Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH AL-KINDI & IBNU SINA

MAKALAH AL-KINDI & IBNU SINA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Arti Penting Kedua Tokoh Untuk Dibahas Sebagai Materi Makalah.


Eksistensi tuhan dianggap sebagai syarat penting untuk mempercayai dan
meyakini akan keesaan tuhan, seperti para filosof-filosof islam yang mencoba
memberikan diskripsi ataupun pandangan terhadap eksistensi tuhan.
Eksistensi yang sebenarnya yang ada, tidak akan tidak ada untuk selamanya,
bahkan ia selalu ada. Ia adalah pencipta yang maha kuasa, dan maha bijaksana.
Para filosof islam mencoba mengkaitkan dengan keesaan akal dan keesaan
tuhan. Seperti yang di angkat oleh Al-Kindi dan Ibnu Sina. Yang nantinya
menjadi awal tersendiri bagi kemajemukan dan pemahaman para penganut
agam di Indonesia khususnya islam di Indonesia. Hasil-hasil pemikiran tentang
kemajuan tuhan yang di komparasikan dengan realita-realita yang ada, ”Esa
adalah akal yang mengetahui dirinya”. Penting sekali kami menganut dua tokoh
pemikir islam yang nantinya berguna untuk kita renungi bersama tentang
pemikiran Al-Kindi dan Ibnu Sina untuk Indonesia sebagai benteng untuk
memperkokoh keimanan akan eksistensi tuhan yang sebenarnya.

B. Biografi Kedua Tokoh Filsuf


a. Biografi Al-Kindi
Nama Al-Kindi adalah Nisbat pada suku yang menjadi asal cikal, yaitu Banu
Kindah. Banu Kindah adalah suku keturunan Kindah yang sejak dulu
menempati daerah selatan Jazirah Arab yang tergolong memiliki apresiasi
kebudayaan yang sukup tinggi.
Nama lengkap Abu Yusuf – Ya’Kub Ibnu Ishak Al-Sabbah, Ibnu Imron, Ibnu
Al-Asha’ath, Ibnu Kays, Al-kindi. Beliau bisa disebut Ya’Kub, lahir pada tahun
185 H (801 M) di Kufah. orang tuanya bernama Ishaq As-shahbbah, Ishaq As-
shahbbah adalah Gubernur di Kuffah pada masa Pemerintahan Al-Mahdi dan
Harun Al-Rasyid dari Bani Abbas. Ia seorang penganut M’tazilah dan kemudian
belajar filsafat. Zaman dialah terjadi penerjemahan buku-buku Yunani kedalam
Bahasa Arab dan diduga ia juga aktif menerjemahkan buku-buku tersebut,
namun demikian, ia lebih banyak membuat kesimpulan dari terjemahan-
terjemahan tersebut.

b. Biografi Ibnu Sina (Avicenna)


Nama lengkap (Avicenna) Ibnu Sina adalah Abu Ali Al-Hosain bin Abdullah
Ibnu Sina, di Eropa dia lebih dikenal dengan nama Avicenna. Beliau lahir
disebuah Desa, Desa Assyam, di daerah Bukhara pada tahun 340 H. yang
bertepatan dengan tahun 980 M. Kelahiran beliau di tengah masa yang sedang
kacau. Di mana kekuasaan Abbasyah mulai mundur dan negeri-negeri yang
mula-mula berada dibawah kekuasaannya kini mulai melepaskan diri dan untuk
berdiri sendiri. Avicenna adalah seorang filosof yang cerdas, jenius, pada umur
10 th sudah dapat menghafal Al-Qur’an. Dan dia pun juga sudah menguasai
logika, matematika dan ilmu kedokteran.

