Anda di halaman 1dari 23

ARTIKEL PIDANA

“ Pemidanaan dan Pidana”

Disusun Oleh:

1. Tania Sahda NPM 2274201119


2. Nabilla Annisa NPM 2274201124
3. Cahaya Fitri NPM 2274201147
4. Sumeni NPM 2274201155

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG

2023/2024
Pendahuluan

Pemidanaan merupakan salah satu aspek hukum pidana yang seringkali menjadi
bahan perbincangan di masyarakat. Ada kalanya pemidanaan itu dirasakan sangat ringan
atau sangat berat jika dibandingkan dengan perbuatan pelaku. Padahal dalam penjatuhan
pidana, banyak hal yang turut dipertimbangkan, baik dari aspek yuridis maupun
sosiologis. Terlebih lagi jika yang melakukan tindak pidana itu adalah seorang yang masih
dikategorikan anak oleh undang-undang.

Undang-undang Dasar 1945 menegaskan bahwa negara Republik Indonesia


adalah negara berdasarkan atas hukum Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 amandemen ke empat Pasal lima. 1 Sebagai negara hukum, maka
Indonesia selalu menjunjung tinggi hak asasi manusia. Selalu menjamin segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya 2. Sebagai negara hukum, Indonesia menerima hukum sebagai ideologi untuk
menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warga negaranya.
Konsekuensi dari itu semua adalah bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang
dilakukan oleh warga negara Indonesia.

Tujuan Negara Republik Indonesia secara jelas dituangkan dalam Undang-


Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 bahwa Negara bertujuan
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut serta dalam upaya
perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Sehubungan dengan hal tersebut, sudah sepatutnya masyarakat Indonesia mendapatkan
perlindungan dalam aspek-aspek kehidupannya.

Manusia yang telah diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk sosial, dalam
kehidupannya sehari-hari, ia tidak akan mampu mandiri tanpa kehadiran orang lain.
Kehidupan semacam ini kemudian dikenal dengan istilah hidup bermasyarakat. 3 Dalam

1
1 C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet ke-8, Balai Pustaka, Jakarta, 2008, Hlm
346.
2
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Cet.ke-2, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, Hlm. 33.
3
Marpaung Leden, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Hlm.11
hidup bermasyarakat, seseorang dengan secara sadar atau tidak melakukan hubungan satu
sama lain, sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing.

Karena dalam kehidupan ini, kepentingan seseorang dengan lainnya tidak mesti
sama. Dengan adanya benturan semacam itulah timbul juga kejahatan-kejahatan, tindak
pidana pencurian yang dilakukan anak yang dampaknya tidak hanya merugikan diri
sendiri atau pelaku tapi juga orang lain dan masyarakat luas.

Keharmonisan dan kesejahteraan bersama, dalam rangka mencapai keinginan


masing-masing pihak, maka manusia membuat aturan-aturan yang disepakati bersama.
Aturan-aturan itu harus dipatuhi dan dijunjung tinggi, dan inilah sebenarnya yang disebut
hukum. Agar hukum tersebut dapat berlangsung terus menerus, dan diterima oleh seluruh
anggota masyarakat, maka ia harus sesuai dan tidak bertentangan dengan asas-asas
keadilan masyarakat, dimana hukum itu berlaku. Tindak pidana kejahatan disamping
sebagai masalah kemanusiaan, juga merupakan masalah sosial, karena banyak usaha
penanggulangannya, salah satunya adalah memakai hukum. 4

Di dalam kehidupan masyarakat, kejahatan terhadap harta benda/harta kekayaan


orang (pencurian) sangat banyak terjadi, dan hal ini dapat dilakukan dengan berbagai
macam cara dan kesempatan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mencuri memiliki
pengertian mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah, biasanya dengan
sembunyi-sembunyi.

Dari media-media massa dan media elektronik menunjukkan bahwa seringnya


terjadi kejahatan pencurian dengan berbagai jenisnya dilatar belakangi karena kebutuhan
hidup yang tidak tercukupi. Dengan berkembangnya tindak pidana pencurian maka
berkembang pula bentuk-bentuk lain dari pencurian. Dengan ini dapat diketahui betapa
ketertiban, ketentraman, kenyamanan harta benda dan jiwa masyarakat secara umum
menjadi terganggu, dan kecemasan menyelinap dalam hati semua orang. Latar belakang
aksi ini adakalanya bermotif ekonomi, adakalanya bermotif politik, aksi kejahatan yang
bertendensi kepentingan ekonomi melahirkan tindakan-tindakan perampok baik dalam
rumah maupun diperjalanan. Sedangkan yang bertendensi politik, kejahatannya

4
Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung, 2007, Hlm. 13.
berbentuk perlawanan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan
melakukan gerakan-gerakan kekacauan dan mengganggu ketentraman umum.

Pembahasan

A. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis metode yuridis-normatif dengan menggunakan


pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep, sedangan Teknik analisis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis dengan menggunakan interprestasi
gramatikal dan interprestasi sistematis yaitu dengan cara menafsirkan istilah dalam
undang-undang sesuai dengan kaidah bahasa hukum yang berlaku serta dengan
menghubungkan dengan peraturan hukum yang lain, atau dengan keseluruhan sistem
hukum.

