Anda di halaman 1dari 20

HUBUNGAN HUKUM ISLAM DAN KEKUASAAN

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Filsafat Hukum Islam
Dosen Pengampu : Drs. Azwani, M.Ag.

Disusun oleh
Kelompok 9

Risalah Adha Harahap (0203201039)


Muhammad Farhan (0203201040)
Miftahul Jannah (0203213110)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM


PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATRA UTARA MEDAN 2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat,Inayah,Taufik dan Hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam
memahami pelajaran yang berjudul “ Hubungan Hukum Islam dan Kekuasaan”
Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi
makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman saya miliki sangat
kurang. Oleh karena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan
masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Penulis

( Medan, 20 Desember 2023 )

ii
Daftar isi
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI ..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1

A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................2
C. Tujuan Masalah..............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................3

A. Hukum Dan Makna Kekuasaan.....................................................................3


B. Hubungan Antara Hukum Dan Kekuasaan....................................................7
C. Hubungan Islam Dengan Kepemimpinan......................................................11
D. Kekuasaan Dalam Konteks Hukum...............................................................13

BAB III PENUTUP..................................................................................................16

A. Kesimpulan...................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hubungan antara hukum Islam dan kekuasaan merupakan aspek penting dalam konteks
sosial dan politik. Dalam kerangka ini, prinsip-prinsip hukum Islam menciptakan dasar untuk
struktur kekuasaan yang adil dan berkeadilan. Pemahaman dan implementasi hukum Islam
dalam sistem kekuasaan dapat memengaruhi tata kelola negara, peradilan, dan kebijakan
publik. Diskusi lebih lanjut bisa mencakup konsep-konsep seperti syariah, kepemimpinan
Islam, dan bagaimana prinsip-prinsip ini tercermin dalam praktik kekuasaan di berbagai
negara dengan populasi mayoritas Muslim.
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah
laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan pelaku. Pengertian ini kendati
bermakna sosiologis, boleh jadi sangat realistis mengingat bahwa manusia hidup pada
dasarnya mempunyai berbagai keinginan dan tujuan yang hendak diraihnya. Dalam konteks
ini, demikian pula yang terjadi pada kekuasaan yang dimiliki oleh negara, tidak terbatas
dalam kehidupan antar manusia di bidang politik semata-mata, serta tidak pula terbatas pada
negara yang baru tumbuh, tetapi, di bidang hukum pun kekuasaan senantiasa
bergandengan .Suatu kekuasaan biasanya diwujudkan dalam bentuk hubungan. Di dalam
antar hubungan ini ada pihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintah atau dengan
kata lain, ada pihak yang memberi perintah dan pihak yang mematuhi perintah. Dalam setiap
hubungan kekuasaan, tidak pernah terjadi adanya persamaan kedudukan di antara pihak-
pihak yang terlibat dalam hubungan kekuasaan tersebut, tetapi senantiasa ditandai oleh
adanya kedudukan yang satu lebih tinggi dibanding yang lainnya. Bahkan, tidak jarang
hubungan kekuasaan tersebut ditandai paksaan oleh pihak yang lebih tinggi kedudukannya
atau yang menempati posisi pemerintah . Hakikatnya ialah bahwa dalam sebuah negara
demokrasi, pemerintah bertanggung jawab kepada rakyat, terutama dalam penggunaan
kekuasaannya yang harus sesuai dengan kehendak rakyat. Hal ini telah menyebabkan
sebagian pemikir politik menolak definisi yang mengartikan negara sebagai kekuasaan untuk
memerintah yang dijalankan oleh pemerintah itu. Mereka mengatakan bahwa jika rakyat yang
memberi keputusannya, maka dengan demikian rakyatlah yang sebenarnya memerintah.
Akan tetapi, setiap warganegara masih pula harus taat kepada pemerintahnya. Jika dia
mencoba menentang, dia seperti seseorang yang memasuki sebuah kawasan pertahanan tanpa
memiliki keberanian untuk melakukan suatu tindakan apapun, karena dia merupakan salah
1
seorang pemiliknya . Agar kekuasaan menjadi baik, memerlukan legitimasi antara lain
legitimasi etis .Etika politik menuntut agar kekuasaan sesuai dengan hukum yang berlaku
(legalitas), disahkan secara demokratis (legitimasi demokratis) dan tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip dasar moral (legitimasi moral). Ketiga tuntutan tersebut dapat disebut
legitimasi normatif atau etis karena berdasarkan keyakinan bahwa kekuasaan hanya sah
secara etis apabila sesuai dengan tuntutan tadi. Dalam kenyataannya, orang yang memiliki
pengaruh politik atau keagamaan dapat lebih berkuasa daripada yang berwenang atau yang
memiliki kekuatan fisik (senjata).
Kekayaaan (uang) atau kekuatan ekonomi lainnya juga merupakan sumber-sumber kekuasaan
yang penting, sedangkan dalam keadaan-keadaan tertentu kejujuran, moral yang tinggi dan
pengetahuan pun tidak dapat diabaikan sebagai sumber-sumber kekuasaan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Hukum Dan Makna Kekuasaan?
2. Bagaimana Hubungan Antara Hukum Dan Kekuasaan?
3. Bagaimana Hubungan Islam Dengan Kepemimpinan?
4. Bagaimana Kekuasaan Dalam Konteks Hukum?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Hukum Dan Makna Kekuasaan
2. Untuk Mengetahui Hubungan Antara Hukum Dan Kekuasaan
3. Untuk Mengetahui Hubungan Islam Dengan Kepemimpinan
4. Untuk Mengetahui Kekuasaan Dalam Konteks Hukum

