Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

METODOLOGI STUDI ILMU FIQIH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan

Dosen Pengampu:

Dr. H. Mohamad Jaenudin, M.Ag., M.Pd

Disusun oleh :

Rizki Maulana : 1237050088

Salma Nur Oktavia : 1237050028

Sidik Abdul Zabar : 1237050066

JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA

FAKULTAS SAINS DAN TEKONOLGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

2023
KATA PENGATAR

Bismillahirrahmanirrohim

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di
akhirat nanti.

Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehinggan kami mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah dengan judul “Metodologi Studi Ilmu Fiqih”.

Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu


dalam penyusunan makalah ini sampai selesai.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami dan umumnya bagi
para pembaca, amin yaa Allah yaa Rabbal 'alamin.

Bandung, 6 Oktober 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGATAR........................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisa Makalah .................................................................................... 2
BAB II ................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ................................................................................................................ 3
A. Pengertian dan Karkteristik Fiqih (Hukum Islam) ........................................... 3
B. Metodologi Studi Fiqih ......................................................................................... 4
1. Penalaran Bayani ................................................................................................ 4
2. Penalaran Ta’lili .................................................................................................. 6
3. Penalaran Istislahi ............................................................................................... 8
BAB III............................................................................................................................. 10
PENUTUP ........................................................................................................................ 10
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 10
B. Saran .................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 11

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu fiqih adalah salah satu cabang utama ilmu-ilmu Islam yang melibatkan
pemahaman dan aplikasi hukum-hukum Islam dalam berbagai aspek kehidupan.
Dalam proses ini, ulama dan cendekiawan Islam dihadapkan pada tantangan besar
untuk memahami dan menginterpretasikan teks-teks hukum dengan benar.

Peran Penting dalam Kehidupan Beragama adalah Ilmu fiqih, bukan hanya ilmu
teoretis, melainkan memiliki peran yang sangat penting dalam membimbing umat
Islam dalam menjalani kehidupan beragama mereka. Pemahaman yang benar
tentang hukum-hukum Islam sangat berpengaruh pada praktik keagamaan, etika,
dan moralitas individu dan masyarakat.

Relevansi dalam Menghadapi Tantangan Kontemporer di Dunia ditandai oleh


perubahan sosial, ekonomi, politik, dan teknologi yang cepat. Metodologi studi
ilmu fiqih harus mampu mengatasi isu-isu kontemporer ini dan memberikan
panduan yang relevan dan sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Perbedaan Pendekatan dalam Mazhab Fiqih Terdapat berbagai mazhab fiqih dalam
Islam, masing-masing dengan pendekatan dan metodologi studi yang berbeda.
Memahami perbedaan-perbedaan ini dan dampaknya pada praktik keagamaan
menjadi aspek penting dalam studi metodologi ilmu fiqih.

Keharusan Pengembangan Metodologi yang Sesuai dengan Waktu Dalam rangka


memastikan bahwa hukum Islam tetap relevan dan sesuai dengan perkembangan
zaman, diperlukan pengembangan metodologi studi ilmu fiqih yang dapat
menghadapi tantangan zaman dan memberikan panduan yang sesuai.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
1. Pengertian Dan Karakteristik Fiqih
2. Mengetahui Ragam Metodologi Studi Fiqih

1
C. Tujuan Penulisa Makalah
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui Pengertian Dan Karakteristik Fiqih
2. Mengetahui Ragam Metodologi Studi Ilmu Fikih

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Karkteristik Fiqih (Hukum Islam)


Pengertian Fiqih (Hukum Islam) hingga saat ini masih rancu dengan
pengertian Syariah. Untuk itu dalam pengertian fiqih disini dimaksudkan di
dalamnya pengertian syariat. Dalam kaitan ini kita jumpai pendapat yang
mengatakan bahwa fiqih atau hukum islam adalah sekelompok dengan syariat-
yaitu ilmu yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia yang dimabil dari
nash Al-Quran dan Al-Sunnah. Bila ada nash dari Al-Quran dan Al-Sunnah
yang berhubungan dengan amal perbuatan tersebut, atau yang diambil dari
sumber-sumber lain, bila tidak ada nash dari Al-Quran atau Al-Sunnah,
dibentuklah suatu ilmu yang disebut dengan ilmu fiqih. Dengan demikian yang
disebut ilmu fiqih ialah sekelompok hukum tentang amal perbuatan manusia
yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.

