PEMIDANAAN DAN PIDANA KELOMPOK 6 HUKUM PIDANA (2) (1) Salinan Salinan
PEMIDANAAN DAN PIDANA KELOMPOK 6 HUKUM PIDANA (2) (1) Salinan Salinan
Disusun Oleh:
2023/2024
Pendahuluan
Pemidanaan merupakan salah satu aspek hukum pidana yang seringkali menjadi
bahan perbincangan di masyarakat. Ada kalanya pemidanaan itu dirasakan sangat ringan
atau sangat berat jika dibandingkan dengan perbuatan pelaku. Padahal dalam penjatuhan
pidana, banyak hal yang turut dipertimbangkan, baik dari aspek yuridis maupun
sosiologis. Terlebih lagi jika yang melakukan tindak pidana itu adalah seorang yang masih
dikategorikan anak oleh undang-undang.
Manusia yang telah diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk sosial, dalam
kehidupannya sehari-hari, ia tidak akan mampu mandiri tanpa kehadiran orang lain.
Kehidupan semacam ini kemudian dikenal dengan istilah hidup bermasyarakat. 3 Dalam
1
1 C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet ke-8, Balai Pustaka, Jakarta, 2008, Hlm
346.
2
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Cet.ke-2, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, Hlm. 33.
3
Marpaung Leden, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Hlm.11
hidup bermasyarakat, seseorang dengan secara sadar atau tidak melakukan hubungan satu
sama lain, sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing.
Karena dalam kehidupan ini, kepentingan seseorang dengan lainnya tidak mesti
sama. Dengan adanya benturan semacam itulah timbul juga kejahatan-kejahatan, tindak
pidana pencurian yang dilakukan anak yang dampaknya tidak hanya merugikan diri
sendiri atau pelaku tapi juga orang lain dan masyarakat luas.
4
Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung, 2007, Hlm. 13.
berbentuk perlawanan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan
melakukan gerakan-gerakan kekacauan dan mengganggu ketentraman umum.
Pembahasan
A. Metode Penelitian
5
Barda Nawawi Arief, Sistem Pemidanaan Dalam Konsep RUNDANG-UNDANG KUHP, Bahan
Sosialisasi RUNDANG-UNDANG KUHP 2004, diselenggarakan oleh Departemen Hukum dan HAM,
tgl. 23-24 Maret 2005, di Hotel Sahid Jakarta.
KUHP maupun dalam undang-undang khusus di luar KUHP, baik yang mengatur hukum
pidana khusus maupun yang mengatur hukum pidana umum.
Tujuan pemidanaan ada kaitannya dengan hakekat dari pemidanaan, bahwa “hukum
pidana merupakan sistem sanksi yang negatif. Ia diterapkan jika sarana (upaya) lain
sudah tidak medai, maka hukum pidana dikatakan mempunyai fungsi yang subsidiair.
Menurut Sahardjo rumusan dari tujuan pidana penjara, disamping menimbulkan rasa
derita pada terpidana karena hilangnya kemerdekaan bergerak, membimbing
terpidana agar bertaubat, mendidik supaya ia menjadi anggota masyarakat sosial
Indonesia yang berguna.
Selanjutnya dikatakan, bahwa dengan perkataan lain, tujuan pidana penjara adalah
pemasyarakatan. Dasar untuk pembinaan para terhukum ialah yang lazim disebut
treatment philosophy atau behandelingsfilosofie. Istilah pemasyarakatan dapat disamakan
dengan resosialisasi dan atau rehabilitas.
Perihal tujuan pemidanaan Muladi membagi teori-teori tentang tujuan pemidanaan
menjadi 3 kelompok yakni:
Dalam menjatuhkan sesuatu pidana itu, orang yang terikat untuk hanya menjatuhkan
jenis-jenis pidana pokok atau pidana tambahan seperti yang ditentukan di dalam Pasal 10
KUHP. Mahkamah Agung dalam putusannya Nomor 59 K./Kr/1969, secara tegas telah
mengemukakan pendiriannya, bahwa “perbuatan menambah-nambah jenis-jenis pidana
yang telah ditentukan dalam Pasal 10 KUHP dengan lain-lain jenis pidana adalah
terlarang”.25 Adapun isi dari Pasal 10 KUHP adalah sebagai berikut:
1. Pidana pokok:
a) pidana mati,
b) pidana penjara,
c) pidana kurungan,
d) pidana denda
2. pidana tambahan
Hukuman yang dimaksud adalah “suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan
oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum
pidana”. Satochid Kartanegara dikutip dari Hamzah dan Siti Rahayu mengemukakan
alasan mengapa pembuat/pelaku strafbaar feit diancam hukuman oleh Undang-undang,
yaitu dengan alasan sebagai berikut:
