Anda di halaman 1dari 21

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN


MEDIKAL BEDAH PADA Tn. A DENGAN DIAGNOSA
MEDIS CLOSE FRAKTUR FEMUR DI RUANG TANJUNG RSUD
KABUPATEN KEDIRI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktek Profesi


Dosen Pembimbing : Dwi Setyorini, S.Kep.,Ns.,M.Biomed

Oleh :
Rizka Nadia Mawardana
NIM. 202306066

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


STIKES KARYA HUSADA KEDIRI
2023

1
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan ini disusun untuk memenuhi

tugas Profesi Departemen Keperawatan Medikal Bedah pada tanggal 28 Agustus

– 2 September 2023 oleh mahasiswa Program Studi Pendidikan Profesi Ners

STIKES Karya Husada Kediri :

Nama : Rizka Nadia Mawardana

Nim : 202306066

Judul : “Laporan pendahuluan dan asuhan keperawatan medical bedah pada Tn.

A dengan diagnosa medis close fraktur femur di Ruang Tanjung RSUD

Kabupaten Kediri”

Pare,28 Agustus 2023

Mengetahui,

Pembimbing Akademik, Kepala Ruang CI,

Dwi Setyorini, S.Kep.,Ns.,M.Biomed KHAEROTIB, S.Kep.,Ns,M.Kep

NIDN 0704048101 NIP. 19741224 200604 1 006

Mahasiswa,

Rizka Nadia Mawardana

NIM. 202306066

2
LAPORAN PENDAHULUAN

A. KONSEP PENYAKIT

1. Definisi

Fraktur merupakan patah tulang yang disebabkan oleh trauma,

keadaan tulang itu sendiri, serta jaringan lunak di sekitar tulang akan

menentukan apakah fraktur terjadi lengkap atau tidak lengkap (Noor

Zairin, 2017). Fraktur merupakan terputusnya kontinuitas jaringan

tulang yang biasanya disebabkan oleh tekanan atau trauma (Asikin,

dkk, 2016).

Tulang paha atau femur merupakan tulang terbesar dan terkuat pada

tubuh manusia. Fraktur femoralis merupakan diskontinuitas tulang

femur, keadaan klinis dari fraktur femur dapat berupa fraktur terbuka

femur dengan kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf, dan

pembuluh darah) dan fraktur tertutup femur. Bisa jadi karena cedera

paha (Noor, 2016).

2. Etiologi

Menurut Apley and Solomon (2018), Fraktur dapat disebabkan oleh :

a. Cidera

1) Trauma langsung, yaitu patah tulang pada titik benturan yang

menyebabkan jaringan lunaknya juga rusak. Pukulan langsung

biasanya mematahkan tulang atau membengkokkannya di

atas titik tumpu akan menimbulkan retakan padafregmen. Lesi

kulit bagian atas sering terjadi, jika terjadi benturan atau

3
trauma berenergi tinggi, fraktur jenis ini akan mengakibatkan

kerusakan jaringan lunak yang yag luas.

2) Cedera tidak langsung, yaitu tulang patah pada jarak dari

tempat gaya diterapkan, kerusakan jaringan lunak di situs

fraktur tidak bisa dihindari.

b. Kelainan tulang yang abnormal (fraktur 'patologis')

Fraktur yang dapat terjadi bahkan dengan tekanan normal jika

tulang telah dilemahkan oleh perubahan dalam strukturnya atau

karena proses penyakit (misalnya pada pasien dengan

osteoporosis, osteogenesis imperfecta atau penyakit Paget, terapi

bifosfonat) atau melalui lesi lisis (misalnya kista tulang atau

metastasis).

3. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis menurut pratiwi (2020) adalah nyeri, hilangnya

fungsi, deformitas/perubahan bentuk, pemendekan ekstermitas,

krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna.

a. Nyeri terus menerus akan bertambah beratnya sampai fragmen

tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur adalah

bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan

gerakan fragmen tulang.

b. Setelah terjadi fraktur bagian yang tidak dapat digunakan

cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa)

membukanya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen

pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat

4
maupun teraba) ekstermitas dapat diketahui dengan

membandingkan ekstermitas normal. Ekstermitas tidak dapat

berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada

integritas tempat melengketnya otot.

c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang karena kontraksi

otot yang melekat pada atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen

sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sama 5 cm (1

sampai 2 inchi).

d. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik

tulang yang dinamakan krepitusakibat gesekan antara fragmen 1

dengan yang lainnya (uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan

jaringan lunak yang lebih berat).

e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit dapat terjadi

sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.

Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah terjadi

cidera

4. Klasifikasi

a. Fraktur collum femur

Leher femur adalah tempat paling sering terkena fraktur pada

dewasa tua (Blauth, et al., 2018). Fraktur collum atau leher femur

yakni suatu keadaan terputusnya atau hancurnya leher femur yang

disebabkan oleh trauma (Noor, 2016). Fraktur collum femur

terjadi akibat jatuh pada daerah trokanter, bisa karena kecelakaan

5
lalu lintas maupun jatuh dari tempat yang tidak terlalu tinggi

(Rockdown & Green, 2015).

b. Fraktur intertrochanter femur

Fraktur intertrochanter femur merupakan patah tulang yang

bersifat ekstrakapsular (Apley & Solomon, 2018). Fraktur

interkonter bisa disebabkan oleh jatuh langsung pada trokanter

mayor atau oleh cedera pemuntiran tidak langsung.

c. Fraktur subtrachanter femur

Fraktur subtrachanter femur adalah fraktur dimana garis

patahannya berada 5 cm distal dari trochanter minor (Egol, et al.,

2015). Fraktur subtrokanter biasanya terjadi pada usia muda yang

disebabkan oleh trauma berkekuatan tinggi atau pada lanjutusia

dengan osteoporosis atau penyakit-penyakit lain yang

mengakibatkan kelemahan pada tulang.

d. Fraktur batang femur

Fraktur batang femur merupakan fraktur yang sering terjadi

pada dewasa muda, biasanya terjadi karena trauma langsung

akibat kecelakaan lalu lintas atau 16 jauh dari ketinggian. Patah

tulang pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup

banyak, mengakibatkan penderita syok (Apley & Solomon, 2018).

e. Fraktur supracondylar

femur Daerah suprakondiler adalah daerah antara batas

proksimal kondilus femur dan batas metafisis dengan diafisis

femur. Fraktur pada suprakondiler femur biasanya terjadi pada

6
dewasa muda yang disebabkan oleh trauma langsung karena

kecepatan tinggi sehingga terjadi gaya aksial dan stress valgus

atau varus, dan disertai gaya rotasi (Apley & Solomon, 2018).

5. Patofisiologis

Menurut Black and Hawks (2014) tingkat keparahan dari fraktur

bergantung pada faktor yang menyebabkan fraktur. Jika ambang

fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang mungkin

hanya retak saja bukan patah. Jika gayanya sangat ekstrem, seperti

tabrakan mobil, maka tulang dapat pecah berkeping-keping. Saat

terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang dapat terganggu.

Otot dapat mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur keluar

posisi. Kelompok otot yang besar dapat menciptakan spasme bahkan

mampu menggeser tulang besar, seperti femur. Walaupun bagaian

proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya, namun bagian distal

dapat bergerser karena faktor penyebab patah maupun spasme pada

otot-otot sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser ke samping, pada

suatu sudut (membentuk sudut), atau menimpa segmen tulang lain.

Fragmen juga dapat beotasi atau berpindah.

Selain itu, periosteum dan pembuluh dara di korteks serta sumsum

dari tulang yang patah juga terganggu sehingga dapat menyebabkan

sering terjadi cedera jaringan lunak. Perdarahan terjadi karena cedera

jaringan lunak atau cedera pada tulang itu sendiri. Pada saluran

sumsum (medulla), hematoma terjadi diantara fragmen-fragmen tulang

dan dibawah periosteum. Jaringan tulang disekitar lokasi fraktur akan

7
mati dan menciptakan respon peradangan yang hebat sehingga akan

terjadi vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi, dan leukosit.

Respon patofisiologis juga merupakan tahap penyembuhan tulang.

