Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

IJTIHAD SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM


Disusun untuk memenuhi tugas mata kulia Pengantar Setudi Islam

Disusun Oleh:

Puji Astuti (Ekonomi Syariah )


Nur Habibah ( Pai )
Nur Aini Putri Nst (PIAUD)

Dosen Pengampu
MARALOTTUNG SIREGAR, M.Pd

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM


ROKAN BAGAN BATU 2023
ABSTRAK

Artikel ini membahas tentang pentingnya ijtihad untuk menemukan status hukum Islam
tentang masalah ketika al-Qur'an diam dan tidak memberikan penjelasan, sementara di
Sunnah juga tidak dapat ditemukan. Tapi seberapa jauh hal-hal itu dapat dimasukkan ke
dalam kerangka ijtihad. Selain itu dibahas juga tentang siapa yang berhak memiliki otoritas
sebagai mujtahid dimana persyaratan yang ditetapkan oleh para sarjana sebelumnya cukup
ketat. Oleh karena itu, muncul pertanyaan bahwa apakah masih memungkinkan pintu untuk
melakukan ijtihad terbuka sampai sekarang? Jika tidak, maka kepada siapa dan di mana umat
Islam akan menemukan jawaban status atas hukum suatu masalah yang kompleks dan terus
berkembang mengikuti perkembangan dan kemajuan zaman
1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
1
Dari sisi metodologis hukum islam dapat dipahami sebagai hukum yang
bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah nabi melalui proses penalaran atau ijtihad. Ia
diyakini sebagai hukum yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dan bersifat
universal. Ruang gerak metodologi antara wahyu sebagai sumber hukum yang memuat
petunjuk-petunjuk global dan jedudukan ijtihad sebagai fungsi pengembangannya,
memungkinkan hukum islam memiliki sifat elastis dan akomodatif sehingga keyakinan
diatas tidaklah belebihan. Karakteristik hukum islam yang bersendikan wahyu dan
bersandarkan akal, menurut Anderson, merupakan ciri khas yang membedakan hukum
islam dari system hukum lainnya. Syariat islam yang disampaikan dalam Al-Qur’an dan
Al-Sunnah seccara komprehensif , memerlukan penelahaan dan pengkjian ilmiah yang
sungguh – sungguh serta berkesinambungan. Di dalam keduanya terdapat lafad yang
‘am-khash, muthlaq – muqayyad, nasikhmansukh, dan muhkam- mutasyabih, yang
masih memerlukan penjelasan. Sementara itu , nas Al-Qur’an dan sunah tekah berhenti,
padahal waaktu terus berjalan dengan sejumlah peristiwa dan persoalan yang datang silih
berganti (al-wahy qad intaha wal al waqa’I layantahi ). Oleh karena itu, diperlukan usaha
penyelesaiian secara sungguh-sungguh atas persoalan-persoalan yang tidak ditunjukan
secara tegas oleh nas itu. Ijtihad menjadi sangat penting.
1.2 Rumusan masalah
 Apa yang dimaksud dengan ijtihad ?
 Apa saja syarat-syarat seorang mujtahid ?
1.3 Tujuan penulisan
 Memperluas wawasan tentang apa itu ijtihad.
 Menuntut mahasiswa agar mampu mengaplikasikan ijtihad dalam kehidupan sehari-
hari.
 Mengetahui syarat-syarat seorang mujtahid dan jenis-jenis ijtihad.

1
Desi Ariani, Ijtihad Sebagai Sumber Ajaran Islam
https://www.academia.edu/12897035/IJTIHAD_SEBAGAI_SUMBER_AJARAN_ISLAM Diakse Pada
Tanggal 23 Oktober 2023 Pada Jam 12:29 )
1.4 Metode dan teknik penulisan
Berbagai metode dan teknik penuisan dapat kita gunakan. Namun dalam hal ini
metode dan teknik penulisan yang kami gunakan dengan cara browsing internet dan
kajian buku.