BAB II
AJARAN KEDUA TOKOH

A. Ajaran Al-Kindi
Al-Kindi adalah filosof islam yang mempercayai kepada kemampuan akal unuk
memperoleh pengetahuan yang benar, Al-Kindi berupaya mempertemukan
ajaran-ajaran islam pada filsafat Yunani apalagi dalam masalah keesaan tuhan.
Ia bependapat bahwa Allah Esa tak terbilang, sama sekali tidak menyamai
lakhluknya, kekal tak akan fana. Ia adalah esa yang sebenarnya karena ia esa
dengan sendirinya karena tidak mengambil keesaan-nya dari selain diri-nya.
Dan esa karena bilangan yang tidak bisa menerima beberapa dan bagaimana,
dan bersama-sama entitas-entitas (yang lain) tidak masuk kedalam klasifikasi
Genus atau Spesies, ia adalah penggerak pertama yang tidak bergerak, sebab
pertama yang tak bersebab dan eksistensi yang sebenarnya yang ada. Tidak
akan tidak ada untuk selamanya, bahkan ia selalu ada. ia adalah pencipta yang
maha kuasa dan maha bijak. Jadi Al-Kindi menetapakan bahwa Al-Ba’ri (tuhan)
punya sifat-sifat zat, Af’al dan negasi, seperti yang si sebutkan di dalam asar
dan apa yang di pegangi oleh Mu’tazilah tetapi ia mengembalikan semua itu
kepada zat untuk menggemakan ide monoteisme. Karena sifat-sifat itu bukan
sesuatu yang bisa dibedakan dan dipisahkan dari zat. Tuhan adalah wujud yang
hak, ia ada dari semula dan ada pula untuk selama-lama-nya, tuhan adalah
wujud yang sempurna, yang tidak didahului oleh wujud lain. Wujud-nya tidak
berakhir dan tidak ada wujud selain dari pada-nya dan mustahil dia tidak ada.
 Pembuktian ada-nya tuhan
1. Barunya alam
2. Keragaman dalam wujud
3. Kerapian alam
Tuhan dalam filsafat Al-Kindi tidaklah mempunyai hakikat dalam arti a’niyah
maupun ma’hiyah, tuhan bukanlah benda, dan tidak temasuk benda yang ada
dalam alam. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tuhan juga tidak
mempunyai haikat dalam bentuk ma’hiyah. Karena tuhan tidak merupakan
Genus atau Spesies. Tuhan tidak ada yang serupa dengan-nya, Ia adalah unik, ia
adalah yang benar pertama.