B. Hasil dan Analisis


Dari sudut fungsional, system pemidanaan dapat diartikan sebagai keseluruhan
system (aturan perundang-undangan) untuk fungsionalisasi/operasionalisasi/konkretisasi
pidana dan keseluruhan system (aturan perundang-udangan) yang mengatur bagaimana
hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret, sehingga seseorang
dijatuhi sanksi (hukum) pidana. Dari sudut ini maka sistem pemidanaan identik dengan
sistem penegakan hukum pidana yang terdiri dari sub-sistem Hukum Pidana
Materiil/Substantif, sub-sistem Hukum Pidana Formil dan sub-sistem Hukum
Pelaksanaan Pidana. Sedangan dari sudut norma-substantif (hanya dilihat dari norma-
norma hukum pidana substantif), system pemidanaan dapat diartikan sebagai keseluruhan
system aturan atau norma hukum pidana materil untuk pemberian atau penjatuhan dan
pelaksanaan pidana. Dengan pengertian demikian, maka keseluruhan perundang-
undangan (statutory rules). Yang ada di KUHP maupun undang-undang khusus di luar
KUHP, pada hakikatnya merupakan satu kesatuan system pemidanaan, yang terdiri dari
“aturan umum” (general rules) dan “aturan khusus” (special rules). Aturan umum
terdapat di dalam buku I KUHP 5, dan aturan khusus terdapat di dalam Buku II dan III

5
Barda Nawawi Arief, Sistem Pemidanaan Dalam Konsep RUNDANG-UNDANG KUHP, Bahan
Sosialisasi RUNDANG-UNDANG KUHP 2004, diselenggarakan oleh Departemen Hukum dan HAM,
tgl. 23-24 Maret 2005, di Hotel Sahid Jakarta.
KUHP maupun dalam undang-undang khusus di luar KUHP, baik yang mengatur hukum
pidana khusus maupun yang mengatur hukum pidana umum.

Tujuan pemidanaan ada kaitannya dengan hakekat dari pemidanaan, bahwa “hukum
pidana merupakan sistem sanksi yang negatif. Ia diterapkan jika sarana (upaya) lain
sudah tidak medai, maka hukum pidana dikatakan mempunyai fungsi yang subsidiair.

Menurut Sahardjo rumusan dari tujuan pidana penjara, disamping menimbulkan rasa
derita pada terpidana karena hilangnya kemerdekaan bergerak, membimbing
terpidana agar bertaubat, mendidik supaya ia menjadi anggota masyarakat sosial
Indonesia yang berguna.

Selanjutnya dikatakan, bahwa dengan perkataan lain, tujuan pidana penjara adalah
pemasyarakatan. Dasar untuk pembinaan para terhukum ialah yang lazim disebut
treatment philosophy atau behandelingsfilosofie. Istilah pemasyarakatan dapat disamakan
dengan resosialisasi dan atau rehabilitas.
Perihal tujuan pemidanaan Muladi membagi teori-teori tentang tujuan pemidanaan
menjadi 3 kelompok yakni:

1. Teori Retributif (retributivism)


Kaum retributivist yang murni menyatakan bahwa pidana yang sepatutnya diterima
sangat diperlukan berdasarkan alasan, baik keadilan maupun beberapa nilai moral. Pidana
yang tidak layak sealalu menimbulkan moral. Pidana yang tidak layak selalu
menimbulkan ketikadilan dan merugikan nilai moral. Sebagaimana dikatakan oleh Kant,
maka penerapan pidana yang tidak layak untuk suatu tujuan apapun, merupakan
penggunaan manusia sebagai alat semata-mata dari pada mengganggapnya sebagai
tujuan sendiri. Pemidanaan atas perbuatan yang salah bersifat adil, karena akan
memperbaiki keseimbangan moral yang dirusak oleh kejahatan.

2. Teori teleologis (teleological theory)


Memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku
tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju
kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah
agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan
absolut atas keadilan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan yang sebagai sarana
pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditujukan kepada
pelaku maupun pencegahan umumyang ditujukan ke masyarakat. Teori relatif
berasas pada 3 (tiga) tujuan utama pemidanaan yaitu preventif, detterence dan reformatif
Tujuan eventif (prevention) untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku
kejahatan terpisah dari masyarakat. Tujuan menakuti (detterence) untuk
menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan yang bisa dibedakan untuk individual,
publik dan jangka panjang;
3. Retributifisme teologis (teological retributivist)
Teori ini memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan
antara prinsip-prinsip teologis (tujuan) dan retributif sebagai kesatuan. Teori ini bercorak
ganda dimana pemidanaan mengandung karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat
sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter
dalam menjawan tidakan yang salah. Sedangkan karakter teleologisnya terletak pada ide
bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku
terpidana di kemudian hari.
Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan
suatu pemidanaan, yaitu:
a) Untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri;
b) Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan-kejahatan;
c) Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk
melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-
cara yang lain sudah tidak diperbaiki lagi.

Menurut Sudarto, dalam bukunya mengatakan, pada umumnya tujuan


pemidanaan dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Pembalasan, pengimbalan atau retribusi;