1. Pidana Mati. Adalah pidana yang terberat yang objeknya adalah nyawa seseorang.
Orang yang dijatuhi pidana mati tidak boleh dieksekusi sebelum ada fiat eksekusi dari
presiden. Fiat eksekusi ini diberikan melalui grasi baik diminta atau tidak diminta
terpidana atau kuasa hukumnya. Pengertian pemberian grasi dalam hal ini dapat diterima
atau ditolak, artinya jika grasi diterima eksekusi tidak perlu dilakukan, tetapi jika ditolak
eksekusi harus dilaksanakan. 2. Pidana Penjara. Adalah pidana perampasan kemerdekaan
terpidana dan merupakan pidana yang paling efektif untuk mencapai tujuan pemidanaan.
Pidana penjara ini efektif karena waktunya relatif agak lama karena berkisar dari satu
sampai lima belas tahun dan dapat dinaikan menjadi dua puluh tahun apabila ada
pemberatan. Selain pidana penjara seumur hidup yaitu selama hidup terpidana harus
meringkuk dalam penjara atau dua puluh lima tahun penjara.
3. Pidana Kurungan. Adalah pidana perampasan kemerdekaan yang lebih ringan dari
pidana penjara karena berkisar dari satu hari sampai satu tahun dan dapat dinaikan
menjadi satu tahun empat bulan jika ada pemberantasan pidana. Pelaksanaan dari putusan
pidana kurungan ini apabila putusan hakim telah memiliki kekuatan hukum tetap, yaitu
tidak ada lagi upaya hukum dari terpidana seperti banding atau kasasi.
4. Pidana Denda. Adalah pidana untuk membayar sejumlah uang sebagaimana yang telah
diputuskan hakim karena melakukan perbuatan pidana. Pidana denda ini hakekatnya
untuk mengurangi harta kekayaan seseorang secara paksa. Jika denda yang dijatuhkan
hakim tidak dibayarnya, maka terpidana dapat dijatuhi kurungan sebagai pengganti tidak boleh
lebih dari dari delapan bulan.
5. Pidana Tutupan. Pidana tutupan ini terdapat dalam pasal 10 KUHP melalui Undang-
undang Nomor 20 Tahun 1946, yang lebih lanjutnya tertuang dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 8 Tahun 1948 tentang Rumah Tutupan.
6. Pidana Tambahan.
3) Pengumuman Putusan Hakim Setiap putusan hakim, memang harus diucapkan dalam
persidangan yang terbuka untuk umum (Pasal 195 KUHP), yang mana bila tidak maka
putusan hakim itu batal demi hukum. Pidana putusan hakim ini hanya dapat dijatuhakan
dalam hal-hal yang telah ditentukan oleh KUHP, misalnya Pasal 128, 206, 361, 377, 395,
dan 405.
Ditinjau dari tiga sisi masalah dasar dalam hukum pidana, yaitu pidana, perbuatan pidana,
dan pertanggung jawaban pidana, muatan hukum pidana dalam KUHP yang perlu
mendapat perhatian adalah mengenai:
a. Pidana atau pemidanaan: KUHP tidak secara eksplisit menetapkan tujuan dan pedoman
pemidanaan, sehingga penjatuhan hukuman sering kali tergantung pada penafsiran
individu oleh apparat penegak hukum dan hakim. Ini dapat menghasilkan penegakan
hukum yang tidak konsisten. Selain itu, KUHP juga kurang fleksibe dalam
memungkinkan modifikasi hukuma berdasarkan perubahan dala keadaan pelaku.