a. Epistemologi
Al-Kindi menyebutkan adanya tiga macam pengethuan manusia. Yaitu: (a).
Pengetahuan Inderawi, (b). Pengetahuan yang diperoleh dengan jalan
menggunakan akal yang disebut pengetahuan rasional dan (c). Pengetahuan
yang di peroleh langsung dari tuhan yang di sebut pengetahuan Isyarat atau
aluminatif.
1. Pengetahuan Inderawi
Pengetahuan Inderawi terjadi secara langsung ketika orang mengamati terhadap
objek-objek material, kemudian dalam proses tenpa tenggang waktu dan tanpa
berupaya berpindah ke imajinasi (musyawwirah), di teruskan ke tempat
penampungannya yang di sebit hafizhah (pecollection). Pengetahuan yang di
peroleh dengam jalan ini tidak tetap: Karena objek yang di amati pun tidak
tetap. Selalu dalam keadaan menjadi, berubah setiap saat, bergerak, berlebih-
berkurang kualitasnya dan berubah pula kualitasnya.
2. Pengetahuan Rasional
Pengetahuan tentang sesuatu yang di peroleh dari jalan mengunakan akal
bersifat universal, tidak parsial, dan bersifat immaterial, objeck pengetahuan
rasional bukan individu, tetapi Genus dan spesies, orang mengamati manusia
sebagai yang berbadan tegak dengan dua kali, pendek, jengkung, semua ini akan
menghasilkan pengetahuan inderawi. Tetapi orang yang mengamati manusia,
menyelidiki hakekatnya sehingga sampai pada kesimpulanbahwa manusia
adalah makhluk berfikir (rsional animal). Telah memperoleh pengetahuan
rasional yang abstrak universal, mencakup semua individu manusia, manusia
yang telah di tajrid (di pisahkan) dari yang inderawi tidak mempunyai gambar
yang tertulis dalam perasaan.
Al-Kindi memperingatkan agar orang tidak metode yang di tempuh untuk
memperoleh pengetahuan, karena setiap ilmu mempunyai metodenya sendiri
yang sesuai dengan watakmya. Watak ilmulah yang menentukan metodenya
sendiri. Adalah satu kesalahan jika menggunakan metode ilmu alam untuk
matematiaka atau metafisika.
3. Pengetahuan Isyaraqi
Al-Kindi mengatakan bahwa pengetahuan inderawi saja tidak akan sampai pada
pengetahuan rasional terbatas pada pengetahuan tenatng Genus dan Spesies.
Banyak filosof yang membatasi jalan memperoleh pengetahuan pada dua
macam jalan ini. Al-Kindi sebagaimana halnya banyak filosof Isyaraqi.
Mengingatkan adanya jalan lain untuk memperoleh pengetahuan lewat jalan
Isyaqi (Iluminasi). Yaitu pengetahuan yang langsung di peroleh dari pancaran
nur Ilahi. Puncak dari jalan ini ialah yang di peroleh para Nabi untuk
membawakan tentang ajaran-ajaran yang berasal dari wahyu kepada umatnya.
Para Nabi memperoleh pengetahuan yang berasal dari wahyu tuhan tanpa
upaya, tanpa pengetahuan mereka terjadi atas kehendak tuhan semata-mata,
tuhan mensucikan mereka dan di terangkan-nya pula jiwa mereka untuk
memperoleh kebenaran memperoleh jalan wahyu. Pengetahuan dari jalan
wahyu ini merupakan kekuasaan bagi para Nabi yang membedakan dengan
manusia-manusia lainnya. Karena pengetahuan itu memang ada pada saat
manusia biasa tidak mampu mengusahakannya. Karena hal itu memang di luar
kemampuan manusia. Bagi manusia tidak ada jalan lain kecuali menerima
dengan penuh ketaatan dan ketundukan terhadap kehendaknya. Membenarkan
semua yang di bawa Nabi.
4. Metafisika
Sebagaimana telah di sebutkan di muka, Al-Kindi mengatakan bahwa filsafat
yang tertinggi martabat-nya adalah filsafat pertama yang membicarakan tentang
Causa Prima. Filsafat metafisika Al-Kindi di tulis dalam beberapa makalahnya.
Khususnya dalam dua makalah yaitu tentang filsafat, pertama dan tentang ke
esaan tuhan dan berakhirnya alam. Dalam dua makalah ini Al-Kindi membahas
dengan panjang lebar tentang hakikat tuhan dan sifat-sifat tuhan.
Tentang hakikat tuhan, Al-Kindi mengatakan bahwa tuhan adalah wujud yang
haq (sebenarnya) yang tidak pernah tiada sebelum-nya dan tidak akan pernah
tiada selama-lama-nya, tuhan adalah wujud sempurna yang tidak pernah di
dahului wujud lain. dan wujudnya tidak akan pernah berakhir serta tidak ada
wujud lain melainkan perantaranya.
Untuk membuktikan tentang wujud tuhan, Al-Kindi berpijak pada adanya
gerak, keanekaan, dan keteraturan alam sebagaimana argumentasi yang sering
di kemukakan oleh filosof Yunani.
Sehubunga dengan dalil gerak, Al-Kindi mengajukan pertanyaan sekaligus
memberikan jawaban-nya dalam ungkapan berikut:
”ungkinkah sesuatu menjadi sebab adanya adanya sendiri, ataukah hal itu tidak
mungkin? Jawaban-nya: Yang demikian itu tidak mungkin, dengan demikian,
alam ini adalah baru, ada permulaan dalam waktu, demikian pula alam ini ada
akhirnya, oleh karena-nya alam ini harus ada yang menciptakannya. Dari segi
filsafat, argument Al-Kindi itu sejalan dengan argument Aristoteles tentang
Causa Prima dan penggerak pertama. Penggerak yang tidak bergerak. Dari segi
agama, argument Al-Kindi itu sejalan dengan argument ilmu Kalam. Alam
berubah-ubah, semua yang berubah-ubah adalah baru. Maka alam adalah
ciptaan yang mengharuskan ada penciptaan-nya. Yang menciptakan dari tiada.
Tentang dalil kealam wujud, Al-Kindi mengatakan bahwa tidak mungkin
keanekaan alam wujud ini tanpa ada kesatuan. Demikian pula sebaiknya tidak
mungkin ada kesatuan tanpa keanekaan alam inderawi atau yang dapat di
pandang sebagai inderawi, karena dalam wujud semuanya mempunyai
kesamaan keanekaan dan kesatuan. Maka sudah pastilah hal ini terjadi karena
ada sebab. Bukan karena kebetulan, dan sebab ini bukan alam wujuad yang
mempunyai persamaan dan kebenaran dan keseragaman Itu sendiri. Jika tidak
demikian akan terjadi hubungan sebab-akibat yang tidak berkesudahan, dan hal
ini tidak mungkin terjadi, oleh karenya, sebab itu adalah di luar wujud itu
sendiri. Eksistensinya lebih tinggi, lebih mulia. Dan lebih dulu adanya. Sebab
ini tidak lain adalah tuhan. Mengenai dalil keteraturan alam wujud sebagai bukti
adanya tuhan. Al-Kindi mengatakan bahwa keteraturan alam inderawi tidak
mungkin terjadi kecuali dengan adanya dzat yang tidak terlihat, dan dzat yang
tidak terlihat itu tidak mungkin di ketahui adanya kecuali dengan adanya
keteraturan dan bekas-bekas yang menunjukkan adanya yang terdapat dalam
alam ini. Argument demikian ini di sebut argument teologik yang pernah juga di
gunakan Aristoteles, tetapi juga bisa diperoleh dari adanya ayat-ayat Al-Qu’an.
Tentang sifat-sifat tuhan, Al-Kindi berpendirian seperti golongan meu’tazilah,
yang menonjolkan ke esaan sebagai satu-satu-nya sifat tuhan.
B. Etika
Filsafat adalah upaya meneladani perbuatan-perbuatan tuhan sejauh dapat
dijangkau oleh kemampuan manusia, yang dimaksud dengan definisi adalah
agar manusia memiliki keutamaan yang sempurna. Filsafat di berikan definisi
juga sebadai latihan untuk mati. Yang dimaksud ialah mematikan hawa nafsu,
mematikan hawa adalah jalan untuk memperoleh keutamaan, kenikmata,. Hidup
lahiriyah adalah keburukan. Bekerja untuk memperoleh kenikmatan lahiriyah
berarti meninggalkan penggunaan akal.
Pertanyaan yang dapat di ajukan ialah bagaimana cara untuk memnjadi manusia
yang memiliki keutamaan yang sempurna itu, bagaimana cara untuk mematikan
hawa nafsu agar dapat mencapai keutamaan itu. Jawabanya ialah: ketahuilah
keutamaan ada bertingkah lakulah sesuai tuntutan keutamaan itu. Al-Kindi
berpendapat bahwa keutamaan manusiawi tidak lain adalah budi pekerti
manusiawi yang terpuji, keutamaan ini kemudian di bagi menjadi tiga bagian.
Pertama merupakan asas dalam jiwa. tetapi bukan asas yang negatif, yaitu
pengetahuan dan perbuatan (ilmu dan amal). Bagian ini di bagi menjadi tiga
pula. Yaitu kebijaksanaan (hikmah), keberanian (saja’ah), dan kesucian (iffah).
Kebijaksanaan adalah keutamaan daya pikir, yang kebijaksaan teoritis ialah
mengetahui segala sesuatu yang bersifat universal secara hakiki dan
kebijaksanaan praksis ialah menggunakan kenyataan-kenyataan yang wajib
dipergunakan keberanian merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa yang
memandang ringan kepada kematian untuk mencapai dan menolak sesuatu yang
memang harus di tolak, kesucian adalah memperolah sesuatu yang memang
harus di perolah guna mendidik dan memelihara badan serta manahan diri dari
yang tidak di perlukan untuk itu.

