Bab I Racikan Baru
Bab I Racikan Baru
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Gerakan politik perempuan mempunyai catatan panjang dalam sejarah Indonesia dalam
memperjuangankan kepentingan dan hak-hak perempuan. Pasca orde baru, secara platform
gerakan politik perempuan memiliki perbedaan dengan gerakan politik perempuan pada masa
Kolonial, pada masa Orde Lama dan pada masa Orde Baru. Misalnya, gerakan perempuan pada
masa kolonial, pokok perjuangannya tidak hanya semata-mata membela kaumnya (perempuan)
saja, tapi juga perjuangan bersenjata melawan Belanda seperti yang dilakukan oleh Cut Meutia
dari Aceh, Roro Gusik dari Jawa, Martha Tiahahu dari Maluku dan Emmy Saelan dari Sulawesi.
Kemudian sosok R.A Kartini dari Jepara, Dewi Sartika dari Bandung dan Rahmah El-Yunusiyah
dari Padang Panjang yang memiliki perhatian mengenai hak-hak perempuan dan penganjur
pendidikan perempuan.1
Pada masa kolonial Belanda perempuan tidak memperoleh pendidikan yang layak.
Kebijakan poltik etis yang diterapkan oleh Belanda, mengatur bahwa pendidikan hanya untuk
kalangan elit dan dikhususkan untuk laki-laki. Akses pendidikan untuk kaum perempuan
dibatasi, hanya perempuan dari golongan elit dan keturunan Belanda atau Eropa yang diberi
kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang layak. Pada masa ini perempuan dianggap
sebagai makhluk kelas dua, artinya kedudukan perempuan-perempuan Indonesia berada dibawah
kedudukan kaum laki-laki. Selanjutnya, kondisi ini melahirkan kesadaran nasional dan memicu
lahirnya organisasi-organisasi perempuan yang menuntut hak pendidikan setara dan adil.
1
Fauzie, dkk. Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana. 1993, h 87
1
memperjuangkan posisi perempuan. Bagian ini dianggap sebagai suatu keberhasilan luar biasa
Pasca kemerdekaan atau disebut dengan periode Orde Lama, sepanjang tahun 1950-1965
merupakan organisasi Isteri Sedar. Pergerakan dan perjuangan Gerwani tidak hanya untuk
menuntut kesamaan hak bagi kaum perempuan tetapi juga terlibat aktif dalam berbagai aktifitas
politik, yang dicirikan dengan ideologi gerakan perempuan radikal 3 dan militan. Pada periode ini
Gerwani menjadi organisasi perempuan yang sangat kuat sebelum dihantam serangkaian “fitnah”
dalam peristiwa G-30S, karena dianggap beraflialsi dengan paham Partai Komunis Indonesia
(PKI). Sejak saat itu Gerwani dijadikan preseden buruk bagi organisasi perempuan dan sejarah
Sejarah mencatat, pasca peristiwa G30S PKI Orba memunculkan stigma pelacur yang
bejat dan tidak bermoral kepada Gerwani. Rezim Orba juga melakukan beberapa tindakan
kekerasan dan pelecehan seksual kepada tahanan politik mereka. Komnas perempuan pada tahun
20074 melaporkan, mereka yang dianggap sebagai Gerwani banyak yang mengalami berbagai
pelanggaran hak asasi manusia. Laporan tersebut menyebutkan antara lain kekerasan fisik,
kekerasan seksual, penyiksaan seksual, perkosaan, dan pelecehan seksual lainnya yang dialami
oleh perempuan Gerwani dalam masa tahanan. Penyiksaan seksual antara lain serangan terhadap
2
S. Blackburn. Terjemahan Atashendartini Koesoemo Oetoyo-Habsjah. Kongres Perempuan Pertama. Tinjauan
Ulang. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 2007, h 1
3
Ideologi gerakan perempuan radikal berpandangan kaum laki-laki adalah musuh kaum perempuan yang
menyebabkan perempuan tertindas untuk selamanya. Lihat Mansour Fakih. Analisis Gender dan Transformasi