Pembalasan sebagai tujuan pemidanaan kita jumpai pada apa yang dinamakan teori
hukum pidana yang absolut. Didalam kejahatan itu sendiri terletak pembenaran dari
pemidanaan, terlepas dari manfaat yang hendak dicapai. Ada pemidanaan, karena ada
pelanggaran hukum, ini merupakan tuntutan keadilan
2. Mempengaruhi tindak laku orang demi perlindunganmasyarakat;
3. Pidana tidak dikenakan demi pidana itu sendiri, melainkan
untuk suatu tujuan yang bermanfaat, ialah untuk melindungimasyarakat atau untuk
pengayoman. Pidana mempunyai pengaruh terhadap masyarakat pada umumnya.
Pengaruh yang disebut pertama biasanya dinamakan prevensi special (khusus) dan yang
kedua dinamakan prevensi general (umum). Secara harfiah telah menerjemahkan
perkataan doel der straf dengan tujuan dari pidana, padahal yang dimaksud dengan doel
der straf itu sebenarnya adalah tujuan dari pemidanaan. Menurut Sudarto, perkataan
pemidanaan itu sinonim dengan perkataan penghukuman. Tentang hal tersebut, beliau
berkata, bahwa: Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan
sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya. Menetapkan hukum
untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang pidana saja, akan tetapi juga
dalam hukum perdata, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yaitu
penghukuman dalam perkara pidana, yang kerapkali sinonim dengan pemidanaan atau
pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai
makna sama dengan sentence atau veroordeling.” Menurut beliau, Veroordeling tidak
dapat diterjemahkan lain selain pemidanaan. Dalam menetapkan pidana, harus dipahami
benar apa makna kejahatan, penjahat dan pidana. Tidaklah cukup untuk mengatakan
bahwa pidana itu harus setimpal dengan berat dan sifat kejahatan, seperti yang tercantum
dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI tanggal 3 September 1972 Nomor 5 Tahun
1972. KUHP kita tidak memuat pedoman pemberian pidana yang umum, ialah suatu
pedoman yang dibuat oleh pembentuk Undang-undang yang memuat asas-asas yang perlu
diperhatikan oleh Hakim dalam menjatuhkan pidana, yang ada hanya aturan pemberian
pidana. Dalam menjatuhkan sesuatu pidana itu, orang yang terikat untuk hanya
menjatuhkan jenis-jenis pidana pokok atau pidana tambahan seperti yang ditentukan di
dalam Pasal 10 KUHP. Mahkamah Agung dalam putusannya Nomor 59 K./Kr/1969,
secara tegas telah mengemukakan pendiriannya, bahwa perbuatan menambah-nambah
jenis-jenis pidana yang telah ditentukan dalam Pasal 10 KUHP dengan lain-lain jenis
pidana adalah terlarang.

C. Jenis pola bobot pidana

Dalam menjatuhkan sesuatu pidana itu, orang yang terikat untuk hanya menjatuhkan
jenis-jenis pidana pokok atau pidana tambahan seperti yang ditentukan di dalam Pasal 10
KUHP. Mahkamah Agung dalam putusannya Nomor 59 K./Kr/1969, secara tegas telah
mengemukakan pendiriannya, bahwa “perbuatan menambah-nambah jenis-jenis pidana
yang telah ditentukan dalam Pasal 10 KUHP dengan lain-lain jenis pidana adalah
terlarang”.25 Adapun isi dari Pasal 10 KUHP adalah sebagai berikut:

1. Pidana pokok:

a) pidana mati,

b) pidana penjara,

c) pidana kurungan,

d) pidana denda

2. pidana tambahan

a) pencabutan hak-hak tertentu,

b) perampasan barang-barang tertentu,

c) pengumuman putusan Hakim.

Hukuman yang dimaksud adalah “suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan
oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum
pidana”. Satochid Kartanegara dikutip dari Hamzah dan Siti Rahayu mengemukakan
alasan mengapa pembuat/pelaku strafbaar feit diancam hukuman oleh Undang-undang,
yaitu dengan alasan sebagai berikut:

1. Pelanggaran terhadap kepentingan hukum;

2. Membahayakan kepentingan hukum; Dengan banyaknya golongan atau jenis-jenis


kejahatan dalam KUHP, berarti begitu juga banyaknya kepentingan hukum yang
dilindungi oleh hukum pidana. Walaupun kepentingan hukum itu dapat digolongkan atau
dibedakan demikian, akan tetapi tidaklah dapat dipisah-pisahkan. Oleh karena itu
pelanggaran atas suatu kepentingan hukum dapat juga meelanggar sekaligus terhadap
kepentingan hukum yang lain. Misalnya pembunuhan yang sifat pelanggaran terhadap
kepentingan hukumnya lebih banyak pada kepentingan hukum perorangan,
sesungguhnya juga adalah melanggar sekaligus pada kepentingan hukum masyarakat.28
Dalam Pasal 10 KUHP ini, penulis akan menjelaskan satu persatu jenis-jenis pidana ini,
baik pidana pokok maupun pidana tambahan.

1. Pidana Mati. Adalah pidana yang terberat yang objeknya adalah nyawa seseorang.
Orang yang dijatuhi pidana mati tidak boleh dieksekusi sebelum ada fiat eksekusi dari
presiden. Fiat eksekusi ini diberikan melalui grasi baik diminta atau tidak diminta
terpidana atau kuasa hukumnya. Pengertian pemberian grasi dalam hal ini dapat diterima
atau ditolak, artinya jika grasi diterima eksekusi tidak perlu dilakukan, tetapi jika ditolak
eksekusi harus dilaksanakan. 2. Pidana Penjara. Adalah pidana perampasan kemerdekaan
terpidana dan merupakan pidana yang paling efektif untuk mencapai tujuan pemidanaan.
Pidana penjara ini efektif karena waktunya relatif agak lama karena berkisar dari satu
sampai lima belas tahun dan dapat dinaikan menjadi dua puluh tahun apabila ada
pemberatan. Selain pidana penjara seumur hidup yaitu selama hidup terpidana harus
meringkuk dalam penjara atau dua puluh lima tahun penjara.

3. Pidana Kurungan. Adalah pidana perampasan kemerdekaan yang lebih ringan dari
pidana penjara karena berkisar dari satu hari sampai satu tahun dan dapat dinaikan
menjadi satu tahun empat bulan jika ada pemberantasan pidana. Pelaksanaan dari putusan
pidana kurungan ini apabila putusan hakim telah memiliki kekuatan hukum tetap, yaitu
tidak ada lagi upaya hukum dari terpidana seperti banding atau kasasi.