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hukum Dan Makna Kekuasan


Dalam bahasa Indonesia “hukum” dipergunakan sebagai sebutan untuk mengganti
istilah lain dalam bahasa Belanda “recht”. Recht dalam bahasa Latin “rectum” berarti lurus,
pimpinan atau memimpin. Dengan demikian, dalam arti ini, hukum disamakan dengan
sesuatu yang memimpin atau meluruskan. Namun, untuk dapat memimpin atau meluruskan
harus ada hal yang lain yang sangat penting yaitu kewibawaan. Sehubungan dengan hal itu,
Moeljatno mengatakan bahwa hukum adalah upaya manusia untuk mencapai keadilan. Di
dalam penerapannya, Pascal juga menyatakan bahwa yang berkuasa harus adil dan yang adil
harus berkuasa (mempunyai wibawa). Keadilan perlu diikuti dan kekuasaan perlu ditaati.
Keadilan tanpa kekuasaan akan ditentang, sebab di mana-mana selalu ada orang jahat.
Kekuasaan tanpa keadilan akan digugat. Oleh karenanya, keadilan dan kekuasaan harus
selalu dihubungkan, sebab segala sesuatu yang adil harus kuat dan segala sesuatu yang kuat
harus dijadikan adil atau diarahkan kepada yang adil.
Immanuel Kant menyatakan, yang mewajibkan kita menyesuaikan diri secara mutlak
kepada norma atau patokan moral adalah hukum. Hukum bukanlah merupakan pembatasan-
pembatasan yang tanpa dalih, akan tetapi, hukum memimpin manusia kepada tujuannya,
yaitu kebahagiaan hidup bersama dengan anggota masyarakat yang lain. Hukum tidak
bertentangan dengan kebebasan, melainkan justru membebaskan manusia dari
keterikatannya, karena ketidaktahuan dan kekeliruan pengertian bahwa kebebasan merupakan
daya untuk mengarahkan diri menuju kebaikan dengan perantaraan hukum, sebab hukum
adalah pengaturan atas dasar kerja akal yang diumumkan oleh pemerintah atau penguasa,
dengan tujuan kebahagiaan umum. Oleh karena itu, bentuknya harus memerintah, isinya
selaras dengan budi dan tujuannya adalah mengabdi kepada masyarakat. Oleh karena itu,
ketaatan terhadap ciptaan pemerintah tersebut hukum serta peraturan-peraturan yang lain
harus berdasarkan pada kerelaan masyarakat. Individuindividu itu harus jadi tuan bagi dirinya
sendiri.1 Tujuan lebih jauh dari hukum adalah mewujudkan kedamaian sejati di dalam
masyarakat, sehingga dapat terasa ketentraman dalam bathin setiap warga masyarakat.
Walaupun disadari bahwa hukum itu membawa pelbagai pembatasan dan pengorbanan, tetap
dinilai jauh lebih baik kalau dibandingkan dengan keadaan tanpa hukum. Oleh karena itu,
masyarakat bersedia untuk menerima hukum karena masyarakat juga sadar bahwa kadang-
1
Dorothy Pickles, Pengantar Ilmu Politik (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h. 5

3
kadang kepentingan individual lebih kuat ketimbang penilaian itu, tatanan normatif itu
dikokohkan dengan sistem sanksi. Karena tatanan itu hanya berguna kalau semua terikat
olehnya, maka jelas bahwa bukan sembarang tatanan normatif yang dipaksakan boleh disebut
hukum. Penerimaan dan legitimasi masyarakat termasuk ke dalam hakikat hukum. 2
Asas hukum merupakan sumber atau asal yang mengandung kaidah atau kebenaran dasar
yang memberi arah pada penyusunan kaidah-kaidah hukum yang lebih konkret, seluruh
bidang hukum merupakan suatu kesatuan yang utuh. Kekuatan moral pun adalah unsur
hakikat hukum, sebab tanpa adanya moralitas, maka hukum akan kehilangan supremasi dan
ciri independennya. Keadilan dan ketidakadilan menurut hukum akan diukur oleh nilai
moralitas yang mengacu pada harkat dan martabat manusia.
Tokoh Positivisme, John Austin menyatakan, hukum ada dua jenis, yaitu hukum Allah
(hukum lebih merupakan moral hidup daripada hukum dalam arti yang sejati) dan hukum
manusia yakni segala peraturan yang dibuat oleh manusia sendiri. Di sini, harus dibedakan
antara hukum yang sungguh-sungguh (properly so called law) dengan hukum yang
sebenarnya bukan hukum (improperely so called law).
Hukum yang sungguh-sungguh adalah undang-undang yang berasal dari suatu kekuasaan
politik atau peraturan-peraturan pribadi-pribadi swasta yang menurut undang-undang yang
berlaku. Hukum yang sebenarnya bukan hukum adalah peraturan-peraturan yang berlaku bagi
suatu club olah raga, bagi suatu pabrik, karya-karya ilmiah dan sebagainya. Peraturan-
peraturan yang berlaku di bidang-bidang ini bukan hukum dalam arti yang sungguh-sungguh,
sebab tidak berkaitan dengan pemerintah sebagai pembentuk hukum. Hukum yang sungguh-
sungguh adalah hukum yang legal atau sah. Hukum yang tidak legal sebenarnya bukan
hukum, melainkan menyerupai tindakan kekerasan. Undangundang dan peraturan-peraturan
ditentukan menurut kriteria yang berlaku. Peraturan-peraturan yang legal itu mempunyai
kekuatan yuridis.3
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah
laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan pelaku. Pengertian ini kendati
bermakna sosiologis, boleh jadi sangat realistis mengingat bahwa manusia hidup pada
dasarnya mempunyai berbagai keinginan dan tujuan yang hendak diraihnya. Dalam konteks
ini, demikian pula yang terjadi pada kekuasaan yang dimiliki oleh negara, tidak terbatas