b. Perbuatan pidana: KUHP mengikuti pendekatan positivis yang mengharuskan
perbuatan pidana diatur dalam undang-undang. Hal ini dapat membuat KUHP menjadi
ketinggalan zaman dalam merespons perubahan nilai-nilai masyarakat. Oleh karena itu,
KUHP sebagai hukum tertulis selalu lamban dalam merespon perkembangan hukum yang
terjadi dalam masyarakat, keadaan ini kemudian melahirkan ide untuk membentuk
hukum pidana baru di luar KUHP. Namun dalam perumusan norma hukum pidana di luar
KUHP tersebut cenderung melepaskan diri ikatannya dari KUHP, terutama Buku I KUHP,
yang kemudian melahirkan sistem norma sendiri yang memiliki nilai dan asas-asas
hukum pidana yang lepas dari ketentuan umum hukum pidana Buku I KUHP, bahkan
dalam kaitannya dengan Buku II dan Buku II KUHP acap kali terjadi duplikasi atau
pengulangan pengaturan dan sebagian di antaranya ada yang triplikasi pengaturan, yakni
pengaturan norma yang sama diatur dalam tiga peraturan yang berbeda dengan disertai
dengan ancaman sanksi pidana yang berbeda.
c. Pertanggungjawaban pidana: Beberapa masalah yang muncul dalam aspek
pertanggungjawaban pidana antara lain mengenai asas kesalahan (culpabilitas) yang
tidak dicantumka secara tegas dalam KUHP, namun hanya disebutkan dalam Memorie
van Toelichting (Mvt) sebagai penjelasan WvS. Asas culpabilitas merupakan
penyeimbang dari asas legalitas yang dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (1) yang berarti
bahwa seseorang dapat dipidana karena secara objektif memang telah melakukan tindak
pidana (memenuhi rumusan asa legalitas dan secara subjektif terdapat unsur kesalahan
dalam diri pelaku (memenuhi rumusan asas culpabilitas) 6.
Dan juga tidak mengatur mengenai subjek hukum korporasi dan pertanggungjawaban
korporasi yang menyebabkan terjadinya penafsiran yang tidak sama dengan mengenai
siapa yang bertanggungjawab apabila ditengarai terjadinya pelanggaran hukum yang
melibatkan korporasi.
Menurut KUHP ketentuan pengancaman pidana dideskripsikan sebagai berikut.
Jenis-jenis pidana:
Pidana mati:
- Pidana mati sebagai pidana pokok yang terberat yang diancamkan kepada
tindak pidana yang sangat berat selalu disertai dengan alternatif pidana sumur
hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun.
- Menurut UNDANG-UNDANG No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan
Peradilan Umum dan Militer dilaksanakan dengan cara tembak mati
Pidana penjara:
6
Ahmad Bahiej, Sejarah dan Problematika Hukum Pidana Materiel di IndonesiaAhmad Bahiej, Sejarah
dan Problematika Hukum Pidana Materiel di Indonesia
- Lamanya dapat seumur hidup atau selama waktu tertentu (Minimal umum 1 hari,
maksimal umum 15 tahun).
- Boleh 20 tahun berturut-turut, jika:
1. Ada alternatif pidana mati, penjara seumur hidup, atau penjara selama waktu
tertentu,
2. ada pembarengan, pengulangan, atau kejahatan yang dilakukan oleh pejabat
(Pasal 52)
- Tidak boleh melebihi 20 tahun.
- Dapat ditambah pidana tambahan.
- Masa percobaan Pasal 492, 504, 505, 506, dan 536 paling lama 3 tahun dan
pelanggaran lainnya 2 tahun.
- Masa percobaan dimulai saat keputusan hakim berkekuatan hukum tetap.
Pidana kurungan:
- Lamanya minimal umum 1 hari maksimal umum 1 tahun.
- Jika ada pembarengan, pengulangan, atau dilakukan oleh pejabat maka maksimal
1 tahun 4 bulan.
Pidana denda:
- Minimal umum Rp 3,75
- Jika tidak dibayar diganti kurungan pengganti.
- Kurungan pengganti minimal 1 hari maksimal 6 bulan. Tapi jika ada perbarengan,
pengurangan, atau dilakukan pejabat maka maksimal 8 bulan.
7
DR. Mudzakkir, S.H.M.H. 2008. Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Pidana dan Sistem
Pemidanaan (Politik Hukum dan Pemidanaan). Hlm 18.
8
DR. Mudzakkir, S.H.M.H. 2008. Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Pidana dan Sistem
Pemidanaan (Politik Hukum dan Pemidanaan). Hlm 18.
