Bab I-Dapus
Bab I-Dapus
PENDAHULUAN
1
memperkirakan perjalanan penyebaran infeksi dan penatalaksanaan yang
adekuat.4
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Gambar 2. Potongan oblik leher
2.2. Definisi
Abses leher dalam adalah terkumpulnya pus di dalam ruang potensial di
antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber
infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher.8
Gigi 77 43
Faringotonsilitis 12 6,7
Tuberculosis 9 5,1
Trauma 6 3,4
Sialolitiasis 5 2,8
Parotis 3 1,7
Lain-lain 10 5,6
Tidak diketahui 35
6
2.4. Klasifikasi
a. Abses Peritonsil (Quinsy)
Abses peritonsil merupakan terkumpulnya material purulen yang
terbentuk di luar kapsul tonsil dekat kutub atas tonsil.7
7
Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, juga terdapat odinofagia
(nyeri menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama mengalami
nyeri telinga (otalgia). Rasa nyeri di telinga tersebut karena nyeri alih
melalui saraf n.glossopharyngeus (n.ix). Selain itu, mungkin terdapat
muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), hipersalivasi, suara
gumam (hot potato voice) dan kadang – kadang sukar membuka mulut
(trismus) serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri
tekan.1,6
Pemeriksaan
Oleh karena gejala tismus, kadang – kadang sukar memeriksa
seluruh faring. Palatum mole tampak membengkak dan menonjol ke
depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi
kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan
terdorong ke arah tengah, depan dan bawah.1
Terapi
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotik golongan penisilin
atau klindamisin dan obat simtomatik. Selain itu, juga perlu kumur –
kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher.1
Bila telah terjadi abses, maka dilakukan pungsi pada daerah
abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Lokasi insisi
adalah daerah yang paling menonjol dan lunak atau pada pertengahan
garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir
pada sisi yang sakit.1
8
Gambar 5. Aspirasi abses peritonsil
b. Abses Retrofaring
Abses retrofaring biasanya ditemukan pada anak usia di bawah 5
tahun. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih
9
berisi kelenjar limfa, masing-masing 2-5 buah pada sisi kanan dan kiri.
Kelenjar tersebut menampung aliran limfa dari hidung, sinus paranasal,
nasofaring, faring, tuba Eustachius dan telinga tengah. Kelenjar tersebut
akan mengalami atrofi ketika usia di atas 6 tahun.1
Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan abses retrofaring :1
a) Infeksi saluran nafas atas yang menyebabkan limfadenitis
retrofaring
b) Trauma dinding belakang faring oleh benda asing, seperti
tulang ikan atau tindakan medis.
Gambaran klinik
Gejala utama berupa rasa nyeri (odinofagia) dan sukar menelan
(disfagia) di samping juga gejala-gejala lain berupa demam,
pergerakan leher terbatas, dan sesak nafas. Sesak nafas timbul jika
abses sudah menimbulkan sumbatan jalan nafas, terutama di
hipofaring. Bila peradangan sudah sampai laring, dapat timbul stridor.
Selain itu, sumbatan dapat mengganggu resonansi suara sehingga
terjadi perubahan suara.1
Pada dinding belakang faring tampak benjolan biasanya
unilateral. Mukosa terlihat bengkak dan hiperemis.1
Diagnosis dan diagnosis banding
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi
saluran nafas atas atau trauma, gejala dan tanda klinik serta
pemeriksaan rontgen jaringan lunak leher lateral. Pada hasil rontgen
tersebut akan tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7 mm
pada anak dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm
pada anak dan lebih dari 22 mm pada dewasa serta dapat juga terlihat
berkurangnya lordosis vertebra servikal.1
Diagnosis banding abses retrofaring :1
Adenoiditis
Tumor
Aneurisma aorta
10
Terapi
Terapi abses retrofaring diberikan antibiotika dosis tinggi, untuk
kuman aerob dan anaerob, diberikan secara parenteral. Selain itu,
dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskopi langsung
dalam posisi pasien baring trendelnburg. Pus yang keluar dihisap, agar
tidak terjadi aspirasi. Tindakan tersebut dapat dilakukan dalam
analgesia lokal atau anestesia umum. Pasien dirawat inap sampai
gejala dan tanda infeksi mereda.1
c. Abses Parafaring
Etiologi
Infeksi pada parafaring dapat terjadi dengan cara :1
i. Langsung, akibat tusukan jarum pada saat melakukan
tonsilektomi dengan analgesia. Peradangan terjadi karena
kuman menembus lapisan otot tipis (m. konstriktor faring
superior) yang memisahkan ruang parafaring dari fosa
tonsilaris akibat ujung jarum yang terkontaminasi.
