Anda di halaman 1dari 14

DAKWAH DALAM PERSPEKTIF ILMU DAKWAH

KONTEMPORER
Zakaria Fazri
UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
zakariafazri1965@gmail.com
Abstract
The existence of contemporary da'wah needs to be closer to science, especially in dealing with
contemporary problems today. Islam, rahmatan lil 'alamin religion must be able to provide
contributions and solutions to the development and change of modern society. So far, Islamic
civilization has experienced stagnation and has even moved away from the hustle and bustle of
the world of science. If we look back, it was precisely Islam as a pioneer of scientific
discoveries which were later developed by Western civilization. Science and world civilization
today, the direction of which is in Western civilization and it is as if Islamic civilization will
experience stagnation without significant progress for the benefit of the people. The decline of
science in Islam was triggered by the blocking of Muslim thought by closing the door of ijtihad
plus the epistemological discourse of classical Islamic scholarship with a Ghazalian pattern (Al-
Ghazali school of thought) which was more dominant recently. It is not surprising that the
findings of science and technology are far behind those of the West, even in the Muslim world,
scientific findings are almost non-existent. In order for Islamic da'wah to care again about the
vision of science as in the early days of Islamic scientific civilization, there are several offers of
epistemology and methods of da'wah through contemporary Muslim scholarship, which today
need to be tried again by reintroducing science and religion integration using the four paradigm
knives offered. by Ian Barbour namely: typology of conflict, independence, dialogue, and
integration. In addition, there needs to be a redefinition or reconceptualization of the discourse
of integration of science and religion in Islamic da'wah science.

Key words: Contemporary Da'wah Science;

Abstrak
Keberadaan dakwah kontemporer perlu didekatkan dengan sains, terutama dalam menghadapi
masalah-masalah kontemporer dewasa ini. Islam agama rahmatan lil ‘alamin harus mampu
memberikan kontribusi dan solusi terhadap perkembangan dan perubahan masyarakat modern.
Selama ini peradaban Islam, mengalami stagnan bahkan Islam menjauh dari hiruk- pikuk dunia
sains. Kalau kita menengok ke belakang, justru Islam sebagai pelopor terhadap temuan-temuan
sains yang kemudian dikembangkan oleh peradaban Barat. Ilmu pengetahuan dan peradaban
dunia sekarang ini, kiblatnya berada pada peradaban Barat dan seakan-peradaban Islam akan
mengalami stagnan tanpa kemajuan yang signifikan untuk kemaslahatan umat. Kemunduran
sains dalam Islam dipicu oleh pemasungan pemikiran umat Islam dengan ditutupnya pintu
ijtihad ditambah lagi wacana epistemologi keilmuan Islam klasik yang berpola Ghazalian
(mazhab Al-Ghazali) yang belakangan lebih dominan. Tidak heran kalau prestasi temuan di
bidang iptek kalah jauh dari orang Barat, bahkan dalam dunia Muslim temuan sains hampir
tidak dikatakan tidak ada. Agar dakwah Islam kembali peduli dengan visi sains seperti pada
awal-awal peradaban keilmuan Islam, ada beberapa tawaran epistemologi dan metode dakwah
melalui keilmuan muslim kontemporer, yang saat ini perlu dicoba dengan melakukan kembali
untuk melakukan Integrasi sains dan agama dengan menggunakan pisau empat paradigma yang
ditawarkan oleh Ian Barbour yaitu: tipologi konflik, independensi, dialog, dan Integrasi. Selain
itu perlu adanya redefenisi atau rekonseptualisasi terhadap wacana Integrasi sains dan agama
dalam keilmuan dakwah Islam.

Kata kunci: Ilmu Dakwah Kontemporer;


1
A. Pendahuluan

Empat puluh tahun lebih, terhitung sejak berdirinya Fakultas Dakwah di Indonesia,
perihal dakwah telah dikaji secara keilmuan dengan lebih mendalam. Akan tetapi sampai
saat ini belum muncul buku pokok yang menjadi rujukan dan disepakati oleh Perguruan
Tinggi Keagamaan Islam atau setidaknya disepakati oleh Fakultas Dakwah maupun Jurusan
Dakwah yang bernaung di bawah payung Kementerian Agama Republik Indonesia. Memang
tulisan yang mengkaji tentang dakwah cukup banyak tersedia. Namun tulisan-tulisan tentang
ilmu dakwah yang ada lebih banyak berorientasi pada dua kutub yang belum dipersatukan, yakni
kutub normatif (naqliyah) dan kutub praktis (reality). Padahal idealnya ada penengah yang
lebih ilmiah untuk mempertemukan keduanya. Oleh karena itu buku yang nantinya
dimaksudkan dapat menjadi bahan ajar ilmu dakwah ini akan mencoba menguraikan
keduanya dengan memulai analisa dari kutub normatif idealis yang bersumber dari al-Quran
dan Hadits terlebih dahulu.

Pembahasan pada bab pertama ini dimulai dengan melihat dakwah dalam konteks
Agama Islam secara menyeluruh atau sebagai suatu sistem. Disebut dengan sistem karena
Islam sebagai agama memiliki pilar-pilar pokok yang satu sama lain saling berhubungan erat
dan mempengaruhi, yakni: aqidah (sistem keyakinan), syari’ah (sistem hukum), ibadah (sistem
amal), akhlak (sistem tingkah laku), serta dakwah dan tarbiyah (sistem penyebaran dan
penanaman nilai).1 Sebelum membahas dakwah secara lebih luas dan mendalam, maka
perlu terlebih dahulu kita membahas arti dakwah menurut bahasa sehingga kita benar-benar
mema- hami dakwah dimulai dari hal yang paling mendasar. Dakwah berasal dari Bahasa
Arab yakni dari asal kata da’aa – yad’uu – da’watan, yang berarti memanggil atau
mengajak. Syekh Ali Machfudz dalam bukunya Hidayatul Mursyidin mengartikan dakwah
sebagai upaya mendorong manusia untuk berbuat kebajikan dan mengikuti petunjuk Allah
SWT, menyuruh mereka berbuat kebajikan, dan mencegah mereka dari perbua- tan yang
mungkar agar mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat.2 Dari pengertian tersebut,
selanjutnya beliau menjelaskan bahwa makna dakwah itu bermacam-macam, meliputi:3

1
Amrullah Ahmad, “Sketsa Pemikiran Dakwah Sebagai Ilmu: Masalah dan Pendekatan”, Disampaikan dalam
diskusi panel Dakwah Sebagai Ilmu, (Yogyakarta: 1986), hlm. 4-5.

