Makalah Agama Islam
Makalah Agama Islam
Dosen Pengampu :
ABDILLAH, M.PDi
Disusun Oleh :
Biasari Wardany 212210045
Riska Ananda 212210055
KELAS A PAGI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDKAN
INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PGRI PONTIANAK
TAHUN 2023
Jl. Ampera No.88, Sungai Jawi,Kec. Pontianak Kota, Kota Pontianak,
Kalimantan Barat 78116
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ungkapkan kepada Allah swt atas segala rahmat dan
hidayah yang telah dilimpahkan-Nya kepada kita, sehingga makalah ini dapat
kami selesaikan dengan baik yang membahas konsep syariah dan akhlak.
Selanjutnya, salawat dan salam kami sanjungkan kepada rassulullah saw dan para
sahabat beliau yang telah membawa umat manusia dari alam kebodohan ke alam
penuh ilmu pengetahuan. Kami berterima kasih kepada dosen pengampu
Abdillah, M, Pdi selaku dosen mata kuliah pendidikan agama islam yang telah
memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita tentang syariah dan akhlak. Semoga makalah
sederhana ini dapat berguna bagi siapapun yang membacanya. Kami
mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam merupakan ajaran yang sempurna, lengkap dan universal yang terangkum
dalam salah satunya yaitu Syariah dan Akhlak. Syariah dan akhlak pada dasarnya
merupakan satu kesatuan dalam ajaran islam. Unsur tersebut dapat dibedakan
tetapi tidak bisa dipisahkan, karena ketiga unsur tersebut merupakan pondasi atau
kerangka dasar dari Agama Islam.
Ajaran Agama Islam yang seharusnya bersumber pada Al-Qur’an dan as Sunnah
telah banyak yang melenceng. Hal itu dapat dilihat dengan banyaknya
bermunculan aliran-aliran sesat atau yang sifatnya bid’ah. Selain itu, kasus-kasus
kriminalitas yang semakin merajalela pada saat sekarang ini merupakan suatu
cerminan keruntuhan akhlak pada umat Islam saat ini. Untuk itulah, kita selaku
umat Rasulullah SAW perlu mengetahui serta mempelajari tentang Ilmu yang
membahas ketiga unsur yang menjadi kerangka dasar ajaran agama Islam tersebut
agar kita tidak tersesat dan tetap berada di jalan yang benar.
Oleh sebab itu, dalam makalah kali ini kami membahas tentang unsur tersebut
yaitu Syari’ah, dan Akhlaq. Dengan mempelajari dan mengambil esensi dari unsur
ini, semoga Allah memberikan kita petunjuk agar selamat di dunia dan di akhirat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Syariah
A. Pengertian Syariah
Syari’ah Secara etimologis, syariah berarti jalan ke sumber air atau jalan yang
harus diikuti, yakni jalan kearah sumber pokok bagi kehidupan. Orang-orang Arab
menerapkan istilah ini khususnya pada jalan setapak menuju palung air yang tetap
dan diberi tanda yang jelas terlihat mata (Ahmad Hasan, 1984: 7).
Adapun secara terminologis syariah berarti semua peraturan agama yang
ditetapkan oleh Allah untuk kaum Muslim baik yang ditetapkan dengan alQuran
maupun Sunnah Rasul (Muhammad Yusuf Musa, 1988: 131).
Mahmud Syaltut mendefinisikan syariah sebagai aturan-aturan yang
disyariatkan oleh Allah atau disayariatkan pokok-pokoknya agar manusia itu
sendiri menggunakannya dalam berhubungan dengan Tuhannya, dengan
saudaranya sesama Muslim, dengan saudaranya sesama manusia, dan alam
semesta, serta dengan kehidupan (Syaltut, 1966: 12).
Syaltut menambahkan bahwa syariah merupakan cabang dari aqidah yang
merupakan pokoknya. Keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat yang
tidak dapat dipisahkan. Aqidah merupakan fondasi yang dapat membentengi
syariah, sementara syariahmerupakan perwujudan dari fungsi kalbu dalam
beraqidah (Syaltut, 1966: 13).