6. WOC

Terlampir

7. Komplikasi

Komplikasi fraktur dapat dibedakan menjadi komplikasi awal dan

komplikasi lambat (Smeltzer & Bare, 2013) :

a. Komplikasi awal yang mungkin terjadi yaitu:

1) Syok hipovolemik atau traumatic akibat perdarahan (baik

kehilangan darah eksterna maupun yang tidak kelihatan) dan

kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak.

2) Sindrom emboli lemak

Setelah patah tulang femur, dapat terjadi emboli lemak,

terutama pada pria muda (20-30 tahun). Pada saat patah

tulang, jembatan lemak dapat memasuki aliran darah karena

tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau

karena katekolamin yang dilepaskan oleh respons stres pasien

akan memobilisasi asam lemak dan memfasilitasi

pembentukan asam lemak lipid darah. Tetesan lemak

bergabung dengan trombosit membentuk gumpalan darah,

yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang

memasok darah ke otak, paru-paru, ginjal, dan organ lainnya.

8
Gejalanya timbul dengan cepat, terjadi dalam beberapa jam

hingga seminggu setelah cedera, namun paling sering terjadi

dalam 24 hingga 72 jam. Gambaran khasnya meliputi

hipoksia, takipnea, takikardia, dan demam. Gangguan otak

bermanifestasi sebagai perubahan status mental, mulai dari

agitasi ringan dan kebingungan hingga delirium dan koma

akibat hipoksia, akibat penyumbatan pembuluh darah oleh

lemak di otak.

3) Sindrom kompartemen

Sindrom kompartemen disebabkan oleh penurunan ukuran

kompartemen otot karena tertutupnya otot dengan fasia atau

gips atau perban, atau peningkatan volume kompartemen otot

karena edema atau pembengkakan, perdarahan yang

berhubungan dengan gejalanya. Pasien mengeluh nyeri yang

dalam, berdenyut, dan tak tertahankan. Saat disentuh, otot-

ototnya bengkak dan kaku

b. Komplikasi lambat yang mungkin terjadi:

1) Penyatuan terlambat atau tidak ada penyatuan

Penyatuan terlambat terjadi jika penyembuhan tidak terjadi

dengan kecepatan normal untuk jenis dan tempat fraktur

tertentu. Penyatuan terlambat berhubungan dengan infeksi

sistemik atau distraksi fragmen tulang. Malunion adalah

tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak

seharusnya. Delayed union : proses penyembuhan yang terus

9
berjalan tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari

keadaan normal. Non union : tulang yang tidak menyambung

kembali

2) Nekrosis avaskuler tulang

Nekrosis avaskuler terjadi jika tulang kehilangan asupan

darah dan mati, dapat terjadi setelah fraktur khususnya pada

kolum femoris. Tulang yang mati mengalami kolaps atau

diabsorbsi dan diganti dengan tulang baru. Pasien mengalami

nyeri dan keterbatasan gerak

3) Reaksi terhadap alat fiksasi interna

Alat fiksasi interna biasanya diambil setelah penyatuan

tulang telah terjadi, namun pada kebanyakan pasien alat

tersebut tidak diangkat sampai menimbulkan gejala. Nyeri dan

penurunan fungsi merupakan indikator utama telah terjadi

masalah. Masalah tersebut meliputi pemasangan dan

stabilisasi yang tidak memadai, alat yang cacat atau rusak,

berkaratnya alat menyebabkan inflamasi lokal, respon alergi

terhadap campuran logam yang digunakan dan remodeling

osteoporotik di sekitar alat fiksasi.

8. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien dengan fraktur

yakni (Smeltzer & Bare, 2013) :

a. Pemeriksaan Radiologi

10
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah

“pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk

mendapatkan gambaran tiga dimensi keadaan dan kedudukan

tulang. Hal yang harus dibaca pada x-ray: bayangan jaringan

lunak, tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau

biomekanik atau juga rotasi, trobukulasi ada tidaknya rare fraction,

sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.

b. Pemeriksaan Laboratorium

Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap

penyembuhan tulang. Alkalin fosfat meningkat pada kerusakan

tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk

tulang. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase

(LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang

meningkat pada tahap penyembuhan tulang.

c. Pemeriksaan lain-lain

Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:

didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi. Biopsi tulang dan

otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan

diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi. Elektromyografi:

terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.

Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek

karena trauma yang berlebihan. Indium Imaging: pada

pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang. MRI:

menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

11
9. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan fraktur dapat dapat dilakukan dengan empat cara

yaitu: reduksi, traksi, imobilisasi dan pembedahan (Smeltzer & Bare,

2013) :

a. Reduksi

Reduksi fraktur (setting tulang) adalah proses mengembalikan

fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi

fraktur harus dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah

jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena

edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur

menjadi semakin sulit dilakukan bila cedera sudah mulai

mengalami penyembuhan. Sebelum reduksi dan imobilisasi

fraktur, pasien harus dipersiapkan untuk menjalani prosedur, dan

analgetika diberikan sesuai ketentuan, mungkin perlu dilakukan

anastesia. Ekstremitas yang akan dilakukan manipulasi harus

ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.

Reduksi tertutup dilakukan dengan cara mengembalikan fragmen

tulang ke posisinya dengan manipulasi dan traksi manual.

Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan

sementara gips, bidai atau alat lain dipasang. Alat imobilisasi akan

menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk

penyembuhan tulang. Reduksi terbuka digunakan pada fraktur

tertentu dengan cara memakai alat fiksasi interna dalam bentuk

pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam dapat

12
digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam

posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi

b. Traksi

Traksi adalah salah satu cara penyembuhan fraktur yang

bertujuan untuk mengembalikan fungsi tulang yang patah dalam

jangka waktu yang sesingkat mungkin. Metode pemasangan traksi

terdiri dari traksi manual dan traksi mekanik. Traksi mekanik ada

dua macam yaitu traksi kulit dan traksi skeletal. Traksi kulit

dipasang pada dasar sistem skeletal untuk struktur yang lain,

misalnya: otot. Traksi kulit terbatas untuk 4 minggu dan beban

kurang daru 5 kg. Traksi skeletal merupakan traksi definitif pada

orang dewasa yang merupakan balanced traction. Dilakukan untuk

menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal atau penjepit

melalui tulang/jaringan metal.

c. Imobilisasi fraktur.

Setelah fraktur direduksi fragmen tulang harus diimobilisasi

atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar

hingga terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan

fiksasi interna atau eksterna. Metode fiksasi eksterna meliputi

pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu. Metode fiksasi interna

dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam.

d. Pembedahan

13
Pada saat ini metode penatalaksanaan yang paling banyak

dilakukan adalah pembedahan. Metode perawatan ini disebut

fiksasi interna dan reduksi terbuka. Pada umumnya insisi

dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan diteruskan

sepanjang bidang anatomik menuju tempat yang mengalami

fraktur. Hematoma fraktur dan fragmen-fragmen tulang yang telah

mati diirigasi dari luka. Fraktur kemudian direposisi dengan

tangan agar menghasilkan posisi yang normal kembali. Sesudah

direduksi, fragmen-fragmen tulang ini dipertahankan dengan alat-

alat ortopedik berupa pen, sekrup, pelat, dan paku.

Prinsip penanganan fraktur dikenal dengan empat R yaitu :

1) Rekognisi, yaitu menyangkut diagnosis fraktur pada tempat

kejadian dan kemudian di rumah sakit.

2) Reduksi, yaitu usaha serta tindakan memanipulasi fragmen

tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti

letak asalnya.

3) Retensi, yaitu aturan umum dalam pemasangan gips, yang

dipasang untuk mempertahankan reduksi harus melewati

sendi diatas dan sendi dibawah fraktur.