11
ii. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi,
tonsil, faring, hidung, sinus paranasal, mastoid dan
vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk
terjadinya abses parafaring.
iii. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau
submandibula.
Gambaran klinik
Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan
sekitar angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding
lateral faring sehingga menonjol ke arah medial.1
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan
tanda klinik. Bila ragu, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang
berupa rontgen jaringan lunak AP atau CT scan.1
Komplikasi
Penjalaran proses peradangan dapat terjadi secara hematogen,
limfogen atau langsung (perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya.
Penjalaran ke atas mengakibatkan peradangan intrakranial dan ke
bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediatinum.1
Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh
darah. bila pembuluh karotis mengalami nekrosis, kemudian ruptur
sehingga terjadi perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau
endoflebitis, maka dapat timbul tromboflebitis dan septikemia.1
Terapi
Terapi abses parafaring dapat diberikan antibiotika dosis tinggi
secara parenteral terhadap kuman aerob dan anaerob. Evakuasi abses
harus dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan antibiotika dalam 24-
48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis.1
Evakuasi dilakukan dengan cara insisi dari luar dan intra oral.
Insisi dari luar dilakukan 21/2 jari di bawah dan sejajar mandibula.
Secara tumpul eksplorasi dari batas anterior m.sternokleidomastoideus
ke arah belakang menyusuri bagian medial mandibula dan m.pterigoid
12
interna mencapai ruang parafaring dengan terabanya prosesus stiloid.
Bila pus terdapat di dalam selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal
dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan
m.sternokleidomastoideus (cara Mosher).1
d. Abses Submandibula
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang
submaksila. Ruang – ruang tersebut dipisahkan oleh otot milohioid.1
Ruang submaksila dibagi atas ruang submental dan ruang submaksila
lateral oleh otot digastrikus anterior.1
Abses dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu
komponennya sebagai kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher.1
Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar
saliva atau kelenjar limfa submandibula, dan mungkin sebagai
kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain.1
13
Kuman penyebab biasanya campuran kuman aerob dan
anaerob.1
Gambaran klinik
Terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengakakan di
bawah mandibula dan atau di bawah lidah, mungkin berfluktuasi.
Trismus sering ditemukan.1
Terapi
Antibiotika dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob
harus diberikan secara parenteral.1 Dan evakuasi abses dapat
dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal dan
terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan
luas.1
Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi
os.hioid, tergantung letak dan luas abses.1
Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi
mereda.1
2.6. Penatalaksanaan
16
Penatalaksanaan abses leher dalam adalah dengan evakuasi abses baik
dilakukan dengan anestesi lokal maupun dengan anestesi umum. Antibiotik
dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara
parenteral. Hal yang paling penting adalah terjaganya saluran nafas yang
adekuat dan drainase abses yang baik.4
Menurut Poe dkk penatalaksanaan abses leher dalam meliputi operasi
untuk evakuasi dan drainase abses, identifikasi kuman penyebab dan
pemberian antibiotik. Hal ini akan mengurangi komplikasi dan mempercepat
perbaikan.4
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan antibiotika adalah
efektifitas obat terhadap kuman target, risiko peningkatan resistensi kuman
minimal, toksisitas obat rendah, stabilitas tinggi dan masa kerja yang lebih
lama.4
Pemberian antibiotik berdasarkan hasil biakan kuman dan tes kepekaan
antibiotik terhadap kuman penyebab infeksi. Biakan kuman membutuhkan
waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pengobatan harus
segera diberikan. Sebelum hasil kultur kuman dan uji sensitifitas keluar,
diberikan antibiotik kuman aerob dan anaerob secara empiris. Yang SW, dkk
melaporkan pemberian antibiotik kombinasi pada abses leher dalam, yaitu;
Kombinasi penesilin G, klindamisin dan gentamisin, kombinasi ceftriaxone
dan klindamisin, kombinasi ceftriaxone dan metronidazole, kombinasi
cefuroxime dan klindamisin, kombinasi pinisilin dan metronidazole, masing-
masing didapatkan angka perlindungan (keberhasilan) 67,4%, 76,4%, 70,8%,
61,9%. Avest ET, dkk, memberikan antibiotik empiris, kombinasi
metronidazole dengan ceftriaxone.4
Penisilin G merupakan obat terpilih untuk infeksi kuman streptokokus
dan stafilokokus yang tidak menghasilkan enzim penecilinase. Gentamisin
menunjukkan efek sinergis dengan pinisilin. Klindamisin efektif terhadap
streptokokus, pneumokokus dan stafilokokus yang resisten terhadap penisilin.