2
Syekh Ali Machfudz, Hidayatul Mursyidin, (Kairo: Darul Mishri, 1975), hlm. 5.
3
Ibid, hlm. 18.
2
Pertama, dakwah diartikan sebagai do’a (da’wata) atau mengharapkan kebaikan (da’aan).
Pengertian ini dapat ditemukan dalam surah al-Baqarah ayat 186.

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muham- mad) tentang Aku, maka
sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila dia berdo’a
kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar
mereka memperoleh kebenaran.”

Kedua, dakwah diartikan sebagai upaya mengajak sese- orang kepada sesuatu untuk
dilaksanakan (yad’uu). Pengertian ini dapat ditemukan dalam surat Yunus ayat 25.

“Dan Allah menyeru (manusia) ke Darus Salam (surga) dan memberikan petunjuk kepada
orang yang Dia kehendaki kejalan yang lurus (Islam).”

Pengertian dakwah sebagai upaya mengajak seseorang kepada sesuatu untuk


dilaksanakan juga dapat ditemukan pada surah Yusuf ayat 33.

“Yusuf berkata ‘Penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka. Jika aku tidak
Engkau hindarkan dari tipu daya mereka, niscaya aku akan cenderung (memenuhi keinginan
mereka) dan tentu aku termasuk orang yang bodoh.”

Ketiga, dakwah diartikan sebagai ajakan. Sebagaimana dicontohkan dalam surat yang
dikirimkan oleh Nabi Muham- mad SAW kepada Heraclius, Kaisar Romawi Timur yang
berbunyi “Saya mengajak saudara dengan ajakan Islam”. Dakwah yang diartikan sebagai upaya
mengajak orang untuk mengikuti ajaran (yad’uunany) tersebut dapat dilihat dalam Surat Yusuf
ayat 33. Sedangkan dakwah yang dimaknai sebagai memanggil dengan suara lantang (da’aakum)
dapat dilihat dalam surah ar- Ruum ayat 25.

“Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan
kehendak-Nya. Kemudian apabila Dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika
itu kamu keluar (dari kubur).”

B. Pembahasan
Dakwah pada era kontemporer tidak dapat memaksakan dirinya dengan penggunaan
model arogan/radikal atau mengutamakan penjelasan, model justifikatif, bahkan model
romantis, secara spekulatif. Ia dituntut mampu meramu semua model itu kedalam kemasan
baru yang lebih kreatif, dekoratif, asasi, dan non-responsif. Ramuan inilah yang merupakan
representasi dakwah kontemporer. Da'i kontemporer benar- benar sadar bahwa dirinya adalah
manusia dan mad'unya juga manusia. Dia memperlakukan mad'u secara adil dan kasih-
3
sayang memperlakukan dia memperlakukan dirinya sendiri secara adil dan kasih-sayang.
Kesadaran dan perlakuan tersebut merupakan gagasan agung (ruh) dakwah kontemporer. Ide
agung inilah yang merupakan inti sketsa konsep dakwah kontemporer yang digagas dalam
tulisan ini. atau bahkan model romantis, secara spekulatif. Ia dituntut mampu meramu semua
model itu kedalam kemasan baru yang lebih kreatif, dekoratif, asasi, dan non-responsif.
Ramuan inilah yang merupakan representasi dakwah kontemporer. Da'i kontemporer benar-
benar sadar bahwa dirinya adalah manusia dan mad'unya juga manusia. Dia memperlakukan
mad'u secara adil dan kasih-sayang memperlakukan dia memperlakukan dirinya sendiri
secara adil dan kasih-sayang. Kesadaran dan perlakuan tersebut merupakan gagasan agung
(ruh) dakwah kontemporer. Ide agung inilah yang merupakan inti sketsa konsep dakwah
kontemporer yang digagas dalam tulisan ini. atau bahkan model romantis, secara spekulatif.
Ia dituntut mampu meramu semua model itu kedalam kemasan baru yang lebih kreatif,
dekoratif, asasi, dan non-responsif. Ramuan inilah yang merupakan representasi dakwah
kontemporer.
Da'i kontemporer benar-benar sadar bahwa dirinya adalah manusia dan mad'unya juga
manusia. Dia memperlakukan mad'u secara adil dan kasih-sayang memperlakukan dia
memperlakukan dirinya sendiri secara adil dan kasih-sayang. Kesadaran dan perlakuan
tersebut merupakan gagasan agung (ruh) dakwah kontemporer. Ide agung inilah yang
merupakan inti sketsa konsep dakwah kontemporer yang digagas dalam tulisan ini. saya
kontemporer benar-benar sadar bahwa dirinya adalah manusia dan mad'unya juga manusia.
Dia memperlakukan mad'u secara adil dan kasih-sayang memperlakukan dia memperlakukan
dirinya sendiri secara adil dan kasih-sayang. Kesadaran dan perlakuan tersebut merupakan
gagasan agung (ruh) dakwah kontemporer. Ide agung inilah yang merupakan inti sketsa
konsep dakwah kontemporer yang digagas dalam tulisan ini. saya kontemporer benar-benar
sadar bahwa dirinya adalah manusia dan mad'unya juga manusia. Dia memperlakukan mad'u
secara adil dan kasih-sayang memperlakukan dia memperlakukan dirinya sendiri secara adil
dan kasih-sayang. Kesadaran dan perlakuan tersebut merupakan gagasan agung (ruh) dakwah
kontemporer. Ide agung inilah yang merupakan inti sketsa konsep dakwah kontemporer yang
digagas dalam tulisan ini.