Selain itu, berbagai undang-undang juga menggunakan istilah "pidana" sebelum
"denda," sementara yang lain hanya menggunakan "denda" tanpa kata "pidana"
sebelumnya. Sebagai contoh, Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia menggunakan istilah "pidana denda" dalam Pasal 16, sedangkan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 dan undang-undang lainnya hanya menggunakan
"denda" tanpa kata "pidana."9
Selain itu, ketika menentukan jumlah minimum dan maksimum yang dapat dijatuhkan
sebagai hukuman bagi pelanggaran tertentu, undang-undang juga dapat menggunakan
nomenklatur yang berbeda-beda, yang menghasilkan variasi dalam terminologi hukuman
antara satu undang-undang dengan yang lainnya.
Undang-undang seringkali menggunakan istilah yang berbeda-beda untuk merujuk pada
hukuman atau sanksi yang diberikan kepada pelanggar hukum. Berikut beberapa contoh
Sistilah yang digunakan dalam undang-undang:
1. Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia: Menggunakan istilah
"paling lama" untuk pidana penjara dan "paling sedikit" serta "paling banyak"
untuk denda.10
2. Undang-Undang 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan:
Menggunakan istilah "paling singkat" untuk pidana penjara.11
3. Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 Tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai
Tukar: Menggunakan istilah "sekurang-kurangnya" untuk pidana denda
minimum dan "paling banyak" untuk pidana denda maksimum12.
4. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat: Menggunakan istilah "serendah-rendahnya" dan
"setinggi-tingginya" untuk menunjukkan pidana denda minimum dan
maksimumnya13.
9
DR. Mudzakkir, S.H.M.H. 2008. Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Pidana dan Sistem
Pemidanaan (Politik Hukum dan Pemidanaan). Hlm 18.
10
Undang-Undang N0. 42 thn 1999. Tentang Jaminan Fisdusia
11
Undang-Undang 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan
12
Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 Tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar
13
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
5. Undang-Undang No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa
Izin Yang Berhak atau Kuasanya: Menggunakan istilah "selama-lamanya" untuk
hukuman kurungan14.
6. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi: Menggunakan
istilah "sebanyak-banyaknya" untuk menggambarkan jumlah maksimum pidana
tambahan pembayaran uang pengganti15.
7. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.
7 Tahun 1992 Tentang Perbankan: Menggunakan istilah "sekurang-kurangnya"
untuk pidana penjara minimum16.
Selain itu, istilah yang digunakan untuk menggambarkan "ancaman" dalam rumusan
tindak pidana juga berbeda dalam berbagai undang-undang. Beberapa undang-undang
menggunakan istilah "diancam dengan pidana penjara," sementara yang lain
menggunakan istilah "dapat dipidana dengan," atau "dikenakan sanksi pidana
penjara."17
Dalam konteks hukum pidana modern, ancaman pidana dapat ditujukan kepada
dua kategori utama, yaitu individu (natuurlijke persoon) dan korporasi (korporatie). Hal
ini mencerminkan perubahan dalam perkembangan hukum pidana dari masa lalu di mana
ancaman pidana awalnya hanya berlaku untuk individu 18.
Pada awalnya, dalam hukum pidana, istilah yang umum digunakan untuk menunjukkan
pihak yang bisa dikenai ancaman pidana adalah "barangsiapa" atau "setiap orang."
Istilah "barang siapa" digunakan karena ancaman pidana pada waktu itu hanya
ditujukan kepada individu. Namun, seiring perkembangan hukum pidana dan kebutuhan
14
Undang-Undang No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak atau
Kuasanya
15
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi
16
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan
17
DR. Mudzakkir, S.H.M.H. 2008. Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Pidana dan Sistem
Pemidanaan (Politik Hukum dan Pemidanaan). Hlm 19
18
DR. Mudzakkir, S.H.M.H. 2008. Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Pidana dan Sistem
Pemidanaan (Politik Hukum dan Pemidanaan). Hlm 19
untuk mengatasi tindakan kriminal yang melibatkan entitas korporasi, terjadi perubahan
dalam terminologi yang digunakan dalam undang-undang19.
Penggunaan istilah "setiap orang" pertama kali muncul dalam Undang-Undang No. 9
Tahun 1992 Tentang Keimigrasian. Hal ini mungkin mencerminkan perubahan dalam
konteks hukum imigrasi di mana tindakan pidana juga bisa melibatkan individu-individu
tertentu yang bukan warga negara.20
Namun, pada tahun yang sama dengan penggunaan istilah "setiap orang," yaitu tahun
1995, pembentuk undang-undang kembali menggunakan istilah "barangsiapa" dalam
Undang-Undang No. 11 Tahun 1995. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan istilah ini
dapat bervariasi tergantung pada konteks dan kebutuhan undang-undang tertentu21.