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kajian syariah tertumpu pada
masalah aturan Allah dan Rasul-Nya atau masalah hukum. Aturan atau hukum ini
mengatur manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya (hablun minallah) dan
dalam berhubungan dengan sesamanya (hablun minannas).
Kedua hubungan manusia inilah yang merupakan ruang lingkup dari syariah
Islam. Hubungan yang pertama itu kemudian disebut dengan ibadah, dan
hubungan yang kedua disebut muamalah. Ibadah mengatur bagaimana manusia
bisa berhubungan dengan Allah. Dalam arti yang khusus (ibadah mahdlah),
ibadah terwujud dalam rukun Islam yang lima, yaitu mengucapkan dua kalimah
syahadah (persaksian), mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan
Ramadhan, dan pergi haji bagi yang mampu. Sedang muamalah bisa dilakukan
dalam berbagai bentuk aktivitas manusia dalam berhubungan dengan sesamanya.
Bentuk-bentuk hubungan itu bisa berupa hubungan perkawinan(munakahat),
pembagian warisan (mawaris), ekonomi (muamalah), pidana (jinayah),politik
(khilafah), hubungan internasional (siyar), dan peradilan (murafa‟at). Dengan
demikian, jelaslah bahwa kajian syariah lebih tertumpu pada pengamalan konsep
dasar Islamyang termuat dalam aqidah. Pengamalan inilah yang dalam al-Quran
disebut dengan al-a‟mal al-shalihah (amal-amal shalih). Untuk lebih
memperdalam kajian syariah ini para ulama mengembangkan suatu ilmu yang
kemudian dikenal dengan ilmu fikih atau fikih Islam. Ilmu fikih ini mengkaji
konsep-konsep syariah yang termuat dalam al-Quran dan Sunnah dengan melalui
ijtihad.
Dengan ijtihad inilah syariah dikembangkan lebih rinci dan disesuaikan dengan
perkembangan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat manusia. Sebagaimana
dalam kajian aqidah, kajian ilmu fikih ini juga menimbulkan berbagai perbedaan
yang kemudian dikenal dengan mazhab-mazhab fikih. Jika aqidah merupakan
konsep kajian terhadap iman, maka syariah merupakan konsep kajian terhadap
islam. Islam yang dimaksud di sini adalah islam sebagaimana yang dijelaskan
dalam hadis Nabi Shalallahu „Alaihi Wassalam, yang diriwayatkan oleh Umat Ibn
Khaththab sebagaimana yang diungkap di atas.
Secara umum syariah terbagi menjadi dua hal yaitu ibadah khusus atau ibadah
mahdlah, dan ibadah dalam arti umum atau muamalah. Ibadah khusus atau ibadah
mahdlah adalah ibadah yang telah dicontohkan secara langsung oleh Nabi
Muhammad Shalallahu „Alaihi Wassalam, seperti shalat, puasa, dan haji. Maka
dari itu umat muslim harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah
diperintahkan Allah dan diajarkan oleh Nabi Muhammad tanpa boleh melakukan
perubahan-perubahan terhadap ketentuan tersebut. Hal-hal di luar ketentuan
tersebut tidak sah atau batal dan lebih dikenal dengan istilah bid‟ah. Sedangkan
Ibadah umum atau muamalah adalah ibadah yang pelaksanaannya tidak
seluruhnya dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu „Alaihi Wassalam,
namun hanya berupa prinsipprinsip dasar dan pengembangannya diserahkan pada
kemampuan dan daya jangkau pikiran umat Islam sendiri. Contoh dari muamalah
misalnya, aturan-aturan keperdataan seperti hal-hal yang menyangkut
perdagangan, ekonomi, perbankan, pernikahan, hutang piutang, atau pun juga
aturan-aturan dalam bidang pidana dan tata negara.