2
Fransz Magnis Suseno, Etika Politik (Jakarta: PT.Gramedia, 1987), h. 75
3
Theo Huijbers, Filsafat Hukum (Yogyakarta: Kanisius, 1995), h. 42

4
dalam kehidupan antar manusia di bidang politik semata-mata, serta tidak pula terbatas pada
negara yang baru tumbuh, tetapi, di bidang hukum pun kekuasaan senantiasa bergandengan4.
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi
tingkah laku atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga sesuai dengan keinginan dan
tujuan orang yang mempunyai kekuasaan itu. Sarjana-sarjana yang melihat kekuasaan
sebagai inti politik beranggapan bahwa politik adalah semua kegiatan menyangkut masalah
memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan dan biasanya dianggap bahwa perjuangan
kekuasaan mempunyai tujuan yang menyangkut kepentingan seluruh masyarakat5.
Kekuasaan adalah masalah manusia, khususnya dalam kehidupan bersama manusia atau
masyarakat. Namun, kekuasaan tidak terbatas dalam kehidupan antar manusia di bidang
hukum semata-mata serta tidak pula terbatas pada negara yang baru tumbuh. Tetapi, di luar
bidang hukum dan sebelum munculnya negara, masalah kekuasaan ini pun sudah
mempengaruhi perikehidupan manusia, walaupun dalam kehidupan sekarang, kekuasaan
lebih erat berhubungan dengan negara.6 Suatu kekuasaan biasanya diwujudkan dalam bentuk
hubungan. Di dalam antar hubungan ini ada pihak yang memerintah dan ada pihak yang
diperintah atau dengan kata lain, ada pihak yang memberi perintah dan pihak yang mematuhi
perintah. Dalam setiap hubungan kekuasaan, tidak pernah terjadi adanya persamaan
kedudukan di antara pihakpihak yang terlibat dalam hubungan kekuasaan tersebut, tetapi
senantiasa ditandai oleh adanya kedudukan yang satu lebih tinggi dibanding yang lainnya.
Bahkan, tidak jarang hubungan kekuasaan tersebut ditandai paksaan oleh pihak yang lebih
tinggi kedudukannya atau yang menempati posisi pemerintah. Hakikatnya ialah bahwa
dalam sebuah negara demokrasi, pemerintah bertanggung jawab kepada rakyat, terutama
dalam penggunaan kekuasaannya yang harus sesuai dengan kehendak rakyat. Hal ini telah
menyebabkan sebagian pemikir politik menolak definisi yang mengartikan negara sebagai
kekuasaan untuk memerintah yang dijalankan oleh pemerintah itu. Mereka mengatakan
bahwa jika rakyat yang memberi keputusannya, maka dengan demikian rakyatlah yang
sebenarnya memerintah. Akan tetapi, setiap warganegara masih pula harus taat kepada
pemerintahnya. Jika dia mencoba menentang, dia seperti seseorang yang memasuki sebuah
kawasan pertahanan tanpa memiliki keberanian untuk melakukan suatu tindakan apapun,
karena dia merupakan salah seorang pemiliknya.

4
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia, 1982), h. 10
5
Ibid., h. 11
6
Cheppy Haricahyono, Ilmu Politik dan Perspektifnya (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1991), h. 165

5
Kekuasaan supaya mantap, memerlukan legitimasi antara lain legitimasi etis. 7Etika politik
menuntut agar kekuasaan sesuai dengan hukum yang berlaku (legalitas), disahkan secara
demokratis (legitimasi demokratis) dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar moral
(legitimasi moral). Ketiga tuntutan tersebut dapat disebut legitimasi normatif atau etis karena
berdasarkan keyakinan bahwa kekuasaan hanya sah secara etis apabila sesuai dengan tuntutan
tadi. Dalam kenyataannya, orang yang memiliki pengaruh politik atau keagamaan dapat lebih
berkuasa daripada yang berwenang atau yang memiliki kekuatan fisik (senjata). Kekayaaan
(uang) atau kekuatan ekonomi lainnya juga merupakan sumber-sumber kekuasaan yang
penting, sedangkan dalam keadaan-keadaan tertentu kejujuran, moral yang tinggi dan
pengetahuan pun tidak dapat diabaikan sebagai sumber-sumber kekuasaan. Apabila legalitas
kekuasaan diperoleh secara konstitusional dan dipergunakan sesuai dengan undang-undang
yang berlaku, maka hukum mempunyai wewenang tertinggi dan penguasa berada dibawah
hukum. Unsur pemegang kekuasaan merupakan faktor penting dalam hal digunakannya
kekuasaan yang dimilikinya itu sesuai dengan kehendak masyarakat. Artinya, hukum harus
menjaga kekuasaan agar tidak merusak sifat dasar harkat dan martabat kodrati manusia.
Yang dinamakan kekuasaan negara dalam pengertian Ibn Khaldun adalah dominasi dan
memerintah atas dasar kekerasan. Kekuasaan ini memiliki dinamika kehidupannya tersendiri,
sehingga apabila seseorang telah berhasil mencapai tingkat kekuasaan tertentu, ia tidak akan
puas dengan apa yang telah dicapainya. Ia akan terus maju ke depan untuk mencapai tingkat
kekuasaan yang lebih tinggi lagi. Seakanakan seseorang yang telah maju di jalan kekuasaan
itu tidak dapat mengendalikan dirinya lagi, akan tetapi terus maju ke depan, dibimbing oleh
suatu tangan yang tidak kelihatan, untuk pada akhirnya, apabila ia berhasil terus, ia akan
mencapai tingkat yang paling tinggi, yaitu kekuasaan negara8.
Kekuasaan negara dalam pandangan Ibnu Khaldun bukan sesuatu yang aneh atau sesuatu
yang harus diciptakan manusia dengan bersusah payah. Kekuasaan negara baginya adalah
sesuatu yang wajar ada, sesuatu yang alami dalam masyarakat manusia. Dengan demikian,
kekuasaan itu adalah sesuatu yang bersifat universal, yang akan selalu terdapat di manapun
juga manusia berada. Karena itulah barangkali ia merasa tidak semestinya kajian ini ditinjau
adanya atau eksistensinya dari segi agama. Ada agama atau tidak, kekuasaan negara itu akan
tetap ada. Sama halnya dengan lahirnya manusia atau adanya perkawinan di kalangan umat
manusia. Ada agama atau tidak, peristiwa itu tetap akan terjadi. Kekuasaan tidak dapat