4) Rehabilitasi, yaitu pengobatan dan penyembuhan fraktur

B. KONSEP ASKEP

1. Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan

proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber

14
data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan pasien

(Doengoes, 2014).

a. Pengkajian identitas pasien

Meliputi pengkajian nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan,

pekerjaan, suku / bangsa, tanggal masuk RS, tanggal pengkajian, no

medic, diagnose medic, alamat klien. Identitas penanggung jawab

(meliputi pengajian nama, umur, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan

hubungan dengan klien.

b. Riwayat keperawatan

1) Keluhan utama :

2) Riwayat penyakit sekarang

3) Riwayat kesehatan lalu

4) Riwayat penyakit keluarga (riwayat penyakit yang sama atau

penyakit lain yang pernah diderita oleh anggota keluarga yang

lain baik bersifat genetik atau tidak)

c. Pemeriksaan primer dan skunder

d. Pemeriksaan fisik (head to toe/b1-b6)

e. Pemeriksaan GCS

f. Pemeriksaan penunjang

2. Analisa data

Analisis data adalah metode yang dilakukan perawat untuk

mengkaitkan data klien serta menghubungkan data tersebut dengan

konsep teori dan prinsip yang relevan keperawatan untuk membuat

15
kesimpulan dalam menentukan masalah kesehatan pasien dan

keperawatan pasien (Asmadi,2014). Analisa data meliputi data :

DS : data yang diperoleh dari keluhan pasien dan keluarga

DO : data hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh perawat

3. Diagnose keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah suatu tindakan penilaian klinis mengenai

masalah kesehatan yang dialami seseorang. Diagnosakeperawatan

bertujuan untuk mengidentifikasi respon klien individu, keluarga dan

komunitas terhadap situasi masalah kesehatan (Tim Pokja SDKI DPP

PPNI, 2017).

a. Nyeri akut berhubungan dengan close fraktur

b. Resiko infeksi berhubungan dengan post op fraktur

c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan adanya fraktur

d. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan luka post op

e. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan

sirkulasi darah pada fraktur

4. Intervensi

No Dianosa SLKI SIKI

1 Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri


keperawatan 3x24 jam (1.08238)
diharapkan tingkat nyeri
(L.08066) menurun dengan Observasi :
kriteria hasil : 1. identifikasi lokasi nyeri
1. keluhan nyeri menurun 2. identifikasi skala nyeri
2. meringis menurun 3. identifiksi respon nyeri
3. perasaan takut mengalami non verbal
cidera berulang menurun 4. identifikasi faktor yang

16
4. frekwensi nadi membaik memperberat nyeri
5. pola tidur membaik
Terapeutik :
5. berikan teknik
nonfarmakologis
6. kontrol lingkungan
7. fasilitasi istirahat dan
tidur

Edukasi :
8. jelaskan strategi
meredakan nyeri
9. ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi nyeri

Kolaborasi :
10. kolaborasi pemberian
analgetik

2. Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan Pencegahan infeksi


keperawatan 3x24 jam (1.14539) :
diharapkan tingkat infeksi
(L.14137) menurun dengan Observasi :
kriteria hasil : 1. Monitor tanda dan
1. nyeri menurun gejala infeksi
2. bengkak menurun
3. kadar sel darah putih Terapiutik :
membaik 2. batasi pengunjung
4. kultur area luka membaik 3. cuci tangan sebelum
dan sesudah kontak
dengan pasien dan
lingkungan
4. pertahankan teknik
aseptic
5. berikan perawatan kulit

Edukasi :
6. jelaskan tanda gejala
infeksi
7. ajarkan cra cuci tangan
yang benar
8. anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi dan cairan

17
Kolaborasi :
9. kolaborasi pemberian
obat

3. Gangguan mobilitas Setelah dilakukan tindakan Dukungan ambulasi


fisik keperawatan 1x24 jam (1.06071)
diharapkan mobilitas fisik
meningkat (L.05042) dengan Observasi :
kriteria hasil : 1. identifikasi adanya
1. pergerakan ekstremitas nyeri
meningkat 2. identifikasi toleransi
2. kekuatan otot meningkat fisik
3. ROM meningkat 3. monitor TTV sebelum
4. Gerakan terbatas menurun melakukan ambulasi
5. nyeri menurun 4. monitor kondisi umum
selama melakukan
ambulasi

Terapeutik :
5. fasilitasi aktivitas
ambulasi dengan alat
bantu (kruk,tongkat)
6. fasilitasi melakukan
mobilisasi fisik
7. libatkan keluarga dala
melakuka ambulasi