Yang dimaksud dengan amal perbuatan manusia ialah segala amal


perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan bidang ibadat, muamalat,
kepidanaan dan sebagainya; bukan yang berhubungan dengan akidah
(kepercayaan). Sebab yang terakhir ini termasuk dalam pembahasan ilmu
kalam. Adapun yang dimaksud dengan dalil-dalil yang terperinci ialah stuan-
satuan dalil yang masing-masing menunjuk kepada suatu hukum tertentu.

Berdasarkan batasan tersebut diatas sebenarnya dapat dibedakan antara


syariah dan fiqih atau hukum islam. Perbedaannya tersebut terlihat pada dasar
atau dalil yang digunakannya. Jika syariat didasarkan pada nash Al-Quran dan
Al-Sunnah secara langsung, tanpa memerlukan penalaran; sedangkan hukum
islam didasarkan pada dalil-dalil yang dibangun oleh para ulama melalui
penalaran atau ijtihad dengan tetap berpegang pada semangat yang terdapat
dalam syariat. Dengan demikian, jika syariat bersifat permanen, kekal dan

3
abadi, fiqih atau hukum islam bersifat temporer, dan dapat berubah. Namun,
dalam praktiknya antara syariat dan fiqih sulit dibedakan.1

B. Metodologi Studi Fiqih


1. Penalaran Bayani
Dalam perspektif penemuan hukum Islam dikenal juga dengan
istilah metode penemuan hukum al-bayan mencakup pengertian al-tabayun
dan al-tabyin : yakni proses mencari kejelasan (azh-zhuhr) dan pemberian
penjelasan (al-izhar) ; upaya memahami (alfahm) dan komunikasi
pemahaman (al-ifham); perolehan makna (al-talaqqi dan penyampaian
makna (al-tablig).2 Dalam perkembangan hukum bayani atau setidak-
tidaknya mendekati sebuah metode yang dikenal juga dengan istilah
hermaneutika yang bermakna mengartikan, menafsirkan atau menerjemah
dan juga bertindak sebagai penafsir3 Dalam pengertian ini dapat dipahami
sebagai proses mengubah suatu dari situasi ketidaktahuan menjadi
mengerti, atau usaha mengalihkan diri dari bahasa asing yang maknanya
masih gelap ke dalam bahasa kita sendiri yang maknanya lebih jelas, atau
suatu proses transformasi pemikiran dari yang kurang jelas atau ambigu
menuju ke yang lebih jelas / konkret; bentuk transformasi makna semacam
ini merupakan hal yang esensial dari pekerjaan seorang penafsir / muffasir.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penalaran bayani adalah
pemahaman atau penafsiran terhadap al-qur’an dan al-hadits, untuk
menemukan hukum syar’i dengan menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan
(al-qawa’id al-lughawiyah).
Pendekatan bayani menjadi asas utama pada pemikiran fiqh Islam.
Pola ini lebih menumpukan perhatian kepada teks al qur'an dan sunnah
sebagai sumber kebenaran mutlak. Akal dianggap lebih bersifat sekunder di
dalam menjelaskan teks. Kekuatan pendekatan ini lebih memberikan

1
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006). Hal 298
2
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interprestasi Teks,
ed. UII Pres (Yogyakarta, 2004). Hal 23
3
Ibid. hal 20

4
perhatian kepada aspek gramatikal dan sastra Arab. Al qur'an dan al sunnah
adalah rujukan ilmu-ilmu Islam. Kebenaran wahyu adalah absolut.
Untuk menghasilkan pengetahuan, penalaran bayani ini akan
mengutamakan tiga hal, yaitu:
a. Redaksi lafaz teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab yang baku.
b. Menitikberatkan otoritas transmisi suatu teks nash agar tidak keliru
ataupun salah. Hal ini telah menyebabkan timbulnya ilmu Hadis
riwayah.
c. Menitikberatkan penggunaan metode Qiyas.

Secara umum metode interprestasi (al bayan) ini dapat dikelompokkan ke


dalam sebelas macam, yaitu :

1) Interprestasi Gramatikal (menurut bahasa).