2
3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN IJTIHAD


Ijtihad secara bahasa ijtihad berasal dari kata jahada. Kata ini beserta seluruh variasinya
menunjukan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit dilaksanakan, atau yang
tidak disenangi .kata ini pun berarti kesanggupan (al wus), kekuatan (al thaqah), dan berat
(al masyaqqah), (ahmad bin ahmad bin ali al muqri al fayumi t.th:112,dan eli’as dan
eli’as. dan ed.e. eli’as 1982:126). Para ulama mengajukan redaksi yang bervariasi dalam
mengartikan kata ijtihad secara bahasa .ahmad bin ahmad bin ali al muqri al
fayumi. Secara bahasa dalam artian jahada terdapat didalam al-Qur’an surat an-nahl (16)
ayat 38 , surat annur (24) ayat 53, dalam surat fathir (35) ayat 42. Semua kata itu berarti
pengarahan segala kemampuan dan kekuatan. Dalam al sunnah kata ijtihad terdapat
dalam sabda nabi yang artinya pada waktu sujud, bersungguh-sungguh dalam
berdo’a dan hadist lain yang artinya “Rosul alloh SAW bersungguh-sungguh pada
sepuluh hari terakhir pada bulan ramadhan.
Dalam sejarah pemikiran Islam, ijtihad telah banyak digunakan.Hakikat ajaran
Al-Qur’an dan hadis memang menghendaki digunakannya ijtihad.Dari ayat Al-Qur’an
yang jumlahnya ± 6300, hanya ±500 ayat, menurut perkiraan ulama, yang berhubungan
dengan akidah, ibadah, dan muamalah. Ayat-ayat tersebut pada umumnya berbentuk
ajaran-ajaran dasar tanpa penjelasan lebih lanjut mengenai maksud, rincian, cara
pelaksanaannya dsb. Untuk itu, ayat-ayat tersebut perlu dijelaskan oleh orang-orang yang
mengetahui Al-Qur’an dan hadis, yaitu pada mulanya Sahabat Nabi dan kemudian para
ulama.Penjelasan oleh para Sahabat Nabi dan para ulama itu diberikan melalui ijtihad.
Kata ijtihad menurut bahasa berarti ‘daya upaya” atau “usaha keras”.Dengan
demikian ijtihad berarti “berusaha keras untuk mencapai atau memperoleh sesuatu”.
Dalam istilah fikih, ijtihad berarti “berusaha keras untuk mengetahui hukum sesuatu
melalui dalil-dalil agama : Al-Qur’an dan hadis” (Badzl al-wus’i fi nail hukm syar’i bi
dalil syar’i min al-kitab wa al-sunnah). Ijtihad dalam istilah fikih inilah yang banyak
dikenal dan digunakan di Indonesia.
Dalam arti luas atau umum, ijtihad juga digunakan dalam bidang-bidang lain
agama. Misalnya Ibn Taimiyah yang menyebutkan bahwa ijtihad juga digunakan dalam
bidang tasawuf dan lain-lain, mengatakan:”Sebenarnya mereka (kaum sufi) adalah
mujtahid-mujtahid dalam masalah kepatuhan,sebagaimana mujtahid-mujtahid lain. Dan
pada hakikatnya mereka (kaum sufi di Bashrah) dalam masalah ibadah dan ahwal (hal
ihwal) ini adalah mujtahid-mujtahid, seperti halnya dengan tetangga mereka di Kufah
yang juga mujtahid-mujtahid dalam masalah hukum, tata negara, dan lain-lain. Dr.
Muhammad al-Ruwaihi juga menjelaskan bahwa di masa-masa akhir ini timbul berbagai
pendapat tentang Islam, baik di Barat, Timur, maupun pada orang Arab serta orang Islam
sendiri.Pendapat-pendapat orang Islam itu merupakan Ijtihad, baik secara perorangan
maupun kolektif, yang memperoleh pahala sesuai dengan benar atau salahnya ijtihad itu.
Berikut adalah sejarah dan perkembangan ijtihad :
1. Bidang Politik
Untuk pertama kalinya ijtihad dilakukan terhadap yang pertama timbul dalam Islam :
siapa pengganti nabi Muhammad sebagai khalifah atau kepala negara setelah beliau
wafat? Kaum Anshar berijtihad bahwa pengganti beliau haruslah salah seorang dari
mereka, dengan alasan merekalah yang menolong beliau ketika dikejar-kejar Kaum
Quraisy Makkah.Sedangkan menurut ijtihad Abu Bakar, yang berhak menjadi
khalifah pengganti Nabi adalah orang Quraisy, dengan alasan Nabi Muhammad
bersabda “para pemuka/ al-aimmah adalah dari golongan Quraisy”.Selama lebih 900
tahun ijtihad Abu Bakarlah yang dipegang oleh ummat Islam, yang dikenal dengan
‘Sunni’.Adapun menurut ijtihad Ali, yang berhak menjadi khalifah pengganti Nabi
ialah keluarga Nabi Muhammad.Ijtihad ini di kemudian hari melahirkan madzhab
Syi’ah.Di dalam madzhab ini terdapat perbedaan pendapat, sehingga melahirkan
Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Ismailiyah, dan Syi’ah 12.Dan kaum khawarij tidak
menyetujui hasil ijtihad kaum Anshar, kaum Sunni, dan kaum Syi’ah. Mereka (kaum
khawarij) berijtihad bahwa muslim manapun, asal memenuhi syarat-syarat yang
diperlukan, dapat menjadi khalifah dan tidak ada ketentuan bahwa ia harus orang
Arab, Quraisy, ataupun keturunan Nabi.
Tidak lama setelah menjadi khalifah, Abu Bakar menghadapi satu masalah; sebagian
orang Islam tidak mau membayarkan zakatnya setelah Nabi Muhammad wafat.Ia
menyelesaikan masalah itu melalui ijtihad. Begitu pula Umar ibn al-Khattab. Melalui
ijtihad ia menyelesaikan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh meluasnya daerah
yang dikuasai oleh tentara Islam. Berlainan dengan ketentuan dan Al-Qur’an dan
sunah Nabi Muhammad, Umar tidak membagi-bagikan tanah itu kepada tentara yang
menaklukkannya.