C. Sumber-Sumber Syariah
a) Sumber Pertama Al-Quran
Menurut bahasa, Quran berarti bacaan (dari kata qaraa = membaca). Al–Quran
adalah kumpulan wahyu Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
Saw melalui perantaraan Jibril dan menjadi pedoman bagi manusia. Sebagai
risalah Nabi Muhammad Saw, Al-Quran merupakan mu’jizat dan berfungsi
mematahkan argumentasi orang yang menentang kerasulan Muhammad serta
membuktikan kebenaran ajaran Islam.
Al-Quran sebagai sumber nilai dan norma umat Islam terdiri dari 30 juz
(bagian), 114 surat (bab) lebih dari 6.000 ayat (terdapat perbedaan pendapat
tentang jumlah ayat). Dilihat dari tempat turunnya Al-quran ini terdiri dari dua
tempat yaitu; turun di Mekah yang dikenal dengan surat-surat Makkiyah,
umumnya surat-suratnya pendek dan isinya menyangkut prinsip-prinsip keimanan
dan akhlak. Kemudian yang turun di Madinah dikenal dengan surat Madaniyah,
umumnya suratsuratnya panjang, isinya menyangkut syariah. Cara turunnya
AlQuran secara berangsur-angsur dan lamanya selama 22 tahun, 2 bulan 22 hari.
Al-Quran adalah kitab Allah, karena itu tidak seorang pun manusia atau
kalangan jin yang bisa mampu membuat serupa dengan Al-Quran tersebut.
Firman Allah QS. Al Isra ayat 88
ُق ْل َّلِٕىِن اْج َتَم َعِت اِاْل ْنُس َو اْلِج ُّن َع ٰٓلى َاْن َّي ْأُتْو ا ِبِم ْث ِل ٰه َذ ا اْلُق ْر ٰا ِن اَل َي ْأُتْو َن ِبِم ْثِل ٖه َو َل ْو َك اَن
َبْعُض ُهْم ِلَبْع ٍض َظِهْيًرا
Artinya : ”Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk
membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat
yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi
sebagian yang lain"
Dalam ayat lain Allah berfirman sebagai berikut :
َاْم َيُقْو ُلْو َن اْفَتٰر ىُه ۗ ُقْل َفْأُتْو ا ِبُسْو َر ٍة ِّم ْثِلٖه َو اْدُع ْو ا َمِن اْسَتَطْع ُتْم ِّم ْن ُد ْو ِن ِهّٰللا ِاْن ُكْنُتْم ٰص ِدِقْيَن
Artinya : ”Atau (patutkah) mereka mengatakan : "Muhammad
membuatbuatnya." Katakanlah: "(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka
cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapasiapa yang
dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang
yang benar" (Q.S. Yunus, 10 : 38).
Dalam hubungannya dengan kitab-kitab Allah Swt. yang turun sebelumnya,
Al-Quran mengoreksi dan menyempurnakan kitab-kitab tersebut. Sejak turunnya
hingga perkembangan kehidupan manusia sekarang ini, Al-Quran tidak pernah
mengalami perubahan, dan penambahan baik surat-surat maupun ayat-ayatnya,
kemurniannya tetap terpelihara oleh Allah sendiri. Firman Allah sebagai berikut :
ُس َّنَة ِهّٰللا ِفى اَّلِذ ْيَن َخ َلْو ا ِم ْن َقْبُل َۚو َلْن َتِج َد ِلُس َّنِة ِهّٰللا َتْبِد ْياًل
Artinya : ”Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah
terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan
pada sunnah Allah” (Q.S. Al-Ahzab, 33 : 62).
ُس َّنَة َم ْن َقْد َاْر َس ْلَنا َقْبَلَك ِم ْن ُّر ُس ِلَنا َو اَل َتِج ُد ِلُس َّنِتَنا َتْح ِو ْياًل
Artinya : ”(Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap
rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati
perubahan bagi ketetapan Kami itu” (Q.S. Al-Isra’ 17 : 77)
Dalam perkembangannya sunnah menjadi satu istilah yang dipergunakan oleh
para ulama, yakni : ”Segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi saw berupa
perkataan, perbuatan, dan penetapan”. Dengan pengertian ini, maka kedudukan
Sunnah dalam syariat Islam merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Quran
sumber pertama dan utama.