Perlu dicatat bahwa perubahan dalam penggunaan istilah ini mungkin tidak selalu terkait
langsung dengan perkembangan hukum pidana yang mencakup korporasi sebagai pelaku
tindak pidana. Penggunaan istilah "barangsiapa" atau "setiap orang" lebih merupakan
pilihan bahasa dalam penyusunan undang-undang yang dapat berbeda-beda sesuai
dengan ketentuan hukum yang diatur oleh masing-masing undang-undang.
Penggunaan istilah tertentu dalam undang-undang adalah kebijakan legislator dan dapat
berkaitan dengan cara undang-undang tersebut dirumuskan dan konteks hukum yang
spesifik yang diatur oleh undang-undang tersebut.
Dalam konteks hukum pidana, penting untuk menggunakan terminologi yang tepat agar
peraturan hukum menjadi jelas dan efektif. Terkadang, ancaman pidana harus diarahkan
kepada subjek hukum yang memiliki "kualitas" tertentu, yang menjadi inti dari tindak
pidana yang harus dibuktikan oleh Penuntut Umum. Penggunaan istilah yang benar
adalah kunci dalam merumuskan undang-undang pidana. Berikut adalah beberapa contoh
dan perbaikan yang dapat dilakukan terkait dengan terminologi dalam perumusan tindak
pidana:
19
DR. Mudzakkir, S.H.M.H. 2008. Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Pidana dan Sistem
Pemidanaan (Politik Hukum dan Pemidanaan). Hlm 19
20
Undang-Undang No. 9 Thn 1992 Tentang Keimigrasian
21
Undang-Undang No. 11 Thn 1995
Dalam beberapa kasus, istilah yang bersifat sangat umum seperti "setiap pihak" atau
"orang asing" digunakan dalam Undang-Undang No 8 tahun 1995 tentang Pasal Modal
atau “orang asing”. Hal ini dapat membuat perumusan tindak pidana menjadi ambigu.
Sebaiknya digunakan istilah yang lebih spesifik atau menjelaskan kualitas yang
diinginkan, jika memungkinkan22. Misalnya:
- Ganti: "Setiap pihak yang terlibat dalam transaksi ini akan dikenakan sanksi." Menjadi:
"Setiap individu atau entitas yang terlibat dalam transaksi ini akan dikenakan sanksi."
Perumusan tindak pidana seharusnya fokus pada perbuatan yang melanggar hukum,
bukan status seseorang. Misalnya:
- Ganti: "Saksi yang menyebut nama, alamat, atau identitas pelapor akan dipidana."
Menjadi: "Setiap orang yang memberikan keterangan sebagai saksi atau yang menyebut
nama, alamat, atau identitas pelapor akan dipidana."
Jika ancaman pidana seharusnya ditujukan kepada orang yang melakukan perbuatan
melanggar hukum, pastikan bahwa pelaku tindak pidana diidentifikasi dengan jelas dalam
perumusan tindak pidana. Misalnya:
- Ganti: "Pelanggar monopoli dan persaingan usaha tidak sehat akan dikenai sanksi."
Menjadi: "Setiap orang yang melanggar monopoli dan persaingan usaha tidak sehat akan
dikenai sanksi."
Dengan menghindari penyebutan yang keliru atau ambigu dan dengan menggunakan
istilah yang sesuai, perumusan tindak pidana dapat menjadi lebih jelas dan efektif dalam
mengatur perilaku yang melanggar hukum. Hal ini membantu dalam penerapan hukum
yang adil dan efisien.
22
DR. Mudzakkir, S.H.M.H. 2008. Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Pidana dan Sistem
Pemidanaan (Politik Hukum dan Pemidanaan). Hlm 19.