4. Pidana Denda. Adalah pidana untuk membayar sejumlah uang sebagaimana yang telah
diputuskan hakim karena melakukan perbuatan pidana. Pidana denda ini hakekatnya
untuk mengurangi harta kekayaan seseorang secara paksa. Jika denda yang dijatuhkan
hakim tidak dibayarnya, maka terpidana dapat dijatuhi kurungan sebagai pengganti tidak boleh
lebih dari dari delapan bulan.

5. Pidana Tutupan. Pidana tutupan ini terdapat dalam pasal 10 KUHP melalui Undang-
undang Nomor 20 Tahun 1946, yang lebih lanjutnya tertuang dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 8 Tahun 1948 tentang Rumah Tutupan.

6. Pidana Tambahan.

1) Pencabutan Hak-Hak Tertentu. Undang-undang memberikan kekuasaan kepada


Negara melalui alat atau lembaganya untuk melakukan pencabutan hak-hak tertentu saja,
yang menurut Pasal 35 ayat 1 KUHP hak-hak yang dapat dicabut adalah hak memegang
jabatan, memasuki angkatan bersenjata, memilih dan dipilih, menjadi penasehat hukum
atau pengurus, menjalankan kekuasaan bapak atau perwalian dan hak menjalankan mata
pencaharian hak-hak tertentu ini tidak boleh mengenai hak beragama ataupun hak
terpidana. Dimana hak-hak tertentu yang dapat dicabut oleh hakim, sifatnya tidak untuk
selamanya, melainkan untuk sementara waktu saja, kecuali bila saja yang bersangkutan
dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.

2) Pencabutan Barang-Barang Tertentu Perampasan barang-barang tertentu adalah


merampas barang-barang yang merupakan hasil kejahatan atau yang digunakan untuk
melakukan kejahatan. Barang yang dirampas dapat disita Negara atau untuk
dimusnahkan.

3) Pengumuman Putusan Hakim Setiap putusan hakim, memang harus diucapkan dalam
persidangan yang terbuka untuk umum (Pasal 195 KUHP), yang mana bila tidak maka
putusan hakim itu batal demi hukum. Pidana putusan hakim ini hanya dapat dijatuhakan
dalam hal-hal yang telah ditentukan oleh KUHP, misalnya Pasal 128, 206, 361, 377, 395,
dan 405.

Ditinjau dari tiga sisi masalah dasar dalam hukum pidana, yaitu pidana, perbuatan pidana,
dan pertanggung jawaban pidana, muatan hukum pidana dalam KUHP yang perlu
mendapat perhatian adalah mengenai:
a. Pidana atau pemidanaan: KUHP tidak secara eksplisit menetapkan tujuan dan pedoman
pemidanaan, sehingga penjatuhan hukuman sering kali tergantung pada penafsiran
individu oleh apparat penegak hukum dan hakim. Ini dapat menghasilkan penegakan
hukum yang tidak konsisten. Selain itu, KUHP juga kurang fleksibe dalam
memungkinkan modifikasi hukuma berdasarkan perubahan dala keadaan pelaku.
b. Perbuatan pidana: KUHP mengikuti pendekatan positivis yang mengharuskan
perbuatan pidana diatur dalam undang-undang. Hal ini dapat membuat KUHP menjadi
ketinggalan zaman dalam merespons perubahan nilai-nilai masyarakat. Oleh karena itu,
KUHP sebagai hukum tertulis selalu lamban dalam merespon perkembangan hukum yang
terjadi dalam masyarakat, keadaan ini kemudian melahirkan ide untuk membentuk
hukum pidana baru di luar KUHP. Namun dalam perumusan norma hukum pidana di luar
KUHP tersebut cenderung melepaskan diri ikatannya dari KUHP, terutama Buku I KUHP,
yang kemudian melahirkan sistem norma sendiri yang memiliki nilai dan asas-asas
hukum pidana yang lepas dari ketentuan umum hukum pidana Buku I KUHP, bahkan
dalam kaitannya dengan Buku II dan Buku II KUHP acap kali terjadi duplikasi atau
pengulangan pengaturan dan sebagian di antaranya ada yang triplikasi pengaturan, yakni
pengaturan norma yang sama diatur dalam tiga peraturan yang berbeda dengan disertai
dengan ancaman sanksi pidana yang berbeda.
c. Pertanggungjawaban pidana: Beberapa masalah yang muncul dalam aspek
pertanggungjawaban pidana antara lain mengenai asas kesalahan (culpabilitas) yang
tidak dicantumka secara tegas dalam KUHP, namun hanya disebutkan dalam Memorie
van Toelichting (Mvt) sebagai penjelasan WvS. Asas culpabilitas merupakan
penyeimbang dari asas legalitas yang dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (1) yang berarti
bahwa seseorang dapat dipidana karena secara objektif memang telah melakukan tindak
pidana (memenuhi rumusan asa legalitas dan secara subjektif terdapat unsur kesalahan
dalam diri pelaku (memenuhi rumusan asas culpabilitas) 6.

Dan juga tidak mengatur mengenai subjek hukum korporasi dan pertanggungjawaban
korporasi yang menyebabkan terjadinya penafsiran yang tidak sama dengan mengenai
siapa yang bertanggungjawab apabila ditengarai terjadinya pelanggaran hukum yang
melibatkan korporasi.
Menurut KUHP ketentuan pengancaman pidana dideskripsikan sebagai berikut.