C. Ajaran Avicenna
Ibnu Sina tentang wujud, sebagaimana para filosof muslim terdahulu, dari
tuhanlah kemaujudan yang mesti mengalir intelegensi pertama, sendirian karena
dari yang tunggal. Yang mutlak, sesuatu dapat terwujud tetapi sifat intelegensi
pertama itu tidak dapat selamanya mutlak satu. Karena ia bukan ada dengan
sendirinya, ia hanya mungkin dan hanya kemungkinan-nya itu di wujudkan oleh
tuhan.
Ibnu Sina tidak banyak keluar dari gairis ini, karena baginya Allah adalah
sesuatu yang harus ada dengan sendirinya (Al-Wajib Bizatin), tidak ada sesuatu
apapun juga yang menyekutui-nya dalam substansinya, karena ia tidak memiliki
tandingan maupun lawan. Genus Differensia maupun batasan, ia mengetahui
segala sesuatu dari segi adanya sesutu itu di dalam rangkaian umum sistem
alam. Sebab ia mengetahui hal-hal universal dan partikular. Mengerahui segala
sesuatu karena segala sesuatu yang ada di alam ini bertumpu pada-nya.
Hanya tuhan saja yang memiliki wujud tunggal secara mutlak, sedang segala
sesuatu yang lain memiliki kuadrat mendua karena ketunggalan-nya. Maka
apakah tuhan itu dan kenyataan bahwa ia ada, bukanlah dua unsur dalam satu
wujud tetapi satu unsur atomik dalam wujud yang tunggal. Tentang apakah
tuhan itu, hakikat dia adalah identik dengan eksistensi-nya. Hal ini bukan
merupakan merupkan kejadian bagi wujud lainnya. Karena tidak ada kejadian
lain yang eksistensi-nya identik dengan esensi-nya. Adanya tuhan adalah suatu
keniscayaan, sedang adana sesuatu yang lain hanya mungkin dan diturunkan
oleh adanya tuhan dan dugaan bahwa tuhan itu tidak ada mengandung
kontradiksi, karena dengan demikian yang lainpun juga tidak akan ada.
Argumentasi kosmologi yang di dasarkan pada doktrin Aristoteles tentang
sebab ertama, akan sisa-sisa dalam pembuktian tuhan, meskipun demikian Ibnu
Sina tidak memiliki untuk membangun argument ontologis.