Yaitu Penafsiran kata-kata dalam teks hukum sesuai kaidah bahasa dan
kaidah hukum tata bahasa.
2) Interprestasi historis.
Yaitu penafsiran sebuah aturan hukum berdasarkan sejarah.
3) Interprestasi sistematis.
Yaitu Penafsiran sebuah aturan hukum atau ayat sebagai bagian dari
keseluruhan sistem, artinya aturan itu tidak berdiri sendiri, tetapi selalu
difahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan yang lainnya.
4) Interprestasi sosiologis atau teologis.
Yaitu peraturan / ayat ditetapkan berdasarkan tujuan kemaslahatan.
5) Interprestasi komparatif.
Yaitu metode penafsiran dengan jalan membandingkan (muqarina)
berbagai sistem hukum baik dalam suatu negara Islam ataupun
membandingkan pendapat-pendapat imam mazhab.
6) Interperstasi futuristik.
Yaitu metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi yakni
penjelasan ketentuan hukum dengan berpedoman pada aturan yang

5
belum mempunyai kekuatan hukum, karena peraturannya masih dalam
rancangan.
7) Interperstasi restriktif.
Yaitu Metode interprestasi yang sifatnya membatasi, seperti gramatika
kata “tetangga” dalam fiqh mu‟amalah, dapat diartikan setiap tetangga
itu termasuk penyewa dari perkarangan di sebelahnya, tetapi kalau
dibatasi menjadi tidak termasuk tetangga penyewa, ini berarti seorang
qadhi telah melakukan interprestasi restriktif.
8) Interprestasi ekstensif.
Yaitu Metode penafsiran yang membuat interprestasi melebihi batas-
batas hasil interprestasi gramatikal.
9) Interprestasi otentik atau secara resmi.
Yaitu metode penafsiran dimana qadhi tidak diperkenankan melakukan
penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang telah ditentukan
pengertiannya di dalam undang-undang itu sendiri.
10) Interperstasi interdisipliner.
Yaitu metode yang dilakukan dalam suatu analisis masalah yang
menyangkut berbagai disipilin ilmu hukum, di sini dipergunakan logika
penafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum.
11) Interprestasi multidisipliner.
Yaitu metode dimana hakim harus mempelajari suatu atau beberapa
disiplin ilmu lain di luarilmu hukum. Dengan kata lain, di sini hakim
membutuhkan verifikasi dan bantuan dari lain-lain disiplin ilmu.4

2. Penalaran Ta’lili
Penalaran ta’lili adalah penalaran yang didasarkan kepada anggapan
bahwa ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Tuhan untuk mengatur prilaku
manusia ada alasan logis atau nilai hukum yang akan dicapainya, maka pada
dasarnya penalaran ta’lili merupakan metode istimbat hukum yang
berupaya menggunakan illat tersebut sebagai alat utamanya.

4
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Al-Fiqh (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hal 364.

6
Dari beberapa rumusan yang dikemukakan ulama’ ushul fiqh dapat
disimpulkan bahwa illat adalah suatu keadaan atau sifat yang jelas
(dhahir) yang dapat diukur dan mengandung relevansi (munasabah)
sehingga kuat dugaan dialah yang menjadi alasan penetapan suatu
ketentuan Allah dan Rasul-Nya.
Disini dapat dipahami bahwa ada tiga persyaratan yang harus
terdapat didalam illat, yaitu:
a. Sifat yang jelas (dhahir)
b. Relatif dapat diukur (terukur)
c. Mengandung pengertian yang sesuai dengan hukum dalam arti
mempunyai relevansi dengan hukum.(munasabah)
Dilihat dari persyaratan inilah yang membedakan antara illat dan
hikmah. Contohnya, mengqasar shalat bagi orang yang sedang
bepergian mempunyai hikmah dan illat. Hikmahnya adalah untuk
memberikan keringanan dan menghilangkan kesulitan. Sedangkan
illatnya adalah mengadakan perjalanan atau musafir itu sendiri kerena
musafir (safar) disini adalah suatu hal yang sudah jelas dan pasti. Hanya
saja ukuran safar (yang memberi ijin qashar) itu karna “jarak
tempuhnya” atau “waktu tempuhnya”.
Disini jelas bahwa suatu keadaan yang abstrak dalam arti tidak dapat
diukur tidak dapat digunakan sebagai illat. Contohnya, dalam kasus
shalat di atas, karena istilah “kesukaran atau kesulitan” ini sifatnya
relatif, tidak dapat diukur dan tidak sama pada setiap orang.
Dari definisi dan persyaratan illat di atas akan membedakan illat dan
sebab, karena illat harus mempunyai relevansi dengan hukum yang
ditetapkan, sedangkan sebab tidak selamanya harus mempunyai
relevansi dengan hukum. Contohnya adalah tergelincirnya matahari
untuk kewajiban shalat dhuhur atau tenggelamnya matahari sebagai
tanda datangnya waktu sholat maghrib, dinamakan sebab karena tidak
mempunyai atau tidak diketahui relevansinya. Namun sebagian ulama’

7
ushul tidak membedakan antara illat dengan sebab, karena keduanya
mempunyai maksud yang sama.