Dakwah kontemporer adalah dakwah yang dilakukan dengan cara menggunakan


teknologi yang sedang berkembang. Dakwah kontemporer sangat cocok dilakukan
dilingkungan kota atau masyarakat yang memiliki latar belakang pendidikan menengah atas.
Dalam Al-Quran dijelaskan.

4
Dakwah kontemporer ini lain dengan dakwah kultural. Jika dakwah kultural dilakukan
dengan cara menyesuaikan budaya masyarakat setempat, tetapi dakwah kontemporer
dilakukan dengan cara mengikuti teknologi yang sedang berkembang. Dakwah yang
menggunakan fasilitas mimbar hanya akan di dengar sebatas yang hadir pada acara tersebut.
Lain halnya dengan dakwah yang menggunakan fasilitas teknologi elektronik seperti TV,
internet dan teknologi modern lainnya, pasti akan lebih banyak manfaatnya.

Dari dua perbandingan di atas, maka dakwah kontemporer yang memanfaatkan teknologi
modern lebih banyak manfaatnya dari pada dakwah kultural yang masih harus menyesuaikan
dengan kondisi budaya masing-masing daerah.

Materi dakwah yang tepat untuk menghadapi masyarakat modern ini adalah materi
kajian yang bersifat tematik. Artinya Islam harus di kaji dengan cara mengambil tema-tema
tertentu yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Sedangkan fasilitas yang tepat adalah dengan menggunakan media cetak dan elektronik.
Kenapa demikian ? Karena dengan menggunakan media cetak dan elektronik hasilnya akan
lebih banyak serta jangkauannya lebih luas.
Sedangkan dari metode penyaampaian materi, penulis mencoba membedakan menjadi
dua, yaitu: Dakwah tektual dan kontektual.

C. Problematika Dakwah Era Kontemporer

Bumi berputar, tahun berganti, dan kehidupan manusia cenderung mengarah kepada
kemajuan. Berkembangnya kehidupan manusia ternyata turut membawa kompleksitas
kehidupan. Fenomena ketimpangan dan ketidakadilan sosi- al umumnya terjadi di seluruh
wilayah Indonesia. Lebih memilukan lagi ketika mendengar ummat Islam yang berada
diposisi sulit tersebut. Menarik ke pembahasan dakwah, tidak mungkin menyelesaikan
permasalahan yang sangat kompleks ini dengan metode ceramah di mimbar-mimbar masjid.
Asumsi bahwa tidak ada satu metode yang dapat diimplementasikan di seluruh kondisi
adalah benar. Metode ceramah memang baik, tetapi apakah ini benar untuk kondisi ummat
yang tengah berada pada situasi kemiskinan atau kelaparan?

Membuka data sensus penduduk tahun 2010 mencan- tumkan 85,1% penduduk
Indonesia memeluk agama Islam. Jumlah ini menurun jika dibandingkan dengan data tahun
2000 yang mencapai 88,2%. Mengapa bisa menurun? Terdapat banyak faktor yang
menyebabkan penurunan ini. Penulis berargumen bahwa penurunan ini akibat metode
5
dakwah tidak mampu mengikuti tuntutan zaman. Dakwah terus saja menggunakan cara-cara
konvensional dan parsial, sehingga tidak mampu menyelesaikan permasalahan ummat yang
semakin kompleks. Praktisi dan ahli dakwah harus mengkaji ulang metode dakwah. Salah
satu problem yang mendasar adalah sebagian besar da’i atau ahli memaknai dakwah sebatas
penyiaran agama, ceramah, atau tabligh. Pemaknaan ini nyata mempersempit aktifitas dakwah
yang sesungguhnya, yakni bukan hanya mengajak ummat kepada kebaikan, tetapi juga
menghubungkan agama dengan realitas sosial,
Mukti Ali telah lama mengkritik cara berpikir da’i yang menggangap masalah dakwah
adalah melulu tentang agama. Pola dakwah cenderung terbaca melalui dalil-dalil al-Qur’an,
Hadist, pendapat para ulama, dan juga pemimpin-pemimpin terkemuka.4

Mukti Ali melanjutkan dakwah yang mengambil pendekatan deduktif dinilai kurang
tepat. Argumen ini berdasar pada analisa bahwa persoalan dakwah bukan hanya agama saja,
tetapi juga soal kehidupan ummat secara holistik. Persoalan kehidupan ummat seringkali
dilupakan oleh para praktisi dan ahli dakwah untuk dibahas, ditinjau, dan dianalisa. Penulis
memandang pendekatan induktif harus dikedepankan dalam menyelesaikan masalah ummat.
Pendekatan ini berusa- ha mempelajari masyarakat secara obyektif, melihat ke da- lam
tentang kekurangan-kekurangan dalam pelaksanaan dakwah. Sebelum mengambil keputusan
tentang metode yang dianggap tetap, perlu mendasarkan itu semua pada al-Qur’an atau
Hadist, juga pendapat para ulama dan orang terkemuka.

Pendekatan induktif memang kurang popular di Indone- sia karena tidak jarang
menunjukkan berbagai kekurangan dan kesalahan. Kesalahan mungkin saja dari sisi
perumusan masalah, penggunaan metode yang kurang tepat, hingga masalah teknis di
lapangan. Mukti Ali memaklumi kesalahan dan kekurangan pendekatan ini. Berangkat dari
asumsi bahwa orang mungkin dapat secara tepat menunjukkan solusi yang baik, begitu juga
dengan kesalahan kalau tidak terlebih dahulu diuraikan.