Bertalian dengan kedudukan sunnah yang seperti itu, maka para ulama telah
melakukan kajian-kajian secara khusus dan meneliti berbagai permasalahan yang
bertalian dengan sunnah, baik yang bertalian dengan kedudukannya sebagai dalil
maupun pembagian-pembagiannya, dapat atau tidak dapat diterima, sah dan
lemahnya, hukum-hukum yang dapat ditetapkan dengannya dan yang tidak, dan
bertalian dengan kedudukannya dalam Al-Quran, serta ada atau tidaknya
pengaruh sunnah terhadap Al-Quran, dan berbagai kajian lain yang telah mereka
lakukan.
Apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasrkan kepada pertimbangan
rasio, sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Sumber hukum yang kedua ini lebih banyak berfungsi
untuk menjelaskan atau menafsirkan ayat-ayat AlQuran, di samping dapat juga
berfungsi untuk menetapkan hukum-hukum tertentu yang tidak dibahas oleh Al-
Quranul Karim.
Para ahli umumnya menyamakan istilah sunnah dengan istilah hadits. Meski
demikian, namun ada sebagian ahli hadits mengatakan bahwa istilah hadits
dipergunakan khusus untuk sunnah qauliayah (perkataan nabi), sedangkan sunnah
fi’liyah (perbuatan) dan sunnah taqririyah yang tidak disebut hadits tetapi sunnah
saja. Dari istilah ini tampak bahwa sunnah ternyata ada tiga bagian, yakni :
(1) sunnah qauliyah,
(2) sunnah fi’liyah, dan
(3) sunnah taqririyah.
Yang tergolong sunnah qauliyah ini itulah yang dikenal dengan sebutan hadits.
Perbedaan antara sunnah dengan hadits adalah; sunnah lebih umum dan luas,
meliputi perkataan, perbuatan dan sikap diam Rasulullah tanda setuju, dibanding
dengan hadits yang terbatas pada perkataan (qauliyah).
Walaupun Al-Hadits terbatas pada perkataan nabi (qauliyah), namun memiliki
peranan yang tinggi yakni :, Pertama, menegaskan lebih lanjut ketentuan yang
terdapat dalam AlQuran, misalnya mengenai sholat. Di dalam Al-Quran hanya
disebutkan dirikanlah sholat, tetapi tidak dirinci bagaimana tata cara
pelaksanaannya sholat itu, hal ini tidak dirinci secara sempurna. Karena itu
Rasulullah menjelaskannya baik lewat hadits beliau maupun sunnah-sunnah
lainnya. Kedua, sebagai penjelasan isi terhadap Al-Quran. Ketiga, menambahkan
atau mengembangkan sesuatu yang tidak ada atau samar-samar ketentuannya di
dalam Al-Quran.
Selain sunnah dan hadits tersebut, ada pula yang dikenal dengan hadit Qudsi,
yakni ucapan Allah yang redaksi kalimatnya disusun oleh nabi sendiri dan tidak
menjadi bagian dari Al-Quran. Isi Hadits Qudsi kebanyakan tentang hubungan
langsung antara manusia dengan seperti tersirat dalam sebuah Hadits Qudsi yang
terkenal sering diucapkan berulang-ulang oleh para sufi seperti :
”Hamba-Ku tidak pernah berhenti mendekatkan dirinya kepada-Ku melalui
pengabdian yang bebas sampai Kucintai dia. Dan, apabila telah Kucintai dia,
maka Akulah pendengaran yang dengannya ia mendengar, mata yang dengannya
ia melihat, tangan dengan apa ia berjuang, dan kaki yang dengannya ia berjalan”
(Hadis Qudsi).
Hadits Qudsi merupakan pernyataan-pernyataan Allah yang berhubungan
dengan masalah spritual manusia, katakatanya disusun dengan indah pula oleh
nabi. Sebagai pernyataan, Hadits Qudsi menunjukkan betapa dalamnya akar
spritualitas Islam tertanam dalam sumber petunjuk Allah. Para Sufisme banyak
mengadakan kajian-kajian Hadits Qudsi untuk mendorong spritual mereka lebih
mendekatkan diri kepada Allah.
