Anda di halaman 1dari 6

Nama : LM.

AFRIZAL SAFRIN

NPM : 082301098

LITERASI BAHASA HUKUM, LOGIKA HUKUM DAN ARGUMENTASI HUKUM

A. Bahasa Hukum

Mattila (2006) menyebutkan bahwa melalui perbandingan bahasa hukum, istilah legal
linguistic memiliki berbagai penamaan dan ruang lingkup bidang studinya di berbagai negara.
Disiplin keilmuan yang berkembang di berbagai negara tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

Istilah Bahasa Hukum di Berbagai Negara

No Istilah Keterangan
1 Forensic Linguistic Negara berbahasa Inggris
2 Law and languange Anglo saxon
3 Linguistique juridique Prancis
4 Jurilinguistique Kanada
5 Rechtslinguistik Jerman
6 Juryslingwistyka Polandia
7 Pravovaia Lingvistika Rusia
8 Bahasa Hukum Indonesia Indonesia
Sumber : Mattila (2006:8), Hadikusuma (2010)

Di Indonesia sendiri bahasa hukum yang dikembangkan adalah bahasa hukum Indonesia,
melalui symposium bahasa dan hukum yang diselenggarakan pada tahun 1974. Bahasa Indonesia
sebagai bahasa yang secara resmi digunakan dalam hukum Indonesia (Hadikusuma, 2010).
Adapun yang dimaksud Bahasa Hukum Indonesia berdasarkan hasil symposium tersebut adalah ;

Bahasa hukum Indonesia adalah Bahasa Indonesia yang dipergunakan dalam bidang
hukum, yang mengingat fungsinya mempunyai karakteristik tersendiri, oleh karena itu
bahasa hukum Indonesia haruslah memenuhi syarat-syarat dan kaidah-kaidah bahasa
Indonesia (BPHN dalam Hadikusuma, 2010:2).

Melalui symposium bahasa dan hukum tersebut bermaksud memperbaiki bahasa hukum
sebelumnya yang bergaya orde lama dimana para ahli hukum lebih menguasai bahasa hukum
Belanda dibandingkan bahasa Indonesia, sehingga bahasa hukum dapat mengikuti tata bahasa
Indonesia dan memperkaya bahasa hukum Indonesia (Hadikusuma, 2010:3).

Dalam penulisan hukum akan ditemukan istilah atau ungkapan khusus yang tentunya berbeda
dengan bidang ilmu lain, misalnya istilah tersangka, gugatan, putusan, konstitusi, dan akta.
Komposisi berarti adanya susunan (sintaksis) tertentu yang digunakan dalam berbagai produk
hukum seperti peraturan perundang-undangan, putusan, gugatan, akta notaris, dan artikel hukum.
Gaya bahasa dalam penulisan atau produk hukum ialah terang dan monosematik (bertafsir
tunggal). Oleh karena itu, kata-kata yang ambigu atau sususnan kalimat yang maknannya tidak
jelas maka tidak digunakan.

Dengan demikian bahwa Bahasa Indonesia dipelajari oleh mahasiswa hukum berbeda dengan
Bahasa Indonesia untuk masyarakat umum. Oleh karena itu memang lebih tepat apabila
menggunakan Bahasa Hukum Indonesia.

Tujuan mempelajari asas dan kaidah Bahasa Indonesia bagi kalangan hukum terutama untuk
mengatasi kekurang sempurnaan penggunaan bahasa dalam :

1. Berbicara atau mengemukakan pendapat tentang hukum,


2. Membuat karya ilmiah tentang hukum,
3. Membuat aturan-aturan hukum, surat pengaduan, tuduhan, kesaksian, tuntutan,
pembelaan, keputusan, surat perjanjian, akta, banding, surat gugatan, memori banding,
kasasi, dsb.