Jika merunut pada hadist Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Muslim bahwa dakwah
induktif dikenal dengan dakwah bil hal (membutuhkan tindakan atau aksi). Usaha itu dapat
dimulai melalui pergerakan atau membangun organisasi bantuan sosial, pendidikan,
keterampilan, dan sebagainya. Manajemen organisasi dapat bernafaskan dakwah. Ini juga
dapat dikatakan sebagai metode dakwah. Maka berangkat dari pendekatan induktif, sudah
seharusnya konsep dakwah ditinjau ulang. Karena itu, diskusi dimulai dengan menjelaskan
makna dakwah secara bahasa dan istilah, kemudian melihat ke depan apakah makna tersebut

4
A. Mukti Ali, Faktor-Faktor Penyiaran Islam, (Yogyakarta: Nida, 1971), hlm. 5-6.

6
sesuai dengan konteks sekarang. Pemaknaan dakwah akan diperkuat dengan membahas
hukum dan unsur-unsurnya. Sistematika tulisan ini dirancang sedemikian rupa agar
mengarahkan kita pada jawab tentang bagaimana konsep dakwah kontemporer.

D. Pengertian Dakwah
Dakwah secara harfiyah artinya ajakan atau seruan, yaitu ajakan ke jalan Tuhan (Allah
SWT). Asal kata dakwah adalah da'a-yad'u-da'wah yang artinya mengajak atau menyeru.
Secara istilah, dakwah bermakna ajakan untuk memahami, mempercayai (mengimani), dan
mengamalkan ajaran Islam, juga mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran
(amar ma'ruf nahyi munkar).

Ayat-Ayat Al-Quran berikut ini menunjukkan pengertian dakwah sebagaiajakan ke jalan


Allah SWT (syariat Islam), ajakan kepada kebaikan, serta mencegah kemunkaran atau
kebatihan.

"Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik". [QS. An-Nahl:125].

"Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru menuju Allah,
mengerjakan amal yang shalih dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
berserah diri". [QS. Fushshilat:33].

"Dan hendaklah ada dari kamu satu umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang
beruntung". [QS. Ali Imran:104].

"Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari (menyampaikan) ayat-ayat


Allah, sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan serulah mereka ke (jalan) Rabb-mu,
dan janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb". [QS.
Al Qashshash:87].

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah". [QS. Ali Imran:110].

E. Metode Dakwah
Metode dakwah di sini menyangkut cara bagaimana dakwah dilaksanakan. Dalam
berdakwah penggunaan metode yang tepat sangat berpengaruh terhadap hasil yang
didapatkan. Suatu usaha agar supaya tujuannya tercapai memerlukan suatu pedoman atau
cara, demikian juga dengan usaha dakwah. Dalam al-Qur’an telah ditetapkan mengenai
sebagian pedoman pelaksanaan dakwah yaitu terdapat dalam surat an-Nahl ayat 125:
“Ajaklah (serulah) manusia ke jalan Tuhan-Mu dengan jalan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah dengan cara yang baik pula. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang
siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk.”
7
Secara garis besar, terdapat tiga metode dakwah, yakni bil hikmah, mau’idzah hasanah,
dan mujadalah. Pertama, metode dakwah melalui bil hikmah atau dapat dimaknai dengan
kebijaksanaan (tindakan yang baik dan tepat). Cara hikmah menurut Mukti Ali adalah
kesanggupan para da’i untuk menyiarkan Islam dengan mengingat waktu dan tempat serta
masyarakat yang dihadapi.5Artinya dalam berdakwah perlu memperhatikan situasi dan
kondisi obyek dakwah, kemudian menyesuaikan materi dengan situasi dan kondisi obyek
dakwah tersebut.
Dalam hubungan inilah kita dapati petugas dakwah pada periode pertama penyiaran
Islam. Di Jawa mereka berusaha untuk mengerti dan memahami bahasa, kesenian, kepercayaan,
adat serta aspirasi cita masyarakat yang dihadapi, kemudian mereka mendakwahkan Islam
dengan cara integrasi, bersatu dengan jalan perkawinan, hubungan dagang, memasukkan
ajaran Islam dalam adat kebiasaan masyarakat.
Dakwah dengan metode hikmah (kebijaksanaan) ini jangkauannya lebih luas, tidak
sekedar menyampaikan pesan dakwah dengan lisan atau tulisan saja. Dakwah dengan metode
ini bisa dikatakan sebagai dakwah bil ro’yu, artinya bagaimana mengajak orang lain untuk
melaksanakan ajaran agama Islam dengan metode argumentasi, alasan-alasan, dalil-dalil
serta penalaran yang dapat diterima akal apabila sasaran dakwahnya

Kedua, metode dakwah yang mau’idzah hasanah atau tutur kata yang baik yakni berupa
nasehat-nasehat, anjuran ataupun didikan-didikan yang mudah dipahami. Ketika dakwah
dilaksanakan dengan tutur kata yang baik, maka akan dapat mengundang simpati obyek
dakwah dan dapat mengetuk hati mereka untuk mengikuti ajakan dakwah. Agar kata-katanya
diikuti oleh obyek dakwah maka tindak laku seorang da’i harus merupakan contoh teladan
yang baik bagi orang lain. Sering kali perbuatan yang baik itu lebih ampuh pengaruhnya
daripada kata-kata yang baik.
Untuk dapat menyajikan materi dakwah menjadi suatu hal yang mudah dipahami,
bukanlah perkara mudah. Diperlukan suatu kepandaian dan kebijaksanaan (hikmah),
bagaimana membuat tutur kata yang baik dan kapan saat yang tepat untuk
menyampaikannya. Metode dakwah ini lebih menekankan dalam bentuk tutur kata yang baik
dalam penyampaian pesan
dakwah. Banyak macamnya dakwah dengan metode ini antara lain, pengajian umum, majelis
taklim, penataran dan khutbah Jumat, serta berbagai kegiatan keagamaan, seperti perayaan
hari besar dan lain sebagainya.
Ketiga, metode dakwah yang mujadalah. Metode ini digunakan apabila ada pertanyaan atau
bantahan dari obyek dakwah, maka jawablah dengan cara yang baik, ajaklah berdebat dengan
cara yang baik sehingga memuaskan mereka. Dalam menjawab pertanyaan obyek dakwah
maupun dalam berdebat dengan mereka perlu pula diperhatikan tingkat kecerdasan mereka
sebagaimana sabda Nabi yang menyuruh kita untuk berbicara kepada manusia menurut
kecerdasan mereka. Sebagaimana tersebut dalam hadits sebagai berikut yang artinya
“Berbicaralah kepada manusia menurut kecerdasan mereka masing-masing.”