Lebih khusus pemakaian klindamisin pada infeksi polimicrobial termasuk
Bacteroides sp maupun kuman anaerob lainnya pada daerah oral.4
17
Berbagai kombinasi pemberian antibiotik secara empiris sebelum
didapatkan hasil kepekaan terhadap kuman penyebab, dianjurkan berbagai
ahli seperti terlihat pada (tabel 6).4
18
enterik gram negatif. Cefalosporin generasi III mempunyai efektifitas yang
lebih baik terhadap gram negatif enterik. Dibanding dengan cefalosporin
generasi I, generasi III kurang efektif terhadap kokus gram positif, tapi
sangat efektif terhadap Haemofillus infeluenza, Neisseria sp dan
Pneumokokus. Ceftriaxone dan cefotaxime mempunyai efektifitas terhadap
streptokokus. Ceftriaxone sangat efektif terhadap gram negatif dan
Haemofillus sp, kebanyakan Streptococcus pneumonia dan Neisseriae sp
yang resisiten terhadap penisilin.4
BAB III
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
Abses leher dalam merupakan terkumpulnya pus di dalam ruang
potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai
sumber infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan
leher.
Sumber infeksi paling sering pada abses leher dalam berasal dari infeksi
tonsil dan gigi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Bakteri
19
dari daerah gigi, oro-fasial dan abses leher, kuman yang paling dominan
adalah kuman anaerob yaitu Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium spp,
dan Peptostreptococcus spp. Bakteri aerob dan fakultatif adalah
Streptococcus pyogenic dan Stapylococcus aureus.
Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu
hematogen, limfogen, dan celah antar ruang leher dalam. Beratnya infeksi
tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi.
Abses leher dalam terdiri dari abses peritonsil, abses parafaring, abses
submandibula, abses retrofaring dan angina ludovici yang dapat di diagnosa
berdasarkan anamnesa pasien yaitu dari gejala yang dirasakan, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang.
Penatalaksanaan abses leher dalam adalah dengan evakuasi abses baik
dilakukan dengan anestesi lokal maupun dengan anestesi umum. Antibiotik
dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara
parenteral. Hal ini akan mengurangi komplikasi dan mempercepat perbaikan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Fachruddin D. 2012. Abses Leher Dalam. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga
Hidung dan Tenggorok. Edisi Ketujuh. Jakarta. Balai Penerbit FK UI.
2. Andrina YMR. Abses Retrofaring. 2003. Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu
Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan Universitas Sumatera Utara. Diunduh
dari : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3464/1/tht-andrina2.pdf
pada tanggal 19 Agustus 2014
3. Baba Y, Kato Y, Saito H, Ogawa K. 2009. Management of deep neck
infection by transnasal approach: a case report. Journal of Medical Case
20
Report, 3:7317. Diunduh dari www.jmedicalcasereports.com pada tanggal 19
Agustus 2014
4. Pulungan, M.Rusli. Pola Kuman Abses Leher Dalam. Diunduh dari
http://repository.unand.ac.id/18384/1/Pola%20Kuman%20Abses%20Leher
%20Dalam.pdf pada tanggal 19 Agustus 2014
5. Schreiner C, Quinn FB. 1998. Deep Neck Abscesses and Life Threatening
Infections of The Head and Neck. Dept of Otolaryngology UTMB. Diunduh
dari : www.otohns.net pada tanggal 19 Agustus 2014
6. Murray A.D. MD, Marcincuk M.C. MD. Deep Neck Infections. [diperbaharui
Juli 2009]. Diunduh dari :
www.eMedicine_Specialities//Otolaringology_and_facial_plastic_surgery.co
m pada tanggal 19 Agustus 2014
7. Edinger JT, Hilal EY, Dastur KJ.2007. Bilateral Peritonsillar Abscesses: A
Challenging Diagnosis Ear, Nose, & Throat Journal. 86(3):162-3 Diunduh
dari www.entjournal.com pada tanggal 19 Agustus 2014
8. Gadre AK, Gadre KC. 2006. Infection of the deep space of the neck.
Otolaryngology Head and Neck Surgery. Edisi keempat. Philadelphia : JB.
Lippincott Company
21