4
2. Bidang Akidah
Pada zaman Ali ibn Abi Thalib timbul satu masalah: bagaimana kedudukan orang
yang berbuat dosa besar, apakah masih mukmin atau sudah kafir? Kaum Khawarij
berijtihad bahwa orang yang berbuat dosa besar itu keluar dari Islam, dan karena itu ia
adalah kafir. Kaum Murji’ah berijtihad bahwa ia masih mukmin. Sedangkan menurut
Kaum Mu’tazilah, ia tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi muslim.
Dalam bidang akidah ini selanjutnya timbul masalah: apakah perbuatan
manusia itu ciptaan Tuhan atau ciptaan manusia itu sendiri? Mengenai masalah ini,
ijtihad kaum Muktazilah dan Maturidiah Samarkand sama: Perbuatan manusia terjadi
terjadi berkat kehendak dan daya yang diciptakan oleh Tuhan dalam diri manusia. Hal
ini bertentangan dengan ijtihad Asy’ari dan Bazdawi dari Maturidian Bukhara
:perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan. Menurut Asy’ari, manusia hanya
memperoleh perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan/ al-kasb. Sedang menurut al-
Bazdawi, manusia hanya melakukan perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan, dan
untuk ini ia menggunakan istilah maf’ul Tuhan dan fi’il manusia.
Mengenai sifat-sifat Tuhan dalam ajaran Al-Qur’an yang
menggambarkan bentuk jasmani, Asy’ari berijtihad bahwa ayat-ayat yang
berkenaan dengan sifat-sifat Tuhan itu harus diartikan secara harfiah; kursi Tuhan
harus diartika kursi pula, tetapi tidak sama dengan kursi manusia. Sedang menurut
ijtihad kaum Muktazilah ayat-ayat tersebut harus diambil arti tersiratnya, bukan arti
tersuratnya.Dengan demikian, kursi Tuhan berarti kekuasaan Tuhan.
Hasil ijtihad yang berbeda-beda dalam bidang akidah ini melahirkan 5 mazhab ilmu
kalam : Khawarij, Murji’ah, Muktazilah, Asy’ariyah, dan Maturudiah. Dan ajaran
masing-masing mazhab ini mengikat pengikut masing-masing.
3. Bidang Filsafat
Setelah terjadi kontak dengan filsafat Yunani, para ulama Islam mempelajari
pemikiran-pemikiran para filosof Barat. Karena Al-Qur’an tidak merinci tentang
penciptaan alam timbullah ijtihad di kalangan para filosof Islam tentang penciptaan
alam. Menurut al-farabi dan Ibn Sina, Tuhan menciptakan alam ini dari sesuatu yang
telah ada, bukan dari ketidakadaan, melalui pancaran (al-faid) dari Tuhan. Unsur ini
(pancaran) bersifat qadim karena ia diciptakan oleh Tuhan sejak qidam. Dengan
demikian, alam menurut ijtihad mereka adalah qadim ditinjau dari segi
unsurnya.Menciptakan sesuatu dari ketidakadaan menurut filsafat adalah
mustahil.Sedangkan menurut ijtihad al-Ghazali, Tuhan itu Maha Kuasa dan dapat saja