5
A. Mukti Ali, Faktor-Faktor Penyiaran Islam, (Yogyakarta: Nida, 1971), hlm. 14.
8
Kemudian berdasarkan ayat tersebut, Syekh Muhammad Abduh dalam tafsir Al-Manar
juz III yang dikutip oleh M. Natsir menyimpulkan bahwa:
1) Metode bil hikmah digunakan untuk menghadapi golongan cerdik pandai atau ilmuwan, di
mana dalam dakwah kepada mereka disertai dengan alasan-alasan, dalih dan hujjah yang
dapat diterima oleh kekuatan akal mereka.
2) Mau’idhoh hasanah digunakan untuk menghadapi golongan awam yang belum dapat
berfikir secara kritis. Dakwah dengan cara mau’idhoh hasanah ini berupa anjuran, didikan
dan ajaran-ajaran yang mudah dipahami.
3) Mujadalah bil lati hiya ahsan digunakan untuk golongan di antara dua golongan di atas, yaitu
berupa diskusi, tukar fikiran secara baik, karena golongan ini mempunyai tingkat
kecerdasan yang belum begitu tinggi sehingga tidak sesuai dilayani dengan hikmah maupun
mau’idhoh hasanah.6

F. Hadis Dakwah Tematik

PERINTAH BERDAKWAH
ِ ‫ْر َفلَ ُه م ِْث ُل أَ ْج ٍر َف‬
)‫اعلِ ِه (رواه مسلم‬ َّ ‫َم ْن د‬
ٍ ‫َل َعلَى َخي‬ )1

“Barang siapa yang menunjukkan kepada suatu kebaikan, maka baginya pahala seperti
orang yang melaksanakannya”

ِ ‫ف اإْل ِي َم‬
)‫( وراه صحيح مسلم‬.‫ان‬ ْ َ‫ِك أ‬
ُ ‫ض َع‬ َ ‫ِسا ِن ِه َف ِإ ْن لَ ْم َي ْس َت ِط ْع َف ِب َق ْل ِب ِه َو َذل‬ ْ ‫َم ْن َرأَى ِم ْن ُك ْم ُم ْن َك ًرا َف ْل ُيغَي‬
َ ‫ِّر ُه ِب َي ِد ِه َف ِإ ْن لَ ْم َي ْس َت ِط ْع َف ِبل‬ )2
Rasulullah pernah bersabda: “Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan
tanganmu, apabila belum bisa, maka cegahlah dengan mulutmu, apabila belum bisa, cegahlah
dengan hatimu, dan mencegah kemungkaran dengan hati adalah pertanda selemah-lemah
iman”
HUKUM BERDAKWAH

‫َأ‬
ْ ُ‫سالَم ِ وَ خْب ِ ْره‬
‫م‬ ْ ‫م ِإلَى اِإل‬
ْ ُ‫م اُدْعُه‬َّ ُ ‫م ث‬
ْ ِ‫حتِه‬
َ ‫سا‬ َ ِ‫حتَّى تَنْز‬
َ ِ‫ل ب‬ َ ‫ك‬ ُ ‫فذ ْ ع َلَى َر‬
َ ِ ‫سل‬ ِ ْ ‫) اَن‬1
ً ‫حدا‬ِ ‫جال ً وَا‬ ُ ‫ك َر‬َ ِ‫ه ب‬
ُ ‫ن يَهْدِيَ الل‬ْ ‫حقِّ اللهِ فِيْهِ فَوَاللهِ َأِل‬ َ ‫ن‬ْ ‫م‬ِ ‫م‬ ْ ِ‫ب ع َلَيْه‬ُ ‫ج‬ِ َ ‫ما ي‬ َ ‫بِـ‬
َ َ‫ن ل‬ ‫َأ‬ َ َ ‫خَي ْ ٌر ل‬
)‫م ُر النَّعَم ِ ) (رواه البخارى‬ ْ ‫ح‬ُ ‫ك‬ َ ْ‫ن يَكُو‬ْ ‫ن‬ ْ ‫م‬
ِ ‫ك‬

“Ajaklah mereka memeluk Islam dan beritahu mereka apa-apa yang


diwajibkan atas mereka yang berupa hak Allah di dalamnya. Demi Allah,
Allah memberi petunjuk kepada seseorang lantaran engkau, adalah lebih
baik bagimu daripada engkau memiliki unta merah”

6
M. Natsir, Fiqhud Dakwah, (Semarang: Ramadhani, 1981), hlm.
159.

9
METODE DAKWAH RASULULLAH

‫ب‬
ُّ ‫ح‬ِ ُ ‫ه َرفِيْقٌ ي‬
َ ‫ن الل‬
َّ ‫ ِإ‬:‫) أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال يا عائشة‬1
‫ما‬ َ ‫ف وَما َ ال َ يُعْطِي ع َلَى‬ِ ْ ‫ق ما َ ال َ يُعْطِي ع َلَى العُن‬ ِّ ‫الرفْقَ وَيُعْطِي ع َلَى‬
ِ ْ‫الرف‬ ِّ
)‫ (رواه مسلم‬.ُ‫سوَاه‬ ِ
“Sesungguhnya Allah Maha lembut, mencintai kelembutan, dia memberikan
kepada yang lembut apa yang tidak diberikan kepada yang kasar”