Jenis-jenis pidana:

 Pidana mati:
- Pidana mati sebagai pidana pokok yang terberat yang diancamkan kepada
tindak pidana yang sangat berat selalu disertai dengan alternatif pidana sumur
hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun.
- Menurut UNDANG-UNDANG No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan
Peradilan Umum dan Militer dilaksanakan dengan cara tembak mati
 Pidana penjara:

6
Ahmad Bahiej, Sejarah dan Problematika Hukum Pidana Materiel di IndonesiaAhmad Bahiej, Sejarah
dan Problematika Hukum Pidana Materiel di Indonesia
- Lamanya dapat seumur hidup atau selama waktu tertentu (Minimal umum 1 hari,
maksimal umum 15 tahun).
- Boleh 20 tahun berturut-turut, jika:
1. Ada alternatif pidana mati, penjara seumur hidup, atau penjara selama waktu
tertentu,
2. ada pembarengan, pengulangan, atau kejahatan yang dilakukan oleh pejabat
(Pasal 52)
- Tidak boleh melebihi 20 tahun.
- Dapat ditambah pidana tambahan.
- Masa percobaan Pasal 492, 504, 505, 506, dan 536 paling lama 3 tahun dan
pelanggaran lainnya 2 tahun.
- Masa percobaan dimulai saat keputusan hakim berkekuatan hukum tetap.
 Pidana kurungan:
- Lamanya minimal umum 1 hari maksimal umum 1 tahun.
- Jika ada pembarengan, pengulangan, atau dilakukan oleh pejabat maka maksimal
1 tahun 4 bulan.
 Pidana denda:
- Minimal umum Rp 3,75
- Jika tidak dibayar diganti kurungan pengganti.
- Kurungan pengganti minimal 1 hari maksimal 6 bulan. Tapi jika ada perbarengan,
pengurangan, atau dilakukan pejabat maka maksimal 8 bulan.

Pemidanaan dalam Undang-undang di luar KUHP


1. Tentang ancaman pidana
Kesepakatan telah dibuat bahwa istilah "straf" berarti "pidana" dalam hukum. Sementara
istilah "hukuman" memiliki makna yang lebih umum, termasuk hukuman perdata dan
hukuman administrasi negara. Dalam konteks hukum pidana, "pidana" adalah bentuk
khusus dari hukuman. Selain itu, dalam hukum pidana, ada sanksi lain yang disebut
"tindakan."
Pidana adalah respons terhadap tindak pidana yang merugikan yang disengaja dan
diberikan oleh negara kepada pelaku tindak pidana. Ada tiga unsur utama dalam
pengertian "pidana": (1) merupakan re-aksi atas suatu aksi “criminal act” atau tindak
pidana (2) yang berujud nestapa; (3) dijatuhkan kepada pembuat tindak pidana (daader)
oleh negara.
Antara "perbuatan yang dilarang" dan "ancaman pidana" terdapat hubungan sebab-akibat.
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang tercela karena melanggar undang-undang, dan
pidana adalah konsekuensi dari pelanggaran tersebut. Larangan terhadap perbuatan
pidana muncul karena adanya ancaman pidana bagi siapa pun yang melakukan perbuatan
tersebut.
Pidana harus memiliki unsur pembalasan, sehingga penderitaan menjadi bagian dari
tujuan jangka pendek dalam penerapan pidana. Tingkat penderitaan yang dihadapi
bervariasi tergantung pada jenis dan beratnya tindakan pidana. Ancaman pidana dalam
hukum pidana selalu ditujukan kepada pelaku tindakan. Dengan menerapkan pidana,
celaan yang semula terkait dengan tindak pidana berubah menjadi celaan terhadap pelaku.
Dalam hukum pidana modern, pelaku tindak pidana dapat menjadi individu atau entitas
korporasi.

2. Nomenklatur ancaman pidana

Banyak undang-undang menggunakan istilah berbeda untuk merujuk pada


hukuman atau sanksi yang diberikan kepada pelanggar hukum. Sebagian besar ahli
hukum menggunakan istilah "pidana," tetapi terdapat variasi dalam penggunaan istilah
ini dalam undang-undang7.
Contohnya, beberapa undang-undang menggunakan istilah "hukuman" sebagai pengganti
"pidana." Sebagai contoh, Undang-Undang No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan
Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak atau Kuasanya dan Undang-Undang No. 38
Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat menggantikan "pidana penjara" dengan "hukuman
penjara" dan "kurungan" dengan "hukuman kurungan."
Namun, dalam beberapa undang-undang, istilah "pidana" digunakan tanpa kata
tambahan seperti "pidana penjara." Sebagai contoh, dalam Pasal 6 Undang-Undang No.
15 tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, hanya tertulis: "...dipidana
dengan penjara...."8

7
DR. Mudzakkir, S.H.M.H. 2008. Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Pidana dan Sistem
Pemidanaan (Politik Hukum dan Pemidanaan). Hlm 18.
8
DR. Mudzakkir, S.H.M.H. 2008. Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Pidana dan Sistem
Pemidanaan (Politik Hukum dan Pemidanaan). Hlm 18.
Selain itu, berbagai undang-undang juga menggunakan istilah "pidana" sebelum
"denda," sementara yang lain hanya menggunakan "denda" tanpa kata "pidana"
sebelumnya. Sebagai contoh, Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia menggunakan istilah "pidana denda" dalam Pasal 16, sedangkan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 dan undang-undang lainnya hanya menggunakan
"denda" tanpa kata "pidana."9

Selain itu, ketika menentukan jumlah minimum dan maksimum yang dapat dijatuhkan
sebagai hukuman bagi pelanggaran tertentu, undang-undang juga dapat menggunakan
nomenklatur yang berbeda-beda, yang menghasilkan variasi dalam terminologi hukuman
antara satu undang-undang dengan yang lainnya.
Undang-undang seringkali menggunakan istilah yang berbeda-beda untuk merujuk pada
hukuman atau sanksi yang diberikan kepada pelanggar hukum. Berikut beberapa contoh
Sistilah yang digunakan dalam undang-undang:
1. Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia: Menggunakan istilah
"paling lama" untuk pidana penjara dan "paling sedikit" serta "paling banyak"
untuk denda.10
2. Undang-Undang 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan:
Menggunakan istilah "paling singkat" untuk pidana penjara.11
3. Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 Tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai
Tukar: Menggunakan istilah "sekurang-kurangnya" untuk pidana denda
minimum dan "paling banyak" untuk pidana denda maksimum12.
4. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat: Menggunakan istilah "serendah-rendahnya" dan
"setinggi-tingginya" untuk menunjukkan pidana denda minimum dan
maksimumnya13.