5
menciptakan alam ini dari ketiadaan, dan memang alam ini diciptakan oleh Tuhan
dari ketidakadaan, dan bukan melalui pancaran.Selanjutnya al-Ghazali mengatakan
bahwa karena unsur itu tidak qadim, maka alam pun bukan qadim, tetapi hadis (baru).
Adapun Ibn Rusyd memperkuat ijtihad golongan al-Farabi dengan mengutip dua ayat
Al-Qur’an ;” dan Ialah yang menciptakan langit dan bumi dalam 6 dan tahta-Nya
(pada waktu itu) berada di atas air (Hud, 11:7)dan ayat “Kemudian Iapun naik ke
langit sewaktu ia masih merupakan uap” (Hamim, 41:11)Ibn Rusyd berijtihad,
kedua ayat itu menjelaskan bahwa sebelum bumi dan langit diciptakan oleh
Tuhan, air dan uap itu telah ada. Dari kedua unsur inilah Tuhan menciptakan
alam.Kedua ayat di atas tidak mendukung pendapat al-Ghazali yang
menyatakan bahwa alam diciptakan dari ketidakadaan, dalam arti bahwa sebelum
bumi dan langit diciptakan tak ada sesuatupun selain Tuhan. (Desi Ariani, di akses 23
Oktober 2023)

2.2 Dasar-dasar ijtihad


Adapun yang menjadi dasar hukum ijtihad ialah, Al-Qur’an yang menjadi dasar ijtihad
adalah sebagai berikut .
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan Kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penentang (orang yang tidak
bersalah),karena (membela)orang-orang yang khianat.” (Q.S. Al-Nisa(4):105)

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berpikir.”(Q.S Al-Rum (30):21).
Adapun sunnah yang menjadi dasar ijtihad di antarannya hadis ‘Amr bin al-‘Ash yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad yang menyebutkan bahwa
Nabi Muhammad bersabda :
“Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad,kemudian dia benar
maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam
ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu pahala” (Muslim,II,t.th:62)

6
2.3 Syarat-Syarat Mujtahid
Mujtahid ialah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara istiinbath
(mengeluarkan hukum dari sumber hukum syariat) dan tathbiq (penerapan hukum).
Rukun ijtihad:
 Al-waqi’, yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi yang tidak
diterangkan nas.
 Mujtahid, ialah orang yang melakukan ijtihad yang mempunyai kemampuan
untuk berijtihad dengan syarat-syarat tertentu.
 Mujtahid fih, ialah hukum-hukum syariah yang bersifat amali (takhlifi)
 Dalil syara untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fih (nadiyah syafari
al- umari, t.th:199-200)

Menurut Abu Hamid Muhammad bin Muhammad AL-Ghazali syarat-syarat mujtahid


ada dua:
 Mengetahui syariat-syariat yang ada serta hal-hal yang berkaitan dengannya sehingga
dapat mendahulukan yang seharusnya didahulukan & mengakhiri sesuatu yang
seharusnya diakhiri.
 Adil dan tidak melakukan maksiat yang dapat merusak keadilannya.

Menurut Fakkhr Al-Din Muhammad bin Umar bin Al-Husain al-Razi (1988:496-7),
syarat-syarat mujtahid adalah:
 Mukalaf, karena hanya mukalaflah yang mungkin dapat melakukan penetapan
hukum.
 Mengetahui makna-makna lafad dan rahasianya.
 Mengetahui keadaan mukhathab yang merupakan sebab pertama terjadinya
perintah atau larangan.
 Mengetahui keadaan lafad; apakah memiliki qarinah atau tidak.
Menurut Abu Ishaq bin Musa al-Syatibi (1341 H: 90-1), syarat-syarat mujtahid ada
tiga.
 Memahami tujuan-tujuan syara’ (maqashid al-syari’ah), yaitu dlaruriyyat yang
mencakup pemeliharaan agama (hifzh al-din), pemeliharaan jiwa (hifzh al-
nafs), pemeliharaan akal (hifzh al-aql), pemeliharaan keturunan (hifzh al-nasl), dan
pemeliharaan harta (hifzh al-mal);hajiyyat, dan tahsiniyyat.
 Mampu melakukan penetapan hukum.
 Memahami bahasa arab dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya.