‫(رواه‬ ُ َ ‫ن شَ يءٍ ِإال َّ شَ ان‬


‫ه‬ ِ ُ ‫ه وَال َ يُن ْ َزع‬
ْ ‫م‬ ُ َ ‫ي ٍء ِإال َّ َزان‬
ْ َ‫في ش‬
ِ ُ ْ‫الرفْقَ ال َ يَكُو‬
‫ن‬ ِّ ‫ن‬َّ ‫) ِإ‬2
)‫مسلم‬
“Sesungguhnya, tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu kecuali ia akan
membaguskannya, dan tidaklah (kelembutan) itu tercabut dari sesuatu,
kecuali akan memburukkannya”
)‫م الْخَي ْ ُر (رواه مسلم‬ ْ ُ ‫الرفْقُ ي‬
ُ ‫ح َر‬ ِّ ‫م‬ُ ‫ح َر‬
ْ ُ‫ن ي‬
ْ ‫م‬
َ )3
“Barang siapa yang tidak terdapat kelembutan padanya, maka tidak ada
kebaikan padanya”
‫س ُّروا‬
ُ َ ‫ (ي‬:‫) وقال النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم وهو يبعث الناس‬4
ْ َ ‫ن وَل‬
‫م تُبْعَث ُ وْا‬ َ ْ ‫س رِي‬
ِّ َ ‫مي‬ َ َّ ‫ فَِإن‬،‫ش ُروْا وَال َ تُنَف ُِّروْا‬
ْ ُ ‫م ا بُعِثْت‬
ُ ‫م‬ ِّ َ ‫ وَب‬،‫س ُروْا‬ ِّ َ‫وَال َ تُع‬
)‫ن) (رواه مسلم‬ َ ْ ‫سرِي‬
ِّ َ‫مع‬ َ

“Hendaklah kalian bersikap memudahkan dan jangan menyulitkan.


Hendaklah kalian menyampaikan kabar gembira dan jangan membuat
mereka lari, karena sesungguhnya kalian diutus untuk memudahkan dan
bukan untuk menyulitkan.”

MEDIA DAKWAH RASULULLAH

ْ ‫ق عَظِيم ٍ (( ل َ َقد‬ ُ َ َ َ َّ ‫ن ( وَِإن‬


ٍ ‫ك لعَلى خُل‬ َ ‫ه الْق ُْرآ‬ ُ ‫ن خُل ُ ُق‬
َ ‫ة كَا‬ ُ َ‫ت عَاِئش‬ ْ َ ‫) قَال‬1
‫ُأ‬
)‫ة( (رواه أحمد‬ ٌ َ ‫سن‬
َ ‫ح‬
َ ٌ‫سوَة‬ ْ ِ‫ول اللَّه‬ ِ ‫س‬ ُ ‫م فِي َر‬ ْ ُ ‫ن لَك‬َ ‫كَا‬
“A’isyah berkata bahwa Akhlak Rasulullah adalah al-Qur’an, (dan
sesungguhnya engkau memiliki akhlak yang mulia), (Rasulullah telah
menjadi contoh terbaik bagi kelian)”
‫َأ‬ ‫) نضر الله ا ًأ‬2
‫ن‬ ِ ‫مبْل َ ٍغ وْع َى‬
ْ ‫م‬ َّ ‫ه فَ ُر‬
َ ‫ب‬ ُ َ‫مع‬
ِ ‫س‬
َ ‫ما‬ ُ َ‫ش يًْئا فَبَلَّغ‬
َ َ‫ه ك‬ َ ‫منَّا‬
ِ َ‫مع‬
ِ ‫س‬
َ ‫م َر‬
ْ ُ َ َّ َ
)‫م ٍع (رواه الترمذى عن ابن مسعود‬ ِ ‫سا‬َ
”Allah mengelokkan wajah seseorang yang mendengar sesuatu dari kami
lalau disampaikannya sebagaimana yang ia dengar. Sebab, banyak yang
10
menyampaikan lebih menjadi lebih sadar daripada yang hanya
mendengarkan”

KESABARAN RASULULLAH DALAM BERDAKWAH

َّ ‫عيْشَ نَا بِال‬


)‫صبْرِ "( رواه البخاري‬ ِ ‫جدْنَا خَي ْ َر‬
َ َ‫ " و‬:‫ قال عمر رضي الله عنه‬.1

“Dan kami merasakan bahwa sebaik-baiknya hidup ini dilalaui dengan


kesabara”
)‫ضيَاءٌ (رواه أحمد و مسلم‬
ِ ‫صب ْ ُر‬
َّ ‫ ال‬:‫ قال رسول الله ص م‬.2
“Sabar adalah cahaya”
‫َأ‬ ‫َأِل‬
ُ َّ ‫م َره ُ كُل‬
‫ه‬ َ ‫ن‬ ْ ‫ن ِإ‬
ِ ‫م‬ ُ ْ ‫مرِ ال‬
ِ ‫مْؤ‬ ْ ‫جبًا‬ َ َ ‫ ع‬:‫ قال رسول الله صلى الله عليه و سلم‬.3
‫َأ‬
‫ن‬
ْ ‫ه وَِإ‬ ُ َ ‫ن خَي ْ ًرا ل‬َ ‫س َّراءٌ شَ ك َ َر فَكَا‬
َ ‫ه‬ ُ ْ ‫صابَت‬
َ ‫ن‬ ْ ‫ن ِإ‬ِ ‫م‬ ِ ‫مْؤ‬ َ ‫ك َأِل‬
ُ ْ ‫حد ٍ ِإال َّ لِل‬ َ ْ ‫خَي ْ ٌر وَلَي‬
َ ‫س ذ َا‬
‫َأ‬
)‫ه (رواه مسلم‬ ُ َ ‫ن خَي ْ ًرا ل‬ َ َ ‫صب َ َر فَكا‬َ ٌ‫ض َّراء‬
َ ‫ه‬ ُ ْ ‫صابَت‬
َ
“Sungguh mengagumkan urusan seorang mukmin, semua urusannya itu
baik bainya, dan itu tidak lain hanya bagi seorang mukmin. Apabila
mendapat kesenangan dia bersyukur, dan itu baik baginya, dan apabila
mendapat kesulitan dia bersabar dan itu baik baginya”