Harapan besar tentunya juga agar produk hukum dihasilkan kalangan hukum dapat
dimengerti dengan jelas oleh masyarakat yang awam hukum.
B. Pentingnya Pemahaman Mengenai Logika dan Argumentasi Hukum

Dalam wacana publik dan praktik hukum di Indonesia, peran logika dan argumentasi hukum
dalam studi hukum semakin menjadi suatu urgensi. Untuk menjadi pengacara, hakim, jaksa, atau
praktisi hukum yang handal harus memiliki pemahaman terhadap logika, penalaran hukum, dan
argumentasi hukum. Karena hal tersebut merupakan syarat mutlak yang tidak dapat dihilangkan
sehingga harus berkaitan satu dengan yang lainnya. Logika, penalaran hukum, dan argumentasi
hukum membekali para mahasiswa hukum, pekerja hukum, dan praktisi hukum dengan
kemampuan berpikir kritis dan argumentatif dalam memahami prinsip, asumsi, aturan, proposisi,
dan praktik hukum.

Hal tersebut juga mempertegas bahwa pentingnya para lulusan bidang hukum untuk dapat
memahami dan mengetahui secara komprehensif apa yang dimaknai sebagai logika dan
argumentasi hukum. Mahasiswa hukum sering dituntut untuk berpikir seperti seorang ahli
hukum, “to think like a lawyer”. Sebagai seorang mahasiswa diharapkan kelak mampu
melakukan analisis kasus hukum melalui logika dan penalaran hukum dalam kasus-kasus hukum
baik dalam lingkup hukum publik, akademik, hingga pengadilan.

Logika sebagai istilah memiliki arti sebagai metode untuk menilai ketepatan dan ketertiban
penalaran yang digunakan untuk menyampaikan sebuah argumentasi. Sedangkan teori
argumentasi adalah cara untuk mengkaji bagaimana menganalisis dan merumuskan suatu
argumentasi secara cepat, jelas dan rasional melalui cara pengembangan kriteria yuridis dan
kriteria universal yang digunakan sebagai landasan rasionalitas menyusun argumentasi hukum.
Sebuah argumentasi hukum yang tidak didukung logika maka pemecahan permasalahan hukum
tersebut tidak didasarkan pada opini yang jelas.

Logika hukum berdasarkan case law adalah cara berpikir induktif dan cara berpikir deduktif
adalah dengan menggunakan undang-undang, namun pendapat ini tidak sepenuhnya benar.
Logika induksi dalam praktik hukum terjadi di peradilan, yaitu merumuskan fakta selanjutnya
mencari hubungan sebab akibat dan menentukan probabilitas dimana langkah tersebut dibatasi
dengan asas hukum pembuktian, sementara itu logika deduksi dalam praktik hukum adalah
diawali dengan aturan hukum yang seringkali dijumpai keadaan aturan hukum sebagai berikut:
1. Kekosongan hukum.
2. Konflik norma hukum.
3. Norma hukum yang kabur.

C. Hubungan Logika dan Argumentasi Hukum

Mengutip dari Wedell Holmes, Marry Massaron Ross dalam A Basis for Legal Reasoning:
Logic on Appeal menyatakan bahwa pelatihan bagi para lawyer adalah pelatihan logika itu
sendiri. Logika yang perlu diberikan kepada para lawyer, mahasiswa, bahkan juga hakim dan
calon hakim adalah analogi, disanalogi, dan deduksi. Hal ini disebabkan bahasa putusan
pengadilan pada dasarnya adalah bahasa logika.

Dengan adanya logika, hukum tak lagi mendasarkan diri pada kepentingan dan pertimbangan
lain di luar nalar dan akal sehat, sehingga kepastian hukum pada akhirnya didasarkan pada
hubungan antara keduanya dalam proposisi logis yang dirumuskan secara objektif. Peraturan
perundang-undangan, statuta, aturan, putusan pengadilan dan lain-lain menggunakan proposisi
tentang sesuatu yang diperbolehkan.

Mengenai metode penalaran hukum memiliki ciri khas yang bersifat memberikan sanggahan
(legal argumen) dalam paradigma hukum yang diperdebatkan (legal debate), khususnya
menyangkut masalah implementasi hukum serta sikap tindak aparatur institusi pengadilan dalam
penegakan hukum dan keadilan terhadap suatu bentuk perkara.