9
DR. Mudzakkir, S.H.M.H. 2008. Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Pidana dan Sistem
Pemidanaan (Politik Hukum dan Pemidanaan). Hlm 18.
10
Undang-Undang N0. 42 thn 1999. Tentang Jaminan Fisdusia
11
Undang-Undang 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan
12
Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 Tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar
13
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
5. Undang-Undang No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa
Izin Yang Berhak atau Kuasanya: Menggunakan istilah "selama-lamanya" untuk
hukuman kurungan14.
6. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi: Menggunakan
istilah "sebanyak-banyaknya" untuk menggambarkan jumlah maksimum pidana
tambahan pembayaran uang pengganti15.
7. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.
7 Tahun 1992 Tentang Perbankan: Menggunakan istilah "sekurang-kurangnya"
untuk pidana penjara minimum16.
Selain itu, istilah yang digunakan untuk menggambarkan "ancaman" dalam rumusan
tindak pidana juga berbeda dalam berbagai undang-undang. Beberapa undang-undang
menggunakan istilah "diancam dengan pidana penjara," sementara yang lain
menggunakan istilah "dapat dipidana dengan," atau "dikenakan sanksi pidana
penjara."17

Perbedaan dalam penggunaan istilah ini mencerminkan variasi dalam terminologi


hukuman di berbagai undang-undang.

3. Adressaat Norm Ancaman Pidana

Dalam konteks hukum pidana modern, ancaman pidana dapat ditujukan kepada
dua kategori utama, yaitu individu (natuurlijke persoon) dan korporasi (korporatie). Hal
ini mencerminkan perubahan dalam perkembangan hukum pidana dari masa lalu di mana
ancaman pidana awalnya hanya berlaku untuk individu 18.

Pada awalnya, dalam hukum pidana, istilah yang umum digunakan untuk menunjukkan
pihak yang bisa dikenai ancaman pidana adalah "barangsiapa" atau "setiap orang."
Istilah "barang siapa" digunakan karena ancaman pidana pada waktu itu hanya
ditujukan kepada individu. Namun, seiring perkembangan hukum pidana dan kebutuhan

14
Undang-Undang No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak atau
Kuasanya
15
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi
16
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan
17
DR. Mudzakkir, S.H.M.H. 2008. Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Pidana dan Sistem
Pemidanaan (Politik Hukum dan Pemidanaan). Hlm 19
18
DR. Mudzakkir, S.H.M.H. 2008. Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Pidana dan Sistem
Pemidanaan (Politik Hukum dan Pemidanaan). Hlm 19
untuk mengatasi tindakan kriminal yang melibatkan entitas korporasi, terjadi perubahan
dalam terminologi yang digunakan dalam undang-undang19.

Penggunaan istilah "setiap orang" pertama kali muncul dalam Undang-Undang No. 9
Tahun 1992 Tentang Keimigrasian. Hal ini mungkin mencerminkan perubahan dalam
konteks hukum imigrasi di mana tindakan pidana juga bisa melibatkan individu-individu
tertentu yang bukan warga negara.20

Namun, pada tahun yang sama dengan penggunaan istilah "setiap orang," yaitu tahun
1995, pembentuk undang-undang kembali menggunakan istilah "barangsiapa" dalam
Undang-Undang No. 11 Tahun 1995. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan istilah ini
dapat bervariasi tergantung pada konteks dan kebutuhan undang-undang tertentu21.

Perlu dicatat bahwa perubahan dalam penggunaan istilah ini mungkin tidak selalu terkait
langsung dengan perkembangan hukum pidana yang mencakup korporasi sebagai pelaku
tindak pidana. Penggunaan istilah "barangsiapa" atau "setiap orang" lebih merupakan
pilihan bahasa dalam penyusunan undang-undang yang dapat berbeda-beda sesuai
dengan ketentuan hukum yang diatur oleh masing-masing undang-undang.

Penggunaan istilah tertentu dalam undang-undang adalah kebijakan legislator dan dapat
berkaitan dengan cara undang-undang tersebut dirumuskan dan konteks hukum yang
spesifik yang diatur oleh undang-undang tersebut.

Dalam konteks hukum pidana, penting untuk menggunakan terminologi yang tepat agar
peraturan hukum menjadi jelas dan efektif. Terkadang, ancaman pidana harus diarahkan
kepada subjek hukum yang memiliki "kualitas" tertentu, yang menjadi inti dari tindak
pidana yang harus dibuktikan oleh Penuntut Umum. Penggunaan istilah yang benar
adalah kunci dalam merumuskan undang-undang pidana. Berikut adalah beberapa contoh
dan perbaikan yang dapat dilakukan terkait dengan terminologi dalam perumusan tindak
pidana:

1. Penggunaan Istilah Umum:

19
DR. Mudzakkir, S.H.M.H. 2008. Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Pidana dan Sistem
Pemidanaan (Politik Hukum dan Pemidanaan). Hlm 19
20
Undang-Undang No. 9 Thn 1992 Tentang Keimigrasian
21
Undang-Undang No. 11 Thn 1995
Dalam beberapa kasus, istilah yang bersifat sangat umum seperti "setiap pihak" atau
"orang asing" digunakan dalam Undang-Undang No 8 tahun 1995 tentang Pasal Modal
atau “orang asing”. Hal ini dapat membuat perumusan tindak pidana menjadi ambigu.
Sebaiknya digunakan istilah yang lebih spesifik atau menjelaskan kualitas yang
diinginkan, jika memungkinkan22. Misalnya:

- Ganti: "Setiap pihak yang terlibat dalam transaksi ini akan dikenakan sanksi." Menjadi:
"Setiap individu atau entitas yang terlibat dalam transaksi ini akan dikenakan sanksi."