7
Fransz Magnis Suseno, Etika Politik, h. 39
8
A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara, Pemikiran Politik Ibnu Khaldun (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
1992), h. 131

6
ditegakkan tanpa kekuatan yang menunjangnya. Kekuatan penunjang ini hanya dapat
diberikan oleh solidaritas dan kelompok yang mendukungnya. Tanpa suatu kekuatan yang
selalu dalam keadaan siap siaga dan bersedia mengobarkan segala-galanya untuk kepentingan
bersama, maka kekuasaan penguasa tidak akan dapat ditegakkan. Bagi Ibnu Khaldun,
kekuatan seperti itu hanya dapat ditegakkan dengan solidaritas.

B. Hubungan Antara Hukum Dan Kekuasaan


Pola hubungan hukum dan kekuasaan ada dua macam. Pertama, hukum adalah
kekuasaan itu sendiri. Menurut Lassalle dalam pidatonya yang termashur Uber
Verfassungswessen, “konstitusi sesuatu negara bukanlah undang-undang dasar tertulis yang
hanya merupakan “secarik kertas”, melainkan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata
dalam suatu negara9” Pendapat Lassalle ini memandang konstitusi dari sudut kekuasaan.
Dari sudut kekuasaan, aturan-aturan hukum yang tertuang dalam konstitusi suatu negara
merupakan deskripsi struktur kekuasaan yang terdapat dalam negara tersebut dan hubungan-
hubungan kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara. Dengan demikian, aturan-aturan
hukum yang termuat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan deskripsi
struktur kekuasaan ketatanegaraan Indonesia dan hubunganhubungan kekuasaan antara
lembaga-lembaga negara. Struktur kekuasaan menurut UUD 1945 menempatkan MPR
(Majelis Permusyawaratan Rakyat) dalam hierarki kekuasaan tertinggi. Hierarki kekuasaan di
bawah MPR adalah kekuasaan lembagalembaga tinggi negara, yaitu presiden, DPR (Dewan
Perwakilan Rakyat), DPA (Dewan Pertimbangan Agung), MA (Mahkamah Agung) dan BPK
(Badan Pemeriksa Keuangan). UUD 1945 juga mendeskripsikan struktur kekuasan pusat dan
daerah. Di samping itu, juga dideskripsikan hubungan antara kekuasaan lembaga tertinggi
negara dengan kekuasaan lembaga-lembaga tinggi negara, hubungan kekuasaan di antara
lembaga-lembaga tinggi negara, dan hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah. Hakekat
hukum dalam konteks kekuasaan menurut Karl Olivecrona tak lain daripada “kekuatan yang
terorgansasi”, dimana hukum adalah “seperangkat aturan mengenai penggunaan kekuatan”,
kekerasan fisik atau pemaksaan yang dilakukan oleh penguasa, tidak berbeda dari kekerasan
yang dilakukan pencuri-pencuri dan pembunuh pembunuh10. Walaupun kekuasaan itu adalah
hukum, namun kekuasaan tidak identik dengan hukum. Mengenai hal ini Van Apeldorn
mengemukakan bahwa hukum adalah kekuasaan, akan tetapi ini tidak berarti bahwa hukum

9
L.J. van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, PT Pradnya Paramita, 1986,
hlm. 70.
10
Karl Olivecrona, Law as Fact, Copenhagen-London, 1939, hlm. 123, 169.