Logika hukum erat kaitannya dengan argumentasi hukum (legal argumentation), sehingga
dengan adanya hubungan keterkaitan yang erat itu menjadi suatu kewajiban bagi yang menekuni
Ilmu Hukum untuk menguasai kemampuan dalam argumentasi hukum dalam setiap praktik
hukum. Argumentasi hukum bagi komunitas ahli hukum merupakan suatu keharusan sebagai
parameter keseimbangan antara penguasaan teori dengan implementasi dalam praktik hukum,
sehingga berbagai bentuk problematika dalam masyarakat dapat diselesaikan melalui debat
konstruktif yang produktif.
Dalam praktik di persidangan, seorang hakim dalam mengemukakan pendapatnya harus
dimulai dari pendekatan teori-teori hukum, karena pada dasarnya di dalam teori hukum akan
mudah didapati asas-asas hukum melalui pendekatan ilmu hukum.

Dengan demikian jelas bahwa logika, penalaran, dan argumentasi hukum memiliki relevansi
karena:

1) menjamin kesahihan suatu argumentasi dan salah satu jalan untuk mendekatkan diri
pada kebenaran dan keadilan:
2) membantu para calon praktisi hukum, lawyer, para jaksa dan hakim, menganalisis,
merumuskan, dan mengevaluasi fakta, data, dan argumentasi hukum;
3) pemahaman terhadap prinsip-prinsip penyimpulan logis, baik deduksi, analogi,
maupun generalisasi induksi, tidak hanya untuk memahami persoalan, praktik, dan
putusan hukum, melainkan juga peristiwa empiris sehari-hari serta penelitian ilmiah;
4) domain utama dan esensi praktik atau putusan hukum tidak lain dari penalaran dan
logika.

D. Penerapan Logika dan Argumentasi Hukum dalam Memecahkan Permasalahan


Hukum dan Menyusun Legal Opinion

Penalaran hukum atau legal reasoning adalah suatu kegiatan untuk menentukan apakah suatu
peristiwa hukum telah semua memenuhi ketentuan-ketentuan hukum dan kaidah-kaidah hukum
yang berkaitan dengan peristiwa hukum tersebut. Hakim menggunakan penalaran hukum pada
saat mengambil pertimbangan sehubungan dengan perkara yang akan diputus. Praktisi hukum
menggunakan penalaran hukum untuk mencari dasar dari perbuatan hukum dengan tujuan untuk
menghindari terjadinya pelanggaran hukum di kemudian hari dan menjadi bahan argumentasi
apabila terjadi perkara hukum ataupun perbuatan hukum tersebut.

Memberikan pendapat hukum (legal opinion) adalah keterampilan khusus dari ahli hukum.
Legal opinion merupakan dokumen yang memberikan pendapat profesional oleh pemberi kepada
penerima pendapat hukum mengenai bagaimana ketentuan hukum yang berlaku untuk
menyelesaikan masalah hukum yang diajukan oleh penerima pendapat hukum tersebut. Legal
opinion meskipun dibuat oleh mereka yang ahli hukum tetapi bukan suatu putusan hukum yang
memiliki kekuatan otoratif. Pendapat tersebut tergantung pada hakim apakah diikuti atau tidak
diikuti oleh hakim ketika penerima pendapat hukum membawa pendapat hukum tersebut untuk
menyelesaikan perkaranya di pengadilan.

Legal opinion ini memang dimaksudkan untuk memberikan keterangan kepada klien yang
ingin mengetahui segala hal yang berkenaan dengan permasalahan yang dihadapinya. Namun
demikian, legal opinion tidak cukup hanya mengemukakan segi substantif dari segala ketentuan
yang diminta oleh klien, tetapi juga menjelaskan aspek struktural tentang lembaga-lembaga apa
saja yang berkaitan dengan permasalahan klien bersangkutan dan pelaksanaan ketentuan
perundang-undangan itu ada dalam praktik kehidupan. Dengan demikian diperlukan logika dan
argumentasi hukum dalam penyusunan legal opinion secara sistematis agar dapat
mengembangkan pemikiran hukum yang komprehensif.

Pemahaman tentang hukum tidak terbatas hanya pada peraturan perundang-undangan saja,
tetapi juga bersumber pada keputusan-keputusan pengadilan dan pendapat-pendapat para praktisi
hukum sebelumnya. Hal ini untuk menghindari adanya inkonsistensi antara peraturan perundang-
undangan yang satu dengan peraturan perundang-undangan yang lain, baik secara vertikal
maupun horizontal dalam penyusunan suatu legal opinion.

Anda mungkin juga menyukai