ِ‫عظَم ِ الْبَاَل ء‬
ِ َ‫مع‬ َ ْ ‫م ال‬
َ ِ‫ج َزاء‬ َ َ ‫عظ‬
ِ ‫ن‬
َّ ‫ل ِإ‬ َ َّ ‫سل‬
َ ‫م قَا‬ َ َ‫ه ع َلَيْهِ و‬ ُ َّ ‫صلَّى الل‬
َ ‫ي‬ ِّ ِ ‫َن النَّب‬
ْ ‫ ع‬.4
‫اَل‬ ‫َأ‬ َّ
) ‫م (رواه الترمذى‬ ْ ُ‫ما ابْت َ ه‬ ً ْ‫ب قَو‬ َّ ‫ح‬
َ ‫ه ِإذ َا‬
َ ‫ن الل‬ َّ ‫وَِإ‬

“Sesungguhnya besarnya pahala itu sesuai dengan besarnya ujian, dan


sesungguhnya apabila Allah SWT mencintai suatu kaum, Allah akan
mengujinya.

DAKWAH DENGAN LISAN DAN DENGAN HATI

‫ن‬ ‫ م ا من نبي بعث َ ه الل ه في ُأمة قَبلي ال َّ ك َ ان ل َ ه م ُأ‬.1


َ ْ‫حوَارِيُّو‬
َ ِ‫مت ِ ه‬ َّ ‫ن‬ ْ ِ ُ َ ‫َّ ٍ َأ ْ ِ ِإ‬ ِ ُ ُ َ َ ٍّ ِ َ ْ ِ َ
ُ ُ ‫ْأ‬ ‫َأ‬
‫ف‬ ٌ ْ‫م خُل و‬ ْ ِ ‫ن بَعْ دِه‬
ْ ‫م‬ِ ‫ف‬ ُ ‫م ِإنَّهَا تَخْل‬ َّ ُ ‫مرِهِ ث‬ْ ِ‫ن ب‬ َ ْ‫سنَّتِهِ وَيَقْتَدُو‬ُ ِ‫ن ب‬ َ ْ‫خذ ُو‬ ُ َ ‫اب ي‬
ٌ ‫ح‬ َ ‫ص‬ْ َ‫و‬
َ‫م بِي َ دِهِ فَهُ و‬ْ ُ‫جاهَ دَه‬َ ‫ن‬ ْ ‫م‬ َ َ‫ن ف‬ َ ‫ن م ا َ ال َ ي ُ ْؤ‬
َ ْ‫م ُرو‬ َ ْ‫ن وَيَفْعَل ُ و‬َ ْ‫ن م ا َ ال َ يَفْعَل ُ و‬
َ ْ‫يَقُوْلُو‬
‫ل (رواه مس لم من ب اب‬ َ َ ‫خ ْرد‬َ ‫ة‬ ُ َّ ‫حب‬
َ ‫ان‬
ِ ‫م‬ َ ْ ‫ن اِإلي‬
َ ‫م‬ ِ ‫ك‬ َ ِ ‫س وَ َراءَ ذل‬ َ ْ ‫ن وَلَي‬ٌ ‫م‬ِ ‫م ْؤ‬ ُ
.)‫اإليمان‬
11
“Tidaklah seorang nabi yang diutus Allah dari umat sebelumku,
kecuali dari umatnya terdapat orang-orang hawariyun (para pembela dan
pengikut) yang melaksanakan sunnahnya serta melaksanakan perintah-
perintahnya. Kemudian, datang generasi setelah mereka; mereka
mengatakan sesuatu yang tidak mereka kerjakan dan mereka mengerjakan
sesuatu yang tidak diperintahkan. Oleh karena itu, siapa yang berjihad
terhadap mereka dengan tangannya, maka ia adalah orang mukmin, siapa
yang berjihad melawan mereka dengan lisannya, maka ia adalah orang
mukmin. Dan siapa yang berjihad melawan mereka dengan hatinya, maka
ia adalah orang mukmin. sedangkan di bawah itu semua tidak ada
keimanan meskipun hanya sebesar biji sawi (H. R. Muslim)”