Essensi dan wujud dapat mempunyai dua kombinasi.


1. Essensi yang tak dapat mempunyai dua kombinasi disebut oleh Ibnu Sina
mumtani: Yaitu sesuatu yang mustahil berwujud (impossible being).
2. Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai
wujud, yang serupa itu disebut mumkin, yaitu sesuatu yang mungkin berwujud
tetapi mungkin pula tidak berwujud, contohnya adalah alam ini yang pada
mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya hancur menjadi tidak ada.
Essensi yang tak boleh tidak mesti mempunyai wujud, disini essensi tidak bisa
di pisahkan dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu, disini essensi
tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud. Sebagaimana halnya
dengan essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi mesti dan wajib mempunyai
wujud selama-lamanya. Yang serupa ini di sebut mesti berwujud, yaitu tuhan,
wajib Al-Wujud inilah yang mewujudkan Al-Wujud.
Ajaran Avicenna yang juga perlu dikupas lebih mendalam yaitu pendapat beliau
mengenai jiwa manusia dan mengenai nabi dan kenabian
Jiwa Manusia
Jiwa itu diwujudkan ketika muncul tubuh yang siap dan sanggup menerimanya.
Jiwa itulah yang menjadi sebab hidup, penggerak dan pengendali tubuh.
Sebagai bukti adanya jiwa pada manusia Ibnu Sina berpendapat; “wahai anda
yang berpikir, perhatikanlah bahwa anda yang sekarang berada dalam diri
adalah dia yang telah ada sepanjang usia anda sehingga anda dapat mengingat
banyak hal dari hal ihwal anda.
Nabi dan Kenabian
Ibnu Sina juga menjelaskan secara khusus mengenai kenabian dalam Risalah fi
Isbat an-Nubuwwah bahwa terdapat perbedaan keutamaan pada seganap wujud.
Ibnu Sina juga menegaskan bahwa pada nabi, yang akal teoritisnya beraktual
sempurna secara langsung, lebih utama dari mereka (para filsuf) yang akal
teoritisnya berkembang secara tidak langsung yaitu dengan jalan perantaraan
seperti latihan dan belajar keras.

BAB III
KELEBIHAN MASING-MASING TOKOH

A. Kelebihan Dan Kekurangan (Al-Kindi)


1. Kelebihan
Karangan-karangan Al-Kindi mengenai filsafat menunjukkan ketelitian dan
kecermatannya dalam memberikan batasan-batasan makna istilah-istilah yang
dipergunakan dalam terminologi filsafat. Selain kemampuan-nya dalam
menerjemahkan filsafat Yunani, Al-Kindi juga berani membantah filosof-filosof
barat yang tidak sejalan dengan ajaran islam yang di peluknya, apalagi dalam
masalah-masalah ketuhanan yang sering menimbulkan kontradiktif. Filsafat Al-
Kindi mempunyai hal yang sangat penting selain filsafat bagus juga menjadi
pijakan awal filosof sesudahnya.
2. Kekurangan
Karya-karya Al-Kindi kebanyakan hanya berupa makalah-makalah pendek yang
di nilai kurang mendalam di bandingkan dengan tulisan Ibnu Sina. Al-Farabi,
sehingga karya-karya Al-Kindi sangat sulit di pahami karena banyak
keterputusan dari makalah yang satu dengan yang lain.