7
tidak lain daripada kekuasaan belaka. Hukum adalah kekuasaan, akan tetapi kekuasaan tidak
selamanya hukum. “Might is not right,” pencuri berkuasa atas barang yang dicurinya, akan
tetapi tidak berarti bahwa ia berhak atas barang itu. Esensi kekuasaan yang sama dengan
hukum tersebut menurut Lassalle adalah kekuasaan fisik, khususnya kekuasaan tentara dan
polisi. Namun menurut Van Apeldorn, kekuasaan fisik (materiil) itu bukanlah anasir yang
hakiki dari hukum, apalagi anasir yang esensial daripadanya. Kekuasaan fisik itu biasanya
hanya menjadi unsur tambahan: sesuatu accesoir, bukan bagian dari hukum. Sebaliknya
kekuasaan susila adalah anasir yang esensial dari hukum, yakni kekuasaan yang diperoleh
kaidah kaidah hukum dari nilai yang diberikan oleh masyarakat padanya, dan berdasarkan hal
mana biasanya kaidah-kaidah itu dapat mengharapkan pentaatan dengan sukarela oleh
anggota-anggota masyarakat. Kekuasaan fisik adalah kekuasaan yang mengandalkan diri
pada kekerasan atau paksaan untuk memaksa ketaatan masyarakat kepada aturan hukum yang
berlaku dan bila melanggar akan dikenakan sanksi hukum. Kepatuhan masyarakat kepada
hukum sangat ditentukan oleh kualitas aparatur pemaksa (polisi dan jaksa) dalam
menjalankan tugasnya. Sedangkan kesusilaan adalah kekuasaan batin yang bersumber kepada
kesadaran diri manusia mengenai kebaikan, kepatutan dan rasa keadilan. Kepatuhan
masyarakat kepada aturan hukum bukan karena ada paksaan dari aparat penegak hukum, tapi
berdasarkan kesadaran diri anggota masyarakat yang dengan sukarela mematuhi aturan-
aturan hukum. Kekuasaan dalam lingkup kebijakan publik, khususnya kebijakan hukum
(legal policy) menetapkan batasan-batasan tindakan bagi seseorang atau sekelompok orang
berkaitan dengan yang dilarang maupun yang dianjurkan, yang disertai dengan sanksi hukum
tertentu. Hal ini bertujuan untuk menjamin terselenggaranya ketertiban dan ketentraman bagi
hubungan sosial kemasyarakatan.
Di samping hukum sama dengan kekuasaan, pola hubungan hukum dan kekuasaan yang
lain adalah bahwa hukum tidak sama dengan kekuasaan. Artinya, hukum dan kekuasaan
merupakan dua hal yang terpisah, tapi ada hubungan yang erat di antara keduanya. Hubungan
itu dapat berupa hubungan dominatif dan hubungan resiprokal (timbal balik). Ada tiga bentuk
manifestasi hubungan hukum dan kekuasaan dalam konteks ini. Pertama, hukum tunduk
kepada kekuasaan. Maksudnya, hukum bukan hanya menjadi subordinasi kekuasaan, tapi
juga sering menjadi alat kekuasaan, dengan kata lain, kekuasaan memiliki supremasi terhadap
hukum. Oleh karena itu, definisi hukum yang dikemukakan oleh para ahli menempatkan
hukum berada di bawah kontrol kekuasaan. Pendapat ahli hukum yang menggambarkan
pandangan supremasi kekuasaan terhadap hukum dikemukakan oleh Thrasimachus yang
mengungkapkan bahwa hukum tak lain daripada apa yang berfaedah bagi orang yang lebih
8
kuat. Pengertian yang hampir sama dikemukakan pula oleh Gumplowicz yang
mengungkapkan bahwa hukum bersandar pada penaklukan yang lemah oleh yang lebih kuat;
hukum adalah susunan definisi yang dibuat oleh pihak yang kuat untuk mempertahankan
kekuasaannya. Dalam perspektif Marxisme, hukum dibuat tidak untuk melindungi
kepentingan seluruh masyarakat, tapi untuk melindungi kepentingan kelompok elit. Hukum
adalah alat kaum kapitaslis untuk melindungi kepentingannya dalam melakukan kegiatan
bisnis, dan alat penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Hukum berpihak kepada
pihak yang berkuasa dan kaum kapitalis. Kedua, kekuasaan tunduk kepada hukum. Artinya,
kekuasaan berada di bawah hukum dan hukum yang menentukan eksistensi kekuasaan.
Dalam pemikiran hukum, tunduknya kekuasaan kepada hukum merupakan konsep dasar
dalam penyelenggaraan ketatanegaraan. Konsep itu dirumuskan dalam terminologi supremasi
hukum (supreme of law). Supremasi hukum berarti bahwa hukum merupakan kaidah
tertinggi untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hukum
sebagai kaidah tertinggi muncul dalam konsep norma dasar negara (staats fundamental norm)
atau grund norm menurut pemikiran Hans Kelsen. Di samping itu, supremasi hukum juga
berarti bahwa penggunaan kekuasaan untuk menjalankan kehidupan ketatanegaraan dan roda
pemerintahan harus berdasarkan kepada aturan hukum. Tanpa landasan hukum, kekuasaan
tidak memiliki legalitas. Pada prinsipnya supremasi hukum tidak lain dari rule of law,
sehingga dalam suatu negara hukum harus terdapat supremasi hukum11. Menegakkan
supremasi hukum tentunya harus ada rule of law. Rule of law adalah suatu konsep yang
dipergunakan supaya negara dan pemerintahnya, termasuk warga negara tidak melakukan
tindakan kecuali berdasarkan hukum. Timothy O’hogan dalam The End of Law dan A.V.
Dicey dalam Law and the Constitution menyebutkan prinsip-prinsip utama negara hukum
dalam kaitan tegaknya supremasi hukum. Prinsip-prinsip tersebut meliputi pemerintahan
berdasarkan hukum dan menghindarkan kekuasaan yang sewenang-wenang, prinsip
persamaan di depan hukum (equality before the law), perlindungan hak asasi manusia
(HAM), dan adanya peradilan yang bebas dan independen. Ketiga, ada hubungan timbal balik
(simbiotik) antara hukum dan kekuasaan. Dalam hal ini hubungan hukum dan kekuasaan
tidak bersifat dominatif di mana yang satu dominan atau menjadi faktor determinan terhadap
yang lain, tapi hubungan pengaruh mempengaruhi yang bersifat fungsional, artinya hubungan
itu dilihat dari sudut fungsi-fungsi tertentu dan dapat dijalankan di antara keduanya. Dengan
demikian, kekuasaan memiliki fungsi terhadap hukum, dan sebaliknya hukum mempunyai
fungsi terhadap kekuasaan.
11
Luthan, Salman. "Hubungan Hukum Dan Kekuasaan." Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, vol. 14, no. 2, 2007.

