dinilai akan tetapi diterapkan dalam kehidupan sehari-
hari, apabila pembentukan sikap yang dilakukan guru dan orang tua serta lingkungan berpengaruh
baik pada anak maka kehidupan anak akan terjamin aman dan jauh dari kekacauan. Sebaliknya bila
pembentukan sikap kurang optimal pada anak maka perilaku anak akan mudah tergantikan dengan
perilaku yang datang silih berganti, membuat perilaku anak sulit terkontrol dan berakibat buruk bagi
anak tersebut.

4. Pengaruh kemajuan teknologi dapat diatasi dengan pengawasan yang baik dari orang tua
dan guru, berikan pengertian bahayanya kemajuan teknologi dengan menggunakan bahasa yang
komunikatif tanpa gaya yang memaksa ataupun nada kasar. Kedekatan orang tua dan anak sangat
banyak membantu dalam mengotrol sikap anak dalam menerima kemajuan teknologi yang ada,
berikan anak kebebasan yang bertanggung jawab, berikan kepercayaan terhadap anak bahwa anak
mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk bagi dirinya sendiri.

3.2 Saran

Adapun saran dari kami adalah :

1. Setiap strategi pembelajaran pasti memiliki keungulan dan kelemahan, oleh karena itu kita sebagai
calon guru harus mampu memilih dan menggunakan strategi pembelajaran yang tepat dalam kegiatan
pembelajaran.

2. Kita sebagai calon guru diharapkan mampu memberikan pembelajaran afektif yang dapar
menumbuhkan integritas peserta didik kearah yang lebih baik. Agar peserta didik yang terbentuk tidak
hanya memiliki inteligensi yang tinggi namun juga berkepribadian yang baik.

Anda mungkin juga menyukai