B. Kelebihan dan Kekurangan (Avicenna).


1. Kelebihan
Ibnu Sina meskipun di sebutkan oleh kegiatan politik namun, karena
kecerdasan-nya menyebabkan ia mampu menulis beberapa buku. Karena ia
pandai mengatur waktu dalam aktifitas, politik, mengajar dan mengarang.
Ajaran-ajaran Avicenna sangat mengenak pada para-para pelajar di karenakan
hasil pemikirannya mempunyai nilai plus apalagi dalam masalah ketuhanan
semuanya tidak keluar dari real-real ajaran islam walaupun di komparasikan
dengan logika. Yang akhirnya mempunyai komparasi yang sinergis dari filsafat
logika dan ajaran islam.
2. Kelemahan
Dari filsafat Avicenna yang note beni membicarakan masalah ketuhanan
ternyata banyak di pengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Aristoteles, khususnya
Maqa’lah Al-Lam dari buku metafisika-nya. Beliau mengambil banyak
pendapat Aristoteles dan menulang –ulang sebagian dari pernyataan-nya.
Seperti yang Esa adalah akal yang mengetahui diri-nya padahal dalam hal ini
Aristoteles lebih mendahului mereka.

BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari beberapa uraian diatas, kami dapat menyimpulkan tetang eksistensi tuhan
yang di deskripsikan oleh kedua tokoh filsafat islam diatas, bahwa Allah Esa tak
terbilang sama sekali tidak menyamai makhluknya, kekal dan tak akan fana’, ia
adalah esa dengan sendirinya karena tidak mengambil ke esaan-nya dari selain
diri-nya. Dan esa karena bilangan yang tidak bisa menerima selain beberapa dan
bagaimana, dan bersama-sama entitas lain, tidak masuk ke dalam klasifikasi
Genur atau Spesies. Dengan adanya ke esaan tuhan, semoga menjadi pandangan
yang lebih spesifik tentang eksistensi Allah dan lebih memantapkan keyakinan
kita bersama amien.
B. RELEFANSINYA BAGI BANGSA INDONESIA
Dalam keanekaragaman serta kemajemukan yang ada di Indonesia menjadi
kendala tersendiri tentang keyakianan adanya tuhan yang menjadikan banyak
perbedaan dalam menafsirkan-nya. Namun, dengan hadirnya filosof-filosof
islam yang memberikan sumbangsih tersendiri bagi bangsa Indonesia,
khususnya bagi masyarakat pemeluk agama islam. Pemikiran-pemikiran Al-
Kindi dan Ibnu Sina mempunyai relefansi tersendiri bagi bangsa Indonesia,
selain lebih menunjang kepada fokus masalah ketuhanan yang bisa menjadi
pegangan dan sanggahan-sanggahan langsung yang mencoba memantapkan
pemahaman islam terhadap eksistensi tuhan yang diyakini oleh umat islam di
Indonesia. Islam yang sangat mempercayai ke tunggalan tuhan adalah senada
dengan ajaran-ajaran para filosof di atas yang mencoba mengkomparasikan
dengan akal dan bukti-bukti yang menunjukkan realita yang nyata. Yakni
dengan adanya alam dan lain sebagai-nya, semoga pemikiran-pemikiran filosof
di atas memberikan sesuatu yang lebih bermakna dan berguna bagi bangsa
Indonesia pada umumnya dan bagi umat islam pada khusus-nya yang ada di
Indonesi amien.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. Juhaya, S Praja. Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Bandung, Penerbit


Yayasan Piara. 1997
Jujun, S Suria Sumantri, Ilmu dan Perspektif, Jakarta, Yaasan Obor Indonesia,
1997.
Dr. P Hardono, Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, Bandung, Kanesius.
1994.
Drs. H.A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung, Penerbit Pustaka Setia, 1997.
Dr. Ibrahim Madkur, Aliran dan Teori Filsafat Islam. Sinar Grafika Offset,
Al-Farabi, Al-Samrah, Leiden: 1895.

Anda mungkin juga menyukai