9
Hubungan antara hukum dan kekuasaan melibatkan dinamika kompleks yang
mempengaruhi bagaimana masyarakat diatur dan kekuasaan didistribusikan. Pertama-tama,
hukum dapat dilihat sebagai produk dari kekuasaan, di mana mereka yang memiliki otoritas
atau kekuasaan dalam suatu masyarakat memiliki peran dalam pembentukan dan penegakan
hukum. Proses legislasi, pembuatan peraturan, dan pengambilan keputusan hukum sering kali
melibatkan partisipasi dari pihak-pihak yang memiliki kekuasaan politik atau ekonomi.
Sebaliknya, hukum juga dapat membatasi kekuasaan dengan menetapkan aturan-aturan yang
harus diikuti oleh semua anggota masyarakat. Dengan memberikan kerangka kerja yang adil
dan setara, hukum dapat berfungsi sebagai pembatas terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Ini
menciptakan keseimbangan antara perlindungan hak individu dan kepentingan kolektif.
Lembaga-lembaga hukum, seperti sistem peradilan, berperan dalam menegakkan hukum dan
menyelesaikan sengketa. Meskipun lembaga-lembaga ini seharusnya bersifat independen,
tetapi pada kenyataannya, kekuasaan politik dan ekonomi dapat memengaruhi proses hukum.
Pengaruh politik dalam pemilihan hakim, intervensi pemerintah dalam kasus tertentu, atau
perlakuan yang tidak adil terhadap kelompok tertentu adalah contoh bagaimana kekuasaan
dapat mempengaruhi sistem hukum. Selain itu, hukum dapat menjadi instrumen perubahan
sosial dan politik. Gerakan hak asasi manusia, perjuangan untuk kesetaraan gender, atau
upaya memperjuangkan hak-hak kelompok minoritas sering kali melibatkan perubahan atau
pembentukan hukum baru. Dalam hal ini, hukum dapat digunakan sebagai alat untuk
menggugah kekuasaan yang mungkin tidak adil atau tidak setara. Dengan demikian,
hubungan antara hukum dan kekuasaan adalah dinamis dan saling terkait. Keduanya
memainkan peran penting dalam membentuk struktur masyarakat dan menentukan
bagaimana kekuasaan didistribusikan serta diatur. Namun, penting untuk diingat bahwa
idealnya, hukum harus melindungi hak-hak individu dan mengatur kekuasaan dengan adil
untuk menciptakan masyarakat yang berkeadilan.

C. Hubungan Islam dengan Kepemimpinan

10
Hubungan antara hukum Islam dan kepemimpinan dapat dijelaskan dengan berbagai
aspek. Dalam konteks Islam, kepemimpinan memiliki dasar hukum yang kuat yang
bersumber dari Al-Qur'an dan Hadis. Beberapa poin kunci termasuk:
1. Kepemimpinan Adalah Amanah (Trusteeship) 12: Dalam Islam, kepemimpinan dianggap
sebagai amanah (trusteeship) yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab.
Pemimpin diharapkan memimpin dengan keadilan, integritas, dan keberpihakan kepada
kepentingan umum.
2. Syura (Musyawarah): Konsep musyawarah atau syura menekankan pada pentingnya
konsultasi dan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Pemimpin diharapkan untuk
mendengar pendapat dan masukan dari berbagai pihak sebelum membuat keputusan.
3. Keadilan dan Kesetaraan: Prinsip keadilan dan kesetaraan sangat ditekankan dalam
kepemimpinan Islam. Pemimpin diharapkan untuk memberikan perlakuan yang adil kepada
semua warganya, tanpa memandang suku, agama, atau status sosial.
4. Kepatuhan Terhadap Hukum Islam: Pemimpin dalam Islam diwajibkan untuk patuh
terhadap hukum-hukum Islam dalam menjalankan tugasnya. Ini mencakup pelaksanaan
hukum-hukum syariah dalam ranah politik, ekonomi, dan sosial.
5. Pelayanan Masyarakat: Konsep kepemimpinan dalam Islam menekankan pada pelayanan
kepada masyarakat. Pemimpin diharapkan menjadi pelayan yang mendedikasikan diri untuk
kesejahteraan rakyatnya.
6. Hak Asasi Manusia (HAM): Islam menegaskan hak asasi manusia, termasuk hak-hak
warga negara. Pemimpin diharapkan untuk melindungi hak-hak ini dan tidak boleh
melakukan tindakan yang merugikan atau merampas hak-hak individu.
7. Kepemimpinan Berdasarkan Kualitas dan Kompetensi: Dalam Islam, pemimpin dipilih
berdasarkan kualitas kepemimpinan dan kompetensi, bukan berdasarkan faktor suku,
keturunan, atau kekayaan. Keteladanan dan kualitas moral pemimpin menjadi faktor kunci.
8. Penghindaran Korupsi: Islam sangat menentang korupsi, dan pemimpin diharapkan
menjauhkan diri dari perilaku koruptif. Penggunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi
dilarang.
Dalam pandangan Islam, kepemimpinan merupakan tugas mulia yang harus dilaksanakan
dengan penuh tanggung jawab dan kesetiaan kepada Allah. Pemimpin muslim harus
memenuhi kewajiban agamanya dan memiliki sifat-sifat mulia seperti amanah, adil,
istiqamah, serta berpegang pada syariat dan akhlak Islam Selain itu, pemimpin muslim harus
memiliki kemampuan untuk bermusyawarah dengan bawahan secara obyektif, membuat
12
Ernita Dewi, Menggagas Kriteria Pemimpin Ideal,cet 1, (Yogyakarya: AK Group, 2006), hal. 2.