2. Penyebutan Status vs. Perbuatan:

Perumusan tindak pidana seharusnya fokus pada perbuatan yang melanggar hukum,
bukan status seseorang. Misalnya:

- Ganti: "Saksi yang menyebut nama, alamat, atau identitas pelapor akan dipidana."

Menjadi: "Setiap orang yang memberikan keterangan sebagai saksi atau yang menyebut
nama, alamat, atau identitas pelapor akan dipidana."

3. Penyebutan Pelaku Tindak Pidana:

Jika ancaman pidana seharusnya ditujukan kepada orang yang melakukan perbuatan
melanggar hukum, pastikan bahwa pelaku tindak pidana diidentifikasi dengan jelas dalam
perumusan tindak pidana. Misalnya:

- Ganti: "Pelanggar monopoli dan persaingan usaha tidak sehat akan dikenai sanksi."

Menjadi: "Setiap orang yang melanggar monopoli dan persaingan usaha tidak sehat akan
dikenai sanksi."

Dengan menghindari penyebutan yang keliru atau ambigu dan dengan menggunakan
istilah yang sesuai, perumusan tindak pidana dapat menjadi lebih jelas dan efektif dalam
mengatur perilaku yang melanggar hukum. Hal ini membantu dalam penerapan hukum
yang adil dan efisien.

4. Penempatan Ancaman Pidana

22
DR. Mudzakkir, S.H.M.H. 2008. Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Pidana dan Sistem
Pemidanaan (Politik Hukum dan Pemidanaan). Hlm 19.
Penempatan ancaman pidana dalam rumusan tindak pidana adalah hal yang
penting dalam membuat perundang-undangan yang jelas dan mudah dipahami. Tujuan
utamanya adalah agar ancaman pidana berlaku untuk semua perbuatan yang melanggar
hukum yang dijelaskan dalam pasal tersebut. Memindahkan ancaman pidana ke bagian
awal rumusan tindak pidana, memastikan bahwa ancaman pidana berlaku secara
menyeluruh untuk seluruh perbuatan yang diuraikan. Hal ini membuat perundang-
undangan lebih efektif dan menghindari kesan bahwa ancaman pidana hanya berlaku
untuk satu perbuatan saja23.

Dalam contoh, “Setiap orang yang dengan sengaja:

a. menempatkan...;

b. mentransfer...;

c. membayarkan...;

d. menghibahkan...;

e. menitipkan...;

f. membawa...;

g. menukarkan...;

h. menyembunyikan atau menyamarkan..., dipidana karena tidak pidana pencucian uang


dengan pidana penjara....”

Perumusan ini menjadi lebih baik apabila dirumuskan sebagai berikut:

”Dipidana dengan pidana penjara....., setiap orang yang:

a. menempatkan...;

b. mentransfer...;

c. membayarkan...;

d. menghibahkan...;

23
DR. Mudzakkir, S.H.M.H. 2008. Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Pidana dan Sistem
Pemidanaan (Politik Hukum dan Pemidanaan). Hlm 21
e. menitipkan...;

f. membawa...;

g. menukarkan...;

h. menyembunyikan atau menyamarkan....”

perubahan perumusan tindak pidana menjadi lebih baik, karena ancaman pidana
ditujukan secara jelas kepada semua perbuatan yang dijelaskan dalam huruf a hingga h.
Dengan demikian, tidak ada kesan bahwa ancaman pidana hanya berlaku untuk perbuatan
yang diuraikan dalam huruf h.

Penting untuk menjaga agar peraturan hukum tetap jelas, transparan, dan adil.
Penempatan ancaman pidana yang tepat dalam rumusan tindak pidana adalah salah satu
carauntuk mencapai tujuan tersebut, dan perbaikan dalam perumusan tindak pidana,
seperti yang Anda contohkan, merupakan langkah yang baik dalam menghindari ambigu
dan kesalahan interpretasi hukum.

5. Model Ancaman Pidana

Penyusunan peraturan hukum yang sesuai dan mudah dipahami memerlukan


pertimbangan yang cermat terutama dalam hal pengancaman pidana. Dalam konteks
tindak pidana yang melibatkan korporasi, penggunaan model pengancaman pidana
alternatif atau kombinasi alternatif-kumulatif dapat menjadi pendekatan yang lebih
sesuai. Ini memungkinkan pengadilan untuk lebih fleksibel dalam menentukan sanksi
yang sesuai dengan pelanggaran yang terjadi. Berikut adalah beberapa pertimbangan
lebih lanjut:

1. Konteks Tindak Pidana Korporasi: Mengingat tindak pidana yang melibatkan korporasi
sering kali memiliki karakteristik yang berbeda dari tindak pidana yang dilakukan oleh
individu, pengancaman pidana harus disesuaikan dengan konteks tersebut. Model
alternatif atau kombinasi alternatif-kumulatif memungkinkan pengadilan untuk
menyesuaikan sanksi dengan pelanggaran yang terjadi.
2. Kemungkinan Pidana Pokok yang Berbeda: Seperti yang Anda sebutkan, dalam
beberapa kasus, korporasi mungkin hanya dapat diancam dengan pidana pokok berupa
denda, bukan perampasan kemerdekaan. Model pengancaman kumulatif yang
mewajibkan penerapan keduanya dapat menghambat efektivitas perundang-undangan.
Dalam hal seperti ini, model alternatif atau kombinasi alternatif-kumulatif yang
memungkinkan hakim untuk memilih sanksi yang sesuai akan lebih relevan.