7
Berbeda degan syarat-syarat terdahulu, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-
Syaukani menyodorkan syarat-syarat mujtahid sebagai berikut :
 Mengetahui Al-Qur’an dan al-Sunnah yang bertalian dengan masalah-masalah
hukum.Jumlah ayat-ayat hukum di dalam Al-Qur’an sekitar 500 ayat.
 Mengetahui ijmak sehingga tidak berfatwa atu berpendapat yang menyalahi
ijmak ulama.
 Mengetahui bahasa Arab karena Al-Qur’an dan al-sunnah disusun dalam
bahasa Arab.
 Mengetahui ilmu Ushul Fiqh. Ilmu ini merupakan ilmu terpenting bagi
mujtahid karena membahas dasar-dasar serta hal-hal yang berkaitan dengan
ijtihad.
Dengan demikian, syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid itu
cukup banyak.Maka menurut Muhaimin dkk, sesuai dengan syarat-syarat yang
dimilikinya, mujtahid itu terbagi menjadi beberapa tingkatan.Tingkatan-tingkatan itu
adalah mujtahid muthlaq danmujtahid madzhab. Mujtahid Muthlaq ialah mujtahid
yang mampu menggali hukum-hukum agama dari sumbernya. Di samping itu, ia pun
mampu menerapkan dasar-dasar pokok sebagai landasan ijtihad. Mujtahid mutlaq
terbagai menjadi dua tingkatan. Pertama, mujtahid muthlaq mustaqil, yaitu mujtahid
yang dalam ijtihadnya menggunakan metode dan dasar-dasar yang ia susun sendiri. Ia
tidak taklid kepada mujtahid lainnya, dan bahkan metode dan dasar-dasar yang ia susun
menjadi mazhab tersendiri. Yang termasuk mazhab ini, umpamanya, empat tokoh
mazhab fiqh terkenal seperti Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam
Hambali.Kedua, mujtahid muthlaq muntasib, yaitu mujtahid yang telah mencapai
derajat muthlaq mustaqil tetapi ia tidak menyusun metode sendiri. Mujtahid kelompok
ini tidak taklid kepada imamnya tanpa dalil dan keterangan, ia menggunakan
keterangan imamnya untuk meneliti dalil-dalil dan sumber-sumber pengambilannya.
Contohnya, Al-Mujani dari mazhab Syafi’i dan Al-Hasan bin Ziyad dari mazhab
Hanafi. Mujtahid Fi Al-Mazhab ialah mujtahid yang mampu mengeluarkan hukum-
hukum agama yang tidak dan atau belum dikeluarkan oleh mazhabnya dengan cara
menggunakan metode yang telah disusun oleh mazhabnya itu. Contohnya, Abu Ja’far
Al-Thahtawi dalam mazhab Hanafi. Kelompok mujtahid ini terbagi dua :
 Mujtahid takhrij.
 Mujtahid tarjih atau bisa disebut dengan mujtahid fatwa.

8
2.4 Fungsi Ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal
dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al Quran maupun Al Hadist.Selain
itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern.
Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-
aturanturunan dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-
hari. Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau
di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang
dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al
Hadist.Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang
ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu.Namun jika persoalan
tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al
Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan
Ijtihad.Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al
Quran dan Al Hadist.

2.5 Jenis-jenis ijtihad


 Ijma'
Ijma' artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu
hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara
yang terjadi. Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara
ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa,
yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti
seluruh umat.
 Qiyâs
Qiyas adalah menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum
suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki
kesamaan dalah sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu
sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang
terdapat hal hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya
Beberapa definisi qiyâs (analogi):

9
 Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik
persamaan di antara keduanya.Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif
lainnya, melalui suatu persamaan di antaranya.
 Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [Al-Qur'an]
atau [Hadis] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).
 Menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum di terangkan oleh al-
qur'an dan hadist
 Istihsân
Beberapa definisi Istihsân
 Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa
hal itu adalah benar.
 Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan
olehnya
 Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang
banyak.
 Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
 Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada
sebelumnya...
 Maslahah murshalah
Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan
kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan
menghindari kemudharatan.
 Sududz Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi
kepentinagn umat.
 Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa
mengubahnya.
 Urf
Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan
masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-
aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.

10
11
11

BAB III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Ijtihad secara harfiah adalah usaha keras. Dalam terminology hukum islam itu berarti
berusaha sekeras-kerasnya untuk membentuk penilaian yang bebas tentang sesuatu
masalah hukum.
Mujtahid adalah orang muslim dewasa yang berakal sehat yang mempunyai kapabilitas
& kopetensi untuk menghasilkan hukum-hukum dari sumber-sumbernya.
Ijma' artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu
hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara
yang terjadi.Qiyas adalah menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada
cabangnya, berdasarkan titik persamaan di antara keduanya.Istihsan adalah
argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan
olehnya.
DAFTAR PUSTAKA

Ariani Desi, Ijtihad Sebagai Sumber Ajaran


Islamhttps://www.academia.edu/12897035/IJTIHAD_SEBAGAI_SUMBER_AJARAN_
ISLAM Politeknik Negeri JakartaDepartment Member (DIAKSE PADA TANGGAL 23
OKTOBER 2023 PADA JAM 12:29 )

12

Anda mungkin juga menyukai