11
keputusan seadil-adilnya, dan berjuang menciptakan kebebasan berfikir, pertukaran gagasan
yang sehat dan bebas, saling kritik dan saling menasihati satu sama lain Islam juga
mengajarkan bahwa pemimpin harus mendengar nasehat dari rakyatnya dan menjalankan
aturan Amar Makruf Nahi Munkar bahkan dalam mengontrol kekuasaannya Pemimpin
muslim harus memiliki sifat-sifat Allah swt yang terkumpul dalam Asmaul Husna dan sifat-
sifat mulia lainnya Dalam Islam, kepemimpinan harus berdasarkan hukum Allah dan
pemimpin haruslah orang yang taat pada hukum Allah Kepemimpinan dalam Islam adalah
salah satu unsur yang penting mengingat kepemimpinan memiliki kontribusi dalam
penyebaran dakwah. Pemimpin merupakan dasar terselenggaranya ajaran-ajaran agama dan
juga pangkal dari wujudnya tujuan umat dengan baik, sehingga kehidupan masyarakat
menjadi aman, tentram dan sejahtera. Pemimpin harus bekerja keras dan semua perhatiannya
diberikan kepada rakyat dan negaranya. Dan pemimpin haruslah orang yang berwibawa dan
disegani oleh rakyatnya. Perlu diketahui juga, kejujuran dan kesetiaannya juga sangat penting
untuk seseorang yang memegang jabatan kepala negara. konsep kepemimpinan dalam Islam
mempunyai dasardasar yang kuat dan kokoh, tidak hanya dibangun dari nilai-nilai ajaran
Islam, akan tetapi sudah dipraktekkan dari sejak dulu oleh Nabi Muhammad SAW. para
Sahabat dan Khulafaur Rasyidin. Bersumber dari Al-Qur'an dan Hadist yang berkembang
secara dinamis karena dipengaruhi oleh kondisi sosial, politik dan budaya. Ketika di
madinah, Nabi Muhammad SAW. mempunyai peran ganda, yakni sebagai kepala
pemerintahan sekaligus seorang hakim. Syari‟at Islam menjadi dasar tata pemerintahan pada
masa itu, yang selanjutnya sistem khilafah Islam dipegang oleh seorang Khalifah, yang kini
dikenal sebagai Khulafaur Rasyidin. Kepemimpinan dalam konsep Islam, seorang pemimpin
ini dianjurkan dari kalangan laki-laki, hal ini dikarenakan bahwa laki-laki merupakan seorang
pemimpin bagi dirinya dan keluarga, selain itu laki-laki juga memiliki sifat yang tegas dan
pantang menyerah. Akan tetapi ada beberapa pendapat ulama yang memperbolehkan
perempuan menjadi seorang pemimpin sesuai dengan alasan masing-masing. Perempuan
dalam sudut pandang Islam merupakan makhluk yang mempunyai kemampuan sama dengan
laki-laki dan tidak ada perbedaan kedudukan antara lakilaki dan perempuan, semua sama
dimata Allah SWT sebagai makhluknya.

D. Kekuasaan Dalam Konteks Hukum

12
Kekuasaan dalam konteks hukum berkaitan dengan kekuasaan negara, yaitu kekuasaan
untuk mengatur dan menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang
meliputi bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pengaturan dan penyelenggaraan
kehidupan bermasyarakat dan bernegara itu mencakup pengaturan dan penyelenggaraan di
tingkat pusat dan di tingkat daerah. Dengan demikian, kekuasaan merupakan sarana untuk
menjalankan fungsi-fungsi pokok kenegaraan guna mencapai tujuan negara. Kekuasaan
dalam konteks hukum meliputi kedaulatan, wewenang atau otoritas, dan hak. Ketiga bentuk
kekuasaan itu memiliki esensi dan ciri-ciri yang berbeda satu sama lain, dan bersifat hirarkis.
Kekuasaan tertinggi adalah Kedaulatan, yaitu kekuasaan Negara secara definitif untuk
memastikan aturan-aturan kelakuan dalam wilayahnya, dan tidak ada pihak, baik di dalam
maupun di luar negeri, yang harus dimintai ijin untuk menetapkan atau melakukan sesuatu.
Kedaulatan adalah hak kekuasaan mutlak, tertinggi, tak terbatas, tak tergantung, dan tanpa
kecuali13
Kedaulatan atau souvereignity adalah ciri atau atribut hukum dari negara-negara; dan
sebagai atribut negara dia sudah lama ada, bahkan ada yang berpendapat bahwa kedaulatan
14
itu mungkin lebih tua dari konsep negara itu sendiri Dalam teori kenegaraan, ada empat
bentuk kedaulatan sebagai pencerminan kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Keempat
bentuk kedaulatan itu adalah kedaulatan Tuhan (Godsouvereiniteit), kedaulatan negara
(staatssouvereiniteit), kedaulatan hukum (rechtssouvereiniteit), dan kedaulatan rakyat
(volkssouvereiniteit)15 Dalam kedaulatan Tuhan, kekuasaan terletak pada sumber kekuasaan
yang berasal dari Tuhan. Menurut paham kedaulatan negara, kedaulatan itu ada pada negara,
dan dalam kedaulatan hukum, yang berdaulat itu bukan Tuhan dan bukan negara, tapi adalah
hukum itu sendiri. Dalam kedaulatan rakyat, yang berdaulat itu adalah rakyat, dimana rakyat
memberikan kekuasaannya kepada pemerintah melalui sistem pemilihan umum.
Bentuk kedua kekuasaan dalam konteks hukum adalah wewenang. Wewenang berasal dari
bahasa Jawa yang mempunyai dua arti, yaitu pertama, kuasa (bevoegdheid) atas sesuatu.
Kedua, serangkaian hak yang melekat pada jabatan atau seorang pejabat untuk mengambil
tindakan yang diperlukan agar tugas pekerjaan dapat terlaksana dengan baik, kompetensi,
yurisdiksi

13
Magnis Suseno, Etika Politik, Jakarta, PT Gramedia, 1988, hlm. 53
14
Fred Iswara, Pengantar Ilmu Politik , Dhwiwantara, 1964, hlm. 92.
15
Sri Soemantri, Masalah Kedaulatan Rakyat Berdasarkan UUD 1945, Lihat juga
Padmo Wahyono (ed), Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia,1984, hlm. 67.