C. Jenis-Jenis Akhlak
Ruang lingkup akhlak sangat luas.
Menurut Muhammad Abdullah Daras ada 5 bagian ruang lingkup diantaranya:
1. Akhlak Pribadi (Al-Ahklak Al-Fardiyah)
Akhlak pribadi terdiri dari:
b. Ahklak yang diperintahkan
c. Akhlak yang dilarang
d. Akhlak yang dibolehkan
e. Akhlak dalam keadaan darurat
2. Akhlak Berkeluarga (Al-Akhlak Al-Usrawiyah)
Akhlak berkeluarga terdiri dari:
a. Kewajiban timbal balik orang tua dan anak
b. Kewajiban suami istri
c. Kewajiban terhadap karib kerabat
3. Akhlak Bermasyarakat (Al-Akhlaq Al Ijtima‟iyah)
Akhlak Bermasyarakat terdiri dari:
a. Akhlak yang dilarang
b. Aklhak ytang diperintahkan
c. Kaedah-kaedah adab
5. Akhlak Beragama
Akhlak beragama yaitu kewaiban terhadap Allah Subhanahu Wa Ta‟ala.
Menurut Yuniar Ilyas, ruang lingkup akhlak dibagi menjadi 6 bagian diantaranya:
a. Akhlak terhadap Allah Subhanahu Wa Ta‟ala.
b. Akhlak terhadap Rasulullah
c. Akhlak terhadap diri sendiri
d. Akhlak dalam keluarga
e. Akhlak dalam bermasyarakat
D. Karakteristik Akhlak
a. Al- Akhlaq al-rabbaniyah. Yang dimaksud dengan akhlak rabbani ialah akhlak
yang bersumber kepada wahyu Allah dan al-Sunnah.
ٰاْل ٰل
َلْي َس اْلِبَّر َاْن ُتَو ُّلْو ا ُو ُجْو َه ُك ْم ِقَبَل اْلَم ْش ِر ِق َو اْلَم ْغ ِر ِب َو ِكَّن اْلِبَّر َم ْن ٰا َمَن ِباِهّٰلل َو اْلَي ْو ِم ا ِخ ِر
ٰۤل
َو اْلَم ِٕىَك ِة َو اْلِك ٰت ِب َو الَّن ِبّٖي َن ۚ َو ٰا َت ى اْلَم اَل َع ٰل ى ُحِّبٖه َذ ِو ى اْل ُقْر ٰب ى َو اْلَي ٰت ٰم ى َو اْلَم ٰس ِكْي َن َو اْب َن الَّس ِبْي ِۙل
َو الَّس ۤا ِٕىِلْي َن َو فِى الِّر َق اِۚب َو َاَق اَم الَّص ٰل وَة َو ٰا َت ى الَّز ٰك وَة ۚ َو اْلُمْو ُفْو َن ِبَع ْهِدِه ْم ِاَذ ا َع اَه ُد ْو ا ۚ َو الّٰص ِبِر ْي َن
ٰۤل ٰۤل
ِفى اْلَب ْأَس ۤا ِء َو الَّضَّر ۤا ِء َو ِحْي َن اْلَب ْأِۗس ُاو ِٕىَك اَّلِذْي َن َص َد ُقْو ا َۗو ُاو ِٕىَك ُه ُم اْلُم َّت ُقْو َن
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan,
akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari
Kemudian, malaikat-malaikat, kitabkitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir
(yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang memintaminta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang
sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-
orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orangorang yang bertakwa.
ٰا
َو ِم ْنُهْم َّم ْن َّيُقْو ُل َر َّبَنٓا ِتَنا ِفى الُّد ْنَيا َحَس َنًة َّو ِفى اٰاْل ِخ َر ِة َحَس َنًة َّو ِقَنا َع َذ اَب الَّناِر
Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, Maka berdzikirlah dengan
menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan)
nenek moyangmu[126], atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di
antara manusia ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami
(kebaikan) di dunia", dan Tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di
akhirat.