3. Penggunaan Terminologi yang Umum: Menggunakan terminologi yang umum seperti


"setiap orang" atau "setiap pihak" dalam perumusan tindak pidana dapat memungkinkan
pengancaman pidana yang lebih fleksibel. Ini dapat mencakup individu maupun korporasi
tanpa mengharuskan pengadilan untuk menjatuhkan sanksi yang tidak relevan.

4. Keadilan dan Proporsionalitas: Prinsip-prinsip hukum, seperti keadilan dan


proporsionalitas, harus selalu menjadi pertimbangan utama dalam pengembangan
peraturan hukum. Penggunaan model alternatif atau kombinasi alternatif-kumulatif dapat
membantu memastikan bahwa sanksi yang diberikan sesuai dengan tingkat pelanggaran
yang terjadi.

Dalam kasus-kasus di mana korporasi terlibat dalam tindak pidana, perumusan tindak
pidana dan pengancaman pidana yang tepat adalah kunci untuk memastikan bahwa
hukum diterapkan secara adil dan efektif. Fleksibilitas dalam pengancaman pidana dapat
membantu menghindari situasi di mana pengadilan terikat untuk menjatuhkan sanksi
yang tidak sesuai dengan pelanggaran yang terjadi.

Penutup

Kesimpulan

Pemidanaan merupakan aspek hukum pidana yang seringkali menjadi bahan


perbincangan di masyarakat. Pemidanaan terdiri dari yuridis dan sosiologis, dan terlebih
lagi jika yang melakukan tindak pidana adalah seorang yang masih dikategorikan anak
oleh undang-undang. System pemidanaan dapat diartikan sebagi keseluruhan system
(aturan perundang-undangan) untuk fungsionalisasi/operasionalisasi/konkretisasi pidana
dan keseluruhan system (aturan perundang-udangan) yang mengatur bagaimana hukum
pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara concret, sehingga seseorang dijatuhi
sanksi (hukum) pidana.
Dari sudut fungsional, sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai keseluruhan system
aturan atau norma hukum pidana materil untuk pemberian atau penjatuhan dan
pelaksanaan pidana. Dengan pengertian demikian, maka keseluruhan perundang-
undangan (statutory rules) terdapat di KUHP. Muatan hukum pidana dalam KUHP yang
perlu mendapat perhatian adalah pidana, perbuatan pidana, dan pertanggung jawaban
pidana. Muatan hukum pidana dalam KUHP tidak secara eksplisit menetapkan tujuan dan
pedoman pemidanaan, dan perbuatan pidana mengikuti pendekatan positivis yang
mengharuskan perbuatan pidana diatur dalam undang-undang. Pertanggungjawaban
pidana adalah asas kesalahan (culpabilitas) yang tidak dicantumka secara tegas dalam
KUHP.

Pidana adalah respons terhadap tindak pidana yang disengaja dan diberikan oleh
negara kepada pelaku tindak pidana. Ancaman pidana harus memiliki unsur pembalasan,
sehingga penderitaan menjadi bagian dari tujuan jangka pendek dalam penerapan pidana.
Tingkat penderitaan yang dihadapi bervariasi tergantung pada jenis dan beratnya tindak
pidana. Ancaman pidana dalam hukum pidana selalu ditujukan kepada pelaku tindakan,
dan celaan yang semula terkait dengan tindak pidana berubah menjadi celaan terhadap
pelaku. Ancaman pidana berlaku dalam konteks hukum pidana modern dan berlaku untuk
individu dan korporasi. Hal ini mencerminkan perbuhan dalam perkembangan hukum
pidana dari masa lalu. Penempatan ancaman pidana dalam rumusan tindak pidana adalah
hal yang penting dalam membuat perundang-undangan yang jelas dan mudah dipahami.
Model ancaman pidana memerlukan pertimbangan yang cermat terutama dalam
pengancaman pidana. Penggunaan model pengancaman pidana alternatif atau kombinasi
alternatif-kumulatif dapat menjadi pendekatan yang lebih sesuai.
DAFTAR PUSTAKA

C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet ke-8, Balai
Pustaka, Jakarta, 2008, Hlm 346.

Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Cet.ke-2, Sinar Grafika, Jakarta, 2004,
Hlm. 33.

Marpaung Leden, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2008,
Hlm.11

Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung, 2007, Hlm. 13.

Barda Nawawi Arief, Sistem Pemidanaan Dalam Konsep RUNDANG-UNDANG KUHP,


Bahan Sosialisasi RUNDANG-UNDANG KUHP 2004, diselenggarakan oleh
Departemen Hukum dan HAM, tgl. 23-24 Maret 2005, di Hotel Sahid Jakarta.

Ahmad Bahiej, Sejarah dan Problematika Hukum Pidana Materiel di IndonesiaAhmad


Bahiej, Sejarah dan Problematika Hukum Pidana Materiel di Indonesia
DR. Mudzakkir, S.H.M.H. 2008. Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang
Hukum Pidana dan Sistem Pemidanaan (Politik Hukum dan Pemidanaan). Hlm 18.

DR. Mudzakkir, S.H.M.H. 2008. Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang


Hukum Pidana dan Sistem Pemidanaan (Politik Hukum dan Pemidanaan). Hlm 19.

DR. Mudzakkir, S.H.M.H. 2008. Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang


Hukum Pidana dan Sistem Pemidanaan (Politik Hukum dan Pemidanaan). Hlm 21

Anda mungkin juga menyukai