13
Otoritas Adalah ciri khas negara bahwa kekuasaannya memiliki wewenang. Maka kekuasaan
negara dapat disebut otoritas atau wewenang. Otoritas atau wewenang adalah “kekuasaan
yang dilembagakan”, yaitu kekuasaan yang defakto menguasai, melainkan juga berhak
menguasai. Wewenang adalah kekuasaan yang berhak menuntut ketaatan, jadi berhak
memberikan perintah. Bentuk ketiga kekuasaan dalam hukum adalah hak. Salmond
merumuskan hak sebagai kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh hukum. Rumusan
yang hampir sama dikemukakan oleh Allend yang menyatakan bahwa hak itu sebagai suatu
kekuasaan berdasarkan hukum yang dengannya seorang dapat melaksanakan kepentingannya
(The legally guaranteed power to realise an interest). Sedangkan menurut Holland hak itu
sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi perbuatan atau tindakan seseorang tanpa
menggunakan wewenang yang dimilikinya, tetapi didasarkan atas suatu paksaan masyarakat
yang terorganisasi16.
Definisi hak menurut Holmes adalah “nothing but permission to exercise certain natural
powers and upon certain conditions to obtain protection, restitution, or compensation by the
aid of public force”. Hak dapat pula diartikan sebagai kekuasaan yang dipunyai seseorang
untuk menuntut pemenuhan kepentingannya yang dilindungi oleh hukum dari orang lain, baik
dengan sukarela maupun dengan paksaan. Dengan mengacu kepada beberapa pengertian
tersebut dapat diidentifikasikan ciri-ciri hak. Menurut Fitzgerald (1966:221), ciri-ciri yang
melekat pada hak adalah:
a. hak itu dilekatkan pada seseorang yang disebut sebagai pemilik atau subjek dari hak itu. Ia
juga disebut sebagai orang yang memiliki titel atas barang yang menjadi sasaran hak.
b. Hak itu tertuju pada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang kewajiban di mana antara
hak dan kewajiban terdapat hubungan korelatif.
c. Hak yang ada pada seseorang mewajibkan pihak lain utnuk melakukan (monisson) atau
tidak melakukan (omission) sesuatu perbuatan. Hal ini dapat disebut sebagai isi dari hak.
d. Perbuatan atau omission itu menyangkut sesuatu yang dapat disebut sebagai objek dari
hak.
e. Setiap hak menurut hukum itu mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa tertentu yang
merupakan alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya. Pengakuan hukum terhadap hak
seseorang mengandung konsekuensi adanya kewajiban pada pihak atau orang lain. Hal itu
bisa terjadi karena hubungan hak dan kewajiban bersifat resiprokal atau timbal balik.

16
Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Rajawali, 1988, hlm. 45.

14
Hubungan hak dan kewajiban terjadi dalam konsep hubungan hukum, terutama dalam
pelaksanaan hubungan hukum (hukum subjektif). Kewajiban adalah suatu perintah hukum
yang mengharuskan seseorang untuk memenuhi suatu hal yang menjadi hak orang lain atau
melaksanakan perbuatan tertentu.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hubungan antara hukum Islam dan kekuasaan mencerminkan prinsip-prinsip fundamental
yang dipegang dalam tradisi Islam. Dalam konteks ini, konsep kekuasaan dalam Islam bukan
hanya sebagai alat untuk mempertahankan otoritas, tetapi juga sebagai sarana untuk
mewujudkan keadilan sosial dan moral berdasarkan ajaran-ajaran Islam. Salah satu aspek
kunci dari hubungan ini adalah penerapan hukum syariah dalam pelaksanaan kekuasaan.
Hukum syariah, yang berasal dari Al-Qur'an dan Hadis, memberikan landasan normatif bagi
tindakan pemerintah dan warga negara. Prinsip-prinsip ini mencakup aspek-aspek seperti
hukum pidana, perdata, ekonomi, dan sosial, serta memberikan pedoman tentang kewajiban
dan hak individu. Dalam konteks politik, konsep khilafah atau kepemimpinan dalam Islam
menekankan tanggung jawab pemimpin untuk memberlakukan hukum syariah dengan adil.
Pemimpin diharapkan untuk memastikan bahwa kebijakan-kebijakan mereka sejalan dengan
nilai-nilai moral Islam dan mempromosikan kesejahteraan umum. Prinsip syura, atau
musyawarah, juga dijunjung tinggi, menekankan partisipasi masyarakat dalam pengambilan
keputusan politik. Selain itu, hubungan antara hukum Islam dan kekuasaan juga
mencerminkan aspek keseimbangan antara otoritas politik dan otoritas keagamaan. Meskipun
pemerintah memiliki peran dalam menegakkan hukum, otoritas keagamaan juga memainkan
peran penting dalam memberikan panduan moral dan spiritual kepada masyarakat.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ernita Dewi, Menggagas Kriteria Pemimpin Ideal,cet 1, (Yogyakarya: AK Group,


2006), hal. 2.
L.J. van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, PT Pradnya Paramita, 1986,
hlm. 70.
Karl Olivecrona, Law as Fact, Copenhagen-London, 1939, hlm. 123
Magnis Suseno, Etika Politik, Jakarta, PT Gramedia, 1988, hlm. 53
Fred Iswara, Pengantar Ilmu Politik , Dhwiwantara, 1964, hlm. 92.
Sri Soemantri, Masalah Kedaulatan Rakyat Berdasarkan UUD 1945
Padmo Wahyono (ed), Masalah Ketatanegaraan Indonesia, Ghalia Indonesia, 1984,
hlm. 67.
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, 1986, hlm. 633.
Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Rajawali, 1988, hlm. 45.
Luthan, Salman. "Hubungan Hukum Dan Kekuasaan." Jurnal Hukum Ius Quia Iustum,
vol. 14, no. 2, 2007.

17

Anda mungkin juga menyukai