LUBBU DAKWAH RASULULLAH

‫ه ِإلَى‬ ‫َأ‬
ُ ْ ‫ه عَن‬ ُ َّ ‫ي الل‬ َ ‫ض‬ِ ‫معَاذ ًا َر‬ ُ ‫ث‬ َ َ‫م بَع‬ َ َّ ‫سل‬
َ َ‫ه عَلَيْهِ و‬ ُ َّ ‫صلَّى الل‬ َ ‫ي‬ َّ ِ ‫ن النَّب‬ َّ
‫ل ادعُهم لَى شَ هادة َأن اَل لَه اَّل الل َّ َأ‬
ِ‫ل اللَّه‬ ُ ‫سو‬ ُ ‫ه وَ نِّي َر‬ ُ ‫ن فَقَأَا َ ْ ُ ْ ِإ َأ َ َ ِ َأ ْ ِإ َ ِإ‬ ِ ‫م‬ َ َ ‫الْي‬
‫س‬
َ ‫م‬ ْ ‫خ‬ َ ‫م‬ ْ ِ‫ض عَلَيْه‬ َ‫ه قَد ْ افْت َ َر َأ‬ َ َّ ‫ن الل‬َّ ‫م‬ ْ ُ ‫مه‬ْ ِ ‫ك فَ عْل‬ َ ِ ‫م طَاعُوا لِذَل‬ ْ ُ‫ن ه‬ ْ ‫فَِإ‬
‫َأ‬ ‫َأ‬
َ َّ ‫ن الل‬
‫ه‬ َّ ‫م‬ ْ ُ ‫مه‬ ْ ِ ‫ك فَ عْل‬ َ ِ ‫م طَاعُوا لِذَل‬ ْ ُ‫ن ه‬ ْ ‫ل يَوْم ٍ وَلَيْلَةٍ فَِإ‬ ِّ ُ ‫ات فِي ك‬ ٍ َ‫صلَو‬ َ
‫م وَت ُ َرد ُّ عَلَى‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬
ْ ِ‫ن غْنِيَاِئه‬ ِ ُ ‫خذ‬
ْ ‫م‬ َ ‫م تُْؤ‬ ْ ِ‫موَالِه‬ ْ ‫ة فِي‬ ً َ‫صدَق‬ َ ‫م‬ ْ ِ‫ض عَلَيْه‬ َ ‫افْت َ َر‬
)‫م (رواه البخارى‬ ْ ِ‫فُق ََراِئه‬
“Ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada tuhan (yang berhak disembah)
selain Allah dan bahwa sesungguhnya aku adalah utusan Allah. Setelah
mereka mematuhi itu, beritahulah mereka bahwa sesungguhnya Allah telah
mewajibkan atas mereka pelaksanaan lima kali shalat dalam sehari semala.
Setelah mereka mematuhi itu, beritahulah mereka bahwa sesungguhnya
Allah telah mewajibkan zakat atas mereka yang diambil dari yang kaya
untuk disalurkan kepada yang miskin di antara mereka
DAKWAH PARA SAHABAT NABI
‫َأ‬
َ ِ ‫صلِّي ب‬
ُ ‫صالَتِهِ وَالنَّا‬
‫س‬ َ ُ ‫صلِّي وَ بُوْ بَكْرٍ ي‬ َ َّ ‫سل‬
َ ُ‫م ي‬ َ َ‫ه ع َلَيْهِ و‬
ُ ‫صلَّى الل‬َ ‫ي‬ َ َ ‫كا‬
ُّ ِ ‫ن النَّب‬
)‫ (رواه البخارى‬.ٍ‫صالَةِ َأبِي بَكْر‬ َ ِ‫ن ب‬ َ ْ‫صلُّو‬َ ُ‫ي‬
“Rasulullah saw sholat dengan duduk dan Abu Bakar berdiri mengikuti
gerakan Rasulullah dan seganap kaum muslimin mengikuti gerakan Abu
Bakar

KESIMPULAN

12
Dakwah kontemporer ini lain dengan dakwah kultural. Jika dakwah kulturar dilakukan
dengan cara menyesuaikan budaya masyarakat setempat, tetapi dakwah kontemporer
dilakukan dengan cara mengikuti teknologi yang sedang berkembang.

Persaingan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi ini, khususnya dalam bidang
periklanan adalah, merupakna tantangan bagi para da’i kita untuk segera berpindah dari
kebiasaan dakwah kultural ke dakwah kontemporer. Dakwah kontemporer yang dimaksud di
sisni adalah, dakwah yang menggunakan fasilitas teknologi modern sebagaimana iklan yang
lagi semarak saat ini.

Dakwah yang menggunakan fasilitas mimbar hanya akan di dengar sebatas yang hadir
pada acara tersebut. Lain halnya dengan dakwah yang menggunakan fasilitas teknologi
elektronik seperti TV, internet dan teknologi modern lainnya, pasti akan lebih banyak
manfaatnya. Materi dakwah yang tepat untuk menghadapi masyarakat modern ini adalah
materi kajian yang bersifat tematik. Artinya Islam harus di kaji dengan cara mengambil tema-
tema tertentu yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Sedangkan fasilitas yang tepat adalah dengan menggunakan media cetak dan elektronik.
Kenapa demikian ? Karena dengan menggunakan media cetak dan elektronik hasilnya akan
lebih banyak serta jangkauannya lebih luas.
Sedangkan dari metode penyaampaian materi, penulis mencoba membedakan menjadi dua,
yaitu: Dakwah tektual dan kontektual.
Didalam berdakwah ada tiga metode menurut Muhammad Abduh , yaitu
1. Metode bil hikmah digunakan untuk menghadapi golongan cerdik pandai atau ilmuwan,
di mana dalam dakwah kepada mereka disertai dengan alasan-alasan, dalih dan hujjah yang
dapat diterima oleh kekuatan akal mereka.
2. Mau’idhoh hasanah digunakan untuk menghadapi golongan awam yang belum dapat
berfikir secara kritis. Dakwah dengan cara mau’idhoh hasanah ini berupa anjuran,
didikan dan ajaran-ajaran yang mudah dipahami.
3. Mujadalah bil lati hiya ahsan digunakan untuk golongan di antara dua golongan di atas, yaitu
berupa diskusi, tukar fikiran secara baik, karena golongan ini mempunyai tingkat
kecerdasan yang belum begitu tinggi sehingga tidak sesuai dilayani dengan hikmah maupun
mau’idhoh hasanah.

DAFTAR PUSTAKA

Mukti Ali, Faktor-Faktor Penyiaran Islam, Yogyakarta: Nida, 1971.

Amrullah Ahmad, “Sketsa Pemikiran Dakwah Sebagai Ilmu: Masalah dan Pendekatan”,
Disampaikan dalam diskusi panel Dakwah Sebagai Ilmu, (Yogyakarta: 1986)

Syekh Ali Machfudz, Hidayatul Mursyidin, (Kairo: Darul Mishri, 1975)

M. Natsir, Fiqhud Dakwah, (Semarang: Ramadhani, 1981)

13
14

Anda mungkin juga menyukai