Sosial. Cet. II. Yogyakarta: Insistpres. 2008, h 84-88
4
Lihat Laporan Pemantauan HAM Perempuan. Tehadap Kemanusiaan Berbasis Gender: Mendengarkan Suara
Korban Peristiwa 1965.. Jakarta: Komnas Perempuan Kejahatan. 2007, h 76-128
2
alat reproduksi perempuan saat proses introgasi dan kekerasan seksual berupa perbudakan
seksual. Pada periode Orde Baru, negara telah melakukan politik kekerasan seksual yang
Akibat dari peristiwa G-30S PKI, pada masa rezim Orde Baru sejarah pergerakan
organisasi perempuan berubah dratis dan mengalami pengekangan. Tidak ada lagi organisasi
interaksi politik kala itu. Organisasi perempuan yang dibentuk dan didirikan oleh rezim
pemerintahan Orba, misalnya Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, Persatuan Isteri Tentara
(PERSIT) dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). 5 Pada saat yang bersamaan Orba
berusaha menciptakan ideologi ibuisme, yakni sebuah paham yang melihat kegiatan ekonomi
perempuan sebagai bagian dari peranannya sebagai ibu dan partisipasi perempuan dalam politik
sebagai tidak layak.6 Di ujung kekuasaan Orba, gerakan perempuan kembali tumbuh dan turut
andil dalam Reformasi 1998 seperti Suara Ibu Peduli yang selain menyuarakan isu-isu
Runtuhnya Orde Baru menandai dimulainya era Reformasi namun juga menyisakan kisah
pilu bagi kaum perempuan. Rangkaian peristiwa kerusuhan Mei 1998 banyak memakan korban
tidak tekecuali perempuan. Pada awal reformasi perempuan menjadi korban objek eksploitasi
seksual, sebanyak 52 kasus diantaranya ialah tindakan pemerkosanan yang dialami oleh etnis
5
Saskia Eleonora Wieringa. Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. Jakarta: Garba Budaya. 1999, h,
xlvii
6
SJ, Budi Susanto. Politik dan Postkolonialitas di Indonesia. Yogyakarta: Lembaga Studi Realino, Kanisius. 2003,
h, 164
3
Tionghoa pada periode bulan Mei 1998.7 Pada Konflik identitas di Poso (1998), perempuan juga
mengalami kekerasan dalam bentuk mutilasi genital dan pemerkosaan. Diperkirakan ada 200
Di daerah konflik lainnya seperti di Maluku, Timor-Timur, Aceh dan Papua tidak lama
setelah reformasi.
kerja secara seksual. Undang-undang ini berdampak pada posisi tawar isteri dalam segala
keputusan rumah tangga. Kate Milet seorang feminis radikal liberatarian asal Amerika
mengatakan bahwa seksualitas itu berimplikasi politik seksual karena hubungan laki-laki dan
Mimpi Feminis yang Menjadi Kenyataan, mimpi yang jarang terjadi dan sulit terjadi, nyatanya
terjadi di Indonesia. S
Komnas perempuan
7
Siaran Pers Komnas Perempuan Tentang Peringatan 23 Tahun Tragedi Mei 98 Menyalakan Ingatan Tragedi Mei
98 untuk Pemenuhan Hak Korban Jakarta, 13 Mei 2021
4
Perkembangan terakhir pada 18 Januari 2022 lalu rapat paripuna Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) menyepakati RUU TPKS sebagai usul inisiatif DPR. Penyusunan RUU
TPKS tercatat dilakukan sejak tahun 2014. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan) bersama gerakan masyarakat sipil saat itu
mendorong parlemen membentuk regulasi penghapusan kekerasan seksual dengan
membawa naskah awal RUU TPKS.
Selanjutnya baru pada tahun 2016 naskah awal itu masuk dalam daftar penambahan
program legislasi nasional periode 2015-2019. Sejak saat itu tarik ulur legislasi RUU
TPKS berbuah sejumlah perdebatan publik. Entah bagaimana, salah satu
perdebatannya melebar pada tudingan pelegalan perilaku homoseksual secara
terselubung.