Penempatan ancaman pidana dalam rumusan tindak pidana adalah hal yang
penting dalam membuat perundang-undangan yang jelas dan mudah dipahami. Tujuan
utamanya adalah agar ancaman pidana berlaku untuk semua perbuatan yang melanggar
hukum yang dijelaskan dalam pasal tersebut. Memindahkan ancaman pidana ke bagian
awal rumusan tindak pidana, memastikan bahwa ancaman pidana berlaku secara
menyeluruh untuk seluruh perbuatan yang diuraikan. Hal ini membuat perundang-
undangan lebih efektif dan menghindari kesan bahwa ancaman pidana hanya berlaku
untuk satu perbuatan saja23.
a. menempatkan...;
b. mentransfer...;
c. membayarkan...;
d. menghibahkan...;
e. menitipkan...;
f. membawa...;
g. menukarkan...;
a. menempatkan...;
b. mentransfer...;
c. membayarkan...;
d. menghibahkan...;
23
DR. Mudzakkir, S.H.M.H. 2008. Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Pidana dan Sistem
Pemidanaan (Politik Hukum dan Pemidanaan). Hlm 21
e. menitipkan...;
f. membawa...;
g. menukarkan...;
perubahan perumusan tindak pidana menjadi lebih baik, karena ancaman pidana
ditujukan secara jelas kepada semua perbuatan yang dijelaskan dalam huruf a hingga h.
Dengan demikian, tidak ada kesan bahwa ancaman pidana hanya berlaku untuk perbuatan
yang diuraikan dalam huruf h.
Penting untuk menjaga agar peraturan hukum tetap jelas, transparan, dan adil.
Penempatan ancaman pidana yang tepat dalam rumusan tindak pidana adalah salah satu
carauntuk mencapai tujuan tersebut, dan perbaikan dalam perumusan tindak pidana,
seperti yang Anda contohkan, merupakan langkah yang baik dalam menghindari ambigu
dan kesalahan interpretasi hukum.
1. Konteks Tindak Pidana Korporasi: Mengingat tindak pidana yang melibatkan korporasi
sering kali memiliki karakteristik yang berbeda dari tindak pidana yang dilakukan oleh
individu, pengancaman pidana harus disesuaikan dengan konteks tersebut. Model
alternatif atau kombinasi alternatif-kumulatif memungkinkan pengadilan untuk
menyesuaikan sanksi dengan pelanggaran yang terjadi.
2. Kemungkinan Pidana Pokok yang Berbeda: Seperti yang Anda sebutkan, dalam
beberapa kasus, korporasi mungkin hanya dapat diancam dengan pidana pokok berupa
denda, bukan perampasan kemerdekaan. Model pengancaman kumulatif yang
mewajibkan penerapan keduanya dapat menghambat efektivitas perundang-undangan.
Dalam hal seperti ini, model alternatif atau kombinasi alternatif-kumulatif yang
memungkinkan hakim untuk memilih sanksi yang sesuai akan lebih relevan.
Dalam kasus-kasus di mana korporasi terlibat dalam tindak pidana, perumusan tindak
pidana dan pengancaman pidana yang tepat adalah kunci untuk memastikan bahwa
hukum diterapkan secara adil dan efektif. Fleksibilitas dalam pengancaman pidana dapat
membantu menghindari situasi di mana pengadilan terikat untuk menjatuhkan sanksi
yang tidak sesuai dengan pelanggaran yang terjadi.
Penutup
Kesimpulan
Pidana adalah respons terhadap tindak pidana yang disengaja dan diberikan oleh
negara kepada pelaku tindak pidana. Ancaman pidana harus memiliki unsur pembalasan,
sehingga penderitaan menjadi bagian dari tujuan jangka pendek dalam penerapan pidana.
Tingkat penderitaan yang dihadapi bervariasi tergantung pada jenis dan beratnya tindak
pidana. Ancaman pidana dalam hukum pidana selalu ditujukan kepada pelaku tindakan,
dan celaan yang semula terkait dengan tindak pidana berubah menjadi celaan terhadap
pelaku. Ancaman pidana berlaku dalam konteks hukum pidana modern dan berlaku untuk
individu dan korporasi. Hal ini mencerminkan perbuhan dalam perkembangan hukum
pidana dari masa lalu. Penempatan ancaman pidana dalam rumusan tindak pidana adalah
hal yang penting dalam membuat perundang-undangan yang jelas dan mudah dipahami.
Model ancaman pidana memerlukan pertimbangan yang cermat terutama dalam
pengancaman pidana. Penggunaan model pengancaman pidana alternatif atau kombinasi
alternatif-kumulatif dapat menjadi pendekatan yang lebih sesuai.
DAFTAR PUSTAKA
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet ke-8, Balai
Pustaka, Jakarta, 2008, Hlm 346.
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Cet.ke-2, Sinar Grafika, Jakarta, 2004,
Hlm. 33.
Marpaung Leden, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2008,
Hlm.11
Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung, 2007, Hlm. 13.