3. Penalaran Istislahi
Sebagaimana halnya metode penalaran lainya, al-maslahat al-mursalah
juga merupakan metode penemuan hukum yang kasusnya tidak diatur
secara eksplisit dalam Al Quran dan Hadis. Hanya saja metode ini lebih
menekankan pada aspek maslahat secara langsung. Sehubungan dengan
metode ini, dalam ilmu Ushul Fiqh dikenal ada tiga macam maslahat, yakni
maslahat mu’tabarat, maslahat mulghat dan maslahat mursalat.
Maslahat yang pertama adalah maslahat yang diungkapkan secara
langsung baik dalam Al Quran maupun dalam Hadit. Sedangkan maslahat
yang kedua adalah yang bertentangan dengan ketentuan yang termaktub
dalam kedua sumber hukum Islam tersebut. Di antara kedua maslahat
tersebut, ada yang disebut maslahat mursalat yakni maslahat yang tidak
ditetapkan oleh kedua sumber tersebut dan tidak pula bertentangan dengan
keduanya.5 Istilah yang sering digunakan dalam kaitan dengan metode ini
adalah istislahi.
Istislahi adalah suatu cara penetapan hukum terhadap masalah-masalah
yang tidak dijelaskan hukumnya oleh nash dan ijmak dengan mendasarkan
pada pemeliharaan al-mashlahat almursalat. Pada dasarnya mayoritas ahli
Ushl Fiqh menerima metode maslahat mursalat. Untuk menggunakan
metode tersebut mereka memberikan beberapa syarat.
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa metode penemuan hukum
dengan istislahi itu difokuskan terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam
nash, baik dalam Al Quran maupun As Sunnah yang menjelaskan hukum-
hukum yang ada penguatnya melalui suatu I’tibar. Juga difokuskan pada
hal-hal yang tidak didapatkan adanya ijma’ atau qiyas yang berhubungan
dengan kejadian tersebut. Hukum yang ditetapkan dengan istislahi seperti
pembukuan Al Quran dalam satu mushaf yang dilakukan oleh Usman Ibn

5
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh (Jakarta: Al-Majlis al-A‟la al-Indonesia, 1972), hal 364.

8
Affan, khalifah ketiga. Hal itu tidak dijelaskan oleh nash dan ijmak,
melainkan didasarkan atas maslahat yang sejalan dengan kehendak syara’
untuk mencegah kemungkinan timbulnya perselisihan umat tentang Al
Quran.6

6
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal 117.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Metodologi studi Fiqih terbagi menjadi 3 bagian yaitu: Penalaran Al-
Bayani, penalaran Ta'lili, Penalaran Istislahi

1. Penalaran Al-Bayani adalah pemahaman atau penafsiran terhadap al-quran


dan al-hadits, untuk menemukan hukum syar'i dengan menggunakan
kaidah-kaidah kebahasaan (al-qawa'id al-lughawiyah).
2. Penalaran Ta'lili adalah metode istimbat hukum yang berupaya
menggunakan illat sebagai alat utamanya.
3. Penalaran Istihlahi adalah penetapan hukum terhadap masalah-masalah
yang tidak dijelaskan hukumnya oleh nash dan ijmak dengan mendasarkan
pada pemeliharaan al-mashlahat al-mursalat.

B. Saran
Dalam penulisan makalah ini masih terdapat beberapa kekurangan dan
kesalahan, baik dari segi penulisan maupun dari segi penyusunan kalimatnya
dan dari segi isi juga masih perlu ditambahkan. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kepada para pembaca makalah ini agar dapat
memberikankritikan dan masukan yang bersifat membangun.

10
DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Al-Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.


Hamidi, Jazim. Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan
Interprestasi Teks. Edited by UII Pres. Yogyakarta, 2004.
Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Al-Fiqh. Jakarta: Al-Majlis al-A‟la al-
Indonesia, 1972.
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Syafe’i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia, 1999.

11

Anda mungkin juga menyukai