Edukasi :
8. anjurkan melakukan
ambulasi dini
9. ajarkan ambulasi
sederhana

4. Gangguan integritas Setelah dilakukan tindakan Perawatan integritas


kulit dan jaringan keperawatan 1x24 jam (1.11353)
diharapkan integritas kulit dan
jaringan (L.14125) membaik Observasi :
dengan kriteria hasil : 1. identifikasi penyebab
1. elastisitass meningkat gangguan integritas kulit
2. hidrasi meningkat
3. tekstur membaik Terapeutik :
4 .pertumbuhan rambut 2. gunakan produk
membaik berbahan hipoalergenik
3. hindari produk

18
berbahan alcohol

Edukasi :
4. anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
5. anjurkan menghindari
terpapar suhu yang
ekstrem

5. Perfusi perifer tidak Setelah dilakukan tindakan Perawatan sirkulasi


efektif keperawatan 3x24 jam (1.02079)
diharapkan perfusi perifer
meningkat (L.02011) dengan Observasi :
kriteria hassil : 1. periksa sirkulasi
1. penyembuhan luka perefer (edema,nadi
membaik perifer)
2. warna kulit pucat menurun 2. identifikasi faktor
3. nyeri ekstreitas menurun resiko gangguan sirkulasi
4. edema perifer menurun (perokok)
3. moitor nyeri atau
bengkak pada ekstremitas

Terapeutik :
4. lakukan pencegahan
infeksi
5. lakukan hidrasi

Edukasi :
6. anjurkan berhenti
merokok
7. informasikan tanda dan
gejala darurat yan harus
dilaporkan (nyeri yang
tidak hilang saat istirahat)

5. Implementasi

Implementasi adalah tindakan pemberian keperawatan yang

dilaksanakan untuk membantu mencapai tujuan pada rencana tindakan

keperawatan yang telah disusun (Doengoes, 2014). Setiap tindakan

keperawatan yang dilaksanakan dicatat dalam catatan keperawatan,

19
yaitu: cara pendekatan pada klien efektif, teknik komunikasi

terapeutik, serta penjelasan untuk setiap tindakan yang diberikan

kepada pasien.

6. Evaluasi

Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari

tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus

pada respon klien terhadap tindakan keperawatan yang telah

dilaksanakan. Perumusan evaluasi formatif meliputi empat komponen

yang dikenal dengan istilah SOAP, yakni subjektif (data berupa

keluhan klien), objektif (data hasil pemeriksaan), analisa data

(pembandingan data dengan teori), planning (perencanaan) (Asmadi,

2014)

20
DAFTAR PUSTAKA

Apley, A. G. dan Solomon, L. (2018) Apley and Solomon’s System of


Orthopaedics and Trauma. 10 ed. New York: CRC Press
Asikin,dkk. (2016). Keperawatan Medikal dan Sistem Muskuloskeletal ; Erlangga
Medical Series
Asmadi, (2014). Tehnik prosudural keperawatan : konsep dan aplikasi kebutuhan
dasar pasien. Jakarta : Salemba Medika.
Black, J. M. dan Hawks, J. h (2014) Keperawatan Medikal Bedah : Manajemen
Klinis untuk Hasil yang Diharapkan. Jakarta: Salemba Medika
Blauth, M., Kates, S. . dan Nicholas, J. A. (2018) Osteoporotic Fracture Care
Medical and Surgical Management. Davos: AO Foundation.
Doenges, Marilynn. (2014). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, ed. 3. Jakarta:
EGC

Egol, K. A., Koval, K. J. dan Zuckerman, J. (2015) Handbook of Fractures. 5 ed.


Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins

Noor, Zairin. (2017). Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta:Salemba


Medika

Noor, Z. (2016) Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. 2 ed. Jakarta: Salemba


Medika.

Pratiwi, A. E. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Klien Fraktur Femur Dengan


Masalah Nyeri. STIKes Insan Cendekia Medika Jombang.

Rockdown, C. . dan Green, D. P. (2015) Rockwood and Green’s Fracture in


Adults. Diedit oleh C. M. Brown dan J. D. Heckman. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins.

Smeltzer, S. C. dan Bare, B. G. (2013) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah


Brunner & Suddarth. 8 ed. Jakarta: EGC

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta : PPNI

21

Anda mungkin juga menyukai